Anda di halaman 1dari 141

PENULISAN SKRIPSI

PERLINDUNGAN HUKUM DALAM PELAKSANAAN PERJANJIAN


WARALABA ANTARA PEMBERI DAN PENERIMA WARALABA (Studi
Kasus Di Perusahaan PT. Mister Burger Pelita Harapan Indonesia yang
Berkedudukan Di Wilayah Kabupaten Sleman)

Diajukan oleh :

Romero Bima Mahardika Yanuarto

NPM : 190513387

Program Studi : Ilmu Hukum

Program Kekhususan : Hukum Ekonomi dan Bisnis

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS ATMA JAYA YOGYAKARTA

2023
HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING SKRIPSI
PERLINDUNGAN HUKUM DALAM PELAKSANAAN PERJANJIAN
WARALABA ANTARA PEMBERI DAN PENERIMA WARALABA
(Studi Kasus Di Perusahaan PT. Mister Burger Pelita Harapan Indonesia
yang Berkedudukan Di Wilayah Kabupaten Sleman)

Diajukan oleh :

Romero Bima Mahardika Yanuarto

NPM : 190513387

Program Studi : Ilmu Hukum

Program Kekhususan : Hukum Ekonomi dan Bisnis

Telah Disetujui Untuk Ujian


Pendadaran Tanggal:

31 Juli 2023

Dosen Pembimbing :

N. Budi Arianto Wijaya,SH.,M.Hum.

ii
HALAMAN PENGESAHAN
PERLINDUNGAN HUKUM DALAM PELAKSANAAN PERJANJIAN
WARALABA ANTARA PEMBERI DAN PENERIMA WARALABA
(Studi Kasus Di Perusahaan PT. Mister Burger Pelita Harapan Indonesia
yang Berkedudukan Di Wilayah Kabupaten Sleman)

Skripsi ini telah dipertahankan dihadapan Tim Penguji Fakultas Hukum


Universitas Atma Jaya Yogyakarta Dalam Sidang Akademik yang
diselenggarakan pada:

Hari: Rabu

Tanggal: 09 Agustus 2023

Tempat: Ruang Dekanat Lt. 1

Susunan Tim Penguji : Tanda


Tangan

Ketua : Dr. Y. Sari Murti Widiyastuti., S.H., M.Hum.

Sekretaris : N. Budi Arianto Wijaya., SH., M.Hum.

Anggota : Dr. E. Imma Indra Dewi W., SH., M.Hum.

Mengesahkan Dekan Fakultas Hukum


Universitas Atma Jaya Yogyakarta

iii
Prof. Dr. Th. Anita Christiani, S.H, M.Hum.

MOTTO

Janganlah pergi mengikuti kemana jalan itu akan berujung tetapi buat jalanmu

sendiri dan tinggalkanlah jejak dari keberadaan dirimu. Maka keberhasilan akan

menjadi milikmu.

iv
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas
segala rahmatnya dan kebaikannya penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi
ini dengan baik dan lancar penulis percaya bahwa semua yang terjadi itu karena
kebaikan dan kemurahan Tuhan Yang Maha Esa terutama penulis dapat diberikan
kemampuan dan kekuatan dalam mengerjakan penulisan skripsi ini dalam rangka
pemenuhan untuk memperoleh gelar sarjana (S1) di Fakultas Hukum Universitas
Atmajaya Yogyakarta “Perlindungan Hukum Dalam Pelaksanaan Perjanjian
Waralaba Antara Pemberi Dan Penerima Waralaba (Studi Kasus Di Perusahaan
PT Mister Burger Pelita Harapan Indonesia Yang Berkedudukan Di Kabupaten
Sleman)”.

Penulisan hukum ini penulis persembahkan kepada orang tua tercinta


Bapak Fajar Yanuarto, dan Ibu Eunike Juni Suprihatin serta Rizkia Dwi Amara
Putri yang telah tulus ikhlas memberikan kasih sayang, cinta, doa, perhatian,
dukungan moral dan materil yang telah diberikan selama ini. Untuk kedua orang
tua yang telah meluangkan segenap waktunya untuk mengasuh, mendidik,
membimbing, dan mengiringi perjalanan hidup penulis dengan diiringi alunan doa
yang tiada henti agar penulis sukses dalam menggapai cita-cita.

Dalam proses penyelesaiannya, penulis melibatkan berbagai pihak yang


dengan sukarela turut membantu dalam kelancaran Penulisan Skripsi ini. Pada
kesempatan ini, penulis mengucapkan terimakasih kepada:

1. Bapak Dr. G. Sri Nurhartanto, S.H., LL.M Selaku Rektor Fakultas Hukum
Universitas Atma Jaya Yogyakarta.
2. Ibu Prof. Dr. Th. Anita Christiani, S.H, M.Hum. Selaku Dekan Fakultas
Hukum Universitas Atma Jaya Yogyakarta.
3. Bapak Dr.Triyana Yohanes,S.H.,M.Hum Selaku Wakil Dekan I Fakultas
Hukum Universitas Atma Jaya Yogyakarta.
4. Bapak N. Budi Arianto Wijaya,SH.,M.Hum. Selaku Wakil Dekan II Fakultas

v
Hukum Universitas Atma Jaya Yogyakarta. Yang sekaligus menjadi Dosen
Pembimbing yang telah banyak memberikan pengarahan dan petunjuk serta
mencurahkan segala waktu yang sangat berguna dalam penyelesaian penulisan
hukum ini.
5. Bapak B. Hengky Widhi Antoro, S.H.,M.H Selaku Wakil Dekan III Fakultas
Hukum Universitas Atma Jaya Yogyakarta.
6. Semua staf dari Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya Yogyakarta yang saya
hormati dan tidak dapat saya sebutkan namanya satu persatu.
7. Ibu Juni Suprihatin S.H. selaku Direktur dari Mister Burger yang telah banyak
membantu penulis selama penelitian di PT Mister Burger Pelita Harapan
Indonesia di Kabupaten Sleman.
8. Teman-teman terbaik yang penulis temukan selama masa-masa perkuliahan di
Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya Yogyakarta Angkatan 2019 dan
semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu
9. Untuk Roh Kudus, sumber segala ilham selama penulisan ini, sumber
pengetahuan utama, sumber inspirasi, sumber kekuatan, sumber sukacita,
kepada Dia, Yesus, dan Allah Bapa di Surga, satu-satunya Tuhan yang
Bijaksana, kemuliaan selama-lamanya. Semoga Tuhan Yang Maha Esa
senantiasa melimpahkan rahmat dan hidayahNya selalu.

Demikian penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada seluruh pihak


yang terlibat dalam membantu penulis yang tidak bisa disebutkan satu per satu.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa penulisan hukum ini jauh dari kata
sempurna dan masih terdapat banyak kekurangan yang tidak penulis sadari.
Penulis harapkan kritik dan masukkan dari pembaca. Penulis berharap penulisan
hukum ini dapat bermanfaat bagi para pembaca.

Sleman, 31 Juli 2023

Penulis,

vi
Romero Bima Mahardika Yanuarto
ABSTRACT

Franchise practices sometimes still experience problems even though an


agreement has been reached between the franchisor and franchisee, including
failure to fulfill the rights and obligations of the franchisor and franchisee. The
purpose of writing this research is to find out how legal protection is in
implementing a franchise agreement between the franchisor and the franchisee at
the company PT Mister Burger Pelita Harapan Indonesia which is domiciled in
the Sleman Regency area and whether the franchiser can terminate the agreement.
unilaterally with the franchisee. Data collection was carried out using empirical
research methods by conducting interviews with respondents. Based on the results
of the research that has been carried out, the franchise agreement between the
franchisor and the franchisee, the franchisor provides a guarantee to the
franchisee, and the franchisor provides a guarantee to the franchisor. Based on
Article 1338 paragraphs 1 and 2 of the Civil Code which reads as follows, it is
stated that all agreements legally made by the parties are valid as law for those
who make them. This means that everyone has the right to enter into any
agreement, whether regulated by law or not, as long as it does not conflict with
the law, public order and moral norms. These agreements cannot be withdrawn
except with the consent of both parties, or for sufficient reasons according to law.
The results of further research found that the franchisor could be said to be in
default because he did not comply with the contents of the agreement in
terminating an agreement due to violations committed by the franchisee. Because
the agreement does not contain a clause that overrides the provisions of Article
1266 of the Civil Code, if there is a breach of contract or cancellation of the
agreement, it is necessary to go through the process of requesting an annulment by
the court and judge.

Keywords: Legal Protection, Implementation, Franchise Agreement

vii
DAFTAR ISI

HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING SKRIPSI..................ii


HALAMAN PENGESAHAN..............................................................................iii
MOTTO.................................................................................................................iv
KATA PENGANTAR............................................................................................v
ABSTRACT..........................................................................................................vii
DAFTAR ISI.......................................................................................................viii
PERNYATAAN KEASLIAN PENELITIAN......................................................x
BAB I.......................................................................................................................1
PENDAHULUAN..................................................................................................1
A. Latar Belakang..............................................................................................1
B. Rumusan Masalah.........................................................................................8
C. Tujuan Penelitian..........................................................................................8
D. Manfaat Penelitian........................................................................................9
E. Keaslian Penelitian......................................................................................10
F. Tinjauan Pustaka.........................................................................................17
G. Batasan Konsep...........................................................................................43
H. Metode Penelitian.......................................................................................44
I. Sistematika Penulisan Skripsi.....................................................................45

BAB II...................................................................................................................46
PEMBAHASAN...................................................................................................46
A. Tinjauan Umum Tentang Perjanjian...........................................................46
1. Pengertian Perjanjian...............................................................................46
2. Asas-Asas dan Unsur - unsur dalam Perjanjian.....................................49
3. Jenis-Jenis Perjanjian..............................................................................54
4. Syarat - Syarat Sahnya Perjanjian...........................................................57
5. Pihak-Pihak dalam Perjanjian dan Subyek dan Obyek Perjanjian, Hak
dan Kewajiban serta Akibat Hukum Perjanjian Yang Sah..............................62
6. Wanprestasi dan Hapusnya Perjanjian...................................................66

viii
B. Tinjauan Umum Tentang Waralaba............................................................76
1. Waralaba pada umumnya dan dasar hukumnya......................................76
2. Asas Kebebasan Berkontrak Dalam Perjanjian Waralaba......................83
3. Jenis-Jenis Waralaba...............................................................................84
4. Karakteristik Waralaba............................................................................88
5. Hak dan Kewajiban penerima dan pemberi waralaba.............................90
6. Hal-Hal Yang Perlu Diperhatikan Penerima Waralaba...........................91
7. Hal-Hal Yang Perlu Diperhatikan Pemberi Waralaba............................96
8. Keuntungan dan Kerugian Waralaba......................................................98
C. Sekilas Tentang PT Mister Burger Pelita Harapan Indonesia..................102
1. Sejarah Waralaba PT Mister Burger Pelita Harapan Indonesia............102
2. Fasilitas Paket Waralaba Mister Burger................................................104
3. Daya tarik Waralaba Mister Burger......................................................106
D. Hasil dan Analisa Penelitian.....................................................................108
1. Perlindungan Hukum dalam Pelaksanaan Perjanjian antara Pemberi dan
Penerima Waralaba..................................................................................108
2. Pemberi Waralaba Dari Pt Mister Burger Pelita Harapan Indonesia
Wilayah Kabupaten Sleman Dapatkah Memutuskan Perjanjian Secara
Sepihak Dengan Penerima Waralaba.......................................................114

BAB III................................................................................................................126
PENUTUP...........................................................................................................126
A. Kesimpulan...............................................................................................126
B. Saran.........................................................................................................129
DAFTAR PUSTAKA.........................................................................................130

ix
PERNYATAAN KEASLIAN PENELITIAN

Dengan ini penulis menyatakan bahwa skripsi ini merupakan hasil karya asli

penulis, bukan merupakan duplikasi ataupun plagiasi dari hasil karya penulis lain.

Jika skripsi ini terbukti merupakan duplikasi ataupun plagiasi dari hasil karya

penulis lain, maka penulis bersedia menerima sanksi akademik dan/atau sanksi

hukum yang berlaku.

Sleman, 31 Juli 2023

Penulis,

(Romero Bima Mahardika Yanuarto)

x
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Di era globalisasi saat ini, pertumbuhan ekonomi meningkat sangat pesat.

Dunia bisnis selalu dinamis dan selalu menciptakan terobosan-terobosan baru

dalam perkembangan perusahaan. Para pelaku usaha yang ingin meningkatkan

usahanya akan memunculkan ide-ide usaha yang dapat langsung

diimplementasikan dalam usaha yang ditekuninya. Semuanya dilakukan agar

perusahaan mereka mulai berkembang pesat dan menjangkau dunia. Keterampilan

teknis dan pengetahuan atau penemuan khusus, pengusaha yang lebih maju dan

inovatif dapat menawarkan manfaat dari keterampilan perusahaan. Identifikasi

khusus dari produk yang diproduksi atau dijual untuk mencapai tujuan

pengembangan usaha adalah bentuk perizinan komprehensif yang kita kenal

sekarang.

Indonesia masuk dalam 5 besar negara yang memiliki perkembangan

waralaba terbesar di dunia. Sebuah terobosan usaha baru yaitu waralaba yang

menjanjikan bentuk usaha mandiri dengan pembelian merek dagang yang sudah

dikenal untuk dijalankan sendiri kesempatan memiliki usaha dengan modal yang

kecil masih tetap terbuka bagi pelaku usaha baru yang ingin mencoba untuk

mengembangkan usahanya. Bagi masyarakat yang hanya mempunyai modal yang

terbatas, usaha mandiri menjadi salah satu jalan keluar untuk belajar menjalankan

usaha mandiri.

1
2

Waralaba sendiri merupakan format bisnis baru yang sedang booming di

Indonesia. Fenomena ini dibuktikan dengan semakin banyaknya waralaba di

Indonesia, baik waralaba asing seperti KFC, McDonalds, maupun waralaba lokal

seperti Indomaret, Klenger Burger dan merek waralaba lainnya. Perkembangan ini

seharusnya menjadi nilai positif bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia karena

dapat menghasilkan devisa bagi negara. Bisnis sinergi seperti ini memang

dianggap menguntungkan. untuk Jaringan pemasaran dan omset dapat

berkembang lebih cepat sehingga dapat memperoleh kepercayaan yang luas dari

masyarakat terhadap citra bisnis waralabanya tanpa harus mengeluarkan modal

sendiri. Pewaralaba juga akan mendapat keuntungan berupa management fee dan

royalty fee.

Keinginan tersebut telah ditangkap oleh pelaku bisnis yang telah

berkecimpung dalam usaha ini yang menawarkan produk usaha dengan modal

kecil atau terbatas dengan mendapatkan keuntungan yang besar. Dengan

penawaran yang begitu menarik banyak pelaku bisnis yang baru mencoba

menjalankan usaha tersebut ditambah dengan modal yang kecil justru

memberikan peluang usaha yang menjanjikan Alasan konsep franchising

berkembang adalah karena ada pengusaha yang sukses dalam bisnis tetapi

kekurangan modal untuk mengembangkan bisnis yang lebih besar.

Waralaba adalah kontrak timbal balik karena pemberi waralaba dan

penerima waralaba memiliki kewajiban untuk dilakukan. Kontrak menetapkan

hak dan kewajiban masing-masing pihak yang membuat perjanjian.

Suatu kontrak (perjanjian) harus memenuhi syarat sahnya perjanjian yaitu


3

kata sepakat, kecakapan, hal tertentu dan suatu sebab yang halal, sebagaimana

dinyatakan dalam pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Dengan

dipenuhinya empat syarat sahnya perjanjian tersebut, maka suatu perjanjian

menjadi sah dan mengikat secara hukum bagi para pihak yang membuatnya.

Permasalahan hukum akan timbul jika sebelum perjanjian tersebut sah dan

mengikat para pihak yaitu dalam proses perundingan, salah satu pihak telah

melakukan perbuatan hukum seperti melakukan perbuatan melawan hukum yaitu

memutus kontrak secara sepihak, padahal belum tercapai kesepakatan final antara

mereka mengenai jangka waktu kontrak bisnis yang dirundingkan.

Hal ini dapat terjadi karena salah satu pihak begitu percaya dan menaruh

penghargaan dan harapan akan janji yang diberikan oleh pemberi waralaba jika

pada akhirnya perundingan mengalami jalan buntu dan tidak tercapai kesepakatan,

misalnya tidak tercapai kesepakatan mengenai fees, royalty atau jangka waktu

lisensi, maka tidak dapat dituntut ganti rugi atas segala biaya, investasi yang telah

dikeluarkan kepada penerima waralaba karena menuntut teori kontrak yang klasik

belum terjadi kontrak, mengingat besarnya fees, royalty dan jangka waktu

perjanjian merupakan hal yang esensial dalam suatu perjanjian lisensi dan

Franchising.

Kehendak para pihak yang diwujudkan dalam kesepakatan adalah

merupakan dasar mengikatnya suatu perjanjian dalam suatu hukum kontrak.

Kehendak itu dapat dinyatakan dengan berbagai cara baik lisan maupun tertulis

dan mengikat para pihak dengan segala akibat hukumnya. Pasal 1338 ayat 1 KUH

Perdata menyebutkan bahwa suatu perjanjian yang dibuat secara sah mengikat
4

sebagai undang-undang bagi para pihak yang membuatnya. Akan tetapi pasal

1338 ayat 3 menyebutkan bahwa setiap perjanjian harus dilaksanakan dengan

itikad baik. Dalam melaksanakan haknya seorang kreditur harus memperhatikan

kepentingan debitur dalam situasi tertentu. Jika kreditur menuntut haknya pada

saat yang paling sulit bagi debitur mungkin kreditur dapat dianggap melaksanakan

kontrak tidak dengan itikad baik.

Pertanggungjawaban tertulis dalam Permendag No.71 Tahun 2019 diatur

dalam pasal 29-32 yang berisi:

1. Pasal 29 Pemberi Waralaba, Pemberi Waralaba Lanjutan, Penerima Waralaba,

dan Penerima Waralaba Lanjutan yang melanggar ketentuan sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 7 dan Pasal 10, dikenai sanksi sebagaimana diatur

dalam peraturan perundang-undangan.

2. Pasal 30 (1) Penyelenggara Waralaba yang melanggar ketentuan sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 13, Pasal 14 ayat (1), Pasal 24 ayat (1), Pasal 27 ayat

(1) dan ayat (2) dikenai sanksi administratif berupa peringatan tertulis oleh

Direktur Bina Usaha dan Pelaku Distribusi. (2) Peringatan tertulis

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan paling banyak 3 (tiga) kali

dengan masa tenggang waktu antara masing-masing peringatan paling lama 14

(empat belas) hari.

3. Pasal 31 Apabila dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari setelah diberikan

peringatan tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30, penyelenggara

Waralaba tetap tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 13, Pasal 14 ayat (1), Pasal 24 ayat (1), Pasal 27 ayat (1) dan ayat (2),
5

dikenai sanksi administratif berupa pencabutan STPW oleh pejabat penerbit

sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

4. Pasal 32 Orang perseorangan atau badan usaha yang melanggar ketentuan

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dan Pasal 17 dikenai sanksi

administratif berupa rekomendasi pencabutan izin usaha dan/atau izin

operasional/komersial kepada pejabat penerbit sesuai dengan ketentuan

peraturan perundang-undangan.

Pertanggungjawaban juga tertulis dalam Peraturan Pemerintah No.42

Tahun 2007 dalam pasal 16-18 yang berisi:

1. Pasal 16 (1) Menteri, Gubernur, Bupati/Walikota sesuai kewenangannya

masing-masing dapat mengenakan sanksi administratif bagi Pemberi

Waralaba dan Penerima Waralaba yang melanggar ketentuan sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 8, Pasal 10, dan/atau Pasal 11. (2) Sanksi sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) dapat berupa: a. peringatan tertulis; b. denda; dan/atau

c. pencabutan Surat Tanda Pendaftaran Waralaba.

2. Pasal 17 (1) Sanksi administratif berupa peringatan tertulis sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 16 ayat (2) huruf a, dikenakan kepada Pemberi

Waralaba dan Penerima Waralaba yang melanggar ketentuan sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 8, Pasal 10, dan Pasal 11. (2) Peringatan tertulis

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan paling banyak 3 (tiga)

kali dalam tenggang waktu 2 (dua) minggu terhitung sejak tanggal surat

peringatan sebelumnya diterbitkan.

3. Pasal 18 (1) Sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud dalam


6

Pasal 16 ayat (2) huruf b, dikenakan kepada Pemberi Waralaba yang tidak

melakukan pendaftaran prospektus penawaran Waralaba sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 10 atau Penerima Waralaba yang tidak melakukan

pendaftaran perjanjian Waralaba sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11

setelah diterbitkannya surat peringatan tertulis ketiga. (2) Denda sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) dikenakan paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus

juta rupiah). (3) Sanksi administratif berupa pencabutan Surat Tanda

Pendaftaran Waralaba sebagaimana dimaksud dalam pasal 16 ayat (2) huruf c,

dikenakan kepada Pemberi Waralaba yang tidak melakukan pembinaan

kepada Penerima Waralaba sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 setelah

diterbitkannya surat peringatan tertulis ketiga.

Berdasarkan asas itikad baik hakim memang menggunakan wewenang

untuk mencampuri isi perjanjian, sehingga tampaknya itikad baik bukan saja

harus ada pada pelaksanaan perjanjian, tetapi juga pada saat dibuatnya atau

ditandatanganinya perjanjian. Misalnya dalam masalah perlindungan hukum bagi

pemberi waralaba yang timbul sehubungan dengan adanya kekhawatiran bahwa

penerima waralaba akan memutuskan perjanjian atau menolak memperbaharui

perjanjian dan kemudian mendistribusikan sendiri produknya di wilayah yang ada

dalam wilayah yang sudah ditentukan sebelumnya oleh penerima waralaba.

Pemberi waralaba dalam jangka waktu tertentu memberikan lisensi kepada

penerima waralaba untuk melakukan usaha pendistribusian barang dan jasa di

bawah nama dan identitas pemberi waralaba dalam wilayah tertentu. Usaha

tersebut harus dijalankan sesuai dengan prosedur dan cara yang ditetapkan oleh
7

pemberi waralaba, memberikan bantuan (asisten) terhadap penerima waralaba.

Sebagai imbalannya penerima waralaba membayar sejumlah uang berupa initial

fee dan royalty.

Pemberi waralaba dapat memanfaatkan kedudukan penerima waralaba

untuk menguji pasar setelah mengetahui bahwa kondisi pasar menguntungkan,

maka pemberi waralaba memutuskan perjanjian dengan penerima waralaba,

selanjutnya pemberi waralaba mengoperasikan outlet atau tempat usaha sendiri di

wilayah penerima waralaba. Hal ini merupakan salah satu faktor penyebab

rendahnya pertumbuhan penerima waralaba lokal dibandingkan dengan

pertumbuhan penerima waralaba asing yang beroperasi di Indonesia.

Pertumbuhan penerima waralaba asing rata-rata mencapai 75 persen per tahun

sedangkan usaha penerima waralaba lokal, rata-rata hanya tumbuh 6 persen

setahun. Fenomena hubungan bisnis antara penerima dan pemberi waralaba,

terutama pemberi waralaba asing yang dapat merugikan keberadaan pemberi

waralaba khususnya yang berada di Indonesia itu perlu mendapatkan

perlindungan hukum yang jelas sehingga pola kemitraan antara usaha kecil

dengan usaha menengah dan besar dapat berjalan secara proporsional.

Perjanjian waralaba merupakan salah satu aspek perlindungan hukum

kepada para pihak yaitu pemberi waralaba dan penerima waralaba dari perbuatan

yang merugikan para pihak lain hal tersebut dikarenakan perjanjian tersebut dapat

menjadi dasar hukum yang kuat untuk menegakan perlindungan hukum bagi para

pihak yang terlibat dalam perjanjian waralaba tersebut, jika salah satu pihak

melanggar isi perjanjian , maka pihak lain dapat menuntut pihak yang melanggar
8

isi perjanjian dengan hukum yang ada dan berlaku di Indonesia.

Dalam kenyataan dilapangan masih kerap terjadi masalah kurangnya

perlindungan hukum yang diberikan kepada penerima waralaba yang melakukan

perjanjian dengan PT Mister Burger Pelita Harapan Indonesia. Sebagaimana yang

terjadi pada Kasus Perjanjian di Perusahaan PT Mister Burger Pelita Harapan

Indonesia (Perusahaan yang bergerak dalam bidang perdagangan makanan dan

minuman dengan merek dagang Mister Burger).

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, maka rumusan masalah dari penelitian

ini adalah:

1. Bagaimana perlindungan hukum dalam pelaksanaan perjanjian waralaba

antara pemberi dan penerima waralaba di Perusahaan PT Mister Burger

Pelita Harapan Indonesia Yang Berkedudukan Di Wilayah Kabupaten

Sleman?

2. Apakah pemberi waralaba dari PT Mister Burger Pelita Harapan Indonesia

Yang Berkedudukan di Wilayah Kabupaten Sleman dapat memutuskan

perjanjian secara sepihak dengan penerima waralabanya?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka tujuan pertama dari penelitian

ini adalah:

1. Untuk mengidentifikasi bagaimana perlindungan hukum dalam pelaksanaan

perjanjian waralaba antara pemberi dan penerima waralaba di perusahaan

PT Mister Burger Pelita Harapan Indonesia yang berkedudukan di


9

Wilayah Kabupaten Sleman terhadap warga negara Indonesia yang telah

melakukan perjanjian waralaba tetapi melanggar isi terhadap perjanjian

yang telah dibuat dan telah disetujui sebelumnya.

2. Untuk mengetahui apakah pemberi waralaba dari PT Mister Burger Pelita

Harapan Indonesia yang berkedudukan di wilayah Kabupaten Sleman

dapat memutuskan perjanjian secara sepihak dengan penerima

waralabanya yang melanggar isi perjanjian yang telah dibuat dan disetujui.

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis: Secara teoritis manfaat teoritik yang ingin dicapai dalam

penelitian ini yang dapat dipergunakan sebagai kebaruan dalam studi

hukum di bidang waralaba secara lebih mendalam dan turut serta

memberikan kontribusi bagi perkembangan ilmu hukum, khususnya dalam

bidang hukum ekonomi bisnis.

2. Manfaat Praktis: Sedangkan dengan manfaat praktis hasil dari penelitian

studi kasus hukum ini adalah untuk mengidentifikasi bagaimana

perlindungan hukum dalam pelaksanaan perjanjian waralaba antara

pemberi dan penerima waralaba di perusahaan PT Mister Burger Pelita

Harapan Indonesia yang berkedudukan di Wilayah Kabupaten Sleman

terhadap warga negara Indonesia yang telah melakukan perjanjian

waralaba tetapi melanggar isi terhadap perjanjian yang telah dibuat dan

telah disetujui sebelumnya dan untuk mengetahui apakah pemberi

waralaba dari PT Mister Burger Pelita Harapan Indonesia yang

berkedudukan di wilayah Kabupaten Sleman dapat memutuskan perjanjian


10

secara sepihak dengan penerima waralabanya yang melanggar isi

perjanjian yang telah dibuat dan disetujui.

E. Keaslian Penelitian

1. Skripsi Pembanding 1

Nama : Aqil Alfin

NPM : 14110260

Fakultas : Hukum Universitas Janabadra

“Kajian Tentang Perjanjian Waralaba Antara Pembeli Dan Penerima

Waralaba Jogja Leker Di Kabupaten Sleman”.

Kewajiban apa saja yang tidak dipenuhi oleh penerima waralaba

dan bagaimana cara penyelesaian setiap kewajiban yang tidak dipenuhi

dalam perjanjian waralaba antara pemberi waralaba Jogja Leker dengan

penerima waralaba di daerah Kabupaten Sleman.

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah dilakukan

mengenai kajian tentang perjanjian waralaba antara pemberi dan penerima

waralaba Jogja Leker di Kabupaten Sleman, maka dapat diambil

kesimpulan sebagai berikut, kewajiban yang tidak dipenuhi oleh penerima

waralaba dalam perjanjian waralaba antara pemberi dan penerima

waralaba Jogja Leker di Kabupaten Sleman yaitu penerima waralaba tidak

melunasi kekurangan biaya pokok tepat pada waktunya, tidak melakukan

pemesanan ulang bahan baku selama 3 bulan, serta tidak memberikan

laporan lokasi yang baru. Dalam hal kekurangan pelunasan biaya pokok

sebesar 50% dari total investasi, penyelesaiannya adalah penerima


11

waralaba diberikan waktu 1 bulan untuk memenuhi kewajiban yang

disertai dengan klausula bahwa pemberi waralaba berhak mengakhiri

perjanjian sepihak jika setelah lewat waktu 1 bulan itu tetap tidak dipenuhi

kewajiban. Kemudian dalam hal pemesanan ulang bahan baku berturut-

turut selama 3 bulan tanpa keterangan yang jelas,maka penyelesaiannya

adalah pihak penerima waralaba akan dianggap mengundurkan diri,

sehingga boleh ada penerima waralaba baru di lokasi tersebut. dan terakhir

mengenai tidak dilaporkan terlebih dahulu lokasi usaha yang baru oleh

penerima, maka penyelesaiannya adalah pemberi waralaba menghentikan

sementara pengiriman bahan baku sampai adanya kesepakatan atas lokasi

yang baru. Pemberi waralaba pada dasarnya telah menunjukkan itikad baik

dalam upaya penyelesaian pada setiap wanprestasi, seperti mengadakan

pembicaraan, menambah jangka waktu pemenuhan, dan juga

memperingati penerima untuk memenuhi kewajibannya. Namun,

disamping surat perjanjian ini tidak disusun dengan baik sebagaimana

ketentuan mengenai waralaba, upaya penyelesaiannya itu pun belumlah

maksimal atau dapat dikatakan tidak sesuai ketentuan yang berlaku.

Wanprestasi memang merupakan syarat batal, namun wanprestasi itu tidak

dengan begitu saja dapat mengakhiri perjanjian apalagi dianggap dengan

sendirinya mengundurkan diri. Hal yang semacam ini bertententangan

dengan tata cara mengakhiri perjanjian menurut KUHperdata.

Perbedaan dari skripsi yang saya tulis terhadap skripsi pembanding

yang pertama adalah dari rumusan masalahnya kewajiban apa saja yang
12

tidak dipenuhi oleh penerima waralaba dan bagaimana cara penyelesaian

setiap kewajiban yang tidak dipenuhi dalam perjanjian waralaba antara

pemberi waralaba Jogja Leker dengan penerima waralaba di daerah

Kabupaten Sleman, sedangkan rumusan masalah dari penulis adalah

bagaimana perlindungan hukum dalam pelaksanaan perjanjian waralaba

antara pemberi dan penerima waralaba di perusahaan PT Mister Burger

Pelita Harapan Indonesia yang berkedudukan di wilayah Kabupaten

Sleman dan apakah pemberi waralaba dapat memutuskan perjanjian secara

sepihak dengan penerima waralaba.

2. Skripsi Pembanding 2

Nama : Juni Suprihatin

NPM : 14110156

Fakultas : Hukum Universitas Janabadra

“Pelaksanaan Perjanjian Waralaba Pada PT Mister Burger Pelita

Harapan Indonesia Di Kabupaten Sleman”.

Kewajiban-kewajiban apa saja yang tidak dipenuhi oleh penerima

waralaba dan bagaimana cara penyelesaian terhadap setiap kewajiban-

kewajiban yang tidak dipenuhi dalam perjanjian waralaba antara pemberi

waralaba Mister Burger dengan penerima waralaba di daerah Kabupaten

Sleman, dan bagaimana perlindungan hukum terhadap penerima waralaba

dalam perjanjian waralaba Mister Burger di Daerah Kabupaten Sleman.

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan tentang Perjanjian

Waralaba Pada PT Mister Burger Pelita Harapan Indonesia di Kabupaten


13

Sleman, maka dapat disimpulkan bahwa:

a. Kewajiban-kewajiban yang tidak dipenuhi penerima waralaba dan cara

penyelesaiannya dalam perjanjian waralaba Mister Burger adalah

sebagai berikut:

1) Tidak menjalankan usaha sesuai dengan prosedur dan sistem yang

telah ditetapkan pemberi waralaba dalam perjanjian waralaba. Cara

Penyelesaiannya sesuai perjanjian adalah dengan musyawarah dan

penerima waralaba diberi peringatan secara tertulis oleh pemberi

waralaba, jika tiga kali peringatan secara tertulis penerima

waralaba tetap melakukan kesalahan yang sama pemberi waralaba

dapat memutuskan perjanjian waralaba secara sepihak meskipun

jangka waktu perjanjian belum berakhir.

2) Tidak mengikuti training atau pelatihan yang diadakan pemberi

waralaba yang bertujuan menjaga standarisasi dalam kualitas

peracikan, produk, dan pelayanan. Cara Penyelesaiannya sesuai

perjanjian adalah dengan musyawarah dan penerima waralaba

diberi peringatan secara tertulis oleh pemberi waralaba, jika tiga

kali peringatan secara tertulis penerima waralaba tetap melakukan

kesalahan yang sama pemberi waralaba dapat memutuskan

perjanjian waralaba secara sepihak meskipun jangka waktu

perjanjian belum berakhir.

3) Tidak membeli bahan baku produk dari pemberi waralaba. Cara

Penyelesaiannya sesuai perjanjian adalah dengan musyawarah dan


14

penerima waralaba diberi peringatan secara tertulis oleh pemberi

waralaba, jika tiga kali peringatan secara tertulis penerima

waralaba tetap melakukan kesalahan yang sama pemberi waralaba

dapat memutuskan perjanjian waralaba secara sepihak meskipun

jangka waktu perjanjian belum berakhir.

b. Perlindungan hukum terhadap penerima waralaba dalam perjanjian

waralaba Mister Burger di Daerah Kabupaten Sleman lemah,

Penerima waralaba yang tidak memenuhi kewajiban dalam

perjanjian waralaba dan cara penyelesaian yang dilakukan pemberi

waralaba tidak berdasarkan ketentuan yang ada dalam perjanjian

waralaba yaitu dengan musyawarah dan diberi peringatan secara

tertulis oleh pemberi waralaba, dan jika tiga kali peringatan secara

tertulis penerima waralaba tetap melakukan kesalahan yang sama

pemberi waralaba dapat memutuskan perjanjian waralaba secara

sepihak meskipun jangka waktu perjanjian belum berakhir, tetapi

dalam prakteknya tidak dilakukan musyawarah dan peringatan tertulis

sebanyak tiga kali, pemberi waralaba langsung menghentikan

penjualan bahan baku produk yang berakibat penerima waralaba tidak

dapat membuka stand selama waktu tertentu tindakan ini merugikan

penerima waralaba.

Perbedaan dari skripsi yang saya tulis terhadap skripsi pembanding

yang kedua adalah dari judulnya Pelaksanaan Perjanjian Waralaba

Sedangkan Judul Dari Penulis Perlindungan Hukum Dalam Pelaksanaan


15

Perjanjian Waralaba Antara Pemberi Dan Penerima Waralaba (Studi

Kasus Di Perusahaan PT. Mister Burger Pelita Harapan Indonesia yang

Berkedudukan Di Wilayah Kabupaten Sleman).

3. Skripsi Pembanding 3

Nama : Yuli Antika

NPM : 13113119

Prodi : Jurusan Hukum Ekonomi Syari’ah

Fakultas : Hukum Universitas IAIN METRO

“Perjanjian Waralaba Menurut Hukum Positif Dan Hukum Islam”.

Bagaimana perjanjian waralaba ditinjau dari hukum positif dan

hukum Islam. Berdasarkan hasil penelitian di atas, maka dapat

disimpulkan bahwa perjanjian bisnis waralaba menurut hukum positif pada

pasal 4 PP No.42 Tahun 2007 tentang waralaba, dijelaskan bahwa setiap

perjanjian bisnis waralaba apapun bentuknya harus dibuat secara tertulis

oleh para pihak. Pada Pasal 5 UU No.42 Tahun 2007, perjanjian waralaba

memuat klausula paling sedikit: a) Nama dan alamat para pihak, b) Jenis

hak kekayaan intelektual, c) Kegiatan usaha, d) hak dan kewajiban para

pihak, e) bantuan fasilitas, bimbingan operasional, pelatihan dan

pemasaran yang diberikan pemberi waralaba kepada penerima waralaba, f)

wilayah usaha, g) jangka waktu perjanjian, h) tata cara pembayaran

imbalan, (h) kepemilikan, perubahan kepemilikan dan hak ahli waris, i)

Penyelesaian sengketa; dan j) tata cara perpanjangan, pengakhiran dan

penutupan perjanjian. Dilihat dari sudut pandang hukum ekonomi syariah,


16

perjanjian waralaba termasuk kepada kelompok syirkah (persekutuan), dan

hukumnya dibolehkan.

Pada konteks perjanjian waralaba, pihak-pihak yang bekerja sama

adalah pemberi pemberi waralaba (franchisor) dan penerima waralaba

(franchisee), sedangkan modal dari pemberi waralaba adalah hak

intelektual dalam bentuk nama perusahaan, logo, sistem, dan cara-cara

yang dimiliki dan dikembangkan oleh franchisor. Berdasarkan hasil

penelitian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa perjanjian bisnis

waralaba menurut hukum positif pada pasal 4 PP No.42 Tahun 2007

tentang waralaba, dijelaskan bahwa setiap perjanjian bisnis waralaba

apapun bentuknya harus dibuat secara tertulis oleh para pihak.

Pada Pasal 5 UU No.42 Tahun 2007, perjanjian waralaba memuat

klausula paling sedikit: a) Nama dan alamat para pihak, b) Jenis hak

kekayaan intelektual, c) Kegiatan usaha, d) hak dan kewajiban para pihak,

e) bantuan fasilitas, bimbingan operasional, pelatihan dan pemasaran yang

diberikan pemberi perjanjian, h) tata cara pembayaran imbalan, (h)

kepemilikan, perubahan kepemilikan dan hak ahli waris, i) Penyelesaian

sengketa; dan j) tata cara perpanjangan, pengakhiran dan penutupan

perjanjian. Dilihat dari sudut pandang hukum ekonomi syariah, perjanjian

waralaba termasuk kepada kelompok syirkah (persekutuan), dan

hukumnya dibolehkan. Pada konteks perjanjian waralaba, pihak-pihak

yang bekerja sama adalah pemberi pemberi waralaba (franchisor) dan

penerima waralaba (franchisee), sedangkan modal dari pemberi waralaba


17

adalah hak intelektual dalam bentuk nama perusahaan, logo, sistem, dan

cara-cara yang dimiliki dan dikembangkan oleh franchisor.

Perbedaan dari skripsi yang saya tulis terhadap skripsi pembanding

yang ketiga adalah dari judulnya “Perjanjian Waralaba Menurut Hukum

Positif Dan Hukum Islam” Sedangkan Judul dari penulis “Perlindungan

Hukum Dalam Pelaksanaan Perjanjian Waralaba Antara Pemberi Dan

Penerima Waralaba (Studi Kasus Di Perusahaan PT. Mister Burger Pelita

Harapan Indonesia yang berkedudukan di Wilayah Kabupaten Sleman)”.

F. Tinjauan Pustaka

1. Pengertian Perjanjian

Kitab Undang-undang Hukum Perdata menggunakan istilah perjanjian,

yang menurut Subekti terjemahan dari kata overeenkomst1. Para sarjana

hukum di Indonesia menerjemahkan kata atau istilah tersebut secara berlainan.

Sri Soedewi Masjchoen Sofwan menjelaskan dirasakan sebagai hal

yang sudah sewajarnya bahwa tidak dipenuhinya suatu perutangan tidak dapat

dipertanggung-gugatkan kepada debitur jika ia tak mempunyai kesalahan,

melainkan tidak dipenuhinya itu disebabkan karena adanya overmacht (force

majeure, keadaan memaksa).

Didalam Undang-undang pertimbangan yang demikian itu tercantum

dalam pasal 1244 dan 1245, sedangkan pasal 1444 juga penting artinya, dalam

hal ini. Akan tetapi ketentuan-ketentuan undang-undang ini dalam

perumusannya terlalu sempit, sedangkan penempatannya juga tidak begitu

1
Subekti, 1989, Hukum Perjanjian, Citra Aditya Bakti, Bandung, hal.1.
18

tepat, karena tidak hanya gugat untuk pengganti kerugian dapat dielakkan

dengan mengemukakan overmacht tapi juga gugat untuk pemenuhan.

Maksud dari pasal 1244 dan pasal 1245 kira-kira sama saja, maka itu

bahwasanya pasal-pasal itu dibuat berdampingan kiranya harus dipandang

sebagai satu kesatuan pada waktu pembentukan B.W. Tetapi ps. 1244 isinya

agak lebih banyak, sekedar disitu jelas dikemukakan bahwa dalam hal

dikemukakan adanya overmacht, beban pembuktian terletak pada debitur 2.

Menurut Setiawan,overeenkomst berasal dari kata overeem komen yang

berarti setuju ataupun sepakat,karena itulah dipergunakannya istilah

persetujuan untuk menerjemahkan istilah overeenkomst.3

Menurut Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo, mengemukakan pengertian

perjanjian menurut teori klasik yang dimaksud dengan perjanjian itu adalah

suatu perbuatan hukum yang berisi dua (“een tweezijdige overeenkomst”)

yang didasarkan atas kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum.

Perjanjian diatur dalam Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum

Perdata yaitu:“Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu

orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih".

Menurut definisi yang konvensional perjanjian bukan hubungan

hukum melainkan perbuatan hukum. Perjanjian hendaknya dibedakan dari

janji. Meskipun janji itu didasarkan atas kata sepakat, namun kata sepakat itu

tidak untuk menimbulkan akibat hukum, yang berarti bahwa apabila janji itu

dilanggar maka tidak ada akibat hukumnya, si pelanggar tidak dapat


2
Ny. Sri Soedewi Masjchoen Sofan, 1980, Hukum Perutangan Bagian A, Seksi Hukum
Perdata Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada Yogyakarta, Liberty, Yogyakarta, hal. 19.
3
Setiawan, 1987, Pokok-pokok Hukum Perjanjian, Liberty, Yogyakarta, hal. 2.
19

dikenakan sanksi.4

Definisi yang diberikan Pasal 1313 Kitab Undang-undang Hukum

Perdata kurang memuaskan karena terdapat adanya kelemahan-kelemahan.

Adapun mengenai kelemahan tersebut antara lain sebagai berikut:

a. Dari kata mengikatkan sifatnya hanya datang dari satu pihak saja,tidak

dari kedua belah pihak. Sebenarnya perumusan itu saling mengikatkan

diri, jadi ada konsensus yang sama antara pihak-pihak yang

bersangkutan.

b. Dalam pengertian perbuatan termasuk tindakan melaksanakan tugas

tanpa kuasa.perbuatan yang tidak mengandung konsensus.

c. Pengertian perjanjian dalam perumusan pasal ini terlalu luas,hal ini

karena mencakup juga janji kawin yang diatur dalam lapangan hukum

keluarga.Padahal yang dimaksud janji kawin adalah hubungan antara

suami dan istri dalam lapangan hukum harta kekayaan saja.

d. Dalam perumusan pasal ini tidak disebutkan tujuan mengadakan

perjanjian, sehingga pihak-pihak yang mengikatkan diri itu tidak jelas

untuk apa.5

“Abdulkadir Muhammad merumuskan perjanjian sebagai persetujuan

dengan mana dua orang atau lebih saling mengikatkan diri untuk melakukan

suatu hal".6 "Subekti,memberikan pengertian perjanjian sebagai suatu

perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seseorang berjanji kepada orang lain

4
Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo, 2010, Mengenal Hukum Suatu Pengantar (edisi
Revisi), Cahaya Atma Pustaka, Yogyakarta, hal. 153.
5
Abdulkadir Muhammad, 1992, Hukum Perikatan, Pt. Citra Aditya Bakti, Bandung, hal.
78.
6
Ibid.
20

atau dua orang yang saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal"7

Berdasarkan rumusan pengertian perjanjian yang telah dikemukakan

oleh para sarjana hukum tersebut, maka jika dirinci mempunyai unsur-unsur

yang dapat diuraikan sebagai berikut:

a. Ada dua pihak atau lebih

Para pihak yang disebutkan itu adalah subjek pada perjanjian yang

dapat berupa manusia pribadi atau badan hukum. Untuk dapat

membuat perjanjian tersebut harus mampu atau wenang melakukan

perbuatan hukum seperti yang telah ditetapkan dalam undang-undang.

b. Ada kesepakatan diantara para pihak

Kesepakatan yang dimaksud adalah yang bersifat tetap,artinya tidak

termasuk tindakan-tindakan pendahuluan untuk mencapai kepada

adanya persetujuan atau kesepakatan. Persetujuan ini dapat diketahui

dari penerimaan tanpa syarat atas suatu tawaran yang berarti apa yang

ditawarkan pihak yang satu diterima oleh pihak lainnya.

c. Ada tujuan yang akan dicapai.

Tujuan para pihak mengadakan perjanjian adalah agar memenuhi

kebutuhan pihak-pihak, oleh karena itu didalamnya harus ada tujuan

yang akan dicapai.Tujuan tersebut tidak boleh bertentangan dengan

ketertiban umum,kesusilan dan tidak dilarang oleh undang-undang.

d. Ada prestasi yang harus dilaksanakan

Dalam suatu perjanjian, para pihak di samping memperoleh hak

dibebani pula dengan kewajiban-kewajiban yang berupa suatu


7
Subekti, loc. cit.
21

prestasi.Prestasi merupakan suatu kewajiban yang harus dipenuhi oleh

pihak-pihak sesuai persyaratan atau syarat-syarat perjanjian, misalnya

penjual berkewajiban menyerahkan barang yang telah dijualnya.8

2. Asas-asas Hukum Perjanjian

a. Asas Kepribadian/Personalia

Asas personalia atau asas kepribadian dapat diartikan bahwa

seseorang tidak dapat membuat perjanjian untuk orang lain,kecuali

diadakan perjanjian untuk itu.Hal ini dapat dinyatakan dari bunyi Pasal

1315 Kitab Undang-undang Hukum Perdata,yaitu: “Pada umumnya tidak

seorang dapat mengadakan perikatan atau perjanjian selain untuk dirinya

sendiri". Pengecualian dari Pasal 1315 Kitab Undang-undang Hukum

Perdata terdapat dalam Pasal 1317 Kitab Undang undang Hukum Perdata

yang menyatakan:

"Dapat pula diadakan perjanjian untuk kepentingan orang ketiga,


itu suatu perjanjian yang dibuat untuk diri sendiri, atau suatu pemberian
kepada orang lain, mengandung, syarat semacam tu.siape gun yang telah
menentukan suatu syarat, tidak boleh menariknya kembali, jika pihak
ketiga telah menyatakan akan mempergunakan syarat itu".

b. Asas Konsensualitas

Asas ini berkaitan dengan saat lahirnya suatu perjanjian,Asas ini

menyatakan bahwa perjanjian sudah lahir pada saat tercapainya kata

sepakat(konsensus) diantara para pihak mengenai unsur-unsur pokoknya.

Undang-undang tidak memberikan ketentuan mengenai bentuk untuk

menyatakan tercapainya kata sepakat atau konsensus itu,dengan demikian


8
Abdulkadir Muhammad, 1992, Hukum Perikatan, Pt. Citra Aditya Bakti, Bandung, hal.
80-81.
22

dimungkinkan terjadinya kesepakatan itu dengan tidak tertulis. Bentuk

tertulis dan tidak tertulis dari kesepakatan ini, maka di dalam praktek

sekarang terhadap perjanjian-perjanjian tertentu yang sifatnya sangat

penting atau vital dituntut suatu bentuk tertentu yaitu tertulis. misalnya

penghibahan, pertanggungan, pemborongan dan lain sebagainya,

perjanjian demikian ini disebut perjanjian formil.

Adanya bentuk perjanjian yang tertulis dewasa ini memang sangat

diperlukan, karena demi menjaga kepastian hukum diantara para pihak

yang terlibat dalam perjanjian tersebut.

c. Asas Kebebasan Berkontrak

Menurut asas ini,hukum perjanjian memberikan peluang kepada

masyarakat untuk menentukan isi perjanjian,baik itu mengenai bentuk

maupun objek dari perjanjian tersebut. Kebebasan berkontrak haruslah

memperhatikan batasan-batasan tertentu sebagaimana dimaksudkan dalam

Pasal 1337 Kitab Undang-undang Hukum Perdata yang intinya

memberikan batasan yaitu tidak dilarang oleh undang-undang,tidak

bertentangan dengan kesusilaan dan ketertiban umum.

Asas kebebasan berkontrak dapat ditafsirkan dari ketentuan Pasal

1338 ayat(1) Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Hal ini jelasnya dapat

diberikan suatu penekanan dari perkataan semua yang berarti adanya suatu

kebebasan bagi masyarakat untuk menentukan sendiri perjanjian yang

mereka buat yang selanjutnya akan berlaku sebagai undang-undang yang

mengikat bagi yang mengadakan perjanjian itu.


23

Perjanjian hendaknya dibedakan dari janji. Meskipun janji itu

didasarkan atas kata sepakat, namun kata sepakat itu tidak untuk

menimbulkan akibat hukum, yang berarti bahwa apabila janji itu dilanggar

maka tidak ada akibat hukumnya, si pelanggar tidak dapat dikenakan

sanksi.9

Terbuka peluang bagi masyarakat untuk membuat perjanjian baru

selain yang telah ditentukan oleh Kitab Undang-undang Hukum Perdata.

Selain itu ketentuan Pasal 1338 Kitab Undang-undang Hukum Perdata

tersebut juga mencerminkan kesadaran pembentuk undang-undang

terhadap ketidaklengkapan ketentuan-ketentuan hukum perjanjian yang

tertuang dalam Buku III Kitab Undang-undang Hukum Perdata.

d. Asas Kekuatan Mengikat Perjanjian

Pengertian asas kekuatan mengikat perjanjian ini adalah para pihak

yang telah mengadakan perjanjian tersebut masing-masing terikat dengan

ketentuan yang terdapat didalam perjanjian yang telah diadakan tersebut.

Asas ini dapat ditafsirkan dari ketentuan-ketentuan Pasal 1338 ayat (1) dan

(2) Kitab Undang-undang Hukum Perdata yang berbunyi sebagai berikut:

1) Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-

undang bagi mereka yang membuatnya.

2) Perjanjian-perjanjian itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan

kesepakatan kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang

oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu.


9
Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo, 2010, Mengenal Hukum Suatu Pengantar (edisi
Revisi), Cahaya Atma Pustaka, Yogyakarta, hal. 153.
24

Berdasarkan ketentuan Pasal 1338 ayat(1) dan (2)Kitab Undang-

undang Hukum Perdata tersebut dapat diketahui bahwa ketentuan-

ketentuan yang telah disepakati oleh para pihak akan mempunyai kekuatan

mengikat yang sama besarnya bagi kedua belah pihak. Bagi para

pihak,ketentuan-ketentuan dalam perjanjian tersebut merupakan suatu

ketentuan yang harus ditaati. Adanya penyimpangan dan pelanggaran oleh

salah satu pihak di dalam perjanjian akan berakibat pihak lawan dapat

mengajukan tuntutan atas dasar wanprestasi atau adanya ingkar janji.

e. Asas Itikad Baik

Asas itikad baik ini merupakan asas yang berkaitan dengan

pelaksanaan perjanjian. Di dalam asas ini ditentukan bahwa suatu

perjanjian haruslah dilaksanakan dengan itikad baik, sebagaimana yang

diatur dalam Pasal 1338 ayat(3) Kitab Undang-undang Hukum Perdata.

Pengertian asas itikad baik di dalam hukum perjanjian dan hukum benda

adalah tidak sama. Pengertian asas itikad baik di dalam hukum benda

bersifat subjektif, yaitu kejujuran atau bersih. Hal ini diketahui dari adanya

beberapa istilah di dalam hukum benda seperti,pembeli beritikad baik dan

sebagainya, sedangkan pengertian asas itikad baik dalam hukum perjanjian

adalah bahwa pelaksanaan suatu perjanjian harus berjalan sesuai dengan

mestinya, sesuai dengan ukuran objektif masyarakat. Hal ini adalah

terletak pada untuk menjamin kepastian hukum, sebab dengan adanya

pelaksanaan perjanjian secara baik dan tidak akan terjadi suatu

penyimpangan terhadap suatu perjanjian di dalam pelaksanaan.


25

Subekti dalam hal ini mengemukakan itikad baik dalam

pelaksanaan perjanjian adalah berarti keputusan, yaitu penilaian baik

terhadap tindak tanduk suatu pihak dalam hal melaksanakan apa yang

telah diperjanjikan dan bertujuan untuk mencegah kelakuan yang tidak

patut dan sewenang-wenang dari salah satu pihak.10

Menurut sifatnya asas itikad baik dapat dibagi menjadi 2

(dua),yaitu itikad baik subjektif dan itikad baik objektif. Itikad baik

subjektif merupakan kejujuran pada saat dimulainya suatu perhubungan

hukum. Berkaitan dengan hal ini Wirjono Prodjodikoro, mengemukakan

sebagai berikut:

“Kejujuran pada waktu mulai berlakunya perhubungan hukum


biasanya berupa pengiraan dalam hati sanubari yang bersangkutan,
bahwa syarat-syarat yang diberlakukan bagi mulai berlakunya
perhubungan hukum itu sudah dipenuhi semua, sedang kemudian ternyata
sebetulnya ada syarat yang tidak dipenuhi. Dalam hal yang demikian ini
bagi pihak yang jujur tidak boleh dirugikan sebagai akibat tidak
dipenuhinya syarat termasuk di atas.”11

Di dalam asas itikad baik subyektif yang menjadi ukuran atau tolok

ukurnya adalah pada keadaan kejiwaan seseorang pada waktu permulaan

perhubungan hukum. Wirjono Prodjodikoro mengemukakan, asas itikad

baik merupakan kejujuran di dalam melaksanakan hak-hak dan kewajiban

dalam perhubungan hukum, dimana yang menjadi titik berat dari itikad

baik disini adalah terletak pada tindakan yang akan dilakukan oleh kedua

10
Subekti, 1989, Aspek-aspek Hukum Perikatan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hal.
27.
11
Wirjono Prodjodikoro, 1987, Asas-asas Hukum Perdata, Sumur Bandung, Bandung,
hal. 42.
26

belah pihak sebagai pelaksanaan terhadap sesuatu hal.12

3. Unsur dan Syarat Sahnya Perjanjian

Unsur-unsur yang harus ada dalam suatu perjanjian:

a. Unsur Essensialia

Unsur ini merupakan unsur yang harus dipenuhi dalam suatu

perjanjian. Sifatnya mutlak,tanpa adanya unsur ini maka tidak ada

perjanjian. Misalnya, kewajiban mengembalikan pinjaman.13

b. Unsur Naturalia

Unsur yang tidak secara tegas disebut dalam suatu perjanjian walaupun

diatur dalam undang-undang.Unsur ini diatur oleh pembentuk undang-

undang dalam suatu hukum yang sifatnya pelengkap, jadi unsur ini

tanpa diperjanjikan telah melekat secara diam-diam dan dengan

sendirinya. Misalnya,berpindahnya hak milik suatu barang yang

diperjanjikan.14

c. Unsur Accidentalia

Unsur yang ditambah sendiri oleh para pihak dan harus disebutkan

dalam suatu perjanjian.Hal ini dibolehkan oleh undang-undang dan

dinyatakan secara tegas. Misalnya, kewajiban mengembalikan

pinjaman uang beserta bunganya.[15]

Pasal 1320 Kitab Undang-undang Hukum Perdata disebutkan bahwa

untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan 4 (empat) syarat, yaitu:

12
Ibid, hal. 46.
13
Mariam Darus Badrulzaman, 2001, Kompilasi Hukum Perikatan, PT.Citra Aditya
Bakti, Bandung, hal. 74.
14
Ibid.
27

1) Sepakat mereka yang mengikatkan diri;

2) Adanya kecakapan untuk membuat suatu perjanjian;

3) Adanya hal tertentu;

4) Suatu sebab yang halal.

Keempat syarat di atas merupakan syarat mutlak di dalam perjanjian

yang harus dipenuhi oleh para pihak apabila ingin perjanjian tersebut sah.

Tidak dipenuhinya keempat syarat tersebut akan berakibat perjanjian itu batal

atau dapat dibatalkan. Hal ini tergantung pada syarat mana dari keempat syarat

tersebut tidak dipenuhi, karena keempat syarat tersebut dapat digolongkan

menjadi 2 (dua) bagian, yaitu:15

a. Syarat subyektif, adalah syarat yang menyangkut subjek dari suatu

perjanjian atau syarat yang melekat pada subyek-subyek yang

mengikat dirinya dalam suatu perjanjian. Apabila syarat ini tidak

dipenuhi maka akibat hukumnya perjanjian ini dapat dibatalkan.

Termasuk syarat subyektif adalah syarat sepakat mereka mengikatkan

diri dan adanya kecakapan untuk membuat suatu perjanjian.

b. Syarat obyektif, adalah suatu syarat yang menyangkut objek perjanjian

itu sendiri. Apabila syarat ini tidak dipenuhi maka akibat hukum dari

perjanjian itu adalah batal demi hukum.Termasuk syarat obyektif

adalah syarat suatu hal tertentu dan suatu sebab yang halal.

Pengertian perjanjian dapat dibatalkan ini adalah, perjanjian yang telah

ada tetap terus berjalan selama belum ada atau tidak diadakan pembatalan
15
Ibid, hal. 75.
28

yang dilakukan oleh hakim pengadilan atas permintaan yang berhak meminta

pembatalan. Berbeda dengan pengertian batal demi hukum. Apabila perjanjian

batal demi hukum maka maksudnya perjanjian itu sejak semula dianggap tidak

pernah ada, dengan demikian perjanjian itu menjadi batal tanpa campur tangan

dari hakim.

Adanya perbedaan dapat dibatalkan dan batal demi hukum ini menurut

Subekti, merupakan suatu sistem logis dan dapat dianut dimana-mana,dan

lebih lanjut beliau mengemukakan sebagai berikut:“Sistem tersebut logis

karena tidak dipenuhinya syarat subyektif tidak dapat dilihat oleh hakim dan

karenanya harus diajukan kepadanya oleh yang berkepentingan,sedangkan hal

tidak dipenuhinya syarat obyektif seketika dapat dilihat oleh hakim".16

Dari 4 (empat) syarat sahnya perjanjian tersebut selanjutnya akan

diuraikan satu-persatu agar dapat diberikan gambaran secara jelas.

a. Sepakat mereka mengikatkan dirinya. Sepakat dimaksudkan bahwa

kedua belah pihak yang mengadakan perjanjian itu harus setuju,

mengenai hal-hal pokok dari perjanjian yang diadakan itu, apa yang

dikehendaki oleh pihak yang satu juga dikehendaki oleh pihak yang

lain. Mereka menghendaki sesuatu secara timbal balik. Persetujuan

kedua belah pihak yang merupakan sepakat itu harus diberikan secara

bebas. Dalam hukum perjanjian ada 3 (tiga) sebab yang memuat

perjanjian tidak bebas, yaitu adanya paksaan, kekhilafan dan penipuan.

Hal ini secara tegas diatur di dalam ketentuan Pasal 1321 Kitab

16
Prof. Subekti, 1979, Hukum Perjanjian Cetakan ke XII, PT Intermasa Indonesia, hal.
26.
29

Undang-undang Hukum Perdata yang menyebutkan: “Tidak sepakat

yang satu apabila sepakat itu diberikan karena kekhilafan atau

diperoleh dengan paksaan atau penipuan". Mengenai kekhilafan Pasal

1321 kitab Undang-undang Hukum Perdata menentukan sebagai

berikut:

1) Kekhilafan tidak membuat batalnya suatu perjanjian apabila

kekhilafan itu terjadi mengenai hakekat barang yang menjadi

pokok perjanjian.

2) Kekhilafan tidak menjadi sebab kebatalan, jika kekhilafan itu

hanya terjadi mengenai dirinya orang dengan siapa seseorang

bermaksud membuat suatu perjanjian, kecuali jika perjanjian itu

dibuat terutama karena mengingat dirinya orang tersebut.

3) Kekhilafan hanya akan mengakibatkan dapat dibatalkan apabila

kekhilafan itu mengenai hakikat barang yang menjadi objek

perjanjian serta mengenai orangnya, apabila perjanjian itu dibuat

terutama mengenai dirinya orang itu.

Pengertian paksaan dalam ketentuan Pasal 1324 Kitab Undang-

undang Hukum Perdata menyebutkan: “Paksaan telah terjadi, apabila

perbuatan itu sedemikian rupa sehingga dapat menakutkan seseorang yang

berpikiran sehat,dan apabila perbuatan itu dapat menimbulkan ketakutan

pada orang tersebut bahwa dirinya atau kekayaannya terancam dengan

suatu kerugian yang terang dan nyata". Paksaan yang dimaksud pada

ketentuan Pasal 1324 Kitab Undang-undang Hukum Perdata adalah,


30

paksaan yang berupa paksaan rohani dan paksaan jiwa, bukannya paksaan

yang ancamannya berupa suatu tindakan yang diizinkan undang-undang,

misalnya; akan digugat dimuka hakim, dalam hal ini tidak dapat dikatakan

adanya paksaan.17

Pasal 1328 Kitab Undang-undang Hukum Perdata menentukan:

1) Penipuan dapat dijadikan alasan pembatalan perjanjian,apabila tipu

muslihat yang dipakai oleh salah satu pihak adalah sedemikian

rupa hingga terang dan nyata bahwa pihak yang lain tidak telah

membuat perikatan itu jika tidak dilakukan tipu muslihat.

2) Penipuan tidak dipersangkakan,tetapi harus dibuktikan. Penipuan

tidaklah cukup jika seseorang berbohong saja,akan tetapi haruslah

merupakan kebohongan atau rangkaian kebohongan atau suatu

perbuatan yang disebutkan tipu muslihat.

Apabila suatu kesepakatan dalam suatu perjanjian telah

dicapai,maka perjanjian dapat dimintakan suatu pembatalan oleh pihak

yang dirugikan itu melakukan sikap positif,yaitu tidak melaksanakan isi

perjanjian tersebut, menunggu pihak lawan akan menggugat di muka

hakim. Inilah saatnya ia dapat mengajukan pembelaannya bahwa dalam

memberikan kesempatan dalam perjanjian telah terjadi suatu kekhilafan,

paksaan dan atau penipuan terhadap dirinya oleh pihak lawan.18

b. Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian. Kitab Undang-undang

Hukum Perdata tidak ditemukan mengenai siapa saja yang dinyatakan

17
Yahya Harahap, 1986, Segi-segi Hukum Perjanjian, Alumni, Bandung, hal. 47.
18
lbid, hal.17.
31

cakap untuk membuat suatu perjanjian,namun demikian hal ini dapat

disimpulkan dengan melakukan penafsiran a contrario terhadap

ketentuan Pasal 1330 Kitab Undang-undang Hukum Perdata.

Ketentuan Pasal 1330 Kitab Undang-undang Hukum Perdata itu

menyebutkan mengenai orang-orang yang tidak cakap membuat suatu

perjanjian, yaitu:

1) Orang yang belum dewasa.

2) Orang yang ditaruh di bawah pengampuan.

3) Orang perempuan dalam hal-hal yang ditetapkan oleh undang-

undang dan semua orang kepada siapa undang-undang telah

melarang membuat perjanjian tertentu.

Pada dasarnya setiap orang yang sudah dewasa dan sehat

pikirannya, adalah cakap menurut hukum untuk membuat suatu

perjanjian.Disamping itu pihak yang membuat suatu perjanjian harus

mempunyai cukup kemampuan untuk menginsafi benar-benar akan

tanggung-jawab yang dipikul dari apa yang telah diperbuatnya.

c. Suatu hal tertentu

Pengertian hal tertentu di sini adalah adanya obyek dan perjanjian

yang dibuat tersebut.Dalam membuat suatu perjanjian, obyek dari

perjanjian itu haruslah tertentu atau setidak-tidaknya dapat ditentukan

terlebih dahulu. Hal ini untuk menghindari kesimpangsiuran mengenai hak

dan kewajiban para pihak yang ada dalam perjanjian tersebut.19


19
Ibid, hal. 9.
32

Mengenai benda-benda yang dapat dijadikan objek perjanjian

menurut Pasal 1332 Kitab Undang-undang Hukum Perdata disebutkan:

“Hanya barang-barang yang diperdagangkan saja yang dapat dijadikan

pokok perjanjian". Konsekuensi bagi perjanjian yang objeknya benda

diluar perdagangan menjadi tidak sah dan batal menurut hukum.Selain itu

juga perjanjian tersebut tidak mempunyai kekuatan mengikat semenjak

perjanjian itu dibuat para pihak.

d. Suatu sebab yang halal

Menurut ketentuan Pasal 1320 Kitab Undang-undang Hukum

Perdata dimaksudkan sebab yang halal adalah dalam arti isi perjanjian

sendiri yang menggambarkan tujuan yang akan dicapai pihak-pihak yang

membuat perjanjian. Jadi yang dimaksud sebab itu bukanlah sesuatu yang

menyebabkan seseorang membuat perjanjian.Undang-undang tidaklah

menghiraukannya apa yang ada dalam gagasan atau pikiran seseorang.

melainkan yang diperhatikan oleh hukum atau undang-undang hanyalah

tindakan-tindakan orang yang nyata-nyata dilakukan. Berdasarkan

ketentuan Pasal 1337 Kitab Undang-undang Hukum Perdata,sesuatu sebab

itu halal apabila tidak bertentangan dengan undang-undang,ketertiban

umum dan kesusilaan, sehingga suatu perjanjian yang dibuat dengan sebab

yang tidak halal atau sebab yang terlarang,maka mengakibatkan perjanjian

tersebut menjadi batal demi hukum.

4. Jenis-jenis Perjanjian

Mengenai jenis-jenis perjanjian, antara lain seperti yang diuraikan di


33

bawah ini :

a. Perjanjian Berdasarkan Kriteria Hak dan Kewajiban

1) Perjanjian Sepihak, adalah perjanjian yang menimbulkan

kewajiban kepada satu pihak saja, sedangkan pada pihak lainnya

ada hak saja. Pihak yang satu berkewajiban menyerahkan benda

yang menjadi objek perikatan, dan pihak yang lainnya berhak

menerima benda yang diberikan, misalnya perjanjian hibah dan

hadiah.

2) Perjanjian Timbal Balik,adalah perjanjian yang memberikan hak

dan kewajiban kepada kedua belah pihak. Perjanjian timbal balik

terbagi dalam 2 jenis perjanjian, yaitu:

a. Perjanjian Timbal Balik Sempurna, yaitu suatu perjanjian

dimana antara kedua belah pihak dibebani hak dan kewajiban

yang seimbang, misalnya perjanjian jual-beli, perjanjian sewa-

menyewa, perjanjian sewa-beli.

b. Perjanjian Timbal Balik Tidak Sempurna, yaitu suatu

perjanjian dimana salah satu pihak dibebani kewajiban yang

tidak seimbang dengan kewajiban pihak lainnya, misalnya pada

Pasal 1800 dan Pasal 1808 Kitab Undang-undang Hukum

Perdata tentang pemberian kuasa.20

Kriteria perjanjian jenis ini adalah kewajiban berprestasi kedua

belah pihak atau satu pihak. Prestasi biasanya berupa benda bergerak

20
Ibid, hal.34.
34

maupun tidak bergerak, atau benda tidak berwujud, misalnya hak

untuk menghuni rumah. Perbedaan ini mempunyai arti penting dalam

praktek terutama soal pemutusan perjanjian menurut Pasal 1266 kitab

Undang-undang Hukum Perdata. Menurut ketentuan pasal ini, salah

satu syarat adanya pemutusan perjanjian itu apabila perjanjian itu

bersifat timbal balik.

b. Perjanjian Berdasarkan Kriteria Keuntungan yang diperoleh para Pihak

dari Suatu Perjanjian

1) Perjanjian cuma-cuma, adalah perjanjian yang hanya memberikan

keuntungan pada satu pihak saja, misalnya perjanjian pinjam pakai,

perjanjian hibah.

2) Perjanjian dengan alas hak yang membebani, adalah perjanjian

dalam mana terhadap prestasi dari pihak yang satu selalu terdapat

kontra prestasi dari pihak yang lainnya, sedangkan antara kedua

prestasi itu ada hubungannya menurut hukum.Kontra prestasi dapat

berupa kewajiban pihak lainnya, tetapi juga pemenuhan suatu

syarat imbalan, misalnya: A menyanggupi memberi sejumlah uang

kepada B, jika B menyerah lepaskan suatu barang tertentu kepada

A.21

c. Perjanjian Berdasarkan Kriteria Tujuan

1) Perjanjian Kebendaan, adalah perjanjian untuk memindahkan hak

milik, misalnya dalam perjanjian jual-beli.


21
Ibid, hal 35.
35

2) Perjanjian Obligatoir, adalah perjanjian yang baru menimbulkan

hubungan hukum, artinya sejak terjadi perjanjian timbulah hak dan

kewajiban pihak-pihak, misalnya dalam perjanjian jual-beli dimana

pembeli berhak menuntut penyerahan barang dan penjual berhak

menuntut pembayaran harga, dengan kata lain belum terjadi

penyerahan hak milik.

Pentingnya pembedaan ini adalah untuk mengetahui apakah dalam

perjanjian itu ada penyerahan (levering) sebagai realisasi dan penyerahan

itu sah menurut hukum atau tidak.22

d. Perjanjian Berdasarkan Kriteria cara terbentuknya Perjanjian

1) Perjanjian Konsensuil, adalah perjanjian yang sudah terjadi dengan

adanya kata sepakat antara para pihak.

2) Perjanjian Riil, adalah perjanjian disamping telah ada persetujuan

kehendak juga sekaligus ada penyerahan nyata atas barangnya,

misalnya, perjanjian penitipan, perjanjian pinjam pakai (Pasal

1694, 1970 dan Pasal 1754 Kitab Undang-undang Hukum

Perdata).

3) Perjanjian Formal, adalah perjanjian yang diadakan dengan bentuk

tertentu, seperti harus dibuat dengan akta notaris, jadi perjanjian ini

dianggap sah kalau dibuat dengan akta notaris.23

e. Perjanjian Berdasarkan Kriteria Nama dan tempat pengaturan


22
Suryodiningrat, 1991, Perikatan-perikatan Bersumber Perjanjian, Tarsito,
Bandung, hal. 83.
23
Ibid, hal. 85.
36

Perjanjian

1) Perjanjian Bernama, adalah suatu perjanjian yang dibuat dengan

nama sendiri, hal ini dalam praktek dikenal dengan sebutan

perjanjian khusus.

2) Perjanjian Tidak Bernama, adalah suatu perjanjian yang tidak

mempunyai nama khusus, ini termasuk perjanjian jenis baru yang

terbagi dalam 2 (dua) jenis perjanjian:

a) Perjanjian jenis baru mandiri, yaitu suatu perjanjian yang

mempunyai karakter tersendiri.

b) Perjanjian jenis baru campuran, yaitu suatu perjanjian yang

didalamnya terdapat unsur-unsur dari perjanjian bernama.24

Pasal 1319 Kitab Undang-undang Hukum Perdata menyebutkan

bahwa ada perjanjian yang mempunyai nama sendiri dan perjanjian yang

dikenal tanpa nama khusus. Maksud pembedaan pada Pasal 1319 Kitab

Undang-undang Hukum Perdata tersebut adalah, bahwa ada perjanjian

yang tidak hanya dikuasai ajaran umum sebagaimana terdapat dalam titel

1,II,III,dari Buku Ketiga Kitab Undang-undang Hukum Perdata.

f. Jenis-jenis Perjanjian yang Lain

1) Perjanjian Liberatoir, adalah perjanjian yang sifatnya tidak

menimbulkan kewajiban, melainkan terutama membebankan

kewajiban-kewajiban yang sudah ada. Perjanjian demikian dapat

dipandang sebagai pembebasan utang dan dapat merupakan


24
Yahya Harahap, op.cit., hal. 38.
37

pembaharuan utang yang mana perjanjian tersebut sifatnya

liberatoir.

2) Perjanjian Publiek Rechtelijk, adalah perjanjian-perjanjian yang

seluruh atau sebagian dikuasai oleh hukum publik. Dalam

perjanjian ini penguasa dapat bertindak sebagai perseorangan biasa

dan dapat bertindak sebagai penguasa.25

3) Perjanjian Untung-untungan, adalah suatu perjanjian yang hasilnya

mengenai untung ruginya, baik bagi semua maupun bagi sementara

pihak, tergantung dari suatu kejadian yang belum tahu. Misalnya

perjanjian pertanggungan yang belum diatur dalam Kitab Undang-

undang Hukum Perdata.26

5. Pihak dalam Perjanjian serta Hak dan Kewajibannya

Pendukung dalam hukum perjanjian sekurang-kurangnya harus ada 2

(dua) orang yang disebut subyek perjanjian. Masing-masing orang menduduki

tempat yang berbeda,satu orang menjadi kreditur yang berhak atas prestasi

dan orang lainnya sebagai debitur yang wajib memenuhi prestasi. “Pihak-

pihak dalam perjanjian dapat berupa manusia pribadi (persoon) atau

lembaga/badan hukum(recht persoon).” 27

Subyek perjanjian harus mampu dan wenang melakukan tindakan

hukum seperti yang ditetapkan oleh undang-undang. Sesuai dengan teori dan

praktek hukum,yang dapat menjadi kreditur atau debitur adalah terdiri dari:

25
Ibid., hal. 41.
26
Suryodiningrat, op.cit., hal. 90.
27
Subekti, op.cit., hal. 27.
38

a. Individu sebagai person.

1) Manusia tertentu (persoon);

2) Badan Hukum (recht persoon).

b. Seseorang atas keadaan atau kedudukan tertentu bertindak untuk dan

atas nama orang tertentu.

c. Seseorang yang menggantikan kedudukan debitur semula, baik atas

dasar bentuk perjanjian maupun atas izin dan persetujuan kreditur.

Hak dan kewajiban para pihak adalah merupakan isi dari perjanjian itu

sendiri. Karena menyangkut isi perjanjian, maka didasarkan atas asas

kebebasan berkontrak, di mana isi perjanjian bebas diserahkan kepada para

pihak untuk menentukannya. Hak dan kewajiban inipun bebas tergantung

kepada para pihak untuk menentukannya, apa yang menjadi hak dari satu

pihak dan apa yang menjadi kewajiban dari pihak yang lain. Orang yang

berhak atas suatu prestasi disebut kreditur sedangkan yang berkewajiban

memenuhi suatu prestasi disebut debitur.

Pada hakikatnya hak di satu pihak adalah merupakan kewajiban pihak

lain, dengan kata lain prestasi yang merupakan hak dari kreditur adalah

merupakan kewajiban bagi debitur untuk memenuhinya. “Jadi baik kreditur

maupun debitur sama-sama berorientasi pada satu hal yaitu prestasi,karena

kreditur berhak atas prestasi dan debitur berkewajiban untuk memenuhi

prestasi.”28

6. Wanprestasi dan Overmacht dalam Perjanjian


28
Yahya Harahap, op.cit, hal. 17.
39

“Wanprestasi berasal dari istilah aslinya bahasa Belanda wanprestasi,

artinya tidak memenuhi kewajiban yang telah ditetapkan dalam perikatan,baik

perikatan yang timbul karena perjanjian maupun perikatan yang timbul karena

undang-undang”.29 Tidak terpenuhinya kewajiban ada 2 (dua) kemungkinan,

yaitu:

a. Karena kesalahan debitur,baik karena kesengajaan maupun karena

kelalaian yang disebut wanprestasi;

b. Karena keadaan memaksa (overmacht), jadi di luar kemampuan

manusia.

Syarat/unsur apakah debitur melakukan wanprestasi perlu ditentukan

dalam keadaan bagaimana debitur itu dikatakan sengaja atau lalai tidak

memenuhi salah satu dari 4 (empat) macam wanprestasi, yaitu:

a. Debitur tidak memenuhi prestasi sama sekali, artinya debitur tidak

memenuhi kewajiban yang telah disanggupinya untuk dipenuhi dalam

suatu perjanjian;

b. Debitur memenuhi prestasi,tetapi tidak sebagaimana yang

diperjanjikan;

c. Debitur memenuhi prestasi, tetapi tidak tepat waktunya;

d. Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukan.

Cara memperingatkan debitur supaya ia memenuhi prestasinya apabila

tenggang waktu pelaksanaan pemenuhan prestasi tidak ditentukan dalam

perjanjian adalah, debitur perlu diperingatkan secara tertulis dengan surat

perintah atau akta sejenis itu, jika tidak dipenuhi ia telah dinyatakan lalai atau
29
Abdulkadir Muhammad, op.cit., hal. 97.
40

wanprestasi. Peringatan tertulis dalam Pasal 1238 Kitab Undang-undang

Hukum Perdata adalah surat peringatan resmi dari pengadilan. Peringatan

tertulis dapat juga cukup dengan surat tercatat/surat kawat, asal saja jangan

sampai mudah dipungkiri oleh si berhutang.30

Menurut ketentuan Pasal 1238 Kitab Undang-undang Hukum Perdata,

peringatan tersebut harus dilakukan secara tertulis. Hakim tidak akan

menganggap sah suatu peringatan lisan. Ada kalanya dalam kontrak itu sendiri

sudah ditetapkan kapan debitur dapat dianggap lalai, di sini tidak diperlukan

suatu peringatan. Sejak perikatan itu berlaku atau selama perikatan itu berlaku,

kemudian debitur melakukan perbuatan yang dalam perjanjian telah

ditetapkan untuk tidak dilakukan, ia dinyatakan telah lalai (wanprestasi).

Akibat hukum bagi debitur yang telah melakukan wanprestasi adalah

hukuman atau sanksi sebagai berikut:

a. Debitur membayar ganti kerugian yang telah ditetapkan oleh kreditur;

b. Dalam perjanjian timbal balik, wanprestasi dari satu pihak

memberikan hak kepada pihak lainnya untuk membatalkan atau

memutuskan perjanjian lewat hakim;

c. Risiko beralih kepada debitur sejak terjadinya wanprestasi, ketentuan

ini hanya berlaku bagi perikatan untuk memberikan sesuatu;

d. Membayar biaya perkara apabila ia diperkarakan dimuka hakim;

e. Memenuhi perjanjian jika masih dapat dilakukan,atau pembatalan

perjanjian disertai dengan pembayaran ganti rugi.31

30
Subekti, op.cit., hal. 147.
31
Abdulkadir Muhammad, op.cit., hal. 24.
41

Alasan kedua tidak dipenuhinya kewajiban adalah keadaan memaksa

(overmacht, force majeur). Dalam keadaan memaksa ini debitur tidak dapat

dipersalahkan,karena keadaan ini timbul di luar kemampuan pihak debitur.

Keadaan memaksa ini dapat bersifat sementara maupun bersifat tetap.

“Keadaan memaksa adalah keadaan tidak dapat dipenuhinya prestasi oleh

debitur karena telah terjadi sesuatu peristiwa bukan karena kesalahannya,

peristiwa mana tidak dapat diketahui atau tidak dapat diduga akan terjadi pada

waktu membuat perikatan"32. Unsur-unsur yang terdapat dalam keadaan

memaksa yaitu :

a. Tidak dipenuhi prestasi karena suatu peristiwa yang membinasakan

atau memusnahkan benda yang menjadi objek perikatan;

b. Tidak dapat dipenuhi prestasi karena suatu peristiwa yang

menghalangi perbuatan debitur untuk berprestasi, ini dapat bersifat

tetap atau sementara;

c. Peristiwa tidak dapat diketahui atau diduga akan terjadi pada waktu

membuat perikatan baik oleh debitur maupun oleh kreditur. Jadi bukan

kesalahan para pihak,khususnya debitur.33

7. Hapusnya Perjanjian

Hapusnya perjanjian pada umumnya adalah jika tujuan dari suatu

perjanjian itu telah tercapai. Dengan demikian isi perjanjian yang telah mereka

buat bersama itu telah dilaksanakan dengan baik oleh mereka.Selain itu

perjanjian akan berakhir dengan sendirinya jika telah melewati batas waktu
32
Ibid, hal. 27.
33
Ibid, hal. 28.
42

yang ditentukan para pihak.

Menurut Pasal 1266 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata,suatu

perjanjian hanya dapat dibatalkan sebelum habis jangka waktunya jika

keputusan pembatalan telah dijatuhkan oleh hakim pengadilan. Selengkapnya

pasal 1266 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyebutkan: “Syarat batal

dianggap selalu dicantumkan dalam persetujuan-persetujuan yang bertimbal

balik, manakala salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya.

Dengan hal yang demikian persetujuan tidak batal demi hukum, tetapi

pembatalan harus dimintakan pada hakim. Permintaan itu juga harus

dilakukan, meskipun syarat batal mengenai tidak dipenuhinya kewajiban

dinyatakan dalam perjanjian. Jika syarat batal tidak dinyatakan dalam

persetujuan,hakim adalah leluasa untuk, menurut keadaan, atas permintaan

tergugat, memberikan sesuatu jangka waktu untuk masih juga memenuhi

kewajibannya, jangka waktu mana namun itu tidak boleh lebih dari satu

bulan”, Menurut Yahya Harahap, beberapa macam cara hapusnya perjanjian,

yaitu apabila:

a. Masa berlakunya perjanjian yang telah disepakati sudah terpenuhi;

b. Pada saat masa berlakunya perjanjian belum berakhir para pihak

sepakat mengakhirinya;

c. Adanya penghentian oleh salah satu pihak dalam perjanjian dengan

memperhatikan kebiasaan-kebiasaan yang berlaku setempat;

d. Waktu berakhirnya suatu perjanjian ditentukan dengan batas waktu

maksimal oleh undang-undang;


43

e. Adanya putusan hakim karena adanya tuntutan pengakhiran perjanjian

dari salah satu pihak;

f. Didalam undang-undang atau perjanjian itu sendiri ditentukan bahwa

dengan adanya suatu peristiwa tertentu maka perjanjian akan

berakhir.34

G. Batasan Konsep

Pengertian franchise dari segi yuridis, dapat dilihat dalam ketentuan

peraturan perundang-undangan, pendapat, dan pandangan ahli disajikan berikut

ini. Pasal 1 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 16 tahun 1997 tentang waralaba,

franchise diartikan sebagai : Peringatan dimana salah satu pihak diberikan hak

untuk memanfaatkan dan atau menggunakan hak atas kekayaan intelektual atau

penemuan atau ciri khas usaha yang dimiliki pihak lain dengan suatu imbalan

berdasarkan persyaratan dan penjualan barang dan atau jasa. Perjanjian Waralaba

adalah perjanjian yang timbul dari suatu perjanjian yang diatur dalam Jilid 3

KUHPerdata, dan penggunaan hak atas kekayaan intelektual pemberi waralaba

oleh penerima waralaba diatur dalam Undang-Undang Hak Kekayaan Intelektual.

Definisi wanprestasi berarti bahwa salah satu pihak dalam kontrak setuju

untuk berkinerja buruk sebagai akibat dari kelalaian. Seseorang yang dianggap

wanprestasi jika seseorang itu gagal memenuhi kewajiban kontraktualnya, baik

dengan sengaja maupun karena kelalaiannya.

H. Metode Penelitian

Untuk menjawab rumusan masalah yang dikemukakan diatas maka akan


34
Yahya Harahap. op.cit, hal. 106.
44

dilakukannya penelitian hukum normatif maka dilakukan :

1. Penelitian Kepustakaan

Penelitian ini dilakukan dengan cara mempelajari segala peraturan

perundang-undangan, literatur, dan tulisan-tulisan ilmiah lainnya yang ada

hubungannya dengan permasalahan yang akan dibahas, yang meliputi:

a. Bahan hukum primer, yang berupa Kitab Undang-Undang Hukum

Perdata, Permendag No. 71 Tahun 2019, Peraturan Pemerintah No. 42

Tahun 2007 tentang waralaba.

b. Bahan hukum sekunder,yaitu berupa literatur,bacaan-bacaan atau

jurnal ilmiah yang berkaitan dengan permasalahan yang akan dibahas.

2. Penelitian Lapangan

Penelitian ini dilakukan secara langsung ke lokasi untuk mendapatkan

data dan informasi yang diperlukan untuk penelitian :

a. Lokasi penelitian dilakukan di wilayah Kabupaten Sleman;

b. Responden.

1) Ibu Eunike Juni Suprihatin S.H. sebagai direktur Dari PT Mister

Burger Pelita Harapan Indonesia;

2) Bapak Ahsanal Hazar sebagai penerima waralaba.

3. Metode Pengumpulan Data

Dengan cara melakukan tanya jawab secara langsung tentang hal-hal

yang berkaitan dengan permasalahan yang ada kepada responden.

4. Analisis Data

Data yang diperoleh baik dari penelitian kepustakaan maupun


45

penelitian lapangan kemudian dianalisis dengan metode deskriptif kualitatif,

kemudian data yang diperoleh melalui penelitian lapangan maupun pustaka

diseleksi berdasarkan permasalahan yang ada kemudian disusun secara

sistematis dan dilihat kesesuaiannya dengan ketentuan yang berlaku

selanjutnya disimpulkan sehingga mendapatkan gambaran atas jawaban dari

permasalahan yang ada.

I. Sistematika Penulisan Skripsi

BAB I : PENDAHULUAN

Bab ini berisi latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan

penelitian, manfaat penelitian, keaslian penelitian, batasan konsep, metode

penelitian, dan sistematika penulisan skripsi.

BAB II : PEMBAHASAN

Bab ini berisi konsep/variabel pertama, konsep/variabel kedua, dan

hasil penelitian berdasar analisis data (harus konsisten dan sesuai dengan

rumusan masalah dan tujuan penelitian).

BAB III : PENUTUP

Bab ini berisi simpulan dan saran dari penelitian.


BAB II
PEMBAHASAN

A. Tinjauan Umum Tentang Perjanjian

1. Pengertian Perjanjian

Menurut Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo, mengemukakan pengertian

perjanjian menurut teori klasik yang dimaksud dengan perjanjian itu adalah

suatu perbuatan hukum yang berisi dua (“een tweezijdige overeenkomst”)

yang didasarkan atas kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum. 35 Dua

belah pihak itu sepakat untuk menentukan peraturan atau kaidah atau hak dan

kewajiban, yang mengikat antara mereka untuk ditaati dan dijalankan.

Menurut definisi yang konvensional perjanjian bukan hubungan hukum

melainkan perbuatan hukum. Perjanjian hendaknya dibedakan dari janji.

Meskipun janji itu didasarkan atas kata sepakat, namun kata sepakat itu tidak

untuk menimbulkan akibat hukum, yang berarti bahwa apabila janji itu

dilanggar maka tidak ada akibat hukumnya, si pelanggar tidak dapat

dikenakan sanksi.36

"Prof. Subekti, memberikan pengertian perjanjian sebagai suatu

perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seseorang berjanji kepada orang lain

atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal.”37

35
Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo, 2010, Mengenal Hukum Suatu Pengantar (edisi
Revisi), Cahaya Atma Pustaka, Yogyakarta, hal. 153.
36
Ibid.
37
Prof. Subekti, 1979, Hukum Perjanjian Cetakan ke XII, PT Intermasa Indonesia, hal. 1.

46
47

Untuk mengetahui apa maksud dengan perjanjian , menurut Kitab

Undang-Undang Hukum Perdata Pasal 1313 menyebutkan suatu perjanjian

adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan

dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. Definisi yang diberikan Pasal 1313

Kitab Undang-undang Hukum Perdata kurang memuaskan karena terdapat

adanya kelemahan-kelemahan. Adapun mengenai kelemahan tersebut antara

lain sebagai berikut:

a. Dari kata mengikatkan sifatnya hanya datang dari satu pihak saja,tidak

dari kedua belah pihak. Sebenarnya perumusan itu saling mengikatkan

diri, jadi ada konsensus yang sama antara pihak-pihak yang

bersangkutan.

b. Dalam pengertian perbuatan termasuk tindakan melaksanakan tugas

tanpa kuasa. Perbuatan yang tidak mengandung konsensus.

c. Pengertian perjanjian dalam perumusan pasal ini terlalu luas,hal ini

karena mencakup juga janji kawin yang diatur dalam lapangan hukum

keluarga. Padahal yang dimaksud janji kawin adalah hubungan antara

suami dan istri dalam lapangan hukum harta kekayaan saja.

d. Dalam perumusan pasal ini tidak disebutkan tujuan mengadakan

perjanjian, sehingga pihak-pihak yang mengikatkan diri itu tidak jelas

untuk apa.38

Berdasarkan rumusan pengertian perjanjian yang telah dikemukakan

oleh para sarjana hukum tersebut, maka jika dirinci mempunyai unsur-unsur
38
Abdulkadir Muhammad, 1992, Hukum Perikatan, PT Citra Aditya Bakti, Bandung,
hal.77-78.
48

yang dapat diuraikan sebagai berikut:

a. Ada pihak - pihak, yang sedikit-dikitnya dua orang

Pihak-pihak ini disebutkan subjek perjanjian. Subyek perjanjian ini

dapat berupa manusia pribadi atau badan hukum. Untuk dapat

membuat perjanjian tersebut harus mampu atau wenang melakukan

perbuatan hukum seperti yang telah ditetapkan dalam undang-undang.

b. Ada persetujuan antara pihak-pihak

Persetujuan yang dimaksud adalah yang bersifat tetap, bukan sedang

berunding, Perundingan itu adalah tindakan-tindakan pendahuluan

untuk menuju kepada adanya persetujuan. Persetujuan itu ditujukan

dengan penerimaan tanpa syarat atas suatu tawaran. Apa yang

ditawarkan oleh pihak yang satu diterima oleh pihak yang lainnya.

Yang ditawarkan dan dirundingkan itu umumnya mengenai syarat-

syarat dan mengenai objek perjanjian. Dengan disetujuinya oleh

masing-masing pihak tentang syarat dan objek perjanjian itu maka

timbullah persetujuan. Persetujuan ini adalah salah satu syarat sahnya

perjanjian.

c. Ada tujuan yang akan dicapai

Tujuan para pihak mengadakan perjanjian adalah agar memenuhi

kebutuhan pihak-pihak, oleh karena itu didalamnya harus ada tujuan

yang akan dicapai. Tujuan tersebut tidak boleh bertentangan dengan

ketertiban umum, kesusilan dan tidak dilarang oleh undang-undang.

d. Ada prestasi yang harus dilaksanakan


49

Dalam suatu perjanjian, para pihak di samping memperoleh hak

dibebani pula dengan kewajiban-kewajiban yang berupa suatu prestasi.

Prestasi merupakan suatu kewajiban yang harus dipenuhi oleh pihak-

pihak sesuai persyaratan atau syarat-syarat perjanjian, misalnya

penjual berkewajiban menyerahkan barang yang telah dijualnya.

e. Ada bentuk tertentu

Bentuk ini perlu ditentukan karena ada ketentuan undang-undang

bahwa hanya dengan bentuk tertentu perjanjian mempunyai kekuatan

mengikat dan kekuatan bukti, Bentuk tertentu ini Biasanya berupa

akta. Perjanjian ini dapat dibuat secara lisan artinya dengan kata-kata

yang jelas maksud dan tujuannya yang dipahami oleh pihak-pihak, itu

sudah cukup, kecuali jika pihak-pihak menghendaki supaya dibuat

secara tertulis (akta).

f. Ada syarat-syarat tertentu

Syarat-syarat tertentu ini sebenarnya sebagai isi perjanjian,karena dari

syarat itulah dapat diketahui hak dan kewajiban pihak-pihak. Syarat ini

biasanya terdiri dari syarat pokok yang akan menimbulkan hak dan

kewajiban pokok.39

2. Asas-Asas dan Unsur - unsur dalam Perjanjian

Asas -Asas Dalam Perjanjian:

a. Asas sistem terbuka / asas kebebasan berkontrak

Asas ini mempunyai arti bahwa setiap orang boleh mengadakan

39
Ibid, hal. 79-81.
50

perjanjian apa saja walaupun belum atau tidak diatur dalam undang-

undang. Asas ini disebut juga asas kebebasan berkontrak (freedom of

making contract). Kebebasan berkontrak haruslah memperhatikan

batasan-batasan tertentu sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 1337

Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Menurut asas ini, hukum

perjanjian memberikan peluang kepada masyarakat untuk menentukan

isi perjanjian, baik itu mengenai bentuk maupun objek dari perjanjian

tersebut.

b. Asas bersifat pelengkap

Hukum Perjanjian bersifat pelengkap artinya pasal-pasal undang-

undang boleh disingkirkan, apabila pihak-pihak yang membuat

perjanjian menghendaki dan membuat ketentuan sendiri yang

menyimpang dari ketentuan pasal-pasal undang-undang. Tetapi apabila

dalam perjanjian yang mereka buat tidak ditentukan, maka berlakulah

ketentuan undang-undang, contohnya pasal 1477 KUHPer.

c. Asas bersifat konsensual

Asas bersifat konsensual artinya perjanjian itu terjadi ada sejak saat

tercapainya kata sepakat antara pihak-pihak. Dari asas ini dapat

disimpulkan bahwa perjanjian yang dibuat dapat secara lisan dan dapat

juga dituangkan dalam bentuk tulisan berupa akta, jika dikehendaki

sebagai alat bukti perjanjian yang dibuat secara lisan saja didasarkan

pada asas bahwa “manusia itu dapat dipegang mulutnya” artinya dapat

dipercaya dengan kata-kata yang diucapkan.


51

d. Asas bersifat obligator

Asas bersifat obligator Artinya perjanjian yang dibuat oleh pihak-pihak

itu baru dalam menimbulkan hak dan kewajiban saja, belum

memindahkan hak milik. Hak milik baru berpindah apabila

diperjanjikan tersendiri yang disebut perjanjian yang bersifat

kebendaan.40

e. Asas personalitas

Asas personalitas ini bisa diterjemahkan sebagai asas kepribadian yang

berarti bahwa pada umumnya tidak seseorang pun dapat mengadakan

perjanjian kecuali untuk dirinya sendiri. Terhadap asas kepribadian ini

ada kekecualiannya yaitu apa yang disebut sebagai “derben-bedding”

atau perjanjian untuk pihak ketiga. Dalam hal ini seseorang membuat

perjanjian dimana dalam perjanjian itu ia memperjanjikan hak-hak

bagi orang lain, tanpa kuasa dari orang yang diperjanjikan itu. Hal ini

diatur dalam pasal 1317 B.W. yang bunyinya:

“diperbolehkan juga untuk meminta ditetapkannya suatu janji guna


kepentingan seseorang pihak ketiga, jika suatu penetapan janji yang
dibuat oleh seseorang untuk dirinya sendiri, atau suatu pemberian
yang dilakukan kepada orang lain, memuat suatu janji yang seperti
itu. Siapa yang telah memperjanjikan sesuatu seperti itu tidak boleh
menariknya kembali, jika pihak ketiga tersebut telah menyatakan
hendak mempergunakannya”.

f. Asas itikad baik

Asas itikad baik ini merupakan asas yang berkaitan dengan

pelaksanaan perjanjian. Di dalam asas ini ditentukan bahwa suatu

40
Ibid, hal. 84-85.
52

perjanjian haruslah dilaksanakan dengan itikad baik, sebagaimana

yang diatur dalam Pasal 1338 ayat (3) Kitab Undang-undang Hukum

Perdata. Semua perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik

demikianlah isi pasal 1338 ayat 3 B.W. Itikad baik mempunyai dua arti

1) Arti yang objektif, bahwa perjanjian yang dibuat itu mesti

dilaksanakan dengan mengindahkan norma-norma kepatutan dan

kesusilaan.

2) Arti yang subjektif yaitu itikad baik yang terletak dalam sikap batin

seseorang.

g. Asas pacta sunt servanda

Asas ini tercantum di dalam pasal 1338 ayat 1 B.W. yang isinya semua

perjanjian yang dibuat secara sah adalah berlaku sebagai undang-

undang bagi yang membuatnya. Asas ini sangat erat kaitannya dengan

asas sistem terbuka hukum perjanjian, karena mempunyai arti bahwa

semua perjanjian yang dibuat oleh para pihak asal saja memenuhi

syarat-syarat sahnya perjanjian yang diatur oleh pasal 1320 B.W.

sekalipun menyimpang dari ketentuan-ketentuan hukum perjanjian

dalam buku III B.W. tetap mengikat sebagai undang-undang bagi yang

membuatnya.41 Asas ini dapat ditafsirkan dari ketentuan-ketentuan

Pasal 1338 ayat (1) dan (2) Kitab Undang-undang Hukum Perdata

yang berbunyi sebagai berikut :

41
Djohari Santoso dan Achmad Ali, 1989, Hukum Perjanjian Indonesia,
Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, hal 47-48.
53

1) Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-

undang bagi mereka yang membuatnya.

2) Perjanjian-perjanjian itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan

kesepakatan kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang

oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu.

Berdasar ketentuan Pasal 1338 ayat (1) dan (2) Kitab Undang-

undang Hukum Perdata tersebut dapat diketahui bahwa ketentuan-

ketentuan yang telah disepakati oleh para pihak akan mempunyai kekuatan

mengikat yang sama besarnya bagi kedua belah pihak.

Tidak ada alasan-alasan tertentu yang diperbolehkan oleh undang-

undang, maka salah satu pihak dapat menarik kembali ketentuan-ketentuan

yang telah disepakati bersama di dalam perjanjian. Alasan-alasan tersebut

misalnya adanya paksaan, kekhilafan dan sebagainya. Tanpa adanya

alasan yang diperbolehkan oleh undang-undang, maka kesepakatan yang

ditentukan oleh para pihak tersebut merupakan suatu yang harus ditaati

oleh para pihak di dalam perjanjian itu.

Unsur-unsur Perjanjian :

a. Unsur Essensialia. Unsur yang mutlak harus ada bagi terjadinya

perjanjian, unsur ini mutlak harus ada agar perjanjian itu sah,

merupakan syarat sahnya suatu perjanjian. Syarat-syarat adanya atau

sahnya perjanjian adalah adanya kata sepakat atau persesuaian

kehendak, kecakapan para pihak, obyek tertentu dan kuasa atau dasar
54

yang halal.

b. Unsur Naturalia. Unsur yang lazim melekat pada perjanjian, yaitu

unsur yang tanpa diperjanjikan secara khusus dalam perjanjian, secara

diam-diam dengan sendirinya dianggap ada dalam perjanjian karena

sudah merupakan pembawaan atau melekat pada perjanjian.

Contohnya pada perjanjian jual beli misalnya penjual harus menjamin

pembeli terhadap cacat-cacat yang tersembunyi.

c. Unsur Accidentalia. Unsur yang harus dimuat atau disebut secara tegas

dalam perjanjian, unsur ini harus secara tegas diperjanjikan misalnya

mengenai tempat tinggal yang dipilih.42

3. Jenis-Jenis Perjanjian

Mengenai jenis-jenis perjanjian, antara lain seperti yang diuraikan di

bawah ini:

a. Perjanjian timbal balik. Perjanjian timbal balik adalah perjanjian yang

menimbulkan kewajiban pokok bagi kedua belah pihak misalnya

perjanjian jual beli.

b. Perjanjian cuma-cuma (Pasal 1314 KUHPer). Pasal 1314:

“Suatu persetujuan yang dibuat dengan cuma-cuma atau atas beban,


suatu persetujuan dengan cuma-cuma adalah suatu persetujuan
dengan mana pihak yang satu memberikan suatu keuntungan kepada
pihak yang lain, tanpa menerima suatu manfaat bagi dirinya
sendiri.Suatu persetujuan atas beban, adalah suatu persetujuan yang
mewajibkan masing-masing pihak memberikan sesuatu, berbuat
sesuatu, atau tidak berbuat sesuatu.”
Perjanjian dengan cuma-cuma adalah perjanjian yang memberikan
42
Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo, 2010, Mengenal Hukum Suatu Pengantar (edisi
Revisi), Cahaya Atma Pustaka, Yogyakarta, hal. 154-155.
55

keuntungan bagi salah satu pihak saja Misalnya hibah.

c. Perjanjian atas beban. Perjanjian atas beban adalah perjanjian di mana

terhadap prestasi dari pihak yang satu selalu terdapat kontra prestasi

dari pihak lain dan antara kedua prestasi itu ada hubungan menurut

hukum.

d. Perjanjian bernama. Perjanjian khusus adalah perjanjian yang memiliki

nama sendiri, maksudnya ialah bahwa perjanjian-perjanjian tersebut

diatur dan diberi nama oleh pembentuk undang-undang, berdasarkan

tipe yang paling banyak terjadi sehari-hari. Perjanjian khusus terdapat

dalam Bab V sampai dengan BAB XVII KUHPerdata.

e. Perjanjian tidak bernama. Diluar perjanjian bernama, tumbuh pula

perjanjian yang tidak bernama, yaitu perjanjian-perjanjian yang tidak

diatur di dalam KUHPerdata, tetapi terdapat di dalam masyarakat.

Jumlah perjanjian ini tidak terbatas dengan nama yang disesuaikan

dengan kebutuhan pihak-pihak yang mengadakannya, seperti

perjanjian kerjasama, perjanjian pemasaran, perjanjian pengelolaan.

Lahirnya perjanjian ini di dalam praktek adalah berdasarkan asas

kebebasan berkontrak, mengadakan perjanjian.

f. Perjanjian obligatoir. Perjanjian obligatoir adalah perjanjian dimana

pihak-pihak sepakat mengikatkan diri untuk melakukan penyerahan

suatu benda kepada pihak lain menurut KUHPer, perjanjian jual beli

saja belum mengakibatkan beralihnya hak milik atas suatu benda dari

penjual kepada pembeli. Fase ini merupakan kesepakatan (konsensual)


56

dan harus diikuti dengan perjanjian penyerahan (perjanjian

kebendaan).

g. Perjanjian kebendaan. Perjanjian kebendaan adalah perjanjian dengan

mana seseorang menyerahkan haknya atas sesuatu benda kepada pihak

lain, yang membebankan kewajiban pihak itu untuk menyerahkan

benda tersebut kepada pihak lain.Penyerahannya itu sendiri merupakan

perjanjian kebendaan. Dalam hal perjanjian jual beli benda tetap maka

perjanjian jual belinya disebutkan juga perjanjian jual beli sementara.

Untuk perjanjian jual beli benda-benda bergerak maka perjanjian

disebut obligatoir dan perjanjian kebendaannya itu jatuh secara

bersamaan.

h. Perjanjian konsensual. Perjanjian konsensual adalah perjanjian di

mana di antara kedua belah pihak telah tercapai persesuaian kehendak

untuk mengadakan perikatan. Menurut KUHPer perjanjian ini sudah

mempunyai kekuatan mengikat (Pasal 1338 KUHPer).

i. Perjanjian riil. Di dalam KUHPer ada juga perjanjian-perjanjian yang

hanya berlaku sesudah terjadinya penyerahan barang misalnya

perjanjian penitipan barang (pasal 1694 KUHPer), pinjam pakai (pasal

1740 KUHPer). Perjanjian yang terakhir ini dinamakan perjanjian riil.

Perbedaaan antara perjanjian konsensual dan riil ini adalah sisa dari

hukum Romawi yang untuk perjanjian-perjanjian tertentu diambil alih

oleh hukum perdata kita.

j. Perjanjian liberatoir. Perjanjian di mana para pihak membebaskan dari


57

kewajiban yang ada misalnya pembebasan utang pada pasal 1438

KUH Per.

k. Perjanjian pembuktian. Perjanjian di mana para pihak menentukan

pembuktian apakah yang berlaku di antara mereka.

l. Perjanjian untung-untungan. Perjanjian yang objeknya ditentukan di

kemudian misalnya perjanjian asuransi pasal 1774 KUHPer

m. Perjanjian publik. Perjanjian publik yaitu perjanjian yang sebagian

atau seluruhnya dikuasai oleh hukum publik, karena salah satu pihak

yang bertindak adalah pemerintah, dan pihak lainnya adalah swasta.

Diantara keduanya terdapat hubungan atasan dengan bawahan, jadi

tidak berada di dalam kedudukan yang sama misalnya perjanjian

ikatan dinas.

n. Perjanjian campuran. Perjanjian campuran adalah perjanjian yang

mengandung berbagai unsur perjanjian misalnya pemilik hotel yang

menyebabkan kamar yaitu sewa-menyewa tapi pula menyajikan

makanan (jual beli) dan juga memberikan pelayanan. Terhadap

perjanjian campuran itu ada berbagai paham, paham pertama

mengatakan bahwa ketentuan-ketentuan mengenai perjanjian khusus

diterapkan secara analogis sehingga setiap unsur dari perjanjian khusus

tetap ada dan paham kedua mengatakan ketentuan-ketentuan yang

dipakai adalah ketentuan-ketentuan dari perjanjian yang paling

menentukan.43

43
Prof. Dr. Mariam Darus Badrul Zaman, Dkk, 2001, Kompilasi Hukum Perikatan, PT.
Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 66-69.
58

4. Syarat - Syarat Sahnya Perjanjian

Perjanjian yang sah artinya perjanjian yang memenuhi syarat yang

telah ditentukan oleh undang-undang, sehingga ia diakui oleh hukum Menurut

ketentuan Pasal 1320 Kitab Undang-undang Hukum Perdata disebutkan

bahwa untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan 4 (empat) syarat, yaitu:

a. Sepakat mereka yang mengikatkan diri (consensus).

b. Adanya kecakapan untuk membuat suatu perjanjian (capacity).

c. Adanya hal tertentu (a certain subject matter).

d. Suatu sebab yang halal (legal cause).44

Keempat syarat di atas merupakan syarat mutlak di dalam perjanjian

yang harus dipenuhi oleh para pihak apabila ingin perjanjian tersebut sah.

Tidak dipenuhinya keempat syarat tersebut akan berakibat perjanjian itu batal

atau dapat dibatalkan. Dua syarat yang pertama, sepakat mereka yang

mengikatkan diri dan adanya kecakapan untuk membuat suatu perjanjian.

Dinamakan syarat subyektif karena mengenai orang-orangnya atau subyeknya

yang mengadakan perjanjian, sedangkan dua syarat yang terakhir, adanya hal

tertentu dan suatu sebab yang halal dinamakan syarat objektif karena

mengenai perjanjiannya sendiri atau objek dari perbuatan hukum yang

dilakukan itu.

Dalam hal ini harus dibedakan antara syarat subjektif dengan syarat

objektif dalam hal syarat objektif kalau syarat itu tidak terpenuhi perjanjian ini

batal demi hukum. Artinya dari semula tidak pernah dilahirkan suatu

44
Abdulkadir Muhammad, 1992, Hukum Perikatan, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, hal.
88-89.
59

perjanjian dan tidak pernah ada suatu perikatan. Tujuan para pihak yang

mengadakan perjanjian tersebut untuk melahirkan suatu perikatan hukum

adalah gagal. Dengan demikian maka tiada dasar untuk saling menuntut di

depan hakim. Dalam hal suatu syarat subyektif jika syarat ini tidak terpenuhi

perjanjiannya bukan batal demi hukum, tetapi salah satu pihak mempunyai

hak untuk meminta supaya perjanjian itu dibatalkan. Pihak yang dapat

meminta pembatalan itu adalah pihak yang tidak cakap atau pihak yang

memberikan sepakatnya (perizinannya) secara tidak bebas. Jadi perjanjian

yang telah dibuat itu mengikat juga selama tidak dibatalkan (oleh hakim) atas

permintaan pihak yang berhak meminta pembatalan tadi. Dengan demikian

nasib suatu perjanjian seperti itu tidaklah pasti dan tergantung pada kesediaan

suatu pihak untuk mentaatinya.45

Dari 4 (empat) syarat sahnya perjanjian tersebut selanjutnya akan

diuraikan satu-persatu agar dapat diberikan gambaran secara jelas.

a. Sepakat mereka mengikatkan dirinya. Yang dimaksud dengan sepakat

adalah seiya sekata antara pihak-pihak mengenai pokok perjanjian

yang dibuat itu. Titik pokok perjanjian itu berupa objek perjanjian dan

syarat-syarat perjanjian apa yang dikehendaki oleh pihak yang satu

juga dikehendaki oleh pihak yang lain. Mereka menghendaki sesuatu

yang sama secara timbal balik sehingga persetujuan ini mempunyai

sifat atau sifatnya sudah mantap tidak lagi dalam perundingan

persetujuan kehendak, ini sifatnya bebas artinya betul-betul atas

45
Prof. Subekti, 1979, Hukum Perjanjian Cetakan ke XII, PT Intermasa Indonesia, hal.
20.
60

kemauan sukarela pihak-pihak tidak ada paksaan sama sekali dari

pihak manapun dan tidak ada kekhilafan dan tidak ada penipuan (Pasal

1321, 1322 dan 1328 KUHPer). Persetujuan itu harus bebas tidak ada

paksaan, dikatakan tidak ada paksaan apabila orang melakukan

perbuatan itu tidak berada di bawah ancaman baik dengan kekerasan

jasmani maupun dengan upaya yang bersifat menakut-nakuti dikatakan

tidak ada kekhilafan atau kekeliruan atau kesesatan. Apabila salah satu

pihak tidak khilaf tentang hal yang pokok yang diperjanjikan atau

tentang sifat-sifat penting barang yang menjadi objek perjanjian atau

mengenai orang dengan siapa diadakan perjanjian itu tidak ada

penipuan, dikatakan tidak ada penipuan apabila tidak ada tindakan

menipu menurut arti undang-undang (Pasal 378 KUHP) dikatakan

menipu menurut pengertian undang-undang adalah dengan sengaja

melakukan tipu muslihat dengan memberikan keterangan palsu dan

tidak benar untuk membujuk pihak lawannya supaya menyetujui (Pasal

1328 KUHP) menurut yurisprudensi tidak cukup dikatakan ada

penipuan, apabila hanya berupa kebohongan belakang mengenai suatu

hal baru, ada penipuan kalau di situ ada tipu muslihat yang

memperdayakan, apabila hukum tidak ada persetujuan kehendak

(karena paksaan kekhilafan, penipuan) ialah bahwa perjanjian itu dapat

dimintakan pembatalan kepada hakim. Menurut ketentuan Pasal 1454

KUHPer, pembatalan dapat dimintakan dalam tenggang waktu 5 tahun.

Dalam hal paksaan dihitung sejak hari paksaan itu berhenti; dalam hal
61

kekhilafan dan penipuan dihitung sejak hari di ketahuinya kekhilafan

dan penipuan itu. Percakapan pihak-pihak pada umumnya.

b. Adanya kecakapan untuk membuat suatu perjanjian. Pada umumnya

orang dikatakan cakap melakukan perbuatan hukum, apabila ia sudah

dewasa, artinya sudah mencapai umur 21 tahun atau sudah kawin

walaupun belum berumur 21 tahun. Menurut ketentuan pasal 1330

KUHPer dikatakan tidak cakap membuat perjanjian ialah orang yang

belum dewasa, orang yang ditaruh dibawah pengampuan,dan wanita

bersuami mereka ini apabila melakukan perbuatan hukum harus

diwakili oleh Wali mereka dan bagi istri harus ada izin dari suaminya

selain kecakapan adalah yang disebut kewenangan melakukan

perbuatan hukum kewenangan membuat perjanjian.

c. Suatu hal tertentu. Suatu hal tertentu merupakan pokok perjanjian,

merupakan prestasi yang perlu dipenuhi dalam suatu perjanjian,

merupakan objek perjanjian prestasi yang harus tertentu atau sekurang-

kurangnya dapat ditentukan apa yang diperjanjikan harus cukup jelas,

ditentukan jenisnya, jumlahnya boleh tidak disebutkan, asal dapat

dihitung atau ditetapkan syarat, bahwa prestasi itu harus tertentu atau

dapat ditentukan gunanya untuk menetapkan hak dan kewajiban kedua

belah pihak jika timbul perselisihan dalam pelaksanaan perjanjian, jika

prestasi itu kabur sehingga perjanjian itu tidak dapat dilaksanakan

maka dianggap tidak ada objek perjanjian, akibat tidak dipenuhi syarat

ini perjanjian ini batal demi hukum.


62

d. Suatu sebab yang halal (causa). Kata causa berasal dari bahasa latin

artinya sebab, sebab adalah suatu yang menyebabkan orang membuat

perjanjian yang mendorong orang membuat perjanjian tetapi yang

dimaksud dengan causa yang halal dalam Pasal 1320 KUHP itu

bukanlah sebab dalam arti yang menyebabkan atau yang mendorong

orang membuat perjanjian, melainkan sebab dalam arti isi perjanjian

itu sendiri, yang menggambarkan tujuan yang akan dicapai oleh pihak-

pihak. Undang-undang tidak mempedulikan apa yang menjadi sebab

orang mengadakan perjanjian. Akibat hukum perjanjian yang berisi

causa yang tidak halal adalah bahwa perjanjian itu batal demi hukum.

Dengan demikian tidak ada dasar untuk menuntut pemenuhan

perjanjian dimuka hakim, karena sejak semula dianggap tidak pernah

ada perjanjian. Untuk menghindarkan pembatalan perjanjian itu perlu

dimintakan penguatan, Penguatan ini dapat diberikan oleh orang tua

bagi anak dibawah umur, wali bagi yang berada di bawah perwalian,

pengampu bagi yang berada di bawah pengampuan, dan dengan

pernyataan menerima bagi yang dipaksa khilaf, ditipu. Penguatan itu

dapat diberikan secara tegas artinya mengakui dan menaati perjanjian

yang telah dibuat itu, dan dapat pula secara diam-diam artinya

memenuhi perjanjian yang telah dibuat itu.46

46
Abdulkadir Muhammad, 1992, Hukum Perikatan, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, hal.
89-96.
63

5. Pihak-Pihak dalam Perjanjian dan Subyek dan Obyek Perjanjian,

Hak dan Kewajiban serta Akibat Hukum Perjanjian Yang Sah

Pihak-pihak dalam perjanjian diatur secara sporadis di dalam KUHPer

yaitu, Pasal 1315, Pasal 1340, Pasal 1317, Pasal 1318. Mengingat bahwa

hukum harus dipelajari sebagai 1 (satu) sistem, maka adalah penting untuk

mencari kaitan-kaitan di antara pasal-pasal tersebut. Yang dimaksud dengan

subjek perjanjian ialah pihak-pihak yang terikat dengan diadakannya suatu

perjanjian. KUHPer membedakan menjadi 3 (tiga) golongan yang tersangkut

pada perjanjian yaitu :

a. Para pihak yang mengadakan perjanjian itu sendiri

b. Para ahli waris mereka dan mereka yang mendapat hak dari padanya

c. Pihak ketiga

Pasal 1315:“Pada umumnya tak dapat mengikatkan perjanjian diri


atas nama sendiri atau minta ditetapkan suatu janji daripada untuk dirinya
sendiri”.
Pasal 1340 :“Persetujuan-persetujuan hanya berlaku antara pihak-
pihak yang membuatnya”. Persetujuan-persetujuan itu tidak dapat membawa
rugi kepada pihak-pihak ketiga. Selain itu, tidak dapat pula pihak ketiga
mendapatkan manfaat karenanya selain dalam hal yang diatur dalam pasal
1317.”
Pasal 1317 :“Lagi pun diperbolehkan juga untuk meminta
ditetapkannya suatu janji guna kepentingan seseorang pihak ketiga, apabila
suatu penetapan janji, yang dibuat oleh seseorang untuk dirinya sendiri, atau
suatu pemberian yang dilakukan kepada orang kepada seseorang lain,
membuat suatu janji: yang seperti itu”..
Pasal 1318:“Jika seseorang minta di perjanjian suatu hal, maka
dianggap bahwa itu adalah untuk ahli waris-ahli warisnya dan orang-orang,
yang memperoleh hak daripadanya, kecuali jika dengan tegas ditetapkan atau
dapat disimpulkan dari sifat persetujuan tidak sedemikian maksudnya”. Pada
asasnya suatu perjanjian yang berlaku bagi pihak yang mengadakan perjanjian
itu sendiri. Asas ini merupakan asas pribadi yang diatur dalam (pasal 1335
64

jo.1340 KUHPer). Para pihak tidak dapat mengadakan perjanjian yang


mengikat pihak ketiga, kecuali dalam apa yang disebut janji guna pihak ketiga
Pasal 1317 KUHPer.
Apabila seseorang membuat suatu perjanjian, maka orang itu dianggap

mengadakan perjanjian bagi ahli warisnya dan orang-orang yang memperoleh

hak daripadanya (Pasal 1318 KUHPer). Beralihnya hak kepada ahli waris

tersebut adalah akibat peralihan dengan alas hak umum yang terjadi pada ahli

warisnya. Beralihnya perjanjian kepada orang-orang yang memperoleh hak

berdasarkan atas alas-alas hak khusus, misalnya orang yang menggantikan

pembeli, mendapatkan haknya sebagai pemilik. Hak yang terikat kepada suatu

kualitas itu dinamakan hak kualitatif.

Menurut Pasal 1266 KUHPerdata mengatur bahwa dalam hal

wanprestasi pembatalan perjanjian harus dimintakan ke pengadilan dan hakim

melalui putusan pengadilan dapat menentukan jenis-jenis ganti rugi bagi para

pihak.

Menurut Pasal 1340 ayat terakhir KUHPer, persetujuan-persetujuan

tidak dapat membawa rugi kepada pihak ketiga, tidak dapat pihak ketiga,

mendapat manfaat karenanya, selain dari yang diatur dalam Pasal 1317

KUHPer. Dengan demikian asas seseorang tidak dapat mengikat diri selain

atas nama sendiri mempunyai suatu kekecualian, yaitu dalam bentuk yang

dinamakan janji untuk pihak ketiga.

Pasal 1317 KUHPer menyebutkan bahwa lagipun diperbolehkan juga

untuk meminta ditetapkan sesuatu janji guna kepentingan pihak ketiga,

apabila suatu penerapan janji yang dibuat oleh untuk dirinya sendiri atau,
65

suatu pemberian yang dilakukan kepada lain membuat suatu janji yang seperti

itu. Siapa yang telah memperjanjikan seperti itu tidak boleh menariknya

kembali, apabila pihak ketiga itu merupakan suatu penawaran yang dilakukan

oleh pihak yang meminta diperjanjikan hak kepada mitranya agar melakukan

prestasi kepada pihak ketiga. Pihak yang meminta diperjanjikan hak tadi tidak

dapat menarik kembali perjanjian itu apabila pihak ketiga telah menyatakan

kehendaknya menerima perjanjian itu.47

Jika undang-undang telah menetapkan subjek perjanjian yaitu pihak

kreditur yang berhak atas prestasi dan pihak debitur yang wajib melaksanakan

prestasi, maka intisari atau objek dari perjanjian adalah prestasi itu sendiri 48.

Itulah sebabnya pasal 1320 (3) B.W. menentukan bahwa objek atau prestasi

perjanjian harus memenuhi syarat yaitu objeknya harus tertentu atau

sekurang-kurangnya objek itu mempunyai jenis tertentu seperti yang

dirumuskan dalam pasal 1333 B.W.49 Suatu perjanjian hanya meletakkan hak-

hak dan kewajiban-kewajiban antara para pihak yang membuatnya.

Orang-orang lain adalah pihak ketiga yang tidak mempunyai sangkut-

paut dengan perjanjian tersebut. Suatu perikatan hukum dilahirkan oleh suatu

perjanjian, mempunyai dua sudut :

a. Sudut kewajiban (obligations) yang dipikul oleh suatu pihak, perikatan

mengikatkan diri ditujukan pada sudut kewajiban, juga dapat dinamakan

sudut pasif.

47
Prof. Dr. Mariam Darus Badrul Zaman, Dkk, 2001, Kompilasi Hukum Perikatan,
PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 69-72.
48
M. Yahya Harahap, 1986, Segi-Segi Hukum Perjanjian, Alumni, Bandung, hal. 15.
49
Ibid, hal. 10.
66

b. Sudut hak-hak atau manfaat, yang diperoleh oleh lain pihak yaitu hak

untuk menuntut dilaksanakannya suatu yang disanggupi dalam perjanjian

itu. Perkataan minta ditetapkan suatu janji ditujukan pada sudut hak yang

diperoleh dari perjanjian itu, sudut penuntutan ini dinamakan sudut aktif.50

Menurut Pasal 1338 KUHPer, perjanjian yang dibuat secara sah yaitu

yang memenuhi syarat-syarat pasal 1320 KUHPer berlaku undang-undang

bagi mereka yang membuatnya tidak dapat ditarik kembali tanpa persetujuan

kedua belah pihak atau karena alasan - alasan yang cukup menurut undang-

undang dan harus dilaksanakan dengan itikad baik. Pelaksanaan dengan itikad

baik dalam pasal 1338 ayat 3 KUHPerdata adalah ukuran objektif untuk

menilai pelaksanaan perjanjian itu artinya pelaksanaan perjanjian itu harus

berjalan diatas rel yang benar yaitu harus mengindahkan norma-norma

kepatutan dan kesusilaan.51

6. Wanprestasi dan Hapusnya Perjanjian


Seseorang yang tidak memenuhi prestasinya yang merupakan

kewajibannya di dalam suatu perjanjian disebut melakukan wanprestasi.

Kapan seseorang itu melakukan wanprestasi :

a. Tidak memenuhi kewajibannya;

b. Terlambat memenuhi kewajibannya;

c. Memenuhi tetapi tidak seperti yang diperjanjikan.

50
Subekti, 1979, Hukum Perjanjian Cetakan ke XII, PT Intermasa, Indonesia, hal. 29.
51
Abdulkadir Muhammad, 1992, Hukum Perikatan, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, hal.
96-99.
67

Perihal wanprestasi itu dari pihak debitur itu harus dinyatakan terlebih

dahulu secara resmi, yaitu dengan memperingatkan kepada si debitur itu

bahwa pihak kreditur menginginkan pembayaran seketika atau dalam jangka

waktu singkat.52 Tidak terpenuhinya kewajiban ada 2 (dua) kemungkinan,

yaitu:

a. Karena kesalahan debitur, baik karena kesengajaan maupun karena

kelalaian yang disebut wanprestasi.

b. Karena keadaan memaksa (overmacht),jadi di luar kemampuan manusia.

Syarat/unsur apakah debitur melakukan wanprestasi perlu ditentukan

dalam keadaan bagaimana debitur itu dikatakan sengaja atau lalai tidak

memenuhi salah satu dari 4 (empat) macam wanprestasi, yaitu :

a. Debitur tidak memenuhi prestasi sama sekali, artinya debitur tidak

memenuhi kewajiban yang telah disanggupinya untuk dipenuhi dalam

suatu perjanjian.

b. Debitur memenuhi prestasi,tetapi tidak sebagaimana yang diperjanjikan.

c. Debitur memenuhi prestasi, tetapi tidak tepat waktunya.

d. Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukan.

Untuk mengetahui sejak kapan debitur itu dalam keadaan wanprestasi,

perlu diperhatikan apakah dalam perikatan itu ditentukan tenggang waktu

pelaksanaan pemenuhan prestasi atau tidak. Dalam perjanjian untuk

memberikan sesuatu atau untuk melakukan sesuatu,dimana tenggang waktu

pelaksanaan pemenuhan prestasi tidak ditentukan, dipandang perlu untuk

52
Djohari Santoso, Achmad Ali, 1989, Hukum Perjanjian Indonesia, Perpustakaan
Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, hal. 57.
68

memperingatkan debitur guna memenuhi prestasi. Dalam hal tenggang waktu

pelaksanaan pemenuhan prestasi telah ditentukan, maka menurut ketentuan

Pasal 1238 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, debitur dianggap lalai

dengan lewatnya waktu yang ditentukan.

Cara memperingatkan debitur supaya ia memenuhi prestasinya apabila

tenggang waktu pelaksanaan pemenuhan prestasi tidak ditentukan dalam

perjanjian adalah, debitur perlu diperingatkan secara tertulis dengan surat

perintah atau akta sejenis itu, jika tidak dipenuhi ia telah dinyatakan lalai atau

wanprestasi.

Peringatan tertulis dalam Pasal 1238 Kitab Undang-undang Hukum

Perdata adalah surat peringatan resmi dari pengadilan. Biasanya peringatan itu

dilakukan oleh juru sita dari pengadilan. Peringatan tertulis dapat juga cukup

dengan surat tercatat/surat kawat, asal saja jangan sampai mudah dipungkiri

oleh si berhutang.

Menurut ketentuan Pasal 1238 Kitab Undang-undang Hukum Perdata,

peringatan tersebut harus dilakukan secara tertulis. Hakim tidak akan

menganggap sah suatu peringatan lisan. Ada kalanya dalam kontrak itu sendiri

sudah ditetapkan kapan debitur dapat dianggap lalai, di sini tidak diperlukan

suatu peringatan.

Perikatan untuk tidak berbuat sesuatu,prestasi adalah tidak berbuat

sesuatu yang telah ditetapkan oleh perjanjian itu. Dalam hal ini tidak

dipersoalkan apakah ditentukan jangka waktu tertentu atau tidak. Sejak

perikatan itu berlaku atau selama perikatan itu berlaku, kemudian debitur
69

melakukan perbuatan yang dalam perjanjian telah ditetapkan untuk tidak

dilakukan, ia dinyatakan telah lalai (wanprestasi).

Akibat hukum bagi debitur yang telah melakukan wanprestasi adalah

hukuman atau sanksi sebagai berikut :

a. Debitur membayar ganti kerugian yang telah ditetapkan oleh kreditur.

b. Dalam perjanjian timbal balik, wanprestasi dari satu pihak

memberikan hak kepada pihak lainnya untuk membatalkan atau

memutuskan perjanjian lewat hakim.

c. Risiko beralih kepada debitur sejak terjadinya wanprestasi, ketentuan

ini hanya berlaku bagi perikatan untuk memberikan sesuatu.

d. Membayar biaya perkara apabila ia diperkarakan dimuka hakim.

e. Memenuhi perjanjian jika masih dapat dilakukan,atau pembatalan

perjanjian disertai dengan pembayaran ganti rugi.

Alasan kedua tidak dipenuhinya kewajiban adalah keadaan memaksa

(overmacht, force majeur). Dalam keadaan memaksa ini debitur tidak dapat

dipersalahkan,karena keadaan ini timbul di luar kemampuan pihak debitur.

Keadaan memaksa ini dapat bersifat sementara maupun bersifat tetap.

“Keadaan memaksa adalah keadaan tidak dapat dipenuhinya prestasi oleh

debitur karena telah terjadi sesuatu peristiwa bukan karena kesalahannya

peristiwa mana tidak dapat diketahui atau tidak dapat diduga akan terjadi pada

waktu membuat perikatan", unsur-unsur yang terdapat dalam keadaan

memaksa yaitu :

a. Tidak dipenuhi prestasi karena suatu peristiwa yang membinasakan


70

atau memusnahkan benda yang menjadi objek perikatan.

b. Tidak dapat dipenuhi prestasi karena suatu peristiwa yang

menghalangi perbuatan debitur untuk berprestasi, ini dapat bersifat

tetap atau sementara.

c. Peristiwa tidak dapat diketahui atau diduga akan terjadi pada waktu

membuat perikatan baik oleh debitur maupun oleh kreditur. Jadi bukan

kesalahan para pihak,khususnya debitur.53

Hapusnya Persetujuan sebagai hubungan hukum antara debitur dan

kreditur dengan sendirinya akan menghapuskan seluruh perjanjian. Akan

tetapi sebaliknya dengan hapusnya perjanjian belum tentu dengan sendirinya

mengakibatkan hapusnya perjanjian, Hanya saja dengan hapusnya perjanjian,

persetujuan yang bersangkutan tidak lagi mempunyai kekuatan pelaksanaan.

Sebab dengan hapusnya perjanjian berarti pelaksanaan persetujuan telah

dipenuhi debitur.

Adapun cara-cara penghapusan perjanjian telah diatur dalam pasal

1381 B.W. Cara-cara hapusnya suatu perikatan pasal 1381 Kitab undang-

undang hukum perdata menyebutkan 10 Cara hapusnya suatu perikatan, cara-

cara tersebut adalah:

a. Pembayaran;

b. Penawaran pembayaran tunai diikuti dengan penyimpanan atau

penitipan;

c. Pembaharuan utang;

53
Abdulkadir Muhammad,1992, Hukum Perikatan, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, hal.
20-28.
71

d. Perjumpaan utang atau kompensasi;

e. Percampuran utang;

f. Pembebasan utang;

g. Musnahnya barang yang terutang;

h. Batal atau pembatalan;

i. Berlakunya suatu syarat batal dan

j. Lewatnya waktu.

Cara-cara hapusnya perikatan itu, akan kita bicarakan satu persatu

a. Karena pembayaran. Yang dimaksud dengan pembayaran di sini

adalah pembayaran dalam arti luas yaitu meliputi tidak saja

pembayaran berupa uang, melainkan juga penyerahan barang yang

dijual oleh penjualnya dengan kata lain pelaksanaan perjanjian.

Menurut ketentuan Pasal 1382 KUHPer, yang berkewajiban membayar

hutang bukan saja debitur, melainkan juga orang yang turut berhutang

dan penanggung hutang, bahkan pihak ketiga, asal saja ia bertindak

atas nama dan untuk melunasi hutang debitur. Apabila ia bertindak

atas nama sendiri ia tidak menghentikan hak debitur.

b. Karena penawaran pembayaran tunai diikuti penitipan. Dalam soal

pembayaran bisa terjadi konsinyasi apabila debitur telah melakukan

penawaran pembayaran dengan perantara notaris atau jurusita,

kemudian kreditur menolak penawaran tersebut. Atas penolakan

kreditur itu kemudian debitur menitipkan pembayaran itu kepada

panitera Pengadilan Negeri untuk disimpankan. Dengan demikian


72

perikatan menjadi hapus karenanya (Pasal 1404 KUHPer). Prosedur

konsinyasi itu diatur dalam Pasal 1405 KUHPer sampai dengan 1407

KUHPer Akibat hukum konsinyasi ialah debitur sudah dianggap

melakukan kewajibannya untuk berprestasi, sesudah tanggal itu ia

bebas dari pembayaran bunga.

c. Karena pembaharuan hutang. Pembaharuan hutang terjadi dengan

jalan mengganti hutang lama dengan hutang baru, debitur lama dengan

debitur baru dan kreditur lama dan kreditur baru. Dalam hal hutang

lama ganti dengan hutang baru terjadilah penggantian objek perjanjian

yang disebut dengan novasi objektif. Di sini hutang lama menjadi

lenyap. Dalam hal terjadi pengganti orangnya (subjeknya) maka jika

yang diganti itu debiturnya, pembaharuan semacam ini disebut novasi

subjektif pasif, jika yang diganti itu krediturnya disebut novasi

subjektif aktif.

d. Karena perjumpaan utang atau kompensasi. Perjumpaan utang sering

disebut dengan perhitungan hutang. Dikatakan adanya perjumpaan

hutang apabila hutang piutang debitur dan kreditur secara timbal balik

dilakukan perhitungan, dengan perhitungan ini hutang piutang lama

lenyap. Setiap hutang apapun sebabnya dapat diperjumpakan kecuali

dalam tiga hal yang disebabkan dalam pasal 1429 KUHPer :

1) Apabila dituntut pengembalian suatu barang yang secara melawan

hukum dirampas dari pemiliknya, misalnya dengan pencurian;

2) Apabila dituntut pengembalian barang sesuatu yang dititipkan atau


73

dipinjamkan;

3) Terhadap suatu hutang yang bersumber pada tunjangan nafkah

yang telah dinyatakan tidak dapat disita.

4) Karena percampuran hutang.

Menurut ketentuan Pasal 1436 KUH Per, percampuran hutang itu

terjadi apabila kedudukan kreditur dan debitur itu menjadi satu artinya

berada dalam tangan satu orang. Percampuran hutang tersebut terjadi

demi hukum, atau secara otomatis. Dalam percampuran hutan ini

hutang piutang menjadi lenyap. Selanjutnya dalam Pasal 1437

KUHPer ditentukan bahwa percampuran hutang yang terjadi pada

debitur utama, berlaku juga untuk keuntungan para penjamin

hutangnya. Sebaliknya percampuran yang terjadi pada penjamin

hutang tidak sekali-kali mengakibatkan hapusnya utang pokok. Jadi

apabila penjamin menjadi ahli waris percampuran hutang tidak terjadi

dan hutang tetap ada, hanya saja sekarang penjamin berubah menjadi

kreditur.

e. Karena pembebasan utang. Pembebasan hutang dapat terjadi apabila

kreditur dengan tegas menyatakan tidak menghendaki lagi prestasi dari

debitur dan melepaskan haknya atas pembayaran atau pemenuhan

perjanjian. Dengan pembebasan ini berikatan menjadi lenyap atau

hapus. Menurut ketentuan Pasal 1438 KUH Per, pembebasan tidak

boleh berdasarkan persangkaan, melainkan harus dibuktikan. Bukti

tersebut dapat dipergunakan misalnya dengan pengembalian surat


74

piutang asli oleh kreditur kepada debitur secara sukarela dalam (Pasal

1439 KUHPer. Jika ada beberapa debitur yang saling menanggung

maka pembebasan debitur membebaskan pula debitur-debitur yang

lainnya. Pembebasan debitur utama membebaskan pula penjamin

penjaminnya. Tetapi pembebasan penjamin tidak dapat membebaskan

debitur utama Pasal 1440 dan 1442 KUHPer.

f. Karena musnahnya barang yang terutang. Menurut ketentuan Pasal

1444 KUHPer, apabila barang tertentu yang menjadi objek perikatan

itu musnah, tidak dapat lagi diperdagangkan atau hilang di luar

kesalahan debitur, sebelum ia lalai menyerahkannya pada waktu yang

telah ditentukan, maka perikatannya menjadi lenyap atau hapus. Dari

ketentuan pasal ini dapat diketahui bahwa musnahnya atau hilangnya

barang itu di luar kesalahan debitur. Dalam pengertian di luar

kesalahan debitur ini tersimpul usaha-usaha yang telah dilakukan oleh

debitur untuk mencegah hilang atau musnahnya barang yang menjadi

objek perikatan itu.

g. Karena pembatalan. Jika dibaca Pasal 1446 KUHPer ternyata yang

dimaksud di sini hanyalah mengenai soal pembatalan saja, tidak

mengenai kebatalan, syarat-syarat untuk pembatalan yang disebutkan

itu adalah syarat-syarat subjektif yang ditentukan dalam Pasal 1320

KUHPer, demikian juga dalam pasal-pasal berikutnya disebutkan

alasan-alasan pembatalan seperti yang terdapat dalam Pasal 1321

KUHPer, juga merupakan syarat-syarat subjektif. Jika syarat-syarat


75

subjektif tidak dipenuhi maka perikatan itu tidak batal melainkan dapat

dibatalkan. Perikatan yang tidak memenuhi syarat-syarat subjektif

dapat dimintakan pembatalan kepada hakim dengan dua cara yaitu :

1) Dengan cara aktif yaitu menuntut pembatalan kepada hakim yang

mengajukan gugatan;

2) Dengan cara pembelaan yaitu menunggu sampai digugat dimuka

hakim untuk memenuhi perikatan dan baru diajukan alasan tentang

kekurangan perikatan itu.

h. Karena berlakunya suatu syarat batal. Yang dimaksud di sini adalah

ketentuan isi perjanjian yang disetujui oleh kedua belah pihak, syarat

mana jika dipenuhi mengakibatkan perikatan itu batal sehingga

berikatan itu menjadi lenyap, syarat yang demikian ini disebut syarat

batal, syarat batal ini dapat dibaca dalam perikatan bersyarat yang

telah dibicarakan lebih dahulu, syarat batal itu pada asasnya selalu

berlaku surut yaitu sejak perikatan itu dilahirkan, perikatan yang batal

dipulihkan dalam keadaan semula seolah-olah tidak pernah terjadi

adanya perikatan.

i. Karena lewatnya waktu. Menurut ketentuan Pasal 1946 KUHPer,

daluwarsa atau lewatnya waktu adalah suatu upaya untuk memperoleh

sesuatu atau untuk dibebaskan dari suatu perikatan dengan lewatnya

suatu waktu tertentu dan atas syarat-syarat yang ditentukan oleh

undang-undang. Dari ketentuan pasal tersebut di atas dapat diketahui

adanya dua macam lampau waktu yaitu:


76

1) Lampau waktu untuk memperoleh hak milik atas suatu barang

disebut acquisitive prescription;

2) Lampau waktu untuk dibebaskan dari suatu perikatan atau

dibebaskan dari tuntutan disebut extinctive prescription.

Daluwarsa untuk dibebaskan dari suatu perikatan, dalam Pasal 1967

KUHPer, ditentukan bahwa segala tuntutan baik yang bersifat

kebendaan maupun yang bersifat perorangan hapus karena daluwarsa,

dengan lewat waktu 30 tahun, sedangkan orang yang menunjukkan

adanya daluwarsa itu tidak usah menunjukkan alas hak, dan tidak

dapat diajukan terhadapnya tangkisan yang berdasarkan itikad buruk.

Daluwarsa dapat dicegah apabila kenikmatan atas benda itu selama

lebih dari satu tahun, diambil kembali dari tangan orang yang

menguasai benda itu, baik oleh pemiliknya maupun oleh pihak ketiga

(Pasal 1978 KUHPer), pencegahan daluwarsa itu dilakukan dengan

peringatan atau teguran suatu gugatan atau perbuatan hukum lainnya

yang diberitahukan oleh pejabat yang berwenang kepada pihak yang

hendak dicegah daluwarsa itu (pasal 1979 KUHPer). Tetapi daluwarsa

itu tidak tercegah jika peringatan atau gugatan itu ditarik kembali atau

dinyatakan batal atau digugurkan atau ditolak oleh hakim (pasal 1981

KUHPer). Dengan lewatnya waktu tersebut hapuslah setiap perikatan

hukum dan tinggallah suatu perikatan bebas, artinya kalau dibayar

boleh tetapi tidak dapat dituntut di depan hakim54.

54
Subekti, 1979, Hukum Perjanjian catatan ke XII, PT Intermasa, hal. 64-78.
77

B. Tinjauan Umum Tentang Waralaba

1. Waralaba pada umumnya dan dasar hukumnya

Secara bebas dan sederhana, waralaba didefinisikan sebagai hak

istimewa yang terjalin dan diberikan oleh pemberi waralaba kepada penerima

waralaba dengan sejumlah kewajiban atau pembayaran. Dalam format bisnis

pengertian waralaba adalah pengaturan bisnis dengan sistem pemberian hak

pemakaian nama dagang oleh pemberi waralaba kepada penerima waralaba

untuk menjual produk atau jasa sesuai dengan kesepakatan.55

Menurut Peraturan Pemerintah Pasal 1 Nomor 42 Tahun 2007,

waralaba adalah Hak khusus yang dimiliki oleh orang perseorangan atau

badan usaha terhadap sistem bisnis dengan ciri khas usaha dalam rangka

memasarkan barang dan/atau jasa yang telah terbukti berhasil dan dapat

dimanfaatkan dan/atau digunakan oleh pihak lain berdasarkan perjanjian

waralaba. Menurut Peraturan Pemerintah Pasal 2 Nomor 42 Tahun 2007,

Pemberi waralaba adalah orang perseorangan atau badan usaha yang

memberikan hak untuk memanfaatkan dan atau menggunakan waralaba yang

dimilikinya kepada penerima waralaba. Menurut Peraturan Pemerintah Pasal 3

Nomor 42 Tahun 2007, Penerima waralaba adalah orang perseorangan atau

badan usaha yang diberikan hak oleh pemberi waralaba Untuk memanfaatkan

dan/atau menggunakan waralaba yang dimiliki pemberi waralaba.

Waralaba di Indonesia juga diatur dengan Permendag 71 tahun 2019

tentang Penyelenggaraan Waralaba, penyelenggaraan waralaba harus

didasarkan pada Perjanjian Waralaba yang dibuat antara para pihak yang
55
Adrian Sutedi, 2008, Hukum Waralaba, Ghalia Indonesia, hal. 6.
78

mempunyai kedudukan hukum yang setara dan terhadap mereka berlaku

hukum Indonesia. Dalam Pasal 1 angka 1 Permendag No. 71 Tahun 2019

tentang penyelenggaraan waralaba, waralaba adalah hak khusus yang dimiliki

oleh orang perseorangan atau badan usaha terhadap sistem bisnis dengan ciri

khas usaha dalam rangka memasarkan barang dan/atau jasa yang telah terbukti

berhasil dan dapat dimanfaatkan dan/atau digunakan oleh pihak lain

berdasarkan perjanjian waralaba. Menurut PP NO.42 Tahun 2007, ciri khas

usaha adalah suatu usaha yang memiliki keunggulan atau perbedaan yang

tidak mudah ditiru dibandingkan dengan usaha lain sejenisnya dan membuat

konsumen selalu mencari ciri khas dimaksud. Contohnya sistem manajemen,

cara penjualan dan pelayanan atau penataan atau cara distribusi yang

merupakan karakteristik khusus dari pemberi waralaba.

Permendag No. 71 Tahun 2019 juga menentukan bahwa waralaba

dilaksanakan berdasarkan suatu kontrak waralaba yang harus didaftarkan pada

instansi pemerintah yang berwenang. Kontrak waralaba setidak-tidaknya juga

akan mengatur mengenai izin untuk menggunakan merek dagang dan/atau

jasa, dan izin untuk menerapkan sistem bisnis yang dilindungi sebagai rahasia

dagang, milik pemberi waralaba oleh penerima waralaba. Baik pemberi

waralaba maupun penerima waralaba pada praktik di dunia bisnis di Indonesia

hingga saat ini masih jarang yang mengajukan permohonan pencatatan dan

pendaftaran kontrak waralabanya kepada instansi pemerintah. Hal ini

disebabkan karena adanya suatu persoalan hukum yaitu aturan hukum di

bidang waralaba yang kabur. Persoalan hukum yang kabur berupa aturan
79

hukum yang kabur sangat nampak pada ketentuan Pasal 2 angka 2 Permendag

No. 71 Tahun 2019 , Waralaba harus memenuhi kriteria sebagai berikut :

a. Memiliki ciri khas usaha;

b. Terbukti sudah memberikan keuntungan;

c. Memiliki standar atas pelayanan dan barang dan/atau jasa yang ditawarkan

yang dibuat secara tertulis;

d. Mudah diajarkan dan diaplikasikan;

e. Adanya dukungan yang berkesinambungan; dan

f. Hak kekayaan intelektual yang terdaftar.

Sedangkan dalam Penjelasan Pasal 2 angka 6 Permendag No. 71

Tahun 2019 diatur: Yang dimaksud dengan “Hak kekayaan Intelektual yang

telah terdaftar” adalah Hak Kekayaan Intelektual yang terkait dengan usaha

seperti merek dan/atau hak cipta dan/atau paten dan/atau lisensi dan/atau

rahasia dagang sudah didaftarkan dan mempunyai sertifikat atau sedang dalam

proses pendaftaran di instansi yang berwenang.

Berdasarkan ketentuan Pasal 2 angka 6 Permendag No. 71 Tahun

2019 dan penjelasannya tersebut, semua jenis HKI yang merupakan salah satu

kriteria dari waralaba harus sudah didaftarkan dan mempunyai sertifikat atau

sedang dalam proses pendaftaran di instansi yang berwenang. Hal ini tidak

sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang HKI,

karena lahirnya semua jenis HAKI kecuali Hak Cipta dan Rahasia Dagang

adalah pada saat HKI tersebut telah didaftarkan dan mempunyai

sertifikat.Sedangkan lahirnya Hak Cipta dan Rahasia Dagang bukan karena


80

suatu pendaftaran melainkan secara otomatis tanpa adanya suatu pendaftaran.

Begitu pula dengan kontrak lisensi yang tidak mengenal proses pendaftaran

melainkan pencatatan.56

Menurut Pasal 1 angka 8 Permendag No.71 Tahun 2019, Perjanjian

waralaba adalah perjanjian tertulis antara pemberi waralaba dengan penerima

waralaba atau pemberi waralaba lanjutan dengan penerima waralaba lanjutan.

Perjanjian waralaba memuat kumpulan persyaratan, ketentuan dan komitmen

yang dibuat dan dikehendaki pemberi waralaba bagi para penerima

waralabanya.57

Menurut Pasal 6 Permendag No. 71 Tahun 2019 menyebutkan bahwa

perjanjian waralaba yang akan di perjanjian harus memenuhi beberapa kriteria

(1) Penyelenggaraan Waralaba harus didasarkan pada Perjanjian Waralaba

yang dibuat antara para pihak yang mempunyai kedudukan hukum yang setara

dan terhadap mereka berlaku hukum Indonesia. (2) Perjanjian Waralaba

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuat berdasarkan hukum Indonesia dan

memuat paling sedikit materi atau klausula sebagaimana tercantum dalam

Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dan Peraturan Menteri

ini. (3) Perjanjian Waralaba sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus

disampaikan kepada calon Penerima Waralaba atau Penerima Waralaba

Lanjutan paling lambat 2 (dua) minggu sebelum penandatanganan Perjanjian

Waralaba. (4) Perjanjian Waralaba sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus

ditulis menggunakan Bahasa Indonesia.


56
Kevin Kogin, 2014, Aspek Hukum Kontrak Waralaba Pada Kegiatan Usaha Jasa
Makanan dan Minuman, PT.Tatanusa, Jakarta, Indonesia, hal. 4-6.
57
Adrian Sutedi, 2008, Hukum Waralaba, Ghalia Indonesia, hal. 79.
81

Menurut Pasal 24 Permendag No.71 Tahun 2019 menyebutkan bahwa

(1) Pemberi Waralaba dan Pemberi Waralaba Lanjutan wajib memberikan

pembinaan kepada Penerima Waralaba dan Penerima Waralaba Lanjutan. (2)

Pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi antara lain: a.

pendidikan dan pelatihan mengenai sistem manajemen pengelolaan Waralaba

yang dikerjasamakan, sehingga Penerima Waralaba dapat menjalankan

kegiatan usaha Waralaba dengan baik dan menguntungkan; b. secara rutin

memberikan bimbingan operasional manajemen, sehingga apabila ditemukan

kesalahan operasional dapat diatasi dengan segera; c. membantu

pengembangan pasar melalui promosi, seperti melalui iklan, leaflet/ katalog/

brosur atau pameran; dan d. penelitian dan pengembangan pasar dan produk

yang dipasarkan, sehingga sesuai dengan kebutuhan dan dapat diterima pasar

dengan baik.

Menurut Pasal 30 Permendag No.71 Tahun 2019 menyebutkan bahwa

(1) Penyelenggara Waralaba yang melanggar ketentuan sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 13, Pasal 14 ayat (1), Pasal 24 ayat (1), Pasal 27 ayat

(1) dan ayat (2) dikenai sanksi administratif berupa peringatan tertulis oleh

Direktur Bina Usaha dan Pelaku Distribusi. (2) Peringatan tertulis

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan paling banyak 3 (tiga) kali

dengan masa tenggang waktu antara masing-masing peringatan paling lama

14 (empat belas) hari.

Menurut Pasal 31 Permendag No.71 Tahun 2019 menyebutkan bahwa

Apabila dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari setelah diberikan


82

peringatan tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30, penyelenggara

Waralaba tetap tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 13, Pasal 14 ayat (1), Pasal 24 ayat (1), Pasal 27 ayat (1) dan ayat (2),

dikenai sanksi administratif berupa pencabutan STPW oleh pejabat penerbit

sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Menurut Pasal 32 Permendag No.71 Tahun 2019 menyebutkan bahwa

Orang perseorangan atau badan usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 3 dan Pasal 17 dikenai sanksi administratif berupa

rekomendasi pencabutan izin usaha dan/atau izin operasional/komersial

kepada pejabat penerbit sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-

undangan.58

Keberadaan aturan hukum di bidang waralaba yang kabur tersebut

menyebabkan para pelaku usaha tidak memahami esensi dari pengaturan di

bidang waralaba yang pada gilirannya juga dapat merugikan para pihak di

dalam kontrak waralaba itu sendiri pada khususnya Penerima Waralaba dan

juga masyarakat. Penerima Waralaba juga cenderung pasrah dan takut untuk

mengajukan gugatan berdasarkan wanprestasi kepada Pemberi Waralaba

melalui lembaga peradilan yang berwenang manakala Pemberi Waralaba

melakukan pelanggaran-pelanggaran terhadap isi kontrak waralaba, karena

Penerima Waralaba tidak ingin bila kontrak waralaba tersebut dinyatakan

batal demi hukum oleh lembaga peradilan yang berwenang tersebut.

Oleh karena itu, Penerima Waralaba sebagai pihak yang lemah

58
Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor 71 Tahun 2019 Tentang
Penyelenggaraan Waralaba
83

memerlukan perlindungan hukum yang memadai agar Penerima Waralaba

dapat melaksanakan kontrak waralaba dengan tepat, seimbang, dan terhindar

dari ancaman sanksi di dalam undang-undang nomor 5 tahun 1999. 59 Secara

khusus belum ada aturan yang mengaturnya, namun peraturan perundang-

undangan yang memiliki hubungan dengan waralaba adalah :

a. Pasal 1320 dan Pasal 1338 KUHPerdata;

b. Undang-Undang No. 30 Tahun 2000 tentang Rahasia Dagang;

c. Undang-Undang No. 14 Tahun 2001 tentang Paten;

d. Undang-Undang No. 15 Tahun 2001 tentang Merek;

e. Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2007 tentang Waralaba;

f. Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor 71 Tahun

2019 Tentang Penyelenggaraan Waralaba;

2. Asas Kebebasan Berkontrak Dalam Perjanjian Waralaba

Kebebasan berkontrak berlatar belakang pada paham individualisme

yang secara embrional lahir dalam zaman Yunani, diteruskan oleh kaum

Epicuristen dan berkembang pesat dalam zaman renaissance melalui antara

lain ajaran-ajaran Hugo de Groot, Thomas Hobbes, John Locke, dan

Rousseau. Puncak perkembangannya tercapai dalam periode setelah revolusi

Perancis. Menurut paham individualisme, setiap orang bebas untuk

memperoleh apa yang dikehendakinya.

Pada akhir abad ke-19, akibat desakan paham etis dan sosialis, paham

individualisme mulai pudar, terlebih-lebih sejak berakhirnya Perang Dunia II.


59
Kevin Kogin, 2014, Aspek Hukum Kontrak Waralaba pada Kegiatan Usaha Jasa
Makanan dan Minuman, PT.Tatanusa, Jakarta, Indonesia, hal. 9.
84

faham ini dinilai tidak mencerminkan keadilan. Masyarakat ingin lebih

banyak perlindungan. Oleh karena itu kehendak bebas tidak lagi diberi arti

mutlak, akan tetapi lebih diberi arti relatif dikaitkan selalu dengan

kepentingan umum.60

Asas kebebasan berkontrak merupakan asas yang menduduki posisi

sentral di dalam hukum kontrak, meskipun asas ini tidak dituangkan menjadi

aturan hukum namun mempunyai pengaruh yang sangat kuat dalam hubungan

kontraktual para pihak.61 Asas kebebasan berkontrak mengandung pengertian

bahwa orang bebas membuat atau tidak membuat perjanjian, bebas

menentukan isi berlakunya dan syarat-syarat perjanjian dengan bentuk tertentu

atau tidak dan bebas memilih undang-undang mana yang akan dipakainya

untuk perjanjian itu. Asas Ini dapat disimpulkan dari ketentuan Pasal 1338

KUHPer yang menyatakan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah

akan mengikat sebagai undang-undang bagi para pembuatnya.

3. Jenis-Jenis Waralaba

Pada umumnya waralaba dibedakan menjadi tiga jenis yaitu sebagai

berikut:

a. Distributorships (Produk franchise). Dalam waralaba ini Pemberi

Waralaba memberikan lisensi kepada Penerima Waralaba untuk

menjual barang-barang hasil produksinya. Pemberian lisensi ini bisa

bersifat eksklusif ataupun non eksklusif. Sering kali terjadi Penerima

60
Prof. Dr. Mariam Darus Badrul Zaman, Dkk, 2001, Kompilasi Hukum Perikatan, PT.
Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 84-85.
61
Prof. Dr. Agus Yudha Hernoko, 2010, Hukum Perjanjian Asas Proposionalitas Dalam
Kontrak Komersial, Kencana Prenada Media Group, hal. 108.
85

Waralaba diberi hak eksklusif untuk memasarkan di suatu wilayah

tertentu.

b. Chain Style Business. Jenis waralaba inilah yang paling banyak

dikenali masyarakat. Dalam jenis ini Penerima Waralaba

mengoperasikan suatu kegiatan bisnis dengan memakai nama dari

Pemberi Waralaba. Sebagai imbalan dari penggunaan nama Pemberi

Waralaba, maka Penerima waralaba harus mengikuti model-model

standar pengoperasian dan berada dibawah pengawasan Pemberi

waralaba dalam hal bahan-bahan yang digunakan, pemilihan tempat

usaha, desain tempat usaha, jam penjualan, persyaratan para karyawan,

dan lain-lain.

c. Manufacturing atau Processing Plants. Dalam waralaba jenis ini,

Pemberi Waralaba memberitahukan bahan-bahan serta tata cara

pembuatan suatu produk, termasuk di dalamnya terdapat formula-

formula rahasianya. Penerima waralaba memproduksi kemudian

memasarkan barang-barang itu secara standar yang diterapkan oleh

Pemberi Waralaba. Sedangkan model bisnis waralaba ada tiga macam

yaitu waralaba jasa, waralaba barang dan waralaba distribusi. Tiga

bentuk waralaba ini ditemukan di dalam kategorisasi waralaba yang

dibuat oleh European Court of Justice pada putusannya dalam kasus

“Pronuptia”. Kombinasi ketiga bentuk waralaba tersebut terdapat di

Indonesia yang umumnya dapat ditemui pada usaha restoran cepat saji,

seperti Mcdonald dan KFC. Di Indonesia sistem waralaba setidaknya


86

dibagi menjadi empat jenis yaitu sebagai berikut:

1) Waralaba dengan sistem format bisnis.

2) waralaba bagi keuntungan.

3) waralaba kerjasama investasi.

4) waralaba produk dan merek dagang.

Dari keempat sistem waralaba tersebut, sistem yang berkembang di

Indonesia saat ini adalah waralaba produk dan merek dagang serta waralaba

sistem format bisnis. Waralaba produk dan merek dagang merupakan bentuk

waralaba yang paling sederhana. Dalam waralaba produk dan merek dagang,

Pemberi waralaba memberikan hak kepada Penerima Waralaba untuk menjual

produk yang dikembangkan oleh Pemberi Waralaba yang disertai dengan

pemberian izin untuk dikembangkan oleh pemberi waralaba yang disertai

dengan pemberian izin menggunakan merek dagang milik pemberi waralaba

atas pemberian izin penggunaan merk dagang tersebut. Biasanya Pemilik

Waralaba mendapatkan bentuk pembayaran royalti dimuka dan selanjutnya

Pemberi Waralaba memperoleh keuntungan melalui penjualan produk yang di

waralabakan kepada Penerima Waralaba.

Dalam bentuknya yang sangat sederhana ini, waralaba produk dan

merek dagang sering kali mengambil bentuk keagenan, distributor atau lisensi

penjualan. Dalam bentuk waralaba ini, Pemberi Waralaba membantu

Penerima Waralaba untuk memilih lokasi yang tepat serta menyediakan jasa

orang untuk membantu mengambil keputusan. Contoh waralaba bentuk ini

adalah dealer mobil auto auto 2000 dari Toyota dan stasiun pompa bensin atau
87

Pertamina.

Sedangkan waralaba format bisnis adalah sistem waralaba yang tidak

hanya menawarkan merek dagang dan logo, tetapi juga menawarkan sistem

yang komplit dan komprehensif mengenai tata cara menjalankan bisnis,

termasuk di dalamnya pelatihan dan konsultasi usaha dalam hal pemasaran,

penjualan, pengelolaan stok, akunting, personalia, pemeliharaan dan

pembangunan bisnis. Dengan kata lain, waralaba format bisnis adalah

pemberian sebuah lisensi oleh Pemberi Waralaba kepada Penerima Waralaba.

Lisensi tersebut memberikan hak kepada Penerima Waralaba untuk berusaha

dengan menggunakan merek dagang atau nama dagang Pemberi Waralaba dan

menggunakan keseluruhan paket yang terdiri dari seluruh elemen, yang

diperlukan untuk membuat seseorang yang sebelumnya belum terlatih dalam

bisnis dan untuk menjalankannya dengan bantuan yang terus-menerus atas

dasar-dasar yang telah ditentukan. Martin Mendelson menyimpulkan bahwa

dalam waralaba format bisnis terdapat ciri-ciri sebagai berikut :

a. Konsep bisnis yang menyeluruh dari Pemberi Waralaba. Konsep ini

berhubungan dengan pengembangan cara untuk menjalankan bisnis

secara sukses yang seluruh aspeknya berasal dari Pemberi Waralaba.

Pemberi Waralaba akan mengembangkan suatu “cetak biru” sebagai

dasar pengelolaan waralaba format bisnis tersebut.

b. Adanya proses permulaan dan pelatihan atas seluruh aspek

penggolongan bisnis yang sesuai dengan konsep Pemberi Waralaba.

Penerima Waralaba akan diberikan pelatihan mengenai metode bisnis


88

yang diperlukan untuk mengelola bisnis sesuai dengan cetak biru yang

telah dibuat oleh Pemberi Waralaba. Pelatihan ini biasanya

menyangkut pelatihan penggunaan peralatan khusus, metode

pemasaran, penyiapan produk, dan penerapan proses. Dalam pelatihan

ini diharapkan Penerima Waralaba menjadi ahli pada seluruh bidang

yang diperlukan untuk menjalankan bisnis yang khusus tersebut.

c. Proses bantuan dan bimbingan yang terus-menerus dari pihak Pemberi

Waralaba, Penerima Waralaba akan terus-menerus memberikan

berbagai jenis pelayanan, tergantung pada tipe format bisnis yang

diwaralabakan. Secara umum, proses ini dapat dikatakan sebagai

proses pemberian bantuan dan bimbingan yang terus-menerus yang

meliputi :

1) Kunjungan berkala Pemberi Waralaba kepada staf di lapangan

guna membantu memperbaiki atau mencegah penyimpangan-

penyimpangan pelaksanaan cetak biru yang diperkirakan dapat

menyebabkan kesulitan dagang bagi Penerima Waralaba;

2) Menghubungkan antara Pemberi Waralaba dan seluruh Penerima

Waralaba secara bersama-sama untuk saling bertukar pikiran dan

pengalaman;

3) Inovasi produk atau konsep, termasuk penelitian mengenai

kemungkinan-kemungkinan pasar serta kesesuaiannya dengan

bisnis yang ada;

4) Pelatihan dan fasilitas pelatihan kembali untuk Penerima Waralaba


89

dan stafnya;Melakukan riset pasar;

5) Iklan dan promosi pada tingkat lokal dan nasional;

6) Peluang-peluang pembelian secara besar-besaran;

7) Nasihat dan jasa manajemen dan akunting;

8) Penerbitan newsletter;

9) Riset mengenai materi, proses dan metode bisnis.62

4. Karakteristik Waralaba

Karakteristik bisnis waralaba tidak lain adalah penggunaan merek

dagang dan identitas suatu perusahaan atau Usahawan oleh perusahaan atau

usahawan lainnya yang disertai dengan pendampingan dan pengawasan yang

berkelanjutan dari pihak Pemberi Waralaba dan kewajiban pembayaran biaya

atau Fee oleh pihak Penerima Waralaba yang disertai dengan ketaatan

terhadap ketentuan-ketentuan dalam perjanjian waralaba yang telah

disepakati. Dari segi yuridis dapat dikemukakan beberapa karakteristik yuridis

dari suatu bisnis waralaba yaitu sebagai berikut.

a. Unsur dasar. Dalam setiap waralaba terdapat tiga unsur dasar yang

harus selalu ada yaitu :

1) Ada pihak pemberi waralaba;

2) Ada pihak penerima waralaba;

3) Bisnis waralaba itu sendiri

b. Keunikan produk.

c. Konsep bisnis total.

62
Adrian Sutedi, 2008, Hukum Waralaba, Ghalia Indonesia, hal. 14-17
90

d. Penerima waralaba memakai atau menjual produk.

e. Penerima waralaba menerima fee dan royalti.

f. Adanya pelatihan manajemen dan keterampilan khusus.

g. Pendaftaran merek dagang, paten atau hak cipta.

h. Bantuan pendanaan dari pihak Penerima Waralaba dari pihak Pemberi

Waralaba atau lembaga keuangan.

i. Pembelian produk langsung dari Pemberi Waralaba.

j. Bantuan promosi dan periklanan dari Pemberi Waralaba.

k. Pelayanan pemilihan lokasi dari Pemberi Waralaba.

l. Daerah pemasaran yang eksklusif.

m. Pengendalian dan penyeragaman mutu.

n. Mengandung unsur merek dan bisnis tertentu.

Karakteristik lain dari waralaba ialah pihak-pihak yang terkait dalam

waralaba sifatnya berdiri sendiri. Penerima Waralaba berada di dalam posisi

independen terhadap pihak dari Pemberi Waralaba, maksudnya ialah pihak

dari Penerima Waralaba berhak atas laba dari usaha yang telah dijalankannya

serta bertanggung jawab atas beban-beban usaha waralabanya sendiri

misalnya pajak dan gaji pegawai. Di luar itu pihak dari Penerima Waralaba

terikat pada aturan dan perjanjian dengan pihak Pemberi Waralaba sesuai

dengan kontrak yang telah disepakati secara bersama.63

5. Hak dan Kewajiban penerima dan pemberi waralaba

Hak dan kewajiban Pemberi Waralaba atau Pemberi Waralaba


63
Ibid, hal. 50-51.
91

Lanjutan dan Penerima Waralaba atau Penerima Waralaba Lanjutan, yaitu hak

dan kewajiban yang meliputi:

a. Pemberi Waralaba atau Pemberi Waralaba Lanjutan, hak untuk

menerima fee atau royalty dari Penerima Waralaba atau Penerima

Waralaba Lanjutan; dan kewajiban untuk memberikan pembinaan

secara berkesinambungan kepada Penerima Waralaba dan Penerima

Waralaba Lanjutan.

b. Penerima Waralaba atau Penerima Waralaba Lanjutan, hak untuk

menggunakan Hak Kekayaan Intelektual atau Ciri Khas Usaha yang

dimiliki Pemberi Waralaba; dan kewajiban untuk menjaga kode

etik/kerahasiaan Hak Kekayaan Intelektual atau Ciri Khas Usaha yang

diberikan Pemberi Waralaba.64

6. Hal-Hal Yang Perlu Diperhatikan Penerima Waralaba

Waralaba merupakan cara jitu bagi seseorang yang memasuki usaha

namun calon dari Penerima Waralaba harus secara cermat meneliti industri

dan menyelidiki waralaba yang akan dipilihnya untuk menentukan apakah

waralaba yang dipilihnya bernilai dibandingkan pengorbanan yang telah

dikeluarkan. Komponen yang harus dijadikan dasar pemilihan bisnis waralaba

yaitu sebagai berikut:

a. Berapa lama usaha tersebut telah berjalan dan berapa lama usaha

tersebut telah di waralabakan.

b. Kesehatan keuangan track record yang baik oleh karena itu calon
64
Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor 71 Tahun 2019 Tentang
Penyelenggaraan Waralaba.
92

Penerima Waralaba perlu banyak membaca majalah ataupun tabloid

yang berhubungan dengan usaha dan bisnis serta menyimak rubrik

opini dan pernyataan dari pembaca karena seringkali dapat diperoleh

informasi yang bermanfaat mengenai sebuah bisnis waralaba yang

sedang ditelaah.

c. Berapa banyak jumlah unit waralaba yang telah berjalan.

d. Nilai dari produk yang ditawarkan bisnis waralaba dalam

hubungannya dengan kemampuan bertahan dalam jangka panjang

e. Keharusan untuk membeli bahan baku dari pihak Pemberi Waralaba.

f. Jenis promosi yang dilakukan oleh pihak Pemberi Waralaba .

g. Ada baiknya bila calon Penerima Waralaba dapat melihat terlebih

dahulu contoh kontrak perjanjian yang akan disetujui.

h. Estimasi profit atau keuntungan dan bahkan estimasi kerugian yang

diproyeksikan dengan realistis.

i. Batasan-batasan yang diberlakukan oleh pihak dari Pemberi Waralaba

untuk kegiatan operasional dan keuangan.

j. Adanya target penjualan ataupun omset yang diterapkan atau

ditetapkan oleh pihak dari Pemberi Waralaba.

k. Batasan-batasan untuk melakukan penyesuaian atau modifikasi

terhadap sistem yang berlaku ataupun modifikasi terhadap jenis

layanan produk.

l. Kebijakan akan pelatihan yang diberlakukan, periode, dan

frekuensinya.
93

m. Seberapa besar dukungan yang dapat diberikan oleh pihak Pemberi

Waralaba dalam mendukung kegiatan operasional rutin dari bisnis

waralaba tersebut.

n. Adakah keperluan investasi tambahan yang signifikan untuk

mengupdate fasilitas ataupun peralatan di masa mendatang.

o. Adanya biaya-biaya tambahan yang diperlukan untuk mendapatkan

fasilitas dan dukungan bagi operasional usaha waralaba di masa

mendatang.

p. Pengalaman dan keahlian utama dari Pemberi Waralaba di bidang

usaha yang diwaralabakan.

q. Apakah lisensi waralaba dapat ditransfer atau dijual kembali kepada

pihak lain.

r. Persyaratan ataupun kondisi untuk mengakhiri sebuah kontrak

waralaba.

s. Keuntungan mengenai ahli waris apabila pihak dari Penerima

Waralaba tidak mampu menjalankan usahanya.

t. Perhitungan pembayaran atau pembagian keuntungan yang rinci dan

detail.

u. Kebijakan dari pihak Pemberi Waralaba mengenai berapa banyak unit

waralaba yang diperkenankan di dalam suatu wilayah untuk

menghindarkan persaingan antara mitra usahanya atau pihak Penerima

Waralaba.

v. Apakah jenis waralaba memerlukan dan telah tercover oleh


94

perlindungan hukum dan asuransi tertentu.

Sebelum calon Penerima Waralaba sampai pada tahap memilih bisnis

di antara beberapa pilihan peluang waralaba mendefinisikan tujuan bisnis

merupakan hal yang sangat penting. Hal ini dapat membantu calon Penerima

Waralaba tidak salah dalam memilih bisnis waralaba yang sesuai dengan

tujuan bisnisnya. Selain itu hal ini juga bisa dijadikan pedoman untuk

menyusun master plan bisnis yang akan dijalankan dan dikembangkan.

Selain tujuan bisnis selera masyarakat dapat dijadikan penyaring yang

cukup tindakan untuk memilih suatu usaha yang memang benar-benar layak

disebut sebagai waralaba bukan hanya sekedar peluang bisnis. Selain itu

walaupun jumlahnya sangat sedikit dan tidak signifikan tetapi terdapat

beberapa kasus waralaba yang dapat dijadikan pelajaran untuk membantu

calon penerima waralaba menentukan bisnis waralaba yang akan digelutinya

kasus tersebut biasanya bersumber dari ketidakmampuan dari pihak Pemberi

Waralaba untuk memenuhi permintaan suplai barang yang membludak atau

overload sehingga distribusi stop ditempat atau berhenti kasus lain yang juga

sering terjadi adalah kurangnya pengawasan terhadap kualitas kontrol dan

manajemen mutu, oleh pihak Pemberi Waralaba sehingga produk yang dibeli

tidak sama antara satu tempat dan tempat lainnya, Penerima Waralaba yang

sukses umumnya ialah mereka benar-benar menaruh minat pada jenis usaha

yang dibeli, Jadi bukan hanyalah sekedar investasi belakang, tetapi juga

memperhitungkan faktor motivasi. Dalam bisnis waralaba pihak Penerima

Waralaba berkewajiban menyediakan tempat usaha dan modal sejumlah


95

tertentu tergantung pada jenis waralaba yang akan dibeli, biaya pembelian

atau penyewaan tempat usaha secara otomatis bukan menjadi tanggung jawab

pihak Pemberi waralaba. Terkait dengan biaya-biaya yang timbul akibat bisnis

waralaba pada umumnya seseorang dari pihak Penerima Waralaba

berkewajiban menanggung beberapa macam biaya yang timbul dari

pelaksanaan perjanjian waralaba tersebut antara lain sebagai berikut:

a. Franchise fee. Jumlah yang harus dibayarkan sebagai imbalan atas

pemberian hak intelektual Pemberi Waralaba, yang harus dibayar

untuk satu kali yaitu pada saat bisnis waralaba akan dimulai atau pada

saat penandatanganan akta perjanjian waralaba. Nilai dari franchise

fee Ini sangatlah bervariasi tergantung pada jenis waralabanya.

1) Royalty fee, jumlah uang yang harus dibayarkan Secara periodik

oleh Penerima Waralaba kepada pemberi waralaba sebagai

imbalan dari hak waralaba oleh pihak Penerima Waralaba yang

merupakan persentase dari omset penjualan sama seperti franchise

fee nilai royalty fee ini sangat bervariatif, tergantung pada jenis

waralabanya.

2) Direct expenses, merupakan biaya langsung yang harus

dikeluarkan oleh pihak Penerima Waralaba sehubungan dengan

pengoperasian suatu usaha waralaba misalnya terhadap biaya

pelatihan dari manajemen dan keterampilan tertentu.

b. Marketing dan advertising fess, Sebagian dari pihak Pemberi

Waralaba juga memperlakukan biaya periklanan untuk membiayai pos


96

pengeluaran atau biaya iklan dari pihak Pemberi Waralaba yang

disebarluaskan secara nasional maupun internasional, biaya

periklanan maksimum 3% dari penjualan.

c. Assignment fee, merupakan biaya yang harus dibayarkan oleh pihak

Penerima Waralaba kepada pihak Pemberi Waralaba jika pihak

Penerima Waralaba mengalihkan bisnisnya kepada pihak lain,

termasuk yang merupakan objek dari Penerima Waralaba. Oleh

Pemberi Waralaba biaya tersebut biasanya dimanfaatkan untuk

kepentingan penetapan pembuatan perjanjian penyerahan, pelatihan

pihak Penerima Waralaba baru dan sebagainya.

Selain kewajiban finansial Penerima Waralaba juga mempunyai

kewajiban non finansial yang sangat esensial, yaitu menjaga image produk

waralaba pihak Penerima Waralaba diuntungkan dengan adanya standarisasi

dan pengoperasian yang jelas yang dituangkan di dalam SOP. Dari segi

finansial dalam memilih waralaba calon Penerima Waralaba juga harus

memikirkan margin keuntungan yang akan diperolehnya margin keuntungan

normal biasanya didapatkan oleh Penerima Waralaba minimum tingkat

pengembalian 15% bila hanya mengembalikan pengembalian 10% lebih baik

seseorang berinvestasi pada instrumen keuangan yang aman di tingkat

pengembalian 10%, misalnya obligasi pemerintahan. artinya investor harus

mendapatkan premium bila melakukan investasi pada industri yang beresiko.

Resiko premium tersebut minimum sekitar 5% dan jumlah tersebut sudah


97

paling minimum.65

7. Hal-Hal Yang Perlu Diperhatikan Pemberi Waralaba

Hal-hal yang harus diperhatikan oleh pihak dari Pemberi Waralaba

pada bagian awal akan diuraikan tahap-tahap yang harus diperhatikan oleh

pihak dari Pemberi Waralaba sebelum memberikan hak kepada Penerima

Waralaba:

a. Tahap audit internal yaitu tahap di mana pihak dari Pemberi Waralaba

mengaudit semua laporan penjualan, personalia maupun keuangan

khususnya dua tahun terakhir. Pihak dari Pemberi Waralaba juga harus

menyediakan perhitungan keuangan yang dapat yang mencakup BEP

(break event point) dan ROI (return on investment). Pada tahap ini

diperlakukan auditor independen untuk. menganalisis profitabilitas

likuiditas dan solvabilitas keuangan perusahaan, memprediksi

permintaan pasar, melakukan marketing intelligence serta

menganalisis kekuatan dan kelemahan pesaing di mata pasar dan

konsumen, melakukan analisis untuk mengetahui apakah konsep bisnis

dapat diterapkan di dalam situasi pasar yang berbeda-beda.

b. Tahap menyusun dan mengembangkan sistem yang memiliki standar

dan dapat diimplementasikan di setiap pihak Penerima Waralaba.

Tahap ini sering disebut sistem adjustment dan grading.

c. Tahap pengembangan waralaba, pada tahap ini dilakukan sistem

simulasi perhitungan perkiraan pembiayaan dan pendapatan,

65
Adrian Sutedi, 2008, Hukum Waralaba, Ghalia Indonesia, hal. 56-74.
98

penyusunan konsep-konsep teori, serta wilayah pemasaran. Selain itu

juga dilakukan penyusunan manual sistem teknologi informasi yang

digunakan untuk manual pembukuan atau laporan, manual quality

control, manual pemasaran atau periklanan, manual latihan atau

training, manual bantuan lapangan, rancangan organisasi, perencanaan

strategis, brosur untuk penawaran, persiapan dokumen hukum.

d. Tahap franchise implementation pada tahap ini dipersiapkan kriteria

Penyeleksian pihak penerima waralaba termasuk seleksi lokasi

prosedur pembukuan operasi usaha pengembangan bisnis waralaba

dan strategi pemasaran. pada tahap ini ada beberapa hal yang harus

dilakukan oleh pihak pemberi Waralaba yaitu membuat prosedur

legalitas MOU atau perjanjian kerjasama waralaba, mendaftarkan

pihak penerima waralaba ke Departemen perdagangan, melakukan

pelatihan atau training bagi penerima waralaba, melakukan monitoring

dan evaluasi.

Untuk mendukung kesuksesan waralaba pihak dari Pemberi Waralaba

harus melakukan beberapa hal antara lain sebagai berikut: pemilihan lokasi

usaha waralaba, rancangan outlet dan layout lokasi usaha waralaba, mencari

supplier bahan baku dan peralatan, pelatihan sumber daya manusia,

pemasaran usaha waralaba, manajemen outlet usaha waralaba, pelatihan

meningkatkan penjualan.66

8. Keuntungan dan Kerugian Waralaba

66
Ibid, hal.75-76.
99

Bisnis waralaba memiliki beberapa keunggulan yaitu dapat

memperluas jaringan usaha dengan cepat, menciptakan kemitraan yang saling

menguntungkan Meningkatkan lapangan kerja baru, mampu mempercepat alih

teknologi dan meningkatkan peluang berusaha bagi Usaha Kecil dan

Menengah (UMKM), serta merupakan pilihan berwiraswasta dengan risiko

yang kecil. Waralaba pada hakikatnya merupakan sebuah konsep pemasaran

dalam rangka memperluas jaringan usaha dengan cepat. Dengan kata lain

pengusaha yang memiliki modal terbatas bisa bergabung dengan sistem

waralaba yang memberikan jaminan usaha. Bagi para pemula, bisnis waralaba

merupakan pilihan untuk berwirausaha dan berekspansi dengan resiko yang

paling kecil. Risiko bisnis kegagalan waralaba jauh lebih kecil dibandingkan

dengan konsep bisnis yang lainnya, dari uraian ini secara umum bisnis

waralaba merupakan alternatif jalan keluar yang relatif lebih aman bagi:

a. Orang-orang untuk terjun memiliki bisnis sendiri;

b. Perusahaan-perusahaan untuk melakukan ekspansi atau pembukaan

cabang secara efektif tanpa memunculkan overhead yang tinggi dan

kerumitan manajemen yang biasanya berkaitan dengan pendirian

sebuah cabang;

c. Perusahaan untuk mengubah sistem cabang atau agensinya menjadi

mesin pemasaran yang ramping dan tangguh;

Seperti yang telah dikemukakan, sistem waralaba yang berkembang di

Indonesia saat ini ialah waralaba produk dan merek dagang serta waralaba

sistem format bisnis. Menurut Mendelson, ada beberapa keuntungan dan


100

kerugian usaha waralaba format bisnis yaitu sebagai berikut.

a. Keuntungan usaha waralaba format bisnis

1) Penerima waralaba tidak memerlukan pengetahuan dasar dan

pengetahuan khusus.

2) Penerima waralaba mendapat insentif dengan memiliki bisnis

sendiri sehingga mendapatkan keuntungan tambahan.

3) Penerima waralaba akan menerima apabila perlu bantuan sebagai

berikut:

a) Penyelesaian tempat.
b) Mempersiapkan rencana untuk memperbaiki model outlet
termasuk rencana tata kota yang harus diperlukan atau
persyaratan-persyaratan hukum yang diperlukan.
c) Mendapatkan dana untuk sebagian biaya akuisisi dari bisnis
yang diwaralabakan.
d) Pelatihan staf Penerima Waralaba.

e) Bantuan pembelian peralatan.

f) Membantu membuka bisnis dan menjalankan dengan lancar.

4) Penerima Waralaba mendapatkan keuntungan dari aktivitas iklan

dan promosi dari pihak pemilik waralaba pada tingkat nasional.

5) Penerima Waralaba mendapatkan keuntungan dari daya beli yang

besar dan kemampuan negosiasi yang dilakukan oleh pihak

Pemberi Waralaba.

6) Penerima Waralaba mendapatkan pengetahuan khusus serta

pengalaman dari organisasi dan manajemen kantor pusat Pemberi

Waralaba, walaupun ia tetap mandiri.


101

7) Risiko bisnis Penerima Waralaba berkurang sangat besar.

8) Penerima Waralaba mengambil keuntungan dari program riset dan

pengembangan pihak Pemberi Waralaba yang terus-menerus

dilakukan untuk memperbaiki bisnis dan membuat tetap up to date

dan kompetitif.

9) Pemberi Waralaba mengumpulkan informasi dan pengalaman yang

tersedia sebanyak-banyaknya untuk dibagi kepada seluruh

Penerima Waralaba dalam sistemnya.

b. Kerugian usaha waralaba format bisnis

1) Tidak dapat dihindari bahwa hubungan antara Pemberi Waralaba

dengan Penerima Waralaba pasti melibatkan penekanan kontrol,

artinya kontrol tersebut akan mengatur kualitas jasa dan produk

yang akan diberikan kepada masyarakat melalui Penerima

Waralaba.

2) Penerima Waralaba harus membayar Pemberi Waralaba untuk

jasa-jasa yang didapatkannya untuk penggunaan sistem.

3) Kesukaran dalam menilai kualitas Pemberi Waralaba.

4) Kontrak waralaba akan berisi beberapa pembatasan terhadap bisnis

yang diwaralabakan.

5) Penerima Waralaba mungkin menjadi terlalu bergantung terhadap

Pemberi Waralaba. Kebijakan-kebijakan Pemberi Waralaba

mungkin mempengaruhi keuntungan Penerima Waralaba.

Agar niat mencari untung tidak berubah menjadi kerugian haruslah


102

memperhatikan hal-hal berikut ini, seperti yang diingatkan oleh ketua Asosiasi

Franchise Indonesia atau (AFI).

a. Menjaga mutu secara konsisten, penampilan bersih, rapi,

menyenangkan, dan bergengsi.

b. Memiliki konsep bisnis yang jelas berpengalaman dalam mengatasi

berbagai persoalan yang muncul dan telah terbukti keberhasilannya.

c. Mempunyai keunikan tersendiri yang tidak dimiliki oleh pesaing

lainnya.

d. Keunggulan yang telah dimiliki telah dibekukan secara tertulis mulai

dari pemilihan lokasi, perizinan serta analisis bisnis seperti jam

operasional dan sistem manajemen.

e. Pemasaran, pelatihan, dan pengawasan harus jelas agar mutu tetap

terjaga itu sebagai bukti dukungan dari pihak pemberi waralaba

kepada Mitra usahanya.

f. Dengan standar operasional yang ada, ilmu bisa diajarkan dan mudah

dipelajari oleh orang lain dengan baik dan benar.

g. Mencari potensi pasar yang benar.

h. Keuntungan pasti diperoleh bila bisnis yang dijalankan dalam kurun

waktu yang telah ditetapkan keuntungan itu bukan sesaat melainkan

dengan jangka waktu yang panjang.

i. Perjanjian bisnis yang jelas setara antara pihak yang terlibat saling

menguntungkan, dan memiliki dasar hukum yang kuat.67

67
Ibid, hal. 127-134.
103

C. Sekilas Tentang PT Mister Burger Pelita Harapan Indonesia

1. Sejarah Waralaba PT Mister Burger Pelita Harapan Indonesia

Mister Burger merupakan salah satu contoh merek lokal yang

menjual produk asing, namun mampu bersaing dengan merek waralaba burger

dari luar negeri, Mister Burger didirikan oleh Dr. Drs. FX. Y. KIATANTO

pada tanggal 12 Januari 1980 di Yogyakarta. Dengan pembukaan perdana di

JI. Jendral Sudirman No. 48c Yogyakarta, dan Mister Burger mengalami

perkembangan pesat di Yogyakarta pada akhir tahun 1995, dan mendapat

sambutan yang luar biasa pada tahun 2000an, sehingga Mister Burger

melakukan ekspansi ke kota-kota besar di Jawa Tengah seperti Yogyakarta,

Semarang, Salatiga, Magelang, Klaten, Solo.

Menurut Eunike Juni Suprihatin selaku direktur, Mister Burger

ekspansi ke luar kota ini dilakukan dengan sistem kerjasama. Pihak Mister

Burger menyediakan peralatan atau booth, bahan baku atau produk,

sementara pihak mitra cukup menyediakan modal, sumber daya manusia dan

tempat berusaha saja. Harga jual Mister Burger dibandrol dengan harga yang

sangat terjangkau, mulai dari Rp. 16.000,- sampai dengan Rp. 20.000,-,

dengan berbagai jenis variasi.

Eunike Juni Suprihatin mengatakan bahwa ada beberapa produk yang

menjadi unggulan Mister Burger yaitu: Mister Beef, Mister Cheese, Mister

Rings On Cheese, Hot Sosis Cheese Jumbo, dan masih banyak lagi pilihannya.

Sandwich Chicken Olala merupakan salah satu produk unik yang memiliki

jenis roti berukuran panjang (menyerupai hot sosis) dengan isian fillet
104

chicken fillet, lalu Mister Sunny merupakan burger yang menggunakan

isian telur. Big Bang merupakan produk terbaru yang diproduksi oleh Mister

Burger, yang memiliki ukuran tiga kali lebih besar dari burger reguler,

menggunakan daging premium. Terkait dengan kualitas, ibu Eunike Juni

Suprihatin mengatakan bahwa pemilik Mister Burger memberikan perhatian

khusus mengenai masalah pengembangan produk, yang dimana pemilik

sendiri yang turun tangan langsung oleh karena pemilik mempunyai hobi dan

imajinasi yang cukup tinggi.

Perjanjian waralaba Mister Burger mengatur penerima waralaba

menyelenggarakan usaha berdasarkan sistem dan prosedur yang

ditentukan oleh pemberi waralaba. Contohnya, dalam menggoreng daging

burgernya, sesuai prosedur yang ditentukan oleh pemberi waralaba, daging

burger digoreng tidak boleh lebih dari 1 menit supaya daging betul-betul

matang dan tidak gosong dan tetap juicy, tetapi sistem dan prosedur ini tidak

dijalankan oleh pihak penerima waralaba, penerima waralaba beralasan sistem

dan prosedur dari pemberi waralaba tidak praktis dan pihak pemberi waralaba

tidak mungkin mengontrol sistem dan prosedur yang sudah ditetapkan.68

Munculnya jenis usaha yang sama, yaitu burger, apabila menggunakan

merek usaha Mister Burger, dapat memberikan peluang usaha dan keuntungan

yang menjanjikan, dengan penawaran menarik dalam bisnis waralaba

burger, yaitu menawarkan paket waralaba Outlet Small Rp. 5.000.000,00 dan

Outlet Medium Rp.20.000.000,00.

68
Hasil Wawancara Dengan Ibu Eunike Juni Suprihatin selaku direktur dari PT Mister
Burger Pelita Harapan Indonesia pada tanggal 1-10 maret 2023
105

2. Fasilitas Paket Waralaba Mister Burger

Berikut merupakan fasilitas paket "Mister Burger" :

Outlet small Rp. 5.000.000,00 :

a. Stand burger untuk penjualan ukuran 120 cm x 60 cm;

b. Meja magic jar satu dan magic jar kecil 1 buah;

c. Gastronorm Pans 1/2 x 100 dan Flat Cover GP 1/2x 100 masing-

masing satu, Perforated GP 1/2 x 40 satu;

d. Gastronorm Pans 1/4 x 100 dan Flat Cover GP 1/4 x 100 masing-

masing tiga;

e. Daftar Menu Burger dua;

f. Teflon satu, penjepit roti satu, penjepit daging, botol saus tiga;

g. Talenan tanggung satu, pisau roti satu dan nampan satu;

Outlet medium Rp. 20.000.000,00 :

1. Stand burger untuk penjualan ukuran 120 cm x 60 cm;

2. Stand sosis panggang untuk penjualan ukuran 90 cm x 60 cm;

3. Stand kebab kadir untuk penjualan ukuran 90 cm x 60 cm;

4. Meja samping ukuran 90 cm x 60 cm dua;

5. Gastronorm Pans 1/2 x 100 dan Flat Cover GP 1/2 x 100 masing-

masing satu;

6. Perforated GP 1/2x 40 satu, buat tempat daging burger habis

digoreng;

7. Gastronorm Pans 1/2 x 100 dan Flat Cover GP 1/2x 100 masing-

masing satu, buat tempat sosis yang habis direbus;


106

b. Gastronorm Pans 1/4 x 100 dan Flat Cover GP 1/4 x 100 masing-

masing tiga. Buat burger;

c. Gastronorm Pans 1/4 x 100 dan Flat Cover GP 1/4 x 100 masing-

masing tiga. Buat kebab kadir;

d. Toples Stainless tiga, buat tempat pasta, sendok pasta tiga;

e. Daftar menu burger dua, daftar menu sosis panggang dua, daftar

menu kebab kadir dua;

f. Teflon burger satu, penjepit roti satu, penjepit daging, botol saus

tiga, penjepit sosis satu, teflon kebab satu, penjepit kebab satu, serok

kebab satu, botol saus tiga, botol mini dua;

g. Talenan tanggung dua buat burger dan sosis panggang, pisau roti satu;

h. Banner harga burger, banner harga sosis panggang, banner harga

kebab

Sampai saat ini telah tercatat sebanyak 50 stand Mister Burger yang

tersebar di Daerah Istimewa Yogyakarta Dan Jawa Tengah. Produk yang telah

dihasilkan oleh Mister Burger antara lain roti burger, daging burger, keju,

onion ring, telur atau sunny, nanas, daging olala, daging angry,sosis jumbo,

mayonaise, saus sambal, saus tomat, tortilla, daging kebab, mustard, pasta

barbeque, pasta black pepper, pasta bolognaise, saus keju, bumbu bakaran

untuk sosis panggang.

3. Daya tarik Waralaba Mister Burger

Berikut ini merupakan daya tarik waralaba dari Mister Burger:

1. Memiliki peluang untuk mendapat untung lebih besar. Keuntungan


107

dari bisnis waralaba adalah mendapatkan keuntungan lebih besar

karena brand telah dikenal banyak orang. Dengan modal tidak terlalu

besar sehingga masih terjangkau bagi mereka yang ingin membuka

usaha;

2. Kerjasama bisnis telah terbangun. Orang yang membeli waralaba bisa

mendapatkan keuntungan kerjasama yang telah terbangun

sebelumnya oleh pemilik waralaba. Contohnya kerjasama dengan

pemasok bahan baku, pihak periklanan dan juga pemasaran;

3. Bahan baku produk sudah disediakan oleh Mister Burger sehingga

penerima waralaba tidak perlu mencari bahan baku produk;

b. Dukungan dan keamanan yang lebih kuat. Pemilik waralaba akan

memberikan pelatihan seperti manajemen finansial, pemasaran,

periklanan dan lain lain. Termasuk training karyawan (cara meracik

dan melayani konsumen) tanpa tambahan biaya;

c. Manajemen finansial yang lebih mudah. Investor cenderung lebih

suka untuk memberikan modal pada bisnis yang telah kokoh dari

segi finansial dan jaringan pemasaran. Dengan berbisnis waralaba,

sistem manajemen finansial telah ditetapkan oleh pemilik waralaba

utama, sehingga tidak perlu dipusingkan lagi dengan manajemen

finansial seperti membangun bisnis baru, sehingga kembali modal

cepatnya cepat;

d. Burger merupakan makanan untuk anak-anak hingga orang dewasa

sehingga pasarnya luas. Harga produk cukup murah sehingga dapat


108

terjangkau oleh kalangan manapun;

e. Mereknya telah banyak dikenal oleh khalayak luas, sehingga tidak

perlu biaya lebih untuk memasarkan produknya. Pemasaran bisnis

waralaba Mister Burger cenderung lebih mudah, karena bisnis

sebelumnya lebih terdahulu di kenal masyarakat. Dengan kata lain,

biaya dan tenaga yang diperlukan untuk membangun reputasi bisnis

tersebut jauh lebih sedikit dibandingkan dengan membangun bisnis

baru;

f. Manajemen bisnis telah terbangun, bisnis waralaba Mister Burger

memberikan keuntungan untuk berbisnis di bawah bendera bisnis

Mister Burger yang sudah memiliki reputasi yang bagus.69

D. Hasil dan Analisa Penelitian

1. Perlindungan Hukum dalam Pelaksanaan Perjanjian antara Pemberi

dan Penerima Waralaba

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, perjanjian waralaba

antara PT Mister Burger Pelita Harapan Indonesia dengan penerima waralaba,

PT Mister Burger Pelita Harapan Indonesia memberikan jaminan kepada

pihak penerima waralaba, demikian juga pihak penerima waralaba

memberikan jaminan kepada PT Mister Burger Pelita Harapan Indonesia

yang isinya sebagai berikut: PT Mister Burger Pelita Harapan Indonesia

menjamin penerima waralaba, bahwa perusahaan adalah pihak yang berhak

69
Hasil Wawancara Dengan Ibu Eunike Juni Suprihatin selaku direktur dari PT Mister
Burger Pelita Harapan Indonesia pada tanggal 1-10 maret 2023
109

dan berwenang, menunjuk dan memberikan hak kepada penerima waralaba

untuk membuka stand Mister Burger menggunakan merek dagang di lokasi

yang sudah disetujui dan apabila ada permasalahan dan tuntutan sehubungan

penunjukan dan pemberian hak dimaksud adalah menjadi beban dan tanggung

jawab sepenuhnya. Penerima waralaba menjamin bahwa bahan-bahan, resep,

atau metode produksi tidak akan disebarluaskan, Selama berlangsungnya

perjanjian, penerima waralaba berjanji baik langsung maupun tidak langsung,

tidak akan membuka, mengelola, memiliki, mengurus atau menyelenggarakan,

dan melakukan kegiatan atau usaha yang sejenis yang bukan berasal dari PT

Mister Burger Pelita Harapan Indonesia

Berdasarkan hasil dari penelitian yang dilakukan ditemukan bahwa

akar dari permasalahan yang ada yaitu terdapat beberapa kewajiban penerima

waralaba yang tidak dipenuhi, yaitu penerima waralaba tidak menjalankan

usahanya sesuai dengan prosedur dan sistem yang ditetapkan pihak pemberi

waralaba. Selain itu penerima waralaba juga tidak melaksanakan kewajiban

untuk mengikuti pelatihan yang diadakan pemberi waralaba setiap ada

karyawan baru, berdasarkan Pasal 1234 KUHPer, prestasi yang dituntut

umumnya berupa tiga hal, yakni memberikan sesuatu, berbuat sesuatu, dan

untuk tidak berbuat sesuatu. Seperti yang sudah disebutkan, kegagalan dalam

memenuhi prestasi disebut wanprestasi. Kemudian, ketentuan atau dasar

hukum wanprestasi dimuat dalam KUHPer. Wanprestasi sebagaimana

diterangkan Pasal 1238 KUHPer adalah kondisi di mana debitur dinyatakan

lalai dengan surat perintah, atau dengan akta sejenis itu, atau berdasarkan
110

kekuatan dari perikatan sendiri, yaitu bila perikatan ini mengakibatkan debitur

harus dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang ditentukan. Berdasarkan

pasal-pasal yang telah disebutkan diatas kejadian yang terjadi ini merupakan

tindakan wanprestasi karena tidak dipenuhinya prestasi atau kewajiban oleh

penerima waralaba dalam suatu perjanjian yang telah dibuat. Diperlukan

perlindungan hukum preventif dan represif. Perlindungan hukum preventif ini

bertujuan untuk mencegah terjadinya suatu sengketa yang dilakukan para

pihak, yang dilakukan dengan maksud untuk mencegah suatu pelanggaran,

juga memberikan rambu-rambu atau batasan-batasan dalam melakukan suatu

kewajiban dalam melakukan waralaba. Di Indonesia sendiri belum ada

pengaturan khusus mengenai perlindungan hukum preventif ini. Sedangkan

perlindungan hukum represif bertujuan untuk menyelesaikan suatu sengketa

dari para pihak. Penanganan perlindungan hukum dalam menyelesaikan

sengketa ini dilakukan oleh Pengadilan Umum dan Peradilan Administrasi di

Indonesia.

Perlindungan ini merupakan perlindungan akhir yang dapat berupa

sanksi kepada para pihak seperti denda, penjara, dan hukuman tambahan yang

diberikan apabila terjadi suatu sengketa. Dan perlindungan hukum terhadap

para pihak juga diatur dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor

42 Tahun 2007 tentang Waralaba dan diatur lebih spesifik oleh Peraturan

Menteri Perdagangan No 71 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Waralaba.70

70
Hasil Wawancara Dengan Ibu Eunike Juni Suprihatin selaku direktur dari PT Mister
Burger Pelita Harapan Indonesia pada tanggal 1-10 maret 2023
111

a. Bentuk Perjanjian Waralaba

Sebagaimana perjanjian pada umumnya, perjanjian waralaba

menjunjung tinggi asas kebebasan berkontrak, namun dalam prakteknya

perjanjian waralaba berbentuk perjanjian standar, demikian juga dalam

perjanjian waralaba Mister Burger. Perjanjian waralaba merupakan

perjanjian yang memiliki banyak rincian di dalamnya, oleh karena itu

perjanjian waralaba dibuat secara tertulis guna menjamin hak dan

kewajiban masing-masing pihak dan memudahkan dalam pembuktian jika

terjadi sengketa di kemudian hari. Perjanjian waralaba pada Mister Burger

memuat klausul mengenai:

1) Nama dan alamat kedudukan masing-masing pihak;

2) Nama dan jabatan masing-masing pihak yang berwenang

menandatangani perjanjian;

3) Hak dan kewajiban masing-masing pihak;

4) Jangka waktu perjanjian dan tata cara perpanjangan perjanjian serta

syarat-syarat perpanjangan perjanjian;

5) Cara penyelesaian perselisihan;

6) Ketentuan pokok yang dapat mengakibatkan pemutusan

perjanjian atau berakhirnya perjanjian;

7) Biaya waralaba dan cara pembayarannya;

8) Pembinaan pembimbingan dan pelatihan penerima waralaba.71

b. Syarat dan Prosedur Waralaba Di PT Mister Burger Pelita Harapan

71
Hasil Wawancara Dengan Ibu Eunike Juni Suprihatin selaku direktur dari PT Mister
Burger Pelita Harapan Indonesia pada tanggal 1-10 maret 2023
112

Indonesia Yang Berkedudukan Di Wilayah Kabupaten Sleman

Calon penerima waralaba Mister Burger harus memenuhi syarat-

syarat yang ditetapkan oleh pemilik waralaba, yaitu :

1) Calon penerima waralaba harus mempunyai komitmen yang kuat

dalam menjalankan usaha;

2) Bersedia kerjasama atas dasar saling percaya dan saling

menghormati serta memiliki komitmen pada sistem baku yang

sudah ada;

3) Bersedia menyetujui ketentuan-ketentuan yang tertuang dalam

klausul- klausul perjanjian;

4) Memiliki beberapa tempat alternatif untuk disurvey oleh pemilik

waralaba;

5) Menyiapkan sumber daya manusia;

6) Bersedia membayar biaya survey tempat yang ditanggung oleh

calon penerima waralaba sebesar sepuluh persen dari nilai

investasinya;

7) Membayar pelunasan biaya waralaba/paket waralaba yang dipilih

sebelum pengiriman barang;

8) Harus satu visi dan misi dengan Mister Burger.

Berdasarkan syarat-syarat yang ditentukan pemilik waralaba, calon

penerima waralaba apabila berminat membuka stand Mister Burger, tidak

dimungkinkan untuk melakukan negosiasi terhadap klausul perjanjian


113

waralaba, calon penerima waralaba yang berminat membuka stand Mister

Burger tinggal menyetujui perjanjian yang ditetapkan secara baku oleh

pemilik waralaba. Calon penerima waralaba apabila benar-benar sudah

berminat menjadi penerima waralaba Mister burger, hal pertama yang harus

dilakukan adalah membayar biaya survey tempat sebesar 10 % (sepuluh

persen) dari total nilai investasi waralaba sesuai dengan paket waralaba yang

dipilih. Setelah melakukan survei lokasi dan mendapat persetujuan oleh pihak

Mister Burger, maka penerima waralaba wajib melakukan pelunasan biaya

investasi, dan dalam pembayaran ini sekaligus diikuti dengan perjanjian

waralaba. Setelah mendapatkan lokasi yang dianggap cocok untuk usaha dan

disetujui oleh Mister Burger, maka lokasi yang dituju segera direnovasi sesuai

dengan design khas dan ciri khusus dari Mister Burger. Selain persyaratan

diatas, Mister Burger juga memiliki Visi dan Misi guna mengembangkan

bisnis kuliner dan waralabanya. Visi dari Mister burger antara lain :

a. Menjadi merek nasional yang menjadi pemimpin pasar bisnis bidang

makanan yang lebih khususnya makanan burger di Negara Republik

Indonesia, melalui jaringan waralaba yang menyediakan ragam aneka

menu burger;

b. Menjadi merek nasional kebanggaan dari bangsa Indonesia yang

menjadi berkat dan bermanfaat bagi masyarakat, semua karyawan-

karyawati dan pemilik;

c. Menyediakan pilihan menu burger yang komplit, setiap saat, dengan

harga yang terjangkau;


114

d. Menyediakan kualitas pelayanan yang prima: Mister Burger senantiasa

mempelajari hal-hal yang baru dan mengusahakan peningkatan

kualitas dalam pelayanan supaya dapat memaksimalkan tingkat

kepuasan dari para pelanggan setia dari Mister Burger dan penerima

waralaba.

Misi dari Mister Burger antara lain :

a. Menyediakan pilihan dari menu burger yang komplit, setiap saat,

dengan yang harga terjangkau;

b. Mister Burger menyediakan kualitas pelayanan yang prima;

Mister Burger senantiasa mempelajari hal-hal yang baru dan

mengusahakan peningkatan kualitas dalam pelayanan supaya dapat

memaksimalkan tingkat kepuasan dari para pelanggan setia dari Mister Burger

dan penerima waralaba.

2. Pemberi Waralaba Dari Pt Mister Burger Pelita Harapan Indonesia

Wilayah Kabupaten Sleman Dapatkah Memutuskan Perjanjian

Secara Sepihak Dengan Penerima Waralaba

Pemutusan perjanjian secara sepihak oleh pihak pemberi waralaba

tidak bisa dilakukan karena dianggap melakukan wanprestasi terhadap

penerima waralaba, yang menimbulkan kerugian bagi penerima waralaba.

Sebagaimana diatur dalam Pasal 1243 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata,

sehingga setiap pemutusan perjanjian tersebut haruslah sesuai dengan

perjanjian waralaba yang sudah disepakati oleh para pihak. Dalam perjanjian
115

waralaba PT Mister Burger Pelita Harapan Indonesia telah mengatur

mengenai hak pemberi waralaba, apabila pihak penerima waralaba tidak

melakukan kewajibannya sesuai dengan perjanjian, maka penerima waralaba

akan diberikan peringatan secara tertulis sebanyak tiga kali dan musyawarah

mufakat, setelah tiga kali peringatan tertulis dan musyawarah mufakat masih

melakukan kesalahan yang sama maka pemberi waralaba baru dapat memutus

perjanjian secara sepihak meskipun jangka waktu perjanjian belum berakhir.72

a. Hak Dan Kewajiban Para Pihak Dalam Perjanjian Waralaba di PT

Mister Burger Pelita Harapan Indonesia yang Berkedudukan di

Wilayah Kabupaten Sleman

Perjanjian antara pemilik waralaba Mister Burger dengan penerima

waralaba merupakan perjanjian timbal balik, oleh karena itu hak dan

kewajiban para pihak yang terlibat di dalamnya bertimbal balik.

1) Hak Pemberi Waralaba, hak pemberi waralaba berdasarkan hasil

penelitian sebagai berikut:

a) Mengatur dan menetapkan sistem dan metode penjualan;

b) Berhak atas seluruh pembayaran kerjasama kemitraan yang

menjadi kewajiban penerima waralaba, serta hak-hak lain yang

timbul berdasarkan perjanjian ini;

c) Sebagai satu-satunya pihak yang berhak memproduksi,

memperbanyak, menyalurkan, memasarkan dan menjual bahan

atau metode produksi kepada pihak penerima waralaba;

72
Hasil Wawancara Dengan Ibu Eunike Juni Suprihatin selaku direktur dari PT Mister
Burger Pelita Harapan Indonesia pada tanggal 1-10 maret 2023
116

d) Berhak memutuskan perjanjian dengan penerima waralaba

secara sepihak apabila penerima waralaba terbukti melanggar

perjanjian kerjasama kemitraan yang sudah dibuat dan

disepakati, dengan adanya peringatan tertulis dari pemberi

waralaba terlebih dahulu dan apabila dirasa stand tersebut tidak

layak, mutu produk di stand penjualan tidak terjamin/merusak

Merek Dagang Mister Burger, maka pemberi waralaba berhak

melakukan tindakan berupa pengambilan stand penjualan

beserta atributnya dan mencabut atau menarik kembali Merek

Dagang Mister Burger yang digunakan oleh penerima

waralaba, dan penerima waralaba membebaskan pemberi

waralaba dari segala tuntutan gugatan, ganti rugi apapun;

e) Tim Surveyor Mister Burger berhak mengecek secara

keseluruhan semua yang ada kaitannya dengan Merek Dagang

Mister Burger (stand penjualan, depo logistik, produk yang

dijual);

f) Berhak memberi masukan kepada penerima waralaba agar

penjualan lebih maksimal;

g) Berhak melarang Pihak Mitra melakukan segala sesuatu yang

bisa merusak Merek Dagang;

h) Berhak merubah harga jual distand dan harga pembelian di

pabrik sewaktu-waktu sesuai situasi pasar yang terjadi;

i) Berhak membuka stand dimana saja walaupun di daerah


117

tersebut telah ada Mitra yang mendirikan stand Mister Burger

(syarat dan ketentuan berlaku);

j) Berhak menerima biaya Perpanjangan kerjasama kemitraan

sesuai harga yang sudah ditentukan oleh Mister Burger;

k) Sebelum menyetujui perpanjangan kemitraan Mister Burger

berhak melakukan inventori global baik inventori stand beserta

alat penjualan, atribut maupun depo logistik;

l) Melarang terhadap kebijakan pihak penerima waralaba dalam

menjalankan bisnis waralaba Mister Burger, apabila dirasa

kebijakan tersebut merugikan pemberi waralaba;

m) Menerima pembayaran dari pihak penerima waralaba atas

bahan baku yang dipesan oleh penerima waralaba yang

digunakan dalam bisnis waralaba Mister Burger.

b. Hak Penerima Waralaba, hak penerima waralaba berdasarkan hasil

penelitian sebagai berikut:

1) Menerima peralatan dan perlengkapan sesuai paket yang dipilih

pihak penerima waralaba.

2) Menerima penjelasan mengenai sistem, management dan

operasional dari pihak pemberi waralaba.

3) Mendapatkan keuntungan dari selisih harga penjualan dengan

harga pembelian di pabrik.

4) Berhak memakai nama Mister Burger untuk berjualan produk

Mister Burger selama Perjanjian Kemitraan masih berlaku.


118

5) Mendapatkan support system berupa standar operasional prosedur.

6) Memesan bahan baku produk kepada pihak pemberi waralaba

dengan membayar sejumlah uang sesuai pesanan.

7) Berhak konsultasi dengan tim surveyor dari Mister Burger apabila

ada hal-hal yang kurang dimengerti dan bila ada masalah.

8) Berhak bertanya kepada Mister Burger apabila pada waktu

membeli produk dijumpai produk yang rusak atau tidak layak.

9) Berhak menjual minuman dengan seizin Mister Burger.

10) Berhak di training terlebih dahulu (cara meracik burger dan

melayani konsumen).

c. Kewajiban Pemberi Waralaba, kewajiban pemberi waralaba

berdasarkan hasil penelitian sebagai berikut:

1) Menyediakan stand beserta perlengkapannya sesuai dengan paket

yang dipilih oleh penerima waralaba;

2) Memberikan penjelasan mengenai sistem, management dan

operasional.

3) Menjamin adanya stok logistik I stok bahan baku dan mengirimkan

pesanan bahan baku kepada pihak penerima waralaba secara

periodik sesuai pesanan dengan biaya pengiriman dan biaya bahan

balm ditanggung oleh pihak penerima waralaba;

4) Menyediakan trainer dan tempat training;

5) Menyediakan tim surveyor untuk berikan bantuan kepada penerima

waralaba saran untuk mengatasi masalah dan saran untuk


119

memajukan bisnis waralaba Mister Burger;

6) Mensurvei lokasi penjualan dan depo transit logistik I tempat

penyimpanan bahan baku produk yang dijual;

7) Menyediakan SOP untuk crew penjualan, dan cara penyimpanan

bahan baku;

8) Menyediakan seragam untuk operasional (crew di lapangan).

d. Kewajiban Penerima Waralaba, Kewajiban penerima waralaba

berdasarkan hasil penelitian sebagai berikut:

1) Membayar biaya kemitraan, perpanjang kemitraan, dan pembelian

produk Mister Burger;

2) Penerima waralaba wajib menyediakan area untuk berjualan

dengan persetujuan dari Mister Burger. Menempatkan stand Mister

Burger di tempat keramaian, seperti dekat kampus, pusat

perbelanjaan, minimarket. Renovasi dan pembangunan area

penjualan menjadi tanggung jawab penerima waralaba dengan

persetujuan Mister Burger. Dan barang-barang yang sudah

diserahkan menjadi tanggung jawab penerima waralaba dan

penggantiannya harus sesuai standarisasi dari Mister Burger

(apabila ada yang rusak);

3) Wajib menjaga Merek Dagang Mister Burger, reputasi dan nama

baik, serta standarisasi mutu produk dan servis. Dan menjalankan

usaha sesuai dengan prosedur dan system yang ditetapkan pihak

pemberi waralaba;
120

4) Wajib membeli dan menjualkan bahan baku dari pihak pemberi

waralaba dan tidak boleh membeli ataupun menjual produk selain

produk Mister Burger, meliputi: roti/randon beef, roti/randon

chick, roti/ randon hot dog, roti/daging kids, roti/randon angry,

roti/randon olala, daging beef, daging chick, daging burger kids,

daging angry, daging olala, sosis reguler, keju, onion ring, telur,

mayones, saos sambal, saos tomat, margarine, pasta bolognese,

pasta black pepper, pasta bbq, french-fries, tortilla kebab, daging

kebab, acar kebab, mustard. Semua produk yang dijual harus

berlabel Mister Burger;

5) Membeli bahan baku dari pihak pemberi waralaba, bisa diambil

sendiri atau diantar dan dikenakan ongkos kirim. Barang akan

dikirim atau diambil setelah penerima waralaba membayar kepada

pemberi waralaba sesuai dengan tagihan pembelian bahan atau

produk yang ditagihkan. Pembelian produk pabrik minimal senilai

Rp.1000.000,00 (satu juta rupiah) pembelian belum termasuk

ongkos kirim apabila minta dikirim dan tidak diperkenankan untuk

menjual produk makanan lain selain produk dari Mister Burger.

Besaran ongkos kirim berbeda-beda tergantung jarak tempuhnya;

6) Menyediakan Karyawan dan penggajiannya ditanggung oleh

penerima waralaba (yang menentukan besar kecilnya gaji adalah

penerima waralaba). Seluruh karyawan wajib mengikuti training di

kantor pusat dan pembiayaan training ditanggung oleh penerima


121

waralaba. Tempat tinggal dan makan selama training di tanggung

penerima waralaba;

7) Seluruh karyawan penjualan wajib mengikuti pelatihan yang

dilakukan oleh pemberi waralaba dan mengunakan seragam

berlogo Mister Burger sesuai standarisasi. Seragam, atribut, stand,

atau semua yang berbau dengan merek Mister Burger yang sudah

diserahkan kepada penerima waralaba tidak boleh dipindah

tangankan ke pihak ketiga, apabila seragam, atribut, stand, atau

semua yang berbau dengan merek tidak sesuai standarisasi boleh

dikembalikan dan meminta ganti yang baru dengan pembiayaan

lagi;h.Sampah di stand dikelola penerima waralaba;

8) Harga jual di stand harus sesuai dengan ketentuan yang sudah

disepakati, dan apabila dijumpai harga jual yang tidak sesuai

kesepakatan maka pemberi waralaba berhak untuk melakukan

tindakan tegas atau pemutusan kerjasama kemitraan secara sepihak

dan penerima waralaba membebaskan pemberi waralaba dari

segala tuntutan gugatan, ganti rugi apapun;

9) Stand tidak boleh tutup (Senin-Minggu) kecuali mendapatkan izin

tertulis dan resmi dari management Mister Burger. Setiap stand

yang dimiliki oleh penerima waralaba wajib mencapai target,sesuai

kesepakatan bersama. Apabila stand yang dikerjakan oleh

penerima waralaba tidak layak atau selesai kontrak kerjasama,stand

beserta atributnya akan dikembalikan oleh Mister Burger dengan


122

syarat dan ketentuan yang berlaku;

10) Penerima waralaba wajib mematuhi tata tertib, aturan hukum dan

perundang-undangan yang berlaku baik sekarang maupun di

kemudian hari yang berlaku di Negara Republik Indonesia, dan

mentaati semua peraturan dalam melakukan kegiatan usaha

sebagaimana telah ditetapkan oleh Mister Burger;

11) Penerima waralaba wajib melakukan renovasi / pembaharuan

dekorasi atau tampilan interior maupun eksterior stand dan "Area"

maksimal 1 (satu) tahun sekali, atau menurut pihak dari Mister

Burger dipandang perlu untuk dilakukannya renovasi/pembaharuan

dengan pemberitahuan tertulis terlebih dahulu;

12) Penerima waralaba wajib menjaga kebersihan seluruh stand

penjualan beserta atributnya dan seluruh "Area" penjualan, namun

tidak terbatas pada perawatan kebersihan stand dan "Area" dan

perkakas-perkakas membebaskan pemberi waralaba dari segala

tuntutan gugatan, ganti rugi apapun;

13) Stand tidak boleh tutup (Senin-Minggu) kecuali mendapatkan izin

tertulis dan resmi dari management Mister Burger. Setiap stand

yang dimiliki oleh penerima waralaba wajib mencapai target,

sesuai kesepakatan bersama. Apabila stand yang dikerjakan oleh

penerima waralaba tidak layak atau selesai kontrak kerjasama,

stand beserta atributnya akan dikembalikan oleh kepada Mister

Burger dengan syarat dan ketentuan yang berlaku;


123

14) Penerima waralaba wajib mematuhi tata tertib, aturan hukum dan

perundang-undangan yang berlaku baik sekarang maupun di

kemudian hari yang berlaku di Negara Republik Indonesia, dan

mentaati semua peraturan dalam melakukan kegiatan usaha

sebagaimana telah ditetapkan oleh Mister Burger;

15) Penerima waralaba wajib melakukan renovasi / pembaharuan

dekorasi atau tampilan interior maupun eksterior stand dan "Area"

maksimal 1 (satu) tahun sekali, atau menurut pihak dari Mister

Burger dipandang perlu untuk dilakukannya renovasi/pembaharuan

dengan pemberitahuan tertulis terlebih dahulu;

16) Penerima waralaba wajib menjaga kebersihan seluruh stand

penjualan beserta atributnya dan seluruh "Area" penjualan, namun

tidak terbatas pada perawatan kebersihan stand dan "Area" dan

perkakas-perkakas milik penerima waralaba yang berpotensi

menimbulkan gangguan penyakit;

17) Penerima waralaba wajib mengizinkan Mister Burger maupun

orang-orang yang diberi kuasa dan memiliki wewenang penuh

untuk setiap saat memasuki "Area" baik untuk memeriksa maupun

melakukan perbaikan-perbaikan yang diperlukan;

18) Permohonan perpanjangan jangka waktu perjanjian harus diajukan

selambat-lambatnya 3 (tiga) bulan sebelum berakhirnya jangka

waktu Perjanjian dan dikenakan biaya perpanjangan, belum

termasuk biaya notaris;


124

19) Bekerja keras dalam membangun merek Mister Burger dan

memiliki semangat, komitmen dan penuh tanggung jawab dalam

menjalankan usaha Mister Burger.73

e. Kewajiban Yang Tidak Dipenuhi Penerima Waralaba Di Pt Mister

Burger Pelita Harapan Indonesia Wilayah Kabupaten Sleman Dan

Cara Penyelesaiannya.

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan terhadap penerima

waralaba Mister Burger milik Tuan Ahsanal Hazar yang berlokasi di

depan Griya Belanja Lestari Jalan Jenderal Sudirman Bantul Yogyakarta,

terdapat beberapa kewajiban penerima waralaba yang tidak dipenuhi atau

dilanggar, yaitu tidak menjalankan usahanya sesuai dengan SOP / prosedur

dan sistem yang ditetapkan pihak pemberi waralaba. Selain itu penerima

waralaba juga tidak melaksanakan kewajiban untuk mengikuti pelatihan

atau training yang diadakan pemberi waralaba setiap ada karyawan baru

dan tidak membeli produk atau bahan dagangan di pabrik Mister Burger.

Terhadap kewajiban-kewajiban yang dilanggar penerima waralaba,

yaitu membeli bahan baku dari pihak lain, ada karyawan baru yang

langsung dipekerjakan tanpa mengikuti training di kantor pusat Mister

Burger dan menggoreng atau meracik produk tidak sesuai prosedur atau

SOP yang berlaku, penerima waralaba langsung mendapat sanksi /

larangan untuk membuka stand atau kedainya selama satu minggu, tanpa

adanya peringatan yang diberikan sesuai dengan perjanjian.

73
Hasil Wawancara Dengan Ibu Eunike Juni Suprihatin selaku direktur dari PT Mister
Burger Pelita Harapan Indonesia pada tanggal 1-10 maret 2023
125

Terhadap terjadinya pelanggaran-pelanggaran tersebut, cara

penyelesaian sesuai dengan perjanjian adalah dengan musyawarah dan

diberi peringatan secara tertulis sebanyak 3 (tiga) kali oleh pemberi

waralaba, apabila penerima waralaba tetap melakukan kesalahan atau

pelanggaran yang sama, maka pemberi waralaba dapat memutuskan

perjanjian waralaba secara sepihak meskipun jangka waktu perjanjian

belum berakhir.

Dilihat dari hasil proses penelitian ini, cara penyelesaian yang

dilakukan oleh pemberi waralaba, tidaklah seperti dalam perjanjian

melainkan penerima waralaba tidak pernah diajak untuk musyawarah dan

diberi peringatan secara tertulis sebanyak 3 (tiga) kali, tetapi pemberi

waralaba langsung menghentikan penjualan bahan baku produk secara

sepihak, yang mengakibatkan penerima waralaba tidak dapat membuka

stand atau kedainya karena tidak ada bahan baku yang akan dijual.

Terhadap kewajiban yang tidak dipenuhi atau pelanggaran –

pelanggaran yang dilakukan oleh penerima waralaba seharusnya cara

penyelesaiannya sesuai dengan perjanjian, yaitu dengan musyawarah dan

diberi peringatan secara tertulis sebanyak 3 (tiga) kali, yang apabila

pelanggaran tersebut diulangi lagi oleh penerima waralaba maka pemberi

waralaba dapat memutus perjanjian secara sepihak meskipun jangka waktu

perjanjian belum berakhir.

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, dapat dilihat bahwa

perlindungan hukum terhadap penerima waralaba Mister Burger dalam


126

perjanjian waralaba ini dikatakan cukup lemah dimana penerima waralaba

yang tidak memenuhi kewajiban dalam perjanjian waralaba atau

melakukan pelanggaran dan pemberi waralaba dalam menyelesaikan

masalahnya, cara penyelesaian yang dilakukan tidak berdasarkan

ketentuan yang ada dalam perjanjian waralaba.

Dalam prakteknya pemberi waralaba langsung melakukan

penghentian pembelian bahan baku produk secara sepihak yang

mengakibatkan penerima waralaba tidak dapat membuka stand atau

kedainya selama waktu tertentu, tindakan ini merugikan penerima

waralaba karena tidak mendapatkan keuntungan akibat tidak berjualan

burger.74

74
Hasil Wawancara Dengan Ibu Eunike Juni Suprihatin selaku direktur dari PT Mister
Burger Pelita Harapan Indonesia pada tanggal 1-10 maret 2023
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Dalam suatu perjanjian waralaba sebaiknya harus ada klausula-klausula

minimal yang harus dicantumkan dan diatur di dalam perjanjian waralaba. Fungsi

dari adanya pengaturan tersebut tidak lain adalah agar perjanjian tersebut jelas dan

para pihak mengerti apa saja yang diatur dan diperjanjikan bagi para pihak, dan

apa saja yang menjadi hak dan tanggung jawab para pihak. Selain itu untuk

meminimalisir permasalahan. Berdasarkan atas permasalahan dan pembahasan

yang telah dijabarkan oleh penulis, maka dapat diambil kesimpulan sebagai

berikut:

1. Dari hasil penelitian penulis karena tidak ada klausul yang mencantumkan

tentang ketentuan Pasal 1266 KUHPer dan tidak dapat mengesampingkan

klausul tersebut maka pemberi waralaba dapat semena-mena memutuskan

perjanjian secara sepihak. Dimana hasil penelitian, pihak dari penerima

waralaba tidak pernah diundang untuk bermusyawarah agar tidak

mengulangi kesalahan dan penerima waralaba tidak diberikan peringatan

terlebih dahulu sebanyak 3 (tiga) kali baik lisan maupun tertulis tetapi

pemberi waralaba langsung menghentikan penjualan bahan baku produk

terhadap penerima waralaba, sehingga penerima waralaba dirugikan.

127
128

Dapat disimpulkan bahwa perlindungan hukum terhadap penerima

waralaba Mister Burger dalam perjanjian waralaba ini dikatakan cukup

lemah karena penerima waralaba yang tidak memenuhi kewajibannya

langsung mendapatkan sanksi dengan pemutusan perjanjian secara sepihak

dari pihak Mister Burger dan cara penyelesaian yang dilakukan pemberi

waralaba tidak sesuai dengan perjanjian waralaba, yang mana dalam

perjanjian apabila penerima waralaba melakukan pelanggaran maka akan

diberikan peringatan terlebih dahulu dengan cara musyawarah dan

memberikan peringatan sebanyak 3 (tiga) kali baik lisan maupun tertulis,

tetapi dalam prakteknya pihak dari Mister Burger tidak melakukan

musyawarah dan memberi peringatan sebanyak 3 (tiga) kali baik lisan

maupun tertulis, akan tetapi langsung melakukan penghentian penjualan

bahan baku produk yang berakibat penerima waralaba tidak dapat

membuka stand atau kedainya selama waktu tertentu, tindakan ini

merugikan bagi pihak penerima waralaba.

2. Untuk menjawab permasalahan yang kedua, Meskipun dalam perjanjian

waralaba tersebut mengacu pada Pasal 1338 ayat (1) dan (2) KUHPer

yang berbunyi semua persetujuan yang dibuat secara sah oleh para pihak

berlaku sebagai Undang Undang bagi yang membuatnya, maksudnya

adalah bahwa setiap orang berhak mengadakan kontrak apa saja baik yang

telah diatur maupun yang belum diatur dalam Undang Undang asalkan

tidak bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum dan norma

kesusilaan. Dan Pasal 1243 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata,


129

sehingga setiap pemutusan perjanjian tersebut haruslah sesuai dengan

perjanjian waralaba yang sudah disepakati oleh para pihak. Dalam kasus

diatas pemberi waralaba memutuskan perjanjian secara sepihak karena

pelanggaran yang dilakukan oleh penerima waralaba, dan penerima

waralaba tidak pernah diundang untuk bermusyawarah agar tidak

mengulangi kesalahan dan penerima waralaba tidak diberikan peringatan

terlebih dahulu sebanyak 3 (tiga) kali baik lisan maupun tertulis tetapi

pemberi waralaba langsung menghentikan penjualan bahan baku produk

terhadap penerima waralaba, sehingga penerima waralaba tidak dapat

membuka kedai usahanya. Sedangkan dalam perjanjian waralaba di PT

Mister Burger Pelita Harapan Indonesia cara penyelesaian sesuai dengan

perjanjian adalah dengan musyawarah dan diberi peringatan secara tertulis

sebanyak 3 (tiga) kali oleh pemberi waralaba, apabila penerima waralaba

tetap melakukan kesalahan atau pelanggaran yang sama, maka pemberi

waralaba baru dapat memutuskan perjanjian waralaba secara sepihak

meskipun jangka waktu perjanjian belum berakhir. Pemberi waralaba

dapat dikatakan wanprestasi karena tidak sesuai dengan isi perjanjian

dalam memutus suatu perjanjian atas pelanggaran yang dilakukan oleh

penerima waralaba. Karena dalam perjanjian tersebut tidak ditulis klausul

mengesampingkan ketentuan Pasal 1266 KUHPerdata, maka dalam hal

terjadinya wanprestasi atau pembatalan perjanjian perlu melalui proses

permohonan batal kepengadilan dan hakim.


130

B. Saran

Berdasarkan kesimpulan Yang telah diuraikan diatas maka penulis dapat

memberikan saran yang disesuaikan dengan perumusan masalah :

1. Dalam permasalahan yang pertama, harus ada klausul yang

mencantumkan tentang ketentuan Pasal 1266 KUHPer dan tidak dapat

mengesampingkan klausula tersebut yang mana fungsinya adalah agar

pemberi waralaba tidak bisa semena-mena memutuskan perjanjian secara

sepihak.

2. Untuk permasalahan yang kedua, dalam perjanjian waralaba tersebut

seharusnya ada klausul yang mencantumkan mengesampingkan ketentuan

Pasal 1266 KUHPerdata, maka dalam hal terjadinya wanprestasi atau

pembatalan perjanjian tidak perlu melalui proses permohonan batal ke

pengadilan dan hakim. Karena dalam Pasal 1338 ayat (1) dan (2) KUHPer

berbunyi semua persetujuan yang dibuat secara sah oleh para pihak

berlaku sebagai Undang Undang bagi yang membuatnya. Berdasarkan

ketentuan Pasal 1338 ayat (1) dan (2) KUHPer tersebut dapat diketahui

bahwa ketentuan-ketentuan yang telah disepakati oleh para pihak akan

mempunyai kekuatan mengikat yang sama besarnya bagi kedua belah

pihak. Sebagaimana diatur juga dalam Pasal 1243 Kitab Undang-Undang

Hukum Perdata, sehingga setiap pemutusan perjanjian tersebut haruslah

sesuai dengan perjanjian waralaba yang sudah disepakati.


DAFTAR PUSTAKA

Ali, D. S. (1989). Hukum Perjanjian Indonesia. Yogyakarta: Perpustakaan Fak


Hukum Universitas Islam Indonesia Yogyakarta.
Harahap, M. Y. (1986). Segi-Segi Hukum Perjanjian. Bandung: Alumni Bandung.
Harnoko, A. Y. (2010). Hukum Perjanjian Asas Proporsionalitas Dalam Kontrak
Komersial. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Hernoko, A. Y. (2010). Hukum Perjanjian Asas Proporsionalitas Dalam Kontrak
Komersial . Jakarta: Kencana.
Kogin, k. (2014). Aspek Hukum Kontrak Waralaba Pada Kegiatan Usaha Jasa
Makanan Dan Minuman. Jakarta: PT Tatanusa.
Mariam Darus Badrulzaman, d. (2001). Kompilasi Hukum Perikatan . Bandung:
PT Citra Aditya Bakti Bandung.
Mertokusumo, S. (2010). Mengenal Hukum Suatu Pengantar (edisi REVISI) .
Yogyakarta: Cahaya Atma Pustaka.
Muhammad, A. (1992). Hukum Perikatan . Bandung: PT Citra Aditya Bakti.
Prodjodikoro, R. W. (1981). Azaz-Azaz Hukum Perdata. jakarta: Sumur Bandung.
Setiawan, R. (1977). Pokok-Pokok Hukum Perikatan . Bandung: Bina cipta.
Sofwan, N. S. (1980). Hukum Perutangan Bagian A. Yogyakarta: Seksi Hukum
Perdata Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.
Subekti. (1979). Hukum Perjanjian. Jakarta: PT Intermasa.
Suharnoko. (2004). Hukum Perjanjian Teori Dan Analisa kasus. Jakarta: Prenada
Media.
Suryodiningrat, R. M. (1991). Perikatan-Perikatan Bersumber Perjanjian.
Bandung: Tarsito.
Sutedi, A. (2008). Hukum Waralaba. Bogor: Ghalia Indonesia.

131

Anda mungkin juga menyukai