Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH GIZI DAN DIET

MARASMUS

Dosen Pengampu :
Ns. Metha Kemala Rahayu Syafwan, M.Kep,Sp.Kep.An

DISUSUN KELOMPOK 5 :

Enni Hadidah (22334028)


Fadhilah Zuel Smitah (22334029)
Fadilla Anisa Putri (22334030)
Fathia Rahma Ayesa (22334034)
Hamidah Wulandari (22334037)

PROGRAM STUDI DIII KEPERAWATAN


FAKULTAS PSIKOLOGI DAN KESEHATAN
UNIVERSITAS NEGERI PADANG
2023/2024
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kita ucapkan kehadirat Allah SWT, karena berkat rahmat-
Nya penulis dapat menyelesaikan Tugas Makalah Gizi dan Diet dengan judul
“MARASMUS “ ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Penulis juga
mengucapkan terimakasih kepada dosen yang telah mengajar mata kuliah Gizi
dan Diet serta teman-teman yang telah banyak membantu penulis serta penulisan
makalah ini dan terimakasih juga penulis ucapkan kepada semua pihak yang telah
membantu dalam penulisan makalah ini.
Dilatar belakangi oleh keterbatasan wawasan serta ilmu pengetahuan yang
penulis miliki, maka dengan kerendahan hati penulis sangat mengharapkan
kritikan dan saran yang membangun demi kesempurnaan makalah ini.
Harapan penulis, semoga karya tulis ini membawa manfaat bagi
kita,setidaknya untuk sekedar membuka cakrawala berpikir kita akhir kata
penulis sampaikan terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam
proses pembuatan makalah ini.

Pariaman, 27 September 2023

Penulis

i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR..........................................................................i
DAFTAR ISI........................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN ...................................................................1
1.1 Latar Belakang..........................................................................1
1.2 Rumusan Masalah.....................................................................1
1.3 Tujuan .......................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN ....................................................................2
2.1 Pengertian Marasmus................................................................2
2.2 Etiologi Penyakit Marasmus.....................................................2
2.3 Manifestasi Klinik Penyakit Klinik Marasmus.........................3
2.4 Patofisiologi Penyakit Marasmus..............................................3
2.5 Hubungan Penyakit Marasmus Dengan Kekurangan Protein...4
2.6 Pemeriksaan Diagnosis Penyakit Marasmus.............................5
2.7 Pencegahan Penyakit Marasmus...............................................7
2.8 Analisis Kasus Marasmus.........................................................8
2.9 Perbedaan Antara Kwarsiorkor Dengan Marasmus..................8
2.10 Prevalensi Penyakit Marasmus..............................................11
2.11 Penatalaksanaan Penyakit Marasmus....................................13
2.12 Distribusi Penyakit Marasmus..............................................13
BAB III PENUTUP...........................................................................15
3.1 Kesimpulan .............................................................................15
3.2 Saran........................................................................................15
DAFTAR PUSTAKA........................................................................16

ii
BAB I
PEMBAHASAN
1.1 Latar Belakang
Marasmus adalah suatu bentuk kurang kalori-protein yang berat. Selain
faktor lingkungan, ada beberapa faktor lain pada anak sendiri yang dibawa sejak
lahir, diduga berpengaruh terhadap terjadinya marasmus . Malnutrisi jenis
marasmus adalah suatu bentuk malgizi protein dan energi karena kelaparan, dan
semua unsur diet kurang.
Asupan protein merupakan salah satu faktor penting dalam tumbuh
kembang seorang anak. Kurangnya asupan protein pada anak akan berakibat fatal,
salah satunya adalah kekurangan gizi akibat Kekurangan Energi Protein. Asupan
protein pada anak berdampak besar pada pertumbuhan dan perkembangan anak.
Anak akan bertambah tinggi, gemuk dan sehat apabila asupan gizi khususnya
protein dalam tubuhnya tercukupi.
Di Indonesia masalah malnutrisi atau gizi buruk masih menjadi salah satu
masalah kesehatan masyarakat yang utama. Masalah utama yang sering terjadi
pada anak penderita marasmus adalah penciutan otot dan hilangnya lemak
subkutis, mereka mengalami penurunan berat badan, perkembangan otak menjadi
lambat, dan apabila berkepanjangan dapat menyebabkan gagal tumbuh.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apakah marasmus termasuk dalam penyakit yang diakibatkan oleh
kekurangan protein?
2. Apa perbedaan antara kwashiorkor dengan marasmus?
1.3 Tujuan
1. Mengidentifikasi penyakit marasmus yang merupakan penyakit akibat
kekurangan protein
2. Mengetahui perbedaan antara kwashiorkor dengan marasmus

1
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Marasmus
Marasmus adalah suatu keadaan dimana anak mengalami penurunan berat
badan dan kemudian terjadi penciutan atau pengurusan otot generalisata dan tidak
adanya lemak subkutis. Marasmus merupakan suatu bentuk kurang kalori-protein
yang berat.

2.2 Etiologi Penyakit Marasmus


Marasmus dapat terjadi pada semua umur, akan tetapi sering dijumpai
pada bayi yang tidak mendapat cukup ASI dan tidak diberi makanan penggantinya
atau sering diserang diare.Marasmus dapat terjadi akibat berbagai penyakit seperti
infeksi, kelainan bawaan saluran pencernaan, kelainan jantung bawaan, mal
absorpsi, gangguan metabolik, penyakit ginjal menahun dan gangguan saraf pusat.
Dapat juga disebabkan oleh karena pemasukan kalori atau protein atau keduanya
yang tidak mencukupi akibat kekurangan dalam susunan makanan, dan kebiasaan
makan makanan yang tidak layak.
Menurut (Sodikin, 2012) penyebab utama dari penyakit marasmus yang
pertama adalah faktor psikologis seperti adanya penolakan ibu dan penolakan
yang berhubungan dengan anoreksia, yang kedua yaitu asupan kalori dan protein
yang tidak memadai akibat diet yang tidak cukup, yang ketiga adalah kebiasaan
makan yang tidak tepat seperti hubungan antara orang tua dan anak yang
terganggu atau tidak harmonis dan yang terakhir adanya kelainan metabolik, atau
malformasi kongenital.Selain faktor faktor tersebut terdapat beberapa faktor lain
penyebab dari penyakit marasmus ini , antar lain :
1. Faktor diet.
Diet kurang energi akan mengakibatkan penderita marasmus.
2. Peranan faktor sosial.
Pantangan untuk menggunakan bahan makanan tertentu yang sudah turun-
temurun.
3. Peranan kepadatan penduduk.

2
Marasmus terdapat dalam jumlah yang banyak akibat suatu daerah terlalu
padat penduduknya dengan higiene yang buruk.
4. Faktor infeksi.
Terdapat interaksi sinergistis antara infeksi dan malnutrisi. Infeksi berat
dapat memperjelek keadaan gizi melalui gangguan masukan dan
meningginya kehilangan zat-zat gizi esensial tubuh.
5. Faktor kemiskinan.
Dengan penghasilan yang rendah, ketidakmampuan membeli bahan
makanan ditambah timbulnya banyak penyakit infeksi karena kepadatan
tempat tinggal dapat mempercepat timbulnya KEP.

2.3 Manifestasi Klinik Penyakit Marasmus


Gejala klinis KEP berat/gizi buruk yang dapat ditemukan pada marasmus
(Nadila & Anggraini, 2016), yaitu:
 Tampak sangat kurus
 Wajah seperti orang tua
 Cengeng
 Kulit keriput
 Perut cekung
 Rambut tipis, jarang dan kusam
 Tulang iga tampak jelas (iga gambang)
 Pantan kendur dan keriput (baggy pants), dan
 Tekanan darah, detak jantung dan pernafasan berkurang.

2.4 Patofisiologi Penyakit Marasmus


Sebenarnya malnutrisi merupakan suatu sindrom yang terjadi akibat
banyak faktor. Faktor-faktor ini dapat digolongkan atas tiga faktor penting yaitu :
tubuh sendiri (host), agent(kuman penyebab), environment (lingkungan). Memang
faktor diet (makanan) memegang peranan penting tetapi faktor lain ikut
menentukan. Gopalan menyebutkan marasmus adalah compensated malnutrition.
Dalam keadaan kekurangan makanan, tubuh selalu berusaha untuk

3
mempertahankan hidup dengan memenuhi kebutuhan pokok atau energi.
Kemampuan tubuh untuk mempergunakan karbohidrat, protein dan lemak
merupakan hal yang sangat pentinguntuk mempertahankan kehidupan;
karbohidrat (glukosa) dapat dipakai oleh seluruh jaringantubuh sebagai bahan
bakar, sayangnya kemampuan tubuh untuk menyimpan karbohidrat sangat sedikit,
sehingga setelah 25 jam sudah dapat terjadi kekurangan. Akibatnya katabolisme
protein terjadi setelah beberapa jam dengan menghasilkan asam amino yang
segera diubah jadi karbohidrat di hepar dan di ginjal. Selama puasa jaringan lemak
dipecah jadi asam lemak, gliserol dan keton bodies. Otot dapat mempergunakan
asam lemak danketon bodies sebagai sumber energi kalau kekurangan makanan
ini berjalan menahun. Tubuh akan mempertahankan diri jangan sampai memecah
protein lagi setelah kira-kira kehilanganseparuh dari tubuh.

2.5 Hubungan Penyakit Marasmus dengan Kekurangan Protein


Kekurangan protein biasanya disertai dengan kekurangan kalori. Penyakit
akibat kekurangan kalori dan protein disebut kurang kalori protein (KKP).
Penyakit ini banyak menimpa golongan anak, terutama anak-anak yang berumur
dibawah lima tahun. Akibat yang sangat merugikan dari kurang kalori protein
adalah anak menjadi kurang lincah, lemah, malas, tidak cerdas, dan sering jatuh
sakit.
Pada tingkat berat kita mengenal dua bentuk KKP, yaitu Kwashiorkor dan
marasmus. Kwashiorkor terutama disebabkan oleh kekurangan protein, sedangkan
marasmus terutama akibat kekurangan kalori (Gilang, 2007). Sinonim marasmus
diterapkan pada pola penyakit klinis yang menekankan satu atau lebih tanda
defisiensi protein dan kalori. Orang yang menderita marasmus memiliki tanda-
tanda yang khas yaitu: Sangat kurus, tinggal tulang terbungkus kulit, wajahnya
seperti orang yang sudah tua, kulitnya keriput.
Marasmus merupakan defisiensi intakeenergi yang umumnya terjadi pada
anak-anak sebelum 18 bulan karena terlambat diberi makanan tambahan. Hal ini
terjadi karena penyapihan mendadak, formula pengganti ASI yang terlalu enccer
dan tidak higienis atau sering terkena infeksi terutama gastroentitis. Penyakit ini

4
sering terjadi pada masyarakat kelas sosial ekonomi yang relatif rendah.
(Helmiyati, 2018).
Marasmus sering meyerang masyarakat dengan ekonomi yang relatif
rendah, hal ini terjadi karena masyarakat yang memiliki ekonomi atau penghasilan
di bawah rata-rata umumnya kurang memperhatikan akan asupan gizi mereka.
Mereka hanya mementingkan rasa kenyang. Oleh sebab itu orang dengan ekonomi
rendah sangat kesulitan untuk memenuhi kebutuhan zat gizi terutama protein. Jadi
hubungan anatara marasmus dengan kekurangan protein yaitu ketidakmampuan
masyarakat atau individu untuk memenuhi kebeutuhan zat gizi terutama protein
sehingga menyebabkan penyakit marasmus.

2.6 Pemeriksaan Diagnosis Penyakit Marasmus


Marasmus ditegakkan berdasarkan manifestasi klinis serta dilakukan
anamnesis, pemeriksaan fisik, dan didukung oleh pemeriksaan penunjang.
Walaupun kondisi klinis pada penyakit kekurangan energi protein (kwashiorkor,
marasmus, dan marasmik kwashiorkor) berbeda tetapi tatalaksananya sama.
Anak dapat didiagnosis marasmus BB/TB< -3 SD atau< 70% dari median.
Jika BB/TB atau BB/PB tidak dapat diukur, gunakan gejala klinis berupa anak
tampak sangat kurus (visible severe wasting ) dan tidak mempunyai jaringan
lemak di bawah kulit terutama pada kedua bahu, lengan, pantan dan paha; tulang
iga terlihat jelas, dengan atau tanpa adanya edema.
1. Anamnesis
Terdiri dari keluhan utama, riwayat perjalanan penyakit saat ini,
riwayat penyakit keluarga, riwayat penyakit dahulu, dan riwayat
reproduksi wanita ditanyakan kepada pasien secara lengkap dan mendetail.
Suatu anamnesis dapat dilakukan secara autoanamnesis (secara langsung
pada pasien) atau pada keluarga, teman kerja dll (alloanamnesis).

a. Anamnesis Awal
 Kejadian mata cekung yang baru saja muncul
 Lama dan frekuensi diare dan muntah serta tampilan dari bahan muntah

5
dan diare (encer/darah/lendir)
 Kapan terakhir berkemih
 Sejak kapan tangan dan kaki teraba dingin
Bila didapatkan hal tersebut di atas, sangat mungkin anak mengalami
dehidrasi dan/atau syok, serta harus diatasi segera.
b. Anamnesis Lanjutan
Dilakukan untuk mencari penyebab dan rencana tatalaksana selanjutnya
 Riwayat pemberian ASI
 Asupan makanan dan minuman yang dikonsumsi beberapa hari terakhir
 Hilangnya nafsu makan
 Pernah sakit camapat dalam 3 bulan terakhir
 Berat badan lahir
 Riwayat tumbuh kembang: duduk, berdiri, bicara dan lain-lain
 Riwayat imunisasi
 Apakah ditimbang setiap bulan
 Lingkungan keluarga (untuk memahami latar belakang social anak).

2. Pemeriksaan Fisik
Dilakukan untuk menentukan kelainan suatu sistem atau organ
tubuh dengan menggunakan 4 cara yaitu inspeksi (melihat), palpasi
(meraba), perkusi (mengetuk) dan auskultasi ( mendengar menggunakan
alat stetoskop). Pemeriksaan fisik khusus juga dilakukan pemeriksaan
tanda vital seperti nadi, pernafasan, tekanan darah, suhu tubuh, status gizi
dan tingkat kesadaran juga diperiksa secara detail.
 Anak tampak sangat kurus, terdapat edema pada kedua punggung kaki.
Tentukan status gizi dengan menggunakan BB/TB-PB.
 Tanda dehidrasi : tampak haus, mata cekung, turgor buruk
 Terdapat tanda syok (tangan dingin, capillary refill time yang melambat,
nadi lemah dan cepat) kesadaran menurun
 Demam (sukuaksilar ≥ 37,5 C) atau hipotermi (suhu aksilar< 35,5 C)
 Frekuensi dan tipe pernapasan : pneumonia atau gagal jantung

6
 Sangat pucat
 Pembesaran hati
 Perut kembung, bisingusu melemah/meninggi, tanda asites, atau adanya
suara seperti pukulan pada permukaan air (abdominal splash)
 Tampilan tinja (konsistensi, darah, lendir).

3. Pemeriksaan penunjang
Dilakukan untuk memperkuat diagnosis yang dihasilkan dari pemeriksaan
fisik. Pemeriksaan penunjang yang dilakukan dapat berupa pemeriksaan
laboratorium terhadap HB dan atau Ht, jika didapatkan anak sangat pucat.

2.7 Pencegahan Penyakit Marasmus


Beberapa cara untuk mencegah terjadinya marasmus pada anak, antara lain
sebagai berikut:
1. Memberikan ASI eksklusif (hanya ASI) sampai anak berumur 6 bulan.
Setelah itu, anak mulai dikenalkan dengan makanan tambahan sebagai
pendamping ASI yang sesuai dengan tingkatan umur, lalu disapih setelah
berumur 2 tahun.
2. Anak diberikan makanan yang bervariasi, seimbang antara kandungan
protein, lemak, vitamin dan mineralnya. Perbandingan komposisinya:
untuk lemak minimal 10% dari total kalori yang dibutuhkan, sementara
protein 12% dan sisanya karbohidrat.
3. Rajin menimbang dan mengukur tinggi anak dengan mengikuti program
Posyandu. Cermati apakah pertumbuhan anak sesuai dengan standar di
atas. Jika tidak sesuai, segera konsultasikan hal itu ke dokter.
4. Jika anak dirawat di rumah sakit karena gizinya buruk, bisa ditanyakan
kepada petugas pola dan jenis makanan yang harus diberikan setelah
pulang dari rumah sakit.

Jika anak telah menderita karena kekurangan gizi, maka segera berikan kalori
yang tinggi dalam bentuk karbohidrat, lemak, dan gula. Sedangkan untuk

7
proteinnya bisa diberikan setelah sumber-sumber kalori lainnya sudah terlihat
mampu meningkatkan energi anak. Berikan pula suplemen mineral dan vitamin
penting lainnya.

2.8 Analisis Kasus Marasmus


Judul: Asuhan Keperawatan pada An. H dengan Malnutrisi (Marasmus) di
Bangsal Anggrek III Rumah Sakit Umum Daerah Surakarta Penulis: Riardi
Wahyu Ramadhan Tahun: 2015.
Seorang pasien bernama An. H berusia 9 bulan alamat Banjarsari,
Surakarta didiagnosa menderita marasmus. Keluarga mengatakan bahwa An. H
panas kurang lebih 5 hari lalu dibawa ke rumah sakit dengan rujukan dari
puskesmas. Selain itu, An. H juga mengalami berkurangnya nafsu makan, susah
minum, dan berat badannya tidak naik sejak usia 4 bulan. Menurut keluarga, saat
ini An. H hanya batuk. Di usianya yang ke 9 bulan, An. H hanya bisa miring ke
kanan, kiri, dan tengkurap tanpa bantuan.
Diagnosa keperawatan menunjukkan bahwa: (1) Ketidakseimbangan
nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh merupakan akibat darikehilangan nafsu
makan; (2) Risiko tinggi infeksi berakibat dari pertahanan lapis kedua yang tidak
memadai (HB rendah); dan (3) Gangguan perkembangan dan pertumbuhan
berakibat dari asupan nutrisi yang tidak adekuat.
Pada implementasi keperawatan, hal yang paling penting untuk
penanganan pasien marasmus adalah mengobservasi berat badan pasien setiap
hari, memberikan kebutuhan nutrisi sesuai diet yang telah ditentukan, pengawasan
terhadap tanda-tanda infeksi, mengajarkan kepada keluarga tentang higiene
personal dengan mencuci tangan sebelum dan sesudah kontak dengan pasien,
mengkaji tumbuh kembang pasien, dan memberikan stimulasi pada pasien dengan
memberi pijat bayi.

2.9 Perbedaan Antara Kwarsiorkor dengan Marasmus


Perbedaan marasmus dan kwasiorkor kadang membingungkan karena
keduanya merupakan penyakit kekurangan energi kronik berupa gizi buruk atau

8
malnutrisi. Malnutrisi energi protein telah diidentifikasi menjadi masalah
kesehatan utama dan menjadi masalah nutrisi yang serius di negara berkembang
termasuk di Indonesia, dalam bentuk marasmus dan kwasiorkor.
Marasmus dan kwasiorkor di Indonesia kejadiannya tinggi, dimana
dewasa ini terjadi pada kabupaten Asmat, Kabupaten Papua. Di daerah lain juga
kasusnya sangat tinggi. Dua terminologi tersebut merefleksikan definisi, gejala
yang ditimbulkan, perubahan biokimia dan metabolisme dan tatalaksana yang
harus dilakukan.
1. Marasmus
Malnutrisi kekurangan energi protein berat pada anak dapat memicu
marasmus, dengan berat badan kurang dari 60% dari rata-rata usia, dengan
tampakan klinis seperti kurus, agak menua dan tanpa pembengkakan (edema).
Pada marasmus, otot mengecil dengan kehilangan jaringan lemak subkutan.
Edema tidak terlihat dan berat badan menurun. Anak kadang terlihat apatis. Pola
makan menurun, dan jarang disertai manifestasi dermatologi.
Pada marasmus perubahan rambut jarang, dan tidak disertai hepatomegali.
Pada pasien ini, serum albumin biasanya normal, atau sedikit menurun dengan
rasio asam amino nonesensial dibanding asam amino esensial cenderung normal.
Terdapat baggy pant.(wiwid santiko, 2016).
Gejala Marasmus terjadi ketika tubuh kekurangan energi (Kalori) yang lebih
sering terjadi pada anak-anak dan bayi. Kondisi ini akan menyebabkan dehidrasi
dan penurunan berat badan.
Gejala-gejala marasmus meliputi:
1. Penurunan berat badan
2. Dehidrasi
3. Diare kronis
4. Perut cekung (kempes)
Seorang anak akan lebih berisiko jika tinggal di daerah pedesaan di mana
sulit untuk mendapatkan makanan atau daerah yang memiliki kekurangan
makanan. Atau pada bayi yang tidak diberi ASI.(Ahmad Muhlisin, 2016)
2. Kwasiorkor

9
Pada kondisi ini, berat badan anak 60-80% dari yang seharusnya, dan bengkak
tubuh didapatkan (edema general ada). Pada kwasiorkor, otot juga mengecil
volumenya tetapi tertutup oleh edema (bengkak) dan jaringan lemak biasanya
masih ada tetapi berkurang. Edema biasanya terlihat pada wajah, ekstremitas
atas yakni kedua tangan, dan kedua kaki. Biasanya nafsu makan anak menurun.
Manifestasi dermatologi speerti ruam kulit, hiperkeratosis dan desquamasi
muncul. (wiwid santiko, 2016).
Bagian perut cenderung buncit dengan pembesaran hepar (hepatomegali).
Rambut terurai dan berubah warnanya menjadi kuning (depigmentasi). Serum
albumin menurun dengan peningkatan rasio plasma asam amino nonesensial
dibanding dengan asam amino esensial.
Gejala Kwashiorkor terjadi pada orang yang memiliki kekurangan protein
yang parah. Anak-anak yang mengalami kwashiorkor biasanya berumur lebih tua
dari anak-anak yang mengembangkan marasmus. Apabila seorang anak lebih
banyak mengonsumsi karbohidrat sebagai makanan utamanya, maka ini menjadi
faktor resiko utama. Gejala-gejala kwashiorkor meliputi:
1. Edema, atau bengkak atau penampilan bengkak karena retensi cairan
2. Perut buncit dan menonjol
3. Ketidakmampuan untuk tumbuh atau bertambahnya berat badan.
Seorang anak akan lebih berisiko jika tinggal di daerah pedesaan di mana
akses untuk mendapatkan makanan kaya protein begitu terbatas. Anak-anak bayi
yang tidak mendapatkan ASI juga berisiko apalagi tidak mendapatkan makanan
kaya protein. (Ahmad Muhlisin, 2016)

Perbedaan Marasmus dan Kwasiorkor


 Pada marasmus, berat badan kurang dari 60% dari rerata berat badan
normal pada usia seharusnya, sedangkan pada kwasiorkor, berat badan
sebesar 60-80% dari berat badan yang diekspektasikan. Biasanya kurang
dari 3 SD. Untuk menghitungnya, silahkan gunakan rumus Z-score.
 Edema biasanya muncul pada kwasiorkor, tetapi tidak muncul pada
marasmus

10
 Pada marasmus, penurunan massa otot lebih berat disertai dengan
kehilangan jaringan lemak subkutan, sedangkan pada kwasiorkor,
penurunan massa otot tersembunyi edema (bengkaknya).
 Pembesaran hepar terlihat pada kwasiorkor disertai infiltrasi jaringan
lemak, tetapi tidak terlihat pada marasmus.
 Manifestasi dermatologi seperti dermatitis, hiperkeratosis, dan desquamasi
biasanya terlihat pada kwasiorkor, tetapi tidak terlihat pada marasmus.
 Perubahan rambut berupa terurai dan depigmentasi menguning, terlihat
pada kwasiorkor, tetapi jarang terlihat pada marasmus.
 Perubahan biokimia metabolisme terjadi pada keduanya(wiwid santiko,
2016).

2.10 Prevalensi Penyakit Marasmus


Pada tahun 2005 Indonesia mengalami masalah gizi kurang yaitu terdapat
19,2%, dan gizi buruk 8,8%. Pada bayi usia 0-5 bulan yang mengalami gizi buruk
sekitar 8,5%, bayi usia 6-11 bulan mengalami gizi buruk sekitar 14,2%, bayi usia
12-23 bulan mengalami gizi buruk sekitar 20% dan bayi usia 24 sampai 59 bulan
mengalami gizi buruk sekitar 21,2%. (Ikeu Nurhidayah, 2008 dalam (Darmawati,
Kadrianti, & Suarnianti, 2013) ).
Kurang energi protein merupakan salah satu masalah gizi utama di
Indonesia. Masalah gizi ini banyak diderita oleh golongan balita. Apabila anak
balita kekurangan banyak energi protein dapat menimbulkan tanda klinis

11
kwashiorkor atau marasmus (Edwin Saputra, 2009 dalam (Darmawati, Kadrianti,
& Suarnianti, 2013) ).
Dari hasil penelitian yang dilakukan Sudariyanto (2009) dalam
(Darmawati, Kadrianti, & Suarnianti, 2013) Menyatakan kasus gizi buruk jenis
marasmus di Sulawesi selatan pada tahun 2008 terdapat 48 kasus, empat
kabupaten/kota terbanyak antara lain Pinrang ada sebanyak 12 kasus, Bone
terdapat11 kasus, Luwu Timur kurang lebih ada 7 kasus dan Jeneponto sebanyak
6 kasus.
Sedangkan dari penelitian lain menyatakan pada tahun 1998 penyakit
maramus di beberapa provinsi di Indonesia seperti Propinsi Sumatera Barat, Jawa
Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sulawesi Selatan, dan Lanpung ditemukan
kasus kekurangan energi gizi dengan kasus yang sangat parah . Sampai pada akhir
tahun 1999 terdapat 418 anak diantara 24000 mengalami kasus marasmus.
(Lafinulu, Kartika, & Budiman, 2000).
Marasmus merupakan salah satu masalah kesehatan yang dapat dialami
oleh anak-anak maupun orang dewasa. Pada anak-anak, khususnya balita, kondisi
ini lebih mungkin terjadi dan memiliki keparahan yang lebih tinggi, karena pada
balita kekebalan tubuhnya masih dalam proses perkembangan sehingga
membutuhkan banyak asupan gizi. Apabila asupan gizi tidak dapat terpenuhi
dengan baik, maka akan menimbulkan berbagai macam masalah kesehatan yaitu
salah satunya penyakit maramus. UNICEF memperkirakan sedikitnya terdapat
500.000 kasus kematian akibat marasmus pada anak-anak di dunia.
Di Indonesia, masalah gizi buruk menyebabkan kejadian empat dari
seratus bayi yang lahir setiap tahun tidak dapat bertahan hidup kurang dari lima
tahun, yang umumnya merupakan korban dari penyakit serta kondisi yang
diperparah oleh persoalan gizi tersebut. Satu dari tiga anak balita mengalami
gangguan pertumbuhan (bayi pendek untuk rata-rata usianya/stunted ); dan hampir
seperlima jumlah balita mengalami berat badan kurang, di bawah standar rata-rata
(underweight ).
Dari data di atas dapat disimpulkan bahwa prevalensi penyakit maramus
banyak dialami oleh anak-anak, khususnya pada balita. Karena pada masa balita

12
banyak dibutuhkan asupan gizi terutama protein untuk mencegah balita
mengalami maramus. Kejadian maramus pada bayi juga disebabkan karena faktor
dari kurangnya pengetahuan ibu mengenai pentingnya memenuhi asupan gizi
pada anak, faktor ekonomi, dan faktor lingkungan.

2.11 Penatalaksanaan Penyakit Marasmus


Penatalaksanaan pada anak dengan diagnosis marasmus yaitu perlu
dilakukan pengkajian tentang riwayat status sosial ekonomi, riwayat pola makan,
antropometri, manifestasi klinis, monitor hasil laboratorium, timbang berat badan,
dan kaji tanda-tanda vital. Pada anak yang menderita marasmus memerlukan diit
yang berisi cukup protein yang memiliki kualitas biologik baik, tinggi kalori,
mineral dan vitamin. Selain perbaikan gizi juga perlu pemberian terapi cairan dan
elektrolit. Terapi ini diberikan karena pada umumnya penderita marasmus juga
mengalami diare sehingga perlu cairan pengganti. Jika dilakukan upaya
pengobatan diantaranya yaitu :
1. Pengobatan/pencegahan terhadap hipoglikemi, hipotermi, dehidrasi.
2. Pencegahan jika ada ancamanperkembangan renjatan septic
3. Pengobatan infeksi
4. Pemberian makanan
5. Pengidentifikasian dan pengobatan masalah lain, seperti kekurangan
vitamin, anemia berat dan payah jantung.

2.12 Distribusi Penyakit Marasmus


1. Usia
Usia merupakan salah satu variabel epidemiologi atau salah satu gambaran
variabel dalam distribusi penyakit marasmus. Penyakit marasmus banyak terjadi
pada balita yang memiliki rentang usia antara 12-23 bulan atau di bawah usia 5
tahun. Balita yang menderita penyakit marasmus dapat disebabkan karena pada
usia tersebut, balita sedang berada dalam masa lanjutan dari periode menyapih.
Dimana balita yang disapih mengalami masa transisi pada pola makannya yaitu
berupa peralihan dari ketergantungan yang besar terhadap ASI ke makanan semi

13
padat atau telah mulai diperkenalkan terhadap Makanan Pendamping ASI (MP-
ASI). Pada masa ini, penyakit marasmus merupakan kejadian yang terjadi akibat
dari pemberian makanan sapihan yang tidak diberikan dalam jumlah dan frekuensi
yang cukup.
2. Jenis Kelamin
Jenis kelamin pada distribusi penyakit marasmus ini lebih banyak terjadi pada
balita berjenis kelamin wanita.
3. Penyakit Penyerta
Penyakit penyerta yang ikut andil dalam distribusi penyakit marasmus ini
adalah penyakit ISPA (Infeksi Saluran Pernapasan). Beberapa penelitian
menunjukkan adanya hubungan yang signifikan antara status gizi terutama saat
menderita penyakit marasmus dengan kejadian ISPA pada balita dan mempunyai
korelasi positif. Penderita marasmus juga bisa mengalami kelainan pada saluran
napas yang mengganggu proses fisiologisnya dalam hal proteksi terhadap agen
penyakit. Saluran napas yang normal memiliki proses fisiologis yang berguna
untuk melawan agen penyakit seperti reflek batuk, bersin dan peningkatan jumlah
cairan mukosa ketika terdapat agen yang membahayakan kesehatan saluran napas.
(Safuar, 2014)
4. Tempat
Tempat terjadinya marasmus menurut orangtua kasus berdasarkan
pemeriksaan klinis adalah dari dan di pihak puskesmas. Hal itu terjadi ketika
orangtua tdak bisa berbuat banyak karena kemampuan ekonominya yang tidak
bisa menjangkau pelayanan kesehatan dan pemenuhan konsumsi makanan yang
dibutuhkan untuk waktu yang relatif lama terkait penyakit marasmus itu sendiri.
(Syarifudin Lafinulu, 2000).

14
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Dari pemaparan makalah di atas, maka dapat diambil kesimpulan bahwa
marasmus adalah suatu keadaan dimana anak mengalami penurunan berat badan
dan kemudian terjadi penciutan atau pengurusan otot generalisata dan tidak
adanya lemak subkutis. Marasmus merupakan suatu bentuk kurang kalori-protein
yang berat. Terdapat beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya marasmus,
salah satunya yaitu kekurangan protein. Untuk mengetahui seseorang yang
mengalami marasmus, terdapat pemeriksaan diagnosa terkait penyakit tersebut.
Dengan adanya prevalensi penyakit marasmus, maka perlu diketahui mengenai
pencegahan penyakit tersebut.
Membedakan antara kwarsiorkor dengan marasmus terkadang
membingungkan karena keduanya merupakan penyakit kekurangan energi kronik
berupa gizi buruk atau malnutrisi. Namun terdapat perbedaan antara keduanya
sehingga dapat diketahui apakah itu penyakit kwarsiorkor atau marasmus. Selain
itu terdapat distribusi penyakit marasmus yang dapat dilihat melalui usia, jenis
kelamin, penyakit penyerta, dan tempat.

3.2 Saran
Dengan adanya penjelasan mengenai marasmus, diharapkan pembaca
maupun masyarakat dapat memahami menganai apa itu marasmus dan hal hal
yang berkaitan dengan penyakit marasmus. Sehingga dapat lebih waspada dan
melaksanakan tindakan pencegahan agar terhindar dari penyakit marasmus.
Semoga dengan adanya makalah ini, dapat memberikan manfaat bagi si pembaca
dan apabila ada kesalahan dari penuliasan makalah tersebut kami mengharapkan
kritik dan saran yang membangun agar dapat lebih baik dari pembuatan makalah
selanjutnya.

15
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Muhlisin, d. (2016). perbedaan marasmus dan kwashiorkor .Retrieved
oktober 4, 2018, from mediskus:
https://mediskus.com/penyakit/marasmus-dan-kwashiorkor-apa
perbedaannya
Darmawati, Kadrianti, E., & Suarnianti. (2013). Faktor-faktor yang berhubungan
dengan kejadian kurang energi protein pada anak usia 2-5 tahun di
wiliayah kerja Puskesmas Tamalata kelurahan Tamalata Kecamatan
Manggala Kota Makassar. Jurnal Ilmiah
Gilang, M. (2007). Pendidikan Jasmani, Olahraga, dan Kesehatan. Jakarta:
Ganeca Exact.
Helmiyati, L. A. (2018). Peran Probiotik di Bidang Gizi dan
Kesehatan.Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Hukubun, S. (2016, Desember 08). Alur Penegakan Diagnosis Marasmus
Retrieved Oktober 05, 2018, from Slide Share:
https://www.slideshare.net/SusiHukubun/alur-penegakan-diagnosis-
marasmus
Kesehatan Diagnosis, Volume 3 Nomor 5 Tahun 2013 , 1-2. Lafinulu, S., Kartika,
V., & Budiman, B. (2000). Hasil uji kelayakan kasus gizi buruk sebagai
indikator kejadian luar biasa kurang pangan di masyarakat.
ejournal.litbang.kemkes.go.id, 48. UNICEF indonesia
Nadila, F. & Anggraini, D. I., 2016. Manajemen Anak Gizi Buruk Tipe Marasmus
dengan TB Paru. Medula Unila, VI(1), pp. 36-43.
wiwid santiko, d. (2016). Ilmu Kesehatan Anak . Retrieved oktober 4, 2018, from
Dokter Muslim: https://doktermuslim.com/perbedaan-marasmus-dan-
kwasiorkor/

16

Anda mungkin juga menyukai