Anda di halaman 1dari 16

Biografi dan Pemikiran Tokoh Ahlus Sunnah wal Jama’ah

Makalah
Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah:
Aqidah An-nahdliyyah
Dosen Pengampu: Dr. H. Mohamad Kholil, S.S., M.S.I

OLEH:
1. Siti Aliyana Safitri (2386206030)
2. Istikomah (2386206015)
3. Nur Istiqlala (2386206025)
4. Fatimah Tuz Zahro (2386206011)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR


STKIP NAHDLATUL ULAMA INDRAMAYU
2023 M / 1445 H
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT atas rahmat dan karunia-Nya
kami dapat menyelesaikan makalah ini tepat pada waktunya. Adapun tema dari
makalah ini adalah Biografi dan Pemikiran Tokoh Ahlus Sunnah wal Jama’ah.
Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya
kepada dosen mata kuliah aqidah an-nahdia yaitu bapak Dr. H. Mohamad Kholil,
S.S., M.S.I yang telah memberikan tugas kepada kami kami juga ingin
mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang turut membantu dalam
pembuatan makalah ini.
Penyusunan makalah ini mempunyai maksud dan tujuan agar para pembaca
mendapatkan wawasan atau ilmu dengan mengetahui siapa saja tokok-tokoh dalam
ahlussunnah wal jama’ah.
Makalah ini jauh dari kata sempurna mungkin dalam pembuatan makalah ini
terdapat kesalahan yang belum kami ketahui maka dari itu kami mohon saran dan
kritik dari teman-teman maupun dosen.
Kami berharap semoga makalah ini bermanfaat bagi kami khususnya dan
teman-teman yang membaca.

Indramayu, 26 September 2023

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ....................................................................................................... ii


DAFTAR ISI..................................................................................................................... iii
BAB I .................................................................................................................................. 1
PENDAHULUAN ............................................................................................................. 1
1.1. Latar Belakang .................................................................................................. 1
1.2. Rumusan Masalah ............................................................................................ 1
1.3. Tujuan Penulisan .............................................................................................. 1
BAB II ................................................................................................................................ 2
PEMBAHASAN ................................................................................................................ 2
2.1. Biografi dan pemikiran Ahlissunnah wal Jama’ah ........................................ 2
2.1.1. Imam Abu al-Hasan al-Asy’ari ................................................................... 2
2.1.2. Imam Abu Manshur al-Maturidi ................................................................. 9
BAB III............................................................................................................................. 12
PENUTUP ........................................................................................................................ 12
3.1. Simpulan .............................................................................................................. 12
3.2. Saran ..................................................................................................................... 12
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................................... 13

iii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Ahlussunnah wal jama’ah adalah pemahaman tentang aqidah yang
berpedoman pada nabi Muhammad SAW, Dan para sahabatnya atau dengan
artian lain Aswaja yaitu golongan yang mengikuti perilaku nabi Muhammad
SAW dan para sahabatnya pada zaman pemerintahan Khulafaur Rasyidin.
Secara umum pengertian Ahlussunnah Wal Jamaah adalah mereka yang
selalu mengikuti perilaku sunnah Nabi dan para sahabatnya, Aswaja adalah
golongan pengikut yang setia mengikuti ajaran Islam yang dilakukan oleh para
nabi dan para sahabatnya. Sedangkan menurut dovier Aswaja dapat diartikan
sebagai para pengikut tradisi nabi dan kesepakatan ulama dengan menyatakan
diri sebagai pengikut nabi dan ijma ulama para Kyai secara eksplisit
membedakan dirinya dengan kaum Islam modern yang berpegang teguh hanya
pada Alquran dan Al Hadits dan menolak ijma ulama.
Pada akhir abad ke-3 tahun Hijriyah timbullah golongan Aswaja yang
dipelopori oleh dua orang ulama besar dalam Ushuluddin yaitu Syekh Abu
Hasan Ali Al Asy'ari dan Syekh Abu Mansur al-maturidi.

1.2. Rumusan Masalah


1. Siapakah tokoh-tokoh dalam Ahlussunnah wal jama’ah?
2. Bagaimana pemikiran tokoh Imam Abu al-Hasan al-Asy’ari dan Imam
Abu Manshur al-Maturidi tentang Ahlussunnah wal jama’ah?

1.3. Tujuan Penulisan


1. Untuk mengetahui siapa saja tokoh-tokoh dalam Ahlussunnah wal
jama’ah?
2. Untuk mengetahui bagaimana pemikiran para tokoh Ahlussunnah wal
jama’ah?

1
BAB II

PEMBAHASAN

2.1. Biografi dan pemikiran Ahlissunnah wal Jama’ah

2.1.1. Imam Abu al-Hasan al-Asy’ari


Nama lengkapnya adalah Ali Ibnu Ismail Ibau Ishak Ibnu Salim
Ibnu Ismail Ibnu Abdullah bin Musa Ibnu Bilal Ibnu Abi Burdah Ibnu
Abi Musa Al Asy'ari atau sering disebut Abu Hasan Al Asy'ari Imam
Abu Hasan Al Asy'ari. Lahir di Basrah pada tahun 260 Hijriyah atau 873
Masehi.
Wafat di Bagdad pada tahun 324 Hijriyah atau 935 masehi, di
semayamkan di antara Karl dan pintu Basrah. Beliau dibesarkan di
Basrah dan dididik dari kecil dengan berbasis ilmu agama, bahasa Arab
dan seni orasi. Beliau belajar hadits dari Al Hafiz Ibn Yahya Al-sa Aji,
Abi Khalifah al-Jauhi, Sahl ibn Nuh, Muhammad ibn Ya’kub Al-Mukril
dan Abdurrahman bin Khalaf Al-Dabhi. Sementara itu Ia mempelajari
ilmu Kalam dari tokoh-tokoh Mua’zilah, seperti abu Ali (235
Hijriah/935 Masehi), Saham dan Al-thawi. Ia sering mewakili gurunya
Al-Jubal dalam kesempatan diskusi (perdebatan mengenai kalam).
Meskipun demikian, dalam perkembangan selanjutnya. Al-Asy’ari
justru menjauhi paham Mu’tazilah. Al-Asy’ari menolak faham
Mu’tazilah kemudian ia mengadakan pengasingan diri selama 15 hari.
Setelah itu, ia pergi ke Masjid Basrah pada hari Jum’at. Ia naik
mimbar dan mengumumkan kepada seluruh hadirin bahwa ia telah
meninggalkan keyakinan-keyakinan lama dan menganut keyakinan
baru. Ketika Al-Asy’ari meninggalkan faham Mu’tazilah, golongan ini
sedang berada dalam fase kemunduran dan kelemahan. Ini diindikasikan
dari sikap penghargaan dan penghormatan Khalifah Al-Mutawakkil
kepada Ibnu Hanbal.

2
Pokok-pokok pikiran Al-Asy’ari antara lain:
1) Zat dan sifat-sifat Tuhan
Persoalan sifat-sifat Allah, merupakan maslaha yang banyak
dibicarakan oleh ahli teologi Islam. Berkaitan dengan itu
berkembang dua teori yaitu: teori is/bat al-sifat dan naif al-sifat.
Teori pertama mengajarkan bahwa Allah memiliki sifat-sifat,
seperti, mendengar, melihat, dan berbicara. Teori inilah yang
dianut oleh kaum Asy’ariyah. Sementara teori kedua
mengajarkan bahwa Allah tidak memiliki sifat-sifat, teori
tersebut dianut oleh kaum Mu’tazilah dan para ahli-ahli filsafah.
Paham kaum Asy’ari berlawanan dengan paham Mu’tazilah.
Golongan Asy’ari berpendapat bahwa Allah itu mempunyai sifat
diantaranya, al-‘ilm, al-qudrat, al-sama’, al-basar, al-hayah,
iradah, dan lainnya. Namun semua ini dikatakan la yukayyaf la
yuhadd (tanpa diketahui bagaimana cara dan batasnya).
Menurut al-Asy’ari, Allah mempunyai ilmu karena alam
yang diciptakan demikian teratur, alam tidak akan ada kecuali
diciptakan oleh Allah yang memiliki ilmu. Argumen ini antara
lain diperkuat oleh firman Allah dalam QS. An-Nisa/4:166.
Kaum Asy’ari juga meyakini akan sifat-sifat Allah yang
bersifat khabariyah, seperti Allah punya wajah, tangan, kaki,
betis dan seterusnya. Dalam hal ini al-Asya’ariyah
mengartikannya secara simbolis serta tidak melakukan takyif
(menanyakan bagaimana rupa wajah, tangan dan kaki Allah),
ta’til (menolak bahwa Allah punya wajah, tangan dan kaki),
tamsil (menyerupakan wajah, tangan dan kaki Allah dengan
sesuatu), serta tahrif (menyimpangkan makna wajah, tangan dan
kaki Allah dengan makna lainnya). Argumen al-Asy’ari tersebut
diperkuat dengan firman Allah, di antaranya QS. Al-
Rahman/55:27.

3
Berdasarkan uraian diatas, dapat diambil sebuah konklusi
bahwa, dalam paham Asy’ari sifat-sifat Allah adalah
sebagaimana yang tertara dalam al-Qur’an dan hadis. Sifat-sifat
tersebut merupakan sifat-sifat yang sesuai dengan zat Allah
sendiri dan sekali-kali tidak menyerupai sifat-sifat makhluk.
Allah melihat tidak seperti makhluk. Begitupun mendengar tidak
seperti makhluk.

2) Kebebasan dalam berkehendak


Pada dasarnya al-Asy’ari menggambarkan manusia sebagai
seorang yang lemah, tidak mempunyai daya dan kekuatan apa-
apa disaat berhadapan dengan kekuasaan absolut mutlak. Karena
manusia dipandang lemah, maka paham al-Asy’ari dalam hal ini
lebih dekat kepada paham Jabariyah (fatalisme) dari paham
Qadariya (free will). Manusia dalam kelemahan banyak
tergantung kepada kehendak dan kekuasaan Tuhan. Untuk
menggambarkan hubungan perbuatan dengan kemauan dan
kekuasaan mutlak Tuhan al-Asy’ari memakai istilah al-kasb
(acquisition, perolehan).
Al-kasb dapat diartikan sebagai suatu perbuatan yang timbul
dari manusia dengan perantara daya yang diciptakan oleh Allah.
Tentang faham kasb ini, al-Asy’ari memberi penjelasan yang
sulit ditangkap. Di satu pihak ia ingin melukiskan peran manusia
dalam perbuatannya. Namun dalam penjelasannya tertangkap
bahwa kasb itu pada hakekatnya adalah ciptaan Tuhan. Jadi,
dalam teori kasb manusia tidak mempunyai pengaruh efektif
dalam perbuatannya. Kasb, kata al-Asy’ari adalah sesuatu yang
timbul dari yang berbuat (al-muhtasib) dengan perantaraan daya
yang diciptakan.

4
Jadi, dalam paham al-Asy’ari, perbuatan-perbuatan manusia
adalah diciptakan Tuhan. Dan tidak ada pembuat (agen) bagi
kasb kecuali Allah.
3) Akal dan wahyu
Pada dasarnya golongan Asy’ary dan Mu’tazilah mengakui
pentingnya akal dan wahyu. Namun mereka berbeda pendapat
dalam menghadapi persoalan yang memperoleh penjelasan
kontradiktif dari akal dan wahyu. Al-Asy’ari mengutamakan
wahyu sementara Mu’tazilah mengutamakan akal. Mu’tazilah
memandang bahwa mengetahui Tuhan, kewajiban mengetahui
Tuhan, mengetahui baik dan buruk, kewajiban mengerjakan
yang baik dan menjauhi yang buruk adalah dapat diketahui lewat
akal tanpa membutuhkan wahyu.
Sementara dalam pandangan al-Asya’ariyah semua
kewajiban agama manusia hanya dapat diketahui melalui
informasi wahyu. Akal menurut al-Asya’ariyah tidak mampu
menjadikan sesuatu menjadi wajib dan tak dapat mengetahui
bahwa mengerjakan yang baik dan menjauhi yang buruk adalah
wajib bagi manusia. Wajib mengenal Allah ditetapkan melalui
wahyu hanyalah sebagai alat untuk mengenal, sedangkan yang
mewajibkan mengenal Allah ditetapkan melalui wahyu. Bahkan
dengan wahyu pulalah untuk dapat mengetahui ganjaran
kebaikan dari Tuhan bagi yang berbuat ketaatan, serta ganjaran
keburukan bagi yang tidak melakukan ketaatan. Dalil yang
dikemukakan al-Asy’ariyah dalam melegitimasi argumen ini,
antara lain adalah firman Allah dalam QS. al-Isra 17: 15.
Berdasarkan konsepsi di atas, dapat dipahami bahwa dalam
teologi Asy’ariyah, institusi akal tidak memilki otoritas dalam
mengetahui semua kewajiab manusia. Oleh karena itu, otoritas
wahyulah dalam menjelaskan semua itu, atau dengan kata lain

5
lewat wahyulah semua kewajiban keagamaan manusia itu
diketahui.
4) Qadimnya kalam Allah (Al-qur’an)
Masalah Qadimnya al-Qur’an golongan Asy’ariyah
memiliki pandangan tersendiri. Asy’ari mengatakan bahwa
walaupun al-Qur’an terdiri atas kata-kata huruf dan bunyi,
semua itu tidak melekat pada esensi Allah dan karenanya tidak
qadim.
Pemikiran kalam al-Asy’ari tentang Kalam Allah (al-
Qur’an) ini dibedakannya menjadi dua, Kalam Nafsi yakni
firman Allah yang bersifat abstrak tidak berbentuk yang ada
pada Zat (Diri) Tuhan, Ia bersifat Qadim dan Azali serta tidak
berubah oleh adanya perubahan ruang, waktu dan tempat. Maka
al-Qur’an sebagai kalam Tuhan dalam artian ini bukanlah
makhluk.
Sedangkan kalam Lafzi adalah kalam Allah yang diturunkan
kepada para Rasul yang dalam bentuk huruf atau kata-kata yang
dapat ditulis, dibaca atau disuarakan oleh makhluk-Nya, yakni
berupa al-Qur’an yang dapat dibaca sehari-hari. Maka kalam
dalam artian ini bersifat hadis (baru) dan termasuk makhluk.
Sebagai reaksi atas pandangan Mu’tazilah, yang mengatakan
bahwa kalam Allah tidak bersifat kekal tetapi bersifat baru dan
diciptakan Allah, maka al-Asy’ari berpendapat bahwa kalam
Allah tidaklah diciptakan, sebab kalau diciptakan, maka
bertentangan dengan firman Allah QS. Al-Nahl/16:40.
Dari uraian yang telah dikemukakan di atas, dapat dipahami
bahwa kalam Allah, menurut aliran Asy’ariyah adalah sifat, dan
sebagai sifat Allah, maka mestilah ia kekal. Namun, untuk
mengatasi persoalan bahwa yang tersusun tidak boleh bersifat
kekal atau qadim, seperti yang dikemukakan Mu’tazilah, al-
Asy’ariyah memberikan dua definisi yang berbeda. Kalam yang

6
tersusun disebut sebagai firman dalam arti kiasan (kalam lafzi).
Sedangkan kalam yang sesungguhnya adalah apa yang terletak
dibalik yang tersusun tersebut (kalam nafsi).
5) Melihat Allah
Al-Asy’ari berpendapat bahwa Allah dapat dilihat di akhirat,
tetapi tidak digambarkan. Karena boleh saja itu terjadi bila Allah
sendiri yang menyebabkan dapat dilihat sesuai kehendaknya.
Firman Allah dalam QS. Al-Qiyamah/75: 22 dan 23.
Argumen logika yang dikemukakan ialah bahwa Tuhan itu
ada, maka melihatNya pada hari kiamat dengan mata kepala
adalah hal yang mungkin. Karena sesuatu yang tidak bisa dilihat
dengan mata kepala, itu tidak bias diakui adanya, sama seperti
sesuatu yang tidak ada padahal Tuhan pasti ada. Pada hari
kiamat, Allah dapat dilihat seperti melihat bulan purnama. Dia
dapat dilihat oleh orang yang beriman, dan bukan oleh orang
kafir. Sebab mereka dihalangi untuk melihat-Nya. Musa pernah
meminta agar diperkenankan melihat Allah di dunia, kemudian
gunung pun bergetar sebagai penjelmaan kekuasaan-Nya.
Dengan demikian, dapat dipahami bahwa Dia tidak dapat dilihat
di dunia, sebaliknya di akhirat dapat dilihat.
6) Keadilan
Asy’ary tidak sependapat dengan Mu’tazilah yang
mengharuskan Allah berbuat adil sehingga Dia harus menyiksa
orang yang salah dan memberi pahala orang yang berbuat baik.
Menurutnya Allah tidak memiliki keharusan apapun karena Ia
adalah penguasa mutlak. Puncak perselisihan antara Asy’ariyah
dan Mu’tazilah dalam masalah keadilan Tuhan adalah ketika
Mu’tazilah tidak mampu menjawab kritik yang dilontarkan
Asy’ariyah, bahwa jika keadilan mencakup ikhtiar, baik dan
buruk logistik serta keterikatan tindakan Tuhan dengan tujuan-

7
tujuan semua tindakan-Nya, maka pendapat ini akan
bertentangan dengan ke-Esaan tindakan Tuhan (Tauhid fil Af’al)
bahkan bertentang dengan ke-Esaan Tuhan itu sendiri. Karena
ikhtiar menurut Mu’tazilah merupakan bentuk penyerahan
ikhtiar yang ekstrim dan juga menafikan ikhtiar dari Zat-Nya.
Dalam pandangan Asy’ariyah, Tuhan itu adil, sedangkan
pandangan Mu’tazilah standar adil dan tidak adil dalam
pandangan manusia untuk menghukumi Tuhan, sebab segala
sesuatu yang bekenaan dengan kebaikan manusia hukumnya
wajib bagi Allah. Keadilan dalam pandangan al-Asy’ariyah
sebagaimana dikutip al-Syahrastani, adalah menempatkan
ssuatu pada tempat yang sebenarnya. Oleh karena alam dan
segala yang ada di dalamnya adalah milik Allah, maka Dia dapat
berbuat apa saja yang dikehendaki-Nya meskipun dalam
pandangan manusia tidak adil.
Dengan demikian, jika Allah menambah beban yang telah
ada pada manusia, atau menguranginya, dalam pandangan al-
Asya’ariyah, Allah tetap adil. Bahkan Dia tetap adil walaupun
memasukkan semua orang ke dalam surga atau nerakanya, baik
yang jahat maupun yang taat dan banyak amalnya. Dan hal ini
tidak memberi kesan bahwa Allah berlaku zalim pada hamba-
Nya, karena yang dinamakan zalim ialah mempergunakan
sesuatu yang bukan haknya atau meletakkkan sesuatu bukan
pada temapatnya.
7) Kedudukan orang yang berbuat dosa
Al-Asy’ari mengatakan bahwa orang mukmin yang mengesakan
Tuhan tetapi fasik, terserah kepada Tuhan, apakah akan
diampuni-Nya dan langsung masuk syurga atau akan dijatuhi
siksa karena kefasikannya, tetapi dimasukkan-Nya kedalam
surga. Dalam hal ini, al-Asy’ari berpendapat bahwa mukmin

8
yang berbuat dosa besar adalah mukmin yang fasiq, sebab iman
tidak mungkin hilang karena dosa selain
kufur. Berdasarkan pokok-pokok ajaran Asy’ariyah, maka ciri-
ciri orang yang menganut aliran Asy’ariyah adalah sebagai
berikut:
a. Mereka berpikir sesuai dengan Undang-undang alam dan
mereka juga mempelajari ajaran itu.
b. Iman adalah membenarkan dengan hati, amal perbuatan
adalah kewajiban untuk berbaut baik dan terbaik bagi manusia.
dan mereka tidak mengkafirkan orang yang berdosa besar.
c. Kehadiran Tuhan dalam konsep Asy’ariyah terletak pada
kehendak mutlak-Nya.

2.1.2. Imam Abu Manshur al-Maturidi

Nama lengkap Abu Manshur al-Maturidi ialah Muhammad ibn


Muhammad ibn Mahmud. Dilahirkan di Maturid, sebuah daerah di
Samarkand termasuk kawasan Ma Wara’ al-Nahr, dan wafat pada tahun
333 H/944 M, ia menimba ilmu pada pertiga terakhir abad ke-3 Hijrah,
yakni pada masa Muktazilah mendapat kemarahan masyarakat sebagai
balasan perlakuan mereka terhadap fuqaha muhadditsin pada pertiga
pertama abat tersebut.
Tahun kelahiran Abu Manshur al-Maturidi tidak begitu diketahui
dengan pasti. Akan tetapi, tampakanya ia dilahirkan pada sekitar
pertengahan abad ke-3 Hijrah. A.K.M.Ayyub Ali menyimpulkan bahwa
al-Maturidi lahir sekitar tahun 238 H/853 M. Dapat dipastikan, bahwa
beliau belajar ilmu fikih dari Madzhab Hanafi dan ilmu kalam dari
Nashr ibn Yahya al-Balakhi. garis ketururunan beliau bersambung
dengan sahabat Abu Ayyub al-Anshory. Gurunya dalam bidang fiqih
dan teologi bernama Nasyr bin Yahya al-Balakhi. Ia wafat pada tahun

9
268 H. al-Maturidi hidup pada masa khalifah al-Mutawakkil yang
memerintah tahun 232-274 H / 847-861 M.
Abu Manshur al-Maturidi adalah pengikut Abu Hanifah dan faham-
faham teologinya banyak persamaannya dengan faham-faham yang
dimajukan Abu Hanifah. Sistim pemikiran teologi yang ditimbulkan
oleh Abu Manshur termasuk dalam golongan teologi Ahli Sunnah dan
dikenal dengan nama al-Maturidiyyah namun literatur mengenai ajaran-
ajaran Abu Manshur dan aliran al-Maturidiyyah tidak sebanyak
literature mengenai ajaran-ajaran Asy’ariyyah.
Abu Manshur Al-Maturidi adalah pengikut madzhab Hanafi
sedangkan Asy’ari adalah pengikut madzhab Syaif’i, oleh karena itu
pengikut Maturidi adalah orang-orang Hanafiyyah sedang pengikut
Asy’ari adalah orang-orang Syafi’i. Boleh jadi ada beberapa perbedaan
pendapat antara kedua orang tersebut, karena adanya perbedaan
pendapat antara Abu Hanifah dengan Syafi’i itu sendiri.
Abu Manshur Al-Maturidi dalam bidang kajiannya mempunyai
sejumlah kitab yang diantaranya ialah: Kitab Ta’wil al-Qur’an, Kitâb
Ma’khuz al-syara‘i, Kitab al-Jadal, Kitab al-Ushul al-Dîn, Kitab al-
Maqalat fi al-kalam, Kitab al-Tauhid, Kitab Radd Awa’il al-‘adilah li
al-Ka’bi, Kitab Radd Tahzib al-jadal li al-Ka’bî, kitab Radd al-Ushûl al-
Khamsah li Abi Muhammad al-Bahili, al-Radd al-Imamah li Ba’dhi al-
Rawafidh, dan al-Radd ‘ala al-Qaramithah.
Corak pemikiran Abu Mansur al-Maturidi sangat kental dengan
pemikiran Abu Hanifah. Karenanya, sangat kuat karakter argumentasi
penalaran tanpa melampaui batas.
Berbeda dengan al-Asy'ari yang berpegang teguh dengan dalil naql
serta mengukuhkannya dengan argumentasi nalar akal. "Sebagian
pengkaji ilmu akidah meneguhkan bahwa manhaj al-Asy'ari berada di
antara pemikiran sekte muktazilah dan ulama ahli fikih dan ahli hadis
sedangkan manhaj al-Maturidi berada di antara pemikiran sekte

10
muktazilah dan manhaj al-Asy'ari," tegas Dr. Abu Zahrah dalam
bukunya, Tarikh al-Madzahib al-islamiyah.
Hampir semua persoalan akidah tidak ada beda antara Asy'ariyyah
dengan Maturidiyyah. Bahkan sederhananya Asy'ariyyah ialah
Maturidiyyah dan Maturidiyyah ialah Asy'ariyyah. Hanya, ada beberapa
persoalan furi'iyyah yang amat sedikit.
Salah satunya ialah persoalan al-Amnu wa al-Iyas (aman dari siksa
dan putus asa dari rahmat Allah). Maksudnya? Menurut Asyariyyah, al-
amnu min makarillah yaitu seseorang meyakini dan mengikat di dalam
hatinya bahwa ia akan aman dari siksa Allah (dari neraka) padahal ia
senantiasa melakukan dosa. Al-iyas min rahmatillah ialah seseorang
meyakini dan mengikat di dalam hatinya bahwa Allah tidak
mengampuni dan tidak merahmatinya. Konsekuensi bagi orang itu
yakni mendapat dosa besar.
Bila ditinjau lebih lanjut, perbedaan dari dua mazhab ini hanya
sebatas ta'rif atau pengertian. Andai Asy'ariyah memaknai keduanya
seperti pemaknaan dari Maturidiyah, konsekuensinya pun sama dengan
pendapat Maturidiyah. Begitu pula sebaliknya.

11
BAB III

PENUTUP

3.1. Simpulan
Pendekatan yang dipakai al-Asy’ari dalam teologi ahli sunnah waljamaah’
tergolong unik, beliau mengambil yang baik dari pendekatan tekstual Salafiyyah,
sehingga ia menggunakan argument akal dan nakal secara kritis, mengeksploitasi
akal secara maksimal tetapi tidak sebebas Mu’tazilah, memegang naql dengan kuat
tetapi ia juga tidak seketat Hanabilah dalam penolakan mereka terhadap argument
logika. Sikap teologi Asy’ariyah terhadap kehidupan kontemporari bersifat terbuka,
realistis, pragmatis, (selektif, kritis, dan akomodatif serta responsif) terhadap
kemajuan sains dan teknologi, oleh yang demikian menyebabkan aliran Ahl al-
Sunnah wa al-Jama’ah tetap eksis dan relevan untuk diterapkan dan dipertahankan
dalam kehidupan kontemporari.

Dengan corak pemikiran yang menggabungkan rasio dan nas naqli (Al-Quran
dan hadis), aliran ini memiliki pengaruh besar, bersama dengan Asy'ariyah,
terhadap perkembangan Ahlussunnah Wal-Jamaah, demikian dikutip salah satu
ulasan dalam Jurnal Hunafa. Itulah sebabnya nama Abu Mansur al-Maturidi kerap
disandingkan dengan Abu al-Hasan al-Asy’ari dan disebut sebagai 2 tokoh utama
yang menguatkan fondasi golongan Ahlussunnah wal Jama’ah. Para pengikutnya
menjuluki Abu Mansur al-Maturidi dengan sebutan Rais Ahlussunnah, demikian
dikutip dari artikel karya Muhammad Tholhah al Fayyadl di laman Nu Online.

3.2. Saran
Meskipun penulis menginginkan kesempurnaan dalam penyusunan makalah
ini, akan tetapi pada kenyataanya masih banyak kekurangan yang perlu penulis
perbaiki. Hal ini dikarenakan masih minimnya pengetahuan penulis.

Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun dari pembaca sangat
diharapkan sebagai bahan evaluasi ke depannya. Sehingga bisa terus menghasilkan
karya tulis yang bermanfaat bagi banyak orang.

12
DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Hanafi, Teologi Islam, Jakarta: Bulan Bintang 2001.

Ahmad Hanafi, Theologi Islam (ilmu kalam), (Cet.III: Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 1996).

Dr. Abu Zahrah. Tarikh al-Madzahib al-Islamiyyah.(2008, vol. 1: 212)

Muhammad Tholhah Hasan, Ahlussunnah wal Jama’ah dalam Persepsi dan Tradisi
NU (Cet.Ke-7; Jakarta: Lantabora Press, 2005), 37-38.39 Departemen Agama RI,
Al-Qur’an.

13

Anda mungkin juga menyukai