Anda di halaman 1dari 2

Si Tukang Obat

Oleh: Elsa Maghfiroh

Kelas 5 tampak ramai, anak-anak semua berkumpul di sana. Mereka tengah membahas sesuatu.
“Hasilnya kurang maksimal, harus ada tambahan gambar di tempat yang kosong,” Mira, ketua
kelompok sedang memperhatikan kain batik gua lawa. Hasil kerja kelompok mereka.
Batik gua lawa itu sebenarnya sangat cantik. Gambar kelelawar besar berada di tengah, sementara
gambar kelelawar-kelelawar kecil tersebar di seluruh kain. Namun masih ada tempat yang kosong,
harusnya bisa diisi dengan gambar-gambar lain. Sayangnya mereka bingung mau meletakkan apa.
“Pakai daun dan bunga saja,” Parjo, si Tukang Obat memberikan sarannya.
Parjo memang terkenal dengan julukan si Tukang Obat. Setiap hari dia menjadi tontonan teman-
temannya, ia akan menceritakan banyak hal. Namun semua yang diceritakan selalu tidak masuk akal.
Hal itu membuat anak-anak tidak percaya dengan omongan Parjo. Seperti minggu lalu, ia menceritakan
tentang semut si kecil super. Katanya, semut bisa mengangkat beban yang 50x lipat berat badannya.
Mustahil bukan?
“Setiap tanaman mempunyai warna ajaib,” sambung Parjo. Namun semakin Parjo menjelaskan,
semua anak semakin tidak percaya.
“Kamu simpan cerita fantasimu untuk dirimu saja,” Mira menolak usulan Parjo.
“Pigmen tumbuhan beraneka macam, warnanya jauh lebih indah dari warna buatan. Kalau kalian
tidak percaya, bisa datang ke rumahku, saja,” Parjo kembali ke kursinya.
***

Tugas kreasi batik belum selesai, masih ada bagian yang perlu diberi tambahan. Mira dan teman-
teman lain tampak kebingungan, besok tugas harus dikumpulkan.
“Kita tidak akan bisa menyelesaikan batik ini tepat waktu,” Dhika membuka batik yang mereka
buat.
“Aku bingung, apa yang harus kita lakukan,” balas Mira.
“Kita coba ide Parjo saja?” Elsa memberikan pendapat.
“Si Tukang Obat? Kamu percaya dengan bualannya?” Mira tetap pada pendiriannya.
“Tapi tidak ada cara lain. Kita coba saja cara Parjo,” Dhika setuju dengan Elsa. “Lagi pula kita
bisa membuktikan omongannya. Apakah semua yang diucapkannya benar, atau memang hanya si
Tukang Obat,” sambungnya lagi.
Mira tidak ada pilihan, ia terpaksa mengikuti ide Parjo.
Sepulang sekolah, mereka langsung ke rumah Parjo. Rumah Parjo lumayan jauh, tidak banyak
yang tahu lokasi rumah Parjo. Beruntung ada adik kelas yang bisa dimintai tolonmg, mereka bisa
menemukan rumah tersebut.
Rumah Parjo terletak di pinggir desa, berbatasan langsung dengan danau. Di sana hanya ada
beberapa rumah, termasuk rumah Parjo.
Halamannya luas, selain bangunan rumah, ada satu bangunan kecil. Di depan bangunan tersebut,
terdapat tulisan “Markan Si Tukang Obat”. Melihat kondisi rumah Parjo, Mira semakin yakin kalau
Parjo hanya pembual.
Parjo terlihat keluar dari Markas Si Tukang Obat, ia kaget melihat teman-temannya sudah ada di
sana. Elsa langsung menjelaskan maksud kedatangan mereka. Parjo langsung mengerti, ia mengajak
teman-temannya masuk ke dalam markas.
Markas itu sangat menakjubkan. Ada banyak buku di sana, baik buku baru atau buku bekas
tertata rapi. Koran dan majalah pun bertumpuk di sana. Semua terawat rapi.
“Aku akan ambil daun dan bunga terlebih dahulu,” pamit Parjo. Sementara itu, teman-teman
takjub melihat isi markas.
Tak lama Parjo kembali, ia membawa banyak daun dan bunga. Dua bunga yang menarik
perhatian adalah bunga kenikir dan bunga telang.
“Bunga kenikir ini akan menghasilkan warna oranye, sementara bunga telang menghasilkan
warna biru,” terang Parjo. “Sementara warna hijaunya kita ambil dari daun kenikir, kelor, dan daun
lainnya,” sambung Parjo lagi.
Semua anak tapak antusias, Parjo mengajari mereka membuat batik ecoprint dengan teknik
pounding. Daun dan bunga diletakkan di atas kain, lalu ditutup dengan plastik. Platik itru kemudian
dipukul menggunakan palu kayu atau batu. Wah, ajaib. Warna yang cantik keluar dari daun dan bunga
itu. Sangat menakjubkan.
Setengah jam berlalu, tugas membuat batik selesai. Semua anak terpesona melihat kecantikan
hasil karya mereka.
“Wah, cantik sekali. Ternyata batik dicampur ecoprint sangat indah,” gumam Mira.
“Kamu tahu dari mana semua rahasia ini, Parjo?” Dhika menimpali.
“Dari semua ini,” tangan Parjo menunjuk ke ruangan markas. “Buku-buku di sini menyimpan
banyak pengetahuan, aku mendapatkan semua pengetahuan itu dari buku-buku ini.”
“Berarti kamu bukan si Tukang Obat, kamu profesor,” sanjung Dhika.
“Si Tukang Obat juga tidak apa-apa,” balas Parjo. Semua tertawa mendengar ucapan itu, Parjo
memang si Tukang Obat yang selalu ceria. Ia tidak pernah marah meski teman-temannya selalu
mengolok, padahal yang diolok-olok itu lebih hebat dari yang mengolok-olok. Meski demikian, Parjo
tetap menjadi dirinya. Si Tukang Obat.
Mira kini sadar, teman yang di depannya itu bukan si Tukang Obat biasa. Semua yang
diucapkannya, adalah ilmu yang didapat dari buku. Ia menjadi malu karena sempat meragukan
kehebatan Parjo. Sekarang, Mira merasa senang. Ia memiliki teman si Tukang Obat. Berkat
pengetahuannya, tugas membuat batik gua lawa bisa selesai sesuai harapan.
***

Anda mungkin juga menyukai