Anda di halaman 1dari 9

ANALISIS TINDAK PIDANA KEKERASAN SEKSUAL SECARA

VERBAL DALAM BENTUK CATCALLING

Oleh

Pendahuluan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 memuat


ketentuan yang mengatur tentang hak atas rasa aman dan tenteram serta perlindungan
terhadap ancaman ketakutan. Namun, pada kenyataannya, kejahatan terhadap kesusilaan
seperti pelecehan seksual secara verbal (catcalling) yang terjadi di tempat umum
berujung pada pelanggaran perwujudan hak asasi manusia ketika berada di ruang publik,
dan perilaku tersebut berdampak buruk pada kesehatan psikologis dan mental korbannya.
Karena catcalling masih dianggap sebagai lelucon dan sering kali dilakukan secara
impulsif oleh pelaku, pelecehan seksual secara verbal (catcalling) sering kali terjadi tanpa
disadari oleh korban. Catcalling adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan
jenis pelecehan seksual di mana pelaku bersiul atau berkomentar tentang bentuk tubuh
korban (Hidayat & Setyanto, 2019).

Sebagai hasil dari adopsi budaya patriarki di Indonesia, laki-laki kini memiliki
keuntungan untuk memegang posisi otoritas baik di dalam rumah tangga maupun di
masyarakat secara keseluruhan, dengan perempuan sebagai pihak yang setara dengan
mereka. Dalam masyarakat kita, perempuan lebih terekspos pada berbagai macam
bahaya, termasuk menjadi target kekerasan seksual. Selain itu, budaya ini sering
digunakan untuk membela semua jenis pelecehan seksual, termasuk catcalling. Tujuan
dari simbol-simbol yang digunakan oleh catcaller adalah untuk menggoda atau
mengganggu orang yang melihatnya. Selama percakapan, korban direndahkan melalui
simbol dan gerak tubuh (Qila et al., 2021).

Beberapa negara industri, termasuk Prancis, Argentina, dan Peru, telah melarang
catcalling dan menciptakan hukuman perdata dan pidana. Hukum ini dibuat karena
catcalling, yang termasuk pelecehan seksual, dapat menyebabkan kekerasan seksual yang
lebih parah, seperti pemerkosaan, dan karena hal itu dapat berdampak negatif pada
psikologis korban. Hal ini juga dapat mengganggu norma-norma sosial dan pola perilaku.

i
Catcalling merupakan topik yang semakin hari semakin meresahkan, terlihat dari
kejadian catcalling yang terjadi pada tahun 2019 di pertigaan Pekayon Revo Town
Bekasi. Berdasarkan fakta yang terjadi, tindakan catcalling merupakan hal yang
signifikan karena hak setiap orang harus dihargai dan dilindungi oleh hukum saat berada
di ruang publik, mengingat Indonesia merupakan negara yang sadar hukum dan
menjunjung tinggi hak asasi manusia. Pelaku baru ditangkap setelah berita tersebut
menjadi viral dan ramai diperbincangkan di masyarakat. Kasus pelecehan seksual
terhadap perempuan dan anak menunjukan peningkatan setiap tahun. Hal ini perlu ada
perhatian khusus dari negara. Pelecehan seksual dapat terjadi di ruang publik seperti di
transportasi umum, restoran, halte, hingga dalam ruang lingkup privat seperti keluarga.
Data Komnas Perempuan menunjukan, sebanyak 431.471 kasus kekerasan terhadap
perempuan terjadi sepanjang 2019. Jumlah tersebut naik sebesar 6 persen dari tahun
sebelumnya, yakni 406.178 kasus. Pada tahun 2020 angka kekerasan terhadap perempuan
mengalami penurunan sebanyak 299.911, berkurang 31% dari kasus di tahun 2019 yang
mencatat sebanyak 431.471 kasus. Meskipun telah mengalami sedikit penurunan tetapi
angka kekerasan terhadap perempuan masih terbilang cukup tinggi. Bahkan, kekerasan
seksual terhadap perempuan di Indonesia, sudah dalam kondisi yang darurat.

Tindakan pelecehan seksual secara verbal (catcalling) belum memiliki landasan


hukum yang jelas dan pasti dalam penerapan penegakan hukum terhadap pelaku dan
korban catcalling, jika melihat perkembangan hukum positif di Indonesia dan berkaca
pada KUHP. Akibat ketidakjelasan landasan hukum ini, terjadi kekosongan hukum yang
melingkupi tindakan catcalling, yang memaksa aparat penegak hukum untuk menafsirkan
dan mengkombinasikan berbagai ketentuan dalam KUHP dan Undang-Undang Nomor
44 Tahun 2008 tentang Pornografi dalam rangka menyelesaikan kasus-kasus catcalling.

Menurut penelitian sebelumnya yang relevan dengan penelitian ini, KUHP dan
Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi, khususnya Pasal 281 dan 315
KUHP serta Pasal 8, 9, dan 34 dan 35 UU Pornografi, memberikan kerangka hukum
gabungan untuk penyelesaian kasus-kasus catcalling di Indonesia (Putri & Suardita,
2019). Selain itu, Tauratiya (2020) telah menetapkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun

1
2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang
Perlindungan Saksi dan Korban sebagai landasan hukum untuk perlindungan korban
catcalling. Sementara itu, Putri & Suardita (2019) juga hanya mengatur tentang perbuatan
cabul yang diatur dalam Pasal 289-296 dalam artian perbuatan yang melibatkan
kesusilaan, kekejaman dalam hasrat, dan juga terdapat komponen paksaan dalam pasal
tersebut. KUHP juga mengatur perbuatan yang melanggar kesusilaan dan kesopanan
dalam Pasal 281, namun tidak ada batasan atau konsekuensi untuk pelecehan seksual.
Sebuah penelitian dilakukan berdasarkan fenomena ini untuk melihat bagaimana
kekerasan seksual diatur secara hukum di Indonesia untuk melindungi mereka yang
menjadi target pelecehan seksual secara verbal (catcalling), serta bagaimana cara
menghapuskannya.

Pembahasan

Pengaturan Hukum Kekerasan Seksual dalam Melindungi Korban Pelecehan


Seksual Secara Verbal di Indonesia

Pelecehan seksual secara verbal merupakan perbuatan yang berkonotasi seksual


yang dilakukan dengan melontarkan kata-kata bernuansa seksual pada objeknya, tindakan
bersiul kepada orang yang tidak dikenal, serta melakukan perbuatan genit dan centil
kepada seseorang saat sedang berada di ruang publik. Yang mana, perbuatan pelecehan
seksual secara verbal ini dapat mengakibatkan terjadinya kekerasan seksual seperti
pemerkosaan. Perempuan sebagai objeknya acapkali tidak memberikan respon atas
perlakuan tersebut, namun faktanya sering kali penolakan tersebut memicu pelaku
perbuatan pelecehan seksual secara verbal menjadi penasaran kemudian akan melakukan
kembali jenis kekerasan seksual lainnya yang mengakibatkan korban merasa dilecehkan
dan terganggu hak asasinya.11 Jenis-jenis pesan verbal yang disampaikan oleh pelaku
catcalling kepada korbannya ada beberapa macam diantaranya, dalam bentuk nada
misalkan suara kecupan, suara ciuman dari jauh, atau siulan. Kedua, komentar, biasanya
mengomentari bentuk tubuh, atau secara kalimat tidak melecehkan tetapi dikatakan
dengan tujuannya melecehkan, misalnya salam. Ada juga yang terang terangan
mengatakan hal yang vulgar mengenai korban. Selain itu, pandangan mata yang
berlebihan juga termasuk pelecehan karena membuat yang dipandang merasa tidak

2
nyaman. Misalnya, seseorang yang memandangi orang lain dari ujung kaki hingga ujung
kepala.

Kekerasan seksual telah menjadi gejala sosial, yang mana perbuatan ini termasuk
kejahatan terhadap kesusilaan yang tidak muncul secara tiba-tiba melainkan terbentuk
dari proses pelecehan yang mulanya berawal dari kekerasan seksual ringan berupa
pelecehan seksual secara verbal (catcalling) yang dianggap sebagai candaan oleh
masyarakat, namun kemudian akibat yang timbul dari perbuatan tersebut dapat bermuara
pada perbuatan yang berdampak lebih besar yang dapat mengganggu hak asasi seseorang
dan berdampak negatif terhadap tatanan kehidupan sosial masyarakat. Pada umumnya,
Pelecehan seksual secara verbal ini umumnya terjadi di ruang publik dan ditujukan
kepada seseorang khususnya perempuan sebagai objeknya.

Bersiul kepada orang asing, menggunakan bahasa yang berbau seksual kepada
target, dan bertindak genit dan genit kepada seseorang di tempat umum adalah contoh-
contoh pelecehan seksual verbal. Pelecehan seksual verbal ini dapat berujung pada
pemerkosaan dan bentuk-bentuk kekerasan seksual lainnya. Wanita yang menjadi target
perilaku tersebut sering kali tidak menanggapinya, tetapi kenyataannya penolakan
tersebut sering kali membuat pelaku pelecehan seksual verbal menjadi penasaran dan
melakukan tindakan kekerasan seksual lainnya, sehingga korban merasa dilecehkan dan
hak-haknya dilanggar.

Tindakan pelecehan seksual secara verbal dapat digolongkan sebagai delik aduan
yang berpotensi mengakibatkan pelecehan seksual secara verbal masuk dalam tindak
pidana, sesuai dengan definisi tindakan yang tidak dikehendaki atau dikehendaki dalam
segala jenis perhatian yang bersifat seksual. Berdasarkan hal tersebut, dapat disimpulkan
bahwa pelecehan seksual secara verbal telah memenuhi kriteria sebagai tindak pidana,
antara lain adanya tindakan pelecehan seksual yang dilakukan oleh pelaku kepada korban
dan merupakan pelanggaran terhadap kesusilaan yang perlu mendapatkan hukuman
karena telah melanggar norma-norma sosial tentang pergaulan. Tindakan pelecehan
seksual secara verbal merupakan tindakan ilegal dan dapat membahayakan kenyamanan
dan keamanan korban saat berada di tempat umum, serta kemampuan mereka untuk
menggunakan hak asasi mereka. Ketika ada hubungan antara pikiran pelaku dan tindakan

3
yang dilakukannya, sehingga tindakan yang dilakukannya dapat dipertanggungjawabkan,
maka terdapat unsur kesengajaan dalam tindak pidana pelecehan seksual verbal.

Penjelasan ini mengarah pada kesimpulan bahwa pelecehan seksual verbal dapat
dikategorikan sebagai kejahatan karena memenuhi kriteria kejahatan, aturan hukum acara
pidana, dan nilai-nilai yang hidup dan berkembang di masyarakat. Artinya, pelecehan
seksual secara verbal dapat dikategorikan sebagai kejahatan yang berhubungan dengan
nilai kesusilaan yang dilakukan di daerah tempat pelecehan tersebut terjadi dan
menyangkut norma kesusilaan yang berhubungan dengan seksualitas.

Dalam hal penerapan penegakan hukum, pelecehan seksual verbal pada dasarnya
tidak memiliki landasan hukum yang jelas dan pasti. Namun, jika komponen-komponen
pelanggaran kesusilaan dan tindakan pornografi dipertimbangkan, tindakan pelecehan
seksual verbal dapat diklasifikasikan sebagai kejahatan. Kata "pelecehan seksual" tidak
dikenal dalam KUHP, namun frasa "perbuatan cabul" ditemukan dalam Bab XIV KUHP,
yang membahas tentang pelanggaran kesusilaan. Sebaliknya, Pasal 281 KUHP
menyatakan bahwa seseorang dapat dihukum dengan hukuman atau denda jika dia
dengan sengaja melanggar kesusilaan baik di depan umum atau di depan orang lain.
Adanya kata "barangsiapa" menandakan bahwa tindakan tersebut dilakukan oleh
seseorang atau kelompok yang mampu memenuhi persyaratan sebagai subjek hukum.
Catcalling adalah contoh pelecehan seksual secara verbal yang biasanya dilakukan "di
depan orang lain" dan di tempat umum. Terakhir adalah unsur "melanggar kesusilaan",
di mana tindakan melontarkan kata-kata atau lisan yang berkonotasi seksual dan
pornografi yang ditujukan kepada orang lain merupakan tindakan yang bertentangan
dengan ajaran atau norma dan nilai kesusilaan yang ada di masyarakat. Di sinilah unsur
penting dari tindakan pelecehan seksual secara verbal adalah ketidakrelaan si penerima
atas segala bentuk perhatian yang bersifat seksual.

Pasal 9 Undang-Undang No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi, bersama dengan


Pasal 35, mengatur landasan hukum lebih lanjut. Menurut Pasal 9, setiap orang dilarang
secara tegas menggunakan orang lain sebagai objek atau model untuk materi pornografi.
Pasal 1 angka 1 UU Pornografi dirujuk ketika kata "pornografi" digunakan dalam pasal
ini. Sementara itu, hukumannya terdapat di pasal 35. Ada peraturan unik yang mengatur

4
pelecehan seksual secara verbal (catcalling) yang ketentuannya diatur dalam pasal 12 dan
133 RUU PKS. Aturan-aturan ini terkait dengan Rancangan Undang-Undang Republik
Indonesia tentang Penghapusan Kekerasan Seksual.

Bentuk Penghapusan Kekerasan Seksual dalam Melindungi Korban Pelecehan


Seksual Secara Verbal (Catcalling)

Perlindungan hukum terhadap martabat manusia, baik dalam konteks individu


maupun masyarakat, telah dipengaruhi oleh keragaman pemahaman tentang makna
martabat manusia serta perbedaan dan keberpihakan substansi pengaturan tentang
penghapusan kekerasan seksual. Hal ini menimbulkan berbagai penafsiran terhadap
makna dan ketidakjelasan arti nilai dan hakikat martabat manusia yang selama ini diakui
sebagai hak konstitusional setiap orang. Hal ini dapat menimbulkan persepsi bahwa
perlindungan terhadap kemanusiaan yang diberikan oleh hukum sebagaimana ditentukan
dalam Pasal 28 G Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tidak
memadai.

Kasus-kasus kekerasan seksual, yang merupakan bentuk pelanggaran terhadap


martabat manusia, sering kali menyasar perempuan dan anak-anak, yang dianggap
sebagai populasi yang rentan. Konsep martabat manusia secara umum dipahami sebagai
penghormatan terhadap diri sendiri dan harga diri, yang terkait dengan integritas dan
pemberdayaan fisik dan psikologis, meskipun Undang-Undang Dasar 1945 dan peraturan
tentang penghapusan kekerasan seksual tidak menjelaskan secara rinci tentang topik ini.

Dewasa ini, bentuk dari kekerasan seksual yang sering terjadi tanpa di sadari oleh
korbannya yaitu perbuatan catcalling. Perilaku catcalling yang sering terjadi adalah
panggilan, sapaan menggoda, gerakan seksual seperti mengedipkan mata, dehaman,
menggigit bibir, dan tatapan penuh gairah Pitaloka & Putri (2021) yang dapat membuat
objek yang menerimanya merasa tidak nyaman saat berada di tempat umum. Karena
belum adanya aturan khusus yang dapat membuat jera para pelaku catcalling atau yang
biasa disebut catcaller, jumlahnya terus meningkat. Hal ini disebabkan oleh fakta bahwa
peraturan hukum di Indonesia, termasuk KUHP, secara eksklusif hanya membahas

5
kekerasan seksual dalam konteks pemerkosaan. Artinya, rumusan tersebut tidak dapat
memberikan perlindungan bagi korban catcalling.

Pembuatan peraturan yang bertujuan untuk mengatasi kelemahan dalam struktur


delik umum KUHP dan untuk mengatasi munculnya subtipe kekerasan seksual yang
berkembang pesat merupakan upaya untuk menghapus kekerasan seksual, namun
peraturan tersebut masih belum efektif untuk menghentikan tindakan kekerasan seksual
seperti catcalling atau melindungi korbannya. Untuk mencapai kepastian hukum dalam
menyelesaikan permasalahan tersebut dan untuk memungkinkan pemberian perlindungan
bagi korban pelecehan seksual secara verbal (catcalling), maka perlu dibuat peraturan
khusus terhadap tindakan pelecehan seksual secara verbal (catcalling).

Membuat kebijakan hukum untuk mengakhiri kekerasan seksual sekaligus


melindungi korban catcalling harus berangkat dari penjelasan ini dan mengembangkan
moralitas, nilai-nilai, dan ide-ide yang berkaitan dengan kebijakan hukum. Kebijakan
hukum yang sebenarnya harus sejalan dengan nilai-nilai masyarakat yang ada saat ini.
Catcalling adalah jenis pelecehan seksual secara verbal yang tunduk pada hukum
nonpidana dan pidana sebagai tindakan pencegahan kejahatan. Yang diharapkan dapat
menjamin tercapainya suatu ketegasan dan kejelasan dalam penegakan hukum baik saat
ini maupun di masa yang akan datang dengan penerapan hukuman dari suatu perbuatan
yang tergolong tindak pidana. Namun demikian, agar tidak terjadi over-capacity,
pemberian sanksi terhadap pelecehan seksual secara verbal (catcalling) juga harus
memperhitungkan dampak negatif yang mungkin terjadi.

Metode lain untuk mencegah pelecehan seksual secara verbal (catcalling) adalah
dengan mengambil tindakan pencegahan sebelum kejahatan dilakukan. Tindakan
semacam ini merupakan bagian dari strategi non-penal yang bertujuan untuk meramalkan
perilaku yang merugikan. Upaya yang dimaksud adalah memberikan penyuluhan dan
pendidikan sosial untuk meningkatkan kepekaan dan kesadaran sosial masyarakat
terhadap dampak yang ditimbulkan oleh catcalling, membangun karakter setiap orang
dalam suatu komunitas atau kelompok dengan memberikan pendidikan moral, pendidikan
agama, dan kegiatan sejenis lainnya, serta melakukan kegiatan pengawasan yang
didukung oleh satgas setempat dalam bentuk patroli dan kegiatan kepolisian dan

6
keamanan lainnya yang berkesinambungan (Prakoso, 2017). Sedangkan upaya ini
dilakukan sebagai bagian dari strategi non-penal yang tujuan utamanya adalah untuk
meningkatkan lingkungan sosial di mana masyarakat hidup. Dengan tujuan utamanya
adalah untuk mengatasi alasan-alasan yang berkontribusi terhadap terjadinya kejahatan,
upaya-upaya dilakukan untuk menghapuskan kegiatan-kegiatan yang berkontribusi
terhadap kejahatan di samping menerapkan hukuman. Oleh karena itu, strategi non-penal
dalam bentuk sanksi sosial ini memegang kunci dan menempati posisi yang sangat
penting.

Penutup

Dari sisi penerapan penegakan hukum, pelecehan seksual secara verbal pada
dasarnya tidak memiliki landasan hukum yang jelas dan pasti. Namun demikian,
perbuatan pelecehan seksual secara verbal dapat digolongkan sebagai suatu tindak pidana
apabila memenuhi syarat-syarat tindak pidana, asas-asas hukum pidana, dan nilai-nilai
yang terkandung dalam Pasal 218 KUHP serta Pasal 9 jo dan Pasal 35 UU No. 44 Tahun
2008 tentang Pornografi. Namun, jika perbuatan ini dilihat dari unsur pelanggaran
kesusilaan dan perbuatan pornografi, maka perbuatan pelecehan seksual secara verbal
dapat digolongkan sebagai tindak pidana. Sedangkan bentuk penghapusan kekerasan
seksual dalam melindungi korban catcalling memerlukan adanya suatu perumusan moral,
nilai asas serta teori yang berhubungan dengan kebijakan hukum. Kebijakan hukum itu
sendiri haruslah selaras dengan nilai yang terkandung dan hidup di dalam masyarakat.
Untuk perbuatan pelecehan seksual secara verbal (catcalling) dapat diterapkan kebijakan
non penal dan kebijakan penal sebagai penanggulangan kejahatan. Yang mana, dengan
adanya pelaksanaan sanksi dari suatu perbuatan yang dikategorikan sebagai tindak pidana
diharapkan dapat menjamin terealisasikannya sebuah ketegasan dan kejelasan dalam
penegakan hukumnya di waktu sekarang maupun di waktu mendatang.

Karena dampak dari perilaku tersebut dapat mengganggu tatanan kehidupan


bermasyarakat, maka perlu direalisasikan pembentukan regulasi terkait penghapusan
kekerasan seksual khususnya dalam melindungi korban catcalling. Pemerintah dan DPR
harus lebih peka terhadap adanya peraturan dan undang-undang tentang catcalling
sebagai salah satu bentuk pelecehan seksual secara verbal. Karena meskipun perilaku ini

7
masih dalam tingkat pelecehan yang rendah, tidak dapat dilihat sebagai hal yang wajar
atau normal, masyarakat harus lebih waspada terhadap semua jenis pelecehan seksual
verbal. Partisipasi masyarakat sangat penting karena, jika pelecehan seksual verbal
(catcalling) diterima di masyarakat sebagai hal yang biasa, maka akan semakin sulit untuk
menghapus perilaku ini. Dan mereka yang melakukan pelecehan seksual verbal
(catcalling) harus berhenti menganggap perempuan sebagai orang yang lebih lemah dan
objek seksual karena hal tersebut dapat secara tidak sengaja melanggar hak asasi manusia
dari mereka yang dijadikan target pelecehan.

Daftar Pustaka

Dewi, A. A. A. W. P. P., Dewi, A. A. S. L., & Suryani, L. P. (2022). Penghapusan


Kekerasan Seksual malam Melindungi Korban Pelecehan Seksual Secara
Verbal (Catcalling) di Indonesia. Jurnal Preferensi Hukum, 3(1), 108-114.
https://doi.org/10.22225/jph.3.1.4663.108-114

Hidayat, A., & Setyanto, Y. (2020). Fenomena Catcalling sebagai Bentuk Pelecehan
Seksual secara Verbal terhadap Perempuan di Jakarta. Koneksi, 3(2), 485–
492. https://doi.org/10.24912/kn.v3i2.6487

PUTRI, Livia Jayanti; SUARDITA, I Ketut. TINJAUAN YURIDIS TERHADAP


PERBUATAN CATCALLING (PELECEHAN VERBAL) DI
INDONESIA. Kertha Wicara : Journal Ilmu Hukum, [S.l.], v. 8, n. 2, p.
1-15, jan. 2019. ISSN 2303-0550. Available at:
<https://ojs.unud.ac.id/index.php/kerthawicara/article/view/47598>. Date
accessed: 01 oct. 2023.

Qila, S. Z., Rahmadina, R. N., & Azizah, F. (2021). Catcalling sebagai Bentuk Pelecehan
Seksual Traumatis. Jurnal Mahasiswa Komunikasi Cantrik, 1(2).

Tauratiya, T. (2020). Perbuatan catcalling dalam perspektif hukum positif. Ekspose:


Jurnal Penelitian Hukum dan Pendidikan, 19(1), 1019-1025.
doi:https://doi.org/10.30863/ekspose.v1i1.690

Anda mungkin juga menyukai