Analisis Tindak Pidana Kekerasan Seksual Secara Verbal Dalam Bentuk Catcalling
Analisis Tindak Pidana Kekerasan Seksual Secara Verbal Dalam Bentuk Catcalling
Oleh
Pendahuluan
Sebagai hasil dari adopsi budaya patriarki di Indonesia, laki-laki kini memiliki
keuntungan untuk memegang posisi otoritas baik di dalam rumah tangga maupun di
masyarakat secara keseluruhan, dengan perempuan sebagai pihak yang setara dengan
mereka. Dalam masyarakat kita, perempuan lebih terekspos pada berbagai macam
bahaya, termasuk menjadi target kekerasan seksual. Selain itu, budaya ini sering
digunakan untuk membela semua jenis pelecehan seksual, termasuk catcalling. Tujuan
dari simbol-simbol yang digunakan oleh catcaller adalah untuk menggoda atau
mengganggu orang yang melihatnya. Selama percakapan, korban direndahkan melalui
simbol dan gerak tubuh (Qila et al., 2021).
Beberapa negara industri, termasuk Prancis, Argentina, dan Peru, telah melarang
catcalling dan menciptakan hukuman perdata dan pidana. Hukum ini dibuat karena
catcalling, yang termasuk pelecehan seksual, dapat menyebabkan kekerasan seksual yang
lebih parah, seperti pemerkosaan, dan karena hal itu dapat berdampak negatif pada
psikologis korban. Hal ini juga dapat mengganggu norma-norma sosial dan pola perilaku.
i
Catcalling merupakan topik yang semakin hari semakin meresahkan, terlihat dari
kejadian catcalling yang terjadi pada tahun 2019 di pertigaan Pekayon Revo Town
Bekasi. Berdasarkan fakta yang terjadi, tindakan catcalling merupakan hal yang
signifikan karena hak setiap orang harus dihargai dan dilindungi oleh hukum saat berada
di ruang publik, mengingat Indonesia merupakan negara yang sadar hukum dan
menjunjung tinggi hak asasi manusia. Pelaku baru ditangkap setelah berita tersebut
menjadi viral dan ramai diperbincangkan di masyarakat. Kasus pelecehan seksual
terhadap perempuan dan anak menunjukan peningkatan setiap tahun. Hal ini perlu ada
perhatian khusus dari negara. Pelecehan seksual dapat terjadi di ruang publik seperti di
transportasi umum, restoran, halte, hingga dalam ruang lingkup privat seperti keluarga.
Data Komnas Perempuan menunjukan, sebanyak 431.471 kasus kekerasan terhadap
perempuan terjadi sepanjang 2019. Jumlah tersebut naik sebesar 6 persen dari tahun
sebelumnya, yakni 406.178 kasus. Pada tahun 2020 angka kekerasan terhadap perempuan
mengalami penurunan sebanyak 299.911, berkurang 31% dari kasus di tahun 2019 yang
mencatat sebanyak 431.471 kasus. Meskipun telah mengalami sedikit penurunan tetapi
angka kekerasan terhadap perempuan masih terbilang cukup tinggi. Bahkan, kekerasan
seksual terhadap perempuan di Indonesia, sudah dalam kondisi yang darurat.
Menurut penelitian sebelumnya yang relevan dengan penelitian ini, KUHP dan
Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi, khususnya Pasal 281 dan 315
KUHP serta Pasal 8, 9, dan 34 dan 35 UU Pornografi, memberikan kerangka hukum
gabungan untuk penyelesaian kasus-kasus catcalling di Indonesia (Putri & Suardita,
2019). Selain itu, Tauratiya (2020) telah menetapkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun
1
2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang
Perlindungan Saksi dan Korban sebagai landasan hukum untuk perlindungan korban
catcalling. Sementara itu, Putri & Suardita (2019) juga hanya mengatur tentang perbuatan
cabul yang diatur dalam Pasal 289-296 dalam artian perbuatan yang melibatkan
kesusilaan, kekejaman dalam hasrat, dan juga terdapat komponen paksaan dalam pasal
tersebut. KUHP juga mengatur perbuatan yang melanggar kesusilaan dan kesopanan
dalam Pasal 281, namun tidak ada batasan atau konsekuensi untuk pelecehan seksual.
Sebuah penelitian dilakukan berdasarkan fenomena ini untuk melihat bagaimana
kekerasan seksual diatur secara hukum di Indonesia untuk melindungi mereka yang
menjadi target pelecehan seksual secara verbal (catcalling), serta bagaimana cara
menghapuskannya.
Pembahasan
2
nyaman. Misalnya, seseorang yang memandangi orang lain dari ujung kaki hingga ujung
kepala.
Kekerasan seksual telah menjadi gejala sosial, yang mana perbuatan ini termasuk
kejahatan terhadap kesusilaan yang tidak muncul secara tiba-tiba melainkan terbentuk
dari proses pelecehan yang mulanya berawal dari kekerasan seksual ringan berupa
pelecehan seksual secara verbal (catcalling) yang dianggap sebagai candaan oleh
masyarakat, namun kemudian akibat yang timbul dari perbuatan tersebut dapat bermuara
pada perbuatan yang berdampak lebih besar yang dapat mengganggu hak asasi seseorang
dan berdampak negatif terhadap tatanan kehidupan sosial masyarakat. Pada umumnya,
Pelecehan seksual secara verbal ini umumnya terjadi di ruang publik dan ditujukan
kepada seseorang khususnya perempuan sebagai objeknya.
Bersiul kepada orang asing, menggunakan bahasa yang berbau seksual kepada
target, dan bertindak genit dan genit kepada seseorang di tempat umum adalah contoh-
contoh pelecehan seksual verbal. Pelecehan seksual verbal ini dapat berujung pada
pemerkosaan dan bentuk-bentuk kekerasan seksual lainnya. Wanita yang menjadi target
perilaku tersebut sering kali tidak menanggapinya, tetapi kenyataannya penolakan
tersebut sering kali membuat pelaku pelecehan seksual verbal menjadi penasaran dan
melakukan tindakan kekerasan seksual lainnya, sehingga korban merasa dilecehkan dan
hak-haknya dilanggar.
Tindakan pelecehan seksual secara verbal dapat digolongkan sebagai delik aduan
yang berpotensi mengakibatkan pelecehan seksual secara verbal masuk dalam tindak
pidana, sesuai dengan definisi tindakan yang tidak dikehendaki atau dikehendaki dalam
segala jenis perhatian yang bersifat seksual. Berdasarkan hal tersebut, dapat disimpulkan
bahwa pelecehan seksual secara verbal telah memenuhi kriteria sebagai tindak pidana,
antara lain adanya tindakan pelecehan seksual yang dilakukan oleh pelaku kepada korban
dan merupakan pelanggaran terhadap kesusilaan yang perlu mendapatkan hukuman
karena telah melanggar norma-norma sosial tentang pergaulan. Tindakan pelecehan
seksual secara verbal merupakan tindakan ilegal dan dapat membahayakan kenyamanan
dan keamanan korban saat berada di tempat umum, serta kemampuan mereka untuk
menggunakan hak asasi mereka. Ketika ada hubungan antara pikiran pelaku dan tindakan
3
yang dilakukannya, sehingga tindakan yang dilakukannya dapat dipertanggungjawabkan,
maka terdapat unsur kesengajaan dalam tindak pidana pelecehan seksual verbal.
Penjelasan ini mengarah pada kesimpulan bahwa pelecehan seksual verbal dapat
dikategorikan sebagai kejahatan karena memenuhi kriteria kejahatan, aturan hukum acara
pidana, dan nilai-nilai yang hidup dan berkembang di masyarakat. Artinya, pelecehan
seksual secara verbal dapat dikategorikan sebagai kejahatan yang berhubungan dengan
nilai kesusilaan yang dilakukan di daerah tempat pelecehan tersebut terjadi dan
menyangkut norma kesusilaan yang berhubungan dengan seksualitas.
Dalam hal penerapan penegakan hukum, pelecehan seksual verbal pada dasarnya
tidak memiliki landasan hukum yang jelas dan pasti. Namun, jika komponen-komponen
pelanggaran kesusilaan dan tindakan pornografi dipertimbangkan, tindakan pelecehan
seksual verbal dapat diklasifikasikan sebagai kejahatan. Kata "pelecehan seksual" tidak
dikenal dalam KUHP, namun frasa "perbuatan cabul" ditemukan dalam Bab XIV KUHP,
yang membahas tentang pelanggaran kesusilaan. Sebaliknya, Pasal 281 KUHP
menyatakan bahwa seseorang dapat dihukum dengan hukuman atau denda jika dia
dengan sengaja melanggar kesusilaan baik di depan umum atau di depan orang lain.
Adanya kata "barangsiapa" menandakan bahwa tindakan tersebut dilakukan oleh
seseorang atau kelompok yang mampu memenuhi persyaratan sebagai subjek hukum.
Catcalling adalah contoh pelecehan seksual secara verbal yang biasanya dilakukan "di
depan orang lain" dan di tempat umum. Terakhir adalah unsur "melanggar kesusilaan",
di mana tindakan melontarkan kata-kata atau lisan yang berkonotasi seksual dan
pornografi yang ditujukan kepada orang lain merupakan tindakan yang bertentangan
dengan ajaran atau norma dan nilai kesusilaan yang ada di masyarakat. Di sinilah unsur
penting dari tindakan pelecehan seksual secara verbal adalah ketidakrelaan si penerima
atas segala bentuk perhatian yang bersifat seksual.
4
pelecehan seksual secara verbal (catcalling) yang ketentuannya diatur dalam pasal 12 dan
133 RUU PKS. Aturan-aturan ini terkait dengan Rancangan Undang-Undang Republik
Indonesia tentang Penghapusan Kekerasan Seksual.
Dewasa ini, bentuk dari kekerasan seksual yang sering terjadi tanpa di sadari oleh
korbannya yaitu perbuatan catcalling. Perilaku catcalling yang sering terjadi adalah
panggilan, sapaan menggoda, gerakan seksual seperti mengedipkan mata, dehaman,
menggigit bibir, dan tatapan penuh gairah Pitaloka & Putri (2021) yang dapat membuat
objek yang menerimanya merasa tidak nyaman saat berada di tempat umum. Karena
belum adanya aturan khusus yang dapat membuat jera para pelaku catcalling atau yang
biasa disebut catcaller, jumlahnya terus meningkat. Hal ini disebabkan oleh fakta bahwa
peraturan hukum di Indonesia, termasuk KUHP, secara eksklusif hanya membahas
5
kekerasan seksual dalam konteks pemerkosaan. Artinya, rumusan tersebut tidak dapat
memberikan perlindungan bagi korban catcalling.
Metode lain untuk mencegah pelecehan seksual secara verbal (catcalling) adalah
dengan mengambil tindakan pencegahan sebelum kejahatan dilakukan. Tindakan
semacam ini merupakan bagian dari strategi non-penal yang bertujuan untuk meramalkan
perilaku yang merugikan. Upaya yang dimaksud adalah memberikan penyuluhan dan
pendidikan sosial untuk meningkatkan kepekaan dan kesadaran sosial masyarakat
terhadap dampak yang ditimbulkan oleh catcalling, membangun karakter setiap orang
dalam suatu komunitas atau kelompok dengan memberikan pendidikan moral, pendidikan
agama, dan kegiatan sejenis lainnya, serta melakukan kegiatan pengawasan yang
didukung oleh satgas setempat dalam bentuk patroli dan kegiatan kepolisian dan
6
keamanan lainnya yang berkesinambungan (Prakoso, 2017). Sedangkan upaya ini
dilakukan sebagai bagian dari strategi non-penal yang tujuan utamanya adalah untuk
meningkatkan lingkungan sosial di mana masyarakat hidup. Dengan tujuan utamanya
adalah untuk mengatasi alasan-alasan yang berkontribusi terhadap terjadinya kejahatan,
upaya-upaya dilakukan untuk menghapuskan kegiatan-kegiatan yang berkontribusi
terhadap kejahatan di samping menerapkan hukuman. Oleh karena itu, strategi non-penal
dalam bentuk sanksi sosial ini memegang kunci dan menempati posisi yang sangat
penting.
Penutup
Dari sisi penerapan penegakan hukum, pelecehan seksual secara verbal pada
dasarnya tidak memiliki landasan hukum yang jelas dan pasti. Namun demikian,
perbuatan pelecehan seksual secara verbal dapat digolongkan sebagai suatu tindak pidana
apabila memenuhi syarat-syarat tindak pidana, asas-asas hukum pidana, dan nilai-nilai
yang terkandung dalam Pasal 218 KUHP serta Pasal 9 jo dan Pasal 35 UU No. 44 Tahun
2008 tentang Pornografi. Namun, jika perbuatan ini dilihat dari unsur pelanggaran
kesusilaan dan perbuatan pornografi, maka perbuatan pelecehan seksual secara verbal
dapat digolongkan sebagai tindak pidana. Sedangkan bentuk penghapusan kekerasan
seksual dalam melindungi korban catcalling memerlukan adanya suatu perumusan moral,
nilai asas serta teori yang berhubungan dengan kebijakan hukum. Kebijakan hukum itu
sendiri haruslah selaras dengan nilai yang terkandung dan hidup di dalam masyarakat.
Untuk perbuatan pelecehan seksual secara verbal (catcalling) dapat diterapkan kebijakan
non penal dan kebijakan penal sebagai penanggulangan kejahatan. Yang mana, dengan
adanya pelaksanaan sanksi dari suatu perbuatan yang dikategorikan sebagai tindak pidana
diharapkan dapat menjamin terealisasikannya sebuah ketegasan dan kejelasan dalam
penegakan hukumnya di waktu sekarang maupun di waktu mendatang.
7
masih dalam tingkat pelecehan yang rendah, tidak dapat dilihat sebagai hal yang wajar
atau normal, masyarakat harus lebih waspada terhadap semua jenis pelecehan seksual
verbal. Partisipasi masyarakat sangat penting karena, jika pelecehan seksual verbal
(catcalling) diterima di masyarakat sebagai hal yang biasa, maka akan semakin sulit untuk
menghapus perilaku ini. Dan mereka yang melakukan pelecehan seksual verbal
(catcalling) harus berhenti menganggap perempuan sebagai orang yang lebih lemah dan
objek seksual karena hal tersebut dapat secara tidak sengaja melanggar hak asasi manusia
dari mereka yang dijadikan target pelecehan.
Daftar Pustaka
Hidayat, A., & Setyanto, Y. (2020). Fenomena Catcalling sebagai Bentuk Pelecehan
Seksual secara Verbal terhadap Perempuan di Jakarta. Koneksi, 3(2), 485–
492. https://doi.org/10.24912/kn.v3i2.6487
Qila, S. Z., Rahmadina, R. N., & Azizah, F. (2021). Catcalling sebagai Bentuk Pelecehan
Seksual Traumatis. Jurnal Mahasiswa Komunikasi Cantrik, 1(2).