Anda di halaman 1dari 4

Hadirin jamaah Jumat rahimakumullah,

Di awal khutbah, mari kita tingkatkan ketakwaan terhadap Allah


dengan sebenar-benarnya, yaitu dengan berupaya optimal
menjalankan segala perintah dan menjauhi segala larangan-Nya.

Hadirin jamaah Jumat rahimakumullah,

Sekarang kita telah masuk di penghujung bulan Safar, bulan safar


sendiri memiliki arti kosong. Disebut Safar karena dahulu pada bulan
ini orang-orang Arab mengumpulkan makanan dari berbagai tempat,
sehingga tempat itu kosong dari makanan. Adapula yang
mengatakan, disebut Safar karena dahulu pada bulan ini kota
Makkah menjadi kosong ditinggalkan bepergian oleh penduduknya.

Ada juga yang mengatakan, karena dahulu pada bulan ini orang
Makkah memerangi suku-suku di sekitarnya dan mereka
membiarkan orang-orang yang mereka temui dalam kondisi kosong
tak punya harta. Demikian dijelaskan oleh Imam Murtadha az-Zabidi
dalam kitab Tajul ‘Arusy juz XII halaman 330.

Hadirin jamaah Jumat rahimakumullah,


Lalu inspirasi apa yang dapat kita ambil dari bulan Safar yang
bermakna kosong ini?

Tentu, bulan Safar yang bermakna kosong ini jangan sampai hanya
lewat saja. Jangan sampai bulan Safar ini kita kosong dari amal
kebaikan. Kebaikan yang bersifat ibadah ritual kepada Allah swt
maupun ibadah sosial kepada sesama manusia dan seluruh alam.

Nabi Muhammad saw sendiri bersabda:

‫ِإَّن َأْص َفَر الُبُيوِت من الَخ ْيِر الَبْيُت الِّص ْفُر من كتاِب ِهَّللا‬
Artinya, “Sungguh rumah yang paling kosong dari kebaikan adalah
rumah yang kosong dari bacaan kitabullah Al-Qur’an.” (HR at-
Thabarani)

Hadirin jamaah Jumat rahimakumullah,


Selain itu, bagi orang yang merasa sudah banyak amal kebaikannya,
juga jangan sampai lengah dan kelak di akhirat justru menjadi orang
yang kosong tanpa amal, karena tidak diterima di sisi Allah. Terlebih
di era kemajuan teknologi informasi ini, yang memanjakan manusia
untuk memamerkan segala amal kebaikannya di berbagai platform
media sosial, di status WhatsApp, Facebook, Instagram, Youtube,
TikTok dan selainnya.

Bisa jadi amal kebaikan yang telah dilakukan, karena dipamer-


pamerkan, justru menjadi amal kosong yang tidak diterima Allah swt.

Karena itu, sebenarnya tidak elok menampakkan amal kebaikan


kecuali bagi orang-orang khusus yang sudah mampu mengendalikan
hawa nafsu, seperti para ulama, wali, dan orang-orang saleh lainnya.
Ciri utama bagi mereka yang mampu mengendalikan nafsunya adalah
tidak terusiknya hati terhadap apapun selain Allah, mereka fokus
pada diri mereka sendiri dengan Allah, tidak terbesitpun bisikan
apapun diluar dari Tuhannya, yang ada hanya Allah. Adapun bagi
umumnya orang, maka terkadang ia menampakkan amal kebaikan,
sementara maksud hati sebenarnya adalah memamerkannya dan
mencari popularitas di mata manusia. Lalu nafsunya tak henti-henti
membisikinya:

ُ ‫الَّناس‬ ‫َأْنَت ِبَحْمِد ِهللا ِم َن اْلُم ْخ ِلِص ْيَن َو ِإَّنَم ا َتْظَهُر َهِذِه اْلِعَباَد ِة ِلَيْقَتِدَي ِبَك‬
Artinya, “Kamu Alhamdulillah termasuk orang yang ikhlas. Niscaya
kamu menampakkan ibadah ini hanya agar orang-orang
mengikutimu.”

Umumnya orang seperti kita ini hendaknya menguji maksud hati


sebenarnya, ketika menampakkan amal kebaikan kepada orang lain.
Apakah kita termasuk orang yang ikhlas dalam melakukan amal
kebaikan, atau justru sebenarnya hanya sedang melakukan pansos,
panjat sosial, hanya sedang mencari popularitas semata di hadapan
manusia?

Lalu bagaimana cara menguji hati kita? Yaitu, andaikan ada orang
lain melakukan amal kebaikan seperti itu dan orang-orang justru
mengikutinya, atau justru lebih banyak yang mengikuti orang lain itu
daripada yang mengikuti kita. Apakah hati kita senang dengan orang
tersebut atau justru susah merasa tersaingi?

Bila hati kita lapang dengan orang tersebut, bahkan sangat senang
terhadapnya, karena merasa ada orang lain yang justru telah
mewakilinya melakukan amal kebaikan itu, maka kita termasuk
orang yang telah ikhlas dalam melakukan amal kebaikan.

Sementara bila hati kita justru susah dan merasa tersaingi olehnya,
maka hakikatnya kita adalah orang yang pamer atau riya' karena
merasa tersaingi.

Hadirin jamaáh jumat rohimakumullah,

Bahkan jika diketahui riya’ itu lebih halus lagi, Ketika kita enggan untuk
melakukan kebaikan karena takut dilihat orang lain, itu lah riya’ bukan
hanya tentang memamerkan kebaikan, tapi dalam dunia tasawuf Ketika
kamu malu melakukan kebaikan karena dilihat oleh orang lain sebenarnya
itu riya’’. justru Ketika kita memamerkan kebaikan sebenarnya lebih dari
riya’”, kenapa, Ketika kita Menampakkan kebaikan ada sombongan,
kesombongan itu musyrik, syirik kecil. Jadi Ketika kita hendak melakukan
kebaikan karena orang lain, pertimbangan kita dalam melakukan kebaikan
adalah orang lain bukan Allah, maka ada berhala lain dalam hati kita itu
lah syirik.

Sebagaimana Rasulullah bersabda:


“sesungguhnya yang paling aku khawatirkan terjadi pada kalian adalah
syirik kecil. Sahabat bertanya, ya Rasulullah apakah syirik kecil itu ?
Rasulullah menjawab : itu lah Riya’ (HR. Ahmad)

Karena itu, kita perlu riyadhoh (usaha-usaha) untuk mengabaikan bisikan


nafsu yang menghasut, segala sesuatu yang mengusik, segala sesuatu yang
menghalangi selain Allah. hendaknya kita beribadah selalu terpatri kepada
Allah,
Sebagaimana dalam firman Allah,

Hanya kepada Allah lah kita meminta pertolongan, dan hanya kepada Allah
pula kita menyembah.
Ayat tersebut mengisyaratkan bahwa untuk beribadahpun kita
membutuhkan pertolonganNya, karena semua kebaikan merupakan
anugerah Allah, murni itu karena rahmat Allah bukan karena kita mampu,
tapi dimampukan oleh Allah SWT.

Hadirin jamaáh Jumát Rohimakumullah, semoga Allah dengan anugerah


dan PetunjukNya kita dijauhkan dari sifat Riya, terlindung dari penyakit
riya, agar kita selamat dan menjadi orang-orang yang dicintai oleh Allah.
amin …
Di akhirat kelak, pamer amal justru akan membuat kita menjadi
orang yang kosong tanpa amal. Semoga datangnya bulan Safar yang
berarti kosong ini, menginspirasi kita agar tidak kosong dari amal
kebaikan, di dunia hingga akhirat kelak. Amin.
KHUTBAH KEDUA

Anda mungkin juga menyukai