Anda di halaman 1dari 13

SISTEM PENANGGULANGAN

1
GAWAT DARURAT TERPADU
(SPGDT)
CHAPTER

A. Definisi

SPGDT adalah merupakan suatu sistem dimana koordinasi merupakan unsur utama
yang bersifat multisektor dan harus ada dukungan dari berbagai profesi bersifat multidisiplin
dan multi profesi untuk melaksanakan dan penyelenggaraan suatu bentuk layanan terpadu
bagi penderita gawat darurat baik dalam keadaan sehari-hari maupun dalam keadaan
bencana dan kondisi-kondisi kejadian luar biasa. Didalam memberikan pelayanan medis
SPGDT dibagi menjadi 3 sub sistem, yaitu :
1. Sistem pelayanan pra rumah sakit
2. Sistem pelayanan di rumah sakit
3. Sistem pelayanan antar rumah sakit
Ketiga subsistem ini tidak terpisah satu sama lain yang bersifat saling terkait didalam
pelaksanaan sistem.

B. Aturan Perundangan
Beberapa undang-undang yang berkaitan dengan pelayanan kegawat
daruratan: 1. Undang-undang No. 36 tahun 2009 tentang kesehatan
a. Pasal 4
Setiap orang berhak atas kesehatan
b. Pasal 32
1) Dalam keadaan darurat, fasilitas pelayanan kesehatan, baik pemerintah maupun
swasta, wajib memberikan pelayanan kesehatan bagi penyelamatan nyawa
pasien dan pencegahan kecacatan terlebih dahulu.
2) Dalam keadaan darurat, fasilitas pelayanan kesehatan baik pemerintah maupun
swasta dilarang menolak pasien dan/atau meminta uang muka.
c. Pasal 85
1) Dalam keadaan darurat, fasilitas pelayanan kesehatan, baik pemerintah maupun
swasta wajib memberikan pelayanan kesehatan pada bencana bagi
penyelamatan nyawa pasien dan pencegahan kecacatan.
2) Fasilitas pelayanan kesehatan dalam memberikan pelayanan kesehatan pada
bencana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang menolak pasien
dan/atau meminta uang muka terlebih dahulu.
d. BAB XX Ketentuan pidana pasal 190
1) Pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan dan/atau tenaga kesehatan yang
melakukan praktik atau pekerjaan pada fasilitas pelayanan kesehatan yang
dengan sengaja tidak memberikan pertolongan pertama terhadap pasien yang
dalam keadaan gawat daruratsebagaimana dimaksud dalam pasal 32 ayat (2)
atau pasal 85 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun
dan denda paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
2) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan
terjadinya kecacatan atau kematian, pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan
dan/atau tenaga kesehatan tersebut dipidana dengan pidana penjara paling
lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu
milyar rupiah).
2. Undang-undang No. 44 tahun 2009
1) Setiap rumah sakit mempunnyai kewajiban :
1) Memberikan informasi yang benar tentang pelayanan rumah sakit kepada
masyarakat.
2) Memberikan pelayanan kesehatan yang aman, bermutu, antidiskriminasi, dan
efektif dengan mengutamakan kepentingan pasien sesuai dengan standar
pelayanan rumah sakit.
3) Memberikan pelayanan gawat darurat kepada pasien sesuai kemampuan
pelayanan.
4) Berperan aktif dalam memberikan pelayanan kesehatan pada bencana, sesuai
dengan kemampuan pelayanannya.
5) Menyediakan sarana dan pelayanan bagi pasien tidak mampu/miskin. 6)
Melaksanakan fungsi sosial antara lain dengan memberikan fasilitas pelayanan
pasien tidak mampu/miskin, pelayanan gawat darurat tanpa uang muka, ambulance
gratis, pelayanan korban bencana dan kejadian luar biasa, atau bakti sosial bagi
misi kemanusiaan.
7) Membuat, melaksanakan, dan menjaga standar mutu pelayanan kesehatan di
rumah sakit sebagai acuan dalam melayani pasien.
8) Menyelenggarakan rekam medis.
9) Menyediakan sarana dan prasarana umum yang layak antara lain sarana ibadah,
parkir, ruang tunggu, sarana untuk orang cacat, wanita menyusui, anak-anak,
lanjut usia.
10) Melaksanakan sistem rujukan.
11) Menolak keinginan pasien yang bertentangan dengan standar profesi dan etika
serta peraturan perundang-undangan.
12) Memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai hak dan kewajiban
pasien.
13) Menghormati dan melindungi hak – hak pasien.
14) Melaksanakan etika rumah sakit.
15) Memiliki sistem pencegahan kecelakaan dan penanggulangan bencana. 16)
Melaksanakan program pemerintah dibidang kesehatan baik secara regional
maupun nasional.
17) Membuat daftar tenaga medis yang melakukan praktek kedokteran atau
kedokteran gigi dan tenaga kesehatan lainnya.
18) Menyusun dan melaksanakan peraturan internal rumah sakit (hospital by lows).
19) Melindungi dan memberikan bantuan hukum bagi semua petugas rumah sakit
dalam melaksanakan tugas.
20) Memberlakukan seluruh lingkungan rumah sakit sebagai kawasan tanpa rokok.
2) Pelanggaran atas kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat dikenakan sanksi
administratif berupa :
1) Teguran
2) Teguran tertulis
3) Denda dan pencabutan izin rumah sakit
3) Ketentuan lebih lanjut mengenai kewajiban rumah sakit sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diatur dengan peraturan menteri.

C. Prinsip Sistem Penanggulangan Gawat Darurat Terpadu


Prinsip dari SPGDT adalah memberikan pelayanan yang cepat, cermat dan tepat dimana
tujuannya adalah untuk menyelamatkan nyawa dan mencegah kecacatan (time saving is life
and limb saving) terutama ini dilakukan sebelum dirujuk dirumah sakit yang dituju. Ada 3
fase pelayanan :
1. Sistem pelayanan medik pra rumah sakit
a. Publik safety center
Didalam penyelenggaraan sistem pelayanan pra rumah sakit harus membentuk atau
mendirikan pusat pelayanan yang bersifat umumdan bersifat emergency dimana
bentuknya adalah suatu unit kerja yang bersifat PSC (public safety center). PSC ini
merupakan suatu unit kerja yang memberi pelayanan umum terutama yang bersifan
emergencybisa merupakan UPT Dinas Kesehatan Kabupaten maupun Kota yang
sehari-harinya secara operasional dipimpin oleh seorang Direktur. Selain itu
pelayanan pra rumah sakit bisa dilakukan pula dengan membentuk satuan khusus
yang bertugas dalam penanganan bencana dimana saat ini sering disebut dengan
Brigade Siaga Bencana (BSB), pelayanan ambulance dab komunikasi. Dalam
pelaksanaan PSC bisa didirikan oleh masyarakat untuk kepentingan masyarakat
dimana pengorganisasiannya dibawah pemerintah daerah sedangkan sumberdaya
manusianya terdiri dari berbagai unsur yaitu unsur kesehatan (ambulance), unsur
pemadam kebakaran, unsur kepolisian, unsur linmas serta masyarakat sendiri yang
bergerak dalam bidang upaya pertolongan bagi masyarakat. Sifat pembiayaan bisa
dari masyarakat maupun dari institusi pemerintah. PSC berfungsi sebagai tanggap
cepat didalam penanggulangan tanggap darurat.
b. Brigade siaga bencana (BSB)
Brigade Siaga Bencana (BSB) merupakan suatu unit khusus yang disiapkan dalam
penanganan pra rumah sakit khususnya yang berkaitan dengan pelayanan
kesehatan dalam penanganan bencana. Pengorganisasian dibentuk oleh jajaran
kesehatan baik ditingkat pusat maupun daerah (Depkes, Dinkes, Rumah Sakit)
petugas medis baik dokter maupun perawat juga petugas non medis baik sanitarian
gizi, farmasi dan lain-lain. Pembiayaan didapat dari instansi yang ditunjuk dan
dimasukan anggaran rutin APBN maupun APBD.
c. Pelayanan ambulance
Merupakan kegiatan pelayanan terpadu didalam satu koordinasi yang
memberdayakan ambulance milik puskesmas, klinik swasta, rumah bersalin, rumah
sakit pemerintah maupun swasta institusi kesehatan swasta maupun pemerintah
(PT. Jasa Marga, Jasa Raharja, Polisi, PMI, Yayasan yang bergerak dibidang
kesehatan dan lain-lain). Dari semua komponen ini akan dikoordinasikan melalui
center atau pusat pelayanan yang disepakati bersama antara pemerintah dengan
non pemerintah dalam rangka melaksanakan mobilisasi ambulance terutama bila
terjadi korban massal. Ada beberapa stadar kendaraan ambulance, yatiu :
1) Ambulance darat dengan berbagai persyaratan
2) Ambulance udara yang sesuai dengan ketentuan standar international
3) Sepeda motor
d. Komunikasi
Didalam melaksanakan kegiatan pelayanan kasus gawat darurat sehari – hari
memerlukan sebuah sistem komunikasi dimana sifatnya adalah pembentukan
jejaring penyampaian informasi jejaring koordinasi maupun jejaring pelayanan gawat
darurat sehingga seluruh kegiatan dapat berlangsung dalam satu sistem yang
terpadu terkoordinasi menjadi satu kesatuan kegiatan.
e. Pelayanan pada keadaan bencana
Pelayanan dalam keadaan bencana yang menyebabkan korban massal memerlukan
hal-hal khusus yang harus dilakukan. Hal-hal yang perlu dilakukan dan
diselenggarakan adalah :
1) Koordinasi dan komando
Dalam keadaan bencana diperlukan pola kegiatan yang melibatkan unit – unit
kegiatan lintas sektor yang mana kegiatan ini akan menjadi efektif dan efesien
bila berada didalam suatu komando dan satu koordinasi yang sudah disepakati
oleh semua unsur yang terlibat.
2) Eskalasi dan mobilisasi sumberdaya
Kegiatan ini merupakan penanganan bencana yang mengakibatkan korban
massal yang mengharuskan dilakukannya esklasi atau berbagai peningkatan.
Ini dapat dilakukan dengan melaksanakan mobilisasi SDM, mobilisasi fasilitas
dan sarana dan mobilisasi semua pendukung pelayanan kesehatan bagi
korban bencana.
3) Simulasi
Didalam penyelenggaraan kegiatan diperlukan ketentuan – ketentuan yang
harus ada yaitu prosedur tetap petunjuk pelaksanaan, petunjuk teknis
operasional yang harus dilakukan oleh petugas yang merupakan standar
pelayanan. Ketentuan tersebut perlu diuji melalui simulasi agar dapat diketahui
apakah semua sistem dapat diimplementasikan pada kenyataan dilapangan.
4) Pelaporan monitoring dan evaluasi
Seluruh kegiatan penanganan bencana harus dilakukan pendokumentasian
dalam bentuk pelaporan baik yang bersifat manual maupun digital dan
diakumulasi menjadi satu data yang digunakan untuk melakukan monitoring
maupun evaluasi apakah yang bersifat keberhasilan ataupun kegagalan
sehingga kegiatan selanjutnya akan lebih baik.
2. Sistem pelayanan medik antar rumah sakit
Sistem pelayanan medik antar rumah sakit harus berbentuk jejaring rujukan yang dibuat
berdasarkan kemampuan rumah sakit dalam memberikan pelayanan baik dari segi
kwalitas maupun kwantitas untuk menerima pasien dan ini sangat berhubungan dengan
kemampuan SDM, ketersediaan fasilitas medis didalam system ambulance.
a. Evakuasi
Merupakan suatu bentuk pelayanan transportasi yang ditujukan dari pos komando,
rumah sakit lapangan menuju kerumah sakit rujukan atau transportasi antar rumah
sakit baik dikarenakan adanya bencana yang terjadi dirumah sakit dimana pasien
harus dievakuasi kerumah sakit lain. Pelaksanaan evakuasi tetap harus
menggunakan sarana yang terstandar memenuhi kriteria-kriteria yang sudah
ditentukan berdasarkan standar pelayanan rumah sakit.
1) Syarat-syarat evakuasi
a) Korban berada dalam keadaan yang paling stabil dan memungkinkan untuk
dievakuasi.
b) Korban telah disiapkan/diberi peralatan yang memadai untuk trasportasi. c)
Fasilitas kesehatan penerima telah diberi tahu dan siap menerima korban. d)
Kendaraan dan pengawalan yang dipergunakan merupakan yang paling layak
yang tersedia.
2) Beberapa bentuk evakuasi
a) Evakuasi darurat
Korban harus cepat dipindahkan dikarenakan lingkungan yang
membahayakan, keadaan yang mengancam jiwa yang membutuhkan
pertolongan segera maupun bila terdapat sejumlah pasien dengan ancaman
jiwa yang memerlukan pertolongan.
b) Evakuasi segera
Korban harus segera dilakukan penanganan segera karena adanya
ancaman bagi jiwanya dan tidak bisa dilakukan dilapangan, misalnya pasien
shock, pasien strees dilingkungan kejadian dan lain – lain. Juga dilakukan
pada pasien-pasien yang berada dilingkungan yang mengakibatkan kondisi
pasien cepat menurun akibat hujan, suhu dingin ataupun suhu panas.
c) Evakuasi biasa
Korban biasanya tidak mengalami ancaman jiwa tetapi masih perlu
pertolongan dirumah sakit, dimana pasien akan dievakuasi bila sudah dalam
keadaan baik atau stabil dan sudah memungkinkan bisa dipindahkan ini
khususnya pada pasien-pasien patah tulang.
b. Kontrol lalu lintas
Untuk memfasilitasi pengamanan evakuasi, maka harus dilakukan kontrol lalu lintas
oleh kepolisian ini untuk memastikan kelancaran jalur lalu lintas antar rumah sakit
dan pos medis maupun pos komando. Pos medis dapat menyampaikan kepada pos
komando agar penderita dapat dilakukan evakuasi bila sudah dalam keadaan stabil
dalam pelaksanaan evakuasi ini, maka kontrol lalu lintas harus seiring dengan
proses evakuasi itu sendiri.
3. Sistem pelayanan medik di rumah sakit
Dalam penyelenggaraan system pelayanan medik dirumah sakit yang harus
diperhatikan adalah penyediaan sarana, prasarana yang harus ada di UGD, ICU, kamar
jenazah, unit unit pemeriksaan penunjang seperti radiologi, laboratorium klinik, farmasi,
gizi, ruang rawat inap dan lain-lain.
a. Hospital disaster plan
Didalam rumah sakit sendiri harus membuat suatu perencanaan untuk menghadapi
kejadian bencana yang disebut Hospital Disaster Plan baik bersifat yang kejadiannya
didalam rumah sakit (Intra Hospital Disastr Plan), maupun perencanaan yang
bersifat external untuk menghadapi bencana yang terjadi diluar rumah sakit (Extra
Hospital Disaster Plan).
b. Unit gawat darurat (UGD)
Didalam pelayanan di UGD harus ada organisasi yang baik dan lengkap baik
pembiayaan, SDM yang terlatih, sarana yang standar baik sarana medis maupun
non medis dan mengikuti teknologi pelayanan medis. Prinsip utama dalam
pelayanan di UGD adalah Respone Time baik standar nasional maupun standar
internasional.
c. Brigade siaga bencana RS (BSB RS)
Didalam rumah sakit juga harus dibentuk Brigade Siaga Bencana dimana ini
merupakan satuan tugas khusus yang mempunnyai tugas memberikan pelayanan
medis pada saat-saat terjadi bencana baik dirumah sakit maupun diluar rumah sakit
dimana sifat kejadian ini menyebabkan korban massal.
d. High care unit (HCU)
Merupakan suatu bentuk pelayanan dirumah sakit bagi pasien dengan kondisi yang
sudah stabil baik respirasi hemodinamik maupun tingkat kesadarannya, tetapi masih
memerlukan pengobatan, perawatan dan pengawasan secara ketat dan terus
menerus, HCU ini harus ada baik dirumah sakit type C dan type B.
e. Intensive care unit (ICU)
Merupakan suatu bentuk pelayanan dirumah sakit multi disiplin bersifat khusus
untuk menghindari ancaman kematian dan memerlukan barbagai alat bantu untuk
memperbaiki fungsi fital dan memerlukan sarana teknologi yang canggih dan
pembiayaan yang cukup besar.
f. Kamar jenazah
Merupakan suatu bentuk pelayanan bagi pasien yang sudah meninggal baik
meninggal dirumah sakit maupun diluar rumah sakit dalam keadaan sehari-hari
maupun bencana. Pada saat kejadian massal memerlukan pengorganisasian yang
bersifat komplek dimana akan dilakukan pengidentifikasian korban baik yang dikenal
maupun yang tidak dikenal dan memrlukan SDM yang khusus selain berhubungan
dengan hal-hal aspek legalitas.
ALUR PENANGANAN KORBAN BENCANA

BENCANA

PEMERINTAH MASYARAKAT

BNPB ORGANISASI
LAPANGAN ▪ PSC
▪ BSB
▪ Ambulance
KOMANDO BANTUAN
▪ Komunikasi
BPBD/PROV/KAB/KOTA

DAN SATLAK
LAPANGAN

DAN SATLAK LAPANGAN

SATU
TEMPAT KEJADIAN
BENCANA
Diagram 1.1 Diagram Alur Penanganan Korban Bencana

ALUR PENANGANAN KORBAN BENCANA DILAPANGAN

BENCANA

TIM PENILAI (RAPID ASSESSMENT)

TIM MEDIK = BANTUAN LAINNYA

RUMAH SAKIT POS MEDIK


LAPANGAN
TRIAGE

STABILISASI

KONTROL LALU LINTAS

EVAKUASI

▪ RUMAH SAKIT

ANTAR RUMAH SAKIT

▪ OK
▪ RAWAT INAP ▪
MENINGGAL
Diagram 1.2 Diagram Alur Penanganan Korban Bencana di Lapangan

ALUR PENANGANAN KORBAN BENCANA DIRUMAH SAKIT

KORBAN

RUMAH SAKIT

UGD

TRIAGE

GAWAT DARURAT GAWAT TIDAK

DARURAT

TIDAK DARURAT

PENGOBATAN
▪ ICU
RUJUK ▪ HCU
▪ HCU
RUJUK ▪ OK CYTO
Diagram 1.3 Diagram Alur Penanganan Korban Bencana di Rumah Sakit

A. Pendahuluan
SISTEM PREHOSPITAL DAN
RUJUKAN NASIONAL

CHAPTER 2

Pelayanan kesehatan kegawatdaruratan atau Emergency Medical Service (EMS)


adalah suatu pelayanan terkoordinasi yang memberikan bantuan medis, termasuk
pertolongan dari personel yang terlatih, stabilisasi, transportasi, dan pertolongan pengobatan
lebih lanjut pada kasus kedaruratan medis ataupun trauma (Greaves et al., 2001).
Interfacility transfer dilakukan bila pasien dengan kondisi penyakit tertentu dirawat di pusat
kesehatan tertentu, dan tempat tersebut tidak memiliki kemampuan untuk menangani, maka
diperlukan transfer atau pemindahan pasien ke fasilitas kesehatan yang lebih baik (Uren,
2009).
B. Sistem Rujukan
Interfacility transfer memiliki peran yang sangat penting dan sangat menentukan
kondisi akhir dari pasien kritis yang dibawa (Belway et al., 2006). Proses interfaclity transfer
dan faktor-faktor lain yang terjadi sebelum penderita tiba di IGD sangat besar pengaruhnya
terhadap prognosa penderita. Pengenalan dan penatalaksanaan sedini mungkin pada suatu
kondisi kegawatan akan sangat berpengaruh terhadap keberhasilan terapi, dan berarti
sangat erat hubungannya dengan proses interfacility transfer.
Untuk pasien-pasien prioritas 1 dan 2, (terutama prioritas 1), pelayanan
kegawatdaruratan yang segera sangat diperlukan bahkan sejak fase pra-rumah sakit. (Dunn
et al., 2007). Di Indonesia kedokteran gawat darurat, prehospital dan Emergency Medical
Service (EMS) belum berkembang, sehingga belum ada pihak yang melakukan pembinaan
pada interfacility transfer penderita kritis. Sedikitnya perhatian pada interfacility transfer juga
dapat dilihat dari tidak adanya audit atau penelitian tentang interfacility transfer di Indonesia
walaupun pemerintah sebenarnya telah mengatur tentang sistem rujukan melalui Surat
Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 032/Birhup/72 tanggal 4 September
1972 mengenai sistem rujukan nasional.
Akibat yang dapat ditimbulkan dari proses interfacility transfer yang buruk adalah
kejadian yang yang tidak diinginkan sampai kematian.Rujukan tanpa data penderita yang
lengkap, waktu tinggal di IGD menjadi lebih lama, dilakukan pemeriksaan berulang
(meningkatkan biaya) dan meningkatkan mortalitas (Fraser. 2009), juga hipotensi dan
hipoksia yang semestinya tidak terjadi (Wallace, 1999). Sangat penting mengetahui pasien
yang berisiko saat proses rujukan dan memperkirakan apa yang mungkin terjadi selama
perjalanan untuk menentukan persiapan pasien dan sumber daya yang akan digunakan.
Greaves et al., 2001 membagi klasifikasi transfer menurut American College and
Society of Critical Care Medicine menjadi 4, yaitu:
1. Rujukan primer : pemindahan penderita dari tempat kejadian ke rumah sakit 2. Rujukan
sekunder : pemindahan penderita dari rumah sakit awal ke rumah sakit yang lebih tinggi
untuk mendapatkan penanganan spesialis
3. Rujukan tersier : pemindahan penderita karena alasan sosial, misalnya karena lokasi
rumah sakit lebih dekat dengan rumah penderita
4. Rujukan kategori empat : pemindahan antar rumah sakit misalnya karena rumah sakit
awal sudah tidak mampu menampung karena kekurangan tempat perawatan. Proses
perujukan pasien dilakukan dengan ambulans disertai petugas kesehatan yang bertanggung
jawab terhadap kondisi pasien selama proses rujukan tersebut (Mackenzie, et. al., 2011).
Proses rujukan di bagi atas 3 tingkatan yaitu sebelum proses rujukan, selama proses
rujukan dan post-transfer. Sebelum merujuk harus dilakukan stabilisasi penderita (Airway,
breathing, circulation, disability) dan pemberitahuan awal kepada rumah sakit rujukan.
Selama proses merujuk, perawatan dan monitoring keadaan penderita harus dilakukan
secara terus menerus. Untuk menjamin perawatan penderita secara berkesinambungan
maka perlu alih data yang baik dari tim pengirim kepada tim penerima pada fase Post
transfer. Tingkat standart interfacility transfer yang tinggi sangat dipengaruhi oleh tenaga
pengantar yang kompeten, dukungan alat dan obat yang lengkap (Mackenzie et al., 2011).
Persiapan sebelum proses rujukan meliputi ambulans, petugas, komunikasi,
dokumentasi, peralatan pendukung, persiapan obat-obatan, pengkajian risiko dan tujuan
rujukan (Prehospital Guideline, 2002).
1. Ambulans
Hal penting adalah ambulans yang digunakan harus muat untuk petugas
kesehatan melakukan tindakan kegawatdaruratan, harus memiliki alat-alat
kegawatdaruratan dasar. Alat-alat yang harus muat dalam ambulan antara lain tabung
oksigen, monitor, pompa infus, ventilator (Lilja, 2004; Greaves et al., 2001).
Perlengkapan ini harus dicek setiap hari, dibersihkan, diisi kembali bila telah digunakan.
Tata letak peralatan dalam ambulans harus tidak membahayakan penderita ataupun
petugas kesehatan (Mistovich & Karen, 2010).
Ambulans tidak boleh menggunakan kecepatan tinggi agar dapat meminimalkan
terjadinya proses akselerasi maupun deselerasi. Penggunaan lampu sirine bertujuan untuk
sampai ke tempat tujuan dengan cepat dan lancar (Greaves et al, 2001). 2. Petugas
Keahlian dan kemampuan petugas ambulans merupakan hal penting dalam
proses rujukan. Beberapa tingkatan keahlian petugas dalam penanganan
kegawatdaruratan menurut National Highway Traffic Safety Administration (NHTSA),
yaitu:
a. Emergency Medical Responder (EMR), yaitu petugas dengan kemampuan level
pertama, yang mampu melakukan penanganan pertama, selama menunggu
responder tingkat yang lebih tinggi tiba. Petugas dengan level ini harus memiliki
kompetensi dasar basic airway, ventilasi, terapi oksigen, analisa tanda vital penderita,
stabilisasi dan prediksi luka serius, kontrol perdarahan, irigasi mata, respon
kegawatan, resusitasi jantung paru, pertolongan partus darurat.
b. Emergency Medical Technician (EMT), yaitu petugas yang mampu melakukan
perawatan darurat dasar dan pengangkutan pasien. Intervensi yang dilakukan hampir
sama dengan EMR ditambah dengan mampu menggunakan peralatan dasar yang
ada di dalam ambulans, misalnya pulse oximetry dan alat pengukur tekanan darah.
c. Advance Emergency Medical Technician (AEMT), yaitu petugas yang memiliki
kemampuan mahir dalam penanganan gawat darurat, misalnya mampu memasang
peralatan jalan nafas lanjut (advance airways device), pemasangan infus intravena,
intraossesous dan memantau kadar gula darah.
d. Paramedis, yaitu petugas dengan kemampuan EMT dan AEMT, ditambah lagi dengan
kemampuan pemeriksaan dan penanganan lanjut pra rumah sakit yang paling tinggi.
Petugas pada tingkatan ini dirancang untuk mengurangi kegagalan dan kematian
penderita yang dilakukan transfer (Mistovich & Karen, 2010).
Menurut American Collage of Critical Care pada interhospital transfer minimal 2
(dua) orang petugas yang mendampingi untuk 1 (satu) penderita. Untuk penderita yang
tidak stabil didampingi oleh dokter yang memiliki keterampilan dalam manajemen jalan
nafas, resusitasi dan berpengalaman dalam perawatan kritis. Dokter harus
berpengalaman dan kompeten dalam transfer medis serta didampingi oleh perawat,
paramedis yang juga berpengalaman mengenai prosedur perawatan intensif setidaknya
selama 2 tahun ( Greaves et al., 2001). Petugas ambulans harus memiliki mampu
melakukan prosedur ACLS, BLS dengan baik (Sikka N et al., 2005).
3. Obat dan Peralatan
Persiapan obat-obatan untuk transfer harus mempertimbangkan lamanya
perjalanan dan kemungkinan yang dapat terjadi. Obat-obatan dan alat yang di
rekomendasikan untuk dibawa antara lain (Gomersall and Joynt, 2009) : a. Obat-obatan
Epinephrine Amiodarone Inotropik
Analgetik Kortikosteroid Salbutamol
Dextrose 40% Diazepam
b. Alat untuk bantuan pernafasan
Oksigen, masker Suction Bag valve mask
Peralatan intubasi Pulse oksimetri Ventilator yang bisa dibawa
Peralatan cricothyroidectomy
c. Alat untuk sirkulasi
Monitor ECG / defibrillator Pengukur tekanan darah
Infusion pump Cairan Syringe jarum suntik
d. Peralatan lain
Kateter urine Sarung tangan Nasogastric tube
Perban, antiseptik, jarum dan benang jahit Bidai Nebulizer
4. Komunikasi
Komunikasi yang baik sangat penting dalam proses transfer. Tujuan komunikasi
selain melaporkan mengenai kondisi pasien, perubahan kondisi pasien, tapi juga untuk
mengetahui perkembangan pasien selama di dalam perjalanan. Komunikasi juga dapat
memberitahukan tindakan apa saja yang dapat dilakukan jika terjadi perubahan kondisi
pasien. Sebelum dilakukan transfer, bila pasien yang dirujuk dengan penyakit kritis,
rumah sakit yang akan di rujuk telah mengetahui dan siap menerima pasien yang akan di
rujuk untuk dapat segera melakukan prosedur dan pemeriksaan penunjang lainya yang
diperlukan. (Warren et al., 2004)
Selain itu, kemampuan bekerja secara tim juga diperlukan dalam proses transfer.
Komunikasi dapat dilakukan melalui telefon bebas pulsa, radio komunikasi (Warren et al.,
2004; Bersten and Soni, 2009).
C. Rujukan Berdasarkan Kondisi Pasien
Kondisi pasien untuk proses transfer dibagi menjadi 4 tingkatan, yaitu:
1. Tingkat 0
Kondisi pasien bisa dilakukan di ruang perawatan biasa. Pasien dalam tingkatan ini,
proses transfernya tidak perlu di dampingi dokter maupun paramedis.
2. Tingkat 1.
Pasien dengan kondisi yang dapat mengalami perburukan, atau pada pasien yang dari
ruang perawatan akut yang memerlukan penanganan lebih khusus. Hal ini pada proses
transfer perlu di sertai oleh tim perawatan kritis atau paramedik.
3. Tingkat 2
Penderita dengan kondisi yang memerlukan observasi ketat dan intervensi serta
memerlukan perawatan yang lebih tinggi, penderita perlu didampingi dokter atau
paramedik.
4. Tingkat 3.
Penderita dengan kondisi yang memerlukan dukungan pernafasan karena mengalami
gagal nafas atau gangguan jalan nafas, mengalami gagal organ multipel. Pasien dengan
tingkatan ini dalam proses transfernya memerlukan pengawalan oleh petugas terlatih
dan berpengalaman seperti dokter dan paramedik (Guideline, 2009).

D. Kriteria Kondisi Pasien


Penderita dinyatakan stabil berdasarkan kondisi klinis, tanda vital, pemeriksaan fisik
maupun laboratorium. Penderita dengan kondisi kritis di nyatakan tidak stabil berdasarkan
(Hall et al., 2006) :
▪ Penurunan kesadaran
▪ Laju pernafasan < 10 x/menit atau > 30 x/menit
▪ Denyut nadi < 50 x/menit atau > 100x/menit
▪ Tekanan darah sistolik < 90 mmHg atau > 200 mmHg

E. Perubahan Kondisi Selama Transport


Selama perjalanan interhospital transfer perlu dilakukan pengamatan keadaan
penderita secara berkala, sehingga bila terjadi perubahan atau adanya efek yang tidak di
inginkan terjadi dapat segera diketahui dan bila perlu dapat segera dilakukan tindakan untuk
mengurangi cedera lebih lanjut. Efek yang tidak diinginkan mulai dari perubahan frekuensi
nadi, hipotensi atau hipertensi, aritmia, perubahan frekuensi nafas, hipoksia, hipotermi
bahkan sampai dengan henti jantung (Waydhas, 1999).
Efek tidak di inginkan di dalam perjalanan proses transfer ditandai dengan:
▪ Gagal nafas dengan frekuensi nafas < 12 x/menit
▪ Desaturasi (Saturasi < 90%)
▪ Tekanan darah sistolik < 90 mmHg
▪ Aritmia jantung
▪ Bradiaritmia (Nadi < 60 x/menit)
▪ Tachyaritmia (Nadi > 100 x/menit)
▪ Penurunan kesadaran (GCS < 15)
▪ Hipotermi (suhu < 35ᴼC) , (Lee et al., 2010).
F. Tindakan Yang Dilakukan Selama Transport
Tindakan yang harus dilakukan selama proses transfer adalah (Greaves I, et al., 2001):
1. Penilaian ulang terhadap kondisi penderita
2. Melakukan pemeriksaan tanda vital secara rutin
3. Melakukan tindakan intervensi
4. Monitoring penggunaan monitor, ventilator, syringe atau infuse pump
5. Melakukan pencatatan semua tindakan dan kondisi penderita

G. Kebijakan Sistem Rujukan


Di Indonesia, semua aturan dan tata cara rujukan diatur dalam:
1. Permenkes No. 19 tahun 2016 mengenai SPGDT
2. Kepmenkes No. 143/Menkes-kesos/SK/II/2001 tanggal 23 Februari 2001 3.
Permenkes No. 001 tahun 2012 tentang Sistem rujukan pelayanan kesehatan

Anda mungkin juga menyukai