Darma Bakhti Maba Universitas BTH 2023

Anda mungkin juga menyukai

Anda di halaman 1dari 12

DARMA BAKHTI MABA UNIVERSITAS BTH 2023

Tugas ini dibuat untuk memenuhi salah satu tugas individu Darma Bakhti
Universitas BTH 2023

Dan saya memilih judul:

“Pancasila Dalam Kajian Sejarah Bangsa Indonesia”

FARAH ALFIAH FIRDAUS

1103123058

FAKULTAS KESEHATAN

PRODI TEKNOLOGI LABORATORIUM MEDIK

UNIVERSITAS BAKTI TUNAS HUSADA

1
A. Sejarah Bangsa Indonesia
Sebelum membahas tentang aspek sejarah bangsa Indonesia, maka
hal pertama yang perlu dipahami dalam hal ini adalah tentang konsepsi
sejarah itu sendiri. Bahwa sejarah adalah suatu kenangan masa lalu, yang
dicatat oleh bangsa yang menjadi pemenang atas suatu peristiwa
(Wahyudhi, 2014). Sejarah menjadi aspek kajian yang penting untuk
dikembangkan secara mendalam dan terus dipahami sebagai suatu proses
pengembangan bangsa dan negara. Sejarah menjadi acuan tentang
mekanisme yang dapat dipergunakan untuk mencapai kemajuan dan
menghindari kesalahan yang sama dikemudian hari. Sejarah juga menjadi
substansi konkret, terutama bagi negara yang memiliki banyak penduduk
dan menjadi salah satu yang terbesar didunia.
Pendidikan sejarah juga menjadi aspek penting yang harus terus
untuk diajarkan, terutama pada generasi muda penerus bangsa.
Pembelajaran atas kesalahan dimasa lalu, tentunya dapat membentuk jiwa
patriotisme dan juga nasionalisme kebangsaan yang tinggi (Firdaus, 2023).
Jiwa ini tentunya menjadi nilai penting, yang harus terus untuk
dikembangkan sebagai bagian dari upaya optimalisasi jumlah generasi
muda yang berlimpah. Keberlimpahan yang demikian tentunya akan
menjadi bonus demografi, yang penting untuk terus dikembangkan kepada
arah yang berkemajuan dan berkesejahteraan. Adapun secara garis besar,
maka pembagian sejarah bangsa Indonesia dapat diklasifikasikan dalam
beberapa catatan berikut:
1. Zaman Sriwijaya
Kerajaan Sriwijaya menjadi salah satu kerajaan terbesar dan
tertua di Indonesia. Wilayah kekuasaan kerajaan Sriwijaya dalam
hal ini, seringkali dikonstruksikan bahkan melebihi kekuasaan
wilayah Indonesia saat ini. Kerajaan Sriwijaya juga dipandang
sebagai salah satu cikal bakal bangsa Indonesia, yang dikenal
sebagai bangsa maritim. Konsepsi negara maritime, secara harfiah
dipahami sebagai wilayah yang berjarak dan dihubungan oleh

2
lautan (Zuhdi, 2020). Dalam sejarah Indonesia modern, maka
pemikiran tentang negara maritime Indonesia pertama kali
diusulkan oleh Ir. Djuanda pada 13 Desember 1957 dengan
menegaskannya dalam argumentasi berikut (Martini, 2017):
“Seluruh wilayah perairan yang ada disekitar dan yang
menghubungkan pulau-pulau atau bagian pulau yang termasuk
dalam wilayah Indonesia, adalah bagian yang tidak dapat
dipisahkan dari daratan Indonesia dan secara mutlak berada
didalam penguasaan Indonesia. Dalam hal ini, negara lain boleh
menggunakannya sebagai sarana lalu lintas dan akan dijamin
keamanannya sejauh tidak bertentangan dan atau berbahaya bagi
kedaulatan negara”
Pemikiran Ir. Djuanda tentang negara maritim Indonesia,
menjadi bukti yang valid tentang perbedaan negara kepulauan dan
negara maritim. Dalam hal ini, negara kepulauan adalah kesatuan
politik yang tersusun atas beberapa wilayah kepulauan dan negara
maritim adalah suatu kesatuan politik yang memanfaatkan wilayah
kelautan secara maksimal (Limbong, 2015). Pada masa kerajaan
Sriwijaya, maka konsep yang dipergunakan adalah konsep negara
kedatuan. Kerajaan Sriwijaya sendiri eksis dari tahun 400 hingga
1.400 Masehi. Ciri-ciri kesejahteraan dan kemakmuran kerajaan
Sriwijaya, dalam hal ini ditegaskan dalam marvuat vanua
criwijaya siddhayata subhiksu. Adapun beberapa ciri-ciri dari
kerajaan Sriwijaya, adalah sebagai berikut:
a. Mengetengahkan kekuatan armada laut
b. Menguasai Selat Sunda pada 686 Masehi dan 775 Masehi
c. Sangat dihormati diwilayah kawasan Asia Selatan
d. Memiliki kemajuan dalam pendidikan agama Buddha dan
bahkan telah mendirikan universitas (pusat) pendidikan
Buddha.

3
Perkembangan yang terjadi pada masa kerajaan Sriwijaya,
dalam hal ini juga terbentuk melalui realitas sejarah yang mampu
untuk dicatatkan. Dimana pemerintahan kerajaan Sriwijaya
memiliki mekanisme yang baik, dengan ciri khas sistem keprabuan.
Kerajaan Sriwijaya juga memiliki perekonomian yang baik, jika
dibandingkan dengan kerajaan-kerajaan lain yang ada di Indonesia.
2. Zaman Majapahit
Selain memiliki kerajaan Sriwijaya, Nusantara pada zaman
dahulu juga memiliki kerajaan Majapahit sebagai salah satu
kerajaan masa lalu yang wilayah kekuasaannya melebihi wilayah
negara saat ini. Kerajaan Majapahit menjadi salah satu kerajaan
termasyhur, terutama dalam konteks sejarah peradaban bangsa
Jawa. Namun sebelum berkembang pesat, pastinya Indonesia atau
Nusantara pada masa itu juga tetap memiliki beberapa kerajaan
masa lalu yang terbilang cukup berperan besar dalam
perkembangan Indonesia. Sejarah kebudayaan masyarakat Jawa
mencatat, bahwa sebelum ada Majapahit ada beberapa kerajaan
lain yang tumbuh dan berkembang. Seperti kerajaan Kalingga pada
abad ke VII dan kerajaan Sanjaya pada abad VIII di Jawa Tengah.
Sedangkan Jawa Timur mencatat ada kerajaan Isana yang berdiri
pada abad IX, kerajaan Darmawangsa pada abad X, kerajaan
Airlangga abad XI, dan kerajaan Singasari pada abad XIII.
Kerajaan Majapahit secara historikal, berdiri tepat pada tahun
1293 dan memiliki seorang raja terkenal yang disebut dengan
Hayam Wuruk (Vlekke, 1961). Pamor Hayam Wuruk sebagai raja
kerajaan Majapahit, didukung atas keberhasilannya dalam
membangun dan membawa kerajaan tersebut pada masa kejayaan.
Kejayaan yang didapatkan oleh Hayam Wuruk, dalam hal ini
tentunya tidak dapat dilepaskan dari sumbangsih peran patih
Gadjah Mada dan Laksamana Nala. Kerajaan Majapahit secara
sejarah, memiliki berbagai macam sumbangsih besar terhadap

4
kemajuan negara Indonesia. Karena pada masa inilah istilah
Pancasila, secara pertama kali ditulis oleh Mpu Prapancca dalam
kitab Negarakertagama. Sedangkan semboyan Bhinneka Tunggal
Ika yang sekarang menjadi semboyan utama negara, merupakan
hasil mahakarya Mpu Tantular dalam kitab Sutasoma.
Sumbangsih yang diberikan oleh Majapahit terhadap kondisi
perkembangan yang terjadi, dalam hal ini tentunya juga meliputi
semangat menyatukan nusantara. Sebagaimana yang pernah
ditegaskan oleh Gadjah Mada dalam sumpah amukti palapanya.
Dimana dia bercita-cita untuk menyatukan seluruh nusantara
dibawah naungan panji besar kerajaan Majapahit.
3. Masa Penjajahan Bangsa Eropa
Penjajahan bangsa Eropa adalah suatu catatan sejarah yang
tidak dapat diabaikan kehadirannya dalam realitas kebangsaan
Indonesia pada masa ini. Dimana bangsa Eropa banyak datang ke
Indonesia, dengan alasan untuk mencari rempah-rempah.
Kedatangan bangsa Eropa ke Indonesia dalam hal ini, kemudian
terus mengalami jumlah atau eskalasi peningkatan yang cukup
signifikan. Bangsa Eropa yang datang ke Indonesia, mulai
mendasarkannya pada semangat 3G (Gold, Glory, and Gospel)
(Kristina, 2023). Semangat 3G yang didengungkan terus menerus,
pada akhirnya mengubah haluan bangsa Eropa yang datang ke
Indonesia.
Bangsa pertama yang datang kedaratan Nusantara, adalah
Bangsa Portugis. Kedatangan bangsa Portugis dalam hal ini, tidak
terlalu banyak mendapatkan catatan sejarah. Karena bangsa
Portugis hanya datang dibeberapa bagian wilayah Nusantara saja.
Spanyol adalah bangsa Eropa kedua yang datang ke Indonesia.
Kedatangan Spanyol di Indonesia, dalam hal ini tentunya juga
sama dengan yang dilakukan oleh Portugis. Sebagamana
pendahulunya, Spanyol dalam hal ini juga tidak mendapatkan

5
pengaruh yang luas dan mendalam atas sejarah nasional di
Indonesia.
Bangsa Eropa yang banyak pengaruhnya di Indonesia, adalah
bangsa Belanda. Belanda secara konsisten menjadi negara Eropa,
yang menyumbangkan banyak catatan sejarah dalam peradaban
nasional Indonesia. Banyaknya pedagang Belanda yang melakukan
pelayaran ke Indonesia, dalam perjalanannya menimbulkan konflik
antar pedagang Belanda. Kondisi yang demikianlah, yang pada
akhirnya mendorong pemerintah kolonial Belanda untuk
mendirikan suatu persekutuan atau perkumpulan yang bertujuan
menghindari sengketa perdagangan antar pedagang Belanda. Hal
inilah yang kemudian melatarbelakangi pembentukan Vereenigde
Oost Indische Compagnie (VOC), yang berwenang sebagai
pedagang sekaligus lembaga pemerintah Belanda (Djokosoetono,
1995).
Sebagai persekutuan dagang yang dibentuk oleh Pemerintah
Belanda, VOC berwenang untuk menerapkan aturan dagang di
daerah yang ditujunya (Ali M. , 2011). Dalam konteks sejarah
peradaban bangsa Indonesia, VOC telah memberlakukan hukum
dagang di Indonesia yang kemudian mereka kodifikasikan dalam
Interimaire Strafbepalingen pada tahun 1848 dan menjadi hukum
pidana pertama yang dituliskan dan hanya berlaku pada orang
Eropa. Meskipun telah berhasil mengeluarkan Interimaire
Strafbepalingen, pemerintah koloniak Belanda terus berupaya
untuk melakukan kodifikasi dan unifikasi hukum pidana. Usaha ini
kemudian membuahkan hasil, karena pada 10 Februari 1866
Belanda berhasil mengundangkan koninklijk besluitn yang berjudul
wetboek van strafrech voor nederlandsch indie (wetboek voor de
europeanen) (Jaya, 2015). Dalam perjalanannya, hukum pidana
kemudian juga diterapkan secara umum kepada masyarakat
Indonesia dalam naungan sistem peradilan Belanda yang

6
mengesampingkan sistem peradilan lokal (Salman, 1992).
Kebijakan pemerintah colonial Belanda yang menerapkan
hukumnya pada tanah jajahan, bahkan diabadikan oleh Jonkers
dalam karyanya yang berjudul “Het Nederlandsch-Indische
Strafstelsel” (Prodjodikoro, 1986).
B. Pengertian Filsafat
Definisi paling sederhana mengenai filsafat hukum dapat dilihat dari
definisi dua kata penyusun, yaitu filsafat dan hukum. Secara etimologi,
kata filsafat berasal dari Bahasa Yunani, yaitu philos atau philia dan
sophos atau shopia. Philos berarti cinta, persahabatan, sedangkan shopos
berarti hikmah, kebijaksanaan, pengetahuan, dan intelegensia. Sehingga
dengan demikian, filsafat dapat dimaknai sebagai cinta akan pengetahuan
ataupun cinta akan kebijaksanaan (Adhitya, 2020). Filsafat dalam
pemahaman yang konkret, dapat dipahami sebagai suatu proses untuk
mencari pemahaman yang sempurna dan didasarkan pada kebijaksanaan
(Anwar, 2015). Filsafat menjadi bagian penting dari hukum. Konsepsi ini
sejalan dengan pandangan Bruggink, yang menyatakan bahwa substasi
penting dalam ilmu hukum adalah filsafat hukum (“de rechtsfilosofie is de
moeder van alle juridische disciplines”) (Bruggink, 1993).
C. Pancasila Sebagai Sistem Filsafat
Pancasila adalah ideologi dasar negara Indonesia, sebagaimana yang
kemudian telah ditegaskan dalam berbagai macam teori doktrinasi dasar
bangsa. Kedudukan Pancasila sebagai nilai dasar kebangsaan Indonesia,
bahkan telah secara spesifik ditegaskan dalam Pasal 2 Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 2004 Tentang Pembuatan Peraturan Perundang-
Undangan sebagaimana yang telah diubah menjadi Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
Undangan. Dalam hal ini, Pasal itu menegaskan bahwa Pancasila
merupakan sumber dari segala sumber hukum negara. Dalam penjelasan
Pasal 2 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-Undangan, dijelaskan bahwa penempatan Pancasila

7
sebagai sumber dari segala sumber hukum negara adalah sesuai dengan
Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 yang menempatkan Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara serta
sekaligus dasar filosofis bangsa dan negara sehingga setiap Materi Muatan
Peraturan Perundang-undangan tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai
yang terkandung dalam Pancasila.
Dengan demikian, maka dapat dipahami bahwa Pancasila adalah
unsur pertama dan utama bagi sistem peraturan perundang-undangan
nasional. Dalam konteks ini, maka sistem hukum nasional Indonesia
seharusnya adalah sistem hukum Pancasilais. Artinya sistem hukum
nasional Indonesia tidak terpaku pada salah satu sistem hukum dunia,
melainkan berdiri diatas kaki sendiri dengan mendasarkan dirinya kepada
Pancasila. Namun konsep yang demikian, sejauh ini masih sangat jauh dan
bahkan ceenderung tidak dipahami secara konkret oleh masyarakat
Indonesia. Karena hingga saat ini, masih banyak masyarakat Indonesia,
yang menegasikan bahwa sistem hukum nasional berkiblat pada sistem
hukum Eropa continental (civil law).
Konsepsi atau paradigma yang demikian, merupakan pemikiran yang
berdasarkan catatan sejarah Bangsa Indonesia. Sebagaimana yang kita
pahami bersama, bahwa Bangsa Indonesia dijajah oleh beberapa Bangsa
Eropa. Catatan sejarah yang demikianlah, yang kemudian dijadikan salah
satu konsep dasar tentang dianutnya sistem hukum Eropa continental (civil
law). Padahal pada faktanya, sistem hukum Indonesia adalah sistem
hukum prismatik. Dalam pandangan Prof. Mahfud MD, sistem hukum
prismatik adalah sistem hukum yang mengambil intisari kebaikan dari
sistem common law dan civil law dengan mendasarkan pola atau
konsepnya kepada Pancasila sebagai penyeimbang dan penyaring (Noho,
2020). Sederhananya sistem hukum nasional Indonesia, harus
mengandung nilai khas yang fundamental dan berasal dari pandangan dan
budaya bangsa Indonesia itu sendiri (MD, 2010).

8
DAFTAR PUSTAKA
Adhitya, S. A. (2020). Filsafat Hukum. Depok: PT. Raja Grafindo Persada.

Ahmad Ziruddin, K. R. (2023). Merawat Negara Hukum. Jakarta: Guepedia.

Ali, M. (2011). Dasar-Dasar Hukum Pidana. Jakarta: Sinar Grafika.

Ali, Z. (2006). Sosiologi Hukum. Jakarta: Sinar Grafika.

Ana Sopanah, d. (2020). Bunga Rampai Akuntansi Publik: Isu Kontemporer


Akuntansi Publik. Surabaya: Scopindo Media Pustaka.

Anwar, M. (2015). Filsafat Pendidikan. Jakarta: Kencana.

Apriwenni, J. T. (2017). Pengaruh Ukuran Perusahaan, Laba/Rugi Perusahaan,


Kompleksitas Operasi Perusahaan dan Reputasi Kapterhadap Audit Delay
Pada Perusahaan Pertambangan. Jurnal Akuntansi Vol. 10 No. 1, 4.

Asep Suryana, D. S. (2016). Pengaruh Atribut Agen Perubahan (Agent of Change)


Pendamping Program Keluarga Harapan (PPKH) terhadap Perubahan
Sikap Rumah Tangga Sangat Miskin (RTSM) Peserta Program Keluarga
Harapan (PKH) di Kabupaten Bandung. Jurnal Manajemen Komunikasi
Vol. 1 No. 1, 12.

Bawazir, T. (2015). Jalan Tengah Demokrasi. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.

Bruggink, J. (1993). Rechtsrefecties; Grondbegrippen uit de rechtstheorie.


Kluwer: Deventer.

Deepublish, P. (2023, 10 1). Deepublish. Retrieved from Deepublish:


https://www.google.co.id/amp/s/penerbitbukudeepublish.com/v/s/penerbit
bukudeepublish.com/per

Djokosoetono, S. d. (1995). Sejarah Politik Hukum Adat. Jakarta: Djambatan.

9
Firdaus, D. R. (2023, 10 2). Pentingnya Sejarah Bagi Generasi Muda. Retrieved
from Osf.io: https://osf.io/z8fgv/download

Hadjam, H. K. (2017). Dinamika Kontrol Sosial Keluarga dan Teman Sebaya


pada Remaja Beresiko Penyalahgunaan NAPZA. Gadjah Mada Journal of
Psychology Vol. 3 No. 2, 73.

Hartati, I. N. (2019). Metodologi Penelitian Sosial. Surabaya: Penerbit Media


Sahabat Cendekia.

Jaya, I. B. (2015). Hukum Pidana Materiil dan Formil: Pengantar Hukum


Pidana. Jakarta: USAID - The Asia Foundation - Kemitraan Partnership.

Johan, T. S. (2018). Perkembangan Ilmu Negara Dalam Peradaban Globalisasi


Dunia. Yogyakarta: Deepublish.

Karsidi, R. (2005). Sosiologi Pendidikan. Surakarta: Lembaga Pengembangan


Pendidikan (LPP) UNS dan UPT Penerbitan dan Pencetakan UNS (UNS
Press).

Kristina. (2023, 10 22). Detikpedia. Retrieved from Detik.com:


https://www.detik.com/edu/detikpedia/d-5849778/3-slogan-ini-jadi-
motivasi-datangnya-bangsa-eropa-ke-dunia-timur-apa-itu

Liliweri, A. (2018). Pengantar Studi Kebudayaan. Bandung: Nusa Media.

Limbong, B. (2015). Poros Maritim. Jakarta: Margaretha Pustaka.

Martini, L. (2017). Implementasi Keamanan Maritim di Wilayah Alur Laut


Kepulauan Indonesia Berdasarkan UNCLOS 1982 Menuju Indonesia
Sebagai Negara Maritim. Yogyakarta: Skripsi Fakultas Hukum
Universitas Islam Indonesia.

MD, M. M. (2010). Politik Hukum di Indonesia. Jakarta: PT. Raja Grafindo


Persada.

Noho, M. D. (2020). Mendudukkan Common Law System dan Civil Law System
Melalui Sudut Pandang Hukum Progresif di Indonesia. Jurnal

10
Rechtsvinding, 1.

Pieris, J. (2004). Tragedi Maluku: Sebuah Krisis Peradaban-Analisis Kritis


Aspek: Ekonomi, Sosial-Budaya, dan Keamanan. Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia.

Prodjodikoro, W. (1986). Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia. Bandung: PT.


Eresco.

Rahayu, A. P. (2019). Model dan Strategi Tata Kelola Perguruan Tinggi Berdaya
Saing. Yogyakarta: Deepublish.

Rahman, T. (2018). Aplikasi Model-Model Pembelajaran Dalam Penelitian


Tindakan Kelas. Semarang: CV. Pilar Nusantara.

Rukin. (2019). Metodologi Penelitian Kualitatif. Sulawesi Selatan: Yayasan


Ahmar Cendekia Indonesia.

Rusman, A. d. (2020). Classroom Action Research: Pengembangan Kompetensi


Guru. Purwokerto: CV. Pena Persada.

Rusni, I. P. (2019). Tri Dharma Perguruan Tinggi Menjawab Tantangan


Globalisasi. Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Program Pendidikan
Pascasarjana Universitas PGRI Palembang (p. 87). Palembang :
Universitas PGRI Palembang.

Salman, R. O. (1992). Pelaksanaan Hukum Waris di Daerah Cirebon, Dilihat


Dari Hukum Waris Adat dan Hukum Waris Islam. Bandung: Disertasi
Doktor Ilmu Hukum Universitas Padjajaran.

Setiyoko, A. (2018). PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN BERBASIS


NEUROSAINS DALAM PEMBENTUKAN KARAKTER BERPIKIR
KREATIF DAN KERJASAMA. Jurnal Inspirasi Vol. 2 No. 2, 168.

Soekarno. (2016). Dibawah Bendera Revolusi Jilid I. Jakarta: Banana Books.

Sutinah, B. S. (2013). Model Penelitian Sosial Berbagai Alternatif Pendekatan.


Jakarta: Kencana.

11
Tukiran, M. (2020). Filsafat Manajemen Pendidikan. Sleman: PT. Kanisius.

Vlekke, B. H. (1961). Nusantara: Sejarah Indonesia. Jakarta: Gramedia.

Wahyudhi, M. D. (2014). Ilmu Sejarah: Sebuah Pengantar. Jakarta: Kencana.

Zuhdi, S. (2020). Budaya Bahari Sebagai Modal Membangun Negara Maritim


Indonesia. Jurnal Maritim Indonesia, 129-130.

12

Anda mungkin juga menyukai