Anda di halaman 1dari 9

facebook.

com

SEJARAH UCAPAN AMIN DAN AMEEN SETIAP


AGAMA MENGUCAPKAN,,MAAF SEKEDAR
BERBAGI ILMU..

12-15 menit

Perintah untuk menyebut amin di akhir doa tidak akan ditemukan di


dalam al-Qur’an. Alih-alih menyebut amin, Kitab yang dibawa oleh
Nabi Muhammad itu memaparkan kepada kita sebuah penutup doa
para ahli surga. Penutup doa mereka yang telah berada di dalam
keridhaan Allah itu adalah Alhamdulillahirabbil ‘aalamiin.

“…Dan akhir seruan mereka: ‘Segala puji bagi Allah, Pemelihara


semesta alam’.” (Q.S. 10:10)

Begitu pula dengan ucapan para malaikat, tidak ada keterangan al-
Qur’an yang mengkonfirmasikan bahwa para malaikat mengucapkan
amin. Kalimat yang diucapkan oleh para malaikat di sisi Allah tidak
lain dari Alhamdulillahirabbil ‘aalamiin juga.

”Dan kamu akan melihat para malaikat mengelilingi Arasy


dengan melafaz sanjungan Rabb mereka; dan dengan adil
perkara diputuskan antara mereka; dan
dikatakan, ’Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam’.” (Q.S. 39:75)

Menilik tradisi agama-agama yang sudah lebih dulu ada, sahutan


amin/amen yang diajarkan oleh Abu Hurairah ini menemukan
pijakannya di dalam Bible.
Lalu Ezra memuji TUHAN, Allah yang maha besar, dan semua orang
menyambut dengan: “Amin, amin!”, … (Neh. 8:7)

Bila Anda pernah mendengar pengucapan amen/amin dalam acara


kebaktian gereja dan lalu
membandingkannya dengan pengucapan amin dalam shalat
berjamaah, memang terasa kesamaan gaya pengucapannya. Kata
amin/amen disuarakan dengan nada yang khas secara serempak
sehingga menimbulkan gema yang cukup dalam dan panjang.

Catholic Encyclopedia vol. 1 1907 menyebutkan bahwa kata


amen/amin sebagaimana yang digunakan pada acara kebaktian di
gereja adalah berasal dari bahasa Ibrani (Yahudi).

“The word Amen is one of a small number of Hebrew words which


have been imported unchanged into the liturgy of the Church ... 'So
frequent was this Hebrew
word in the mouth of Our Saviour', observes the catechism of the
Council of Trent, "that it pleased the Holy Ghost to have it
perpetuated in the Church of God.”

Amen, atau yang oleh orang Arab dan Melayu disebut amin, secara
harfiah berarti “dipercaya”. Dalam penggunaannya kemudian, kata
amen/amin digunakan untuk mengekspresikan harapan terkabulnya
permintaan. Ekspresi tersebut sama dengan ungkapan “mudah-
mudahan”.

Dengan berpatokan pada makna ungkapan amen/amin yang kurang


lebih diartikan “mudah-mudahan”, umat Islam tidak merasa ada
masalah untuk
mengucapkannya meskipun ia tidak diajarkan di dalam al-Qur’an.
Berhubung sebutan amen/amin yang tidak pernah diajarkan Allah ini
biasa dipergunakan di dalam shalat maupun doa, maka saya
mengajak Anda untuk bersikap lebih kritis dan berhati-hati dalam
persoalan ini. Benarkah amen/amin hanya sebuah ungkapan yang
berarti mudah-mudahan?

Bila kita mengecek Bible, maka akan kita temukan bahwa


sesungguhnya amen/amin bukanlah sekadar sebuah ungkapan.
Amen/amin adalah sebuah nama!

“Dan tuliskanlah kepada malaikat jemaat di Laodikia: Inilah firman


dari Amin, Saksi yang setia dan benar, permulaan dari ciptaan
Allah” (Why. 3:14)

Salah satu himne yang populer di kalangan umat


Kristen–disadari atau tidak—juga dengan jelas telah
memperlakukan amen/amin sebagai sebuah nama.

“We ask this in Thy Name, Amen”

“We praise Thy Name, Amen”

“We ask this in the Name which is above every Name, Amen”

“Praise the Lord" - with the communal response: Amen”

Nama amen/amin sebagaimana yang digemakan oleh umat Islam,


Kristen, dan Yahudi di mesjid-mesjid, gereja gereja, dan sinagog-
sinagog identik dengan ungkapan Aum (dibaca: Om) yang digunakan
oleh umat Hindu dan Budha di dalam doa dan peribadatan mereka.

Di dalam Maitri Upanishad dikatakan bahwa Aum adalah suara


pertama di alam semesta. Pernyataan di dalam Maitri Upanishad
tersebut sejalan dengan pasal Bible
yang mengatakan bahwa yang pertama ada adalah “kata”.

“Pada mulanya adalah Firman; Firman itu bersama-sama dengan


Allah dan Firman itu adalah Allah.” (Yoh. 1:1)

Pada terjemahan Bible berbahasa Inggris versi King James, frasa


“pada mulanya adalah Firman” pada pasal di atas berbunyi “In the
beginning was the Word”. Pada mulanya adalah kata.

Sebagaimana yang telah diinformasikan oleh Bible bab Wahyu pasal


3:14, “kata” yang diklaim sebagai permulaan ciptaan Tuhan bahkan
sebagai Tuhan itu sendiri adalah amen/amin/aum.

Kita sudah mengetahui bahwa amen/amin/aum adalah sebuah


nama. Tapi, nama siapa?

Columbia Encyclopedia, 6th Edition 2001


menginformasikan bahwa Amen adalah salah satu trinitas dewa
berhala bangsa Mesir kuno. Amen sempat menjadi dewa paling
berkuasa di Mesir dan kedudukannya diidentikkan dengan dewa Zeus
bangsa Yunani.

“Amon or Amen, Egyptian deity. He was originally the chief god of


Thebes; he and his wife Mut and their son Khensu were the divine
Theban triad of deities. Amon grew increasingly important in Egypt,
and eventually he (identified as Amon Ra; see Ra) became the
supreme deity. He was identified with the Greek Zeus (the Roman
Jupiter). Amon's most celebrated shrine was at Siwa in the Libyan
desert; the oracle of Siwa later rivaled those of Delphi and Dodona.
He is frequently represented as a ram or as a human with a ram's
head.”
Proses penyerapan nama berhala Mesir kuno ke dalam bahasa
Ibrani (Yahudi) tentunya berlangsung ketika bangsa Yahudi menjadi
budak raja-raja Mesir pada era dinasti ke XVIII dan dinasti ke XIX
“Kerajaan Baru” sekitar tahun 1570 SM sampai dengan 1225 SM.
Pada periode itu dewa utama bangsa Mesir adalah Amen, yang
kemudian seiring dengan pengaruhnya yang semakin besar digelari
sebagai dewa matahari (“Ra”).

Merujuk kepada al-Qur’an, kita mengetahui bahwa raja raja Mesir


(para Firaun) memang menanamkan keyakinan bahwa diri mereka
adalah Tuhan. Tidak mengherankan kalau kemudian kita mendapati
adanya upaya untuk memposisikan amen/amin/aum ini sebagai
entitas “Tuhan” dengan misalnya menganggap bahwa ia adalah awal
mula segala sesuatu.

”Dan Firaun berkata, ’Wahai pembesar-pembesar, aku tidak


mengetahui bahwa kamu mempunyai Tuhan selain dari aku’!” (Q.S.
28:38)

Meskipun pada akhirnya kaum Yahudi dibebaskan di bawah


pimpinan Nabi Musa, kecenderungan mereka pada patung
berhala masih sangat kental.
Kecenderungan tersebut menjelaskan mengapa nama berhala
Mesir masih tetap lekat pada lisan mereka.

”Dan Kami bawa Bani Israil menyeberangi laut, dan mereka datang
kepada satu kaum yang bertekun pada patung-patung yang mereka
punyai. Berkata, "Wahai Musa, buatkanlah untuk kami satu tuhan
seperti tuhan tuhan yang mereka punyai." Berkatalah dia (Musa),
’Sesungguhnya kamu adalah kaum yang bodoh’.” (Q.S. 7:138)

“Catholic Encyclopedia vol. 1 1907” yang tadi telah kita


kutip menguraikan pula keterkaitan antara kata amen/amin yang
biasa digaungkan oleh umat Islam, Kristen, dan Yahudi, dengan
mantra-mantra magis bangsa Mesir. Tentunya ini bukan semata
kebetulan.

“Finally, we may note that the word Amen occurs not infrequently in
early Christian inscriptions, and that it was often introduced into
anathemas and gnostic spells. Moreover, as the Greek letters which
form Amen according to their numerical values total 99 (alpha=1,
mu=40, epsilon=8, nu=50), this number often appears in inscriptions,
especially of Egyptian origin, and a sort of magical efficacy seems to
have been attributed to this symbol. It should be mentioned that the
word Amen is still employed in the ritual both of Jews and
Mohammedans.”

Aum (dibaca: Om) secara umum juga dikenal sebagai sebuah


mantra agung yang digemakan berulang-ulang dalam laku spiritual.

“Let him recite the Gayatri Mantra prefixed with the mystic syllable
Om, the mother of all the Vedic mantras” (Garuda Purana)

Mereka yang menolak adanya keterkaitan antara ucapan amen/amin


dengan Amen si dewa berhala beralasan bahwa secara semantik
ucapan amen/amin memiliki arti tersendiri yaitu “dipercaya”.
Tambahan lagi, mereka mengklaim tidak pernah punya ‘nawaitu’ untuk
menyeru patung batu yang berdiri di kuil Karnak Mesir tersebut dalam
doa dan ibadahnya.

Kali ini saya mengajak Anda mencermati ayat-ayat al Qur’an yang


menguraikan tentang “sesuatu yang diseru selain Allah”, dan
kemudian membandingkannya dengan
hipotesis yang menyatakan bahwa seruan amen/amin ditujukan
kepada berhala.

Pertama, sesuatu yang diseru selain Allah itu tidak akan pernah
menyahuti. “Dan siapakah yang lebih sesat dari orang yang menyeru
selain dari Allah, yang tidak akan menyahutinya hingga Hari Kiamat...”
(Q.S. 46:5)
Ke dua, mereka yang menyeru kepada sesuatu selain Allah itu tidak
menyadari apa yang sesungguhnya mereka seru. “…dan mereka, lalai
pada seruan mereka?” (Q.S. 46:5)

Ke tiga, sesuatu yang diseru selain Allah itu berkemungkinan diseru


beserta nama Allah. ”Dan janganlah menyeru tuhan yang lain
berserta Allah; tidak ada Tuhan selain Dia...” (Q.S. 28:88)

Ke empat, sesuatu yang diseru selain Allah itu berkemungkinan


diseru pula di mesjid-mesjid. “Bahwasanya masjid-masjid adalah
kepunyaan Allah, maka janganlah menyeru kepada selain Allah di
dalamnya” (Q.S. 72:18)

Kata-kata “menyeru/seruan” pada redaksional ayat-ayat di atas adalah


terjemahan dari kata bahasa Arab “tad’u/yad’u” yang masih satu akar
dengan kata doa. Terjemahan tersebut lebih tepat bila dibandingkan
dengan kata “menyembah” sebagaimana yang umumnya kita
temukan pada terjemahan al-Qur’an bahasa Indonesia.

Sekarang Anda perhatikan empat pernyataan mengenai “sesuatu


yang diseru selain Allah” di atas satu persatu. Kesemuanya sesuai
dengan praktik penyebutan amen/amin dalam kehidupan sehari-hari.
(1)Patung amen/amin tidak akan pernah menyahuti orang-orang yang
siang malam memanggilinya; (2)orang-orang yang memanggil
amen/amin tidak sadar kalau yang mereka seru itu adalah sebuah
patung batu; (3)amen/amin diseru beserta nama Allah (Allah di awal
doa, amen/amin di akhir doa); (4)amen/amin diseru pula di dalam
mesjid-mesjid secara teratur setiap hari.

Adanya makna kamus “dipercaya/mudah-mudahan” untuk kata


amen/amin ternyata tidak melemahkan hipotesis bahwa seruan
amen/amin adalah ditujukan kepada berhala. Malahan keberadaan
makna kamus tersebut menjadi salah satu faktor yang melalaikan
para penyeru amen/amin dari menyadari apa yang sesungguhnya
mereka seru.

Malangnya, ketiadaan niat tidak dapat menjadi tameng pembenaran


di hadapan Allah. Silakan baca kembali surat 46:5 di atas, Allah tetap
mencap “sesat” meskipun si penyeru tidak menyadari (lalai)
terhadap seruannya.

Konsekuensi Musyrik

Apakah setelah ini Anda masih akan terus bertekun dengan seruan
amen/amin atau tidak adalah sepenuhnya pilihan Anda. Namun saya
hanya ingin mengingatkan bahwa menyeru sesuatu selain Allah akan
menjatuhkan pelakunya kepada kemusyrikan. Sebuah dosa yang tidak
akan diampuni oleh Allah.

“Katakanlah, ’Adakah kamu memikirkan sekutu-sekutu yang kamu


seru selain dari Allah? Perlihatkanlah kepadaku apa yang mereka
ciptakan di bumi; atau adakah bagi mereka satu sekutu di langit?’...”
(Q.S. 35:40)
Tidak saja di dalam al-Qur’an, Bible juga mengingatkan hal yang
sama untuk menjadi kepedulian bagi umat Kristen yang ingin
memurnikan ketaatannya kepada Allah.

Dalam segala hal yang Kufirmankan kepadamu haruslah kamu


berawas-awas; nama allah lain janganlah kamu panggil, janganlah
nama itu kedengaran dari mulutmu. (Kel. 23:13)
Tersembunyi

Teks-teks peninggalan Mesir kuno menuliskan bahwa makna


nama Amen diidentikkan dengan
“tersembunyi”/”tidak terlihat”. Dalam himne pemujaan kepada dewa
Amen dikatakan bahwa dia “tersembunyi dari anak-anaknya”, serta
“tersembunyi dari dewa-dewa dan manusia”.

Rupanya tekad Amen untuk menobatkan dirinya sebagai “dewa yang


tersembunyi” cukup berhasil. Ribuan tahun umat dari agama-agama
besar dunia memanggil manggil namanya tanpa pernah mereka
sadari. Amen dengan sangat rapi tersembunyi di balik lembaran
lembaran doktrin agama sebagaimana virus komputer membenam di
dalam sirkuit hard disk.

Tersanjunglah Allah yang telah menurunkan al-Qur’an sebagai


petunjuk bagi manusia dan menjaganya dari segala bentuk
penyimpangan. Mereka yang berpegang teguh hanya kepada al-
Qur’an akan terhindar dari menyeru amen/amin karena hal demikian
memang tidak pernah diajarkan di dalamnya.

Umat Islam yang menyeru amen/amin hanyalah mereka yang


meninggalkan al-Qur’an dan menggantinya dengan
kitab hadits. Kitab yang tidak dikenal oleh Nabi Muhammad, maupun
oleh tujuh generasi awal umat Islam.“…Dan akhir seruan mereka:
‘Segala puji bagi Allah, Pemelihara semesta alam’.” (Q.S.
10:10)SALAM.......

Anda mungkin juga menyukai