Anda di halaman 1dari 11

KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang atas
kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayah-Nya sehingga penulis dapat
menyelesaikan makalah yang berjudul Sejarah Perkembangan Bahasa Indonesia sebagai tugas mata
kuliah Bahasa Indonesia
Makalah ini telah penulis susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan dari berbagai
pihak sehingga dapat mempelancar pembuatan makalah ini. Untuk itu penulis meyampaikan
terimakasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam pembuatan makalah ini.
Terlepas dari itu semua, penulis menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan baik
dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu, dengan tangan terbuka penulis
menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar dapat memperbaiki makalah ini.
Akhir kata penulis berharap semoga makalah ini dapat memberikan mafaat maupun inspirasi
terhadap pembaca.

Medan, November 2017

Penulis
BAB I
PENDAHULUAN

1. LATAR BELAKANG
Bahasa merupakan suatu alat komunikasi yang disampaikan seseorang kepada orang lain
agar bisa mengetahui apa yang menjadi maksud dan tujuannya. Pentingnya bahasa sebagai identitas
manusia, tidak bisa dilepaskan dari adanya pengakuan manusia terhadap pamakain bahsa dalam
kehidupan sehari-hari. Dengan bahasa, manusia dapat mengungkapkan apa yang ada dibenak
mereka.
Bahasa adalah suatu sistem lambang berupa bunyi, bersifat arbitrer, digunakan oleh suatu
masyarakat tutur untuk bekerja sama, berkomunikasi dan untuk mengidentifikasi diri (Gorys Keraf
dan Abdul Chaer). Di Indonesia terdapat beragam daerah yang mewakili banyaknya suku-suku
bangsa atau etnis.
Setelah kemerdekaan, bahasa Indonesia ditetapkan sebagai bahasa nasional. Bahasa
Indonesia dahulu dikenal dengan bahasa melayu yang merupakan bahasa penghubung (lingua
franca) antar etnis yang mendiami kepulauan nusantara. Selain menjadi bahasa penghubung antara
suku-suku, bahasa Melayu juga menjadi bahasa transaksi perdagangan Iinternasional di kepulauan
nusantara.
Pada tahun 1928 bahasa Melayu mengalami perkembangan yang luar biasa. Pada tahun
tersebut para tokoh pemuda dari berbagai latar belakang suku dan kebudayaan menetapkan bahasa
Indonesia sebagai bahasa persatuan Indonesia, keputusan ini dicetuskan melalui sumpah pemuda.
Dan setelah kemerdekaan Republik Indonesia pada tangga 18 Agustus 1945 bahasa Indonesia
diakui secara Yuridis.

2. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang masalah diatas, dapat dirumuskan masalah yang akan dibahas
sebagai berikut:
a. Bagaimana sejarah bahasa Indonesia pada zaman pra kemerdekaan?
b. Bagaimana perkembangan bahasa Indonesia pada zaman kemerdekaan?
c. Bagaimana perkembangan bahasa Indonesia pada zaman reformasi?
d. Bagaimana politik bahasa nasional di Indonesia?

3. TUJUAN PENULISAN
Berdasarkan rumusan masalah diatas maka tujuan penulisan makalah ini adalah sebagai
berikut :
a. Mengetahui sejarah bahasa Indonesia pada zaman pra kemerdekaan.
b. Mengetahui perkembangan bahasa Indonesia pada zaman kemerdekaan.
c. Mengetahui perkembangan bahasa Indonesia pada zaman reformasi.
Selain itu, tujuan utama dari penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas mata
kuliah Bahasa Indonesia
BAB II
PEMBAHASAN

A. Sejarah Perkembangan Bahasa Indonesia pada Zaman Pra Kemerdekaan


Bahasa Indonesia berasal dari bahasa Melayu. Penerimaan tersebut tidak terjadi begitu saja,
ada beberapa tahapan proses penerimaan itu sehingga membutuhkan waktu yang lama. Tahapannya
meliputi :
1. Masa Pra-1928
Bila dilihat dari sudut pandang sejarah, bahasa Melayu merupakan bahasa perhubungan atau
komunikasi sejak abad VII yaitu masa awal bangkitnya kerajaan Sriwijaya. Pada masanya kerajaan
Sriwijaya menjadi pusat kebudayaan, perdagangan, tempat orang belajar filsafat, dan pusat
keagamaan (Budha) dengan menggunakan bahasa perhubungannya yaitu bahasa Melayu.
Berdasarkan catatan sejarah, bahasa Melayu tidak saja berfungsi sebagai bahasa
perhubungan. Namun, juga digunakan sebagai bahasa pengantar, bahasa resmi, bahasa agama, dan
bahasa dalam penyampaian ilmu pengetahuan. Sebagai bahasa pengantar dan alat untuk
menyampaikan ilmu pengetahuan, bahasa melayu digunakan pada perguruan tinggi “Dharma
Phala”. Selain itu, bahasa melayu juga digunakan sebagai bahasa penerjemah buku-buku
keaagamaan misalnya buku keagaaman yang diterjemahkan ke bahasa Melayu oleh I Tsing. Bukti
lain adalah dengan ditemukannya berbagai prasasti yang menggunakan bahasa Melayu. Prasasti-
prasasti tersebut antara lain:
a) Prasasti Kedukan Bukit di Palembang, tahun 683 M.
b) Prasasti Talang Tuo di Palembang, tahun 684 M.
c) Prasasti Kota Kapur di Bangka Barat, tahun 686 M.
d) Prasasti Karang Brahi antara Jambi dan Sungai Musi, tahun 688 M.
e) Inskripsi Gandasuli di Kedu, Jawa Tengah tahun 832 M.
f) Prasasti Bogor, di Bogor tahun 942 M.
Masuknya agama Islam ke kepulauan nusantara, membuat kedudukan bahasa Melayu
semakin penting. Para pembawa ajaran Islam memanfaatkan bahasa Melayu sebagai sarana
komunikasi. Di samping itu, pembawa ajaran Islam ikut memperkaya khasanah kosa kata dalam
bahasa Melayu. Abad XVIII, bangsa-bangsa Barat (Belanda) memasuki kepulauan Nusantara.
Dalam mendirikan lembaga pendidikan, pemerintah Belanda mengalami kegagalan sehingga
menyebabkan dikeluarkannya SK No. 104/1631 yang antara lain berisi “Pengajaran di sekolah-
sekolah bumi putera diberikan dalam bahasa Melayu”. Selain itu, juga tersusunnya Ejaan Van
Ophyusen (tahun 1901) yang merupakan ejaan resmi bahasa Melayu dan diterbitkan dalam Kitab
logat Melajoe. Buku ini disusun oleh Charles Andrianus van Ophuysen dengan dibantu oleh Soetan
Makmoer dan Mohammad Taib Soetan Ibrahim. Ciri-ciri dari ejaan ini yaitu:
a) Huruf j untuk menuliskan kata-kata jang, pajah, sajang, dsb.
b) Huruf oe untuk menuliskan kata-kata goeroe, itoe, oemoer, dsb.
c) Tanda diakritik, seperti koma ain dan tanda trema, untuk menuliskan kata-kata ma’moer,
’akal, ta’, pa’, dinamai’, dsb.
Perkembangan bahasa Melayu berikutnya, tampak pada masa kebangkitan pergerakan
bangsa Indonesia yang dimulai sejak berdirinya Boedi Oetomo (1908) yang telah menggunakan
bahasa Melayu sebagai alat bertukar informasi dan komunikasi antar pergerakan. Hal ini dianggap
penting dan perlu, karena dengan itu akan mudah dalam mencapai persatuan dan kesatuan dalam
rangka bernasional.
Pada tahun 1908 Pemerintah Belanda mendirikan sebuah badan penerbit buku-buku bacaan
yang diberi nama Commissie voor de Volkslectuur (Taman Bacaan Rakyat), yang kemudian pada
tahun 1917 diubah menjadi Balai Pustaka. Balai itu menerbitkan buku-buku novel seperti Siti
Nurbayadan Salah Asuhan, buku-buku penuntun bercocok tanam, penuntun memelihara kesehatan,
yang banyak membantu penyebaran bahasa Melayu di kalangan masyarakat luas.
Dalam Kongres II Jong Sumatera, diputuskan pemakaian bahasa Melayu sebagai bahasa
persatuan antar jong. Tindak lanjut dari keputusan tersebut adalah dengan menerbitkan surat kabar
Neratja, Bianglala dan Kaoem Moeda. Sebagai puncak keberadaan bahasa Melayu seperti yang
diuraikan di atas, maka pada tanggal 28 Oktober 1928 diselenggarakan Kongres Pemuda di Jakarta
oleh berbagai Jong. Salah satu hasil gemilang dari Kongres pemuda yaitu dengan dicetuskannya
ikrar Sumpah Pemuda. Sumpah Pemuda itu berisi:
(1) Kami putera dan puteri Indonesia, mengaku berbangsa yang satu bangsa Indonesia;
(2) Kami putera dan puteri Indonesia, mengaku bertanah air yang satu tanah air Indonesia;
(3) Kami putera dan puteri Indonesia, menjunjung bahasa persatuan bahasa Indonesia.

2. Masa Pasca-1928
Cetusan ikrar Sumpah Pemuda menunjukkan bahwa bahasa Melayu sudah berubah menjadi
bahasa Indonesia. Perkembangan berikutnya dapat dilihat dengan berdirinya Angkatan Pujangga
Baru tahun 1933. Para pelopornya antara lain: Sutan Takdir Alisjahbana, Armijn Pane, dan Amir
Hamzah. Angkatan ini tampil dengan tema: “Pembinaan bahasa dan kesusastraan Indonesia.”
Pada masa itu terjadi krisis terhadap keberadaan bahasa Indonesia. Kaum penjajah
(Belanda), berusaha mengganggu keberadaan bahasa Indonesia. Sehingga sejumlah pakar bahasa
Indonesia sepakat untuk mengadakan Kongres I Bahasa Indonesia yang dilaksanakan di Surakarta
(Solo) pada tanggal 25-28 Juni 1938. Sejumlah pakar yang ikut ambil bagian dalam kongres
tersebut antara lain: K. St Pamoentjak; Ki Hadjar Dewantoro; Sanoesi Pane; Sultan Takdir
Alisjahbana; Dr. Poerbatjaraka; Adinegoro; Soekrdjo Wirjopranoto; R. P. Soeroso; Mr. Moh.
Yamin; dan Mr. Amir Sjarifudin. Kongres ini membahas bidang-bidang peristilahan, ejaan, tata
bahasa, dan bahasa persuratkabaran.
Dari hasil kongres itu dapat disimpulkan bahwa usaha pembinaan dan pengembangan
bahasa Indonesia telah dilakukan secara sadar oleh cendekiawan dan budayawan Indonesia saat itu.
Kongres ini berarti pula sebagai cetusan kesadaran akan perlunya pembinaan yang lebih mantap
terhadap bahasa Indonesia.Pada masa Jepang berkuasa di Indonesia (1 Mei 1942), pemakaian
bahasa Indonesia ditetapkan sebagai bahasa perhubungan antar penduduk, disamping bahasa Jepang
dan pelarangan tegas penggunaan bahasa Belanda. Keputusan itu sangat menggembirakan bagi
pemekaran bahasa Indonesia dalam rangka bangkitnya. Hal ini terlihat dari munculnya sebuah
Angkatan kesusastraan yang dipelopori Chairul Anwar, Idrus, Asrul Sani. Angkatan ini dikenal
sebagai Angkatan 45.
Pada tanggal 20 Oktober 1942, dibentuk Komisi Bahasa Indonesia oleh Jepang. Tugas
komisi ini adalah menyusun istilah dan tata bahasa normatif serta kosa kata umum bahasa
Indonesia. Pembinaan dan pengembangan bahasa Indonesia secara tidak langsung semakin mantap
dan memperoleh tempat di hati penduduk.

B. Perkembangan Bahasa Indonesia pada Zaman Kemerdekaan


Bangsa Indonesia menyatakan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945. Keesokan
harinya yaitu tanggal 18 Agustus ditetapkan Undang-Undang Dasar 1945. Dalam pasal 36 bab XV
UUD ‘45 berbunyi: “Bahasa negara ialah bahasa Indonesia”. Pada tanggal 19 Maret 1947
diresmikan penggunaan Ejaan Republik
(Ejaan Soewandi) sebagai pengganti Ejaan van Ophuijsen yang berlaku sebelumnya.
Ciri-ciri ejaan ini yaitu:
a) Huruf oe diganti dengan u pada kata-kata guru, itu, umur, dsb.
b) Bunyi hamzah dan bunyi sentak ditulis dengan k pada kata-kata tak, pak, rakjat, dsb.
c) Kata ulang boleh ditulis dengan angka 2 seperti pada kanak2, ber-jalan2, ke-barat2-an.
d) Awalan di- dan kata depan di kedua-duanya ditulis serangkai dengan kata yang
mendampinginya.

Peristiwa-peristiwa penting lainnya yang berkaitan dengan perkembangan bahasa Indonesia pada
zaman kemerdekaan sampai sebelum masa reformasi antara lain:
a) Kongres Bahasa Indonesia II di Medan pada tanggal 28 Oktober s.d. 2 November 1954
salah satu perwujudan tekad bangsa Indonesia untuk terus-menerus menyempurnakan
bahasa Indonesia yang diangkat sebagai bahasa kebangsaan dan ditetapkan sebagai bahasa
negara.
b) Pada tanggal 16 Agustus 1972 Presiden Republik Indonesia H. M. Soeharto, meresmikan
penggunaan EjaanYang Disempurnakan (EYD) melalui pidato kenegaraan di hadapan
sidang DPR yang dikuatkan pula dengan Keputusan Presiden No. 57, tahun 1972.
c) Pada tanggal 31 Agustus 1972 Menteri Pendidikan dan Kebudayaan menetapkan Pedoman
Umum Ejaan Bahasa Indonesia Yang Disempurnakan dan Pedoman Umum Pembentukan
Istilah resmi berlaku di seluruh wilayah Indonesia (Wawasan Nusantara).
d) Kongres Bahasa Indonesia III yang diselenggarakan di Jakarta pada tanggal 28 Oktober s.d.
2 November 1978 merupakan peristiwa penting bagi kehidupan bahasa Indonesia. Kongres
yang diadakan dalam rangka memperingati Sumpah Pemuda yang ke-50 ini selain
memperlihatkan kemajuan, pertumbuhan, dan perkembangan bahasa Indonesia sejak tahun
1928, juga berusaha memantapkan kedudukan dan fungsi bahasa Indonesia.
e) Kongres bahasa Indonesia IV yang diselenggarakan di Jakarta pada tanggal 21-26
November 1983. Kongres ini diselenggarakan dalam rangka memperingati hari Sumpah
Pemuda yang ke-55. Dalam putusannya disebutkan bahwa pembinaan dan pengembangan
bahasa Indonesia harus lebih ditingkatkan sehingga amanat yang tercantum di dalam Garis-
Garis Besar Haluan Negara, yang mewajibkan kepada semua warga negara Indonesia untuk
menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar, dapat tercapai semaksimal mungkin.
f) Kongres bahasa Indonesia V di Jakarta pada tanggal 28 Oktober s.d. 3 November 1988.
Dihadiri oleh kira-kira tujuh ratus pakar bahasa Indonesia dari seluruh Nusantara (sebutan
bagi negara Indonesia) dan peserta tamu dari negara sahabat seperti Brunei Darussalam,
Malaysia, Singapura, Belanda, Jerman, dan Australia. Kongres itu ditandatangani dengan
dipersembahkannya karya besar Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa kepada
pencinta bahasa di Nusantara, yakni Kamus Besar Bahasa Indonesia dan Tata Bahasa Baku
Bahasa Indonesia.
g) Kongres Bahasa Indonesia VI di Jakarta pada tanggal 28 Oktober s.d. 2 November 1993.
Pesertanya sebanyak 770 pakar bahasa dari Indonesia dan 53 peserta tamu dari mancanegara
meliputi Australia, Brunei Darussalam, Jerman, Hongkong, India, Italia, Jepang, Rusia,
Singapura, Korea Selatan, dan Amerika Serikat. Kongres mengusulkan agar Pusat
Pembinaan dan Pengembangan Bahasa ditingkatkan statusnya menjadi Lembaga Bahasa
Indonesia, serta mengusulkan disusunnya Undang-Undang Bahasa Indonesia.

Pada tahun 1953, Kamus Bahasa Indonesia muncul untuk pertama kalinya yang disusun
oleh Poerwodarminta. Di kamus tersebut tercatat jumlah lema (kata) dalam bahasa Indonesia
mencapai 23.000 kata. Pada tahun 1976, Pusat Bahasa menerbitkan Kamus Bahasa Indonesia, dan
terdapat penambahan 1.000 kata baru. Pada tahun 1988, terjadi loncatan yang luar bisa dalam
Bahasa Indonesia. Dari 23.000 kata, telah berkembang menjadi 62.000 pada tahun 1988. Selain itu,
setelah bekerja sama dengan Dewan Bahasa dan Pustaka Brunei, berhasil dibuat 340.000 istilah
baru di berbagai bidang ilmu. Pada tahun 1980-an ketika terjadi peledakan ekonomi secara luar
biasa, saat produk asing berupa properti masuk ke perkantoran dan pusat perbelanjaan, banyak
istilah asing masuk ke Indonesia. Istilah asing marak digunakan sehingga pemerintah menjadi
khawatir. Pada tahun 1995 terjadi pencanangan berbahasa Indonesia yang baik dan benar. Nama-
nama gedung, perumahan dan pusat perbelanjaan yang berbau asing diganti dengan nama yang
berbahasa Indonesia.

C. Perkembangan Bahasa Indonesia pada Zaman Reformasi


Perkembangan bahasa Indonesia masa reformasi, diawali dengan Kongres Bahasa Indonesia
VII yang diselenggarakan di Hotel Indonesia, Jakarta pada tanggal 26-30 Oktober 1998. Kongres
itu mengusulkan dibentuknya Badan Pertimbangan Bahasa dengan ketentuan sebagai berikut:
a) Keanggotaannya terdiri dari tokoh masyarakat dan pakar yang mempunyai kepedulian
terhadap bahasa dan sastra.
b) Tugasnya memberikan nasihat kepada Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa serta
mengupayakan peningkatan status kelembagaan Pusat Pembinaan dan Pengembangan
Bahasa.
Selain itu sampai tahun 2007, Pusat Bahasa berhasil menambah kira-kira 250.000 kata baru.
Dengan demikian, sudah ada 590.000 kata di berbagai bidang ilmu. Sementara kata umum telah
berjumlah 78.000. Namun, angin reformasi yang muncul sejak tahun 1998 justru membawa
perubahan buruk bagi bahasa Indonesia. Kerancuan penggunaan bahasa Indonesia makin marak di
era reformasi. Penggunaan bahasa asing kembali marak dan bahasa Indonesia sempat terpinggirkan.
Pada zaman reformasi salah satu pihak yang memiliki andil dalam perkembangan bahasa Indonesia
adalah media massa baik cetak maupun elektronik. Tokoh pers Djafar Assegaf menuding sekarang
ini kita tengah mengalami “krisis penggunaan bahasa Indonesia” yang amat serius. Media massa
sudah terjerumus kepada situasi “tiada tanggung jawab” terhadap pembinaan bahasa Indonesia yang
baik dan benar. Media massa kini cenderung menggunakan bahasa asing padahal dapat
diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia. Ini menunjukkan penghormatan terhadap bahasa
Indonesia sudah mulai memudar. Hal ini disebabkan antara lain oleh perubahan zaman, reformasi
yang tidak ada konsep yang utuh, sikap tidak percaya diri dari wartawan, redaktur, pemimpin
redaksi dan pemilik perusahaan pers karena mereka cenderung memikirkan pangsa pasarnya,
persaingan usaha antarmedia dan selera pribadi. Ada dua kecenderungan dalam pers saat ini yang
dapat menimbulkan kekhawatiran akan perkembangan bahasa Indonesia. Pertama, bertambahnya
jumlah kata-kata singkatan (akronim). Kedua, banyak penggunaan istilah-istilah asing atau bahasa
asing dalam surat kabar. Namun, pers juga telah berjasa dalam memperkenalkan istilah baru, kata-
kata dan ungkapan baru seperti KKN (korupsi, kolusi, nepotisme), kroni, konspirasi, proaktif,
rekonsiliasi, provokator, arogan, hujat, makar dan sebagainya. Istilah-istilah tersebut memang
terdapat di kamus, tetapi tidak digunakan secara umum atau hanya terbatas di kalangan tertentu
saja. Di kalangan pelajar dan remaja sendiri lahir sebuah bahasa baru yang merupakan pencampuran
antara bahasa asing, bahasa Indonesia, dan bahasa daerah. Bahasa tersebut biasa disebut dengan
bahasa gaul. Keterpurukan bahasa Indonesia tersebut umumnya terjadi pada generasi muda. Bahkan
sudah ada beberapa kalangan yang beranggapan dan meyakini bahwasanya kaum intelek adalah
mereka-mereka yang menggunakan bahasa asing dalam kehidupan sehari-hari mereka, baik yang
total memakai bahasa asing ataupun mencampuradukkan bahasa asing tersebut ke dalam bahasa
Indonesia. Dengan alasan globalisasi, percampuran bahasa Indonesia dengan bahasa asing justru
semakin marak. Kata-kata seperti “new arrival”, “sale”, “best buy”, “discount”, terpampang dengan
jelas di berbagai toko dan pusat perbelanjaan. Media pun ikut mempengaruhi penggunaan bahasa
Indonesia yang salah. Tidak sedikit media yang memberikan judul acara dengan kata-kata dalam
bahasa asing. Saat ini penggunaan bahasa Indonesia baik oleh masyarakat umum, maupun pelajar
mengalami maju-mundur. Jika pada awalnya masyarakat Indonesia yang terdiri dari multisuku,
multietnis, multiras, dan multiagama susah bergaul antara sesama karena terdapat perbedaan
bahasa, kini dengan adanya bahasa persatuan yaitu bahasa Indonesia, semua elemen bangsa dapat
berkomunikasi dengan yang lainnya. Ini merupakan salah satu bentuk kemajuan dalam bahasa
Indonesia. Selain mengalami kemajuan, bahasa Indonesia juga memiliki kemunduran. Akibat
pengaruh globalisasi dan pengaruh besar dari negara - negara besar seperti Amerika Serikat, bahasa
Indonesia menjadi terpinggirkan. Bahkan dari kalangan masyarakat dan pelajar di Indonesia sendiri.
Banyak yang menganggap sepele bahasa Indonesia dan lebih mementingkan bahasa lain seperti
bahasa Inggris, bahasa Spanyol, bahasa Arab, bahasa Perancis, bahasa Jerman, bahasa Mandarin
dan bahasa lainnya. Pelajar dan para pemuda juga menganggap sepele bahasa Indonesia.
Kebanyakan dari mereka mengganggap bahasa Indonesia terlalu kaku, tidak bebas dan terasa
kurang akrab. Mereka lebih menyukai bahasa baru yang dikenal dengan bahasa gaul yang
merupakan campuran dari bahasa daerah, bahasa asing, dan bahasa Indonesia. Keadaan ini berbalik
180 derajat dari keadaan 78 tahun yang lalu, di saat para pelajar dan pemuda dengan semangat cinta
tanah air menetapkan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan, bukan bahasa lainnya seperti
Bahasa Belanda ataupun bahasa daerah. Banyak faktor yang menyebabkan masyarakat Indonesia itu
menganggap remeh pelajaran bahasa Indonesia. Pertama, karena masyarakat Indonesia merasa tidak
perlu lagi belajar bahasa Indonesia karena mereka sudah berbangsa dan bisa berbahasa Indonesia
seadanya. Padahal sebenarnya belum tentu mereka bisa dan mampu berbahasa Indonesia dengan
baik dan benar. Kedua, karena adanya kemunduran dan kemerosotan ekonomi Indonesia sejak
beberapa tahun terakhir sehingga timbul rasa malu berbahasa Indonesia di kalangan masyarakat
Indonesia dalam pergaulan internasional. Ketiga, sebagai akibat adanya globalisasi yang membuat
timbulnya pengaruh terhadap penggunaan bahasa Indonesia dikalangan masyarakat Indonesia.
Sejak zaman reformasi tahun 1998 Bahasa Indonesia mengalami penurunan minat
mempelajarinya di beberapa negara di dunia. Minat orang asing belajar bahasa Indonesia menurun
akibat kondisi pengajaran bahasa Indonesia belakangan ini menunjukkan gejala penurunan. Gejala
penurunan itu baik dari aspek intensitas penyelenggaraan maupun dari segi jumlah peminatnya.
Penurunan intensitas penyelenggaraan pengajaran bahasa Indonesia untuk penutur asing ini
disebabkan oleh beberapa faktor. Antara lain, dari dalam negeri menurunnya minat itu akibat
penyelenggaraan pengajaran untuk penutur asing itu sendiri maupun kondisi dari dalam negeri
sendiri. Penurunan minat itu terjadi di negara seperti Australia, Belanda, dan Jerman. Hal itu akibat
politik di negara tersebut, di Jerman bahkan pelajaran bahasa Indonesia di kampus-kampus
peminatnya berkurang. Kalau sampai ditutup program ini, tertutup juga upaya untuk meningkatkan
citra Indonesia di sana. Kurangnya minat mempelajari Bahasa Indonesia di beberapa negara
diantaranya juga karena kurangnya sumber daya manusia. Namun sejak itu pun ada peningkatan
mempelajari Bahasa Indonesia dari negara seperti China, Jepang, AS, Mesir, dan negara Arab, serta
negara serumpun berkembang pesat. Salah satu upaya pemerintah Indonesia mengembangkan
pengajaran bahasa Indonesia untuk penutur asing, dengan pemasyarakatan alat uji bahasa Indonesia
yang disebut Uji Kemahiran Berbahasa Indonesia (UKBI). Pusat Bahasa juga mencoba
mensosialisasikan setiap programnya kepada instansi lain seperti membuka pusat-pusat kebudayaan
Indonesia di beberapa negara. Pusat Kebudayaan ini sekaligus sebagai ajang promosi Indonesia
pada masyarakat dunia. Saat ini pusat kebudayaan Indonesia itu sudah diupayakan didirikan di
Canbera Australia, Los Angles AS, dan Washington DC AS.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan masalah diatas dapat disimpulkan bahwa :
1. Sejarah bahasa Indonesia pada zaman pra kemerdekaan dibagi menjadi dua tahapan yaitu
pertama masa pra-1928 ditandai dengan penggunaan bahasa Melayi pada zaman kerajaan
sriwijaya sampai dengan adanya ikrar Sumpah Pemuda. Kedua, masa pasca-1928 ditandai
dengan adanya ikrar Sumpah Pemuda menujukkan bahwa bahasa Melayu sudah berubah
menjadi bahasa Indonesia sampai dengan pada tahun 1942 dibentuk Komisi Bahasa
Indonesia oleh Jepang.
2. Perkembangan bahasa Indonesia pada zaman kemerdekaan dimulai dari tanggal 18 Agustus
ditetapkannya Undang-Undang Dasar 1945. Dalam pasal 36 bab XV UUD 1945 berbunyi
“Bahasa negara ialah bahasa Indonesia”, sampai dengan diadakannya kongres bahasa
Indonesia kedua sampai kedelapan.
3. Pada zaman reformasi diawali dengan Kongres bahasa Indonesia VII di Jakarta tanggal 26-
30 Oktober 1998. Hingga sekarang cenderung membawa perubahan buruk bagi Bahasa
Indonesia. Bahasa Indonesia sekarang sudah menjadi bahasa kedua setelah bahasa Inggris
dan bahasa gaul. Selain itu, bahasa Indonesia mengalami penurunan minat mempelajarinya
di beberapa negara di dunia. Seperti Australia, Belanda dan Jerman. Namun, ada juga
peningkatan mempelajari bahasa Indonesia dari negara seperti China, Jepang, AS, Mesir dan
negara Arab. Saat ini pusat bahasa berupaya membuka pusat-pusat kebudayaan Indonesia
sekaligus sebagai ajang promosi kepada masyarakat dunia. Saat ini pusat kebudayaan
Indonesia sudah diupayakan didirikan di Canbera Autralia, Los Angeles AS, dan
Washington DC.

B. Saran
Dikalangan pelajar dan remaja telah lahir sebuah bahasa baru yang merupakan pencampuran
antara bahasa asing, bahasa Indonesia dan bahasa daerah. Bahasa tersebut biasa disebut dengan
bahasa gaul. Keterpurukan bahasa indonesia tersebut umumnya terjadi pada generasi muda. Bahkan
sudah ada beberapa kalangan yang beranggapan dan meyakini bahwasanya kaum intelek adalah
mereka yang menggunakaan bahasa asing dalam kehidupan sehari-hari, baik yang total memakai
bahasa asing maupun mencampuradukan bahasa asing tersebut ke dalam bahsa Indonesia. Demhan
alasan globalisasi yang semakin marak maka dari itu sebagai generasi muda harus menghargai
bahsa Indonesia yang baik dan benar. Juga menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar
dalam berkomunikasi guna menerapkannya ke generasi berikutnya.
DAFTAR PUSTAKA

1. Ahmad,Muhsin.1990. Sejarah dan Standarisasi Bahasa Indonesia. Bandung: Sinar Baru


Algesindo.
2. Arifin,Zaenal. 1985. Cermat Berbahasa Indonesia untuk Perguruan Tinggi. Jakarta:
Akademika Presindo.
3. Halim,Amran. 1983. Politik Bahasa Nasional 2. Jakarta: Pusat Pembinaan dan
Pengembangan Bahasa.
4. Keraf,Gorys.1989. Tata Bahasa Indonesia. Ende Flores: Nusa Indah.

Anda mungkin juga menyukai