Anda di halaman 1dari 15

REDESAIN PERMUKIMAN RELOKASI MASYARAKAT Robert Simbolon

GUNUNG SINABUNG

REDESAIN PERMUKIMAN RELOKASI MASYARAKAT


GUNUNG SINABUNG

Robert Simbolon
Departemen Arsitektur, Fakultas Teknik, Universitas Sumatera Utara
Email:robert.simbolon93@gmail.com

ABSTRACT

Sinabung is the main focus of the problems that currently as a scourge for the people who live at the
foot of the mountain Sinabung. The eruption of Mount Sinabung almost entering its second year, forcing the
central government to relocate people to safer areas in the pine forest that now used as Relocation Settlement
of Mt. Sinabung’s People.
Relocation Settlement of Mt. Sinabung’s People that are in the construction phase, in my opinion is
very far from the context of urgency, so the victim had wait for a long time to be relocated to the new Settlement.
The Issue of urgency in the Relocation Settlement of Mt. Sinabung’s People cannot be separated from these
three aspects, Cost, Materials, Time, Sustainability, as well as the Local craftmanship that become an important
aspect in solving these problems from these three aspects.
If we analyse more deeply about the Cost, Materials, Time, Sustainability and Local craftmanship
aspect, these aspects are related to each other, so each aspect cannot be separated into one part. The
relationship between Cost, Materials, Time, Sustainability and Local craftmanship aspects and the context of
urgency in the Relocation Settlement of Mt. Sinabung’s People can be solved with a concept of Sustainable
Modular House, that the concept was able to solve the issue of Cost, Materials, Time, Sustainability and Local
craftmanship. So this concept can respond the urgency issues of the Relocation Settlement of Mt. Sinabung’s
People.

Keywords: Relocation Settlement of Mt. Sinabung’s People., Sustainable Modular Architecture.

PENDAHULUAN Jika menilik dan mengkaitkan lebih mendalam


antar jenis bencana dan letak geografis,
Indonesia merupakan salah suatu negara yang Indonesia adalah salah satu negara yang terletak
sering kali terjadi bencana alam, mulai dari di wilayah Cincin Api Pasifik atau Lingkaran
gempa bumi, tsunami, banjir, hingga gunung Api Pasifik (Ring of Fire). Zona Ring of Fire
meletus. Bencana alam didefinisikan sebagai adalah daerah yang sering mengalami gempa
suatu bencana yang diakibatkan oleh peristiwa bumi dan letusan gunung berapi yang
atau serangkaian peristiwa yang disebabkan oleh mengelilingi cekungan samudera pasifik. Daerah
alam antara lain berupa gempa bumi, tsunami, ini berbentuk seperti tapal kuda dan mencakup
gunung meletus, banjir, kekeringan, angin topan, wilayah sepanjang 40.000 km. Daerah ini
dan tanah longsor1. Memprediksi kedatangan disebut juga sabuk gempa Pasifik 2. Oleh karena
bencana alam merupakan hal yang sangat sulit keberadaan Indonesia yang terletak di Ring of
untuk dilakukan, walaupun sekarang banyak Fire mengakibatkan geografi Indonesia
sekali teknologi tercanggih untuk mendeteksi didominasi oleh gunung-gunung berapi, dimana
keberadaan bencana alam, namun tidak semua gunung ini terbentuk akibat zona subduksi
bencana alam dapat dideteksi secara akurat, (penekukan yang terjadi akibat adanya benturan
sehingga masyarakat yang hidup di daerah antarlempeng yang mengakibatkan terjadinya
rawan bencana alam harus tetap selalu waspada palung laut) antara lempeng Eurasia dan
dalam menghadapi bencana alam yang selalu Lempeng Indo-Australia. Di Indonesia sendiri,
menghantui kehidupan mereka. ada beberapa gunung api yang sangat terkenal
akibat letusannya yang dahsyat, seperti Gunung

2
Cincin Api Pasifik,
1
Undang-undang Nomor 24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan http://id.wikipedia.org/wiki/Cincin_Api_Pasifik, terakhir diakses
Bencana 27 Mei 2015

1
REDESAIN PERMUKIMAN RELOKASI MASYARAKAT Robert Simbolon
GUNUNG SINABUNG

Krakatau yang berdampak secara global di tahun oleh masyarakat pedesaan akibat bencana alam
1883 3, letusan supervulkan Danau Toba yang tersebut, dalam hal ini adalah gunung meletus.
sangat melegenda yang diperkirakan terjadi Berdasarakan Pasal 16 UU Nomor 10 tahun
74.000 tahun yang lalu yang mengakibatkan 2014, Peraturan Menteri Perumahan Rakyat
terjadinya musim dingin vulkan selama enam tentang Pedoman Mitigasi Bencana Gunung
tahun dan yang terakhir yang tidak kalah Meletus terhadap perumahan dan Kawasan
hebatnya adalah Gunung Tambora dengan Permukiman menyatakan bahwa :
letusan yang paling hebat yang pernah tercatat a. perencanaan perumahan dan kawasan
dalam sejarah pada tahun 1815. permukiman menghindari kawasan
rawan bencana gunung meletus terutama
Keberadaan Gunung Api yang mendominasi di yang masih aktif serta lokasi yang
beberapa daerah di Indonesia, negara yang cenderung dialiri lava;
terletak di area Ring of Fire, mengakibatkan b. desain rumah serta sarana dan utilitas
aspek keamanan dan kenyamanan suatu umum yang tahan terhadap beban dan
permukiman di pedesaan (khususnya yang dekat bahaya akibat letusan gunung; dan
terhadap gunung aktif) semakin menurun. c. menyediakan lokasi evakuasi dan
Masyarakat selalu dihantui oleh bencana alam pengungsian prasarana jalan yang
yang sulit diprediksi, bisa terjadi kapan saja memadai menuju lokasi pengungsian,
sekehendak alam, dan mampu mengakibatkan serta alat transportasi5.
kerugian yang sangat besar hingga memakan
korban jiwa. Hunian masyarakat pedesaan yang Namun, beberapa bencana gunung meletus yang
letaknya berdekatan dengan gunung api telah terjadi selama 1,5 tahun di Gunung
merupakan sebuah permasalahan besar dan Sinabung, mengharuskan masyarakat untuk
pekerjaan rumah bagi Kementrian Perumahan mengungsi di beberapa posko pengungsian
Rakyat Republik Indonesia, dimana Negara selama 1,5 tahun pula. Beberapa desa yang
wajib menjamin hak bermukim masyarakat terkena dampak yang sangat besar adalah desa
terhadap bencana alam yang mengancam Bekerah, desa Sukameriah, dan desa Simacem
dan/atau mengganggu kehidupan dan (radius 0-5 km), sehingga Pemerintah daerah
penghidupan, sehingga perlu memberikan dan Pusat mengharuskan masyarakat yang
kepastian hukum dalam merencanakan tinggal di desa tersebut harus direlokasi ke
perumahan dan kawasan permukiman yang tempat yang lebih aman.
mempertimbangkan peningkatan sumber daya
perkotaan atau perdesaan, mitigasi bencana, dan Pemerintah saat ini sudah menyediakan lokasi
penyediaan atau peningkatan prasarana, sarana, permukiman baru yaitu hutan siosar (jarak 27
dan utilitas umum 4. Mitigasi bencana perlu km dari Gunung Sinabung dan sekarang
dilakukan dalam upaya untuk mengurangi risiko bernama Perkampungan Siosar) yang cukup
bencana, baik melalui pembangunan fisik aman dan sudah dilakukan pembebasan lahan,
maupun penyadaran dan peningkatan bahkan lebih jauh lagi saat ini pemerintah sudah
kemampuan masyarakat menghadapi ancaman melakukan proses konstruksi hunian di lokasi
bencana alam. Namun pada kenyataanya tersebut. Namun proses konstruksi yang lambat
perencanaan permukiman di desa yang berdekat membuat proses relokasi masyarakat juga terjadi
dengan gunung berapi masih luput dari sangat lambat, dan perencanaan yang tidak tepat
perencanaan perumahan dan permukiman sasaran (dalam hal kehidupan masyarakat di
dengan aspek mitigasi bencana, sehingga tidak tempat yang baru), hingga menimbulkan konflik
heran banyak sekali kerugian yang dirasakan (umumnya masyarakat tidak mau direlokasi
karena berbagai alasan, contohnya tidak ada area
3
Winchester, Simon (2003). Krakatoa: The Day the World
Exploded: 8 27, 1883 5
4
Peraturan Menteri Perumahan Rakyar Republik Indonesia No.10 Peraturan Menteri Perumahan Rakyar Republik Indonesia No.10
Tahun 2014 tentang Pedoman Mitigasi Bencana Alam Bidang Tahun 2014 tentang Pedoman Mitigasi Bencana Alam Bidang
Perumahan dan Kawasan Permukiman Perumahan dan Kawasan Permukiman

2
REDESAIN PERMUKIMAN RELOKASI MASYARAKAT Robert Simbolon
GUNUNG SINABUNG

untuk bercocok tanam sebagai contoh kasus di yang bersama-sama direlokasi. Untuk itu pada
Gunung Sinabung). Akan tetapi perencanaan Tugas Perancangan Arsitektur 6 ini Saya
permukiman yang bertitik tumpu pada Peraturan membuat sebuah model rancangan dengan judul
Pemerintah mengenai permukiman berbasis Redesain Permukiman Relokasi Masyarakat
mitigasi bencana merupakan undang-undang Gunung Sinabung
yang seharusnya sudah dilaksanakan demi
kebaikan hidup masyarakat, namun pada Berdasarkan penjelasan-penjelasan pada Latar
kenyataannya, perencanaan yang terjadi Belakang, proyek ini direncanakan dan
sangatlah tidak tepat dan sangat lambat (dalam dikonsepkan dengan maksud sebagai konsep
hal proses konstruksi), sehingga masyarakat pembangunan permukiman pedesaan bagi
enggan untuk direlokasi dan beberapa masyarakat yang dahulu hidup di Gunung
diantaranya terpaksa untuk hidup lebih lama di Sinabung. Berdasarkan maksud tersebut, maka
pengungsian, seperti halnya masyarakat yang tujuan dari proyek ini adalah :
tinggal di kaki Gunung Sinabung yang sudah
menunggu untuk direlokasi lebih dari setengah 1. Untuk menciptakan konsep rumah bagi
tahun. masyarakat Gunung Sinabung yang
sesuai dengan kebutuhan mereka yang
Jadi, perlu adanya suatu konsep desain yang begitu mendesak,
baru, yang menjadi pembanding dari desain 2. Untuk menciptakan konsep perancangan
permukiman yang saat ini sudah terjadi di permukiman pedesaan bagi masyarakat
Perkampungan Siosar. Desain ini diharapkan Gunung Sinabung yang tetap
mampu mengakomodasi regulasi pemerintah mempertahankan aspek positif
mengenai perencanaan Perumahan dan Kawasan “kehidupan lama” mereka ke suatu
Permukiman yang berbasis mitigasi bencana, tempat yang baru,
namun tidak hanya memikirikan keselamatan 3. Untuk merancang permukiman pedesaan
masyarakat saja, melainkan juga proses bagi masyarakat relokasi Gunung
pembangunan yang murah, mudah, cepat, Sinabung yang sesuai dengan kebutuhan
dan penggunaan material yang efektif dasar masyarakat, yang dapat dibangun
sehingga masyarakat dapat terlibat dalam proses dengan teknologi sederhana, dapat
konstruksi dan dapat direlokasi dengan dikelola dan dirawat secara mandiri oleh
secepatnya, kemudian memperhatikan masyarakat setempat,
kehidupan baru masyarakat di tempat tinggal 4. Untuk merancang permukiman pedesaan
mereka yang baru, karena “relokasi” bukan bagi masyarakat relokasi Gunung
hanya tentang memindahkan masyarakat dari Sinabung yang berwawasan
suatu tempat yang berbahaya ke ketempat yang berkelanjutan dengan pemanfaatan
lebih aman, namun lebih dari itu, relokasi juga potensi lokal dalam perencanaan
memindahkan “kehidupan” mereka yang lama permukiman pedesaan tersebut, seperti
ke tempat yang baru. Dan yang terakhir yang local material, local craftmanship, dan
tidak kalah penting adalah tetap local wisdom.
mempertahankan dan mempertajam 5. Sebagai model permukiman
beberapa aspek yang ada di desa mereka perbandingan dengan permukiman
masing-masing yang akan diterapkan Masyarakat Relokasi Gunung Sinabung
kembali pada tempat mereka yang baru, yang sudah dibangun di Hutan Siosar.
sehingga masyarakat lebih mudah dalam
beradaptasi di lingkungan mereka yang baru, Dari penelaahan Latar Belakang dan
tanpa melihat aspek yang ada di permukiman penelusuran maksud dan tujuan dari proyek ini,
desa mereka, sebenarnya kita sudah adapun permasalahan-permasalahan dari
memaksakan mereka untuk bertahan hidup, berbagai aspek yang menyangkut proyek ini
karena adaptasi lingkungan merupakan hal yang adalah sebagai berikut :
sangat sulit untuk dilakukan oleh masyarakat

3
REDESAIN PERMUKIMAN RELOKASI MASYARAKAT Robert Simbolon
GUNUNG SINABUNG

Aspek Fisik : Pengertian Desa


1. Bagaimana mensinergikan tema yang Pengertian desa dan perdesaan sering dikaitkan
diangkat yaitu Sustainable Modular dengan pengertian village dan rural. Sering pula
House dengan permukiman masyarakat dibandingkan dengan kota (town/city) dan
relokasi Gunung Sinabung, sebagai perkotaan (urban). Perdesaan (rural) menurut
solusi yang tepat dalam perencanaan Wojowasito dan Poerwodarminto (1972) 6
permukiman masyarakat relokasi diartikan seperti desa atau seperti di desa dan
Gunung Sinabung tersebut. perkotaan (urban) diartikan seperti kota atau
2. Bagaimana cara mempertahankan aspek seperti di kota.
positif “kehidupan lama” mereka ke
suatu tempat yang baru, Berdasarkan batasan tersebut, perdesaan dan
3. Bagaimana merancang permukiman perkotaan mengacu kepada karakteristik
masyarakat relokasi Gunung Sinabung masyarakat, sedangkan desa dan kota merujuk
serta fasilitas sosial dan umum yang pada suatu satuan wilayah administrasi atau
mendasar sesuai dengan kebutuhan teritorial. Dalam kaitan ini suatu daerah
masyarakat yang dulu tinggal Gunung perdesaan dapat mencakup beberapa desa.
Sinabung.
Dalam UU Nomor 32 Tahun 2004 disebutkan
Aspek Lingkungan, Sosial, Psikologi, Budaya, pengertian desa sebagai kesatuan masyarakat
dan Ekonomi hukum yang memiliki batas wilayah, yang
1. Lingkungan baru yang akan dijadikan berwenang untuk mengatur dan mengurus
kawasan permukiman pedesaan yang kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan
baru secara mendasar dapat merubah asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui
perilaku dan kebiasaan masyarakat. dan dihormati dalam sistem pemerintahan
2. Secara tidak langsung, letusan gunung Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Sinabung membuat masyarakat semakin
terpuruk dari sisi sosial dan psikologi. Tipologi Desa
Tipologi desa ialah teknik untuk mengenal tipe-
tipe desa berdasarkan ciri-ciri menonjol (tipikal)
yang dimiliki dalam kaitan dengan pertumbuhan
dan perkembangannya. Sedangkan klasifikasi
tingkat perkembangan desa berdasarkan
kesamaan tingkat perkembangannya yaitu
tahapan desa swadaya, desa swakarya dan desa
swasembada.
- Desa swadaya (tradisional) adalah desa
yang belum mampu mandiri dalam
penyelenggaraan urusan rumah tangga
sendiri, administrasi desa belum
terselenggara dengan baik.

PENDEKATAN PERANCANGAN - Desa Swakarya (Transisional), adalah


desa setingkat lebih tinggi dari desa
Pendekatan yang digunakan dalam perancangan swadaya. Pada desa swakarya ini mulai
ini menggunakan berbagai metoda, yaitu Studi mampu mandiri untuk menyelenggarakan
Literatur, Studi Banding, Survey Lapangan, urusan rumah tangga sendiri, administrasi
Wawancara,dan Analisis Grafis desa sudah terselenggaranya dengan cukup
baik dan LKMD (Lembaga Ketahanan
TINJAUAN PUSTAKA
6
Kamus Lengkap: Inggeris-Indonesia, Indonesia-Inggeris, 1972

4
REDESAIN PERMUKIMAN RELOKASI MASYARAKAT Robert Simbolon
GUNUNG SINABUNG

Masyarakat Desa) cukup berfungsi dalam


mengorganisasikan dan menggerakkan
peran serta masyarakat dalam pembangunan
secara terpadu.

- Desa Swasembada (Berkembang), adalah


desa setingkat lebih tinggi dari pada desa
Swakarya. Desa swasembada adalah desa
yang telah mampu menyelenggrakan urusan
rumah tangga sendiri, admnistrasi desa
sudah terselenggara dengan baik, LKMD
Gambar 1. Jenis Pola Permukiman Desa
telah berfungsi dalam menorganisasikan
dan menggerakkan peran serta masyarakat
dalam pembangunan desa secara terpadu.
HASIL PENELITIAN
Pola Pemukiman di Pedesaan
Soekandar Wiriaatmadja (1972) membagi pola Lokasi Perancangan
pemukiman di pedesaan ke dalam empat pola, Lokasi perancangan yang dipilih adalah Hutan
yakni: Siosar yang merupakan lokasi resmi dari
pemerintah untuk merelokasi masyarakat
1. Pola permukiman menyebar Gunung Sinabung, lahan yang letaknya sangat
Rumah-rumah para petani tersebar berjauhan terpencil ini sudah mendapat izin secara resmi
dan merupakan satu-satunya alternatif lokasi
satu sama lain. Pola ini terjadi karena belum
adanya jalan-jalan besar, sedangkan orang-orang perancangan untuk permukiman relokasi
harus mengerjakan tanahnya secara terus masyarakat Gunung Sinabung.
menerus. Dengan demikian, orang-orang
tersebut terpaksa harus bertempat tinggal di Secara geografis Hutan Siosar terletak di
dalam lahan mereka. 02°58′56.9″LU dan 98°30′18.5″BT, dengan
jarak terhadap Gunung Sinabung yaitu sekitar
2. Pola permukiman memanjang 23,7 Km, dan jarak terhadap Kabanjahe yaitu
Bentuk pemukiman yang terlentak di sepanjang sekitar 6 Km. Hutan Siosar memiliki batas-batas
jalan raya atau di sepanjang sungai, sedangkan wilayah, dari Utara yaitu Kec. Tigapanah,
tanah pertaniannya berada di belakang rumahnya sebelah Selatan yaitu Kec. Merek, sebelah
masing - masing. Timur yaitu Hutan Pinus, dan sebelah Barat
yaitu Hutan Lindung.

3. Pola permukiman berkumpul


Bentuk pemukiman di mana rumah-rumah
penduduk berkumpul dalam sebuah kampung,
sedangkan tanah pertaniannya berada di luar
kampung.
Kondisi Aksesibilitas
4. Pola permukiman melingkar Setelah perancang melakukan kegiatan survey
Bentuk pemukiman di mana rumah-rumah langsung ke Hutan Siosar, hanya terdapat satu
penduduk melingkar mengikuti tepi jalan, jalur, yakni jalur masuk dari Kabanjahe dengan
sedangkan tanah pertaniannya berada di jarak tempuh 5 Km. Kondisi site yang berkontur
belakangnya. mengakibatkan jalan sedikit meliuk-liuk sebagai
respon terhadap lahan berkontur. Kondisi Fisik
jalan menurut perancangan masih dalam tahap
pengerjaan dan memasuki tahap finishing

5
REDESAIN PERMUKIMAN RELOKASI MASYARAKAT Robert Simbolon
GUNUNG SINABUNG

perkerasan, karena berdasarkan pengamatan


perancang, jalur aksesibilitas masih berupa tanah
keras yang sudah dilapisi oleh agregat kasar,
yang dimana karakteristik dari agregat kasar ini
merupakan komposisi dari jalan Aspal. Hal ini
diperkuat oleh hasil wawancara dengan anggota
TNI yang akan mengerjakan perkerasan jalan
tersebut.

Gambar 3. Kondisi Lingkungan Perkampungan Siosar dalam


tahap konstruksi

Kondisi lingkungan binaan di hutan siosar pada


saat ini masih belum dapat ditemukan
dikarenakan pada saat ini lokasi hutan siosar
masih dalam tahap pengerjaan. Perancang hanya
dapat memastikan kondisi fisik hunian dan
sirkulasi, namun penempatan fasilitas tidak
Gambar 2. Kondisi jalan yang berliku-liku dan naik turun dapat sepenuhnya diidentifikasi, namun
berdasarkan wawancara pada area tengah
Kondisi Lingkungan perkampungan akan dibuat taman dan juga
Setelah perancang tiba pada lokasi site, kesan beberapa fasilitas umum.
yang muncul dari perancang adalah site ini
memiliki ketenangan dan kedamaian yang luar Pada sekitar site terdapat hutan pinus milik
biasa, sangat cocok untuk pemulihan psikologi pemerintah, sehingga pohon pinus yang ditebang
dari korban bencana Gunung Sinabung. Udara untuk pelebaran lahan, sepenuhnya milik
Segar, terik yang tidak menusuk tajam, jauh dari pemerintah. Dalam hal ini, kayu pinus hasil
hiruk pikuk kota, kebisingan, kemacetan, serta tebangan digunakan untuk material proses
kehijauan yang sangat kontras menjadikan kontruksi, seperti bekisting, papan jembatan
tempat ini layak dari segi kualitas hidup. Namun sementara, bedeng material, dan sisanya
faktor itu saja tidak cukup menjadikan site ini diperuntukkan bagi pemerintah. Oleh karena itu
sangat layak untuk dijadikan tempat hidup pohon pinus menurut perancang bukan sebuah
masyarakat secara permanen, melainkan ada potensi yang harus diolah dan digunakan pada
faktor lainnya seperti pengadaan fasilitas umum, perancangan permukiman ini, dikarenakan
fasilitas sosial, dan yang terpenting adalah kepemilikan kayu tebangan yang dimiliki oleh
ketersediaan lahan perkebunan yang merupakan pemerintah.
mata pencaharian utama masyarakat Gunung
Sinabung.

6
REDESAIN PERMUKIMAN RELOKASI MASYARAKAT Robert Simbolon
GUNUNG SINABUNG

Gambar 4. Hutan Pinus

Kondisi Fisik Hunian


Dari hasil survey yang kami lakukan di
Perkampungan Siosar, dapat dilihat bahwa
kondisi fisik rumah yang dibangun pada
Perkampungan Siosar ini sangat baik, baik dari
segi tampilan dan juga struktur rumah. Tipologi
rumah yang dibangun di Perkampungan Siosar
ini seperti tipologi rumah di perumahan yaitu Gambar 5. Bentuk Hunian masyarakat Korban Gunung Sinabung
memiliki orientasi rumah yang jelas, pola rumah
secara grid, dan lainnya. Selain itu, rumah ini Kondisi Permukiman di Desa Eksisting
memiliki struktur dan konstruksi rumah yang Saat ini kondisi permukiman di tiga desa,
konvensional seperti penggunaan batu bata, Bekerah, Simacem dan Sukameriah, sangat
beton bertulang, pondasi batu kali, dan lainnya parah dikarenakan tertimbun oleh abu vulkanik,
dengan mengacu aspek konstruksi yang aman. sehingga kondisi fisik permukiman pada ketiga
desa sudah tidak memungkinkan lagi untuk
Berdasarkan hasil pengamatan, perancang dihuni kembali.
banyak mendapat pemikiran serta pertanyaan
mendasar mengenai hunian yang sudah mulai
dibangun di Perkampungan Siosar ini, mulai dari
karakteristik fisik rumah yang tidak sama
dengan rumah mereka di desa mereka yang
lama, pola permukiman yang sangat berbeda,
material rumah yang berbeda, karakteristik
ruang, dan lainnya. Perbedaan yang mencolok
inilah yang nantinya akan menjadi permasalahan Gambar 6. Kondisi Permukiman Desa Bekerah

kedepannya kelak, yaitu akan terjadinya


pergeseran psikologis masyarakat sehingga
masyarakat akan merasa tidak nyaman untuk
tinggal di permukiman baru, bahkan yang lebih
buruknya adalah meninggalkan permukiman
Siosar tersebut.

Oleh karena itu, perlu adanya kajian terhadap


tipologi hunian awal, orientasi permukiman,
material terdahulu, karakateristik ruang, dan
aspek-aspek rumah lainnya yang ada di ketiga
desa.

Gambar 7. Foto Udara Desa Bekerah, Sukameiah dan


Simaem

7
REDESAIN PERMUKIMAN RELOKASI MASYARAKAT Robert Simbolon
GUNUNG SINABUNG

Hunian Fisik di Desa Eksisting STUDI BANDING


Hunian fisik yang dapat dijumpai pada ketiga
desa eksisting antara lain hunian panggung yang Huntap Desa Karangkendal, Jogjakarta
berupa rumah adat waluh jabu, kemudian rumah Huntap Desa Karangkendal merupakan sebuah
non panggung yang umumnya menggunakan hunian tetap (huntap) yang ditujukan bagi warga
papan kayu dan juga bambu, dan jenis yang yang tinggal di kaki Gunung Merapi yang
terakhir yaitu rumah mixed used yang lebih menjadi korban bencana gunung meletus pada
sering digunakan sebagai kios. Saat sekarang ini tahun 2010 di Jogjakarta. Masyarakat yang
kondisi permukiman, termasuk hunian mereka dulunya tinggal di kaki Gunung Merapi
sudah rusak parah diakibatkan menahan beban direlokasi ke Desa Karangkendal dikarenakan
dari abu vulkanik yang tertimbun pada atap daerah tersebut relatif aman dan letusan merapi
rumah mereka. tidak mengarah pada desa tersebut.

Total kepala keluarga yang direlokasi pada Desa


Karangkendal ini sebanyak 81 kepala keluarga,
dengan total luas untuk hunian sebesar 9.067 m2
dan total luas hunian fasum sebesar 4.534 m2.
Fasilitas umum yang diberikan pada Desa
Karangkendal ini adalah Masjid, Komposter,
Kandang sapi Komunal, Taman Bermain,
Monumen, dan Rumah Baca.

Gambar 9. Huntap Desa Karangkendal, Jogjakarta

Rekonstruksi Permukiman Korban Gempa


Ngibikan, Bantul
Rekonstruksi Permukiman Korban Gempa
Ngibikan, Bantul ini tidak hanya memiliki
kesamaan konflik, permasalahan, dan isu yaitu
bencana alam, namun juga kesamaan dalam
tema yang digunakan dalam rekonstruksi ini
yaitu adanya aspek modular dalam penerapan
bangunan ini.

Rumah yang dirancang oleh Eko Prawoto ini


memiliki satu modul rumah yang juga
Gambar 8. Hunian Fisik Masyarakat sekitar Gunung Sinabung
merupakan modul struktur. Modul ini
merupakan kesatuan antara kolom dan juga
kuda-kuda atap. Modul ini harus dibentuk lebih
dahulu sebelum membuat dinding, pondasi, dan

8
REDESAIN PERMUKIMAN RELOKASI MASYARAKAT Robert Simbolon
GUNUNG SINABUNG

penutup atap. Dengan menggunakan aspek


modular house, pengerjaan rumah lebih
terorganisir dan juga pengerjaan lebih cepat.

Gambar 11. Pola Desa mengelilingi Fasilitas Umum

Pada Kawasan ini akan dirancang 3 jenis


sirkulasi untuk memudahkan mobiliasasi
penduduk dan kendaraan, yakni ; Sirkulasi
Kolektor (Primer), Sirkulasi Lokal (Sekunder),
dan Gang Desa (Tersier).

Gambar 10. Rumah Ngibikan Bantul dan Modul Struktur utama

KONSEP PERANCANGAN

Konsep Permukiman
Pada konsep Permukiman, penulis menggunakan Gambar 12. Penerapan Pola Desa berupa Sirkulasi
konsep makro desa yaitu sesuai dengan tema
besar yaitu “Regenerative Design” dengan Setelah pola sirkulasi yang dibentuk pada
artian bahwa konsep ini berusaha untuk kawasan hutan siosar, kemudian perancang
menghidupkan kembali hal-hal penting terkait menerapkan pola permukiman pada kawasan
dengan benda fisik atau non fisik pada desa tersebut. Pola permukiman yang diterapkan
terdahulu dan diterapkan kembali di lokasi yang merupakan pola permukiman yang diadaptasi
baru, dengan catatan bahwasannya penghidupan dari pola permukiman dari 3 desa eksisting. Pola
kembali ini tidak harus sama seperti eksisting, Permukiman pada 3 eksisting desa ini
namun juga dapat dilakukan pengembangan ke menggunakan pola permukiman linear, dimana
arah yang lebih baik. pola hunian akan mengikuti pola jalan. Tujuan
dari mengadaptasi pola permukiman dari 3 desa
Sirkulasi yang dibentuk pada kawasan hutan eksisting adalah ingin mempertahakan aspek
siosar ini mengacu pada pola perkembangan sosial yang sudah terjalin bertahun-tahun karena
desa “yang mengelilingi fasilitas umum”. Pola pola permukiman sangat berpengaruh pada
ini sebenarnya akan membentuk pola sirkulasi aspek sosial, kemudian untuk memperkecil
secara tidak langsung, dan pola ini sangat cocok adaptasi masyarakat terhadap permukiman yang
untuk daerah dengan topografi yang kontur baru, pola permukiman yang rural dan acak
tertingginya terletak pada bagian tengah dari merupakan sebuah pola yang sangat khas pada
site. sebuah desa, dan masih banyak tujuan lainnya.

9
REDESAIN PERMUKIMAN RELOKASI MASYARAKAT Robert Simbolon
GUNUNG SINABUNG

Pola permukiman yang akan dibuat dikonsepkan untuk mengarah ke area evakuasi
berdasarkan pada pola permukiman desa yang lebih besar.
eksisting, selain dipengaruhi oleh pola jalan atau
sirkulasi, pola permukiman yang akan dibuat di
kawasan hutan siosar juga akan dipengaruhi oleh
letak fasilitas desa, sehingga penjangkauan
fasilitas desa dari rumah lebih mudah dijangkau
dan tidak terlalu jauh. Gambar 14. Area sirkulasi yang mengarah ke area evakuasi

2. Skala Antar-Kelompok Hunian


Skala antarkelompok hunian atau desa
juga terdapat area evakuasi berupa alun-alun
desa. Ukuran lebih besar dapat menampung
seluruh masyarakat di desa tersebut. Pada alun-
alun ini akan disediakan berupa alarm sederhana
dan alat pengeras suara pada balai masyarakat.

Gambar 13. Penerapan Pola Permukiman pada Site

Jarak Gunung Sinabung dengan kawasan hutan


siosar yang tergolong jauh, bukan menjadi
jaminan bahwasannya permukiman yang akan
dirancang akan terlepas dari konsep mitigasi
bencana. Trauma yang mendalam merupakan Gambar 15. Skema Evakuasi Antar-Kelompok Hunian
hal penting yang harus diperhatikan untuk
perancangan permukiman ini, walaupun area 3. Skala Antar-Desa
permukiman relokasi terbilang cukup aman. Jika level bencana sangat darurat dan
Permukiman yang dekat terhadap potensi dampak tersebar hingga kawasan siosar ini,
bencana dan juga permukiman relokasi harus maka area tengah dari kawasan siosar ini akan
mengikuti kebijakan pemerintah dalam UU No. dijadikan area evakuasi terbesar.
10 tahun 2014 yang mengatur tentang
permukiman permukiman mitigasi bencana. Area ini mudah dijangkau oleh alat transportasi
dibandingkan dengan area permukiman dan desa
Berdasarkan hal tersebut, permukiman ini akan masyarakat, sehingga area ini sangat mudah
dirancang dengan pendekatan mitigasi bencana untuk dicapai oleh mobil ambulans dan mobil
dengan konsep “3 Layers Evacuation Space”, penyelamatan lainnya.
dimana terdapat 3 lapis area evakuasi yang
tersebar di kawasan siosar ini, sehingga Selain itu, area ini sebenarnya juga dapat
penjangkauan terhadap area evakuasi lebih menampung korban bencana sinabung yang
terjangkau dengan mudah. masih belum memiliki tempat mengungsi
ataupun tempat pengungsian yang penuh, karena
1. Skala Antar-Hunian pada area ini terdapat banyak ruang-ruang
Untuk skala antarhunian, area evakuasi multifungsi yang dapat dijadikan area
terkecil ada pada space sirkulasi di depan hunian pengungsian.
mereka, sehingga sangat mudah untuk dijangkau
dari hunian mereka. Jarak hunian pun dibuat
sedikit berjarak sehingga lebih mudah dalam
mengevakuasi diri. Area sirkulasi ini juga akan

10
REDESAIN PERMUKIMAN RELOKASI MASYARAKAT Robert Simbolon
GUNUNG SINABUNG

penggunaan septic tank komunal lebih efektif


dibandingkan dengan septictank komunal.

Gambar 16. Area Evakuasi Skala Antar-Desa

Kemudian permasalahan sampah, dimana


sampah merupakan hal yang sangat kecil namun Gambar 18. Manajemen Limbah Hunian dan Kotoran Sapi
memiliki dampak negatif yang sangat besar
terhadap sebuah permukiman bila tidak
Untuk aliran limbah cair, perancang membagi
dimanajemen dengan baik. Manajemen secara
menjadi dua saluran, yaitu saluran Utama dan
makro dilakukan dengan pemilahan sampah
Sekunder, saluran utama ditujukan untuk
berdasarkan sampah basah (70% dari
menghimpun semua limbah dari saluran
keseluruhan sampah per-harinya) dan sampah
sekunder. Saluran Utama akan berpangkal ke
kering (30%), dimana sampah basah akan
wetland irrigation yang ditujukan untuk
diproses dengan menggunakan komposter
memproses limbah sehingga kadar polutannya
sederhana dan sampah kering akan diproses ke
semakin berkurang dan baik untuk pengairan
TPS sebelum dibuang ke TPA.
kebun. Sedangkan saluran sekunder ditujukan
untuk menghimpun limbah dari tiap rumah.

Gambar 17. Diagram Manajemen Sampah secara Makro

Sampah basah yang akan diproses dengan


komposter akan menghasilkan pupuk kompos
untuk keperluan perkebunan. Sampah basah
terdiri dari sampah basah dari rumah, panen, dan
pasar yang kemudian dikumpulkan dan akan
ditimbun kedalam komposter selama 4-6 bulan
untuk menghasilkan pupuk kompos. Namun Gambar 19. Aliran imbah Cair berupa saluran
untuk sampah kering tidak terlalu banyak proses
karena langsung dikumpul dari tiap rumah dan Konsep Kelompok Hunian
akan dibawa ke TPS sebelum dibawa ke TPA. Siwaluh Jabu merupakan sebuah cerminan
kekerabatan dan kedekatan satu garis keluarga
Selain membahas sampah, perancang juga yang dihuni dalam satu atap. Siwaluh Jabu saat
mengintegrasikan sistem sampah dan limbah ini sudah menjadi ciri khas dari masyarakat Karo
yang akan diproses dengan biodigester komunal. bahkan tidak terlepas satu sama lain. Namun
Biodigester komunal ditempatkan pada hunian saat ini, sudah banyak masyarakat meninggalkan
yang dekat dengan kandang ternak komunal, rumah Siwaluh Jabu dengan alasan privasi,
sehingga mobilisasi limbah kotoran sapi lebih kenyamanan dan kesehatan, sehingga tidak
mudah. Sedangkan untuk hunian biasa, heran beberapa keluarga dalam rumah Siwaluh
Jabu lebih memilih untuk menggunakan uang

11
REDESAIN PERMUKIMAN RELOKASI MASYARAKAT Robert Simbolon
GUNUNG SINABUNG

mereka untuk membangun rumah pribadi dalam 1 kelompok hunian dapat terjalin dengan
mereka masing-masing dibanding dengan kuat
tinggal di Siwaluh Jabu, meski tidak membayar
sepeserpun. 2. Transforming Cell to Organism
Dalam Siwaluh jabu yang dahulu 1 bilik hanya
Dalam perancangan permukiman relokasi dapat ditempati oleh 1 keluarga, secara ruang hal
masyarakat gunung Sinabung ini perancang ini sangat tidak nyaman, dimana anak-anak pun
ingin mengangkat kembali beberapa aspek mungkin tidak dapat tempat untuk tidur dengan
Siwaluh Jabu secara esensial dan fundamental nyaman. Selain itu, seperti pada bagian awal
yang akan dirancangan dengan pendekatan yang yaitu masalah privasi keluarga, ini bukanlah
baru, sehingga rancangan yang dibentuk akan permasalahan sosial, melainkan ini adalah
tetap dengan esensi lama namun dengan wajah perubahan sosial yang terjadi secara alami dan
yang baru dan kontekstual terhadap isu terkini. tak bisa diindahkan begitu saja.
Menerapkan konsep secara keseluruhan dari
sebuah siwaluh jabu ke aspek “saat ini” Oleh karena itu, ruang tidur yang dahulu hanya
merupakan kekeliruan dan bukan alasan yang untuk 1 keluarga akan ditranformasi ke aspek
tepat untuk mempertahankan budaya mereka “sekarang” dengan mentransformasi ruang
yang lalu. Beberapa aspek “dahulu” yang ingin menjadi sebuah hunian yang utuh, dengan
diterapkan pada masa ”sekarang” tidak harus berbagai ruang-ruang sesuai dengan kebutuhan
diterapkan secara mentah-mentah seperti saat ini.
“dahulu”, namun kita dapat mentransfomasinya
sedemikian rupa sehingga sangat konteks 3. Communal Space and Shared Space
terhadap “saat ini” dengan mempertahankan hal- Kekerabatan yang erat pada zaman dahulu tidak
hal yang bersifat esensial dan fundamental, terlepas dari peran ruang-ruang yang dipakai
sehingga approach yang baru tidak begitu secara bersama-sama, seperti dapur yang dibagi
nampak naif dan aneh. 2 untuk 2 keluarga. Dapur di siwaluh jabu hanya
berupa tungku yang terletak diantara 2 kamar
1. From 8 Cells To 8 Organism tidur. Selain itu ruang bersama yang terletak di
Pada zaman dahulu, Siwaluh Jabu dihuni sampai tengah, sehingga ketika ada diskusi keluarga,
8 keluarga yang menyimbolkan kekerabatan dan semua kepala keluarga dapat bersama-sama
kebersamaan antarkeluarga yang sangat kental. untuk diskusi bersama.
Tiap keluarga memiliki Ruang kamar tidur di
setiap bilik mereka masing-masing. Tingkat Oleh karena itu, beberapa ruang yang dibagi
kekerabatan dan kebersamaan ini harus tetap di bersama-sama, perancang coba menerapkan
jalin dalam hunian yang akan dirancang. kembali ke hunian yang baru. Konsepnya adalah
menggabungkan 2 hunian yang berdekatan
Akan tetapi, jika kita kaitkan dengan aspek pada kemudian ditempatkan area untuk berbagai
saat ini dimana masyarakat semakin memiliki seperti dapur bersama (dapur dulu dan sekarang
privasi yang tinggi, hunian seperti ini sangatlah diletakkan di depan) dan juga teras depan rumah
tidak nyaman, dimana ada 8 keluarga dalam 1 yang menyatu dengan tetangga sehingga mereka
rumah yang sama. Oleh karena itu, disini dapat berbagi satu sama lain di dalam kondisi
perancang mencoba mentransformasi ruang yang susah seperti yang saat ini mereka alami.
untuk keluarga yang “dulu” berupa “ruang” Selain itu juga ada fasilitas bersama seperti
(sel), yang “sekarang” akan ditransformasi water tank.
berupa kelompok “rumah tinggal” (organisme
penuh) seperti dalam kluster rumah. Dalam 1 Untuk area sirkulasi dapat digunakan sebagai
kelompok hunian ini tidak harus diisi oleh satu communal open space, karena beberapa gang-
garis keluarga, namun hanya saja gang desa juga digunakan sebagai area sosial
pengelompokkan ini ditujukan agar kekerabatan terbuka.

12
REDESAIN PERMUKIMAN RELOKASI MASYARAKAT Robert Simbolon
GUNUNG SINABUNG

Konsep Hunian Tunggal hunian mixed used atau kios, akan ditambahkan
Konsep makro dari hunian tunggal ini adalah luasan sebesar 54m2 untuk area berjualan.
mengkaitkan aspek Cost, Material, dan Time,
dengan local craftamnship sebagai eksekutor
dari kaitan ketiga aspek penting dalam rumah
yang diperlukan masyarakat relokasi sinabung.

Gambar 22. Perhitungan Luas dan Modul Inti Bangunan

Khusus untuk Zoning Dasar hunian


(non-mixed used) mengadopsi zona dasar kamar
tidur dari Siwaluh Jabu, dimana zona dasar dari
Siwaluh Jabu ini begitu kental akan kekerabatan
Gambar 20. Kaitan Aspek Cost, Material, Time dan Local dan kebersamaannya, sangat efektif bila
Craftmanship diterapkan pada hunian relokasi masyarakat
sinabung dimana mereka pada saat ini
Kaitan dari semua aspek ini dapat disimpulkan kondisinya begitu terpuruk dan perlu bersatu
kembali kedalam konsep modular house dengan untuk membangun kehidupan mereka kembali.
parameter desain berupa modul material, Dari Zona yang kami pelajari
singular module, space, dan form. didapatkan bahwasannya banyak area-area
berbagi yang ditemukan di Siwaluh Jabu, dan
inilah yang perancang terapkan kembali di
zoning hunian. Selain itu, yang paling kontras
adalah penempatan dapur didepan dan
digunakan bersama-sama, ini juga diterapkan
pada hunian yang baru, sehingga ketika sedang
dalam aktivitas memasak dapat saling bersama-
sama menggunakan dapur dan juga dapat
berbagi satu sama lain.

Gambar 21. Konsep Modular House dan Elemen Modular House

Untuk luasan hunian, didapatkan luasannya


untuk 1 hunian adalah seluas 40 m2, dengan
Gambar 23. Transformasi Space
ruang ruang yang paling mendasar, seperti ruang
keluarga, kamar tidur, WC, dan dapur. Untuk

13
REDESAIN PERMUKIMAN RELOKASI MASYARAKAT Robert Simbolon
GUNUNG SINABUNG

Untuk luas lahan tiap hunian ditemukan sekitar


120 M2 = 10 x 12m. Luasan ini didapatkan
dengan menambah 200% dari luas inti
bangunan, area tritisan atap, dan sekitar 45%
daerah terbuka sehingga cahaya matahari dan
udara dapat mengalir dengan baik. Selain itu sisi
dari patok-patok lahan diberikan sirkulasi
sebesar 1-2 meter sehingga antarlahan tetangga
dengan lahan lain tidak menempel satu sama
lain.

Dari luas inti bangunan seluas 40 M2, luas lahan


120 m2, masyarakat dapat memperluas
bangunan mereka dengan penambajan sebesar
~75% dari luas lahan mereka yang lama.

Konsep rumah modular adalah konsep


pemanfaatan material seefektif mungkin tanpa
menghasilkan waste yang banyak, oleh karena
itu ukuran material dasar yang digunakan
merupakan ukuran yang ada berdasarkan ukuran
material pasaran.
Gambar 25. Perspektif Desain Hunian
Untuk modul-modul bangunan yang dirancang
untuk hunian masyarakat mengacu pada ukuran KESIMPULAN
material yang ada di pasaran sehingga modul Kesimpulan yang bisa ditarik dalam
yang dibuat tidak menghasilkan waste yang perancangan Redesain Permukiman Relokasi
terlalu banyak, waste tidak mungkin tidak ada Masyarakat Gunung Sinabung ini adalah sebagai
namun dapat dikurangi dengan pemanfaatan arsitek kita harus sangat sensitif dalam membaca
material yang tepat. situasi dan permasalahan yang ada, sehingga
pemecahan masalah dapat lebih efektif dan tepat
sasaran. Permukiman masyarakat yang saat ini
sedang dalam pembangunan sangat tidak
mencerminkan kehidupan masyarakat terdahulu
dan tidak mengacu pada permukiman mereka di
beberapa desa eksisting. Hal ini akan
mengakibatkan masyarakat harus beradaptasi
secara maksimal dan membutuhkan waktu yang
lama, bahkan lebih buruknya masyarakat akan
meninggalkan permukiman mereka yang baru.

Fokus Penulis selalu tertuju pada pola


permukiman dan desain hunian, dimana penulis
mengusahakan bahwa pola permukiman di
daerah baru harus dapat merepresentasikan pola
permukiman di desa awal, kemudian juga pola
sirkulasi, jumlah fasilitas umum, konsep agraria,
peternakan, manajemen sampah dan segala
aspek yang berkaitan dengan permukiman.
Gambar 24. Modul Dinding dan Kolom serta pemasangannya Selanjutnya adalah konsep hunian dimana

14
REDESAIN PERMUKIMAN RELOKASI MASYARAKAT Robert Simbolon
GUNUNG SINABUNG

penulis sangat responsif terhadap konteks Housing Process; The Micmilland; New
Urgent, dimana hal ini sangat menuntut aspek York.
”Cepat, Mudah, dan Murah”. Oleh karena itu 6. Sensa, M.S. Djarot. (1987). Sebuah
penulis menggunakan konsep Modular House Pemikiran tentang Permukiman Islami.
dimana material yang digunakan adalah material Mizan. Bandung.
lokal yang diolah menjadi modul-modul single 7. Republik Indonesia. 2007. Undang-undang
yang dapat dibentuk menjadi hunian yang utuh, Nomor 24 Tahun 2007 Tentang
dengan tujuan pemasangan yang mudah, murah Penanggulangan Bencana. Sekretariat
dan cepat. Negara. Jakarta
8. Republik Indonesia. 1992. Undang-Undang
Konsep kekerabatan pada hunian Siwaluh Jabu No.4 tahun 1992 Tentang Perumahan dan
juga menjadi fokus penulis, dimana beberapa Permukiman. Sekretariat Negara. Jakarta
aspek dalam hunian Siwaluh Jabu akan 9. Basset, Keith & Short, John. 1980. Housing
ditransformasikan ke arah yang lebih baru, and Residential Structure, Alternative
terutama bagian 8 bilik yang menjadi 8 hunian, Approaches. London: Routledge & Kegan
adanya sirkulasi tengah, ruang-ruang bersama, Paul Ltd.
dan lainnya. Dan yang terpenting adalah konsep 10. Peraturan Menteri Perumahan Rakyar
kekerabatan dan kebersamaan dalam hunian Republik Indonesia No.10 Tahun 2014
Siwaluh Jabu ini yang akan diterapkan pada tentang Pedoman Mitigasi Bencana Alam
model hunian relokasi ini. Bidang Perumahan dan Kawasan
Permukiman. Sekretariat Negara. Jakarta
Dari setiap konsep ini akan dipadukan menjadi 11. Sukawi .2009. Menuju Kota Tanggap
konsep yang terintegrasi satu sama lain yang Bencana (Penataan Lingkungan
membentuk suatu konsep yang kontinu dan tidak Permukiman untuk Mengurangi Resiko
terlepas satu sama lain untuk memecahkan Bencana). Jurnal nasional
permasalahan urgency pada bencana Gunung 12. S. Wojowasito dan W.J.S.
Sinabung yang menghancurkan beberapa desa Poerwadarminta, Kamus Lengkap Inggris–
masyarakat dan juga ratusan rumah yang rusak Indonesia, Indonesia-Inggris, Hasta,
akibat semburan awan panas. Jakarta, 1972.
13. Badan Pusat Statistik.2013. Kabupaten
DAFTAR PUSTAKA Karo Dalam Angka. Karo : Badan Pusat
Statistik
1. Winchester, Simon. 2003. Krakatoa : The 14. Keputusan Menteri Permukiman Wilayah
Day The World Exploded : August 27, No.534/KPTS/M/2001
1883. England : Penguin Group 15. http://id.wikipedia.org/wiki/Cincin_Api_Pa
2. Editors Of The American Heritage sifik
Dictionaries. 2006. The American Heritage 16. http://kbbi.web.id/
dictionary for learners of English (2006). 17. http:// http://karokab.bps.go.id/
Boston: Houghton Mifflin 18. http://en.wikipedia.org/wiki/sustainable_arc
3. Bahri, M.T., Ir.Samsul; Aulia, M.Sc., hitecture
Ph.D., Ir. Dwira N. 2009. Bahan Ajar 19. http:// ruang17.wordpress.com
Perumahan dan Permukiman. Medan : Lab. 20. http:// konteks.org
Perkotaan dan Permukiman Departemen 21. http:// rumusstatistik.com
Arsitektur USU
4. Hilman, M.Pf., M.T., Prof.Dr. H. Maman.
2007. Perancangan Perumahan. Bandung :
FPTK UPI
5. Turner, John FC and Robert Fischer (1972),
Freedom to Build : Dweller Control of The

15

Anda mungkin juga menyukai