Anda di halaman 1dari 5

Pendidikan kewarganegaraan dan pancasila

Upaya mengembalikan karakter krirtis mahasiswa

Peran ide kritis mahasiswa dalam demokrasi


12 mei 1998 sejarah mencatat peranan vital mahasiswa menggulingkan rezim otoriter soeharto,
mahasiswa sebagai salah satu stekholder penting dalam gerakan ini, ide dan akal kritis
membimbing para mahasiwa untuk merasakan penderitaan rakyat saat itu, gerakan 1998
menuntut reformasi dan dihapuskannya korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) pada tahun
1997-1998, melalui pendudukan gedung DPR/MPR oleh ribuan mahasiswa.
Dalam gerakannya, mahasiswa indonesia menyampaikan beberapa tuntutan, yang kemudian
dikenal sebagai 6 Agenda Reformasi 1998:
1. Mengadili Soeharto dan para pengikutnya.
2. Amandemen UUD 1945.
3. Otonomi daerah seluas-luasnya.
4. Menghapus Dwifungsi ABRI.
5. Hapuskan KKN (korupsi, kolusi, nepotisme).
6. Menegakkan supremasi hukum.

Selama masa kepemimpinanya, kondisi perekonomian di Indonesia carut-marut, terutama


setelah mengalami krisis moneter tahun 1998. Tidak hanya itu, selama 32 tahun Soeharto
memimpin, marak terjadi praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme, yang menyebabkan kerugian
besar bagi pemerintah Indonesia. tidak ada hukum yang diterapkan untuk membatasi jabatan
atas presiden atau menteri. Oleh sebab itu, Soeharto bisa dibilang dapat memimpin selama yang
ia mau. Pada masa Orde Baru, Soeharto hanya melakukan pengembangan di satu titik saja,
yaitu di Pulau Jawa dan Adanya juga dwifungsi menimbulkan permasalahan pada masa Orde
Baru. Pasalnya, dapat dikatakan bahwa ABRI menjadi sebuah kekuatan besar yang tidak
memihak rakyat sipil.
Hal ini tentu tidaklah mudah, berbagai tindakan kekerasaan dan represi terus menghantam
mahasiwa, penculikan hingga pembatasan terhadap akses-akses publik pun terus diupayakan
pemerintah soeharto untuk menekan batalnya agenda reformasi yang di canangkan para
mahasiswa.

Gerakan reformasi ini memang tidak lepas dari kepopuleran mahasiswa sebagai kaum
intelektual. Atas dasar nilai-nilai yang terkandung dalam diri mahasiswa sebagai kaum
akademis, solutif, aplikatif yang berdasarkan pada semangat perjuangan dan bertanggungjawab
atas pelaksanaan kehidupan berbangsa dan bernegara, sehingga menumbuhkan keprihatinan
pada kondisi saat itu dan kembali bergerak mempelopori berubahan berlandaskan cita-cita
bangsa dan demi kejahteraan rakyat.
Kejeniusan dan kecerdikaan mahasiswa saat itu dalam melihat berbagai pokok permasalan lalu
menguraikanya dalam bentuk sebuah gerakan aksi nyata menjelma bak kekuatan militer
raksasa yang selama ini melindungi rezim tetapi ini justru sebaliknya keuatan mahasiswa hadir
sebagai perlawanan terhadap rezim, mahasiswa melalui ranah akademisinya terus melakukan
studi hingga riset-riset untuk kepentingan ekonomi, pendidikan bahkan iptek demi menunjang
gerakan perlawanan yang sempurna.
Mahasiswa terus saja bertangung jawab belajar untuk menyiapkan dirinya menjadi pemipin
sekaligus menjadikan kampus sebagai sebuah wadah untuk terus melakukan penelitian serta
sumber menjalin pertalian antara satu akademisi dan yang lain, dan terus gencar membuat
kajian-kajian dialektika intelektual demi membantu memecahkan permasalahan dalam
masyarakat.

Saat itu mahasiswa benar-benar sebagai representasi masyarakat, kemampuan mengebangkan


ide gagasan serta kemampuan memilih dan memilah informasi atau bahan bacaan menjadikan
mereka sebagai kaum inteleketual yang mampu memproduksi ide dan gagasan demi
mewujudkan cita-cita indonesia yang lebih baik.

Mundurnya karakter berfikir kritis Mahasiswa saat ini

Hegemoni kekuatan dan indepensi mahasiswa seperti era awal reformasi ternyata tak
berlangsung lama, belakangan kami tidak lagi sering mendengar keaktifan mahasiswa dalam
ruang-ruang keresahaan masyarakat, justru kami sering disugukan berbagai kekonyolahn
mahasiswa dalam aksi-aksi masa yang mereka lakukan, maka dari itu tidak heran jika sering
diketemukan mahasiswa melakukan protes tetapi tak satupun dari mereka memahami niila-
nilai protes yang dilakukan tak jarang pula aksi masa dilakukan tanpa ada proses kajian yang
melibatkan berbagai struktur elemen masyarakat.
Tak sedikit mahasiswa yang cenderung menganggap bahwa tak begitu penting menjadi
mahasiswa aktif baik dalam pergerakan masa atau bahkan diskusi-diskusi, ruang kelas yang
harusnya menjadi wadah paling ideal dalam beradu pendapat kini cenderung pasif, hening,
komunikasi hanya menyetujui pendapat dosen sebagai tenga pengajar, sehingga banyak
mahasiswa tidak bisa berfokus pada penyelsaian sebuah masalah, bahkan kami menemukan
dalam beberapa studi kasus menunjukan ada sentimen terhadap mahasiswa yang selalu
mencoba mempertanyai pernyataan-pernyataan yang ada, beberapa dari mereka di anggap
sebagai mahasiswa caper atau pencari perhatian dosen tak sedikit pula dari mereka yang diberi
sterotipe-sterotipe yang cenderung mengucilkan.
Wakil dekan bidang kemahasiswaan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Univeristas
Brawijaya mengatakan kepada Malang Times “Dalam kurun waktu terakhir ini mahasiswa itu
sudah mulai melempem di dalam melihat berbagai persoalan, Tidak boleh lagi mahasiswa
melempem. Dia harus berteriak atas berbagai persoalan-persoalan yang ada di sekitar mereka
karena itulah ruh mahasiswa”
Pernyataan di atas memang bukan sesuatu yang mengada-ngada atau sekedar ungkapan tanpa
dasar, kondisi kemunduran mahasiswa dalam berfikir kritis juga relevan dengan data yang di
keluarkan oleh jurnal cendekia pendidikan matematika yang di tulis oleh Indri Anugraheni seorag
dosen PGSD Universitas Kristen Satya Wacana, dalam jurnal tersebut dibeberkan sebuah data
hasil studi yang mengungkapkan bahwa 64,06% mahasiswa kesulitan dalam menyelesaikan
masalah 53,13% mahasiswa kesulitan mencari alternatif penyelesaian dari permasalahan yang
diberikan. Kemampuan berpikir kritis mahasiswa tampak dari 67,19% mahasiswa mampu
memahami permasalahan matematika, 85,94% mahasiswa mampu memeriksa dan menarik
kesimpulan dari permasalahan yang diberikan.
Hal ini berbanding lurus dengan fakta dilapangan yang menampilkan masih banyaknya
mahasiswa kesulitan dalam menyelesaikan permasalahan yang berkaitan dengan pola berpikir
kritis. Mahasiswa kurang memahami permasalahan kemampuan berpikir kritis terkait dengan
indikator: kemampuan mahasiswa mendefinisikan permasalahan yang diberikan, kemampuan
mahasiswa memilih informasi yang relevan untuk menyelesaikan permasalahan, kemampuan
mahasiswa untuk mengembangkan dan memilih hipotesisi yang relevan serta kemampuan
memutuskan kesimpulan dari permasalahan yang diberikan. Setiap tahapan dalam pemecahan
masalah memerlukan kemampuan berpikir kritis mahasiswa, Dalam kegiatan pembelajaran
pemecahan masalah ditemukan banyak sekali kesulitan dalam menyelesaikan masalah.

Indikator Persentase 
(%)

Baik Kurang
Kemampuan mendefinisakan masallah 67,19 32,81 100
Kemampuan memilih informasi yang relevan 46,88 53,15 100
untuk penyelsaian masalah
Kemampuan mengembangkan dan memilih 35,94 46,06 100
hipotesis yang relevan
Kemampuan meligitasmi kesimpulan dan 85,94 14,6 100
mengevaluasi inferensi
Sumber jurnal cedekia pendidikan matematika universitas kriten satya wacana
Upaya mengembalikan karakter kritis mahasiwa dalam mata kuliah pancasila dan
kewarganegaraan
Berbagai upaya coba di usahakan untuk mengembalikan ruang kelas yang riuh akan dikusi-
diskusi, tetapi berbagai alasan dan sebab juga ruang kelas tetap hening dan sepi, khusus mata
kuliah kewarganegaraan dan pacasila tidak sedikit mahasiswa beranggapan tidak begitu
penting karena hanya sebagai mata kuliah dasar utama, padahal mata kuliah ini selalu bisa
berhasil menjadi pondasi yang kokoh bagi mahasiswa baru untuk memahami berbagai konteks
permasalahan dalam sosial masyarakat.
Dosen sebagai pembimbing atau pengajar mempunyai peran penting dalam memberikan
masalah atau permasalahan kepada mahasiswa sebagai sebuah metode yang akan mampu
merangsang mahasiswa berfikir kritis dan memecahkan masalah. Namun kenyataannya sering
berbanding terbalik, kondisi diskusi ruang kelas sering hanya melibatkan 1-2 mahasiswa yang
tampilanya juga itu-itu saja, berbagai sebab di anulir menjadi sumber masalah ini seperti
banyaknya mahasiswa jenuh akan mata kuliah pancasila dan kewarganegaraan, sulitnya
mahasiswa dalam menyelesaikan permasalahan yang berkaitan dengan berpikir kritis. Sebagai
bentuk upaya untuk memperbaiki ini, mungkin beberapa hal berikut bisa menjadi solusi kongrit
yang patut dicoba:
1. Pendekatan saintifik, (mahasiswa bisa mengelola informasi atau data, kemudian
mengkomunikasikan dengan secara kritis).

2. pendekatan kontekstual, yaitu membantu dosen mengaitkan antara materi yang hubungan
antara pengetahuan yang dimilikinya mahasiswa dengan cara penerapannya.
3. pendekatan problem yang diformulasikan memiliki multi jawaban yang benar disebut
problem tak lengkap atau disebut juga open ended problem atau soal terbuka.
Seperti di lansir jurnal Darussalam, Institut Agama Islam Banyuwangi, oleh Eko Budiyowno
mengatakan “bahwa Pendidikan Pancasila sebagai pendidikan berkarakter bagi setiap
warga negara Indonesia memiliki peranan penting dalam upaya mewujudkan Indonesia yang
maju dan bermartabat, Pendidikan Pancasila ini sangatlah urgen diberikan khususnya
bagi para mahasiswa di perguruan tinggi, Pendidikan karakter terintegrasi dalam Pendidikan
Pancasila sebagai mata kuliah dasar umum yang wajib diikuti oleh seluruh mahasiswa.
Pemberian mata kuliah Pendidikan Pancasila kepada setiap mahasiswa itu sebagai wujud
pengembangan karakter, watak dan akhlak yang sesuai dengan nilai-nilai Pancasila,
dimaksudkan untuk mencegah timbulnya radikalisme yang membahayakan negara, dan juga
agar setiap mahasiswa dapat memahami dan mengamalkan nilai Pancasila.
Perguruan tinggi adalah sebuah pusat penghasil pemimpin bangsa, pemimpin yang cocok di
masa kini dan mempelopori moderenisasi. Eksistensi mahasiswa sebagai generasi muda
merupakan ujung tombak harapan bangsa, mahasiswa adalah aset berharga untuk masa depan
Indonesia. Maka dari itu, untuk menjadi bangsa yang berdaulat, berdikari, dan unggul, setiap
generasi muda harus memiliki karakter. Dengan pendidikan pancasila, mahasiswa didambakan
menjadi warganegara Indonesia yang unggul dalam penguasaan Iptek dan seni, namun tidak
kehilangan jati dirinya, apalagi tercabut dari karakter budaya bangsa dan keimanannya.

Anda mungkin juga menyukai