Anda di halaman 1dari 20

Sunan Kudus, Profil Singkat Walisongo

Surau.co – Sunan Kudus adalah Maulana Ja’far al-Shadiq ibn Sunan Utsman. Nama
kecilnya Ja’far Shadiq. Ia putra pasangan Sunan Ngudung dan Syarifah (adik Sunan
Bonang), anak Nyi Ageng Maloka. Disebutkan bahwa Sunan Ngudung adalah salah
seorang putra Sultan di Mesir yang berkelana hingga di Jawa. Di Kesultanan
Demak, ia pun diangkat menjadi Panglima Perang, kegiatannya berpusat di Kudus,
Jawa Tengah. Berkat ketinggian ilmu dan kecerdasan pemahamannya, oleh orang-
orang Jawa dijuluki walinya ilmu.

Sunan Kudus

Sunan Kudus banyak berguru pada Sunan Kalijaga. Kemudian ia berkelana ke


berbagai daerah tandus di Jawa Tengah seperti Sragen Simo hingga Gunung Kidul.
Cara berdakwahnya pun meniru pendekatan Sunan Kalijaga: sangat toleran pada
budaya setempat, bahkan cara penyampaiannya lebih halus.

Cara Sunan Kudus mendekati masyarakat Kudus adalah dengan memanfaatkan


simbol-simbol Hindu dan Budha. Hal itu terlihat dari arsitektur masjid Kudus.
Bentuk menara, gerbang dan pancuran/padasan wudhu yang melambangkan
delapan jalan Budha. Sebuah wujud kompromi yang dilakukan Sunan Kudus.

Sunan Kudus juga menggubah cerita-cerita ketauhidan. Kisah tersebut disusunnya


secara berseri, sehingga masyarakat tertarik untuk mengikuti kelanjutannya.
Sebuah pendekatan yang tampaknya mengadopsi cerita 1001 malam dari masa
kekhalifahan Abbasiyah. Dengan begitulah ia mengikat masyarakatnya. Bukan
hanya berdakwah seperti itu yang dilakukan Sunan Kudus. Sebagaimana ayahnya,
ia juga pernah menjadi Panglima Perang Kesultanan Demak. Maulana Ja’far al-
Shadiq ikut bertempur saat Demak, di bawah kepemimpinan Sultan Prawata,
bertempur melawan Adipati Jipang, Arya Panangsang.

Perjalanan Hidup Sunan Kudus


Sunan Kudus salah satu dari sembilan wali yang menyebarkan agama Islam di
tanah Jawa. Ia diperkirakan lahir pada 9 September 1400 Masehi/808 Hijriah. Ada
juga yang mengatakan kalau ia lahir sekitar tahun 1500, dan meninggal tahun
1550, makamnya berada di Kudus. Adapun nama dari Sunan Kudus sendiri, ialah
Sayyid Ja’far Shadiq Azmatkhan.

Mengenai asal-usul atau silsila Sunan Kudus, ia merupakan putra dari Sunan
Ngudung atau Raden Usman Haji. Ibunya bernama Syarifah Ruhil atau Dewi Ruhil.
Yang diberi Nyai Anom Manyuran binti Nyai Ageng Melaka binti Sunan Ampel. Jika
diurut, Maulana Ja’far al-Shadiq akan sampai pada Nabi Muhammad, yang
keturunan ke-24. Untuk mengetahui lebih lanjut silsilahnya sebagai berikut:

Sunan Kudus bin Sunan Ngudung bin Fadhal Ali Murtadha bin Ibrahim Zainuddin
Al-Akbar bin Jamaluddin Al-Husain bin Ahmad Jalaluddin bin Abdillah bin Abdul
Malik Azmatkhan bin Alwi Ammil Faqih bin Muhammad Shahib Mirbath bin Ali
Khali’ Qasam bin Alwi bin Muhammad bin Alwi bin Ubaidillah bin Ahmad Al-Muhajir
bin Isa bin Muhammad bin Ali Al-Uraidhi bin Ja’far Shadiq bin Muhammad Al-Baqir
bin Ali Zainal Abidin bin Al-Husain bin Sayyidah Fathimah Az-Zahra binti Nabi
Muhammad Rasulullah.

Berguru pada Kyai Telingsing

Sunan Kudus dapat mewarisi kepribadian orang China (baca: Tiongkok), ketika ia
berguru pada Kyai Telingsing. Pelajaran berharga yang ia dapatkan dari Kyai
Telingsing, ia menjadi pribadi yang tekun, disiplin untuk meraih keinginannya.
Keinginan yang ia dambakan saat melakukan dakwah untuk menyebarkan syiar
Islam. Ia berhadapan dengan masyarakat yang mempunyai ajaran yang taat, yang
sukar sekali dapat dirubah dalam waktu dekat. Berkat ketekunannya ia dapat
merubah masyarakat yang beragama Hindu dan Budha ke Islam. Selesai berguru
pada Kyai Telingsing, kemudian ia hijrah ke Surabaya guna belajar pada Sunan
Ampel.

Setelah ia selesai menimba ilmu dari para guru-gurunya. Ia berkelana ke berbagai


daerah di Jawa Tengah, utamanya di jalur selatan seperti Sragen, Simo (Boyolali)
sampai ke Gunung Kidul (Yogyakarta).

Adapun metode dakwah yang dilakukan oleh Sunan Kudus, ia meniru pola atau
cara yang dilakukan oleh Sunan Kalijaga dan Sunan Bonang. Guna melacak lebih
jauh metode dakwah yang dilakukannya sebagai berikut:

1. Untuk merubah suatu masyarakat yang masih kental dengan ajaran lamanya. Ia
memberikan kelonggaran terhadap adat istiadat yang sudah berkembang sejak
lama. Asal tidak menggunakan jalan kekerasan atau radikal saat berhadapan
dengan masyarakat.
2. Ada yang tidak sesuai dengan Islam, selagi itu dapat diubah, Sunan Kudus
berusaha perlahan-lahan dihilangkan.
3. Tut Wuri Handayani yang berarti ikut serta dan nimbrung dengan kegiatan
masyarakat dengan sedikit demi seidikit mempengaruhinya. Sesuai dengan sebuah
prinsipTut Wuri Hangiseni: masuk secara perlahan lalu memberikan nuansa Islam
di dalamya.
4. Tidak melakukan konfrontasi langsung atau melakukan tindakkekerasan. Prinsip
dikenal dengan sebuah ujaran, mengambil ikan tetapi tidak sampai mengeruhkan
airnya.
5. Berusaha menarik simpati masyarakat agar menyukai ajaran agama Islam.
Sehingga, secara perlahan mereka akan mengikuti.

Strategi Dakwah Sunan Kudus


Mengenai bagaimana cara Sunan Kudus melakukan pendekatan dan bentuk
model-model yang ditemui. Kecerdasannya dalam mendekati umat beragam
menarik. Hal itu dapat dilacak melalui kiprahnya yang sampai saat ini masih
dikenang. Pendekatan-pendekatan persis dengan cara Sunan kalijaga. Namun, ia
mempunyai cara tersendiri dalam mendekati masyarakat yang berbeda agama.
Untuk mengetahui lebih lanjut bagaimana model strategi pendekatan yang
dilakukan oleh Sunan Kudus, dapat dipetakan sebagai berikut:

Pertama, ia mendekati umat Hindu. Ia mengajarkan toleransi dengan cara


menghormati sapi yang memang keramat dalam agama Hindu. Cara lain, ialah ia
membangun Menara Masjid dengan model Candi Hindu.

Kedua, ia mendekati umat Budha. Ia membangun tempat wudhu’ yang berjumlah


delapan. pada delapan tempat wudu’ tersebut, ia membangun Arca Kebo
Gumarang, karena ia tahu kalau Arca tersebut dihormati oleh umat Budha.

Ketiga, melakukan pembaharuan dalam acara Ritual Mitoni. Acara ini untuk
bersyukur kepada yang Tuhan berkat kelahiran anak. Acara ini sejak lama
disakralkan oleh umat kedua agama tersebut. Sunan Kudus merubah pola atau
cara penyembahan yang biasa kepada arca, diubah menjadi bersyukur kepada
Allah.

Dengan ketiga model pendekatan tersebut, ia berhasil membawa kedua umat


beragam tersebut masuk Islam. Hal ini bertujuan untuk menarik simpati
masyarakat agar mudah ikut ke ajaran Islam. Sehingga, mereka masuk tanpa
adanya unsur paksaan seperti yang memang menjadi landasan Islam. Artinya,
Sunan Kudus perlahan mengintrik psikologi kedua agama tersebut, dengan tanpa
sadar mereka masuk Islam dengan sendirinya.

Sampai-sampai model masjid, utamanya Menara merupakan salah satu bukti


berapa Sunan Kudus tidak segan-segan untuk mengadopsi tradisi arsitektur yang
selama ini dikembangkan oleh kalangan pemeluk Hindu dan Budha sebagaimana
umumnya bangunan candi peninggalan mereka.

Itulah kelebihan Sunan Kudus selain sebagai salah satu panglima perang yang
pernah dimiliki oleh Demak Bintoro. Ia tidak hanya cerdas dalam mengatur strategi
perang, melainkan juga cerdas dalam mengajak masyarakat dalam agama Islam.
Asumsi tersebut tidak lain, hanyalah untuk membawa masyarakat menuju suatu
ajaran yang berlandaskan Al-Qur’an dan Hadist dengan mengubah pola pikir yang
sebelumnya. Pendekatan ini lebih kepada nilai-nilai kebudayaan serta tradisi yang
suda berkembang sebelumnya.
Biografi Singkat Sunan Kalijaga
Dalam beberapa sumber, menyebutkan bahwa masa muda dari Sunan Kalijaga ini terdapat dua
versi. Pada versi pertama, mengatakan bahwa Sunan Kalijaga yang kala itu masih menggunakan
nama Raden Said adalah seolah pencuri. Namun, Beliau melakukan perampokan dan pencurian
ini bukan untuk dinikmatinya sendiri, melainkan untuk rakyat kecil. Kala itu, Raden Said yang
telah mendapatkan pendidikan agama sejak kecil, khawatir akan kondisi masyarakat Tuban yang
selalu diliputi oleh kemiskinan dan membuat jiwanya memberontak. Raden Said tentu saja
sudah menyampaikan kekhawatirannya tersebut ayahnya, tetapi sang Ayah hanyalah raja
bawahan dari kekuasaan Kerajaan Majapahit pusat.

Kemudian, rasa solidaritas dan simpati dari Raden Said kepada rakyat Tuban membuat Beliau
melakukan aksi nekat berupa pencurian bahan makanan di gudang Kadipaten. Setelah
melakukan pencurian, Raden Said secara diam-diam membagikannya kepada rakyat Tuban.
Namun, aksi tersebut diketahui oleh penjaga Kadipaten hingga menyebabkan Beliau
mendapatkan hukuman berupa pengusiran dari Tuban.

Setelah pengusiran tersebut, Raden Said mengembara tanpa tujuan yang pasti tetapi tetap dengan
misi yang sama, yakni merampok dan mencuri demi kepentingan rakyat kecil. Kemudian Beliau
menetap di hutan Jatiwangi, menjadi seorang berandal yang merampok orang-orang kaya yang
melewati daerah hutan tersebut. Sementara dalam versi kedua mengungkapkan bahwa sejak
kecil, Raden Said adalah sosok yang nakal dan tumbuh menjadi seorang yang sadis. Beliau
bahkan dikatakan pernah membunuh orang dan mendapatkan julukan Brandal Lokajaya.

Singkat cerita, kenakalan Raden Said berhenti setelah bertemu dengan Sunan Bonang dan
bertobat. Berdasarkan Serat Lokajaya, kala itu Raden Said tengah bersembunyi di hutan sambil
mengintai calon mangsa yang lewat. Kebetulan, saat itu terdapat orang tua yang menggunakan
pakaian serba gemerlap yang tak lain adalah Sunan Bonang. Lantas, Raden Said langsung
mendekat dan merampas harta dari Sunan Bonang, tetapi sang Sunan telah mengetahui niatnya
tersebut dan mengeluarkan kesaktiannya dengan menjelma menjadi empat wujud. Melihat hal
itu, Raden Said merasa ketakutan dan melarikan diri. Namun, kemanapun dirinya pergi, selalu
berhasil dihadang oleh Sunan Bonang. Hingga pada keadaan terpojok, Raden Said merasa takut
dan bertaubat kepada Yang Maha Kuasa.

Setelah peristiwa tersebut, Raden Said diangkat menjadi murid dari Sunan Bonang, dengan
syarat bahwa Raden Said harus menunggu Sunang Bonang di pinggir sungai sambil menjaga
tongkat miliknya. Penantian Raden Said di pinggir kali itulah yang menjadikannya disebut
sebagai Kalijaga yang berarti menjaga kali (sungai).

Menurut sejarah, Sunan Kalijaga memiliki tiga orang istri, yakni Dewi Sarah, Siti Zaenab, dan
Siti Hafsah.

 Dari pernikahannya dengan Dewi Sarah, Beliau memiliki 3 anak yakni Raden Umar Said
(Sunan Muria), Dewi Rukayah, dan Dewi Sofiah.
 Sementara itu, dari pernikahannya dengan Siti Zaenab (anak dari Sunan Gunungjati), Beliau
dikaruniai 5 anak yakni Ratu Pembayun, Nyai Ageng Panegak, Sunan Hadi, Raden
Abdurrahman, dan Nyai Ageng Ngerang.
 Lalu dari pernikahannya dengan Siti Khafsah belum diketahui secara jelas siapa nama
putranya. Perlu diketahui bahwa Siti Khafsah ini adalah putri dari Sunan Ampel.
Masa hidup Sunan Kalijaga diperkirakan mencapai lebih dari 100 tahun, yakni sekitar
pertengahan abad ke-15 sampai akhir abad 16. Dengan demikian, Beliau juga telah mengalami
masa akhir dari kekuasaan Kerajaan Majapahit tepatnya pada 1478. Bahkan Beliau juga ikut
dalam upaya merancang pembangunan Masjid Agung Cirebon dan Masjid Agung Demak.
Sunan Kalijaga kemudian wafat sekitar tahun 1680 pada usia 131 tahun. Beliau dimakamkan di
Desa Kadilangu yang terletak di Demak.

Guru Sunan Kalijaga


Dalam beberapa catatan sejarah, Sunan Kalijaga juga memiliki banyak guru lho terutama dalam
upayanya menyebarkan agama Islam di Pulau Jawa. Nah, beberapa guru tersebut adalah:

1. Sunan Bonang
Sebelumnya, Grameds pasti sudah tahu bahwa Sunan Bonang adalah sosok guru yang
memberikan nama Sunan Kalijaga kepada Raden Said ini. Yap, Sunan Bonang berperan menjadi
seorang guru yang mampu mengubah kenakalan Sunan Kalijaga menjadi sosok yang patut
diteladani hingga saat ini. Kala itu, atas dakwah Sunang Bonang yang mana mampu
menunjukkan kesaktiannya dalam mengubah buah aren menjadi emas, membuat Raden Said
bertaubat dan berusaha menjadi orang yang lebih baik. Bahkan, atas hal itu pula, Raden Said
yang berubah julukannya menjadi Sunan Kalijaga pun turut menjadi anggota dari Wali Songo.

Melihat kearifan ilmu dari Sunan Bonang menyebabkan Raden Said ingin belajar dengannya.
Sunan Bonang tentu saja mau menerima Raden Said untuk menjadi muridnya, dengan syarat
bahwa dirinya harus bertapa di pinggir sungai hingga Sunan Bonang menemuinya kembali.
Setelah penantiannya di pinggir sungai itu, Sunan Bonang menemui Raden Said kembali dan
membawanya menuju Ngampel Gading untuk mendapatkan pembelajaran agama.

2. Syekh Siti Jenar


Syekh Siti Jenar adalah sosok guru yang mengajari Sunan Kalijaga akan ilmu Ilafi. Beliau ini
juga merupakan orang pertama di Pondong Giri Amparan Jati.

3. Syekh Sutabaris
Syekh Sutabaris adalah seorang guru agama yang tinggal di Pulau Upih yang terletak di kota
Malaka sekaligus menjadi pusat perdagangan kala itu. Di pulau tersebut, Sunan Kalijaga
mendapatkan perintah dari Beliau supaya dirinya kembali ke Jawa dan membangun masjid
sekaligus menjadi penggenap dari Wali Songo. Sekembalinya Sunan Kalijaga ke Jawa,
kemudian menetaplah di Cirebon dan bertemu dengan Sunan Bonang. Desa tempat bertemunya
tersebut dikenal dengan desa Kalijaga.

4. Sunan Gunung Jati


Berdasarkan Hikayat Hasanuddin, kehadiran Sunan Kalijaga di daerah Cirebon adalah untuk
menyebarkan agama Islam sekaligus menuntut ilmu kepada Sunan Gunung Jati. Bahkan
disebutkan pula bahwa Sunan Bonang beserta keluarga, Sunan Kalijaga, dan Pangeran
Kadarajad (Sunan Drajad) juga turut berguru pada Sunan Gunung Jati. Kemudian, putri dari
Sunan Gunung Jati yang bernama Siti Zaenab diperistri oleh Sunan Kalijaga dan dikaruniai 5
anak

Strategi Dakwah Sunan Kalijaga


Perlu diketahui ya Grameds bahwa pada saat itu, masyarakat Indonesia ini masih memiliki
kepercayaan dinamisme, animisme, dan Budha. Sehingga strategi utama dalam proses
menyebarkan dakwah agama Islam yang dilakukan oleh Sunan Kalijaga adalah berupa
menggunakan pertunjukan wayang. Kala itu, pertunjukan wayang sangat digemari oleh
masyarakat yang masih menganut kepercayaan agama lama. Mengingat ajaran Islam yang
hendak disampaikan kepada masyarakat memang harus diberikan sedikit demi sedikit sehingga
mereka akan mudah dalam mengamalkan ajaran agama Islam.

Strategi dakwahnya diawali dengan mengajari masyarakat membaca kalimat syahadat terlebih
dahulu dengan hati ikhlas supaya mereka dapat masuk Islam secara agama. Kemudian selama
berdakwah, Sunan Kalijaga mengenalkan agama Islam kepada masyarakat melalui pertunjukan
wayang. Dengan kemampuannya menjadi berlakon wayang, Sunan Kalijaga berdakwah
menggunakan nama samaran, salah satunya adalah Ki Dalang Bengkok di daerah Tegal.

Kepopuleran Sunan Kalijaga menyebarkan ajaran agama Islam menggunakan lakon wayang
sangat menarik perhatian masyarakat banyak. Bahkan jika Beliau melakukan pentas di suatu
desa, masyarakat akan berbondong-bondong untuk menonton pertunjukan Beliau. Beliau juga
tidak pernah menarik bayaran di pertunjukan wayangnya. Nah sebagai ganti bayarannya, Beliau
meminta kepada seluruh masyarakat yang datang menonton untuk bersyahadat dan
mengucapkan sumpah pengakuan bahwa tidak ada Tuhan selain Allah SWT sekaligus mengakui
bahwa Nabi Muhammad SAW adalah utusan-Nya.

Cara berdakwah yang dilakukan oleh Sunan Kalijaga terlihat sangat luwes, sehingga masyarakat
Jawa yang kala itu masih banyak menganut kepercayaan lama tidak merasa bahwa kehadiran
dakwah Beliau menentang adat-istiadat. Lagipula, Sunan Kalijaga juga mendekati masyarakat
dengan cara halus, disertai pula pakaiannya yang tidak berupa jubah supaya masyarakat tidak
merasa “ketakutan” akan kehadirannya. Pakaian yang digunakan oleh Sunan Kalijaga bukanlah
jubah besar, melainkan pakaian adat Jawa sehari-hari. Selain itu, Beliau juga memanfaatkan
kesenian rakyat dan tembang-tembangnya sebagai alat dakwah. Di masyarakat Jawa, Sunan
Kalijaga dianggap sebagai wali yang paling populer dan sebagai guru agung.

Karya-Karya Sunan Kalijaga


Selama menyebarkan agama Islam di Tanah Jawa, Sunan Kalijaga selalu menggunakan kesenian
budaya Jawa dan meninggalkan banyak karya. Bahkan di tempat-tempat tertentu, ajarannya
tersebut masih dipelajari dan digunakan hingga zaman sekarang ini. Nah, berikut adalah
beberapa karya dari Sunan Kalijaga yang sudah tak asing lagi di mata masyarakat Nusantara,
yakni:

1. Seni Wayang
Proses penyebaran agama Islam di masyarakat Jawa yang dilakukan oleh Sunan Kalijaga ini
memanfaatkan kebudayaan setempat dalam bentuk wayang. Sebelumnya, wayang kulit di Tanah
Jawa ini selalu bersumberkan cerita akan Ramayana dan Mahabarata. Nah, untuk kepentingan
dakwah ini, Sunan Kalijaga memberikan pertunjukan wayang dengan corak Islam sehingga
muncul lakon wayang seperti Jimat Kalimasada, Dewa Ruci, dan Punakawan. Jimat Kalimasada
adalah bentuk perlambangan dari kalimat syahadat, yang mana terdapat nyanyian Kidung
Rumekso Ing Wengi.

Sunan Kalijaga menjadikan lakon wayang tersebut sebagai media dakwah penyebaran agama
Islam. Dalam pewayangan ini, hampir seluruhnya mementaskan kisah tentang tasawuf dan
akhlakul karimah yang berkaitan dengan kebatinan. Berhubung masyarakat pada kala itu adalah
pemeluk Budha atau Hindu, sehingga pengajaran tentang kebatinan adalah hal yang cocok.

2. Seni Ukir
Dalam menyebarkan agama Islam, Sunan Kalijaga juga menghasilkan karya berupa seni ukir
dengan bentuk dedaunan. Sejak para Wali ini datang ke Nusantara dan mengembangkan dakwah
Islam, seni ukir yang berbentuk manusia dan hewan sudah tidak dipergunakan lagi. Seni ukir
dedaunan ini diciptakan oleh Sunan Kalijaga yang hingga saat ini masih dapat ditemui dalam
alat musik gamelan dan rumah-rumah adat di sekitar Demak dan Kudus.

3. Seni Gamelan
Sunan Kalijaga juga menciptakan alat musik gamelan yang mana berupa gong sekaten dan
diberi nama Syahadatain, bermakna sebagai pengucapan dua kalimat Syahadat. Pada zaman
sekarang ini, gong tersebut ditabuh pada perayaan Maulid Nabi di sekitaran halaman Masjid
Agung Demak. Tujuannya adalah untuk mengundang masyarakat supaya berkumpul di masjid
guna mendengarkan ceramah keagamaan.

4. Seni Suara
Sunan Kalijaga juga banyak lho menciptakan karya berupa seni suara, bahkan lagu-lagunya
telah dijadikan sebagai lagu tradisional di daerah-daerah tertentu. Sebut saja adalah Ilir-Ilir,
Gundul-Gundul Pacul, Kidung Rumeksa ing Wengi, Lingsir Wengi, dan Suluk Linglung. Bahkan,
Sunan Kalijaga juga turut serta dalam penciptaan tempat macapat Dhandhanggula yang mana
memiliki kolaborasi melodi Arab dan Jawa.

5. Baju Takwa
Sunan Kalijaga menjadi salah satu anggota dari Wali Songo yang memiliki ciri khas yakni
cenderung akomodatif terhadap tradisi Jawa. Bahkan dalam cara berpakaiannya, Sunan Kalijaga
selalu menggunakan blangkon. Hal ini jelas berbeda sebab para wali lainnya cenderung
memakai jubah. Sunan Kalijaga juga diyakini sebagai pencipta baju takwa yang kemudian
disempurnakan oleh Sultan Agung. Hingga saat ini, baju takwa ini dijadikan sebagai pakaian
adat dan digunakan ketika melangsungkan pernikahan. Saat ini, baju takwa lebih dikenal dengan
Surjan.

Biografi KH. Sholeh Darat


KELAHIRAN

Muhammad Shalih ibn Umar as-Samarani atau yang lebih akrab disapa dengan
panggilan KH. Sholeh Darat lahir pada sekitar tahun 1820 /1235 H di Dukuh
Kedung Jumbleng, Desa Ngroto Kecamatan Mayong, Kabupaten Jepara.

Nama Darat yang dipakai oleh KH. Sholeh berawal dari kehidupannya yang
tinggal di kawasan dekat pantai utara Semarang yakni, tempat berlabuhnya
(mendarat) orang-orang dari luar Jawa. Kini, nama Darat tetap lestari dan
dijadikan prasasti nama kampung, Nipah Darat dan Darat Tirto. Saat ini
kampung Darat masuk dalam wilayah Kelurahan Dadapsari, Kecamatan
Semarang Utara.

WAFAT

KH. Saleh Darat wafat di Semarang pada hari Jum’at Wage 28 Ramadan 1321 H
atau pada 18 Desember 1903 dalam usia 83 tahun. Beliau dimakamkan di
pemakaman umum Bergota Semarang.
Setelah beliau meninggal dunia, setiap tanggal 10 Syawal, masyarakat dari
berbagai penjuru kota berziarah untuk menghadiri haul beliau.

KELUARGA

Selama hayatnya, KH. Sholeh Darat pernah menikah tiga kali. Pernikahannya
yang pertama adalah ketika ia masih berada di Makkah. Tidak jelas siapa nama
istrinya. Dari pernikahannya yang pertama ini, ia dikarunia seorang anak yang
diberi nama Ibrahim. Tatkala KH. Sholeh Darat pulang ke Jawa, istrinya telah
meninggal dunia dan Ibrahim tidak ikut serta ke Jawa. Ibrahim ini tidak
mempunyai keturunan. Untuk mengenang anaknya (Ibrahim) yang pertama ini,
Kiai Shalih Darat menggunakan nama Abu Ibrahim dalam halaman sampul kitab
tafsirnya, Faidh al-Rahman.

Pernikahannya yang kedua dengan Sofiyah, puteri KH. Murtadha teman karib
bapaknya, Kiai Umar, setelah ia kembali di Semarang. Dari pernikahannya ini,
mereka dikarunia dua orang putra, Yahya dan Khalil. Dari kedua putranya ini,
telah melahirkan beberapa anak dan keturunan yang bisa dijumpai hingga kini.
Sedangkan pernikahannya yang ketiga dengan Aminah, putri Bupati Bulus,
Purworejo, keturunan Arab.

Dari pernikahannya ini, mereka dikaruniai anak. Salah satu keturunannya adalah
Siti Zahrah. Siti Zahrah dijodohkan dengan KH. Dahlan santri KH. Sholeh
Darat dari Tremas, Pacitan. Dari pernikahannya ini melahirkan dua orang anak,
masing masing Rahmad dan Aisyah. KH. Dahlan meninggal di Makkah,
kemudian Siti Zahrah dijodohkan dengan KH. Amir, juga santri sendiri asal
Pekalongan. Pernikahannya yang kedua Siti Zahrah tidak melahirkan keturunan.

PENDIDIKAN

Sebagaimana anak seorang Kiai, masa kecil dan remaja KH. Sholeh
Darat dilewatinya dengan belajar al-Qur’an dan ilmu agama. Sebelum
meninggalkan tanah airnya, ada beberapa guru yang dikunjunginya guna
menimba ilmu agama, diantaranya:

1. KH. M. Syahid.

Untuk pertama kalinya KH. Sholeh Darat menuntut ilmu dari Kiai M. Syahid,
seorang ulama yang memiliki Pesantren Waturoyo, Margoyoso Kajen, Pati.
Pesantren tersebut hingga kini masih berdiri. KH. M. Syahid adalah cucu KH.
Mutamakkin yang hidup semasa Paku Buwono II (1727-1749M). kepada
KH. M. Syahid ini, KH. Sholeh Darat belajar beberapa kitab fiqih. Di
antaranya adalah kiab Fath al-Qarib, Fath al-Mu’in, Minhaj al-Qawwim,
Syarh al-Khatib, Fath al-Wahab dan lain-lain.

2. KH. Raden Haji Muhammad Shaleh bin Asnawi, Kudus.

Kepadanya KH. Sholeh Darat belajar Tafsir al-Jalalain karya Imam Suyuti.

3. KH. Ishak Damaran, Semarang.

Kepadanya KH. Sholeh Darat belajar Nahwu dan Sharaf.

4. KH. Abu Abdillah Muhammad bin Hadi Buquni, seorang Mufti di Semarang.

Kepadanya KH. Sholeh Darat ilmu falak.

5. KH. Ahmad Bafaqih Ba’alawi, Semarang.

Kepadanya KH. Sholeh Darat belajar kitab Jauhar al-Tauhid karya Syekh
Ibrahim al-Laqqani dan Minhaj al-Abidin karya imam Ghazali.

6. Syekh Abdul Ghani Bima, Semarang.

Kepadanya KH. Sholeh Darat belajar kitab Masail al-Sittin karya Abu Abbas
Ahmad al-Mishri. Yaitu sebuah kitab yang berisi ajaran-ajaran dasar Islam
yang sangat populer di Jawa pada abad ke-19 M.

7. Mbah Ahmad (Muhammad) Alim Bulus Gebang Purworejo


Kepadanya KH. Sholeh Darat mempelajari ilmu-ilmu yang berkaitan dengan
tasawuf dan tafsir al-Qur’an. Oleh Mbah Ahmad (Muhammad) Alim ini,
Kiai Shaleh Darat diperbantukan kepada Zain al-Alim (putra Mbah Ahmad
Alim), untuk mengasuh sebuah pesantren di Dukuh Salatiyang, Desa Maron,
Kecamatan Loano, Purworejo

Melihat keragaman kitab-kitab yang diperoleh oleh KH. Sholeh Darat dari
beberapa gurunya, menunjukkan betapa kemampuan dan keahlian
KH. Sholeh Darat di bidang ilmu agama.

MURID-MURID

Berkat kedalaman ilmu yang dimiliki oleh KH. Sholeh Darat, beliau telah
berhasil mencetak murid-muridnya menjadi tokoh, ulama, kiai, dan para pendiri
pondok pesantren. Murid-murid beliau diantaranya:

1. KH. Hasyim Asy’ari (pendiri NU)


2. KH. Ahmad Dahlan (pendiri Muhamadiyah),
3. KH. R. Ahmad Dahlan Tremas, seorang Ahli Falak (w. 1329 H)
4. KH. Amir Pekalongan (w. 1357 H) yang juga menantu Kiai Shaleh Darat
5. KH. Idris (nama aslinya Slamet) Solo
6. KH. Sya’ban bin Hasan Semarang yang menulis artikel “Qabul al-‘Ataya ‘an Jawabi ma
Shadara li Syaikh Abi Yahya, untuk mengoreksi salah satu dari salah satu bagian dari
kitab Majmu’at al-Syari’ah karya Kiai Shaleh Darat.
7. KH. Abdul Hamid Kendal
8. KH. Tahir, penerus pondok pesantren Mangkang Wetan, Semarang
9. KH. Sahli kauman Semarang
10. KH. Dimyati Tremas
11. KH. Chalil Rembang
12. KH. Munawir Krapyak Yogyakarta
13. KH. Dalhar Watucongol Muntilan Magelang
14. KH. Yasin Rembang
15. KH. Ridwan Ibnu Mujahid Semarang
16. KH. Abdus Shamad Surakarta
17. KH. Yasir Areng Rembang
18. RA Kartini Jepara.

PEMIKIRAN

KH. Sholeh Darat dikenal sebagai pemikir di bidang ilmu kalam. Ia adalah
pendukung paham teologi Asy’ariyah dan Maturidiyah. Pembelaannya terhadap
paham ini jelas kelihatan dalam bukunya, Tarjamah Sabil al-’Abid ‘ala Jauhar at-
Tauhid. Dalam buku ini, ia mengemukakan penafsirannya terhadap sabda
Rasulullah SAW mengenai terpecahnya umat Islam menjadi 73 golongan
sepeninggal beliau, dan hanya satu golongan yang selamat.

Menurut KH. Sholeh Darat, yang dimaksud Nabi Muhammad SAW dengan
golongan yang selamat adalah mereka yang berkelakuan seperti yang dilakukan
oleh Rasulullah SAW, yaitu melaksanakan pokok-pokok kepercayaan
Ahlussunah Waljamaah, Asy’ariyah, dan Maturidiyah.

KH. Sholeh Darat juga selalu menekankan kepada para muridnya untuk giat
menuntut ilmu. Beliau berkata “Inti sari al-Qur’an adalah dorongan kepada umat
manusia agar mempergunakan akalnya untuk memenuhi tuntutan hidupnya di dunia
dan akhirat”.

Dalam Kitab tarjamah Sabil al-‘Abid ‘Ala Jauharah al-Tauhid, KH. Sholeh
Darat menasehati bahwa, orang yang tidak mempunyai ilmu pengetahuan sama
sekali dalam keimanannya, akan jatuh pada paham dan pemahaman yang sesat.

Misalnya, paham kebatinan menegaskan bahwa amal yang diterima oleh Allah
Ta ’Ala adalah amaliyah hati yang dipararelkan dengan paham manunggaling
kawulo Gusti-nya Syekh Siti Jenar dan berakhir tragis pada perilaku taklid buta.
Iman orang taklid tidak sah menurut ulama muhaqqiqin, demikian tegasnya.
Lebih jauh diperingatkan juga, agar masyarakat awam tak terpesona oleh
kelakuan orang yang mengaku memiliki ilmu hakekat tapi meninggalkan
amalan-amalan syariat lainnya, seperti sholat dan amalan fardhu lainnya.
Kemaksiatan berbungkus kebaikan tetap saja namanya kebatilan, demikian inti
petuah religius beliau.

Sebagai ulama yang berpikiran maju, ia senantiasa menekankan perlunya ikhtiar


dan kerja keras, setelah itu baru bertawakal, menyerahkan semuanya pada Allah.
Ia sangat sedih jika ada orang yang tidak mau bekerja keras karena memandang
segala nasibnya telah ditakdirkan oleh Allah SWT. Ia juga tidak setuju dengan
teori kebebasan manusia yang menempatkan manusia sebagai pencipta hakiki
atas segala perbuatan. Tradisi berpikir kritis dan mengajarkan ilmu agama ini
terus dikembangkan hingga akhir hayatnya.

DICULIK PULANG OLEH MBAH HADI GIRIKUSUMO

Ketinggian ilmu KH. Sholeh Darat tidak hanya bisa dilihat dari karya-karya
monumental dan keberhasilan para santrinya menjadi para kiai besar tetapi juga
bisa dilihat dari pengakuan penguasa Mekkah saat KH. Sholeh Darat Darat
bermukim di Mekkah. Ia dipilih menjadi salah seorang pengajar di Mekkah. Di
sinilah KH. Sholeh Darat bertemu dengan Mbah Hadi Girikusumo pendiri
pondok pesantren Ki Ageng Girikusumo, Mranggen, Demak, Jawa Tengah. Ia
merupakan figur yang sangat berperan dalam menghadirkan KH. Sholeh
Darat ke bumi Semarang.

Melihat kehebatan KH. Sholeh Darat, Mbah Hadi Girikusumo merasa terpanggil
untuk mengajaknya pulang bersama-sama ke tanah air untuk mengembangkan
islam dan mengajar umat Islam di Jawa yang masih awam.

Namun karena KH. Sholeh Darat sudah diikat oleh penguasa Mekkah untuk
menjadi pengajar di Mekkah, sehingga ajakan pulang itu ditolak. Namun Mbah
Hadi nekat, KH. Sholeh Darat diculik, di ajak pulang. Agar tidak ketahuan, saat
mau naik kapal untuk pulang ke Jawa, KH. Sholeh Darat dimasukkan ke dalam
peti bersama barang bawaannya. Namun di tengah jalan ketahuan, jika Mbah
Hadi menculik salah seorang ulama di Masjid Mekkah. Akhirnya pada saat kapal
merapat di pelabuhan Singapura, Mbah Hadi ditangkap.

Jika ingin bebas maka harus mengganti dengan sejumlah uang sebagai denda.
Para murid Mbah Hadi yang berada di Singapura mengetahui bila gurunya
sedang menghadapi masalah besar, akhirnya membantu menyelesaikan masalah
tersebut dengan mengumpulkan dana iuran untuk menebus kesalahan Mbah
Hadi dan menebus uang ganti kepada penguasa Mekkah atas kepergian
KH. Sholeh Darat. Akhirnya, Mbah Hadi dan KH. Sholeh Darat berhasil
melanjutkan perjalanan dan berhasil mendarat ke Jawa.

Mbah Hadi langsung kembali ke Girikusumo, sedangkan KH. Sholeh


Darat menetap di Semarang, mendirikan pesantren dan mencetak kader-kader
pelanjut perjuangan Islam.

MENDIRIKAN PESANTREN

Karir KH. Sholeh Darat diawali sebagai guru yang diperbantukan di pesantren
Salatiyang yang terletak di Desa Maron, Kecamatan Loano, Purworejo.
Pesantren ini didirikan sekitar abad 18 oleh tiga orang sufi, masing-masing KH.
Ahmad (Muhammad) Alim, KH. Muhammad Alim (putra Mbah KH. Ahmad
Alim), dan KH. Zain al Alim (Muhammad Zein, juga putra Mbah Kiai Ahmad
Alim).

Dalam perkembangan selanjutnya pesanten ini dipercayakan kepada KH. Zain al


Alim. Sementara Mbah KH. Ahmad (Muhammad) Alim mengasuh sebuah
pesantren, belakangan bernama al-Iman, di desa Bulus, Kecamatan Gebang.

Adapun KH. Muhamad Alim (putra Mbah Kiai Ahmad Alim) mengembangkan
pesantrennya juga di Desa Maron, yang kini dikenal dengan pesantren al-Anwar.
Jadi kedudukan KH. Sholeh Darat adalah sebagai pengajar yang membantu Kiai
Zain al Alim (Muhammad Zein).

Pesantren Salatiyang sendiri lebih menfokuskan pada bidang penghafalan al-


Qur’an, di samping mengajar kitab kuning. Di sinilah besar kemungkinannya,
KH. Sholeh Darat diperbantukan untuk mengajar kitab kuning, seperti fiqh,
tafsir dan nahwu Sharaf, kepada para santri yang sedang menghafal al-Qur’an.
Di antara santri jebolan Salatiyang adalah Kiai Baihaqi (Magelang). Kiai Ma’aif,
Wonosobo, Kiai Muttaqin, Lampung Tengah, Kiai Hidayat (Ciamis), KH.
Fathulah (Indramayu), dan lain sebagainya.

Tidak jelas, berapa lama KH. Sholeh Darat mengajar di pesantren Salatiyang.
Sejarah hanya mencatat, bahwa pada sekitar 1870-an KH. Sholeh
Darat mendirikan sebuah pesantren baru di Darat, Semarang.

Hitungan angka ini didasarkan pada kitabnya, al-Hikam, Yang ditulis rampung
dengan menggunakan Bahasa Arab Pegon pada tahun 1289 H/1871 M.
Pesantren Darat merupakan pesanten tertua kedua di Semarang setelah
pesantren Dondong, Mangkang Wetan, Semarang yang didirikan oleh Kiai
Syada’ dan Kiai Darda’, dua mantan prajurit Diponegoro. Di pesantren ini pula
KH. Sholeh Darat pernah menimba ilmu sebelum pergi ke Mekkah.

Selama mengasuh pesanten, KH. Sholeh Darat dikenal kurang begitu


memperhatikan kelembagaan pesantren. Karena faktor inilah, pesantren Darat
hilang tanpa bekas sepeninggalan KH. Sholeh Darat, pada 1903 M. konon
bersamaan meninggalnya KH. Sholeh Darat, salah seorang santri seniornya, KH.
Idris dari Solo, telah memboyong sejumlah santri dari Pesantren Darat ini ke
Solo. KH. Idris inilah yang kemudian menghidupkan kembali pondok pesantren
Jamsaren, yang pernah didirikan oleh KH. Jamsari.

Ada versi lain yang menyebutkan bahwa pesantren yang didirikan oleh
KH. Sholeh Darat bukanlah pesantren dalam arti sebenarnya, di mana ada
bangunan fisik yang mendukung. Pesantren Darat hanyalah majelis pengajian
dengan kajian bermutu yang diikuti oleh parasantri kalong. Ini mungkin terjadi,
mengingat kedekatan pesantren Darat dengan pesantren Mangkang, dimana
KH. Sholeh Darat pernah belajar di sana, bisa mempengaruhi tingkat
ketawadlu’an kiai senior.
KAROMAH

KH. Shaleh Darat merupakan sosok ulama yang memiliki andil besar dalam
penyebaran Islam di Pantai Utara jawa Khususnnya di Semarang. Ayahnya yaitu
KH Umar, adalah ulama terkemuka yang dipercaya Pangeran Diponegoro dalam
perang Jawa melawan Belanda di wilayah pesisir utara Jawa.

Setelah mendapat bekal ilmu agama dari ayahnya, Shaleh kecil mulai
mengembara, belajar dari satu ulama ke ulama lain. Tercatat KH Syahid
Waturaja (belajar kitab fiqih, seperti Fath al-Qarib, Fath Al Mu’in, Minhaj al-
Qawim, dan Syarb al-Khatib).Berlanjut kepada Ahmad Bafaqih Balawi demi
mengkritisi kajian Jauharah at-Tauhid buah karya Syaikh Ibrahim al-Laqani dan
Minhaj al-Abidin ka rya Al-Ghazali.

Masih di kota lumpia, Semarang, Kitab Masa’il as-Sittin karya Abu al-Abbas
Ahmad al-Misri, sebuah depiksi tentang ajaran dasar Islam populer di Jawa
sekitar abad ke-19 dicernanya dengan tuntas dari Syaikh Abdul al-Ghani.

Tak pernah puas, haus ilmu, itulah sifat setiap ulama. Demikian pula beliau,
nyantri kepada Kiai Syada’ dan Kiai Murtadla pun dijalaninya yang kemudian
menjadikannya sebagai menantu. Setelah menikah, Shaleh Darat merantau ke
Makkah, di tanah haram, dia berguru kepada ulama-ulama besar, antara lain
Syekh Muhammad al-Muqri, Syekh Muhammad ibn Sulaiman Hasbullah al-
Makki, Sayyid Ahmad ibn Zaini Dahlan, Syekh Ahmad Nahrawi.

Salah satu muridnya yang terkenal tetapi bukan dari kalangan ulama adalah
Raden Ajeng Kartini. Karena RA Kartini inilah Mbah Shaleh Darat menjadi
pelopor penerjemahan Alquran ke Bahasa Jawa. Menurut catatan cucu
Kiai Shaleh Darat, RA Kartini pernah punya pengalaman tidak menyenangkan
saat mempelajari Islam. Guru ngajinya memarahinya karena dia bertanya
tentang arti sebuah ayat Alquran.
Kemudian ketika berkunjung ke rumah pamannya, seorang Bupati Demak, RA
Kartini menyempatkan diri mengikuti pengajian yang diberikan oleh
Mbah Shaleh Darat.

Saat itu beliau sedang mengajarkan tafsir Surat Al-Fatihah. RA Kartini menjadi
amat tertarik dengan Mbah Shaleh Darat. Dalam sebuah pertemuan RA Kartini
meminta agar Alquran diterjemahkan karena menurutnya tidak ada gunanya
membaca kitab suci yang tidak diketahui artinya.

Tetapi pada waktu itu penjajah Belanda secara resmi melarang orang
menerjemahkan Alquran. Mbah Shaleh Darat melanggar larangan ini. Beliau
menerjemahkan Alquran dengan ditulis dalam huruf arab gundul (pegon)
sehingga tak dicurigai penjajah.

Kitab tafsir dan terjemahan Alquran ini diberi nama Kitab Faid Ar-Rahman,
tafsir pertama di Nusantara dalam bahasa Jawa dengan aksara Kitab ini pula
yang dihadiahkannya kepada R.A. Kartini pada saat dia menikah dengan R.M.
Joyodiningrat, seroang Bupati Rembang.

Sebagai Wali Allah Mbah Shaleh Darat juga dikenal memiliki karamah.
Makamnya pun menjadi tujuan ziarah banyak orang. Salah seorang wali terkenal
yang suka mengunjungi makamnya adalah Gus Miek (Hamim Jazuli).

Dikisahkan bahwa suatu ketika Mbah Shaleh Darat sedang berjalan kaki menuju
Semarang. Kemudian lewatlah tentara Belanda berkendara mobil. Begitu mobil
mereka menyalip Mbah Shaleh, tiba-tiba mogok. Mobil itu baru bisa berjalan
lagi setelah tentara Belanda memberi tumpangan kepada Mbah Shaleh Darat.

Di lain waktu, karena mengetahui pengaruh Mbah Shaleh Darat yang besar,
pemerintah Belanda mencoba menyogok Mbah Shaleh Darat. Maka diutuslah
seseorang untuk menghadiahkann banyak uang kepada Mbah Shaleh, dengan
harapan Mbah Shaleh Darat mau berkompromi dengan penjajah Belanda.

Mengetahui hal ini Mbah Shaleh Darat marah, dan tiba-tiba dia mengubah
bongkahan batu menjadi emas di hadapan utusan Belanda itu. Namun kemudian
Mbah Shaleh Darat menyesal telah memperlihatkan karomahnya di depan
orang. Beliau dikabarkan banyak menangis jika mengingat kejadian ini hingga
akhir hayatnya.

TEMAN-TEMAN SEPERGURUAN

Semasa belajar di Makkah, KH. Sholeh Darat banyak bersentuhan dengan


ulama-ulama Indonesia yang belajar di sana. Di antara para ulama yang sezaman
dengannya adalah:

1. Syekh Nawawi al-Bantani


2. Syekh Ahmad Khatib

Ia seorang ulama asal Minangkabau. Lahir pada 6 Dzulhijjah 1276 (26 Mei
1860 M) dan wafat di Makkah pada 9 Jumadil Awwal (1916 M). Dalam
sejarahnya, dua tokoh pendiri NU dan Muhamadiyyah KH. Hasyim
As’ari dan KH. Ahmad Dahlan pernah menjadi murid Ahmad Khatib.
Tercatat ada sekitar 49 karya yang pernah ditulisnya. Di antaranya kiitab
Al-Nafahat dan Al-Jawahir fi A’mal a-Jaibiyyat.

3. KH. Mahfuzh a-Tirmasi

Ia adalah kakak dari Kiai Dimyati. Selama di Mekkah, ia juga berguru


kepada Ahmad Zaini Dahlan. Ia wafat tahun 1338 H (1918 M).

4. KH. Khalil Bangkalan, Madura

Ia adalah salah seorang teman dekat Kiai Shaleh Darat. Namanya cukup
terkenal di kalangan para Kiai pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20.
ia belajar di Mekkah sekitar pada tahun 1860 dan wafat pada tahun 1923.
KARYA-KARYA

Di akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, banyak ulama Indonesia yang
menghasilkan karya tulis besar. Tidak sedikt dari karya-karya mereka yang
ditulis dengan bahasa Arab. Setelah Kiai Ahmad Rifa’I dari Kalisalak (1786-
1875 M) yang banyak menulis kitab yang berbahasa Jawa, tampaknya
KH. Sholeh Darat adalah satu-satunya kiai akhir abad ke-19 yang karya tulis
keagamaanya berbahasa Jawa.

Adapun karya-karya KH. Sholeh Darat yang sebagiannya merupakan terjemahan,


berjumlah tidak kuang dari 13 buah, yaitu:

1. Majmu’at Syari’at al-Kafiyat li al-Awam. Kitab ini khusus membahas persoalan fiqih
yang ditulis dengan bahasa Jawa dengan huruf Arab Pegon.

2. Munjiyat Metik Sangking Ihya’ Ulum al-Din al-Ghazali. Sebuah kitab yang merupakan
petikan dari kitab Ihya’ Ulum al-Din juz 3 dan 4.

3. Al-Hikam karya Ahmad bin Athailah. Kitab ini merupakan terjemahan dalam bahasa
Jawa.

4. Lathaif al-Thaharah. Kitab ini berisi tentang hakikat dan rahasia shalat, puasa dan
keutamaan bulan muharram, Rajab dan Sya’ban. Kitab ini ditulis dengan bahasa
Jawa.

5. Manasik al-Haj. Kitab ini berisi tuntunan atau tatacara ibadah haji.

6. Pasolatan. Kitab ini berisi hal-hal yang berhubungan dengan shalat (tuntunan shalat)
ima waktu, kitab ini ditulis dengan bahasa Jawa dengan Huruf Arab pegon.

7. Sabillu ‘Abid terjemahan Jauhar al-Tauhid, karya Ibrahim Laqqani. Kitab ini
merupakan terjemahan berbahasa Jawa.

8. Minhaj al-Atkiya’. Kitab ini berisi tuntunan bagi orang orang yang bertaqwa atau cara-
cara mendekatkan diri kepada Allah SWT.

9. Al-Mursyid al-Wajiz. Kitab ini berisi tentang ilmu-ilmu al-Quran dan ilmu Tajwid.

10. Hadits al-Mi’raj

11. Syarh Maulid al-Burdah

12. Faidh al-Rahman. Kitab ini ditulis pada 5 Rajab 1309 H/1891M. kitab ini diterbitkan di
Singapura.

13. Asnar al-Shalah


Hampir semua karya KH. Sholeh Darat ditulis dalam bahasa Jawa dan
menggunakan huruf Arab (Pegon atau Jawi); hanya sebahagian kecil yang ditulis
dalam bahasa Arab. Dari 13 kitab karya KH. Sholeh Darat berhasil
dikumpulkan. Sebagian kitab tersebut dicetak di Bombay (India) dan Singapura.
Hingga kini, keturunan KH. Sholeh Darat terus melakukan pencarian dan
penelusuran kitab-kitab tersebut ke masing-masing keluarga keturunan
KH. Sholeh Darat di Jepara, Kendal, bahkan sampai ke negara-negara Timur
Tengah.

Anda mungkin juga menyukai