Anda di halaman 1dari 18

TUGAS KLIPING BAHASA INDONESIA

“CERPEN”

Disusun Oleh
Nama : Bunga Anggraeni Putri
Kelas : IX B

MTs. MUSLIMIN CIPEUNDEUY


2033 - 2023
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Alloh


SWT karena buku Kumpulan Cerpen ini selesai disusun. Buku ini disusun untuk
para pembaca dan peni’mat karya sastra supaya bekenan untuk membaca karya
kami. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak/Ibu Guru atas bimbingan
dan arahan dalam penulisan buku ini. Penulis menyadari apabila dalam
penyusunan buku Kumpulan Cerpen ini terdapat kekurangan, tetapi penulis
meyakini sepenuhnya bahwa sekecil apapun buku ini tetap memberikan manfaat.
Akhir kata guna penyempurnaan buku ini kritik dan saran dari pembaca sangat
penulis nantikan.
Judul : Hijrah hati.
Oleh : Anzhar Wiguna
Suatu sore di kelas di sebuah Universitas islam, aku mengakhiri hari ini
sebagai murid baru pindahan dari daerah lain. maklum karena orang tuaku
terpaksa pindah rumah supaya ayahku tak terlalu jauh ketika pulang-pergi tuk
berkerja.
Suasana masih ramai oleh suara anak-anak mahasiswa ikhwan yang sudah
tak sabar untuk segera melepas penat yang sudah membungbung di jam kuliah
hari tadi, ketika itu waktu sudah menunjukkan pukul 16.00, diriku dan kawan-
kawanku pun bergegas bubar dari kelas fakultas teknik komputer setelah
membawa do'a akhir majelis tuk pulang keluar mengakhiri hari yang melelahkan
ini.
Aku mengajak Iqbal, kawan lamaku ketika di SMP yang sudah lama
bersekolah di universitas ini tuk makan sore di kantin kampus.
“Bal... makan sore yukk udah laper nih.”
“Nanti aja deh zar, ana mau pulang ke rumah dulu.”
“Gak makan dulu nii sebelum pulang.”
“Lain kali aja deh zar... lagian juga udah sore bro…duluan yaa...
assalamualaikum.”
“Wa'alaikumsalam bang.”
Sekelebat kemudian Iqbal menghilang di tengah keramaian para
mahasiswa yang berlalu-lalang di sekitarku, aku pun berjalan pulang menyusuri
koridor kelas menuju ke kantin mengingat diriku semakin lapar seiring dengan
berlalunya waktu.
Tiba-tiba sosok bayangan besar dari belakang mengagetkan diriku.
“Heyyyy zarr... makan sore yuk dah laper bro.”
“Okee hayu beli baso ah biar seger hehe.”
Ternyata itu Fuad, kawan lama ku yang sudah duluan masuk ke universitas
ini, aku, Fuad, dan Iqbal... teringat aku atas apa masa SMP dahulu, kita bertiga
adalah kawan karib di masa SMP.
“Yassalam.. eh kirain ana siapa, dasar antum ada-ada aja dah, eh bro... kok
Iqbal tadi kaya buru-buru banget yaa?, antum tau engga dia kenapa?”, aku
bertanya dengan heran.
Sambil menunggu baso siap dihidangkan Fuad pun menceritakan kisah
Iqbal selama ini kepadaku, tak kusangka kawan lama ku yang sudah jarang
kutemui sudah berubah 180 derajat sekalinya aku bertemu denganya.
“Oh... gak usah aneh zar... dia itu shubuh dan sore biasa mandiin ibunya
semenjak ibunya terkena stroke... gantiin dan bersihin pampers dikala ibunya
buang air dan ngajak jalan-jalan setiap pagi biar kena sinar matahari..., padahal
dia keluarganya kaya... nyewa perawat aja bisa... tapi dia gak mau... malah dia
urus sendiri semuanya... dia gak pernah mau ambil job yang bikin dia harus
lembur yang bikin dia sibuk ngerjain tugas, padahal proyek- proyek kuliah dia
banyak yang mesti dia selesaikan”.
Aku tersenyum tertegun mendengar cerita kawan-kawan baikku... terpikir
olehku diantara sekian banyak orang yang memilih memasukkan orangtuanya ke
panti jompo atau menyewa suster untuk merawat orangtua yang sudah tua... tetapi
dia... lebih memilih melakukanya sendiri... bakti sejati seorang anak kepada
orangtuanya.
Sambil memakan baso yang kami pesan tadi dengan penuh kenikmatan,
aku pun bertanya lagi ke Fuad tentang Iqbal.
“Pernah gak antum nanya atau ngajak dia cerita tentang kenapa dia mau
kaya gitu ad?.
“Pernah... dia bilang... 9 bulan ibu mengandung dengan penuh beban, 2
tahun seorang ibu menyusui dengan penuh menahan banyak hal dan larangan...
seorang ibu rela mengorbankan masa mudanya demi membesarkan
anaknya, ,menahan amarah atas kejahilan anaknya, kesalahan anaknya,
kebodohan anaknya, keisengan anaknya... mengorbankan kebebasanya untuk
menjaga anaknya.
“Masya Allah”, terucap dari bibirku setelah aku meminum air Al Masoem
tuk melegakan dahaga ku, Fuad pun melanjutkan kisahnya.
“Tuk memastikan perut anaknya terisi makanan dan tidur dengan pulas
disaat sering seorang ibu tidur dalam keadaan menahan lapar dan tak tidur
menjaga anaknya dari gigitan nyamuk... tak kenal lelah memperhatikan anaknya...
menasehati dan memperjuangkan hidup anaknya dengan mengesampingkan
perasaan ingin menikmati kesenangan-kesenangan pribadinya.”
Tak terasa baso kami pun sudah habis karena saking asiknya bercerita,
terutama aku yang baru mendengar kabar tentang Iqbal setelah lama berpisah dari
SMP.
Aku pun pamit ke Fuad setelah kami kenyang dan berdoa usai makan baso
tadi, akhirnya aku pun pulang dan tiba dirumah dengan penuh pemikiran yang
menghantui benakku, waktu ketika itu menunjukkan pukul 17.05.
Setelah salam dan salim kepada kedua orantuaku, aku pun masuk kamar
sembari bersiap untuk solat maghrib nanti, dikamar... ku rebahkan sebentar
tubuhku dikasur tuk menenangkan tubuh dan pikiranku yang telah melalui hari
yang berat ini... teringat olehku kisah kawanku tadi.
Dibenakku terpatri jalinan kata-kata kejadian yang telah kulalui di hari ini,
terbayang olehku anak macam apa aku kalau membiarkan ibu diurus oleh bukan
anak yang dibela-belanya dulu?
Anak macam apa aku jika merasa berat mengurus ibu yang telah mati-
matian menyamankan dan mengamankan aku.
Anak macam apa aku jika aku membiarkan masa tua kedua orangtuaku
tanpa menerima kebaikan aku sebagai balasan atas pengorbanan hidup kedua
orangtuaku.
Anak macam apa aku jika tugas sekolah ataupun pekerjaan dan uang lebih
aku pentingkan daripada mengurus orangtuaku yang sudah jelas-jelas sangat
berjasa atas kehidupan aku?.
Aku tak ingin menyesal jika ibuku meninggal disaat aku belum buktikan
cinta dan rasa sayang serta baktiku kepada orangtuaku, aku pun terdiam dan tak
terasa air mata meleleh dipipiku... teringat ibu dan ayahku yang semakin menua
seiring berjalanya waktu.
Aku pun bergegas mandi dan setelah bersiap-siap aku pun berangkat
berbarengan dengan orangtuaku menuju masjid, terlintas sebuah kata di benakku..
ibu.. ayah.. kalianlah malaikat penjagaku di bumi ini.
Pantang Menyerah Untuk Sekolah
Cerpen Karangan : Andhik Prastiarto
Danu adalah anak dari orang yang kurang mampu, Ibunya meninggal
dunia saat Danu berumur 2 tahun. Sepeninggal Ibunya, keluarganya menjadi
berantakan, ayah Danu mempunyai banyak hutang kepada rentenir untuk
menghidupi keluarganya, uang hasil kerja sebagai penyapu jalanan saja tidak
cukup untuk menghidupi keluarganya.
Danu duduk di kelas 6 SD, walaupun dia anak dari orang yang kurang
mampu tapi ia termasuk siswa yang cukup pandai. Setelah pulang sekolah Danu
selalu menjualkan koran dari toko koran langganannya, setiap hari Danu
mendapat uang sebesar Rp 25.000 dari hasil menjualkan koran. Uang itu ia
pergunakan untuk membelikan obat untuk adiknya yang terbaring lemah di tempat
tidur.
Suatu ketika, Danu diberi sebuah surat dari Pak Dadang, guru Danu, Surat
itu ia berikan kepada Ayahnya, ternyata isi surat tersebut adalah Danu diminta
untuk membayar uang sekolah yang sudah menunggak selama 4 bulan. Danu
berfikir apakah ia bisa melanjutkan sekolahnya atau tidak.
Danu sudah 5 hari tidak masuk sekolah, ia berusaha mencari uang bersama
ayahnya untuk membiayai sekolahnya. Pada sore hari Pak Imam Guru sekolahnya
Danu datang ke rumahnya Danu, Pak Imam bertanya kepada Danu kenapa sudah
tidak masuk sekolah selama 5 hari, Danu berterus terang bahwa ia mencari uang
bersama Ayahnya untuk membiayai sekolahnya. Cukup lama mereka berbincang-
bincang, tidak lama kemudian Pak Imam berkata kepada Danu untuk terus
sekolah, dan Pak Imam akan membiayai Sekolah (SD) Danu.
Esok harinya Danu masuk sekolah, di sekolah ada pengumuman bahwa
Ujian Sekolah akan diadakan 1 minggu kemudian, dan barang siapa yang lulus
dengan nilai yang bagus ia akan mendapat beasiswa untuk masuk SMP Harapan
Bangsa secara gratis.
Danu terus belajar dengan giat, agar ia bisa mendapatkan beasiswa
tersebut. Saat Ujian berlangsung, Danu dapat mengerjakannya dengan baik.
3 minggu kemudian hasil Ujian Nasional diumumkan, Danu sangat
gembira dengan nilai yang cukup bagus, yaitu: BI (9,2), Mat (9), IPA (9,6). dan
Pak Imam mengumumkan siapa yang mendapat beasiswa masuk SMP Harapan
Bangsa. Dan ternyata Danu yang mendapatkan beasiswa tersebut. Danu sangat
gembira dan berterimakasih kepada semua gurunya dan Ayahnya yang telah
membantunya dalam belajar.
Akhirnya Danu terus melanjutkan sekolahnya ke jenjang yang lebih tinggi
yaitu SMP, ia akan belajar dengan sungguh-sungguh supaya berhasil untuk meraih
cita-citanya, yaitu seorang Guru.
Impian Bulan Menggapai Bintang
Cerpen Karangan: Arlina Safitri
Dusun Pilanggeneng di pagi hari tampak sepi. Hanya sesekali terlihat
beberapa orang petani atau pedagang dengan keranjang yang hendak menjual
dagangannya ke pasar desa. Sementara aku, seorang gadis kecil harus berjalan
sendirian sepagi ini pasti menjadi pertanyaan bagi mereka yang tidak mengenal
siapa aku. “Mau berangkat sekolah, Neng Bulan…”, Sapa salah seorang petani
yang kebetulan berpapasan denganku.
Ya… Bulan adalah namaku. Aku tinggal di Dusun Pilanggeneng. Sebuah
dusun terpencil yang terletak di lereng Lawu. Aku anak pertama dari empat
bersaudara. Saat ini aku duduk di kelas VI Sekolah Dasar Negeri Wonoasih.
Seperti siswa kelas enam lainnya, saat ini aku sedang disibukkan dengan
persiapan menghadapi Ujian Nasional.
“Awas! Hati-hati Nak Bulan,” Kata Pak Mo. Tanpa aku sadari aku
berjalan terlalu ke pinggir sebuah sungai beraliran deras yang oleh penduduk desa
dinamakan sungai Tirto Wening. “Huuuft… hampir saja. Matur suwun, Pak Mo,”
Kataku ketika tersadar dari lamunan. Rupanya aku kurang hati-hati tadi.
Kalau sampai terjatuh bisa kotor bajuku, dan itu berarti aku harus berjalan
kembali sejauh 5 kilometer ke rumah dan aku tidak akan sempat lagi mengejar bel
masuk sekolah.
“Oalah… Nduk…nduk… Mau sekolah aja kok harus susah-susah jalan
jauh-jauh. Nyebrang kali, lewat tegalan orang. Nanti ujung-ujungnya ya harus
ngurus dapur sama sawah”, Kata Ibuku. Sudah puluhan kali atau bahkan ratusan
kali ku dengar kata-kata itu. Aku rasa Ibuku khawatir setiap kali aku berangkat ke
sekolah. Hal ini wajar karena jarak sekolah ku cukup jauh. Diperlukan waktu satu
jam dengan jalan kaki menuju ke sekolah. Karena tidak ada jalan raya
penghubung antara dusun ku dengan desa tempat sekolahku berada.
“Gimana Bulan, sudah dapat ijin dari orangtua?” Tanya Bu Karni, guru
wali kelasku. “Masih dipikirkan, Bu” Jawabku. “Lha kok aneh, anaknya diterima
di sekolah favorit kok masih harus dipikir-pikir dulu”. Bu Karni merasa heran
akan keluargaku. Aku terdiam memikirkan ucapan Bu Karni. Aku jadi teringat
dengan percakapan tiga hari yang lalu dengan Pak’e dan Bu’e di rumah.
“Memangnya harus ya, Nduk”, Kata Pa’e sambil meniup cangkir kopinya.
“Tak kiro yo habis SD ya sudah cukup. Iso moco karo nulis, yo wis. Kamu ini kan
anak perempuan. Tiga adhi mu itu laki-laki semua. Mereka yang harus sekolah
sing duwur. Supoyo jadi orang pinter lan bisa menafkahi anak istrinya kelak”,
Terang Bapakku panjang lebar.
“Lha iyo to Nduk. SMP-mu itu nanti kan jauh dari rumah. Lha wong dari
sini aja jaraknya ada dua puluh kiloan. Gak mungkin to kamu harus jalan kaki
sejauh itu”, Kata Ibuku yang sedang menggendong adikku yang paling kecil. “Tapi
kan bisa kos to Bu”, Jawabku dengan pelan. “Duwit teko ngendi buat bayar kos
mu”, Bapakku menyahut. “Buat makan sehari-hari saja kadang susah, lha kok harus
buat bayar kos!”, Kata Bapak dengan gusar. “E… yo wis to Pak, gak usah marahi
anak kayak gitu”, Ibu menenangkan Bapak dengan sabar. “Gini lho Nduk,
meskipun nantinya sekolahmu itu dibayari sama pemerintah, tapi masih butuh biaya
to buat beli seragam, kosmu, belum sangu buat sekolah. Pa’e lan Bu’e ora sanggup,
Nduk…” Kata Ibuku sambil mengelus rambutku. “Di rumah saja ya, bantu Pa’e
karo Bu’e”, Pinta Ibuku.
Kata-kata Ibuku tadi meskipun halus tapi membuatku sangat kecewa.
“Apakah aku harus berhenti sampai disini? Apakah aku harus seperti anak-anak
perempuan yang lain di desa ini yang setelah tamat SD harus tinggal di rumah
karena jauhnya SMP dari dusunku ini? Lalu untuk apa aku harus susah-susah
belajar untuk menghadapi ujian? Lha wong nanti nilainya tidak bisa digunakan
untuk melanjutkan sekolah?” pikirku saat itu.
Bel sekolah tanda istirahat selesai membuyarkan lamunanku. “Yakinkan
Bapak sama Ibumu, ya Bulan. Kamu anak pintar. Kamu tidak boleh berhenti
bersekolah”, Kata Bu Karni sebelum aku kembali ke kelas.
“Awas, belutnya jangan sampai lepas, Sar!” Teriakku. Minggu pagi seperti
ini, sawah dipenuhi oleh anak-anak desa yang sedang berburu belut. “Tenang
Lan…, nih lihat! Aku dapat yang besar…” Sahut Sari sambil memasukkan belut
yang entah ke berapa dalam botol plastik. Sahabatku ini memang jago dalam
menangkap belut. “Sudah ah, pulang yuk… Nanti dicari sama Bu’e,” Ajakku.
“Ayo, tapi kita bersihkan badan dulu di sungai ya… Makku bisa marah, kalau aku
pulang dengan badan penuh lumpur seperti ini.” Kata Sari sambil berjalan di atas
pematang sawah menuju ke sungai kecil tak jauh dari sawah ini.
“Kamu jadi sekolah di kota, Lan?” Tanya Sari sambil membasuh tangan dan
kakinya dengan air sungai yang bening dan sejuk. “Entahlah, Sar.” Jawabku sambil
menarik napas panjang. “Kalau aku wis pasrah, Lan. SMP terlalu jauh dari sini.
Aku gak boleh sama Mak dan Bapakku.” Kata Sari tanpa beban. “Aku sih
pinginnya bisa sekolah yang tinggi, Sar. Aku pingin jadi guru, terus bikin sekolah di
sini. Supaya anak-anak di dusun kita ini bisa sekolah dengan mudah. Ndak perlu
lagi jalan ke desa sebelah atau gak bisa lanjut sekolah karena gak ada SMP.”
Kataku sambil duduk di atas batu sungai yang besar. “Tapi… rasané kok gak
mungkin. Pak’e sama Buk’e ndak kasih ijin untuk melanjutkan sekolah di kota…
Kalau sudah begini, rasanya nggak semangat lagi ikut ujian nasional.” Mataku
mulai basah oleh air mata.
“Lha yo sabar, tho Nduk…” Sahut Pak Mo. Tanpa kita sadari Pak Mo yang
sedang memandikan kerbaunya memperhatikan percakapan aku dan Sari. “Gusti
Allah mboten Saré. Allah itu Maha mendengar. Ndak boleh putus asa. Berdo’a…
minta supaya dikasih jalan keluar.” Kata Pak Mo dengan bijak. Kata-kata beliau
membuatku tersadar bahwa masih ada harapan, meski tidak tahu dari mana
datangnya, kesempatan itu masih ada. Pak Mo benar, Gusti Allah mboten Saré.
Allah itu tidak pernah tidur dan selalu memperhatikan semua permintaan
hambanya.
Ujian Nasional akhirnya datang juga. Dengan langkah pasti, aku tapaki
lembar demi lembar soal dengan sungguh-sungguh demi sebuah keyakinan bahwa
saya bisa melanjutkan sekolah sesuai dengan harapan. Meskipun sampai saat ini
jawaban Bapak sama Ibu masih sama, namun setidaknya saya harus terus
mencoba meyakinkan mereka. Salah satunya yaitu dengan mempersembahkan
nilai yang terbaik bukti dari kesungguhan niat.
Pada saat pengumuman kelulusan, saya benar-benar bersyukur kepada
Allah, bahwa saya menjadi lulusan yang terbaik di Kecamatan Wonoasih. Ini
berarti harapan bagiku supaya Pak’e dan Bu’e mau merubah keputusan.
Selepas Ashar, kulihat orangtuaku itu sedang duduk beristirahat sepulang
dari sawah. Dengan hati-hati ku dekati mereka untuk mengungkapkan maksudku.
“Masalah ini kan sudah diputuskan, Nduk. Meskipun nilaimu bagus, tapi Pak’e
gak bisa. Bukannya ndak mau… tapi biaya untuk sehari-hari di sana mau
dicarikan uang dari mana? Ingat… adik-adikmu itu masih kecil.” Sekali lagi
ucapan Pek’e membuatku tertunduk. Dengan lirih aku berusaha untuk
menjelaskan keinginanku, “Tapi… saya masih kepingin sekolah…”
“Lha ini bocah dikandhani kok gak ngerti-ngerti. Sekali gak bisa… ya gak
bisa, Titik! Awas yen mbantah lagi!” Pak’e mulai marah.
Dalam bantal tempat tidurku yang usang, aku hanya bisa menangis
meratapi diri. Duh Gusti Allah… apakah saya harus menerima kenyataan ini.
Apakah aku harus seperti anak-anak Dusun Pilanggeneng yang lain, yang harus
puas dengan bekal ijasah SD? Apakah aku harus mengubur impianku? Tidak!
Rasanya hati ini tidak bisa menerima.
“Assalamu’alaikum…” Sayup-sayup kudengar suara orang mengetuk
pintu.
Wa’alaikum salam…” Jawab Bu’e dan Pa’e. Rupanya Pak Mo yang
datang dengan seseorang yang tidak kukenal. Setelah dipersilahkan duduk,
tampaknya mereka sedang membicarakan sesuatu yang penting. Sayang aku tidak
bisa mendengar dengan jelas, karena letak kamarku yang berada di belakang.
“Bulan…, dicari sama Pak Mo Nak…” Kata Bu’e mengetuk pintu
kamarku. Dengan cepat kuhapus airmataku dan berjalan keluar kamar.
“Bulan, ini Bapak Harun, adik saya. Beliau ini tinggal di kota.” Kata Pak
Mo memperkenalkan adiknya. “Bulan, kedatangan saya disini dengan maksud
untuk memintamu menjadi anak asuh kami. Terus terang anak kami satu-satunya,
Diana, sudah kuliah di Bandung. Jadi kami sering merasa kesepian di rumah.
Bagaimana Bulan, mau kan?” Jelas Pak Harun. “Ya Allah, inikah
pertolongan-Mu?” Kataku dalam hati. “Tadi kami sudah minta ijin sama Bapak
dan Ibumu. Sekarang tinggal kamu, mau apa tidak?” Tanya Pak Mo.
“Bagaimana Pak’e… Bu’e… Boleh apa tidak?” Tanyaku hati-hati. “Pak’e
sama Bu’e ijinkan kamu untuk sekolah di kota, Nduk. Asalkan kamu bisa jaga diri
disana.” Kata Pak’e. “Dan jangan lupa untuk sering-sering pulang ke rumah, ya.”
Sambung Bu’e sambil memelukku. Alhamdulillah ya Allah… Pak Mo benar.
Gusti Allah tidak pernah tidur. Asalkan kita mau berusaha dan berdo’a, pasti
impian kita akan berhasil. Impian sudah terbayang di pelupuk mata. Dengan tekad
belajar sungguh-sungguh, suatu hari nanti, saya akan mengabdikan ilmu yang
didapat untuk dusun tempat kelahiranku. Supaya lebih banyak anak yang bisa
menggapai impiannya untuk bersekolah dan menjadi orang yang berguna bagi
nusa dan bangsa.
Teman Pertama
Karya: Nadira Erwanto

Pernahkah kalian merasa kesepian, tidak mempunyai teman dan sangat


dikucilkan? Aku Shanisa. Kalau begitu, izinkanlah aku membagi pengalamanku.
Hari ini tanggal 11 Januari, dan aku sangat berharap hari ini pula aku dapat
membuat kehidupan di sekolahku lebih baik. Di sekolah ini, aku tidak punya
teman satu pun. Sungguh menyedihkan, bukan? Aku tidak pernah dilirik oleh
siapa pun. Aku dipandang rendah dan sering sekali dihina oleh mereka. Mereka
yang membenciku. Semua ini hanya karena rumor yang sengaja diedarkan oleh
seseorang yang amat memarahiku, dia Revon.
Sekolah ini memang dipenuhi oleh anak orang kaya, yang mungkin dapat
setiap hari menikmati makanan yang enak dan menonton TV layar lebar.
Eksistensiku di sekolah ini dikarenakan beasiswa yang kudapat. Revon
menyebarkan berita bahwa aku hanya merupakan anak panti asuhan yang dulunya
dibuang oleh kedua orangtuaku. Rumor itu benar, itu fakta. Aku sangat tahu diri.
Meski begitu, aku sangat kecewa ketika Revon dapat memengaruhi dan
menghasut seluruh siswa untuk tidak berteman
Oh, bahkan untuk tidak menghiraukan diriku sama sekali. Tentu saja,
Revon sang cassanova yang notabenenya seorang ketua OSIS dan anak direktur
terkenal pasti akan dipatuhi oleh semua warga sekolah. Tidak akan ada yang
berani mencari masalah dengannya. Seringkali aku berpikir mengenai dua hal:
Mengapa Revon begitu memusuhiku? Kapan aku dapat mempunyai teman?
Seperti biasa, aku sedang berada di kelas dan duduk di bangku paling
pojok belakang. Ruangan kelas ini dipenuhi murid-murid yang saling mengobrol
dan bercanda tawa, sementara aku hanya diam memperhatikan mereka. Bel telah
berbunyi sejak lima menit yang lalu. Ketika aku hampir saja memutuskan untuk
tidur, mataku menangkap sosok guru yang memasuki ruangan kelas. Setelah
ceramah panjang lebarnya, Miss Leina dengan wajah cerianya memberikan
pengumuman.
“Hari ini, kelas kalian kedatangan murid baru.” Bertepatan dengan
perkataan Miss Leina, sesosok cowok bertubuh jangkung memasuki kelas.
Banyak siswi yang berbisik-bisik mengenai cowok tersebut. Ia berdiri di depan
papan tulis, dan senyumnya merekah.
“Halo, nama gue Axel. Pindahan dari SMA Evanthius karena pengen
nyoba yang baru. Salam kenal.” Setelah beberapa siswi cewek yang genit dan
centil itu bertanya seputar info pribadi Axel seperti.
“Pin BBM lo apa?”
“Udah punya pacar belum?”
Akhirnya, Miss Leina kembali berujar sebelum topik tersebut benar-benar
melenceng.
“Axel, kamu boleh duduk di tempat kosong yang kamu mau.”
Yang kutahu, setelah ucapan Miss Leina tersebut, cowok itu melangkah
menghampiri bangku tepat di sampingku yang membuat seisi kelas bungkam.
“Hai, nama lo Shanisa Oktaviana ya? Gue panggil lo apa?”
Axel selalu saja berusaha mengobrol denganku, meski selalu ku akhiri
dengan mengabaikannya atau pergi menjauhinya. Jujur, aku sangat kasihan
kepada murid baru itu jika ia harus berurusan dengan singa macam Revon. Tapi,
kali ini ia menahan lenganku. “Yah, jangan kacangin mulu dong. Kenapa, sih?
Gue ‘kan ganteng, kok muka lo kayak ngeliat setan?”
Entahlah, ia memang sangat pede. Aku hanya memutar bola mata malas,
lalu akhirnya membalasnya.
“Lo gak usah deket-deket gue. Murid lain aja pada ngelihatin sinis,”
ucapku sekejam mungkin. Tampaknya ia belum menyerah, justru nyengir lebar.
“Wah, jahat banget. Gue tahu lo ada masalah sama dia, tapi gue gak
peduli.” Aku mengangkat satu alis. Sepertinya, murid baru seperti dia nyari mati.
“Lo bisa ngomong gitu, sampe lo ketemu Revon beneran.” aku
menghempaskan tangannya dan pergi meninggalkannya dengan tatapan
mengintimidasi dari murid di sekitarku. Baru saja aku melangkah ke toilet,
seseorang menahan bahuku dan mendorong tubuhku ke dinding tembok dengan
keras. Aku meringis kesakitan, lalu berusaha melihat siapa gerangan orang yang
melakukan hal ini kepadaku. Revon, as usual.
Cowok itu menyeringai, tatapannya membunuh. “Gue denger, lo deketin
Axel ya? Lo minta gue keluarin dari sekolah ini, huh?” ia memberi jeda. “Udah
baik dikasih beasiswa, malah ngelunjak.”
Ia menggertakku dengan keras. Aku hanya bisa memejamkan mata,
kekuasannya di sekolah ini memang bagaikan segalanya. Aku tidak dapat berbuat
apa-apa, karena aku memang bukanlah siapa-siapa. Namun di saat itu juga, Axel
datang.
Ia membelaku, dan menentang segala perkataan Revon. Yang membuatku
bingung adalah ketika Revon tidak mengancam Axel sama sekali dan hanya
membalas ucapan Axel dengan dingin.
Aku tidak tahu apa yang terjadi di antara mereka. Yang ku tahu, semenjak
kejadian itu aku mempunyai sahabat baru, Axel. Semenjak itu pula, aku tidak lagi
merasa kesepian dan Revon tidak lagi menggangguku.
Entahlah, cerita ini mungkin sudah selesai namun kehidupanku akan terus
berlanjut. Aku tidak tahu apakah akan terjadi hal-hal lain, namun aku tahu bahwa
sahabat yang kini ku miliki akan selalu, selalu ada disampingku. Ini tanggal 11
Januari. Namaku Shanisa Oktaviana, dan kini kehidupan di sekolahku telah
dihiasi oleh warna.
Tetap Indonesia Walau Jauh dari Tanah Air

Oleh: M. Rafi Rahman

Riko adalah anak Indonesia yang sedang tinggal dan bersekolah di Jepang.
Dia memiliki dua orang teman dekat yang bernama Hideyoshi dan Daici, mereka
tetap berteman walau berbeda agama yang dianut. Riko beragama Islam
sedangkan Hideyoshi dan Daici beragama Buddha. Riko harus bersekolah di
Jepang karena kedua orang tuanya bekerja di sana, Riko duduk di kelas Achi-
nensei atau kelas delapan SMP. Riko sudah bersekolah di Jepang sejak masih SD.
Riko hanya bisa pulang sekali atau dua kali dalam setahun jika orang tuanya tidak
sibuk. Pada tahun ini, orang tua Riko sangat sibuk, sehingga tahun ini mereka
tidak pulang ke tanah air. Riko merasa sedih, sebentar lagi akan diperingati hari
kemerdekaan Indonesia, biasanya setiap tahun ia sudah kembali ke Indonesia dan
membuat perlombaan untuk merayakan hari kemerdekaan di kampung
halamannya bersama nenek, kakek dan saudara-saudaranya.
Pada suatu hari di sekolah, Riko terlihat tidak semangat, dia duduk di atas
kursi dan badannya bersender ke arah depan meja, kedua teman dekatnya
melihatnya, mereka datang menghampiri Riko. “Kamu kenapa Riko, apa kamu
sakit?” Tanya Daici “Aku tidak sakit,” kata Riko “Jadi, mengapa kamu terlihat
begitu lemas?” Tanya Hideyoshi “Tahun ini, aku tidak bisa pulang ke Indonesia,
orang tuaku sedang sibuk, biasa bulan ini aku sudah di sana, sebentar lagi adalah
hari kemerdekaan Indonesia, biasanya aku ikut upacara di lapangan dekat
rumahku di sana. Setelah upacara aku ikut lomba, karena tahun ini aku tidak jadi
pulang, aku tidak semangat hari ini,” kata Riko dengan nada lemas. “Oh begitu,”
jawab Hideyoshi dan Daici serentak, tiba-tiba bel masuk kelas sudah berbunyi
semua anak-anak yang sedang bermain di luar langsung bergegas masuk. “Kita
sambung lagi di waktu istirahat ya,” kata Hideyoshi. “Baik,” kata Riko.
Beberapa saat kemudian, guru mereka masuk ke dalam kelas, semua siswa
langsung berdiri dan memberi hormat kepada guru, setelah itu mereka duduk
kembali, pelajaran pertama dimulai, suasana kelas menjadi tenang dan hanya
terdengar suara guru yang menjelaskan materi pembelajaran. Saat istirahat pun
tiba, seluruh siswa langsung menuju kantin, Riko berjalan lambat, teman akrabnya
sudah menunggu di kantin. Setibanya di kantin, Riko hanya duduk di meja kantin
dengan lemas, dia tidak membeli satu pun makanan, teman akrabnya juga sudah
menawari makanan kepadanya, tapi dia menolaknya. “Kamu masih belum
semangat ya?” Kata Daici. Riko hanya diam “Tadi kalau tidak salah, ketika di
Indonesia, saat peringatan hari kemerdekaan, biasanya kamu mengadakan
berbagai perlombaan, bagaimana kalau kita buat perlombaannya di sini?” Usul
Hideyoshi memancing Riko. “Boleh,” kata Riko yang tiba-tiba menjadi semangat.
“Kamu langsung semangat ya, ayo kita buat perlombaan, kita ajak teman-teman
sekelas,” kata Daici. “Ayo!” Jawab Riko dan Hideyoshi. Bel masuk kelas pun
tiba-tiba berbunyi, seluruh siswa kembali ke kelas masing-masing untuk
mengikuti pembelajaran selanjutnya.
Ketika sore, sudah saatnya untuk pulang, Riko, Hideyoshi dan Daici
berjalan kaki untuk pulang ke rumah, rumah mereka tidak begitu jauh dari
sekolah. Di perjalanan pulang, mereka berbicara agar suasana menjadi seru. “Kita
jadikan buat lomba?” Tanya Daici “Jadi,” kata Riko. “Lombanya nanti siapa yang
buat?” Tanya Daici lagi “Tenang saja, semua itu urusanku, kalian hanya undang
teman sekelas ke rumahku,” kata Riko “Baik akan kami undang, tanggal berapa
acaranya?” Tanya Hideyoshi “17 Agustus,” jawab Riko “Dua hari lagi, ya…,”
kata Daici. “Iya benar,” kata Riko. Ternyata mereka sudah sampai di rumah Riko,
mereka pun berpamitan
Keesokan harinya Riko sangat bersemangat ke sekolah, dia langsung
membawa kertas berisi formulir pendaftaran untuk lomba yang telah dia buat,
sesampainya di sekolah, Riko langsung membagikan kertas tersebut kepada
teman-temannya. Di hari itu Riko sangat bersemangat untuk belajar. Sepulangnya
dari sekolah, Hideyoshi dan Daici datang ke rumah Riko untuk membantu
membuat perlombaan. Mereka akan menjadi panitia di lomba tersebut.
Hingga hari yang ditunggu-tunggu pun tiba, satu persatu teman-teman
sekelasnya datang. Setelah semuanya berkumpul, mereka menonton siaran
langsung upacara bendera yang ada di Indonesia melalui TV, lalu mereka berdiri
untuk menyanyikan lagu Indonesia Raya bersama sama walau teman-teman Riko
tidak mengerti artinya, setelah menonton upacara bendera, mereka langsung
memulai perlombaan, mereka semua mengikuti perlombaan dengan ceria, banyak
perlombaan yang baru diketahui oleh teman-teman Riko, di akhir perlombaan,
Riko, Hideyoshi dan Daici, membaca hasil perlombaan, mereka membagi
berbagai macam hadiah kepada teman-temannya, lalu mereka langsung membantu
membersihkan area perlombaan bersama-sama. “Wah, ternyata seru juga ya
perlombaannya,” kata Daici “Tahun depan, kita buat lagi, tapi di sekolah, undang
seluruh kelas di sekolah,” kata Hideyoshi, mereka pun tertawa bersama-sama
dengan gembira.
Setelah selesai membersihkan area perlombaan, tidak terasa sudah
waktunya teman-temannya berpamitan untuk pulang hari tersebut merupakan hari
yang menyenangkan bagi Riko. Walau berada Jauh dari Indonesia, Riko masih
bisa merasakan hari kemerdekaan di negara lain. Sungguh menjadi pengalaman
yang tidak terlupakan bagi Riko.

Anda mungkin juga menyukai