sudah basah terkena hujan yang turun dengan deras. Devano mendekatinya dengan payungnya, tersenyum manis, "Ann, gue anter deh. Gue nggak mau lu kehujanan." Anna, dengan senyum malu-malu, menjawab, "Nggak usah, Dev. Gue bisa jalan pulang sendiri." Namun, Devano tetap bersikeras, "Lo jangan ngotot gitu, Ann. Gue juga kan tinggalnya nggak jauh dari rumah lu. Gue nggak mau nanti lu kena flu atau apa gara-gara hujan begini."
Anna merasa senang dengan perhatian Devano, tapi
gengsinya membuatnya ragu. "Gue beneran nggak apa- apa, Dev. Lu pulang aja sendiri, nanti gue aja yang telpon lu buat kasih tau kalo gue udah sampe rumah." Devano menghela nafas, tahu bahwa Anna memang keras kepala. Dia memutuskan untuk mengambil tindakan ekstrem. Dengan perlahan, dia menutup payungnya, membuat keduanya berdiri di bawah guyuran hujan. Anna terkejut, "Dev, lu ngapain sih? Lo bakal kehujanan!" Devano tersenyum, "Gue nggak peduli, Ann. Yang penting lu nggak kehujanan."
Mereka berdua berjalan di bawah hujan, langkah mereka
saling mendekati. Devano berusaha menjaga Anna tetap kering dengan tubuhnya sendiri yang basah kuyup.
Tersenyum kecil mengingat kejadian saat itu, Anna
mengusap lengan, Ia tau betul Devano bukan orang yang mudah bergaul dengan perempuan akan tetapi ia merasa bahwa detak jantungnya sudah tidak karuan lagi ketika bersamanya. Anna merasa detak jantungnya semakin cepat. “sampai kapan perasaan ini tetap?’ Dia tak ingin Devano menjauhinya sebab disatu sisi ia ingin merebut posisi pertamanya dan disisi lain Ia menyukainya, apa yang harus ia relakan? Perasaan atau peringkat?. Devano pun tak sedikitpun menunjukkan rasa suka padanya namun mengapa ia masih ingin membantu Anna...?
Dia tidak tahu harus mengungkapkan perasaannya. “gue
gamau Devano tau gue ada rasa sama dia, kita kan teman dan gue harusnya bersaing di peringkat kelas” menjawab dengan suara lembut, " tapi gue nggak bisa..., perasaan gue.." Anna merasa Ia harus tetap meyakinkan dirinya untuk bersikap acuh tak acuh
Malam menjelang begitu cepat. Anna membuka lembar
buku matematika wajibnya sambil merenung “cape banget besok harus ujian matematika, masa harus minta tolong Devan lagi”, menutup kembali lembar buku karena malas pada pelajaran matematika ia percaya besok pasti devan akan membantunya. Tiba-tiba terdapat notifikasi beruntun, rupanya seseorang memberi pesan begitu banyak pada Anna. “Apasih ganggu banget, siapa ngirim segini banyaknya tugas, besok kan ulangan?”. Terdiam sesaat kembali mengecek, Anna terkejut bukan main, itu yang ia butuhkan, benar sekali.., Devano memberinya beberapa lembar jawaban ulangan besok, tanpa disadari Anna menjadi salah tingkah dan tidak sengaja melempar ponsel hingga terkena dinding. “ga mungkin, gue ga minta, gue kan ga ada niat minta sama dia”. Tetap saja ia menyimpan jawaban itu lalu membalas pesan kepada Devan sebagai ucapan terimakasih, namun dirinya merasa ketikan itu tidak pantas dikirim karena terlalu panjang dan pastinya Devan akan risih dengannya.
Dirumah yang berbeda, devano merebahkan diri diatas
kasur, mengetik pesan kepada Anna, namun Anna tidak membalasnya, “perasaan gue uda baik sama dia, tapi kenapa diem aja ya?”. Merasa kebaikannya tidak terbalaskan ia langsung menghapus kembali lembar jawaban yang dikirim. Anna kebingungan bukannya ia sudah menyimpan tetapi ada halaman tersisa yang belum ia simpan sehingga harus memintanya lagi. “haha gini kan pasti dia nyari, tunggu aja deh”. Tak berselang lama kemudian, nada dering ponsel Devano bergetar, Anna menelefon nya mungkin ia geram karena belum sempat menyimpan justru dihapus. “Hm? Ada apa manggil manggil ?” ujar Devano menggerakkan kaki kanan nya menendang kursi yang ada didepan meja belajarnya, “gapapa si Dev, gue cuma mau lo bantuin gue besok plus kirim lembar terakhir-“. Anna menutup telefon nya dengan cepat sehingga Devano semakin terheran, “lah ditutup, gue baru denger awalannya, yauda biarin lah”. Tanpa berpikir panjang, Devano menutup ponselnya dan memutuskan untuk tidur.
Berganti hari berganti bulan, hawa sepi didepan
ruang tunggu itu membuat suasana menjadi membosankan. Kini Anna sudah menyelesaikan ujian terakhirnya, tiba saatnya dia mencari keberadaan Devano, ia ingin banyak mengucapkan terimakasih karena sudah membantunya sampai detik terakhir dimana mereka akan memilih universitas impian dan mewujudkan cita-cita. Setibanya di depan lobi, mata Anna tertuju pada seseorang yang tak asing baginya berdiri disamping koridor ruang guru. Rupanya orang itu menunggu kehadiran Anna, dan tidak salah lagi itu Devano, ia tersenyum kepadanya sambil melambaikan tangan, “ Hei Ann..., mau balik ya?” teriak Devan, Pura- pura tidak melihat, “Duh, si Devan ngapain coba disitu.. Gue gamau liat ah”. Menghampiri Anna yang berbalik badan, Devan berlari ke arahnya dan menepuk pundak, “Eyyy, kalo dipanggil ga nyaut si? Ga denger ya?”, menatap balik mata penuh antusias itu dan bergaya sok seperti orang yang tidak tahu berterimakasih, bukannya Anna harus berterimakasih karena jawaban itu justru ia diam dan menatap sinis,
“iya emang kenapa? Maaf kalo gue ga denger ya?” ucap
Anna mengalihkan pandangan menuju arah jalan raya. Berpikir cukup lama, Devano tiba-tiba memeluk Anna, “makasih ya Ann udah lama kita bersama, jalanin masa SMA ini penuh rintangan dan saatnya kita berpisah, tapi gue ga akan lupain lu”, melepas pelukan penuh makna itu dan tersenyum manis kepada Anna seolah-olah membuat Anna ingin menyatakan perasaannya yang terpendam itu, “Ohh iya Dev, gue juga makasih. Maaf kalau tadi pura-pura ga denger..”
“Hahaha ternyata lu Cuma pura-pura, tapi gapapa kok lu
masih jadi temen saingan gue, selamat menjalani kehidupan selanjutnya. Kabarin gue kalau ada apa-apa”. Devano berlari menuju halte bus dan meninggalkan Anna seorang diri, Anna merasa sesak namun ia juga bahagia karena yang didambakan masih juga ingin diingat dan kenangan masa ini tidak akan terlupakan bagi Anna.