Nasehat Kehidupan Dari Sayyidina Ali
Nasehat Kehidupan Dari Sayyidina Ali
Sepulang dari perang Shiffin pada tahun 37 Hijriyyah, Sayyidina Ali bin Abi Thalib menulis
sebuah surat yang sangat monumental kepada putranya, Sayyidina Hasan.
Sebuah surat yang sangat indah, penuh pesan mulia, berisi hakikat kehidupan, yang tentu saja
surat tersebut dapat dijadikan pelajaran bagi setiap manusia, khususnya umat Islam.
"Wahai Anakku, aku adalah seorang ayah yang pasti berakhir wujudnya di dunia ini. Aku
pasti akan meninggalkan dunia ini."
"Semula aku berkesimpulan bahwa aku tidak mau lagi memperhatikan selain diriku, karena
setiap orang akan bertanggung jawab atas dirinya masing-masing. Tetapi tidak lama
kemudian, aku sadar bahwa engkau wahai anakku, adalah diriku. Jadi aku harus mengingat
engkau, aku harus memperhatikan engkau."
"Wahai Anakku, hidupkanlah hatimu dengan menerima nasehat. Padamkan nafsumu dengan
zuhud dan kekuatan keyakinan. Terangi hatimu dengan hikmah dan tundukkan ia dengan
mengingat maut (kematian), serta mantapkan ia dengan kesadaran akan kepunahan segala
sesuatu yang berada di alam raya ini."
"Wahai Anakku, tunjukkan kepadanya dan kepada hatimu aneka petaka dadakan di dunia.
Tunjukkan! peringatkan ia dengan pergolakan masa dan keburukan yang terjadi pada
pergantian malam dan siang."
"Peringatkan hatimu tentang itu, paparkan ke benakmu sejarah generasi masa lalu, dan
ingatkan juga (benakmu) tentang apa yang menimpa orang-orang sebelummu. Jelajahilah
pemukiman dan peninggalan mereka, lalu renungkanlah apa yang telah mereka lakukan,
dari mana mereka datang, lalu kemana mereka berpindah, dan dimana kemudian mereka
akan tinggal menetap."
"Wahai Anakku, engkau akan menemukan mereka meninggalkan kekasih dan bermukim di
negeri yang asing bagi mereka, dan engkau seakan-akan tidak lama lagi akan menjadi seperti
salah seorang dari mereka ini. Maka karena itu perbaikilah tempat tinggalmu.
"Wahai Anakku, jangan menjual akhiratmu dengan duniamu, dan jangan sekali-kali berucap
menyangkut apa yang engkau tidak ketahui atau berbicara menyangkut yang bukan
urusanmu."
"Jangan ikuti satu jalan jika engkau takut tersesat di dalam menelusurinya, karena berhenti
pada kebingungan lebih baik daripada mengarungi bahaya kesesatan"
"Ketahuilah wahai anakku, bahwa yang paling kusukai untuk engkau dari wasiatku ini adalah
bertakwa kepada Allah dan membatasi diri mengamalkan apa yang diwajibkan oleh-Nya."
"Mereka itu tidak mengabaikan renungan tentang diri mereka, sebagaimana engkau
berpotensi merenung dan mereka berfikir sebagaimana engkau berpotensi untuk berpikir, lalu
pada akhirnya mereka mengamalkan apa yang mereka ketahui dan mengabaikan untuk
memikirkan apa yang tidak dibebankan atas mereka."
"Wahai Anakku, seandainya jiwamu enggan menerima begitu saja apa yang mereka ketahui,
sebelum engkau mengetahuinya melalui cara mereka tahu (yang dipikirkan), maka
hendaklah engkau mempelajarinya dengan tekun dan saksama, tapi bukan tujuan untuk
berbantah-bantahan."
"Hai anakku, sukailah untuk orang lain apa yang engkau sukai dari dirimu, dan bencilah
untuknya apa yang engkau benci, jangan menganiaya orang lain sebagaimana engkau
enggan dianiaya, dan berbuat baiklah sebagaimana engkau senang diperlakukan dengan
baik, anggap buruklah apa yang terdapat pada dirimu yang engkau anggap buruk disandang
oleh orang lain."
"Puaslah dengan apa yang engkau terima dari orang lain, sebagaimana kepuasanmu
memberi untuk orang lain, jangan mengucapkan apa yang engkau tidak ketahui walau
pengetahuanmu sedikit, jangan juga mengucapkan sesuatu yang engkau tidak senang orang
lain mengucapkannya kepadamu, ketahuilah bahwa kebanggaan yang tidak berdasar
terhadap diri sendiri merupakan lawan dari kebenaran serta penyakit yang menimpa
pemikiran yang jernih, nafkahkanlah harta hasil usahamu dan jangan menjadi penyimpan
buat orang lain."
"Wahai anakku, jika engkau telah menerima kebenaran maka hendaklah engkau menjadi
orang yang paling khusyuk dan patuh kepada Tuhanmu. Ketahuilah bahwa dihadapanmu
ada jalan yang berjarak sangat jauh, dan kesulitan yang sangat berat, sehingga engkau
harus pandai-pandai menempuh jalan dengan benar dan pandai-pandai juga mengukur
kadar bekalmu agar engkau sampai ke tujuan, tapi jangan sampai bekal itu memberatkanmu
sehingga mengakibatkan bencana atas dirimu."
"Apabila engkau mendapati seorang butuh dan bersedia memilih memikul bekalmu menuju
hari kiamat untuk kemudian dia menyerahkannya kepadamu, maka sambutlah keinginannya
itu."
"Gunakanlah kesempatan mengutangi siapa yang meminta diberi hutang pada saat engkau
mampu, agar dia dapat mengembalikan hutangnya saat krisis menimpamu. Ketahuilah
bahwa dihadapanmu terdapat jalan mendaki yang sulit yang tidak ringan bebannya,
ketahuilah bahwa penguasa perbendaharaan langit dan bumi yakni Allah SWT
mengizinkanmu berdoa dan menjamin untuk mengabulkannya, Dia tidak menjadikan antara
engkau dengan Dia yang Maha Kuasa itu siapapun yang menghalangi, tidak juga
menjadikan antara engkau dengan Dia seseorang yang engkau mintai pertolongan untuk
mendoakanmu."
"Dia tidak menghalangimu untuk bertobat, Dia tidak mengejek dan mengecam jika engkau
kembali kepadanya, Dia juga tidak bergegas menjatuhkan siksa sebagaimana Dia tidak
mempermalukanmu disaat engkau berpotensi untuk dipermalukan".
"Wahai anakku, ketahuilah bahwa engkau diciptakan untuk berlanjut hidupmu hingga
akhirat, bukan sekedar di dunia. Engkau diciptakan untuk punah di dunia ini bukan untuk
kekal. Engkau lahir untuk mati, bukan untuk hidup langgeng disini, dan sungguh engkau
bertempat tinggal di suatu tempat yang mengharuskanmu berpindah ke akhirat. Engkau
dikejar oleh maut yang tidak seorang pun berhasil luput dari kejarannya sehingga pasti
semua terkejar olehnya, karena itu hati-hatilah jangan sampai engkau terkejar olehnya
dalam keadaan buruk".
"Keadaan yang pernah suatu ketika terbetik keinginanmu untuk bertaubat, tetapi ada aral
yang merintangi engkau dengan keinginanmu itu, lalu tiba-tiba mau dateng merenggut
nyawamu sehingga engkau tidak sempat bertaubat."
"Sebentar lagi akan tersingkap kegelapan, para musafir akan segera tiba, ketahuilah wahai
anakku bahwa siapa yang kendaraannya adalah malam dan siang, maka pasti malam dan
siang itu akan membawanya walau ia menetap tanpa bergerak, dan pasti juga jarak
betapapun jauhnya akan ditempunya walau dia dengan diam."
Ali bin Abu Thalib dikenal sebagai sahabat yang pertama kali masuk Islam di kalangan anak-
anak. Ali bin Abu Thalib juga dikenal sebagai “Mustawda’ul ilmi” gudangnya ilmu
pengetahuan. Tak salah jika banyak nasihat-nasihatnya yang menjadi rujukan para praktisi
pendidikan dalam mendidik siswa.
Suatu ketika, tak jauh dari hari menjelang kematiannya, Ali bin Abu Thalib pernah berwasiat
kepada anaknya Hasan. Ada delapan perkara yang disampaikannya saat itu. Dengan suara
yang sedikit agak parau, Ali bin Abu Thalib meminta kepada anaknya untuk menjaga dan
mengamalkan delapan perkara tersebut agar hidupnya jauh dari malapetaka.
Pertama, wahai anakku, kekayaan sesungguhnya yang dimiliki oleh manusia adalah akal.
Tanpa akal ia tak akan berarti dan sama kedudukannya dengan binatang. Akal adalah harta
yang sangat berharga. Gunakanlah akalmu untuk mengamati keajaiban ciptaan Allah dan
manfaatkanlah akalmu demi kebahagiaanmu di dunia maupun di akhirat.
Kedua, wahai anakku, kemiskinan sesungguhnya yang dimiliki oleh manusia adalah
kebodohan. Karena hal yang paling berbahaya dalam hidup adalah kebodohan. Orang bodoh
tidak akan mampu membedakan antara yang baik dan buruk. Orang bodoh juga tidak tahu
apa yang harus dilakukannya dan apa yang harus ditinggalkannya sehingga selalu terjerumus
dalam keburukan. Jangan membiarkan kebodohan menggeroti hidupmu karena bisa
membahayakan hidupmu.
Ketiga, wahai anakku, seburuk-buruknya sifat yang dimiliki manusia adalah sombong. Orang
yang menyombongkan diri akan selalu merasa paling benar, sehingga sulit untuk menerima
nasehat orang lain. Lepaskanlah sifat-sifat sombong dalam dirimu, agar orang yang ada di
dekatmu tidak menjauhimu.
Keempat, wahai anakku, semulia-mulianya keturunan adalah memiliki akhlak yang baik.
Karena akhlak adalah segala. Dengan akhlak kamu bisa mendapatkan kedudukan yang di
mulia di mata Allah dan manusia. Perbaikilah akhlakmu, bersikaplah secara santun, dan
hiasilah dirimu dengan sifat-sifat yang terpuji karena harga diri seseorang terletak pada
akhlak dan sopan santunnya.
Kelima, wahai anakku, jangan berteman dengan orang bodoh, karena ia hanya memanfaatkan
dirimu dan tidak memberikan manfaat bagimu. Bergaul dengan orang bodoh hanya akan
mendatangkan bahaya. Meskipun ia ingin membantumu tapi karena kebodohan dan
kedunguannya, justru mempersulit dirimu.
Keenam, wahai anakku, jangan berteman dengan orang kikir, karena ia selalu menjauh saat
kamu sangat membutuhkannya. Orang kikir hanya memanfaatkan hartamu. Jika engkau tidak
memiliki apa-apa lagi ia akan lari menjauh darimu sehingga engkau tidak mampu
memperoleh cita-citamu.
Ketujuh, wahai anakku, jangan berteman dengan orang jahat, karena ia akan selalu
mengajakmu untuk melakukan hal-hal yang tidak bermanfaat. Orang jahat hanya akan
menjerumuskanmu kedalam lembah kehinaan.
kedelapan, wahai anakku, jangan berteman dengan pendusta, karena ia ibarat fatamorgana.
Dari dekat terlihat jauh dan dari jauh terlihat dekat. Saat engkau berteman dengan orang
sering berdusta, engkau akan kenyang dengan janji-janji yang tidak ditepatnya. Awalnya ia
membahagiakanmu dengan janji manisnya dan pada akhirnya mengecewakanmu dengan janji
palsunya.
Semoga nasihat-nasihat Ali bin Abu Thalib dapat mencerahkan hati dan pikiran kita untuk
selalu mawas diri dari hal-hal yang disangka baik tapi ternyata mendatangkan malapetakan
buat diri kita sendiri. Delapan wasiat itu cukup untuk menjadi pegangan hidup kita dalam
berinteraksi dengan orang di sekitar.
Advertisement
Dream - Anak merupakan amanah yang begitu besar dari Allah SWT. Kelak kita sebagai
orangtua akan diminta pertanggungjawaban di akhirat, terkait pengasuhan anak dan
bagaimana mendidiknya sesuai ajaran Islam.
Sayyidina Ali Bin Abi Thalib pernah menulis surat nasihat pada anaknya Hasan Ibn ‘Ali Ibn
Abi Thalib. Surat ini penting untuk jadi renungan para orangtua. Menurut ustaz Quraish
Shihab dalam podcast-nya, Sayyidina Ali menulis surat tersebut karena merasa anaknya kelak
akan jadi tumpuannya setelah meninggal dunia.
Surat ditulis oleh Sayyidina Ali setelah terjadinya perang Shiffin (37 H). Sebelum surat ini
ada di tangan Hasan Bin Abi Thalib, Sayyidina Ali merenungkan diri kemudian berkata “
Sebenarnya aku tak mau memperhatikan orang lain selain diri sendiri. Namun, aku sadar,
wujudku tak lama lagi di dunia ini. Setelah aku tiada, hanya engkau anakku yang akan
menjadi tumpuan hidupku. Kau (Hasan Bin Ali) adalah diriku, maka aku tulis surat ini”.
Ada nasihat luar biasa Sayyidina Ali untuk anaknya dalam surat tersebut. Pesan Sayyidina
Ali ini penting untuk diketahui para orangtua
Pertama, wahai anakku, hidupkanlah dirimu dengan nasihat. Padamkanah nafsumu itu
dengan zuhud kekuatan dan keyakinan. Terangilah hatimu dengan hikmah dan selalu ingat
kematian dalam segala aktivitasmu. Jika bertemu kawanmu, tunjukan padanya aneka petaka
yang serba dadakan di dunia. Peringatkan padanya, bahwa keburukan akan terjadi pada
pergantian siang dan malam. Ingatkanlah hatimu!
Kedua, paparkan dalam benakmu sejarah generasi masa lalu, dan ingatkan dalam benakmu
tentang orang-orang terdahulu. Jelajahi pemukiman dan peninggalan mereka dan
renungkan apa yang mereka lakukan. Menurut Quraish Shihab, Sayyidina Ali pernah
melakukan hijrah dari kota Madinah ke kota Irak. Hal ini dikarenakan masyarakat Madinah
mulai pudar memerhatikan masalah ukhrawi dan lebih condong kepada persoalan duniawi.
Ketiga, wahai anakku, janganlah kau beli duniamu dengan akhiratmu. Hindarilah berucap
menyangkut apa yang engkau tidak ketahui atau berbicara yang bukan urusanmu. Anakku,
jangan kau telusuri jalan yang enggan untuk menelusurinya, ikutilah jalan yang pasti.
Ketahuilah, sesungguhnya berhenti pada kebingungan tersesat lebih baik daripada
mengarungi bahaya dalam kesesatan.
Keempat, wahai anakku, sesungguhnya semua amalan yang aku sukai dari dirimu ialah
bertaqwa kepada Allah. Kerjakan segala yang wajib terlebih dahulu, baru kau amalkan
semua sunnahnya. Teladani orang-orang shalih dan para leluhur dari kerabatmu. Menurut
Ustad Quraish Shihab, kerabat disini ditunjukan pada Abdul Muthalib,Hasyim, dan
seterusnya.
Kelima, wahai anakku, jadikanlah dirimu neraca antara dirimu dan selainmu. Cintailah
kerabatmu dengan seutuhnya seperti halnya kau mencintai diri sendiri. Janganlah kau
mengucapkan tentang suatu hal yang tidak kau ketahui, meski pengetahuanmu itu sedikit.
Dan jangan kau ucapkan sesuatu yang engkau tidak senang ketika orang lain
mengucapkannya padamu.
Keenam, wahai anakku, nafkahkan hasil usahamu dan jangan jadi penyimpan untuk orang
lain. jika engkau dibutuhkan, maka berilah hartamu itu karena ia akan jadi bekal bagimu
suatu saat nanti. Ketahuilah! Penguasa pembendaharaan langit dan bumi mengizinkanmu
untuk berdoa dan doamu terjamin dikabulkan. Engkau harus sadar bahwa hidupmu akan
berlangsung menuju akhirat. Hidupmu bukan hanya di dunia saja, akhirat menunggumu.
Dream - Doa anak yang saleh dan saleha menjadi amalan yang tidak akan putus meskipun
orangtua telah meninggal dunia. Sahabat Dream pasti sudah sering mendengar hadist
tersebut.
Kehadiran anak dalam keluarga memang begitu bermakna, bisa jadi penolong orangtuanya di
akhirat. Sebaliknya, anak juga bisa memicu penyesalan bagi orangtua karena salah dalam
mendidik dan mengasuh. Anak bisa menjadi musuh bahkan petaka bagi orangtua.
Doa Pagi Rasulullah Dapatkan Berkah Ilmu, Pastikan Anak Membaca Sebelum Sekolah
Allah mengingatkan kepada orang-orang yang beriman dalam firman-Nya, di surah At-
Taghabun ayat 14-15:
© Nu Online
Artinya: “ Wahai orang-orang yang beriman! Sesungguhnya di antara isteri-istrimu dan anak-
anakmu ada yang menjadi musuh bagimu. Maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka dan
jika kamu memaafkan dan tidak memarahi serta mengampuni (mereka), sesungguhnya Allah
Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu hanyalah
cobaan (bagimu), dan di sisi Allah-lah pahala yang besar" .
Dikutip dari NU Online, Islam memerintahkan pemeluknya untuk menjaga tak hanya dirinya
sendiri tapi juga keluarganya dari berbagai hal buruk yang dapat menjerumuskan pada
kerugian di dunia, lebih-lebih kerugian di akhirat. Hal ini tertulis di Al Qur’an surah At
Tahrim ayat 6:
© Nu Online
Artinya: " Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api
neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang
kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada
mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan" .
Salah satu instrumen penting dalam menjaga anak dari mudarat-mudarat tersebut adalah
melalui pendidikan. Prosesnya dilakukan bisa sejak anak masih bayi. Secara garis besar,
pendidikan untuk sang buah hati meliputi hal-hal sebagai berikut:
5 dari 6 halaman
Pendidikan aqidah
Pendidikan aqidah pertama kali melalui lantunan adzan di telinga kanan dan iqamah di
telinga kiri ketika anak dilahirkan. Jika dirinci setidaknya terdapat 26 kalimat sebagai bentuk
pendidikan aqidah, yaitu:
a. 10 kalimat takbir
b. 3 kalimat syahadat tauhid
c. 3 kalimat syahadat rasul
d. 3 seruan shalat
e. 3 seruan meraih kebahagiaan yang haqiqi
f. 2 pernyataan ditegakkannya solat
g. 2 kalimat tahlil
6 dari 6 halaman
Pendidikan Ibadah dan Akhlak
Pendidikan Ibadah
Sebagaimana masuk dalam 26 kalimat tersebut di atas terdapat 3 kalimat seruan untuk
melaksanakan shalat. Ini menunjukkan pentingnya solat sebagai bentuk ketundukan seorang
hamba kepada Allah SWT. Sebagai muslim minimal 5 kali sehari semalam menjalankan solat
Pendidikan akhlak
Pendidikan akhlak pertama kali dikenalkan orang tua melalui ibadah sunnah aqiqah. Sesuai
dengan hadits Rasulullah: “ Bahwa setiap anak tergadai dengan akikah yang disembelih pada
hari ke tujuh kelahiran anak.” (HR. Ahmad). Dengan akikah diharapkan seorang anak akan
memberikan pertolongan kepada orangtuanya kelak di hari kiamat.
Prof. Quraish Shihab menjelaskah hal tersebut, melalui podcast-nya. Menurut penyusun
Tafsir Al-Misbah ini, Sayidina Ali bin Abi Thalib kepada anaknya, Hasan Ibn ‘Ali Ibn Abi
Thalib. Saat itu, Hasan masih muda, sekitar 35-36 tahun. Menurut Prof Quraish Shihab, surat
ini ditulis Sayidina Ali setelah terjadinya perang Shiffin (37 H).
Demikian Prof Quraish Shihab terus memberikan pencerahan kepada umat Islam dan
masyarakat Indonesia umumnya. Semoga bermanfaat.
Menurut Prof Quraish Shihab, Sayyidina Ali pernah melakukan hijrah dari kota Madinah ke
kota Irak. Hal ini dikarenakan masyarakat Madinah mulai pudar memerhatikan masalah
ukhrawi dan lebih condong kepada persoalan duniawi.
Saat itu, Sayidina Ali semangat sekali untuk mengajak masyarakat Madinah untuk kembali
lebih mencintai akhirat. Namun mereka mengabaikannya. Pasalnya, di zaman Nabi
Muhammad SAW dan sahabat Abu Bakar al-Shiddiq, kota Madinah tenteram dan lebih
mencintai akhirat dibandingkan dunia.
Sebaliknya, saat kepemimpinan sahabat Umar Bin Khattab sampai sahabat Utsman Bin
Affan, masyarakat Madinah mulai berbondong-bondong mencintai dunia dan memiliki harta
yang sangat banyak.
Pertama:
Wahai anakku, hidupkanlah dirimu dengan nasihat. Padamkanah nafsumu itu dengan zuhud
kekuatan dan keyakinan. Terangilah hatimu dengan hikmah dan selalu ingat kematian dalam
segala aktivitasmu. Jika bertemu kawanmu, tunjukan padanya aneka petaka yang serba
dadakan di dunia. Peringatkan padanya, bahwa keburukan akan terjadi pada pergantian
siang dan malam. Ingatkanlah hatimu!
Kedua:
Paparkan dalam benakmu sejarah generasi masa lalu, dan ingatkan dalam benakmu tentang
orang-orang terdahulu. Jelajahi pemukiman dan peninggalan mereka dan renungkan apa
yang mereka lakukan.
Ketiga:
Wahai anakku, janganlah kau beli duniamu dengan akhiratmu. Hindarilah berucap
menyangkut apa yang engkau tidak ketahui atau berbicara yang bukan urusanmu. Anakku,
jangan kau telusuri jalan yang enggan untuk menelusurinya, ikutilah jalan yang pasti.
Ketahuilah, sesungguhnya berhenti pada kebingungan tersesat lebih baik daripada
mengarungi bahaya dalam kesesatan.
Keempat:
Wahai anakku, sesungguhnya semua amalan yang aku sukai dari dirimu ialah bertaqwa
kepada Allah. Kerjakan segala yang wajib terlebih dahulu, baru kau amalkan semua
sunnahnya. Teladani orang-orang shalih dan para leluhur dari kerabatmu. Menurut Ustad
Quraish Shihab, kerabat disini ditunjukan pada Abdul Muthalib,Hasyim, dan seterusnya.
Kelima:
Wahai anakku, jadikanlah dirimu neraca antara dirimu dan selainmu. Cintailah kerabatmu
dengan seutuhnya seperti halnya kau mencintai diri sendiri. Janganlah kau mengucapkan
tentang suatu hal yang tidak kau ketahui, meski pengetahuanmu itu sedikit. Dan jangan kau
ucapkan sesuatu yang engkau tidak senang ketika orang lain mengucapkannya padamu.
Keenam:
Wahai anakku, nafkahkan hasil usahamu dan jangan jadi penyimpan untuk orang lain. jika
engkau dibutuhkan, maka berilah hartamu itu karena ia akan jadi bekal bagimu suatu saat
nanti. Ketahuilah! Penguasa pembendaharaan langit dan bumi mengizinkanmu untuk berdoa
dan doamu terjamin dikabulkan. Engkau harus sadar bahwa hidupmu akan berlangsung
menuju akhirat. Hidupmu bukan hanya di dunia saja, akhirat menunggumu.
Ketujuh:
Wahai anakku, jangan berharap dengan harapan yang terlalu besar (muluk-muluk).Orang
yang hebat adalah ia yang mengukur sebuah harapan dengan kemampuannya. Gunakanlah
kesempatan!. Karena sebaik-baiknya kesempatan ialah yang menasihatimu. Jangan engkau
mengandalkan angan kosong, karena angan kosong adalah sikap sang picik. Ketahuilah!
Kecerdasan adalah dia yang memelihara pengalaman, dan sebaik-baik pengalaman adalah
ia yang menasihatimu.
Kedelapan:
Kesembilan:
Berbagilah kebaikan untuk orang lain, jangan hanya andalkan kebaikan untukmu saja.
Hiduplah di dunia ini dengan genggaman cinta dan kasih sayang pada sesama, dan
curahkan kebaikan pada mereka.