Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH

RUANG LINGKUP HUKUM HUBUNGAN INDUSTRIAL

Disusun Oleh :
Sakila Umara NPM 2274201019
Jovanda NPM 2274201158
Ratih Amista Dau NPM 2274201015
Rahmat wingi NPM 2274201025

Dosen Pengampu : Betra Sarianti, S.H, M.H

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM


FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH BENGKULU
TAHUN 2023

i
KATA PENGANTAR

Syukur yang tak terhingga kami panjatkan kehadirat Allah Rabbul


,Alamin yang tiada henti-hentinya mengalirkan segala kearifan dalam setiap kalbu
hambanya yang haus dan cinta akan ilmu yang dengannya tiada akan pernah
kering samudera pikir dan terbukalah setiap mata hati. Begitu pula dengan segala
rahmat dan hidayah-Nya-lah sehingga maakala yang berjudul ”Ruang Lingkup
Hukum Hubungan Industrial” dapat terselesaikan.
Adapun tujuan dari penyusunan makalah ini ialah untuk memenuhi tugas
Mata Kuliah. Selain itu juga, ucapan terima kasih terbesar dipersembahkan pada
seorang yang telah memberi arah dan penuntun dalam gelap dan buntu tatapan
mata kami dalam mengetuk tiap-tiap pintu khazanah budaya.
Demikianlah makalah ini dibuat dan tidak menutup kemungkinan dalam
penyusunannya terdapat kekurangan dan kesalahan didalamnya. Oleh karena itu,
kami mengharapkan saran dan komentarnya yang dapat dijadikan masukan dalam
penyusunan laporan tugas selanjutnya.

Bengkulu, September 2023

Penulis

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN DEPAN ...............................................................................................i


KATA PENGANTAR ........................................................................................... ii
DAFTAR ISI ......................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang .............................................................................................1
B. Rumusan Masalah .......................................................................................2
C. Tujuan Penulisan ..........................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian Hubungan Industrial...................................................................3
B. Prinsip Hubungan Industrial ........................................................................3
C. Hubungan Industrial pada Masa Orde Lama dan Orde Baru .......................4
D. Pengaruh Reformasi Terhadap Hubungan Industrial ...................................7
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan ................................................................................................10
B. Saran...........................................................................................................11
DAFTAR PUSTAKA

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Perubahan institusional pada sistem hubungan industrial merupakan
suatu hal yang sangat penting untuk dipelajari. Untuk menciptakan sebuah
kerangka berpikir yang sistematis serta ingin menunjukkan sebuah perubahan
institusional pada sistem hubungan industrial maka tulisan ini juga sedikit
membahas pola hubungan sistem hubungan industrial di Indonesia yang bisa
dikategorikan menjadi tiga zaman yaitu masa orde lama (1945-1965), orde
baru (1965-1998), dan pasca orde baru (1998 –sekarang). Perbedaan bentuk
institusi yang muncul di setiap periode pemerintahan yang muncul akan
mewakili perubahan logika dan akomodasi sementara antara kepentingan
kelompok sepanjang waktu yang berbeda. Pembagian tersebut menunjukkan
bahwa pada waktu tertentu, lembaga yang mengatur hubungan industrial dapat
dikonseptualisasikan sebagai representasi struktural dari hubungan kekuasaan
yang sedang berlangung antara berbagai kelompok kepentingan dan upaya
untuk menyeimbangkan kepentingan tersebut sesuai dengan tujuan mereka
sendiri.
Teori yang digunakan penulis untuk memahami serta menganalisa sistem
hubungan Industrial di Indonesia adalah menggunakan teori institusional atau
kelembagaan. Seperti yang dijelskan bahwa Institusional theory suggests that
institutions give order to social life and influence the sensemaking and actions
of social control (Campbell, 2004; Weick, 1995). Serta formal and informal
rule, norms and cognitive schemas function through normative, cognative and
regulative institusional mechanisms to shape the social order (Scoot, 2008).
Hal tersebut menunjukkan bahwa semakin kuat lembaga maka keadaan akan
stabil, disisi lain kompleksitas kelembagaan akan memunculkan aktor untuk
memulai perubahan.
Terdapat dua perubahan konstitusional yaitu dengan jalur evolusioner
dan terus menurus, juga perubahan keseimbangan yang diskontinyu, dan

1
radikal. Periodisasi waktu pemerintahan tersebut akan menjelaskan bagaimana
perubahan kelembagaan tersebut. Selain itu tulisan ini juga memperhitungkan
penigkatan penekanan peran aktor dalam penjelasan terbaru pada teori
institusional (e.g Sahlin & Wedlin, 2008), hal tersebut untuk menjelaskan
studi mengenai makro dan mikro kelembagaan serta bagaimana peran lembaga
terhadap aktor atau sebaliknya mengenai peran aktor terhadap lembaga.
Tulisan ini mempertimbangkan peran yang diambil oleh aktor hubungan
industri terkait di Indonesia, serta bagaimana mereka menjalankan kekuatan
dan pengaruh yang dimiliki pada perubahan institusional dalam sistem
hubungan industri, meskipun aksi-aksi tersebut dapat dipahami apabila berada
dalam batas pengaruh logika institusional.
Perubahan kelembagaan tersebut akan nampak pada di setiap periodiasi
pemerintahan yang ada di Indonesia.. Meskipun, perubahan yang
dimaksudkan dan dilaksanakan diberlakukan di setiap era serta karateristik
lembaga dalam melestarikan kelangsungan dan sekaligus membuka peluang
bagi kelompok aktor untuk merangsang setiap perubahan yang ada. Untuk
melihat perubahan itu maka akan diklasifikasikan perubahan kelembagaan
pada hubungan industrial menjadi empat periode waktu, yaitu orde lama dan
orde baru, pasca orde baru, menjelaskan peran aktor yang terlibat pasca orde
baru, dan membahas mengenai isu-isu hubungan industri di Indonesia saat ini.

B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam penulisan makalah ini adalah bagaimana ruang
lingkup hukum hubungan industrial?

C. Tujuan
Tujuan dalam penulisan makalah ini untuk mengetahui ruang lingkup
hukum hubungan industrial.

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Hubungan Industrial


Hubungan industrial adalah hubungan antara semua pihak yang
tersangkut atau berkepentingan atas proses produksi atau pelayanan jasa di
suatu perusahaan. Pihak yang paling berkepentingan atas keberhasilan
perusahaan dan berhubungan langsung sehari-hari adalah pengusaha atau
manajemen dan pekerja. Disamping itu masyarakat juga mempunyai
kepentingan, baik sebagai pemasok faktor produksi yaitu barang dan jasa
kebutuhan perusahaan, maupun sebagai masyarakat konsumen atau pengguna
hasil-hasil perusahaan tersebut. Pemerintah juga mempunyai kepentingan
langsung dan tidak langsung atas pertumbuhan perusahaan, antara lain sebagai
sumber penerimaan pajak. Jadi hubungan industrial adalah hubungan antara
semua pihak yang berkepentingan tersebut. Dalam pengertian sempit,
hubungan industrial diartikan sebagai hubungan antara manajemen dan
pekerja atau Management-Employees Relationship.

B. Prinsip Hubungan Industrial


Prinsip hubungan industrial didasarkan pada persamaan kepentingan
semua unsur atas keberhasilan dan kelangsungan perusahaan. Dengan
demikian, hubungan industrial mengandung prinsip-prinsip berikut ini:
1. Pengusaha dan pekerja, demikian Pemerintah dan masyarakat pada
umumnya, sama-sama mempunyai kepentingan atas keberhasilan dan
kelangsungan perusahaan.
2. Perusahaan merupakan sumber penghasilan bagi banyak orang.
3. Pengusaha dan pekerja mempunyai hubungan fungsional dan masing-
masing mempunyai fungsi yang berbeda dalam pembagian kerja atau
pembagian tugas.
4. Pengusaha dan pekerja merupakan anggota keluarga perusahaan.

3
5. Tujuan pembinaan hubungan industrial adalah menciptakan ketenangan
berusahan dan ketentraman bekerja supaya dengan demikian dapat
meningkatkan produktivitas perusahaan.
6. Peningkatan produktivitas perusahaan harus dapat meningkatkan
kesejahteraan bersama, yaitu kesejahteraan pengusaha dan kesejahteraan
pekerja.

C. Hubungan Industrial pada Masa Orde Lama dan Orde Baru


Pada tahap awal masa orde lama (1945-1957) kebebasan tenaga kerja
untuk membentuk serikat kerja memang sangat diapresiasi oleh pemerintah
kala itu. Hal tersebut dikarenakan tujuan pemerintah yang ingin membuat
iklim demokrasi dalam bernegara. Masuknya Indonesia kedalam ILO
(International Labor Organization) semakin memberikan kesempatan bagi
pengembangan buruh beserta kedudukan organisasinya. Disisi lain diberinya
ruang serikat pekerja, juga merupakan tujuan negara saat itu guna
memaksimalkan program-program nasionalisai terhadap perusahaan-
perusahaan Belanda. Tercatat pada masa itu sebanayak 1.501 organisasi buruh
bermunculan pada kurun waktu 1945-1955.
Kebanyakan organisasi-organisasi buruh tersebut kemudian berafiliasi
dengan partai politik yang juga menjamur pada waktu itu, seperti catatan Vedi
Hadiz “All the major unions and union federations ware somehowassociated,
if not affliated, to political parties, and us to a large extent, served to further
the interest of the latter, including the important matter of mobilising votes of
during elections”. Dengan perkembangan ini strategi serikat tidak hanya
menuntut perbaikan syarat hidup layak serta perbaikan dalam bidang sosial
ekonomi. Strategi serikat pekerja cenderung menjurus dalam bidang politik
dan tindakan serikat pekerja semakin dipengaruhi onderbow-isme (Mufti,
Muslim, 2018).
Hal tersebut kemudian berdampak pada pertarungan kepentingan diantara
serikat buruh seperti contoh yang diberikan Uwiyono (2001) dan Hasibuan
(1968) mencatat bahwa organisasi buruh tersebut kemudian melakukan

4
pemogokan guna memberikan keuntungan bagi partai politiknya seperti
SOBSI (Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia) yang berafiliasi dengan
PKI yang kemudian menjatuhkan kabinet Natsir, KBKI (Kesatuan Buruh
Kerakyatan Indonesia) yang menuntut kenaikan upah dengan setengah hari,
apabila pengusaha tersebut memberikan sumbangan kepada PNI dan
SARBUMUSI (Serikat Buruh Muslimin Indonesia) tidak bekerja sama dengan
serikat pekerja lainnya yang ingin menuntut perkebunan negara yang dikelola
oleh manajer dengan latar belakang NU. Strategi gerakan buruh pada era orde
lama semakin didasari kepentingan sektarian, fragmentasi, dan diwarnai,
pertentangan di antara halaun Komunis dan Non-Komunis, sehingga beberapa
pemimpin buruh pada tahun 1950-an dan 1960-an mengatakan bahwa “The
aim of improving the welfare workers often took second place to wider
political objective that were set by political parties” Tujuan meningkatkan
kesejahteraan para pekerja sering beralih menjadi tujuan politik yang lebih
luas yang ditetapkan oleh partai-partai politik (Mufti, Muslim. 2013: 188).
Namun pada masa akhir orde lama (1957-1965), Soekarno kala itu
merubah sistem pemerintahan yang bercorak Demokrasi Parlementer menjadi
Demokrasi Terpimpin yang juga dibarengi dengan peningkatan kontrol atas
hubungan kerja. Adanya Undang-Undang Nomor 86 tahun 1958 tentang status
perubahan perusahaan asing yang telah dinasionalisasi menjadi BUMN,
membuat adanya konrol terhadap organisasi dengan dibentuknya BKS-
BUMIL (Badan Koordinasi Buruh dan Militer) (Djumadi. 2005:25). Undang-
Undang Darurat Nomor 7 yang disahkan pada tahun 1963, melarang
pemogokan di industri vital (Uwiyono. 2001). Sejak saat itu jumlah
pemogokan dan pekerja yang terlibat terus-menurus menurun sepanjang
waktu, dengan beberapa penyimpangan kecil pada tahun-tahun tertentu, dan
mencapai nol pada tahun 1962.
Berbeda dengan masa orde lama yang memberikan kebebasan bagi buruh
untuk terlibat langsung dalam proses politik, orde baru sangat mengkontrol
ketat kebebasan buruh. Hal tersebut terkait dengan kebijakan pemerintah yang
melakukan pembangunan dengan menjamin adanya stabilitas nasional, artinya

5
disini pemerintah tidak menghendaki adanya gangguan seperti pemogokan
kerja dan protes buruh seperti yang dilakukan pada masa orde lama. Stabilitas
tersebut diciptakan untuk membuat keamanan jaminan kepada investor asing
yang masuk untuk menanam modal di Indonesia. Penciptaan stabilitas itu
kemudian juga didukung oleh militer yang digunakan rezim untuk mengawasi
gerak dari gerakan buruh.
Sikap paternalistik pemerintahan orde baru terhadap hubungan industrial
meliputi penentuan tingkat Upah Minimum Regional (UMR), tingkat hak
asasi para buruh/pekerja. Pola paternalistik ini ditunjukkan oleh kebijakan
Hubungan Industrial Pancasila (HIP) yang dikumandangkan pada tahun 1974,
yang menitikberatkan kemitraan antara buruh dengan pengusaha (Shainad,
Yusuf. 2000: 16). Kemudian saat itu pula FBSI yang awalanya organisasi
liberationist berubah menjadi SPSI (Serikat Pekerja Seluruh Indonesia) yang
berbentuk unitaris (dengan 10 departemen) dan budaya dropping (mengangkat
orang yang dekat dengan rezim sebagai pimpinan SPSI) (Mufti, Muslim.
2013: 191). Divisi sektoral independen di bawah FBSI diubah menjadi bentuk
departemen pengorganisasian terpusat, di mana peran sentral serikat dipegang
oleh personil dari partai yang berkuasa, pada saat itu Golkar (Golongan
Karya) dan juga diserap oleh personil militer (La Botz. 2018).
Pada awal tahun 1990-an terdapat sebuah perubahan dalam gerakan
untuk melawan sebuah sistem hubungan industrial yang sangat membuat
buruh tertekan. Perlawanan ini dilakukan dengan cara melakukan sebuah
konsolidasi dengan kelompok masyarakat lain seperti kelompok mahasiswa.
Aktivis mahasiswa di antaranya merupakan pemain utama dalam hal ini,
mereka mengembangkan kontra-logika terhadap logika institusional orde baru
dan pekerja pabrik berpendidikan dan terorganisir dan petani, meskipun
mereka beresiko terhadap tindakan represif, termasuk penyiksaan, dipenjara,
atau dibunuh secara misterius (La Botz. 2001). Perlawanan itu kemudian
membuat terjadinya pemogokan kerja oleh para buruh, gelombang pemogokan
terbesar terjadi pada tahun 1996, pemogokan mencapai puncaknya, yaitu 350
kasus pemogokan dengan 2.796.488 jam kerja yang hilang (Mufti, Muslim.

6
2013: 191). Perlawanan buruh serta adanya kesatuan kekuatan kelompok
masyarakat lainnya kemudian membuat rezim orde baru tumbang pada tahun
1998, namun ada juga anggapan yang mengatakan bahwa yang paling
berperan menjatuhkan rezim orde baru adalah kalangan mahasiswa.

D. Pengaruh Reformasi Terhadap Hubungan Industrial


Adanya gelombang demokratisasi yang terjadi pada era reformasi juga
berdampak pada pola hubungan industrial. Ada beberapa langkah kebijakan
yang dilakukan pemerintah untuk memberikan keterbukaan serta kebebasan
bagi buruh untuk berserikat menurut (Mufti, Muslim 2019): Pertama, langkah
awal diprakarsai oleh pemerintahan Habibie dengan meratifikasi Konvensi
ILO No. 87 tentang Kebebasan Berserikat dan Perlindungan Hak-Hak untuk
Berorganisasi melalui Keputusan Presiden No. 83 pada tanggal 5 Juni 1998.
Pada pemerintahan Abdurrahman Wahid, dikeluarkan Undang-Undang No. 21
tahun 2000 yang menyatakan Serikat Pekerja (SP)/Serikat Buruh (SB) atau
Serikat Pekerja Tingkat Perusahaan dapat dibentuk dengan minimalnya 10
anggota. Kedua, security approach terhadap hubungan industrial sangat
dihilangkan pada era reformasi, sebagaimana ditandai dengan dicabutnya
dwifungsinya militer (TNI). Kebebasan itu juga berdampak pada tuntutan
buruh yang tidak pada hak-hak normatif saja.
Terdapat juga perubahan dalam kelembagaan dalam hubungan industrial
pada era reformasi. Pertama, munculnya kembali beberapa serikat buruh dan
pengembangan sekutu munculnya federasi (multiple) dan konfederasi (tiga)
yang tidak ada di masa lalu. Seusai dengan catatan Albert Oleona mencatat
bahwa SPSI ditantang untuk berkompetisi secara sehat dengan organisasi-
organisasi buruh lainnya yang tumbuh secara kuantitatif demikian banyaknya
(ada 26 federasi dan lebih kurang 60 organisasi anggota) sebagai akibat
diratifikasinya Konvensi ILO No.87. Disisi lain ada perubahan kelembagaan
tersebut juga membuat peluang bagi buruh untuk terlibat langsung dalam
politik praktis dengan membentuk partai politik pada tahun 1999 dan 2004.

7
Munculnya partai-partai buruh ini membuat adanya fragmentasi ideologi
dalam aktor-aktor buruh tersebut.
Perkembangan kelembagaan kedua berkaitan dengan pengenalan
pengadilan tenaga kerja sebagai mekanisme formal baru untuk menyelesaikan
perselisihan buruh. Hal ini merupakan saran dari ILO untuk mengatasi
sengketa dalam masalah perburuhan dengan cara pengadilan, yang umumnya
lazim dilakukan di negara-negara lain. Sistem peradilam ini telah
menggantikan mekanisme non-yudisial dalam peran panitia khusus (Panitia
Penyelesain Perselisihan Perburuhan, P4, Komite Penyelesain Perselisihan
Perburuhan), yang terdiri dari perwakilan tripartit. Yang hal tersebut sudah
dijalankan oleh Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi pada tahun 2006.
Dalam hal ini sedikiti demi sedikit mulai mengurangi peranannya dalam
hubungan industri antara pengusaha dengan buruh dan dengan demikian telah
memungkin adanya pertarungan kepentingan antara pengusaha dan buruh
dalam hubungan bipatrit.
Disisi lain mulai mengurangnya peran negara terhadap hubungan industri
tersebut membuat terjadinya liberalisasi ekonomi. Hal tersebut kemudian
mempunyai dampak masalah terhadap hubungan industri. Pertama,
diterapkannya kebijakan outsourching dibawah pemerintahan Megawati
Soekarnoputri membuat sebuah kerugian karena peran pengusaha lebih
mengeksploitasi tenaga kerja secara berlebihan. Hal ini tentu berbeda dengan
jaman orde baru yang menerapkan upah tenaga kerja karena merupakan
praktek bisnis pengusaha dengan pemerintah. Sedangkan outsourching lebih
kepada memberikan kebebasan pada pengusaha untuk melakukan eksploitasi
sebesar-besarnya terhadap buruh.
Masalah kedua, kemudian muncul ketika pemerintah dalam era reformasi
yang ingin menggenjot kembali roda perekonomian melakukan kebijakan
privatisasi. Pengertian privatisasi dalam hal ini dapat diartikan sebagai
“partisipasi swasta dalam kegiatan ekonomi yang semula dikuasi oleh
pemerintah, baik sebagian maupun semua”. Dampak dari privatisasi
perekonomian yang dilakukan pada era reformasi terutama pada pemerintahan

8
Presiden Megawati Soekarnoputri itu berdampak pada pola hubungan
industrial yang terjadi. Privatisasi yang dilakukan terhadap penjualan PT
Paiton Energy Company dan PT Indonesian Satellite Coorporation Tbk.
(Indosat). Hal tersebut kemudian membuat serikat pekerja yang berada dalam
dua perusahaan itu melakukan perlawanan dengan melakukan gugatan atau
legal action melalui pengadilan, akan tetapi cara itu tetap tidak dapat
memberikan perubahan.

9
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Perubahan kelembagaan yang terjadi pada tiap era pemerintahan juga
memberikan dampak bagi hubungan industrial yang ada di Indonesia. Hal ini
terlihat dari logika institusional yang ada di setiap era. Adanya perubahan
paradigma pemikiran kemudian membuat hubungan industrial berubah,
terlebih perubahan itu juga mempengaruhi tindakan buruh dalam hal ini.
Buruh yang awalnya menuntut perubahan hal-hal yang normatif seperti
peningkatan hidup layak, kemudian berubah menjadi tuntutan yang bersifat
untuk mempengaruhi kebijakan perusahaan mengenai struktur organisasi.
Adanya organisasi buruh maupun serikat pekerja memberikan sebuah
kesadaran bagi buruh dalam hal sosial, politik, ekonomi, dan hukum. Terlebih
lagi ketika masa reformasi itu kesadaran buruh semakin tinggi dengan ikut
terlibat langsung dalan politik praktis dengan membentuk partai politik, hal ini
kemudian memberikan sebuah pandangan bahwa buruh dalam melakukan
aksinya tidak hanya melakukan pemogokan tetapi juga menempuh cara legal
action.
Perubahan hubungan industrial yang terjadi di era reformasi juga masih
menyisakan sebuah permasalahan, hal ini terkait dengan adanya liberalisasi
ekonomi yang dilakukan pemerintah dengan melakukan sebuah kebijakan
privatisasi serta adanya kebijakan outsourching. Hal tersebut kemudian
membuat buruh tereksploitasi meskipun sudah ada kebebasan bagi buruh
untuk membentuk sebuah organisasi atau serikat pekerja yang independen
tanpa adanya campur tangan dari pemerintah. Akan tetapi peran pemerintah
yang mulai menggeser ini juga tidak dikatakan benar karena pada esensi
negara harus menjamin kesejahteraan rakyatnya, terlebih lagi dalam masalah
ini adalah kelompok buruh.

10
B. Saran
Menurut penulis perlu adanya kesinambangun antara pengusaha, buruh,
dan pemerintah dalam hal ini yang merupakan pemegang mandat dari rakyat
harus berpihak dengan rakyat yang pada kasus ini adalah buruh. Di sisi lain
pemerintah juga harus memberikan kenyamana bagi para pengusaha atau
modal ini mengenai jaminan keamanan, pemerintah kita harus mempunyai
posisi tawar yang kuat. Disamping itu kebijakan privatisasi dengan menjual
sebagian saham atau keseluruhan saham bukan merupakan sebuah jalan guna
mendorong kemajuan ekonomi, hal yang harus dilakukan adalah melakukan
sebuah pembagian keuntungan yang jelas antara pemerintah dengan
pengusaha dengan pertimbangan pendapat dari buruh. Hal tersebut nantinya
akan membentuk perekonomian yang kuat serta adanya kelayakan tingkat
kehidupan bagi para buruh. Serta pada akhirnya akan membawa perbaikan
tingkat perekonomian masyarakat dan mengantarkan Indonesia ke jenjang
kemakmuran yang lebih baik.

11
DAFTAR PUSTAKA

Campbell, J.L. (2018). Institutional change and globalization. Pricenton, New


Jersey, Princeton University Press

Caraway, T.L. (2018). Protective Repression, International Pressure, and


Institutional design; Explaining Labor Reform in Indonesia. Studies in
Comparative International Development, 39(3): 28-49

Ford, M. (2019). NGO As Outside Intellectual; A History of Non-Governmental


Organisation’s Role In The Indonesian Labour Movement. Phd dissertation,
School of History and Politic,University of Wollongong

Ford, M. (2018), Continuity and Change in Indonesian Labor Relations in the


Habibie Interregnum, Shoutheast Asian Journal of Sociel Science, 28 (2):
59-88

Muslim, Mufti (2019), Kekuatan Politik di Indonesia. Bandung. CV. Pustaka


Setia

Djumadi (2018). Sejarah Keberadaan Organisasi Buruh di Indonesia. Jakarta, PT


RajaGrafindo Persada

12

Anda mungkin juga menyukai