Anda di halaman 1dari 3

PERBUATAN YANG DI KRIMINALISASI (CRIMINALIZATION)

DALAM KUHP BARU YANG SEBELUMNYA BELUM DIATUR


DALAM KUHP LAMA

Nama - : Irdian Afansyah


Nim : H1A120323
Kelas - : A

Kriminalisasi yang dapat juga diartikan sebagai proses penetapan suatu perbuatan
seseorang sebagai perbuatan yang dapat dipidana. Lebih jelasnya, kriminalisasi adalah
perbuatan tercela yang sebelumnya tidak dikualifikasikan sebagai perbuatan terlarang
dijustifikasi sebagai tindak pidana yang diancam dengan sanksi pidana. Pengertian
kriminalisasi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) yaitu “proses yang
memperlihatkan perilaku yang semula tidak dianggap sebagai peristiwa pidana, tetapi
kemudian digolongkan sebagai peristiwa pidana oleh masyarakat”.
Dalam KUHP baru ada beberapa perbuatan yang di kriminalisasi yang dimana dalam
KUHP lama perbuatan tersebut belum digolongkan sebagai perbuatan yang dapat dipidana.
Dalam pembahasan ini saya akan memberikan analisis mengenai pasal-pasal yang
mengkriminalisasikan perbuatan yang sebelumnya belum diatur dalam KUHP lama. Serta
memberikan pendapat mengenai pro atau kontra mengenai pasal-pasal yang akan dibahas.
Pada Pasal 240 ayat (1) KUHP baru terdapat perbuatan yang dimana perbuatan
tersebut sebelumnya belum diatur dalam KUHP lama, bunyi pasalnya sebagai berikut :
“Setiap Orang yang Di Muka Umum dengan lisan atau tulisan menghina pemerintah
atau lembaga negara, dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun
6 (enam) Bulan atau pidana denda paling banyak kategori II.”

Dengan adanya pasal ini memunculkan banyak kontroversi yang dianggap telah
mencegah rakyat dalam mengkritik kinerja pemerintah atau lembaga negara yang dirasa tidak
memuaskan para rakyat dalam menjalankan jabatannya. Dalam pengesahan KUHP baru
tersebut yang pada faktanya masih menimbulkan ketidaksetujuan dari para rakyat Indonesia
khususnya mahasiswa.
Menurut pendapat saya dengan hadirnya pasal ini saya kontra dan perlu kita ketahui
bersama, semua aturan pidana mempunyai sesuatu tujuan hukum yang ingin dilindungi, dan
dalam pasal ini ketentuan yang dimaksudkan agar kekuasaan umum atau lembaga negara
dihormati. Jadi lebih jelasnya untuk melindungi martabat kekuasaan umum dan lembaga
negara. Dalam konteks HAM tujuan dalam pasal ini perlu ditinjau lagi dengan tujuan lain
apabila berbenturan, di pasal ini tujuan menghormati kekuasaan berbenturan dengan kebebasan
berbicara publik. Dalam konteks HAM pembatasan kebebasan berbicara harus memenuhi
beberapa prinsip, salah satunya yaitu pembatasan kebebasan bicara atas nama menjaga
martabat lembaga negara yang beralasan dan dibutuhkan, sedangkan dalam pembuktiannya
ketiadaan aturan ini tidak akan merugikan lembaga negara dalam menjalankan fungsinya
karena sudah pada dasarnya apabila kinerja kekuasaan umum atau lembaga negara sudah
sesuai, maka tujuan untuk melindungi martabat bakal terlindungi dengan sendirinya. Serta
pasal ini tidak proporsional dalam arti tujuan yang ingin dicapai tidak menjegal tujuan lain
yang lebih besar yaitu kebebasan berekspresi, pada pasal 28 UUD 1945 kita mengaku sebagai
negara demokrasi tapi tanpa adanya kemerdekaan berserikat, berkumpul dan berpendapat maka
tidak akan ada demokrasi seperti yang sudah tertulis. Di negara demokrasi kebebasan
berekspresi menjadi hak fundamental yang menjadi jaminan pelaksanaan HAM lainnya. Serta
dalam KUHP baru, definisi penghinaan masih sangat kabur, karena kita tidak bisa mengukur
ucapan atau tindakan bisa masuk dalam kategori penghinaan atau tidak, sesuatu hal bisa saja
dianggap suatu penghinaan tetapi bagi orang lain hal tersebut bukanlah penghinaan, karena
tersinggung bukanlah suatu indikator yang dapat diukur.
Selanjutnya pasal mengenai kumpul kebo sebagaimana tercantum dalam Pasal 412
ayat (1) dan (2) KUHP baru yang berbunyi sebagai berikut:

“(1) Setiap Orang yang melakukan hidup bersama sebagai suami istri di luar
perkawinan dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) Bulan atau
pidana denda paling banyak kategori II.
(2) Terhadap Tindak Pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dilakukan
penuntutan kecuali atas pengaduan:
a. suami atau istri bagi orang yang terikat perkawinan; atau
b. Orang Tua atau anaknya bagi orang yang tidak terikat perkawinan.”
Pasal ini banyak menuai kontroversi yang dinilai sangat mengatur kehidupan pribadi
dan orang-orang disekitar karena dalam pasal ini mengkriminalisasi hubungan seksual antara
lelaki dan perempuan diluar perkawinan walaupun hal tersebut didasarkan suka sama suka.
Serta pasal ini dapat mendorong angka pernikahan dibawah umur di Indonesia yang hal
tersebut sudah dialami 25% perempuan di Indonesia. Sehingga pasal ini juga bisa saja
mengintervensi ruang privat seseorang.
Saya berpendapat bahwa saya pro dengan hadirnya pasal ini, tetapi ada beberapa hal
yang perlu ditinjau lagi dalam penerapannya. Salah satu contohnya, bisa saja pasal ini
mengkriminalisasi pasangan suami istri yang tidak mempunyai dokumen-dokumen
perkawinan resmi, karena saat ini ada 55% pasangan menikah dirumah tangga ekonomi rendah,
yang kesulitan dalam memiliki dokumen perkawinan resmi. Tetapi pada ayat 2 dijelaskan
bahwa tidak dilakukan penuntutan kecuali atas pengaduan suami atau istri orang yang terikat
perkawinan atau orang tua, atau anak yang tidak terikat perkawinan. Sehingga hal ini juga sama
sekali tidak mengganggu ruang privat seseorang karena hanya orang tertentu saja yang bisa
mengadukan hal tersebut dan adanya pasal ini dapat mengatasi keresahan publik mengenai
perzinahan yang dilakukan diluar nikah, karena di Indonesia hal tersebut adalah suatu hal yang
dilarang dan melanggar norma-norma sosial.

Anda mungkin juga menyukai