Anda di halaman 1dari 13

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Kedudukan hadis tergolong amat istimewa. Ia sebagai sumber hukum Islam
kedua sesudah Al-Qur`an. Yusuf Musa menyatakan, sejak abad pertama lampau,
seluruh umat Islam menempatkan hadis pada peringkat pertama sesudah al-
Qur`an, seluruh umat Islam merujukkan urusan-urusan keagamaan kepadanya.
‘Ajjaj al-Khathib menyatakan pula, al-Qur`an dan hadis merupakan dua
sumber hukum Islam yang bersifat permanen. Tidaklah mungkin bagi umat Islam,
termasuk para mujtahid dapat mengetahui masalah-masalah syar’iyyah tanpa
menoleh kepada keduanya. Kedudukan hadis yang demikian istimewa tersebut,
faktanya memang telah mendapat di hati umat Islam, dalam arti benar-benar
menerimanya sebagai hukum atau ajaran Islam. Dalam sejarah, hanya ada
sekelompok kecil dari kalangan umat Islam telah menolak hadis Nabi sebagai
salah satu sumber ajaran Islam. Mereka dikenal dengan sebutan inkarus sunnah.
Namun yang banyak yang menjadi permasalahan di kalangan umat Islam
ialah kriteria sebuah hadist untuk dapat menjadi hujjah. Karena itu dalam tulisan
ini, akan diuraikan kriteria penilaian kehujjahan hadist menurut imam mazhab,
yakni mazhab yang lahir dalam periode (110-350 H) yang tetap berkembang
sampai sekarang, yang dikenal dengan Imam Mazhab Empat, yaitu Imam Abu
Hanifah, Imam Malik bin Anas, Imam Syafi’i dan Imam Ahmad bin Hanbal.

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan kehujjahan hadist ?
2. Bagaimana tentang kehujjahan hadist menurut imam mazhab yang 4 ?

C. Tujuan Masalah
1. Mengetahui yang dimaksud dengan kehujjahan hadist.
2. Dapat menjabarkan kriteria kehujjahan hadist menurut imam mazhab
yang 4.

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian kehujjahan hadist


Kehujjahan Hadis adalah wajib digunakannya hadis sebagai hujjah atau
dasar hukum (al-dalil al-syar’i). Hadist adalah sumber hukum Islam (pedoman
hidup kaum Muslimin) setelah Alqur’an. Bagi orang yang beriman terhadap
Alquran sebagai sumber hukum Islam, maka secara otomatis harus percaya bahwa
Hadist juga merupakan sumber hukum Islam. Bagi mereka yang menolak
kebenaran Hadis sebagai sumber hukum Islam, bukan saja memperoleh dosa,
tetapi juga murtad hukumnya. Alasan lain mengapa umat Islam berpegang pada
Hadis karena selain memang di perintahkan oleh Alquran juga untuk
memudahkan dalam menentukan (menghukumi) suatu perkara yang tidak
dibicarakan secara rinci atau sama sekali tidak dibicarakan di dalam Al Qur’an
sebagai sumber hukum utama. Apabila Hadist tidak berfungsi sebagai sumber
hukum, maka kaum Muslimin akan mendapatkan kesulitan-kesulitan dalam
berbagai hal, seperti tata cara shalat, kadar dan ketentuan zakat, cara haji dan lain
sebagainya. Sebab ayat-ayat Alquran dalam hal ini tersebut hanya berbicara secara
global dan umum. Dan yang menjelaskan secara terperinci justru Sunnah
Rasulullah.
Selain itu juga akan mendapatkan kesukaran-kesukaran dalam hal
menafsirkan ayat-ayat yang musytarak (multi makna), muhtamal (mengandung
makna alternatif) dan sebagainya yang mau tidak mau memerlukan Sunnah untuk
menjelaskannya. Dan apabila penafsiran-penafsiran tersebut hanya didasarkan
kepada pertimbangan rasio (logika) sudah barang tentu akan melahirkan tafsiran-
tafsiran yang sangat subyektif dan tidak dapat dipertanggungjawabkan. Para imam
pembina mazhab semuanya menggunakan hadis atau Sunnah dalam ijtihanya
menggali hukum. Untuk mengetahui sejauh mana kedudukan hadis sebagai
sumber hukum Islam, dapat dilihat dalam beberapa dalil, baik dalam bentuk naqli
ataupun aqli :
1. Dalil Alquran

2
Banyak ayat Alquran yang menerangkan tentang kewajiban mempercayai
dan menerima segala yang datang dari Rasulullah Saw untuk dijadikan
pedoman hidup. Diantaranya adalah : Firman Allah Swt dalam surah Ali
Imran (3): 179
‫َّم ا َك اَن ٱُهَّلل ِلَيَذ َر ٱْلُم ْؤ ِمِنيَن َع َلٰى َم ٓا َأنُتْم َع َلْيِه َح َّتٰى َيِم يَز ٱْلَخ ِبيَث ِم َن ٱلَّطِّيِبۗ َو َم ا َك اَن ٱُهَّلل ِلُيْطِلَع ُك ْم َع َلى‬
‫ٱْلَغْيِب َو َٰل ِكَّن ٱَهَّلل َيْج َتِبى ِم ن ُّر ُس ِلِهۦ َم نَيَش ٓاُء ۖ َفَٔـاِم ُنو۟ا ِبٱِهَّلل َو ُرُس ِلِهۦۚ َو ِإن ُتْؤ ِم ُنو۟ا َو َتَّتُقو۟ا َفَلُك ْم َأْج ٌر َع ِظ يٌم‬
Artinya : "Allah sekali-kali tidak akan membiarkan orang-orang yang
beriman dalam keadaan kamu sekarang ini, sehingga Dia menyisihkan
yang buruk (munafik) dari yang baik (mukmin). Dan Allah sekali-kali
tidak akan memperlihatkan kepada kamu hal-hal yang ghaib, akan tetapi
Allah memilih siapa yang dikehendaki-Nya di antara rasul-rasul-Nya.
Karena itu berimanlah kepada Allah dan rasul-rasulNya; dan jika kamu
beriman dan bertakwa, maka bagimu pahala yang besar.

Diantaranya Q.S. al-Nisa’ (4) : 59 sebagai berikut:


‫َٰٓيَأُّيَها ٱَّلِذ يَن َء اَم ُنٓو ۟ا َأِط يُعو۟ا ٱَهَّلل َو َأِط يُعو۟ا ٱلَّرُسوَل َو ُأ۟و ِلى ٱَأْلْم ِر ِم نُك ْم ۖ َفِإن َتَٰن َز ْعُتْم ِفى َش ْى ٍء َفُر ُّد وُه ِإَلى‬
‫ٱِهَّلل َو ٱلَّرُسوِل ِإن ُك نُتْم ُتْؤ ِم ُنوَن ِبٱِهَّلل َو ٱْلَيْو ِم اأَل ِخ ِرۚ َٰذ ِلَك َخْيٌر َو َأْح َس ُن َتْأِو ياًل‬
“Wahai orang-orang yang beriman, taatlah kalian kepada Allah dan
taatlah kepada Rasul serta ulil amri di antara kalian.Kemudian jika kamu
berlainan pendapat tentang sesuatu,maka kembalikanlah ia kepada Allah
(Alquran) dan Rasul (sunnahnya) jika kamu benar-benar beriman kepada
Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan
lebih baik akibatnya.” Dalam QS. Ali Imran di atas, Allah memisahkan
antara orang-orang mukmin dengan orang-orang yang munafiq, dan akan
memperbaiki keadaan orang-orang mukmin dan memperkuat iman
mereka. Oleh karena itulah, orang mukmin dituntut agar tetap beriman
kepada Allah dan Rasul-Nya. Sedangkan pada QS. An-Nisa, Allah
menyeru kaum Muslimin agar mereka tetap beriman kepada Allah, rasul-
Nya (Muhammad SAW), Alquran, dan kitab yang diturunkan sebelumnya.
Kemudian pada akhir ayat, Allah mengancam orang-orang yang
mengingkari seruan-Nya. Selain Allah SWT memerintahkan kepada umat

3
Islam agar percaya kepada Rasulullah Saw. Allah juga memerintahkan
agar mentaati segala peraturan dan perundang-undangan yang dibawanya.
Tuntutan taat kepada Rasul itu sama halnya dengan tuntutan taat dan patuh
kepada perintah Allah Swt. Banyak ayat Alquran yang mnyerukan seruan
ini. Perhatikan firman Allah SWT.

2. Dalil Hadis
Dalam salah satu pesan yang disampaikan baginda Rasul berkenaan
dengan kewajiban menjadikan hadis sebagai pedoman hidup disamping
Alquran sebagai pedoman utamanya, adalah sabdanya:
‫ ثنا دود بن عمر‬,‫ ابنأ محمد بن عيسى بن السكن الواسطى‬,‫اخبرنَٔـَٔـا ابو بكر بن اسحك الفقيه‬
‫ عن ابي هريرة‬,‫ عن ابي صَٔـَٔـالح‬,‫ عن عبد العزيزبن رفيع‬,‫ ثنا صالح بن موسى الطلحي‬,‫والضبي‬
‫ " اّني قَٔـد تركت فيكم شيئين لن تضَٔـلوا‬:‫ قال رسول هللا صلى هللا عليه وسلم‬: ‫ قال‬,‫رضي هللا عنه‬
‫ ولن يتفّرقا حتي يردا علّي الحوض‬,‫ كتاب هللا وسنتي‬:‫"بعدهما‬
Artinya : Al Mustadrak 319: Abu Bakar bin Ishaq Al Faqih mengabarkan
kepada kami, Muhammad bin Isa bin As-Sakan Al Wasithi memberitakan
(kepada kami), Daud bin Amr Adh-Dhabbi menceritakan kepada kami,
Shalih bin Musa Ath-Thalhi menceritakan kepada kami dari Abdul Aziz
bin Rufa'i, dari Abu Shalih, dari Abu Hurairah , dia berkata: Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: ”Sesungguhnya aku telah
meninggalkan untuk kalian dua pedoman yang tidak akan membuat kalian
tersesat sesudahnya, (yaitu) Kitab Allah dan Sunnahku, keduanya tidak
akan berpisah hingga sampai di telaga”. Hadis di atas telah jelas
menyebutkan bahwa hadis merupakan pegangan hidup setelah Alquran
dalam menyelesaikan permasalahan dan segalah hal yang berkaitan dengan
kehidupan khususnya dalam menentukan hukum.

3. Ijma’ al-Sahabah.
Para sahabat pada waktu Rasulullah saw masih hidup selalu mengikuti
segala sesuatu yang diprintahkan oleh beliau dan menjauhi segala sesuatu
yang dilarangnya dengan tidak membeda-bedakan antara hukum-hukum

4
yang ditetapkan oleh Tuhan dengan hukum-hukum yang diciptakan oleh
Rasul sendiri. Setelah Rasulullah saw meninggal dunia, jika para sahabat
tidak mendapatkan ketentuan hukum dalam Alquran, maka meraka
meneliti hadis-hadis Rasul saw yang dihafal oleh para sahabat. Abu bakar,
misalnya, jika ia tidak ingat sunnah atau hadis yang berhubungan dengan
suatu kejadian, ia selalu bertanya kepada sahabat yang lain. Selanjutnya
kejadian tersebut ditetapkan hukumnya menurut sunnah tadi. Umar bin
khattab dan sahabat-sahabat yang lain serta para tabi’in mengikuti jejak
Abu Bakar tersebut, dan tidak ada seorangpun diantara mereka yang
mengingkari bahwa sunnah Rasulullah saw wajib diikuti. Banyak
peristiwa menunjukkan adanya kesepakatan menggunakan hadis sebagai
sumber hukum Islam, antara lain adalah peristiwa dibawah ini;
a. Ketika Abu Bakar dibaiat menjadi khalifah, ia pernah berkata, “saya
tidak meninggalkan sedikitpun sesuatu yang diamalkan oleh
Rasulullah, sesungguhnya saya takut tersesat bila meninggalkan
perintahnya.
b. Saat Umar berada di depan Hajar Aswad ia berkata, “saya tahu bahwa
engkau adalah batu. Seandainya saya tidak melihat Rasulullah
menciummu, saya tidak akan menciummu.”
c. Pernah ditanyakan kepada Abdullah bin Umar tentang ketentuan
sholat safar dalam Alquran. Ibnu Umar menjawab, “Allah SWT telah
mengutus Nabi Muhammad SAW kepada kita dan kita tidak
mengetahui sesuatu, maka sesugguhnya kami berbuat sebagaimana
kami melihat Rasulullah berbuat. Masih banyak lagi contoh-contoh
yang menunjukkan bahwa yang diperintahkan, dilakukan, dan
diserukan oleh Rasulullah Saw selalu diikuti oleh umatnya, dan apa
yang dilarang selalu ditinggalkan oleh umatnya.

4. Sesuai dengan Petunjuk Akal (Ijtihad)


Kerasulan Nabi Muhammad saw, telah diakui dan dibenarkan oleh umat
Islam. Di dalam mengemban misinya itu kadangkala beliau

5
menyampaikan apa yang datang dari Allah SWT, baik isi maupun
formulasinya dan kadangkala atas inisiatif sendiri dengan bimbingan
wahyu dari Tuhan. Namun juga tidak jarang beliau menawarkan hasil
ijtihad semata-mata mengenai suatu masalah yang tidak dibimbing oleh
wahyu. Hasil ijtihad itu berlaku sampai ada nas yang menasakhnya. Oleh
karena itu, sudah sepantasnya kalau hasil ijtihad beliau itu ditempatkan
sebagai sumber hukum. Kepercayaan yang telah diberikan kepada beliau
sebagai utusan Tuhan mengharuskan umat Islam untuk mentaati semua
peraturan yang dibahasnya. Menurut Abdul Ghoni bin Abdul Kholiq
dalam bukunya Hujjiyah al-Sunnah, kehujjahan hadis paling tidak dapat
dipahami dari 7 aspek, yaitu :
a. ‘Ishamah (Keterpeliharaan Nabi dari Kesalahan). Tugas Rasul sebagai
penyampai wahyu mengharuskan beliau untuk selalu ekstra hati- hati
dalam bertindak
b. Sikap Sahabat terhadap Sunnah. Sikap para sahabat yang selalu patuh
dan tunduk dengan perintah Rasulullah SAW memberikan satu
indikasi akan kebenaran apa yang dilakukan dan diucapkan oleh
beliau, dan sekaligus dapat dijadikan hujjah.
c. Alquran. Banyak ayat yang memerintahkan untuk patuh, taat dan
mengambil apa yang dilakukan Nabi SAW.
d. Al-Sunnah. Selain Al-Alquran, terdapat banyak pula hadis yang
menjelaskan kehujjahan al-Sunnah
e. Kebutuhan Alqur’an terhadap al-Sunnah. Alquran tidak akan dapat
dipahami secara sempurna tanpa ada bantuan al-Sunnah
f. Realitas-Sunnah sebagai wahyu. Wahyu yang disampaikan oleh Allah
kepada Nabi ada yang berupa wahyu dhohir (yang berstatus terjaga
dan terpelihara dari segala bentuk kesalahan)
g. Ijma’. Kesepakatan untuk mengambil hadis sebagai hujjah dan
landasan hukum.

6
B. Pendapat Imam Mazhab Empat
tentang Kriteria Kehujjahan Hadis.
1. Pendapat Imam Abu Hanifah
Imam Abu Hanifah dalam mengambil sumber atau dalil hokum dalam
menghadapi tuntutan ketetapan hukum terhadap masalah-masalah yang
dihadapinya atau yang timbul di tengah-tengah masyarakat, ia menempatkan hadis
sebagai sumber penetapan hukum yang kedua sesudah al-Qur`an. Hal ini
diketahui melalui ulasan yang diberikan al-Baghdadi dalam bukutarikhnya, di
mana Abu Hanifah berkata: Saya terlebih dahulu mengambil pada kitab Allah,
tetapi kalau saya tidak menemukan di dalamnya, maka saya mengambil pada
sunnah Rasulullah saw.
Banyak ulama yang menududh Abu Hanifah mendahulukan qiyas dari pada hadis.
Namun tuduhan itu hanyhalah didorong oleh perasaan apriori belaka. Al-Sya’rani
dalam kitabnya, al-Mizan al-Kubra menulis,bahwa Abu Hanifah berkata: Demi
Allah, telah berdusta dan telah mengada-ada terhadap saya, orang yang
mengatakan, sesungguhnya saya mendahulukan qiyas atas nash. Apakah
diperlukan qiyas sesudah ada nash. Jumhur ulama telah menegaskan, Abu Hanifah
ber-hujjah dengan hadis mutawatir. Sebagian ulama Hanafiyah menyamakan
hadis masyhur dengan hadis mutawatir; dan sebagian dari mereka menegaskan,
hadis masyhurtidak menyangkut soal yang bersifat keyakinan, melainkan hanya
yang bersifat zhanni (di luar keyakinan atau akidah). Dengan kata lain, hadis
masyhur dapat diamalkan dan di bawah peringkat hadis mutawatir. Dari
keterangan di atas, nampak ada perbedaan di kalangan ulama pengikut Abu
Hanifah dalam mendudukkan hadis sebagai hujjah. Ada yang menyamakan
derajat hadis masyhur dengan hadis mutawair; dan ada yang berpandangan
peringkat hadis masyhur berada di bawah hadis mutawatir. Ada dualism persepsi,
namun pada hakikatnya, keduanya menyetujui hadis mutawatir sebagai hadis yang
dapat dijadikan hujjahdalam menetap-kan hukum. Abu Hanifah menerima hadis
ahad dengan menetapkan syarat-syarat sebagai berikut:
a. Periwayatnya tidak menyalahi riwayatnya
b. Riwayatnya tidak menyangkut soal yang umum

7
c. Riwayatnya tidak menyalahi qiyas.
Hadis ahad didahukukan atas qiyas, jika:
1) Qiyas yang ‘illat-nya mustanbath dari sesuatu yang zhanni
2) Istinbath zhanni walau dari asal yang qath’i
3) Di-istinbath-kan dari yang qath’i, tapi penerapannya pada furu’
adalahzhanni.
Berdasarkan penjelasan tersebut, ternyata Abu Hanifah menggunakan qiyas untuk
menilai hadis ahad sebagai alat untuk memproduk hukum Islam. Dengan
demikian dapat dikatakan, posisi hadis ahad bagi Abu Hanifah berada di bawah
qiyas.Abu Hanifah dapat menerima hadis mursal dalam membina hukum Islam,
selama tidak bertentangan dengan al-Qur`an, hadis masyhur dan keterangansyara’.
Pada prinsipnya Abu Hanifah menetapkan al-Qur`an sebagai sumber hukum Islam
yang pertama, menerima sunnah jika datang dari orang yang terpercaya,
menerima hadis ahadsesudah al-Qur`an, jika hadis ahadtidak bertentangan dengan
kaedah yang telah di-ijma’ oleh ulama, tidak teemasuk soal yang umum dan tidak
menyalahi qiyas’. Abu Hanifah menerima juga hadis mursal sebagai hujjah jika
tidak bertentangan dengan al-Qur`an, serta menggunakan hadis mutawatir sebagai
hujjah. Sedangakan terhadap ke-hujjahan hadis masyhur, terjadi perbedaan
pendapat di kalangan ulama Hanafiyah.

2. Pendapat Imam Malik bin Anas


Imam Malik adalah imam dalam bidang fikih dan hadis. Hal ini terlihat
padal kitabnya, al-Muwaththa`. Al-Qadhi ‘Iyadh menyebutkan dalam kitab al-
Madari, bahwa dasar pengangan dalam menetapkan hukum Islam ada empat, yaitu
al-Kitab, al-sunnah, ‘amal ahli Madinah dan qiyas.
Menurut Imam Malik, di dudukkan al-sunnah terhadap al-Qur`an dalam tiga hal,
yaitu:
a. Mentaqrir-kan hukum hukum dalam al-Qur`an
b. Menerangkan apa yang di kehendaki al-Qur`an
c. Mendatangkan hukum baru yang tidak disebutkan dalam al-Qur`an.

8
Mencermati pendapat Imam Malik tersebut, dapat ditegaskan bahwa Imam
Malik dalam membina hukum Islam, ia menempatkan al-sunnah sebagai sumber
pengambilan hukum yang kedua sesudah al-Qur`an. Imam Malik memandang
keberadaan al-sunnah sekaligus sebagai sumber bagi timbulnya hukum-hukum
baru di luar al-Qur`an. Imam Malik menegaskan, dirinya menerima hadis mursal,
hadis munqathi’ dan hadis-hadis yang disampaikan periwayat kepadanya yang
(dalam kitab al-Muwaththa`) dita’birkan dengan ‘ibarat balaghani(sampai
kepadaku), walaupun ia tidak terangkan sebab-sebab ia menerima hadis-hadis
tersebut, mengingat pada masa itu, belum dipersoalkan ulama tentang kedudukan
hadis mursal; dan ia sendiri tidak menerima hadis melainkan dari orang yang
dipercayainya. Imam Malik menegaskan pula, dirinya berpegang kepada ‘amal
penduduk Madinah dan menggunakan qiyas dalam membina dan menetapkan
masalah hukum yang dihadapinya.
Adapun hadis ahad, ulama-ulama Malikiyah tidak mengamalkannya bila
bertentangan dengan amalan-amalanatau ‘urf ulama-ulama Madinah, menginat
ada pandangan yang mengatakan, amalan-amalan ulama Madinah sama dengan
riwayatnya. Pada intinya, Imam Malik membina hukum-hukum Islam dengan
berdasarkan al-Qur`an sebagai sebagai sumber pembinaan yang pertama,
kemudian sunnah sebagai sumber pembinaan yang kedua. Dalam hal hadis, Imam
Malik menerima hadismasyhur, hadis mursal dan hadis mutawatir serta hadis
ahad. Sementara khusus hadis ahad, Imam Malik memberi syarat, yaitu tidak
bertentangan dengan amalan-amalan ulama Madinah.

3. Imam Syafi’i
Imam al-Syafi’i membagi prosedural ilmiah penetapan dalil-dalil hukum
dalam lima tingktan dengan urutan sebagai beriukut:
a. Al-Kitab dan al-Sunnah. Ditempatkannya al-sunnah sejajar dengan alKitab
karena al-sunnah merupakan penjelas bagi al-Kitab, walau hadis ahad
tidak senilai dengan al-Kitab.

9
b. Ijma’ ditempuh dalam berbagai masalah yang tidak diperoleh dalilnya dari
al-Kitab dan al-sunnah. Ijma’ dalam hal ini, ialah ijma’-nya para fuqaha
yang memiliki ilmu khusus.
c. Qaul (pendapat) sebagian sahabat yang diketahui, tidak ada qawl lain yang
menyelisihinya.
d. Qaul-Qaul sahabat yang bertentangan dengan qaul-qaul sahabat juga;
dalam hal ini, mengambil qaul yang paling kuat.
e. Qiyas, yaitu menetapkan hukum suatu masalah dengan menyamakan
(mengkias) hukum yang sudah dietapkan oleh dalil di atas.
Menyimak pembagian prosedural ilmiah tersebut, dapat diketahui, bahwa
Imam Syafi’I dalam membina hukujm Islam, ia menemaptkan al-Qur`an dan
hadis sebagai termpat bersandarnyaijma’, qawl sahabat dan qiyas. Dengan kata
lain, bahwa sumber yang digunakan Imam Syafi’I dalam membina hokum,
hanyalah dua, yaitu al-Qur`an dan hadis. Adapun dalildalil lain dalam urutan
tingkatan di atas, hanyalah merujuk kepada alQur`an dan hadis. Dalam kitabnya,
al-Risalah, Imam Syafi’i mengajukan sejumlah dalil yang membuktikan ke-
hujjah-an al-sunnah.
Hadis ahad, Imam Syafi’i menerimanya, namun dengan syarat sebagai berikut:
a. Periwayatnya adalah orang yang dipercaya
b. Periwayatnya berakal atau memahami apa yang diriwayatkan
c. Periwayatnya dhabith
d. Periwayatnya benar-benar mendengar hadis itu dari orang yang
meriwayatkannya
e. Periwayatnya tidak menyalahi ahli ilmu yang juga meriwayatkan hadis
yang sama.
Sedangkan hadis mursal, Imam Syafi’I tidak menerima secara mutlak dan
tidak menolaknya secara mutlak. Hadis mursal dapat diterima Imam Syafi’i
dengan dua syarat; pertama, hadis mursal itu disampaikan oleh tabi’in yang
banyak berjumpa dengan sahabar; kedua, ada petunjuk yang menguatkan sanad
hadis ahad itu. Walaupun hadis mursal diterima Imam Syafi’i sebagai hujjah,

10
namun menurutnya tidaklah sederajat dengan hadsi ahad; dan demikian juga hadis
ahad, dapat diterima, tetapi tidak sejajar dengan al-Qur`an dan hadis mutawatir.
Adapun kedudukan hadis terhadap al-Qur`an, menurut Imam Syafi’i adalah
sebagai berikut:
a. Menerangkan ke-mujmal-an alQur`an, seperti menerangkan kemujmal-an
ayat shalat
b. Menerangakan ‘am al-Qur`an, yaitu ‘am yang dikehendaki khash
c. Menerangkan fardu-fardu dari fardu-fardu yang telah ditetapkan alQur`an
d. Menerangkan mana yang nasikh dan mana yang mansukh dari ayat-ayat
al-Qur`an.
Berdasarkan penjelasan tersebut, tergambar dengan jelas, bahwa Imam Syafi’I
dalam menetapkan hukum menempatakan sunnah sejajar dengan al-Qur`an.
Menurutnya, kedua dalil itu sama-sama berasal dari Allah dan keduanya
meruapakan sumber ajaran Islam.
Imam Syafi’i memakai ijma’, qawl sahabat dan qiyas dengan merujuk pada kedua
sumber ajaran Islam tersebut. Selanjutnya, Imam Syafi’i menerima hadis ahad
sebagai hujjah dengan syarat, harus dari periwayat yang dapat dipercaya dan
memenuhi kriteria tam al-dhabit. Imam Syafi’i menerima juga hadis mursal
dengan syarat, periwayatnya banyak berjumpa dengan sahabat dan sanad-nya
dapat dipercaya.
Menurutnya, posisi hadist mutawatir lebih tinggi dari pada hadist ahad dan hadist
mursal.

4. Pendapat Imam Ahmad bin Hanbal


Sumber kedua yang diperpegangi Imam Ahmad bin Hanbal dalam
menetapkan hukum terhadap masalah yang dihadapinya, adalah al-sunnah. Imam
Ahmad bin Hanbal menegaskan, untuk mencari apa yang ada dalam al-Qur`an
harus melalui al-sunnah. Jika ada orang yang mencari sesuatu dalam al-Qur`an
tanpa melalui, maka ia akan menempuh jalan kesesatan. Hal ini karena:
a. Al-Qur`an mengharuskan kita mengi-kuti Rasul (sunnahnya)

11
b. Ada hadis-hadis yang mengharuskan kita mengikuti Rasul dan melarang
kita menghadapi al-Qur`an saja dan membelakangi al-sunnah
c. Hukum yang di-ijma-i oleh paramuslimin banyak yang diambil dari al-
sunnah, karena itu menghilangkan al-sunnah, berarti menghilangkan 9/10
hukum Islam.
Jumhur ulama berpendapat bahwa hadis ahad hanya dapat digunakan
dalam bidang ‘amali (pengamalan) dan tidak boleh digunakant dalam bidang
i’tiqadi (akidah). Akan tetapi Imam Ahmad bin Hanbal menggunakan hadis ahad
dalam kedua bidang tersebut, baik itu ‘amali maupun i’tiqadi.
Imam Ahmad bin Hanbal menerima hadis mursal jika berasal dari seorang
sahabi atau seorang tabi’in atau tabi’-tabi’in. Hadis yang datang dari dari luar
kelompok tersebut, tidak diterimanya. Imam Ahmad bin Hanbal adalah salah
seorang pembina hukum Islam dan banyak yang mengikutinya. Ia menerima hadis
dha’if bila keadaan darurat.
Imam Ahmad bin Hanbal memegangi hadis yang berkualitasdha’if,
dengan syarat, periwayatnya bukan orang yang sengaja berdusta dan tidak
menemukan penjelasan masalahnya dalam hadis, baik dalam hadis shahih maupun
dalam hadis hasan.
Kererangan di atas menggambarkan dengan jelas, Imam Ahmad bin
Hanbal mengakui ke-hujjahan al-sunnah dengan tegas dan jelas, dengan
menggolongkan orang-orang yang menolak al-sunnah sebagai orang-orang sesat.
Imam Ahmad bin Hanbal ber-hujjahdengan hadis mutawatir, hadis ahad, hadis
mursal dan hadis dha’if. Bahkan ia mendahulukan hadis dha’if dari pada qiyas.
Berdasarkan penjelasan-penjelasan yang telah dikemukakan tersebut,
dapat dikatakan, bahwa para Imam Mazhab Empat dalam kegiatan menetapkan
hukum terhadap seluruh masalah yang dihadapi pada masa hidupnya sebagai
ulama mujtahid, menggunakan hadis sebagai sumber yang kedua. Namun
demikian, di antara mereka menekankan persyaratan-persyaratan bagi Sebuah
hadis yang dapat diterimanya sebagai hujjah.

12
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Kehujjahan Hadis adalah wajib digunakannya hadis sebagai hujjah atau
dasar hukum. Berdasarkan uraian-uraian terdahu, dapatlah ditarik kesimpulan
sebagai berikut: 1. Imam Abu Hanifah menjadikan al-sunnah sebagai hujjah
dalam penetapan hukum-hukum syari’ah, dengan syarat al-sunnah itu
diriwayatkan oleh orang-orang kepercayaan. Sedangkan khusus hadis ahad ia
persyaratkan, harus tidak bertentangan dengan kaedah yang telah disepakati oleh
ulama dan matan-nya tidak menyangkut soal-soal yang umum serta tidak
bertentangan dengan qiyas. Bahkan hadis mursal pun diterimanya jika tidak
bertentangan dengan al-Qur`an; 2. Imam Malik bin Anas memegangi hadis
sebagai hujjah, bukan hanya pada hadis mutawatir, melainkan juga pada hadis
masyhur, hadis mursal dan hadis ahad; tetapi dengan syarat, tidak bertentangan
dengan Amalam Ulama Madinah; 3. Imam Idris al-Syafi’i mendudukkan hadis
ahad sebagai hujjah, jika hadis ahad itu diriwayatkan oleh periwayat yang
memenuhi kriteria dhabith. Demikian juga halnya hadis mursal, ialah jika
periwayatnya banyak berjumpa dengan sahabat dan sanadnya pun dapat
dipercaya. Menurut Imam Syafi’i, posisi hadis mutawatir lebih tinggi dari pada
hadis ahad dan hadis mursal; 4. Imam Ahmad bin Hanbal ber-hujjah dengan
umumnya hadis, baik hadis mutawatir, hadis ahad, hadis mursal maupun hadis
dha’if. Ia pun mendahulukan hadis dfha’if dari pada qiyas.

13

Anda mungkin juga menyukai