Tugas IV (Desentralisasi Asimetrik DIY)
Tugas IV (Desentralisasi Asimetrik DIY)
Tugas IV (Desentralisasi Asimetrik DIY)
ULASAN
A. LATAR BELAKANG
Dalam tigas dasawarsa (1970-1990 an) pemerintah di negara-negara berkembang telah
berupaya mengimplementasikan berbagai macam kebijakan desentralisasi. Sebagian
memiliki lingkup yang menyeluruh dan dirancang untuk mengalihkan perencanaan
pembangunan dan pertanggungjawaban pengelolaan kepada unit-unit peemrintah daerah.
Sebagian lain memahaminnya secara sempit, mereka hanya menyebarkan atau merelokasi
tugas-tugas pemerintahan di antara unit-unit pemerintah pusat. Di sebagian besar negara,
kebijakan desentralisasi memiliki empat bentuk. Pemerintah di negara-negara seperti
India, Sudan dan Tanzania berupaya menyerahkan atau mendelegasikan kuasa
pengambilan keputusan kepada pemerintah daerah atau unit-unit pemerintahan,
pemerintahan lain seperti di Brazil, Argentina, Venezuela, dan Meksiko memberikan
fungsi perencanaan dan pengelolaan tertentu kepada organisasi-organisasi semi-otonom.
Hampir semua pemerintahan di Afrika Timur dan Utara dan Asia Selatan
mendistribusikan fungsi pembangunan kepada pemerintah provinsi atau distrik.
Desentralisasi di beberapa negara berkembang dilaksanakan dengan cara debirokratisasi.
Fungsi-fungsi yang sebelumnya diemban oleh pemerintah diserahkan kepada organisasi-
organisasi mandiri atau sektor swasta.
Sebagai konsep, desentralisasi tumbuh dan berkembang seiring dengan tuntutan dan
kebutuhan negara demokrasi sejak lama. Jika dilihat dalam bingkai negara kesatuan,
dalam prakteknya pada hubungan pusat dan daerah terdapat masalah mengenai tarik
menarik kepentingan yang tidak dapat dihindarkan. Dalam konsep negara kesatuan,
upaya pemerintah pusat untuk selalu memegang kendali atas berbagai urusan
pemerintahan sangat jelas, sebab kelaziman negara yang berbentuk kesatuan, maka
sebagai pemegang otoritas pemerintahan adalah pusat. Kewenangan yang diberikan oleh
pusat kepada daerah sangat terbatas. Pada konteks ini, pemerintah pusat atau nasional
memposisikan pada kedudukan tertinggi dan memiliki kekuasaan penuh dalam
pemerintahan sehari-hari, dan tidak ada bidang pemerintah diserahkan konstitusi kepada
satuan-satuan pemerintahan yang lebih kecil (dalam hal ini daerah atau provinsi,
kabupaten/kota). Pemerintah pusat (nasional) bisa melimpahkan banyak tugas
(melimpahkan wewenang) kepada kota-kota, kabupaten-kabupaten, atau satuan-satuan
pemerintahan lokal. Namun, pelimpahan wewenang ini hanya diatur oleh undang-undang
yang dibuat parlemen pusat (di Indonesia DPR-RI), bukan diatur di dalam konstitusi (di
Indonesia UUD 1945), dan pelimpahan wewenang tersebut bisa saja ditarik sewaktu-
waktu.
Sebagai suatu sistem, desentralisasi saling berinteraksi dengan lingkungannya dimana
desentralisasi beroperasi. Lingkungan tersebut dapat berupa faktor politik, sosiobudaya,
ekonomi, historis dan geografis. Oleh karena itu, apabila kita ingin memahami
desentralisasi dengan baik diperlukan pendekatan ekologis. Dengan pendekatan itu
memungkinkan penganalisaan yang lebih dinamis daripada pendekatan dari satu arah (uni
directional approach). Kedudukan “istimewa” bagi Daerah istimewa Aceh dan
Yogyakarta misalnya, dan mengapa keistimewaan Aceh berbeda dengan Yogyakarta
tidak dapat diungkap dengan ketentuan-ketentuan hukum semata, tetapi diperlukan
penglihatan dari faktor-faktor hukum.
Dengan melihat keragaman yang dimiliki oleh Indonesia serta permasalahan otonomi
daerah dan desentralisasi dewasa ini, maka desentralisasi asimetris tetap menjadi jalan
terbaik untuk mengakomodasi keragaman dan mengatasi masalah yang ada tersebut.
Setidaknya, bertujuan untuk menggambarkan secara lebih jelas lagi terkait konsep
desentralisasi asimetris yang benar-benar asimetri. Desentralisasi asimetris secara teoritis
sebenarnya tergolong baru di Indonesia daripada pengembangan teori otonomi darah dan
desentralisasi yang hanya mengedepankan pelimpahan wewenang dari pusat ke daerah.
Desentralisasi asimetris tidak hanya berbicara pelimpahan wewenang, tetapi juga
bagaimana wewenang, keuangan, pengawasan dan kelembagaan didesentralisasikan
secara kontekstual.
Saat ini, setelah reformasi digulirkan selama 15 tahun, desentralisasi asimetris dapat
leluasa dijalankan oleh pemerintah pusat kepada pemerintah daerah (pemda). Sedikitnya
ada lima daerah di Indonesia yang telah ditetapkan otonomi khusus dalam
penyelenggaraan pemerintahan di daerah. Namun, kebijakan tersebut masih setengah
hati dijalankan oleh pemerintah pusat. Sehingga desentralisasi dan keasimetrisan untuk
beberapa daerah itu tampak parsial. Yang parahnya lagi, paradigma pemerintah pusat
akan desentralisasi asimetris menggunakan paradigma prosedural yang normatif
bukannya menggunakan pola pikir kontekstual yang substantif. Akibatnya, kebijakan
desentralisasi asimetris ini belum mampu menjawab persoalan-persoalan di daerah secara
nyata dan mendalam yang menimbulkan opini bahwa kebijakan desentralisasi asimetris
yang diambil pempus hanya mempertimbangkan citra dan faktor politis semata.
B. KEADAAN HISTORIS
Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) adalah provinsi tertua kedua di Indonesia setelah
Jawa Timur, yang dibentuk oleh pemerintah negara bagian Indonesia. Provinsi ini juga
memiliki status istimewa atau otonomi khusus. Status ini merupakan sebuah warisan dari
zaman sebelum kemerdekaan. Menurut Babad Gianti, Yogyakarta atau Ngayogyakarta
(bahasa Jawa) adalah nama yang diberikan Paku Buwono II (raja Mataram tahun 1719-
1727) sebagai pengganti nama pesanggrahan Gartitawati. Yogyakarta berarti Yogya yang
kerta, Yogya yang makmur, sedangkan Ngayogyakarta Hadiningrat berarti Yogya yang
makmur dan yang paling utama. Sumber lain mengatakan, nama Yogyakarta diambil dari
nama (ibu) kota Sanskrit Ayodhya dalam epos Ramayana. Dalam penggunaannya sehari-
hari, Yogyakarta lazim diucapkan Jogja(karta) atau Ngayogyakarta (bahasa Jawa).
Sebelum Indonesia merdeka, Yogyakarta sudah mempunyai tradisi pemerintahan karena
Yogyakarta adalah kesultanan, termasuk didalamnnya terdapat juga Kadipaten Pakualam.
Daerah yang mempunyai asal-usul dengan pemerintahannya sendiri, di zaman penjajahan
Hindia Belanda disebut Zelfbesturende Landschappen. Di zaman kemerdekaan disebut
dengan nama Daerah Swapraja.
Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat berdiri sejak 1755 didirikan oleh Pangeran
Mangkubumi yang kemudian begelar Sultan Hamengku Buwono I. Kadipaten Pakualam,
berdiri sejak 1813, didirikan oleh Pangeran Notokusumo, (saudara Sultan Hamengku
Buwono II) kemudian bergelar Adipati Paku Alam I. Baik Kasultanan maupun
Pakualaman, diakui oleh Pemerintah Hindia Belanda sebagai kerajaan dengan hak
mengatur rumah tangga sendiri. Semua itu dinyatakan didalam kontrak politik. Terakhir
kontrak politik Kasultanan tercantum dalam Staatsblad 1941 No.47 dan kontrak politik
Pakualaman dalam Staatsblaad 1941 No.577.
Pada saat Proklamasi Kemerdekaan RI, Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Paku
Alam VIII mengetok kawat kepada Presiden RI, menyatakan bahwa Daerah Kasultanan
Yogyakarta dan Daerah Pakualaman menjadi bagian wilayah Negara Republik Indonesia,
serta bergabung menjadi satu, mewujudkan satu kesatuan Daerah Istimewa Yogyakarta.
Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Paku Alam VIII sebagai Kepala Daerah dan
Wakil Kepala Daerah bertanggung jawab langsung kepada Presiden Republik Indonesia.
Pegangan hukumnya adalah:
1. Piagam kedudukan Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Paku Alam VIII
tertanggal 19 Agustus 1945 dari Presiden Republik Indonesia.
2. Amanat Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Amanat Sri Paku Alam VIII
tertanggal 5 September 1945 (yang dibuat sendiri-sendiri secara terpisah).
3. Amanat Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Paku AlamVIII tertanggal 30
Oktober 1945 (yang dibuat bersama dalam satu naskah).
BAB II
PEMBAHASAN
C. PREDIKSI
Semakin hari, kita menyaksikan semakin banyak kompleksitas pemerintahan di provinsi
menyusul semakin sedikitnya ruang gerak provinsi dalam konteks peraturan sekarang,
dalam rangga mengakui dan mengembangkan hak-hak adat, kekayaan intelektual
masyarakat, serta keadilan dalam perspektif hubungan pusat-daerah, diperlukan solusi
interpretatif yang cerdas tanpa mengurangi kehati-hatian dalam memberikan kewenangan
lebih besar kepada provinsi. Selama ini, terjadi ketegangan dan tarik-ulur kewenangan
pusat serta daerah yang bermuara pada kebuntuan. Situasi ini akan berjalan tanpa akhir
selama belum ditemukan konteks legal untuk basis penyelesaian persoalan. Tanpa upaya
mencari solusinya kondisi akan menjadi ancaman bagi keutuhan NKRI. Secara
konseptual, desentralisasi asimetris bukanlah hal baru. Desentralisasi asimetris telah
dilaksanakan, baik di negara-negara federal maupun unitarian. Inti desentralisasi
asimetris adalah terbukanya ruang gerak implementasi dan kreativitas provinsi dalam
pelaksanaan pemerintahan di luar ketentuan umum dan khusus. Provinsi DIY tidak
mengubah sistem pemilihan gubernurnya karena sistem itu telah berjalan justru sebelum
negara ini lahir. DIY dapat melaksanakan sistem lokalnya.
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
1. Kondisi yang dialami Yogyakarta saat ini persis pernah terjadi seperti yang dialami oleh
Sri Sultan HB V menjelang suksesi kekuasaannya. Sultan HB V tidak memiliki anak laki-
laki yang dapat menggantikannya. Semua anaknya perempuan, sehingga adik
kandungnyalah yang menggantikan sang sultan. Akhirnya, Sultan HB VI bertahta
menggantikan kakaknya yang wafat di usia cukup muda. Belajar dari sejarah memang
bukan hal mudah. Perubahan dan perputaran kehidupan terus terjadi. Apabila Sultan HB X
mengikuti Paugeran Keraton, maka seharusnya ia mewariskan tahtanya kepada sang adik.
Akan tetapi, semuanya berbeda, ketika paugeran bukanlah tonggak utama dalam
pengambilan keputusan, maka hal di luar aturan pun dapat terjadi. Sabdatama dan Sabda
Raja yang diterbitkan Sultan HB X bukan merupakan sumber hukum tata negara, baik
dilihat dari segi formal maupun materiil. Hal itu karena isi dari Sabdatama dan Sabda Raja
sampai saat ini belum sepenuhnya diakui oleh Pemerintah DIY dan masyarakat
Yogyakarta, sehingga dianggap tidak memiliki legitimasi. Oleh sebab itu, menurut penulis,
Sultan HB X sebaiknya meminta pendapat rakyat terlebih dahulu, apakah rakyat
menghendaki perubahan UUK (Undang-undang Keistimewaan) seperti isi dari Sabdatama
dan Sabda Raja atau tetap seperti apa yang sekarang sudah ditentukan dalam UUK.
Keistimewaan yang dimiliki DIY bukannya tanpa batasan-batasan konstitusional, apalagi
hanya ditentukan oleh satu orang, tetapi pemerintahan yang demokratis menghendaki
dukungan dari segenap lapisan masyarakat.
2. Desentralisasi asimetris di Indonesia merupakan sebuah keberlanjutan sejarah yang telah
dimulai dari masa kolobial dan ditegaskan dalam tiga konstitusi yang pernah berlaku di
Indonesia. Dasar dari desentralisasi asimetris tersebut dapat dirujuk dalam konstitusi
sebagai kesatuan hukum tertinggi.
DAFTAR PUSTAKA
DIY, D. (2018, Maret 01). Dinas Perpustakaan dan Arsip Daerah DIY. Retrieved Oktober 18, 2022, from
dpad.jogjaprov.go.id: http://dpad.jogjaprov.go.id/article/news/vieww/sejarah-singkat-daerah-
istimewa-yogyakarta-1482
DPMP. (2015, November 17). Kesempatan Berinvestasi di Yogyakarta. Retrieved Oktober 18, 2022, from
investasi.jogjakarta.go.id: http://investasi.jogjakota.go.id/id/more/page/76/Jogja-yang-Istimewa
Dr. Ni'maul Huda, S. M. (2021). DESENTRALISASI SECARA UMUM DAN DESENTRALISASI ASIMETRIS DI
INDONESIA. Yogyakarta: NUSAMEDIA.
Josep. (2018). Rasionalitas Urgensi Penerapan Kebijakan Desentralisasi Asimetris di Indonesia. DKI
Jakarta: INDOCAMP.
Raska, R. R. (2014). Otonomi Khusus Daerah Istimewa Yogyakarta. Kewarganegaraan, 7-8.
Safitri, I. (2019). Keraton Yogyakarta Masa Lampau dan Masa Kini: Dinamika Suksesi Raja-Raja Jawa dan
Politik Wacana "Raja Perempuan". Indonesia Historical Studies, 9-12.
Sakir, & Mutiarin, D. (2015). Kebijakan Anggaran Dana Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta. Ilmu
Pemerintahan dan Kebijakan Publik, 3-20.
Sukirno, S. M. (n.d.).
Sukirno, S. M., & Dwi Kuncahyo, S. M. (2015). PENERAPAN DESENTRALISASI ASIMETRIS DALAM
PENYELENGGARAAN URUSAN KEISTIMEWAAN DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA SEBAGAI BASIS
OTONOMI BAGI TERWUJUDNYA KESEJAHTERAAN RAKYAT. Hukum, 2-18.
Susanto, S. N. (2019). Desentralisasi Asimetris dalam Konteks Negara Kesatuan. Administrative Law &
Governance Journal, 2-8.