Tugas IV (Desentralisasi Asimetrik DIY)

Anda mungkin juga menyukai

Anda di halaman 1dari 20

DESENTRALISASI ASIMETRIS

KONDISI EMPIRIK & SPEKULASI KEDEPAN


DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

ULASAN

No. Nama NPP


1. Ardyantho Jozhua Anugrah Ndoloe 31.0767
2. Mohammad Kemal Abror 31.0532
3. Ryan Pranugie Harianja 31.0168
4. Syahrul Dhanni Mokoginta 31.0835
5. Yasmine Naurah Izari 31.0667

STUDI KEBIJAKAN PUBLIK


FAKULTAS POLITIK PEMERINTAHAN
INSTITUT PEMERINTAHAN DALAM NEGERI
KAMPUS JAKARTA
2022
DAFTAR ISI
BAB I...............................................................................................................................................2
PEDAHULUAN..............................................................................................................................2
A. LATAR BELAKANG..........................................................................................................2
B. KEADAAN HISTORIS........................................................................................................4
BAB II.............................................................................................................................................6
PEMBAHASAN..............................................................................................................................6
A. KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP YOGYAKARTA..........................................6
B. DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA MASA KINI...................................................11
C. PREDIKSI..........................................................................................................................17
BAB III..........................................................................................................................................18
PENUTUP.....................................................................................................................................18
KESIMPULAN..........................................................................................................................18
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................................................19
BAB I
PEDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Dalam tigas dasawarsa (1970-1990 an) pemerintah di negara-negara berkembang telah
berupaya mengimplementasikan berbagai macam kebijakan desentralisasi. Sebagian
memiliki lingkup yang menyeluruh dan dirancang untuk mengalihkan perencanaan
pembangunan dan pertanggungjawaban pengelolaan kepada unit-unit peemrintah daerah.
Sebagian lain memahaminnya secara sempit, mereka hanya menyebarkan atau merelokasi
tugas-tugas pemerintahan di antara unit-unit pemerintah pusat. Di sebagian besar negara,
kebijakan desentralisasi memiliki empat bentuk. Pemerintah di negara-negara seperti
India, Sudan dan Tanzania berupaya menyerahkan atau mendelegasikan kuasa
pengambilan keputusan kepada pemerintah daerah atau unit-unit pemerintahan,
pemerintahan lain seperti di Brazil, Argentina, Venezuela, dan Meksiko memberikan
fungsi perencanaan dan pengelolaan tertentu kepada organisasi-organisasi semi-otonom.
Hampir semua pemerintahan di Afrika Timur dan Utara dan Asia Selatan
mendistribusikan fungsi pembangunan kepada pemerintah provinsi atau distrik.
Desentralisasi di beberapa negara berkembang dilaksanakan dengan cara debirokratisasi.
Fungsi-fungsi yang sebelumnya diemban oleh pemerintah diserahkan kepada organisasi-
organisasi mandiri atau sektor swasta.
Sebagai konsep, desentralisasi tumbuh dan berkembang seiring dengan tuntutan dan
kebutuhan negara demokrasi sejak lama. Jika dilihat dalam bingkai negara kesatuan,
dalam prakteknya pada hubungan pusat dan daerah terdapat masalah mengenai tarik
menarik kepentingan yang tidak dapat dihindarkan. Dalam konsep negara kesatuan,
upaya pemerintah pusat untuk selalu memegang kendali atas berbagai urusan
pemerintahan sangat jelas, sebab kelaziman negara yang berbentuk kesatuan, maka
sebagai pemegang otoritas pemerintahan adalah pusat. Kewenangan yang diberikan oleh
pusat kepada daerah sangat terbatas. Pada konteks ini, pemerintah pusat atau nasional
memposisikan pada kedudukan tertinggi dan memiliki kekuasaan penuh dalam
pemerintahan sehari-hari, dan tidak ada bidang pemerintah diserahkan konstitusi kepada
satuan-satuan pemerintahan yang lebih kecil (dalam hal ini daerah atau provinsi,
kabupaten/kota). Pemerintah pusat (nasional) bisa melimpahkan banyak tugas
(melimpahkan wewenang) kepada kota-kota, kabupaten-kabupaten, atau satuan-satuan
pemerintahan lokal. Namun, pelimpahan wewenang ini hanya diatur oleh undang-undang
yang dibuat parlemen pusat (di Indonesia DPR-RI), bukan diatur di dalam konstitusi (di
Indonesia UUD 1945), dan pelimpahan wewenang tersebut bisa saja ditarik sewaktu-
waktu.
Sebagai suatu sistem, desentralisasi saling berinteraksi dengan lingkungannya dimana
desentralisasi beroperasi. Lingkungan tersebut dapat berupa faktor politik, sosiobudaya,
ekonomi, historis dan geografis. Oleh karena itu, apabila kita ingin memahami
desentralisasi dengan baik diperlukan pendekatan ekologis. Dengan pendekatan itu
memungkinkan penganalisaan yang lebih dinamis daripada pendekatan dari satu arah (uni
directional approach). Kedudukan “istimewa” bagi Daerah istimewa Aceh dan
Yogyakarta misalnya, dan mengapa keistimewaan Aceh berbeda dengan Yogyakarta
tidak dapat diungkap dengan ketentuan-ketentuan hukum semata, tetapi diperlukan
penglihatan dari faktor-faktor hukum.
Dengan melihat keragaman yang dimiliki oleh Indonesia serta permasalahan otonomi
daerah dan desentralisasi dewasa ini, maka desentralisasi asimetris tetap menjadi jalan
terbaik untuk mengakomodasi keragaman dan mengatasi masalah yang ada tersebut.
Setidaknya, bertujuan untuk menggambarkan secara lebih jelas lagi terkait konsep
desentralisasi asimetris yang benar-benar asimetri. Desentralisasi asimetris secara teoritis
sebenarnya tergolong baru di Indonesia daripada pengembangan teori otonomi darah dan
desentralisasi yang hanya mengedepankan pelimpahan wewenang dari pusat ke daerah.
Desentralisasi asimetris tidak hanya berbicara pelimpahan wewenang, tetapi juga
bagaimana wewenang, keuangan, pengawasan dan kelembagaan didesentralisasikan
secara kontekstual.
Saat ini, setelah reformasi digulirkan selama 15 tahun, desentralisasi asimetris dapat
leluasa dijalankan oleh pemerintah pusat kepada pemerintah daerah (pemda). Sedikitnya
ada lima daerah di Indonesia yang telah ditetapkan otonomi khusus dalam
penyelenggaraan pemerintahan di daerah. Namun, kebijakan tersebut masih setengah
hati dijalankan oleh pemerintah pusat. Sehingga desentralisasi dan keasimetrisan untuk
beberapa daerah itu tampak parsial. Yang parahnya lagi, paradigma pemerintah pusat
akan desentralisasi asimetris menggunakan paradigma prosedural yang normatif
bukannya menggunakan pola pikir kontekstual yang substantif. Akibatnya, kebijakan
desentralisasi asimetris ini belum mampu menjawab persoalan-persoalan di daerah secara
nyata dan mendalam yang menimbulkan opini bahwa kebijakan desentralisasi asimetris
yang diambil pempus hanya mempertimbangkan citra dan faktor politis semata.

B. KEADAAN HISTORIS
Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) adalah provinsi tertua kedua di Indonesia setelah
Jawa Timur, yang dibentuk oleh pemerintah negara bagian Indonesia. Provinsi ini juga
memiliki status istimewa atau otonomi khusus. Status ini merupakan sebuah warisan dari
zaman sebelum kemerdekaan. Menurut Babad Gianti, Yogyakarta atau Ngayogyakarta
(bahasa Jawa) adalah nama yang diberikan Paku Buwono II (raja Mataram tahun 1719-
1727) sebagai pengganti nama pesanggrahan Gartitawati. Yogyakarta berarti Yogya yang
kerta, Yogya yang makmur, sedangkan Ngayogyakarta Hadiningrat berarti Yogya yang
makmur dan yang paling utama. Sumber lain mengatakan, nama Yogyakarta diambil dari
nama (ibu) kota Sanskrit Ayodhya dalam epos Ramayana. Dalam penggunaannya sehari-
hari, Yogyakarta lazim diucapkan Jogja(karta) atau Ngayogyakarta (bahasa Jawa).
Sebelum Indonesia merdeka, Yogyakarta sudah mempunyai tradisi pemerintahan karena
Yogyakarta adalah kesultanan, termasuk didalamnnya terdapat juga Kadipaten Pakualam.
Daerah yang mempunyai asal-usul dengan pemerintahannya sendiri, di zaman penjajahan
Hindia Belanda disebut Zelfbesturende Landschappen. Di zaman kemerdekaan disebut
dengan nama Daerah Swapraja.
Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat berdiri sejak 1755 didirikan oleh Pangeran
Mangkubumi yang kemudian begelar Sultan Hamengku Buwono I. Kadipaten Pakualam,
berdiri sejak 1813, didirikan oleh Pangeran Notokusumo, (saudara Sultan Hamengku
Buwono II) kemudian bergelar Adipati Paku Alam I. Baik Kasultanan maupun
Pakualaman, diakui oleh Pemerintah Hindia Belanda sebagai kerajaan dengan hak
mengatur rumah tangga sendiri. Semua itu dinyatakan didalam kontrak politik. Terakhir
kontrak politik Kasultanan tercantum dalam Staatsblad 1941 No.47 dan kontrak politik
Pakualaman dalam Staatsblaad 1941 No.577.
Pada saat Proklamasi Kemerdekaan RI, Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Paku
Alam VIII mengetok kawat kepada Presiden RI, menyatakan bahwa Daerah Kasultanan
Yogyakarta dan Daerah Pakualaman menjadi bagian wilayah Negara Republik Indonesia,
serta bergabung menjadi satu, mewujudkan satu kesatuan Daerah Istimewa Yogyakarta.
Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Paku Alam VIII sebagai Kepala Daerah dan
Wakil Kepala Daerah bertanggung jawab langsung kepada Presiden Republik Indonesia.
Pegangan hukumnya adalah:
1. Piagam kedudukan Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Paku Alam VIII
tertanggal 19 Agustus 1945 dari Presiden Republik Indonesia.
2. Amanat Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Amanat Sri Paku Alam VIII
tertanggal 5 September 1945 (yang dibuat sendiri-sendiri secara terpisah).
3. Amanat Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Paku AlamVIII tertanggal 30
Oktober 1945 (yang dibuat bersama dalam satu naskah).
BAB II
PEMBAHASAN

A. KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP YOGYAKARTA


1. Pembentukan Daerah Istimewa Yogyakarta sebagai Daerah Otonomi Khusus
Berdirinya Kota Yogyakarta berawal dari adanya Perjanjian Gianti pada Tanggal
13 Februari 1755 yang ditandatangani Kompeni Belanda di bawah tanda tangan
Gubernur Nicholas Hartingh atas nama Gubernur Jendral Jacob Mossel. Isi
Perjanjian Gianti yakni Negara Mataram dibagi menjadi dua. Setelah selesai
Perjanjian Pembagian Daerah itu, Pengeran Mangkubumi yang bergelar Sultan
Hamengku Buwono I segera menetapkan bahwa Daerah Mataram yang ada di
dalam kekuasaannya itu diberi nama Ngayogyakarta Hadiningrat dan beribukota
di Ngayogyakarta (Yogyakarta). Ketetapan ini diumumkan pada tanggal 13 Maret
1755.
Sesudah Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, Sri Sultan Hamengku
Buwono IX dan Sri Paduka Paku Alam VIII menerima piagam pengangkatan
menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur Propinsi DIY dari Presiden RI,
selanjutnya pada tanggal 5 September 1945 beliau mengeluarkan amanat yang
menyatakan bahwa daerah Kesultanan dan daerah Pakualaman merupakan Daerah
Istimewa yang menjadi bagian dari Republik Indonesia menurut pasal 18 UUD
1945. Dan, pada tanggal 30 Oktober 1945, beliau mengeluarkan amanat kedua
yang menyatakan bahwa pelaksanaan Pemerintahan di Daerah Istimewa
Yogyakarta akan dilakukan oleh Sri Sultan Hamengkubuwono IX dan Sri Paduka
Paku Alam VIII bersama-sama Badan Pekerja Komite Nasional.
Dengan dasar pasal 18 UUD 1945, Dewan Perwakilan Rakyat Provinsi Daerah
Istimewa Yogyakarta menghendaki agar kedudukan sebagai Daerah Istimewa
untuk Daerah Tingkat I, tetap lestari dengan mengingat sejarah pembentukan dan
perkembangan Pemerintahan Daerahnya yang sepatutnya dihormati. Pasal 18 UU
1945 ini menyatakan bahwa “pembagian Daerah Indonesia atas daerah besar
dan kecil, dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan undang-
undang dengan memandang dan mengingat dasar permusyawaratan dalam
sistem Pemerintahan Negara dan hak-hak asal-usul dalam Daerah-daerah yang
bersifat Istimewa”. Sebagai Daerah Otonom setingkat Provinsi, Daerah Istimewa
Yogyakarta adalah meliputi bekas Daerah/Kasultanan Yogyakarta dan Daerah
Pakualaman.
Hal itu semakin nyata dengan adanya Undang-undang Nomor 22 Tahun 1948
tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah, di mana Daerah Istimewa
Yogyakarta sebagai Tingkat I dan Kotapraja Yogyakarta sebagai Tingkat II yang
menjadi bagian Daerah Istimewa Yogyakarta. Atas dasar Tap MPRS Nomor
XXI/MPRS/1966 dikeluarkan UU No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok
Pemerintahan di Daerah. Berdasarkan Undang-undang tersebut, DIY merupakan
Propinsi dan juga Daerah Tingkat I yang dipimpin oleh Kepala Daerah dengan
sebutan Gubernur Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta dan Wakil Gubernur
Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta yang tidak terikat oleh ketentuan masa
jabatan, syarat dan cara pengankatan bagi Kepala Daerah dan Wakil Kepala
Daerah lainnya, khususnya bagi beliau Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri
Paduka Paku Alam VIII. Sedangkan Kotamadya Yogyakarta merupakan daerah
Tingkat II yang dipimpin oleh Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II dimana
terikat oleh ketentuan masa jabatan, syarat dan cara pengangkatan bagi kepala
Daerah Tingkat II seperti yang lain.
Dalam perjalanan menjadi daerah otonomi khusus, Yogyakarta mendebatkan
kecaman serta perdebatan yang hanya bisa dipecahkan dengan cara kajian dan
masukan dari masyarakat luas. Hal ini membuat terjadinya perubahan undang-
undang untuk keistimewaan Yogayakarta, diantaranya:
I. Dalam perumusan Undang-Undang Nomor 1 tahun 1957 tentang Pokok-
Pokok Pemerintahan Daerah, 4 masalah pokok yang diperdebatkan
dipecahkan menjadi pasal-pasal undang-undang sebagai berikut:
 Sistem otonomi real, yaitu kesempatan bagi daerah-daerah untuk
menunaikan tugasnya secara penuh sesuai bakat dan
kesanggupannya agar dapat berkembang secara luas.
 Tingkat daerah yang ditetapkan dalam undang-undang adalah
pendapat pemerintah yaitu dua tingkat daerah otonom dan kalau
diperlukan tiga tingkat.
 Kepala daerah harus mendapat kepercayaan dan diserahi
kekuasaan atas kepercayaan rakyat itu.
 Undang-undang membebankan pengawasan kepada menteri dala
negeri untuk daerah tingkat I dan kepada DPD setingkat lebih atas
untuk daerah-daerah lain yaitu dengan menangguhkan atau
membatalkan peraturan serta keputusan DPRD atau DPD yang
tidak sesuai atau bertentangan dengan peraturan perundang-
undangan yang lebih tinggi atau kepentingan umum.
Dengan UU No.1 tahun 1957 ini pertentangan antara pemerintah pusat
yang menginginkan daerah-daerah dapat dikontrol dengan ketat dengan
lembaga-lembaga serta birokrasi pemerintahan dan daerah yang
menginginkan otonomi seluas-luasnya dikompromikan oleh pemerintah
dan DPR.
II. Setelah UU No.1 tahun 1957, ternyata kembali timbul masalah yang
dimulai ketika pesta demokrasi Indonesia dalam kurun waktu tahun 1999
sampai dengan 2009 masih membuat orang bertanya-tanya mengenai
penetapan gubernur dan wakil gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta
tersebut. Ke depannya, apakah akan di gantikan atau diberi kekuasaan
penuh yang sesuai dengan aturan yang telah di tetapkan UUD 1945.
Perjuangan rakyat Yogyakarta dalam mengawal keistimewaannya
sebagaimana Amanat Maklumat 5 September 1945 dari Sultan Hamengku
Buwono dan Adipati Paku Alam VIII, yang menyatakan bahwa
Kesultanan Ngayogyakarto Hadiningrat menjadi bagian dari NKRI,
merupakan yang tak boleh selesai pada tahapan telah dipisahkannya UUK
DIY saja. Kemudian pada tahun 2012 ditetapkanlah UU No.3 tahun 2012
tentang keistimewaan Yogyakarta yang dibagi menjadi 3 bahasan pokok
utama yaitu :
 Penetapan Gubernur dan Wakil Gubernur Daerah Istimewa
Yogyakarta, Pengisian jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur DIY
disepakati melalui penetapan Sultan dan Pakualam yang terdaftar
masing-masing sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur DIY.
 Sumber dan mekanisme penyaluran dana keistimewaan
Yogyakarta bersumber dari APBN dan juga memperhatikan
kebutuhan pemerintah Yogyakarta, proses pelaksanaannya
dilaksanakan melalui transfer ke daerah.
 Penyelenggaraan keistimewaan di bidang pertanahan keistimewaan
dilakukan dengan ketentuan Sultan dan Pakualaman ground
merupakan badan hukum subyek hak.
2. Kebijakan Anggaran Dana Keistimewaan DIY
Kewenangan keistimewaan dalam pelaksanaan pemerintahan daerah telah diatur
dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah
Istimewa Yogyakarta (DIY) memiliki bentuk dan susunan pemerintahan yang
bersifat istimewa. Keistimewaan yang dimaksud dalam UU Nomor 13 Tahun
2013 terdiri dari lima urusan (Tatacara pengisian jabatan, kedudukan, tugas dan
wewenang Gubernur dan Wakil Gubernur; Kelembagaan Pemerintah Daerah;
Kebudayaan; Pertanahan; dan Tata Ruang.
Berdasarkan tabel dan grafik diatas, dapat dilihat bahwa penempatan dana
keistimewaan sejak tahun 2013 hingga 2015 lebih dominan pada urusan
kebudayaan. Urusan kebudayaan merupakan urusan keistimewaan yang memiliki
jumlah anggaran paling besar, jumlah program dan kegiatan yang paling banyak,
serta jumlah SKPD pengampu paing banyak yaitu 23 SKPD baik di provinsi
maupun kabupaten/kota.
Masih banyak alokasi anggaran untuk mendanai program dan kegiatan yang
belum diidentifikasi secara pasti kebutuhan anggarannya. Selain itu, terjadi
ketidakjelasan dari penyusunan program dan kegiatan. Misalnya Pembangunan
Taman Budaya di kabupaten/kota se-DIY, tetapi belum ada kejelasan lokasi tanah
yang akan digunakan untuk pembangunan taman budaya tersebut. Sehingga
terkesan hanya yang penting alokasi anggaran dana sesuai dengan pagu yang
sudah ditentukan. Maka dari itu dapat disimpulkan bahwa kebijakan anggaran
dana keistimewaan DIY belum mencerminkan “budgets reflect choices and
priorities”. Yaitu seharusnya anggaran menunjukkan pilihan kebijakan dan
sekaligus prioritas pemerintah. Oleh karena itu, kedepannya dalam perencanaan
anggaran dana harus dilakukan identifikasi kebutuhan anggaran secara pasti dan
memperhatikan prinsip money follow function. Hal tersebut untuk menghindari
sisa anggaran yang besar dan apabila dari awal dapat diketahui ada anggaran lebih
bisa dialokasikan untuk program/kegiatan yang lainnya.
Sesuai dengan UU keistimewaan DIY bahwa kewenangan keistimewaan berada
pada provinsi. Kewenangan tersebut mencakup kewenangan pemerintah daerah,
Gubernur selaku pemegang kekuasaan pengelolaan Dana Keistimewaan
melimpahkan kewenangannya kepada:
 Sekretaris Daerah selaku koordinator pengelola keuangan Dana
Keistimewaan.
 Kepala SKPD selaku PPKD
 Sekretaris Daerah selaku Kepala SKPD, Kepala Dinas Kebudayaan, dan
Kepala Dinas Pekerjaan Umum, Perumahan dan Energi Sumber Daya
Mineral sebagai Pengguna Anggaran/ Pengguna Barang Dana
Keistimewaan.
Sementara itu, menurut Hadiwijoyo (2013: 166-169) bahwa setidaknya terdapat 4
(empat) unsur/pihak yang mempunyai peran penting bagi eksistensi Keistimewaan
Yogyakarta, yaitu:
 Kasultanan dan Pakualaman
 Rakyat
 Pemerintah
 Elit Politik
 Penerima Manfaat Dana Keistimewaan

B. DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA MASA KINI


1. Desentralisasi Asimetris sebagai Basis Keistimewaan D.I Yogyakarta
Letak kekhususan dan keistimewaan suatu daerah, subyek utamanya adalah
kewenangan. Dasar pemberian dan isi kewenangan khusus atau istimewa kepada
daerah mempresentasikan alasan-alasan unik. Subyek kewenangan inilah yang
nantinya menentukan bangunan relasi daerah khusus atau istimewa dengan pusat
atau daerah lain maupun arah kebijakan internal dan tata kelola pemerintahannya
(Jaweng, 2010: 5). Pemberlakuan desentralisasi asimetris pada sebagian negara
bertolak dari political reason seperti respons atas keberagaman karakter regional
atau primordial, bahkan ketegangan etnis (seperti kasus Quebeck di Kanada);
sebagian lain dilandasi efficiency reasons, yakni bertujuan untuk penguatan
kapasitas pemerintah daerah dan administrasi pemerintahan. Model desentralisasi
asimetris tampak belum direspons serius oleh Pemerintah. Hal itu terbukti dari
belum terpola dan belum jelasnya realisasi desentralisasi asimetris. Model
desentralisasi asimetris seharusnya ditindak-lanjuti dengan pengaturan yang jelas
dan komprehensif, sehingga mudah diimplementasikan oleh tiap-tiap daerah.
Realitanya, penerapan desentralisasi asimetris, terutama dalam pembentukan
daerah-daerah khusus dan daerah istimewa, justru dilatarbelakangi pertimbangan
politis atau karena ada tuntutan kekhususan atau keistimewaan bagi daerahnya.
Kenyataan itu terjadi pada pemberian otonomi khusus kepada Provinsi Papua (UU
No. 21 Tahun 2001), Otonomi Khusus Provinsi Aceh (UU No. 11 Tahun 2006
tentang Pemerintahan Aceh, sebagai pengganti UU No. 18 Tahun 2001 tentang
Otonomi Khusus Bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh Sebagai Provinsi
Nanggroe Aceh Darussalam), dan keistimewaan DIY dengan UU No. 13 Tahun
2012.
Pemberian urusan keistimewaan kepada Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta
adalah wujud pengakuan dan penghormatan Pemerintah Pusat terhadap nilai-nilai
kesejarahan, adat istiadat, serta hak-hak tradisional yang dimiliki DIY. Pemberian
keistimewaan kepada DIY didasarkan pada realita peranan besar dua kerajaan di
Yogyakarta dalam perjuangan bangsa mempertahankan, mengisi dan menjaga
keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana secara tegas disebut
dalam bagian konsideran huruf b UU No. 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan
Daerah Istimewa Yogyakarta ( disahkan 3 September 2012, LN RI Tahun 2012
No. 170, TLN RI No.5339). Bagian konsideran huruf b UU No. 13 Tahun 2012
menyatakan “Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dan Kadipaten Pakualaman
yang telah mempunyai wilayah, pemerintahan, dan penduduk sebelum lahirnya
Negara Kesatuan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, berperan dan
memberikan sumbangsih yang besar dalam mempertahankan, mengisi, dan
menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia”. Pembentukan UUK
DIY dengan UU No. 13 Tahun 2012 bertujuan untuk mewujudkan tata
pemerintahan yang baik dan demokratis, ketenteraman dan kesejahteraan
masyarakat, menjamin ke-bhinneka-tunggal-ika-an, dan melembagakan peran dan
tanggung jawab Kasultanan dan Kadipaten dalam menjaga dan mengembangkan
budaya Yogyakarta yang merupakan warisan budaya bangsa. Pengaturan tersebut
berlandaskan asas pengakuan atas hak asal-usul, kerakyatan, demokrasi, ke-
bhinneka-tunggal-ika-an, efektivitas pemerintahan, kepentingan nasional, dan
pendayagunaan kearifan lokal (Penjelasan Umum).
2. Pelaksanaan Keistimewaan DIY bagi Kesejahteraan Rakyat
Berlakunya Undang-Undang No. 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan DIY
sejak 31 Agustus 2012 membawa konsekuensi, Pemerintahan DIY harus segera
melaksanakan dua tugas besar yaitu mengisi substansi keistimewaan DIY dengan
program-program kegiatan nyata sesuai ketentuan Pasal 7 ayat (2), dan tugas
yuridis membentuk Peraturan Daerah Istimewa (Perdais) mengenai tata cara,
format dan prosedur formal pelaksanaan urusan keistimewaan. Mengenai
mekanisme Pembentukan Perdais telah diatur dengan Peraturan Daerah Nomor 1
Tahun 2013 tentang Tata Cara Pembentukan Perdais dan telah di klarifikasi oleh
Menteri Dalam Negeri dengan Surat Nomor 188.34/1659/SJ tanggal 1 April 2013
Perihal Klarifikasi Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2013. Hingga 3 (tiga) tahun
pelaksanaan kewenangan istimewa DIY (sejak 2012 -2015) pelaksanaan
kewenangan keistimewaan yang terhitung sudah berjalan lancar sesuai dengan
UUK DIY baru kewenangan keistimewaan urusan Tata Cara Pengisian Jabatan,
Kedudukan, Tugas, dan Wewenang Gubernur dan Wakil Gubernur, sedangkan
empat kewenangan keistimewaan lainnya yaitu keistimewaan urusan
Kelembagaan Pemerintah DIY, Kebudayaan, Pertanahan, dan Tata Ruang belum
berjalan secara optimal. Kendala utama belum optimalnya pelaksanaan keempat
urusan keistimewaan itu karena Perdais yang mengaturnya belum terbentuk,
sehingga belum ada aturan yang secara rinci dan operasional menjadi dasar
pelaksanaannya. . Kewenangan keistimewaan urusan kebudayaan merupakan
urusan pemerintahan yang paling potensial memberi kontribusi besar terhadap
peningkatan kesejahteraan rakyat DIY, karena di samping ruang lingkup
kegiatannya yang sangat luas juga berhubungan langsung dengan kepentingan dan
aktifitas masyarakat. Namun karena pelaksanaannya yang belum optimal, sampai
saat ini program-program kegiatan yang sudah berhasil direalisasikan belum dapat
dirasakan sebagai peningkatan kesejahteraan rakyat. Strategi pelaksanaan
kewenangan keistimewaan DIY selama ini masih terfokus pada peningkatan
kemampuan dan kapsitas pelaksana di lapangan khususnya SDM di setiap SKPD
yang terkait, dan belum mengoptimalkan pelibatkan partisipasi masyarakat.
3. Dinamika Polemik Keraton Masa Kini
Dalam silsilah raja-raja di Kesultanan Yogyakarta belum pernah didapati seorang
Ratu (raja perempuan). Sistem patrimonial yang diaplikasikan pada pewarisan
tahta kerajaan ini menggunakan sistem pewarisan tahta menurut garis ayah, yang
lebih mementingkan laki-laki daripada perempuan sebagai pewaris tahta. Raja
adalah seorang bapak, mulia, memiliki kuasa seperti dewa, sumber segala
kebaikan, kemakmuran, keadilan, kesejahteraan, dan pelindung semua orang
sebagaimana tercantum dalam Babad Tanah Djawi, Serat Tjentini, dan Serat
Wulangreh (Dewi, 2017, p. 67). Demikian tradisi yang telah mengakar di
Kesultanan Yogyakarta, sehingga ketika Sultan HB X mengangkat putrinya, yaitu
G.K.R. Pembayun menjadi putri mahkota dengan gelar G.K.R. Mangkubumi
muncul protes dari berbagai kalangan. Keputusan berani itu dianggap sesuai
dengan tradisi dan sejarah Kesultanan Yogyakarta, sehingga menyebabkan
polemik terutama di kalangan bangsawan.
yakarta, sehingga menyebabkan polemik terutama di kalangan bangsawan. Seperti
yang kita ketahui bahwa Yogyakarta merupakan daerah istimewa yang sah sejak
masa awal kemerdekaan. Keistimewaan Yogyakarta semakin kuat setelah UU No.
13 Tahun 2012 tentang Kesitimewan DIY dikeluarkan. Seiring dengan pengakuan
masyarakat mengenai keistimewaan Yogyakarta, Keraton Yogyakarta
menetapkan semacam paugeran (konstitusi) yang menyatakan bahwa gubernur
atau raja adalah seorang laki-laki keturunan raja yang bertahta sebelumnya. Hal
ini tercantum dalam UU No.13 tahun 2012 pasal 18 ayat 1 tentang pengisian
jabatan gubernur dan wakil gubernur yang berbunyi “menyerahkan daftar riwayat
hidup dengan melampirkan riwayat pendidikan, pekerjaan, saudara kandurng,
istri, dan anak”. Jika melihat pasal tersebut, maka dapat kita ketahui bahwa
seharusnya yang menjadi gubernur adalah laki-laki. Polemik di atas muncul
karena Sri Sultan HB X tidak memiliki anak laki-laki. Oleh karena itu, kemudian
dibuat Raperdais (Rancangan Peraturan Daerah Istimewa) Nomor 2 Tahun 2015
yang berisi tata cara pengisian jabatan gubernur, khususnya persyaratan pengisian
jabatan. Pada pasal 3 ayat (1) huruf (m) disebutkan bahwa syarat menjadi
gubernur adalah “menyerahkan daftar riwayat hidup yang memuat, antara lain
riwayat pendidikan, pekerjaan, saudara kandung, dan anak” (UndangUndang
Nomor. 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta).
Kemunculan sabda raja sebanyak empat kali berturut-turut ini merupakan dampak
dari kegelisahan Sultan HB X yang merasa sulit menobatkan G.K.R. Pembayun
menjadi putri mahkota. Dalam catatan sejarah, suksesi Raja Mataram belum
pernah ada Sultan perempuan. Jika seorang sultan tidak memiliki putra lakilaki
maka yang berhak mewarisi tahta adalah adik laki-laki sultan. Namun demikian,
jika dilihat dari kacamata politik keraton, sebenarnya yang membuat sulit
penobatan putri mahkota adalah masalah paugeran. Oleh sebab itu, Sultan HB X
harus menggunakan kekuasaan dan kewenangannya untuk mengubah Paugeran
Keraton demi memudahkan penobatan putri sulungnya.
Kami merasa terdapat dua penghalang utama dari dalam keraton yang harus
diterobos oleh Sultan HB X sebelum menobatkan putrinya menjadi putri mahkota.
Pertama, Sultan HB X harus memensiunkan keris Ki Ageng Kopek dan Keris
Joko Piturun. Keris dalam konsep kekuasaan Jawa bukan hanya sebagai senjata
sang raja, tetapi keris adalah wujud konkret dari kekuasaan itu sendiri. (Putra,
2016, p. 42). Keris juga merupakan ageman bagi laki-laki dan tentu tidak
diperuntukkan bagi perempuan. Kedua, permasalahan atas penghapusan gelar
Khalifatullah yang bukanlah tanpa makna. Gelar ini berarti bentuk tanggung
jawab sang raja di hadapan Allah SWT selama memimpin di bumi. Selain itu,
gelar ini merupakan jati diri seorang raja yang bernafaskan Islam. Dengan
demikian, jika merujuk pada asas kepemimpinan Islam, maka seorang pemimpin
atau raja adalah laki-laki.
Sepanjang 2015 Sultan HB X telah mengeluarkan Sabda Raja sebanyak empat
kali. Sabda yang dikeluarkan oleh sultan tersebut berkaitan dengan persoalan
suksesi di Keraton Yogyakarta. Pada 6 Maret 2015, masyarakat Yogyakarta
dikagetkan dengan Sabdatama Sultan HB X yang merupakan kali kedua sang
sultan mengemukakan sabda. Pada Sabdatama pertama, sultan mengeluarkan titah
sebagai bentuk tanggapan atas polemik pembahasan Rancangan Undang-Undang
Keistimewaan (RUUK) Yogyakarta. Sementara itu, Sabdatama kedua, adalah
tanggapan Sultan HB X atas penggodokan rancangan Perdais Yogyakarta di
DPRD DIY yang tergolong panas (Putra, 2016, p. 1). Pada 30 April 2015, Ngarsa
Dalem kembali mengeluarkan sabda. Isi Sabda Raja kali ini antara lain, pertama,
penyebutan Buwono yang diganti menjadi Bawono; kedua, gelar Khalifatullah
seperti yang tertulis lengkap dalam gelar raja-raja sebelumnya dihilangkan;
ketiga, penyebutan Kaping Sedoso diganti menjadi Kaping Sepuluh; keempat, ada
penambahan gelar Suryaning Mataram. Maka dari itu Sultan HB X juga
mengubah gelarnya, dari yang awalnya bergelar Ngarso Dalem Sampeyan Dalem
Ingkang Sinuwun Kanjeng Sultan Hamengku Buwono Senopati Ing Ngalogo
Ngabdurrahman Sayyidin Panotogomo Khalifatullah Ingkang Jumeneg Kaping
Sedoso Ing Ngayogyakarta Hadiningrat, berubah menjadi Ngarso Dalem
Sampeyan Dalem Ingkang Sinuwun Sri Sultan Hamengku Buwono Ingkang
Jumeneng Kasepuluh Suryaning Mataram Senopati Ing Ngalogo Langgeng Ing
Bawono Langgeng, Langgeng Ing Tata Panotogomo. Tidak lama kemudian,
hanya berselang lima hari, Sultan HB X kembali bersabda. Pada 5 Mei 2015,
Sultan HB X mengeluarkan Dhawuh Raja yang mengangkat G.K.R. Pembayun
sebagai Putri Mahkota. Sebagai penanda pengangkatannya, G.K.R. Pembayun
memperoleh gelar baru, yaitu Gusti Kanjeng Ratu Mangkubumi Hamemayu
Hayuning Bawono Langgeng Ing Mataram. Dhawuh Raja atau Sabda Raja
tersebut sontak membuat gaduh politik internal keraton. G.B.P.H. Yudhaningrat
yang pada saat Sabdatama masih bersikap tenang, mendadak bersuara lantang
menolak kedua sabda tersebut. Begitu juga adik-adik Sultan HB X lainnya, seperti
G.B.P.H. Prabukusumo dan K.G.P.H. Hadiwinoto yang menganggap titah Sultan
HB X melanggar Paugeran Keraton (Putra, 2016, p. 6). Suhu politik yang terus
naik juga merupakan dampak dari pemberitaan media massa yang terlalu masif,
sehingga memunculkan banyak tanggapan dan komentar. Wacana raja perempuan
ini juga menjadikan kerabat keraton Yogyakarta tercpecah. Perubahan Paugeran
Keraton dalam persoalan pengaturan suksesi raja diduga akan menimbulkan
goncangan yang besar. Sebab, perubahan gender raja akan berakibat pada
perubahan tata nilai dan sistem ideologi yang dianut keraton. Sementara itu
keraton mengemban misi pengayoman bagi seluruh masyarakat (Harjono, 2011,
p. 8). Pengaturan mekanisme suksesi di Keraton Yogyakarta sudah paten, yaitu
Fiqh Islam dalam hukum khilafah. Al-Mulk (raja) dalam konsep ini adalah
seorang laki-laki, sehingga kontradiksi wacana raja perempuan dikhawatirkan
akan menyebabkan disharmoni sosial bagi Yogyakarta itu sendiri. Keluarga
sultan, terutama adik-adiknya menilai bahwa langkah Sultan HB X keliru dan
bertentangan dengan adat, dan aturan Keraton Yogyakarta. Oleh sebab itu,
beberapa adik sultan berziarah ke makam leluhur memintakan maaf atas perilaku
Sultan HB X yang dinilai melanggar adat istiadat. Mereka bahkan tidak hadir
ketika Sultan HB X mengumumkan nama baru bagi putri sulungnya. Barangkali
itu merupakan bentuk protes terhadap kebijakan sultan. Namun demikian,
pergantian nama ini tetap berlangsung dan menjadi tanda bahwa Pembayun akan
menggantikan ayahnya menjadi sultan ke-sebelas yang bertahta di Yogyakarta
(Kedaulatan Rakyat, 7 Mei 2015).

C. PREDIKSI
Semakin hari, kita menyaksikan semakin banyak kompleksitas pemerintahan di provinsi
menyusul semakin sedikitnya ruang gerak provinsi dalam konteks peraturan sekarang,
dalam rangga mengakui dan mengembangkan hak-hak adat, kekayaan intelektual
masyarakat, serta keadilan dalam perspektif hubungan pusat-daerah, diperlukan solusi
interpretatif yang cerdas tanpa mengurangi kehati-hatian dalam memberikan kewenangan
lebih besar kepada provinsi. Selama ini, terjadi ketegangan dan tarik-ulur kewenangan
pusat serta daerah yang bermuara pada kebuntuan. Situasi ini akan berjalan tanpa akhir
selama belum ditemukan konteks legal untuk basis penyelesaian persoalan. Tanpa upaya
mencari solusinya kondisi akan menjadi ancaman bagi keutuhan NKRI. Secara
konseptual, desentralisasi asimetris bukanlah hal baru. Desentralisasi asimetris telah
dilaksanakan, baik di negara-negara federal maupun unitarian. Inti desentralisasi
asimetris adalah terbukanya ruang gerak implementasi dan kreativitas provinsi dalam
pelaksanaan pemerintahan di luar ketentuan umum dan khusus. Provinsi DIY tidak
mengubah sistem pemilihan gubernurnya karena sistem itu telah berjalan justru sebelum
negara ini lahir. DIY dapat melaksanakan sistem lokalnya.
BAB III
PENUTUP

KESIMPULAN
1. Kondisi yang dialami Yogyakarta saat ini persis pernah terjadi seperti yang dialami oleh
Sri Sultan HB V menjelang suksesi kekuasaannya. Sultan HB V tidak memiliki anak laki-
laki yang dapat menggantikannya. Semua anaknya perempuan, sehingga adik
kandungnyalah yang menggantikan sang sultan. Akhirnya, Sultan HB VI bertahta
menggantikan kakaknya yang wafat di usia cukup muda. Belajar dari sejarah memang
bukan hal mudah. Perubahan dan perputaran kehidupan terus terjadi. Apabila Sultan HB X
mengikuti Paugeran Keraton, maka seharusnya ia mewariskan tahtanya kepada sang adik.
Akan tetapi, semuanya berbeda, ketika paugeran bukanlah tonggak utama dalam
pengambilan keputusan, maka hal di luar aturan pun dapat terjadi. Sabdatama dan Sabda
Raja yang diterbitkan Sultan HB X bukan merupakan sumber hukum tata negara, baik
dilihat dari segi formal maupun materiil. Hal itu karena isi dari Sabdatama dan Sabda Raja
sampai saat ini belum sepenuhnya diakui oleh Pemerintah DIY dan masyarakat
Yogyakarta, sehingga dianggap tidak memiliki legitimasi. Oleh sebab itu, menurut penulis,
Sultan HB X sebaiknya meminta pendapat rakyat terlebih dahulu, apakah rakyat
menghendaki perubahan UUK (Undang-undang Keistimewaan) seperti isi dari Sabdatama
dan Sabda Raja atau tetap seperti apa yang sekarang sudah ditentukan dalam UUK.
Keistimewaan yang dimiliki DIY bukannya tanpa batasan-batasan konstitusional, apalagi
hanya ditentukan oleh satu orang, tetapi pemerintahan yang demokratis menghendaki
dukungan dari segenap lapisan masyarakat.
2. Desentralisasi asimetris di Indonesia merupakan sebuah keberlanjutan sejarah yang telah
dimulai dari masa kolobial dan ditegaskan dalam tiga konstitusi yang pernah berlaku di
Indonesia. Dasar dari desentralisasi asimetris tersebut dapat dirujuk dalam konstitusi
sebagai kesatuan hukum tertinggi.
DAFTAR PUSTAKA

DIY, D. (2018, Maret 01). Dinas Perpustakaan dan Arsip Daerah DIY. Retrieved Oktober 18, 2022, from
dpad.jogjaprov.go.id: http://dpad.jogjaprov.go.id/article/news/vieww/sejarah-singkat-daerah-
istimewa-yogyakarta-1482
DPMP. (2015, November 17). Kesempatan Berinvestasi di Yogyakarta. Retrieved Oktober 18, 2022, from
investasi.jogjakarta.go.id: http://investasi.jogjakota.go.id/id/more/page/76/Jogja-yang-Istimewa
Dr. Ni'maul Huda, S. M. (2021). DESENTRALISASI SECARA UMUM DAN DESENTRALISASI ASIMETRIS DI
INDONESIA. Yogyakarta: NUSAMEDIA.
Josep. (2018). Rasionalitas Urgensi Penerapan Kebijakan Desentralisasi Asimetris di Indonesia. DKI
Jakarta: INDOCAMP.
Raska, R. R. (2014). Otonomi Khusus Daerah Istimewa Yogyakarta. Kewarganegaraan, 7-8.
Safitri, I. (2019). Keraton Yogyakarta Masa Lampau dan Masa Kini: Dinamika Suksesi Raja-Raja Jawa dan
Politik Wacana "Raja Perempuan". Indonesia Historical Studies, 9-12.
Sakir, & Mutiarin, D. (2015). Kebijakan Anggaran Dana Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta. Ilmu
Pemerintahan dan Kebijakan Publik, 3-20.
Sukirno, S. M. (n.d.).
Sukirno, S. M., & Dwi Kuncahyo, S. M. (2015). PENERAPAN DESENTRALISASI ASIMETRIS DALAM
PENYELENGGARAAN URUSAN KEISTIMEWAAN DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA SEBAGAI BASIS
OTONOMI BAGI TERWUJUDNYA KESEJAHTERAAN RAKYAT. Hukum, 2-18.
Susanto, S. N. (2019). Desentralisasi Asimetris dalam Konteks Negara Kesatuan. Administrative Law &
Governance Journal, 2-8.

Anda mungkin juga menyukai