Anda di halaman 1dari 5

NAMA : FITRI RAMADHANIA

NIM : L011211024

KELAS : BIOLOGI LAUT B

RANGKUMAN MATERI KONDISI LAUT DAN RELEVANSINYA TERHADAP KEHIDUPAN DI


LAUT

 Kondisi di laut

Keadaan laut tentu merupakan hal yang berbeda dengan ekosistem laut. Menurut
Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, ekosistem
adalah tatanan unsur lingkungan hidup yang merupakan kesatuan utuh menyeluruh, dan saling
memengaruhi dalam bentuk keseimbangan, stabilitas, dan produktivitas lingkungan hidup.
Jika keadaan laut merupakan kondisi di laut yang dipengaruhi gelombang dan arus,
ekosistem laut merupakan tatanan unsur lingkungan hidup yang ada di laut. Ekosistem air laut
terjadi karena interaksi antara makhluk hidup dan lingkungannya di wilayah lautan.
Ekosistem ini memiliki banyak sekali manfaat, seperti sebagai tempat penelitian, objek
wisata, sumber bahan makanan dan minuman, pengendali banjir, tempat budidaya makhluk
laut, dan masih banyak lagi.
1. Suhu

Suhu adalah ukuran energi kinetik gerakan molekul yang terkandung dalam suatu benda
(Nybakken, 1988). Daerah yang paling banyak menerima radiasi dari sinar matahari adalah
daerah-daerah yang terletak pada lintang 10o LU–10o LS. Oleh karena itu, suhu air laut yang
tertinggi akan ditemukan di daerah ekuator. Jumlah bahang yang diserap oleh air laut pada
suatu lokasi semakin berkurang bila letaknya semakin mendekati kutub (Sverdrup et al., 1961
dalam Hatta, 2001). Selain faktor sinar matahari, suhu di daerah tropik juga dipengaruhi oleh
kondisi meteorologi antara lain ialah curah hujan, penguapan, kelembaban udara, dan
kecepatan angin sehingga suhu air di permukaan laut biasanya mengikuti pola musiman (Nontji,
2005).
Sebaran suhu yang ada di permukaan laut hingga mencapai kedalaman 10 m
didefinisikan sebagai SPL. Parameter ini sangat penting untuk diketahui karena dapat
memberikan informasi mengenai front, upwelling, arus, daerah tangkapan ikan, cuaca/iklim,
pencemaran miyak, dan pecemaran panas (Susilo, 2006). Upwelling di lautan dapat dilihat dari
SPL di daerah terjadinya upwelling lebih rendah dari daerah sekitarnya. Hal ini disebabkan
karena air yang dingin dari lapisan bawah terangkat ke atas (Hutabarat dan Evans, 1985;
Nontji, 2005).
Semua benda pada suhu di atas nol derajat absolut (0 K, atau -273,16 oC)
memancarkan energi radiasi elektromagnetik secara terus menerus. Energi dari partikel suatu
benda dalam gerakan acak disebut kinetic heat. Panas kinetik internal dapat dikonversi ke
radiant energy. Jumlah fluks radiasi yang diemisi dari sebuah objek disebut radiant
themperature (Trad). Umumnya antara sehingga radiasi suhu suatu objek dapat diukur dari
suatu jarak tertentu dengan mengunakan sensor radiometer. Hal inilah yang menjadi dasar dari
penginderaan jarak jauh (inderaja) sistem inframerah termal (Susilo dan Gaol, 2008).

Tabel 1. Suhu air permukaan Samudra Atlantik berdasarkan letak lintang (KING 1979)

Lintang Suhu air, Lintang Suhu air, °C


Utara °C Selatan

70°–60° 5,60 70°–60° –1 , 30


60°–50° 8,66 60°–50° 1,76
50°–40° 13,16 50°–40° 8,68
40°–30° 20,40 40°–30° 16,90
30°–20° 24,16 30°–20° 21,20
20°–10° 25,81 20°–10° 23,16
10°–00° 26,66 10°–00° 25,18

Gambar 1. Sebaran suhu air laut permukaan pada bulan Januari (WEIL 1970).
2. Salinitas
Salinitas didefinisikan kembali ketika teknik untuk menentukan salinitas dari hasil
pengukuran konduktivitas, temperatur, dan tekanan telah dikembangkan. Sejak tahun 1978
digunakan Practical Salinity Scale (Skala Salinitas Praktis) untuk mendefinisikan salinitas
sebagai rasio dari konduktivitas. Salinitas praktis, dengan simbol S, dari suatu sampel air laut
didefinisikan sebagai rasio dari konduktivitas listrik (K) sampel air laut pada temperatur 15 oC
dan tekanan 1 ATM terhadap larutan kalium klorida (KCl), dimana bagian massa KCl adalah
0,0324 pada temperatur dan tekanan yang sama (Millero, 2005). Rosmawati (2004) bahwa
semakin ke arah lintang tinggi maka salinitas akan semakin tinggi. Dalam pola distribusi secara
horizontal, daerah yang memiliki salinitas tertinggi berada pada daerah lintang 30o LU dan 30o
LS, kemudian menurun ke daerah khatulistiwa. Hal ini disebabkan presipitasi di daerah tropis
jauh lebih tinggi sehingga terjadi pengenceran oleh air hujan. Selain perbedaan lintang, salinitas
suatu wilayah perairan bergantung pada topografi daerah tersebut. Hal tersebut terkait dengan
ada tidaknya limpasan air tawar yang berasal dari sungai menuju muara.
Daerah upwelling dapat dilihat dari nilai salinitasnya yang lebih tinggi dari pada di
daerah sekitarnya karena upwelling mengangkat massa air dari lapisan bawah yang
salinitasnya lebih tinggi ke permukaan (Hutabarat dan Evans, 1985; Nontji, 2005).

3. Kandungan Oksigen
Oksigen terlarut (Dissolved Oxygen =DO) dibutuhkan oleh semua jasad hidup untuk
pernapasan, proses metabolisme atau pertukaran zat yang kemudian menghasilkan energi
untuk pertumbuhan dan pembiakan. Disamping itu, oksigen juga dibutuhkan untuk oksidasi
bahan-bahan organik dan anorganik dalam proses aerobik. Sumber utama oksigen dalam suatu
perairan berasal sari suatu proses difusi dari udara bebas dan hasil fotosintesis organisme yang
hidup dalam perairan tersebut (SALMIN, 2000). Kecepatan difusi oksigen dari udara, tergantung
sari beberapa faktor, seperti kekeruhan air, suhu, salinitas, pergerakan massa air dan udara
seperti arus, gelombang dan pasang surut. ODUM (1971) menyatakan bahwa kadar oksigen
dalam air laut akan bertambah dengan semakin rendahnya suhu dan berkurang dengan
semakin tingginya salinitas. Pada lapisan permukaan, kadar oksigen akan lebih tinggi, karena
adanya proses difusi antara air dengan udara bebas serta adanya proses fotosintesis. Dengan
bertambahnya kedalaman akan terjadi penurunan kadar oksigen terlarut, karena proses
fotosintesis semakin berkurang dan kadar oksigen yang ada banyak digunakan untuk
pernapasan dan oksidasi bahan-bahan organik dan anorganik Keperluan organisme terhadap
oksigen relatif bervariasi tergantung pada jenis, stadium dan aktifitasnya. Kebutuhan oksigen
untuk ikan dalam keadaan diam relatif lebih sedikit apabila dibandingkan dengan ikan pada saat
bergerak atau memijah. Jenis-jenis ikan tertentu yang dapat menggunakan oksigen dari udara
bebas, memiliki daya tahan yang lebih terhadap perairan yang kekurangan oksigen terlarut
(WARDOYO, 1978). Kandungan oksigen terlarut (DO) minimum adalah 2 ppm dalam keadaan
nornal dan tidak tercemar oleh senyawa beracun (toksik). Kandungan oksigen terlarut minimum
ini sudah cukup mendukung kehidupan organisme (SWINGLE, 1968). Idealnya, kandungan
oksigen terlarut tidak boleh kurang dari 1,7 ppm selama waktu 8 jam dengan sedikitnya pada
tingkat kejenuhan sebesar 70 % (HUET, 1970). KLH menetapkan bahwa kandungan oksigen
terlarut adalah 5 ppm untuk kepentingan wisata bahari dan biota laut (ANONIMOUS, 2004).
Oksigen memegang peranan penting sebagai indikator kualitas perairan, karena oksigen
terlarut berperan dalam proses oksidasi dan reduksi bahan organik dan anorganik. Selain itu,
oksigen juga menentukan khan biologis yang dilakukan oleh organisme aerobik atau anaerobik.
Dalam kondisi aerobik, peranan oksigen adalah untuk mengoksidasi bahan organik dan
anorganik dengan hasil akhirnya adalah nutrien yang pada akhirnya dapat memberikan
kesuburan perairan. Dalam kondisi anaerobik, oksigen yang dihasilkan akan mereduksi
senyawa-senyawa kimia menjadi lebih sederhana dalam bentuk nutrien dan gas. Karena proses
oksidasi dan reduksi inilah maka peranan oksigen terlarut sangat penting untuk membantu
mengurangi beban pencemaran pada perairan secara alami maupun secara perlakuan aerobik
yang ditujukan untuk memurnikan air buangan industri dan rumah tangga.
Sebagaimana diketahui bahwa oksigen berperan sebagai pengoksidasi dan
pereduksibahan kimia beracun menjadi senyawa lain yang lebih sederhana dan tidak beracun.
Disamping itu, oksigen juga sangat dibutuhkan oleh mikroorganisme untuk pernapasan.
Organisme tertentu, seperti mikroorganisme, sangat berperan dalam menguraikan senyawa
kimia beracun rnenjadi senyawa lain yang Iebih sederhana dan tidak beracun. Karena
peranannya yang penting ini, air buangan industri dan limbah sebelum dibuang ke lingkungan
umum terlebih dahulu diperkaya kadar oksigennya.

 Suhu yang berbeda-beda di lautan dapat di atasi oleh berbagai makhluk hidup
Semua organisme laut (kecuali mamalia) adalah bersifat poikilotermik yaitu tidak dapat
mengatur suhu tubuhnya. Suhu tubuh organisme poikilotermik ini sangat tergantung pada suhu
air tempat hidupnya. Oleh karena itu adanya perubahan suhu air akan berakibat buruk terhadap
organisme perairan. Perubahan suhu air yang lebih tinggi dari suhu ambang batas atas (upper
lethal limit) atau lebih rendah dari ambang batas bawah (lower lethal limit) akan mengakibatkan
kematian massal organisme. Kematian massal berbagaiorganisme perairan akibatperubahan
suhu yang besar sudah sering terjadi. Sebagai contoh adalah kematian 11 spesies dari 13
spesies binatang karang di Hawaii akibat kenaikan suhu air laut sekitar 5° – 6°C. Hal yang
sama juga pernah terjadi di perairan Karibia, Samoa dan Guam (MAYER dalam ZIEMAN &
WOOD 1975). Kasus kematian massal organisme perairan ini menunjukkan bahwa suhu
merupakan salah satu faktor abiotik yang sangat penting dalam menunjang kelangsungan hidup
organisme perairan. Dalam tulisan ini penulis mencoba mengulas berbagai pengaruh
perubahan suhu air terhadap kehidupan organisme laut.

DAFTAR PUSTAKA

Muhammad Hakim . 2019. Karakteristik oseanografi permukaan perairan utara selatan lombok
sorong. Institut Pertanian Bogor.

Salmin. 2015. Oksigen Terlarut (DO) dan kebutuhan oksigen biologi (BOD) sebagai salah satu
indikator untuk menentukan kualitas perairan. Jurnal Oseana. Vol. 30, no.3:21-26.

Horas P. Hutagalung. 2017. Pengaruh suhu air terhadap kehidupan organisme laut. Jurnal
Oseana. Vol.13,no.4:153-164.

Anda mungkin juga menyukai