Anda di halaman 1dari 7

ASPEK ETIKA RADIOLOGI INTERVENSI PADA PASIEN KANKER

Oleh:
dr Ida Bagus Putu Alit, SpFM(K),DFM
Departement Forensik dan Studi Medikolegal FK UNUD
Disampaikan pada Seminar “Current Update in Oncology Imaging and Digital Breast Tomosynthesis”

Denpasar, 4 November 2018

Pendahuluan
Radiologi Intervensi merupakan pengembangan ilmu dan teknologi kedokteran yang baru
dalam menentukan diagnosis maupun terapi kanker. Dengan panduan gambar-gambar foto yang
dihasilkan oleh alat-alat radiologi maka terapi terhadap kanker dapat dilakukan dengan invasi
minimal. Terapi dengan Radiologi Intervensi pada pasien kanker umumnya dengan embolisasi
atau dengan sitostatika regional.
Radiologi Intervensi sebagai tindakan pelayanan kesehatan dalam pelaksanaanya tidak
terlepas dari norma-norma pelayanan yang mengatur pelayanan kesehatan. Norma etika, norma
disiplin dan norma hukum harus dipergunakan sebagai payung legalitas pelayanan. Pemenuhan
hak-hak pasien baik sebagai individu maupun sebagai mahluk sosial, penerapan teknologi baru,
kompetensi, profesionalisme dan aturan-aturan hukum harus terpenuhi dalam pelaksanaan
Radiologi Intervensi.
Isu Etik yang menonjol dalam Radiologi Intervensi pada pasien kanker adalah Autonomy
pasien sebagai preferensi pasien dalam setiap pengambilan tindakan. Keuntungan bagi pasien
berdasarkan pertimbangan klinis (benefit or harm) dan kualitas hidup (quality of life) menjadi
pertimbangan etik dalam pengambilan keputusan. Pertimbangan etik terhadap pengambilan
keputusan kesia-siaan medis (medical futility) dalam tindakan Radiologi Intervensi dan terapi
paliatif juga menjadi isu Etik. Disamping itu Radiologi Intervensi merupakan modalitas terapi
dengan penerapan teknologi baru, maka kajian etik sangat diperlukan dalam penerapannya ke
masyarakat.
Etika Kedokteran yang muncul dari hubungan dokter dan pasien memberikan analisa
filosofis terhadap hubungan dokter dan pasien yang menderita kanker sehubungan dengan
tindakan Radiologi Intervensi. Hubungan dokter dan pasien bersifat saling percaya (fiduciary) dan
pasien meyakini profesi dokter (confidentiality). Meskipun demikian hubungan dokter dan pasien
tetap tidak seimbang (unequel) karena dominasi profesi dokter yang memiliki pengetahuan
kedokteran dan penerapan teknologi kedokteran. Pasien dalam posisi lebih tergantung karena tidak
memiliki pengetahuan kedokteran, terlebih lagi pasien kanker yang kondisi penyakitnya berat.
Hubungan dokter dan pasien tidak bisa bersifat kontrak sosial secara murni, dokter tetap lebih
dominan seperti hubungan paternalistik. Untuk lebih menyeimbangkan posisi dokter dan pasien,
maka etika sebagai bentuk pemikiran kritis menjadi solusi pemecahannya.
Sehubungan dengan Radiologi Intervensi, etika kedokteran memberikan analisa filosofis
dengan cara berpikir dari sudut teori Etika maupun dari berbagai kaidah, termasuk kaidah dasar
bio-etika. Hati nurani dan penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia menjadi dasar meskipun
cara berpikir etik bersifat pluralistik. Demikian juga aplikasi Etika Klinis dapat menjadi panduan
bagi dokter agar dapat mengambil keputusan klinis dan keputusan etik dalam waktu yang
bersamaan.
Kata kunci: Radiologi Intervensi – kaidah dasar bio-etika – Etika klinis

Norma pelayanan dalam Radiologi Intervensi


Seperti pelayanan kesehatan yang lainnya, pelayanan Radiologi Intervensi tidak lepas dari
norma yang mengatur pelayanan kesehatan, yaitu: norma etika, norma disiplin dan norma hukum.
Norma etika merupakan pedoman dan rambu-rambu sistematis bagi prilaku etis seorang dokter
dalam hubungan profesional dan hubungan kemanusiaan dengan pasien agar dokter tidak
melakukan hal-hal yang bertentangan dengan moral, terkait dengan hidup, kesehatan dan kematian
pasien. Kanker adalah penyakit dengan tingkat morbiditas dan mortalitas yang sangat tinggi,
sehingga tindakan medis yang dilakukan sarat dengan isu-isu etik yang menyangkut harkat dan
martabat manusia. Hak asasi sebagai individu untuk menentukan sendiri (the right to self
determination) dan hak atas privasi (the right to privacy) serta hak asasi sebagai mahluk sosial
untuk mendapat pelayanan kesehatan (the right to health care) harus dijunjung tinggi. Kepentingan
pasien harus diutamakan (patient’s best interest) berdasarkan keputusan klinis dan keputusan etik
yang diambil secara altruistik.
Radiologi Intervensi merupakan modalitas diagnostik dan terapi yang baru. Penerapan
teknologi baru kepada masyarakat memerlukan kajian etik dalam aplikasinya. Pasal 6 KODEKI
mengatur penerapan teknologi ini:
Setiap dokter wajib senantiasa berhati-hati dalam mengumumkan atau menerapkan setiap
penemuan teknik atau pengobatan baru yang belum diuji kebenarannya dan hal-hal yang dapat
menimbulkan keresahan masyarakat.

Dalam penjelasan butir (4) KODEKI menegaskan bahwa:


setiap dokter wajib menerapkan praktik kedokteran berbasis bukti ilmiah yang telah teruji
kebenarannya dan diterima dalam standar praktek kedokteran, demi kepentingan terbaik dan
memperhatikan keselamatan pasien sesuai dengan tujuan, cara dan ciri metodologi penelitiannya
masing-masing sebagaimana yang lazim berlaku.

Radiologi Intervensi sudah didasari oleh penelitian klinis yang dilakukan dengan standar penelitian
yang baku. Pengembangan Radiologi Intervensi untuk mengurangi beban yang diakibatkan
tindakan medis invasif kepada pasien. Radiologi Intervensi mengurangi sifat invasif pembedahan
dan juga mengurangi risiko infeksi. Efek sistemik pemakaian sitostatika dapat dikurangi dengan
Radiologi Intervensi.
Hukum juga mengatur pengembangan dan penerapan teknologi baru di bidang kesehatan.
Secara khusus pasal 42 ayat 2 Undang-Undang RI no. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan
menyatakan :
Teknologi kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencakup segala metode dan alat yang
digunakan untuk mencegah terjadinya penyakit, mendeteksi adanya penyakit, meringankan
penderitaan akibat penyakit, menyembuhkan, memperkecil komplikasi, dan memulihkan penyakit
setelah sakit.

Radiologi Intervensi merupakan pengembangan teknologi kesehatan yang sesuai dengan


ketentuan hukum diatas, karena dapat menentukan diagnosis yang lebih akurat untuk menghindari
error of judgement. Disamping itu, Radiologi Intervensi dapat meringankan penderitaan akibat
pembedahan dan memperkecil komplikasi bedah dan infeksi. Pada kanker tertentu dengan teknik
embolisasi atau sitistatika regional, Radiologi Intervensi dapat sebagai modalitas pengobatan.
Norma Disiplin mengatur tentang standar prilaku profesi (professional conduct) termasuk
dalam penerapan Radiologi Intervensi. Unsur penting yang termasuk ranah disiplin meliputi
kompetensi radiolog yang melakukan tindakan Radiologi Intervensi. Disiplin juga mengatur
pelaksanaan tugas dan tanggung jawab dokter terhadap pasien kanker sehubungan dengan tindakan
Radiologi Intervensi serta prilaku dokter secara individual.
Kajian Etik dalam pengobatan kanker
Penderita kanker memiliki masalah kesehatan yang sangat serius. Diagnosis biasanya
terlambat ditegakkan karena secara klinis tidak menunjukkan gejala-gejala yang khas. Angka
kesakitan dan angka kematian yang sangat tinggi. Disamping itu dalam perjalanan penyakitnya,
penderita mengalami kualitas hidup yang rendah meskipun sudah mendapat penanganan medis.
Sebagai kajian Etik, diambil contoh Hepacellular Cell Carcinoma (HCC). Di negara maju
seperti Amerika Serikat, HCC menunjukkan gambaran khas berupa keterlambatan diagnosis
(typically late diagnosed) dan angka harapan hidup yang pendek yaitu 6 sampai 20 bulan. Harapan
hidup dalam 2 tahun kurang dari 50% dan harapan hidup dalam 5 tahun hanya 10%.
Etika kedokteran yang merupakan cara berpikir, memandang penderitaan pasien harus
dikurangi dengan melakukan usaha-usaha medis sebaik-baiknya demi kepentingan pasien
(patient’s best interest). Sifat altruistik harus selalu mendasari semua tindakan medis. Nilai
keutamaan profesi seperti sifat welas asih (compassion), kejujuran (probity) dan integritas adalah
nilai yang harus dipegang teguh. Tindakan medis dilakukan harus benar secara deontologis dan
menghindari tindakan yang dapat mengakhiri kehidupan pasien, meskipun diminta oleh pasien itu
sendiri. Hasil akhir dari tindakan medis harus baik bagi pasien secara teleologis, termasuk
mengaplikasaikan penemuan teknologi baru seperti Radiologi Intervensi.
Kaidah dasar Bio-etika beneficence (berbuat baik) diwujudkan mulai dari pengambilan
keputusan klinis yaitu dengan memberikan pengobatan sesuai dengan indikasi medis. Penangan
pasien kanker tidak boleh berlebihan atau dibawah standar pengobatan. Penentuan diagnosis
menjadi suatu langkah penting karena gejala klinis yang muncul tidak spesifik dan lambat
terdeteksi. Radiologi Intervensi dipandang dari sudut prinsip beneficence positif (positive
beneficence principle) adalah mencegah sesuatu yang lebih buruk terjadi pada pasien (prevent evil
or harm) dengan penentuan diagnose yang lebih dini sehingga pengobatan menjadi lebih awal.
Dengan Radiologi Intervensi, sel kanker bisa diobati atau masanya dikurangi secara regional
dengan embolisasi atau penyuntikan sitostatika regional (remove evil or harm). Dilain pihak pada
kondisi pasien yang lemah dan tindakan operasi tidak memungkinkan, maka Radiologi Intervensi
menjadi pilihan medis untuk menolong pasien (ballancing of utillity).
Dari sudut pandang kaidah dasar Non-maleficence (tidak menambah beban pada pasien)
dapat dilihat dari tindakan Radiologi Intervensi dalam meminimalkan beban pembedahan dan
mengurangi risiko infeksi. Radiologi Intervensi adalah tindakan yang lebih mengurangi invasi
sehingga luka jaringan dapat dikurangi. Demikian juga risiko infeksi dapat lebih dikontrol karena
port d’entre kuman terbatas. Efek samping sitostatika juga dapat dikurangi karena dengan tuntunan
hasil foto radiologi, sitostatika dapat diinjeksi secara regional dan jaringan sehat diluar daerah
kanker terdampak minimal.
Dalam tindakan Radiologi Intervensi, sudah selayaknya kaidah Autonomi harus dipenuhi
untuk mempertahankan hubungan dokter dan pasien yang bersifat fiduciary. Pasien kanker harus
mendapat informasi yang lengkap dan adekuat tentang penyakit dan tindakan medis yang akan
dilakukan termasuk Radiologi Intervensi. Pasien harus selalu dilibatkan dalam tindakan medis
sebagai komponen ”patient preferences” dari Etika Klinis (clinical ethics).
Meskipun hubungan dokter dan pasien kanker bersifat fiduciary, tetapi dokter tetap
memiliki posisi yang lebih dominan dan bebas dibandingkan pasien (unequel possesion). Hal ini
disebabkan dokter memiliki pengetahuan medis, terlebih lagi penerapan teknologi kedokteran
yang baru. Pasien memiliki posisi yang lebih tergantung karena tidak memiliki pengetahuan
kedokteran dan kondisi kesehatannya mengalami sakit yang serius. Untuk lebih menyeimbangkan
posisi ini, maka dokter memberikan informasi, memenuhi hak pasien dan selalu melibatkan pasien
dalam tindakan Radiologi Intervensi.
Sesuai dengan kaidah Justice, maka tindakan Radiologi Intervensi dilakukan kepada semua
penderita yang memerlukan sesuai dengan indikasi medis. Keadilan juga berarti tidak membeda-
bedakan pasien berdasarkan atribut yang melekat pada dirinya dalam menerima tindakan
Radiologi Intervensi. Salah satu unsur profesionalisme yaitu menghormati keanekaragaman pasien
(respect to diversity) harus tetap diwujudkan dalam pelayanan yang adil.
Kaidah Dasar Bio-etika ini tergantung Prima Facie (unsur penimbang keputusan etik) yang
ditimbulkan oleh kondisi dan penyakit yang diderita pasien. Pasien kanker dengan stadium lanjut
dan kondisinya lemah menginduksi Kaidah Non-maleficence, berbeda dengan pasien kanker
dengan stadium dini dan kondisi tubuhnya masih terkompensasi harus dilihat dari Kaidah
Beneficence. Karena penyakit dan kondisinya, pasien mungkin akan memilih mempergunakan hak
waiver (tidak mempergunakan hak autonomi) dan menyerahkan sepenuhnya ke dokter. Dalam
keadaan ini Kaidah Autonomy sebagai Prima Facie. Solusi Etik berbeda-beda tergantung kondisi
pasien dan dilemma etik yang terjadi.
Kualitas hidup pasien kanker (quality of life) menjadi fokus pembahasan etik dalam Etika
Klinis (clinical ethics) disamping Indikasi Medis (medical indication), preferensi pasien dan
contextual features. Dalam Radiologi Intervensi harus dianalisa secara mendalam kualitas hidup
pasien setelah tindakan. Kualitas hidup merupakan keadaan yang multidimensi tidak masalah
kesehatan saja, tetapi juga kehidupan pasien. Perlu dikaji apakah Radiologi Intervensi merupakan
kesia-siaan medis (medical futility) ? dengan mempertimbangkan hasil akhir dari tindakan yang
dilakukan. Kesia-siaan medis dapat diukur (kuantitatif) berdasarkan ukuran-ukuran medis yang
standar dan dapat juga bersifat kualitatif berdasarkan kualitas hidup pasien.
Isu-Isu etik dalam Radiologi Intervensi
Enhancement medicine and apply new technology
Dalam mengembangkan ilmu dan teknologi kedokteran seperti Radiologi Intervensi harus
berdasarkan bukti-bukti ilmiah yang sahih (evidence base) dengan metodologi yang relevans dan
diterima di dunia kedokteran. Pengembangan ilmu dan teknologi dilakukan dengan tujuan utama
memenuhi hak mayarakat dalam hak atas pelayanan kesehatan (the rights to health care) dan
menempatkan kepentingan pasien dan keselamatan pasien yang paling utama (patient’s best
interest and patient’s safety).
Semi-paternalistic conditions
Hubungan fiduciary dokter dan pasien kanker terutama dalam stadium lanjut,
menempatkan posisi dokter lebih dominan dalam pengambilan keputusan medis. Pengetahuan
medis yang dimiliki dokter dan ketrampilan klinis dalam menerapkan teknologi baru memberi
posisi dokter lebih bebas dan dominan. Dilain pihak, pasien yang tidak memiliki pengetahuan
medis (medical ignorance) memberi posisi yang lebih tergantung. Ketidakseimbangan posisi ini
ditambah dengan kondisi sakit pasien dan prognosis penyakit yang memiliki mortalitas yang tinggi.
Informasi yang diberikan dokter dapat mendatangkan dilemma baru, yaitu pasien dapat
mempergunakan hak waivernya. Dalam kondisi seperti ini, keputusan tindakan Radiologi
Intervensi sangat tergantung keputusan dokter, sehingga dokter mempunyai tanggungjawab moral
dalam menentukan indikasi medis.
Hubungan dokter dan pasien seperti ini sangat mirip dengan hubungan paternalistik (father
knows best) dimana dokter memegang kontrol dominan dalam pengobatan. Solusi etik dalam
kondisi ini adalah dengan kembali ke nilai (value) hubungan paternalistik yaitu dokter sebagai
penolong (hulpverlenen) dengan prima facie beneficence.
Hubungan semi-paternalistik menimbulkan dilemma bagi dokter dalam menyampaikan
informasi kepada pasien dimana informasi tersebut merupakan hak pasien. Informasi yang
diberikaan oleh dokter secara jujur (truth telling) berdasarkan kaidah veracity tentang kondisi
penyakit pasien dapat memberikan pengaruh buruk terhadap kondisi pasien. Hal ini menjadi
pertimbangan “therapeutic privilege doctrine” yang menekankan dalam pemberian informasi
tidak menimbulkan pengaruh buruk pada pasien. Dilain pihak, dokter mempunyai kewajiban
memberikan informasi dan semua risiko yang dapat terjadi sesuai dengan “Volenti in Fit Inura
Doctrine” atau assumption of Risk.
Patient preferences and judgment of personal quality of life
Kualitas hidup mempunyai multidimensi yang tidak hanya terbatas pada kesehatan fisik
saja. Kualitas hidup mencakup juga status emosi dan fungsi intelektual. Lebih jauh lagi, kualitas
hidup menyangkut kepuasan hidup, sejahtera dan kepuasan terhadap fungsi social.
Secara mengkhusus dimensi kualitas hidup pasien penderita kanker dapat dianalisa dari
prospek hidup pasien dengan atau tanpa tindakan Radiologi Intervensi. Seberapa besar
kemungkinan tindakan Radiologi Intervensi dapat mengembalikan kehidupan pasien kanker
kembali normal? Kualitas hidup pasien juga dapat dilihat dari defisit fisik, mental bahkan fungsi
social yang mungkin dialami pasien tanpa tindakan Radiologi Intervensi.
Medical futility
Kesia-siaan medis menandakan tindakan Radiologi Intervensi tidak dapat menolong
kelangsungan hidup pasien kanker. Dapat juga diartikan dengan atau tanpa tindakan Radiologi
Intervensi keadaan pasien sama yaitu mengalami kematian.
Kesia-siaan medis (medical futility) dapat bersifat kuantitatif maupun kualitatif. Dyck dan
Curren, 1977 menyatakan kesia-sian medis yang bersifat kuantitatif adalah: Whenever the illness
is too strong for the available remedies, the physician surely must not expect that it can be
overcome by medicine to attempt futile treatment is to display an ignorance that allied to Madness.
Secara kuantitatif, kesia-siaan medis bila keadaan penyakit sudah sedemikian parah sehingga
tindakan medis apapun termasuk Radiologi Intervensi tidak berguna lagi untuk mengobati pasien.
Secara kualitatif, kesia-siaan medis mengandung pengertian: For those who lives are
always in a state of inner sickness Asclepius did not attempt to prescribe a regime to make their
life prolonged Misery. Kesia-siaan medis secara kualitatif bila kualitas hidup pasien secara terus
menerus menderita penyakit yang dideritanya.
DAFTAR PUSTAKA

1. Undang-undang Republik Indunesia Nomor 44 Tahun 2009 tentang Kesehatan. 979 007
342 9.
2. Bertens K. Etika. Seri Filsafat Atma Jaya: 15. Mei 1993. 979 511 744 0.
3. Guwandi J. 301 Tanya-jawab: Informed Consent dan Informed Refusal Edisi III. Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. Tahun 2003. 979 496 298 8.
4. Darsono Soeraryo. Etik, Hukum Kesehatan Kedokteran (sudut pandang praktikus).
Bagian Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal Fakultas Kedokteran Universitas
Diponogoro Semarang. 2004. 979 704 239 1.
5. Janssens Rien. Palliative care consepts and ethics. Tahun 2001. 90 373 0569 5.

Anda mungkin juga menyukai