Anda di halaman 1dari 20

Defenisi Fiqhud Da’wah al-Fardiyah

(Dakwah)
Posted By Mangihot pasaribu on Minggu, 19 Februari 2017 | 11.27.00

Fiqhud Da’wah al-Fardiyah


1.a. PENGENALAN

 Dakwah adalah kewajiban bagi setiap muslim dan muslimah di setiap masa. Apalagi
pada zaman sekarang, umat Islam tengah menghadapi serangan ganas yang bertubi-
tubi dari musuh-musuh Allah, maka tingkat kewajiban berdakwah pada zaman
sekarang menjadi lebih berat
 Dakwah merupakan suatu kemuliaan yang agung bagi pengembannya. (Fushilat:33)
 Dakwah sangat mulia dan besar pahalanya “Sungguh, sekiranya Allah memberikan
hidayah kepada seorang lelaki lantaran (dakwah)-mu, itu lebih baik daripada terbitnya
matahari.” (Hadits)
 Dakwah adalah menyeru kejalan yang benar, di tengah-tengah penyelewengan nilai-
nilai Islam. Maka, ini adalah perkara yang sangat mendesak untuk segera dilakukan

1.b. Bagian Pertama : METODE dan TAHAPAN DAKWAH FARDIYAH


Pembicaraan kita hanya berkisar tentang dakwah kepada orang Islam, karena kita ingin
membawa mereka :

 Dari keadaan yang serba terbatas (dalam pemahaman keislaman, dalam beramal,
sikap ekstrim, dll) kepada pemahaman Islam yang sempurna dan benar
 Agar berubah menjadi orang yang memiliki pengetahuan tentang semua tuntutan
Islam dan mengetahui bagaimana cara merealisasikannya dengan cara yang paling
sempurna dan benar

Kelemahan dan pengendapan iman di dalam jiwa masyarakat kita – ditambah dengan
ketiadaan pengetahuan yang benar tentang hakikat agama ini dan diperparah lagi oleh
ghazwul fikri – inilah penyebab utama keadaan critical yang dialami oleh mayoritas umat
Islam.

Tugas pertama da’i adalah membangunkan sebelum memperingatkan !


Dakwah fardiyah ialah ajakan atau seruan ke jalan Allah yang dilakukan seorang da’i
(penyeru) kepada orang lain secara perseorangan dengan tujuan memindahkan al mad’uw
(penerima dakwah) pada keadaan yang lebih baik dan diridhai Allah.

Para sahabat juga melakukan dakwah dengan cara seperti ini. Masing-masing dari mereka
menyampaikannya kepada setiap orang yang dijumpainya sehingga Allah memberinya
petunjuk. Pada waktu itu tidak ada seorang pun yang berpindah dari kekafiran kepada
keimanan hanya semata-mata karena ucapan, melainkan disertai sikap bersahabat dan
pendekatan dai’i kepada mad’uw.

Abu Bakar Ash Shiddiq r.a. misalnya, melakukan dakwah kepada orang yang mempunyai
hubungan erat dengannya. Ibnu Hisyam meriwayatkan: “Para pemuka kaumnya selalu datang
kepadanya untuk berbagai urusan, seperti ilmu, urusan perdagangan, atau sekadar duduk-
duduk bersamanya, karena ia juga suka berkumpul bersama mereka dengan sikapnya yang
baik. Lalu mereka diajaknya ke jalan Allah untuk memeluk Islam. Berkat dakwah yang
dilakukannya, masuk Islamlah beberapa tokoh penting, seperti Usman bin Affan, Az zuber
bin Al Awwam, Abdur Rahman bin Auf, Sa’ad bin Abi Waqash dan Thalhah bin Ubaidillah.
Setelah mereka menyam-but seruannya, mereka pun diajaknya menghadap Rasulullah saw.
Lantas mereka mengikrarkan keislaman mereka dan rajin mengerjakan shalat.

Mush’ab bin Umair diutus oleh Rasulullah saw. ke Madinah setelah terjadinya Bai’at Al
‘Aqabah yang pertama. Pada saat itu di Madinah hanya ada dua belas orang yang memeluk
Islam, yakni mereka yang ikut serta pada bai’at pertama. Maka pada tahun itu juga Mus’ab
melakukan pendekatan kepada mereka dan mengajak mereka memeluk agama Allah. Dia
mempergauli penduduk Madinah dan menjalin hubungan yang kokoh dengan mereka. Tidak
sampai setahun dia berdakwah di Madinah, tujuh puluh dua orang datang kepada Rasulullah
saw. untuk melakukan Bai’at Al ‘Aqabah yang kedua. Inilah upaya dakwah salah seorang
sahabat, Mush’ab bin Umair r.a. Dalam waktu kurang dari setahun ia telah berhasil
mengislamkan beberapa tokoh Anshar.

Defenisi Iltizam Menurut Agama Islam

Para sahabat yang ditugaskan Rasulullah saw. ke berbagai penjuru untuk mengajarkan agama
kepada para penduduknya benar-benar melaksanakannya dengan baik, dan hampir seluruhnya
berhasil mengislamkan manusia atas petunjuk Allah.

1.b.i. TAHAPAN PERTAMA : “Membina hubungan dan mengenal setiap orang yang hendak
didakwahi”
Mad’u harus merasakan bahwa kita betul-betul memperhatikannya dan selalu
menanyakannya di saat ia tidak ada, agar hatinya lebih terbuka dan siap menerima perkataan
yang dapat diambil manfaatnya.

Seberapa banyak perhatian dan simpati yang diperoleh mad’u pada tahap ini, sebanyak itulah
tanggapan dan penerimaannya terhadap apa yang didakwahkan kepadanya.

Tahap ini mungkin diperlukan waktu berminggu-minggu.


1.b.ii. TAHAPAN KEDUA : “Membangkitkan iman yang mengendap dalam jiwa”Sebaiknya
berjalan secara tabi’i, - seolah-olah tidak sengaja – dengan memanfaatkan moment-moment
tertentu seperti tafakur alam.

Dengan kebangkitan iman kepada Allah, iman dengan keesaan dan sifat-sifat kesempurnaan-
Nya, hati mulai hidup dengan ma’rifatullah dan bersedia menyempurnakan keimanannya.
Sebagaimana ia mulai mengenal tujuan penciptaannya di dunia ini.

1.b.iii. TAHAPAN KETIGA


“Membantu memperbaiki keadaan dirinya dengan mengenalkan perkara-perkara yang
bernuansa ketaatan kepada Allah dan bentuk-bentuk ibadah yang diwajibkan.”

Juga membantunya melatih dan membiasakan diri dalam ketaatan dan disiplin melaksanakan
ibadah dan menghiasi dirinya dengan akhlak Islamiyah

Penting juga membekalinya dengan bahan-bahan bacaan berupa buku-buku sederhana dalam
bidang aqidah, ibadah dan akhlak.
Perlu pula dibiasakan untuk menghadiri kuliah dan ceramah-ceramah, serta diperkenalkan
dengan orang-orang shalih sambil dinasihatkan agar menjauhi orang-orang jahat.

Demikianlah, sebuah lingkungan yang baik dan kondusif dipersiapkan untuknya agar dapat
membantu menyempurnakan kepribadian muslimnya.

Jangan sekali-kali membiarkannya terlalu lama tanpa bimbingan dan bantuan supaya ia terus
melanjutkan perjalanannya di atas jalan dakwah dan terhindar dari faktor-faktor futur, kasal,
dan tafrid (kejenuhan, kemalasan dan meremehkan urusan)

1.b.iv. TAHAPAN KEEMPAT


“Menjelaskan tentang pengertian ibadah secara syamil (menyeluruh/komprehensif)”
Ibadah itu mencakup segala aspek kehidupan, asalkan memenuhi dua syarat utamanya: niat
yang benar (karena Allah) dan menepati syara’ (mengikuti teladan Rasulullah)

1.b.v. TAHAPAN KELIMA : “Bahwa keberagamaan kita tidak cukup hanya dengan
keislaman diri kita sendiri”
Agama kita adalah agama jama’i (kolektif integral). Ia adalah system kehidupan, hukum,
perundang-undangan, sistem kenegaraan, jihad dan kesatuan umat.

Pemahaman yang benar tentang Islam yang demikian mendorong kita agar berse-dia
memikul segala kewajiban dan tanggung jawab social, semata-mata karena Allah, supaya
masyarakat kita berdiri di atas prinsip-prinsip Islam dalam segala aspeknya

Tidaklah mungkin seorang muslim yang hidup dengan keislaman yang benar dan sempurna,
namun ia terasing dari komunitas kaum muslimin, apalagi tidak tersentuh hatinya dengan
bermacam peristiwa dan penderitaan yang ditimpakan musuh-musuh Allah swt. ke atas
saudara-saudaranya di seantero dunia.

Setelah itu barulah dijelaskan kewajiban beramal untuk menegakkan negara Islam dan
mengembalikan sistem kekhalifahan Islam yang telah diserang dan dihancurkan oleh
konspirator dari musuh-musuh Allah swt.

Wajib dijelaskan juga bahwa tanggung jawab menegakkan negara Islam bukan semata-mata
berada di pundak para penguasa atau ulama, namun juga merupakan tanggung jawab setiap
pribadi muslim dan muslimah yang hidup di sepanjang masa Dakwah Islamiyah. Semua umat
Islam akan menanggung dosa jika tidak berusaha untuk mendirikan negara Islam.

1.b.vi. TAHAPAN KEENAM : “Kewajiban di atas tidak mungkin dapat ditunaikan secara
individu”
Masing-masing orang secara terpisah tidak mungkin mampu menegakkan negara Islam dan
mengembalikan system kekhalifahan. Maka, perlu sebuah jamaah yang memadukan potensi
semua individu untuk memperkuat tugas memikul kewajiban yang berat tersebut.

Ini merupakan langkah asasi, sebab banyak di kalangan umat Islam tidak melihat pentingnya
mendirikan sebuah jamaah, atau tidak mau punya keterikatan dengan jamaah karena takut
terhadap tugas-tugas berjamaah

1.b.vii. TAHAPAN KETUJUH : “Dengan jamaah mana ia akan bergabung ?”


Suatu jamaah yang benar hendaknya memiliki kriteria sebagai berikut :

 Mengutamakan aspek tarbiyah dan mempersiapkan penyatuan umat daripada


penggunaan kekuatan. Segala usaha untuk mencapai kekuasaan atau dengan partai-
partai politik tanpa melalui tarbiyah dan usaha penyatuan umat adalah riskan bahkan
dapat memprematurkan amal Islami karena tidak berkembang secara alami diatas
sebuah landasan yang kokoh.
 Mestilah mengambil Islam secara sempurna dan utuh.
 Mempunyai imtidad ufuqi (ekspansi horizontal) ke seluruh penjuru dunia untuk
mempersiapkan sarana dan mengokohkan pondasi yang luas bagi tegaknya negara
Islam global, bukan hanya pemerintahan local di negara tertentu.
 Semakin kaya sebuah jamaah dengan ujian dan pengalaman semakin dapat diyakini
akan mampu merealisasikan tujuan-tujuannya, cepat membuahkan hasil dan
proporsional dalam mempergunakan waktu dan tenaga. Jamaah yang demikian,
pemahaman dan pergerakannya jauh dari sikap tafrih dan ifrath (meremehkan urusan
atau sebaliknya berlebih dalam pandangan dan tindakan).
 Memiliki tanzhim (terorganisir) dengan baik. Program-programnya teratur dan
terencana sehingga mudah dijalankan.

Perlu juga dijelaskan tentang kesalahan dan bahaya perpecahan serta terlalu mudah
mengobral tenaganya untuk perkumpulan-perkumpulan kecil.

1.c. Bagian Kedua : 19 PESAN KHUSUS UNTUK DAKWAH FARDIYAH

1. Giat dan sungguh-sungguh dalam beramal serta melakukan pengecekan dan evaluasi
secara rutin agar dapat meneruskan perjalanan dakwah dengan tenang dan sukses
2. Mereka yang menjalankan Dakwah Fardiyah sebaiknya diarahkan dan diberi
bimbingan dalam hal metode, pengertian-pengertian, dan urutan tahapan-tahapan
dakwah.
3. Membantu aktivitas dakwah mad’u, mungkin dapat diberikan ketika acara liqa’at
(pertemuan-pertemuan) dengan penjelasan materi, keterangan dan penegasan
mengenai nilai-nilai tertentu.
4. Tujuh tahapan di atas harus terwujud dan terbentuk dalam jiwa mad’u secara
bertahap.
5. Jangan sampai hanya karena ingin agar mad’u sampai pada tahapan yang lebih tinggi,
menjadikan bertindak gegabah dan tergesa-gesa meningkatkannya, padahal ia belum
mempunyai keyakinan dan penerimaan yang sempurna terhadap setiap tahapan yang
dilalui. Hal ini dilakukan sebagai langkah preventif terhadap kemungkinan apabila
mad’u berbalik arah karena keragu-raguan dalam hatinya
6. Sebaiknya dialog dan perbincangan seputar tujuh tahapan tersebut dilakukan dengan
intensif, begitu juga pembicaraan mengenai berbagai dalil dan berbagai factor yang
dapat membuat mad’u puas.
7. Jalan dakwah harus benar-benar “bersih”, bersih seluruh prasyaratnya dari
persangkaan negatif, bersih seluruh amal islaminya dari syubhat, bersih sarana dan
prasarananya dari najis, dan tentunya juga bersih para pengembannya dari maksiyat.
Sehingga tidak ada lagi kesan keragu-raguan dalam jiwa mad’u.
8. Seluruh kebaikan dan keberuntungan yang diraih oleh orang yang meneriman dakwah
harus ditonjolkan, begitu juga bahaya besar yang mengancam orang yang menolak
seruannya. Metode targhib dan tarhib (membangkitkan rasa harap pada pahala dan
rasa takut terhadap siksa) mungkin akan sangat berkesan bagi mad’u
9. Sesama aktifis dakwah seharusnya bahu-membahu, nasihat-menasihati, dan bersama-
sama memikirkan masalah dan solusi terhadap problematika di jalan dakwah.
Misalnya, dengan saling membagi pengalaman di medan dakwah.
10. Selama dalam tahapan-tahapan tersebut, perlu di bekali dengan buku-buku, risalah-
risalah, majalah-majalah, atau apa saja yang dapat diberikan kepada mad’u. Di
samping itu, perlu juga memberi beberapa pertanyaan kepada mad’u sehingga perkara
yang kurang jelas dapat diketahui dan diberi penjelasannya.
11. Seorang mad’u yang sudah siap dan telah mampu menjalankan Dakwah Fardiyah,
sepatutnya dianjurkan untuk segera melakukannya sambil tetap diberi bimbingan dan
diikuti perkembangannya
12. Barakah, taufiq dan hasil dalam dakwah dapat diperoleh sesuai dengan kadar
keikhlasan, kesungguhan, sikap lapang dada dan kesabaran seorang da’i.
13. Dakwah fardiyah dapat dijalankan dalam segala situasi, berbeda dengan Dakwah
Ammah yang kadang-kadang dihambat dan dirintangi
14. Keistimewaan Dakwah Fardiyah adalah dapat menciptakan hubungan dan ikatan
langsung dengan mad’u, sementara Dakwah Ammah tidak demikian.
15. Dakwah Fardiyah dapat mengkayakan pelakunya dengan berbagai pengalaman dan
sebagai latihan berdakwah di jalan Allah yang merupakan salah satu kewajiban
utama.
16. Dakwah Fardiyah mendorong pelakunya agar produktif dan giat membekali diri
dengan bekal-bekal dakwah agar dapat menunaikan tanggung jawab dengan sebaik-
baiknya.
17. Dakwah Fardiyah mendorong pelakunya agar dapat menjadi qudwah (teladan) bagi
orang lain
18. Dakwah Fardiyah memberi peluang langsung kepada mad’u untuk meminta
penjelasan tentang berbagai masalah yang dihadapi dan sekaligus dapat
menghilangkan ganjalan dalam hatinya, sehingga pembentukan pribadinya
berlangsung dalam keadaan bersih
19. Dengan menggunakan perhitungan matematis.

1.d. Bagian Ketiga : 9 SIFAT YANG MESTI DISANDANG OLEH SEORANG DA’I

1. Pertama dan paling utama adalah sifat ikhlas, sebab tanpa keikhlasan segala amal
usaha akan sia-sia
2. Harus dapat memperkirakan besarnya tugas yang akan diemban sehingga dapat
memberikan perhatian secara proporsional dengan tetap mengharapkan balasan-Nya
yang agung.
3. Bersikap bijak dan hati-hati dalam memilih metode pendekatan, memberi nasihat
yang baik dan berargumentasi dengan ahsan (cara yang terbaik)
4. Bersikap lembut dan berakhlak mulia; penyabar, dapat menahan diri (tidak
emosional), dan terhadap segala kesulitan di jalan dakwah, perhitungannya langsung
diserahkan kepada Allah swt. Demikian ini, karena meneladani Rasulullah saw. dan
orang-orang yang mengikutinya di jalan dakwah
5. Hendaknya memiliki pengetahuan yang komprehensif tentang masyarakat tempat
aktivitas dakwahnya berlangsung. Mengetahui segala permasalahan dan aliran yang
berkembang di tengah-tengahnya dan berusaha mengetahui lebih banyak tentang
orang yang didakwahi.
6. Da’i harus memiliki pemahaman agama yang mendalam dan senantiasa menimba
ilmu agar pemberiannya dapat sempurna
7. 7. Hendaklah mengkaji sirah Rasulullah saw. dan sahabat-sahabatnya yang mulia,
juga mengkaji Tarikh Islam secara mendalam agar dapat dijadikan bekal dan bantuan
ketika ada permasalahan di jalan dakwah. Demikianlah sikap para pelopor dakwah
pendahulu kita.
8. Hendaklah menghafal Al-Qur’an sesuai dengan kemampuan agar dapat digunakan
sebagai dasar-dasar dalam dakwahnya. Bahkan metode penceritaan Al-Qur’an
mempunyai kesan yang kuat dalam jiwa manusia.
9. Dalam pembicaraannya jangan hanya bermuatan rasional, tetapi harus dipadukan
dengan muatan emosional, karena sentuhan terhadap unsur emosi dapat
mempersiapkan jiwa manusia menerima apa yang diterima oleh akal, bahkan
kesannya lebih mendalam.

PILAR-PILAR DAKWAH dan PENGERTIAN DAKWAH FARDIYAH dan JAMIYYAH

I. PENDAHULUAN

Menyeru manusia kepada Allah swt (Ad dakwah ila Allah) adalah kewajiban setiap muslim dan
muslimat di setiap masa. Menyeru manusia kepada Allah swt adalah salah satu peringkat (marhalah)
yang penting dalam amal Islami yang dilakukan secara bersungguh-sungguh. Ia merupakan marhalah
ta’rif (memperkenalkan), disusuli pula dengan marhalah takwin (pembentukan). Di sana terdapat
dakwah ammah (dakwah umum) yang dicernakan melalui pidato, ceramah-ceramah, majlis-majlis
ilmu, media seperti buku-buku, risalah-risalah, suratkhabar, majalah, kaset dan lain-lain. Di sana juga
terdapat dakwah fardiyah (individu) yang juga merupakan intipati dakwah yang terpenting. Apapun
dakwah fardiyah memerlukan kepada kekuatan, sokongan, semangat, iltizam dan istiqomah untuk
menjayakannya.

Dakwah merupakan sebuah keharusan yang harus dilaksanakan oleh setiap orang yang mengaku
Islam. Tanpa dakwah, dipastikan Islam akan segera lenyap dari permukaan bumi ini. Allah SWT
berfirman:

“Katakanlah: "Inilah jalan (agama) ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu)
kepada Allah dengan hujjah yang nyata, Maha suci Allah, dan aku tiada Termasuk orang-orang yang
musyrik". (QS. Yusuf 12:108)

Oleh karena itu, hanya dakwahlah yang mampu mempertahankan eksistensi Islam hingga saat ini.
Yang mana kita dapat membayangkan, bagaimana jika dunia ini sepi dari kegiatan Dakwah, Sepi dari
kegiatan transfer ilmu agama, Pasti akan muncul sebuah generasi yang tidak mengenal aturan hidup
(syari’at). Pada akhirnya akan muncul suatu kehidupan yang rusak dan jauh dari Al quran dan
sunnah.

II. PEMBAHASAN

A. PILAR-PILAR DAKWAH
Dalam berdakwah, setidaknya ada sepuluh pilar yang harus diperhatikan oleh para da’i. Yang mana
sepuluh pilar ini merupakan hasil ijtihad seorang ulama dan mujahid Islam yang sangat populer,
yaitu Hassan al-Banna. Selanjutnya, sepuluh pilar itu sudah banyak dijelaskan oleh banyak ulama dan
cendekiawan muslim, seperti Said Hawa dalam Afaaq Risalah at-T’lim, Dr. Abdullah al-Khatib dan Dr.
Abdu Halim dalam Nazharat fi Risalah T’lim, Dr. Yusuf al-Qordowi dalam Aulawiyat al-harokah al-
Islamiyah dan yang terakhir Rahmad Abdullah dalam bukunya untukmu kader Dakwah. Adapun
sepuluh pilar-pilar dakwah sebagai berikut:

1. Al-Fahmu

Al- fahmu dalam bahasa Indonesia berarti pemahaman. Artinya setiap da’i harus mampu
memberikan pemahan yang benar kepada obyek Dakwahnya tentang apa yang ia Dakwahkan, dalam
hal ini adalah Islam.

2. Al-ikhlas

Al-ikhlas Artinya seorang da’i harus melandasi seluruh aktivitas Dakwahnya dengan totalitas
keikhlasan kepada Allah SWT. Da’i tidak boleh mengharapkan dari aktivitas Dakwahnya itu
melainkan keridho’an Allah SWT, bukan yang lain. Sehingga orang-orang yang diajak pun mampu
merasakan pancaran kesucian jiwanya. Dalam hal itu, mereka pun akhirnya akan percaya bahwa
yang disampaikan oleh da’i itu merupakan kebenaran dari Allah SWT, sebelum pada akhirnya
mereka pun akan mengikuti arahan dan pesan Dakwah dari da’i tersebut. Bahkan tidak mustahil
kelak mereka pun akan menjadi da’i- da’i baru yang akan meneruskan agenda Dakwah di muka bumi
ini.

3. Al-’Amal

Allah SWT berfirman:

Dan Katakanlah: "Beramalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan
melihat amalmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) Yang Mengetahui akan yang ghaib
dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu amalkan ( Q.S At -taubah:
105 )

Sangat ironis sekali jika seorang da’i mengajak orang lain untuk melakukan sesuatu, namun ia sendiri
tidak melakukan apa yang diucapkan. Disamping mendapat murka dari Allah SWT, orang lain pun
akan meremehkannya dan tidak akan menggubris apa yang dikatakannya. Dalam hal ini, sangat
besar kemungkinannya agenda Dakwah akan terhambat. Dikarenakan ulah sebagian da’i yang tidak
mampu memberi contoh yang baik (qudwah hasanah) bagi obyek Dakwahnya.

4. Al-Jihad

Di dalam Dakwah amal saja tidak cukup, melainkan diperlukan pula adanya kesungguhan dan usaha
keras dari para da’i tersebut. Sehingga Dakwah itu dapat berjalan secara efektif dan mampu
mengajak lebih banyak objek Dakwah. Tanpa kesungguhan, Dakwah akan berjalan ala kadarnya,
bahkan sangat dimungkinkan akan terjadi futur (patah semangat) dalam diri da’i itu sendiri.
Mengingat Dakwah bukanlah pekerjaan yang ringan. Sehingga kesungguhan merukapakan hal yang
harus dimiliki oleh setiap da’i.

5. At-Tadhiyah

Disamping kesungguhan, diperlukan pula adanya pengorbanan dari da’i, baik pengorbanan material
maupun mental. Merupakan kebohongan besar, jika ada yang ingin mengambil jalan Dakwah tanpa
mau berkorban. Mengingat orientasi Dakwah tidak lah sama dengan perdagangan, yang nota bene
berorientasi pada keuntungan material. Maka dari itu, pengorbanan merupakan suatu keniscayaan
bagi para da’i.

6. Ath-Tho’ah

Dalam berDakwah seorang da’i tidak boleh berjalan secera sendiri-sendiri, Melainkan harus secara
berjam’ah. Oleh karena itu, mutlak diperlukan adanya kepatuhan dari setiap da’i terhadap
keputusan jam’ah itu. Jika tidak, maka hampir dapat dipastikan bahwa Dakwah tersebut akan kandas
di tengah jalan, bahkan bisa jadi para da’i itu akan mengalami kesulitan dan rintangan dari musuh-
musuh Dakwah.

7. Ats-Tsabat (Tahan menghadapi pertempuran)

Disamping memiliki kepatuhan, seorang da’i dituntut untuk memiliki keteguhan hati. Sehingga
sanggup melawan segala rintangan dan kesulitan yang ditemuinya dalam menjalankan tugas dan
amanahnya dari Dakwah tersebut.

8. At-Tajarrud

Agar dapat menyampaikan Dakwahnya dengan benar, maka seorang da’i juga harus memiliki
paradigma berfikir yang benar dan terbebas dari pengaruh pemikiran-pemikiran non-islami.
Dalamhal ini, ketika seorang da’i sudah tercemari paradigma berfikirnya, maka ada kemungkinan
da’i, yang sedianya ingin menyelamatkan orang, malah menyesatkannya. Inilah makna dari At-
Tajarrud itu.

9. Al-Uhkuwah

Ketika berDakwah, hampir dapat dipastikan bahwa da’i akan menemui berbagai rintangan, sehingga
bantuan dari da’i lain sangat diperlukan dalam rangka menyukseskan agenda Dakwah. Dari itu, rasa
persaudaraan, baik sesama da’i, maupun antara da’i dengan obyek Dakwahnya, merupakan hal yang
sangat krusial dalam Dakwah. Sehingga ketika memerlukan bantuan ia dapat memanggil saudaranya.

10. Ats-Tsiqoh (kepercayaan)

Mustahil rasanya, seseorang mau mengikuti perkataan orang lain tanpa adanya kepercayaan orang
tersebut kepadanya. Dari itu, kepercayaan merupakan hal yang harus dibangun oleh para da’i di
hadapan para obyek Dakwahnya. Dalam mana, ketika kepercayaan sudah ada maka para da’i, dapat
dengan mudah mengarahkan obyek Dakwahnya untuk mengikuti arahan dan pesan Dakwah yang ia
berikan padanya. Sebelum pada akhirnya, da’i tersebut juga dapat mempercayakan suatu perkara
kepada kader Dakwah yang muncul dari mereka, untuk meneruskan Dakwahnya. Maka rasa saling
mempercayai dari kedua belah pihak merupakan sebuah keniscayaan.
Itulah sepuluh pilar dalam Dakwah. Yang mana harus dipegang teguh oleh setiap da’i dan
dilaksanakan sesuai dengan Al quran dan as-sunnah. Dan mudah-mudahan, dengan melaksanakan
itu semua, Allah SWT berkenan untuk menjadikan kita para da’i yang berkompeten dan meraih
kesuksesan dalam berDakwah.

B. DAKWAH FARDIYYAH DAN DAKWAH JAMIYYAH

a. Pengertian dakwah fardiyyah dan jamiyyah

Dakwah fardiyah dan dakwah jam’iyah masing-masing berasal dari dua kata yaitu dakwah, kemudian
diberi sifat fardiyah dan jam’iyah. Dakwah berarti aktifitas mengajak obyek dakwah kepada hal yang
diinginkan oleh penyeru dakwah. Secara khusus dipahami dakwah adalah Dakwah Islamiyah yaitu
mengajak manusia untuk mengikuti ajaran Allah dan Rasul-Nya. Secara bahasa fardiyah adalah
sendiri sendiri, sesuatu yang sifatnya pribadi, suatu aktifitas yang pelaksanaannya bersifat personal.
Sedangkan jam’iyah berarti berkelompok, bersifat masal, suatu aktifitas yang dikerjakan secara
bersama-sama. Ali Abdul Halim Mahmud dalam bukunya “Dakwah Fardiyah: Membentuk Pribadi
Muslim” mengatakan bahwa dakwah fardiyah adalah “ajakan atau seruan ke jalan Allah yang
dilakukan seorang da’i (penyeru kepada orang lain secara perseorangan dengan tujuan
memindahkan al mad’uw pada keadaan yang lebih baik dan diridhai Allah”.

Komponen-komponen dakwah adalah semakna dengan komponen komunikasi karena memang


dakwah salah satu bentuk kaktiifitas komunikasi. Komponen-komponen itu adalah:

1. Komunikator dalam hal ini adalah da’i.

2. Komunikan dalam hal ini adalah mad’u.

3. Pesan dalam hal ini adalah materi dakwah yaitu ajaran Islam.

4. Media dalam hal ini adalah sarana dakwah.

Effek, yaitu pengaruh yang diharapkan timbul setelah proses komunikasi berlangsung, dalam hal ini
adalah harapan bahwa mad’u akan menerima dan mengikuti pesan dakwah tersebut.

Dakwah fardiyah adalah bagian dari komunikasi personal. Komunikasi personal sendiri ada dua
bagian yaitu komunikasi intrapersonal atau dengan istilah lain seseorang berkomunikasi dengan
dirinya sendiri, bagian yang lain adalah komunikasi antarpersonal. Disinilah letak dakwah fardiyah
berada. Joseph A. Devito menyebutkan bahwa komunikasi antarpersonal adalah proses pengiriman
dan penerimaan pesan-pesan antara dua orang atau di antara sekelompok kecil orang, dengan
beberapa efek dan beberapa umpan balik seketika (the process of sending and receiving messages
between two persons, or among a small group of persons, with some effect and some immediate
feedback).

Dengan demikian dakwah fardiyah adalah kegiatan dakwah yang dilaksanakan sendiri-sendiri dengan
obyek dakwah yang bersifat pribadi atau sekelompok kecil orang misalnya dua atau tiga orang atau
sejumlah orang yang belum dianggap kelompok besar.
Sedangkan dakwah jam’iyah adalah dakwah yang bersifat kolektif. Sifat kolektif ini bisa pada da’i
ataupun pada mad’unya. Sifat kolektif pada da’i misalnya tercermin dalam sosok juru bicara sebuah
organisasi atau juru kampanye atau duta suatu lembaga. Maka ketika ia berbicara atas nama
lembaga yang sedang diwakilinya, maka segala ucapan dan tindak tanduk serta sikapnya merupakan
penerjemahan dan perpanjangan dari lembaga. Masyru’iyyah dakwah fardiyah dan jam’iyah

Allah SWT berfirman:

ÎŽóÇyèø9$#ur ÇÊÈ ¨bÎ) z`»|¡SM}$# ’Å"s9 AŽô£äz ÇËÈ žwÎ) tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä (#qè=ÏJtãur
ÏM»ysÎ=»¢Á9$# (#öq|¹#uqs?ur Èd,ysø9$$Î/ (#öq|¹#uqs?ur ÎŽö9¢Á9$$Î/ ÇÌÈ

Artinya: “Demi masa (1) Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian,(2) kecuali
orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shaleh dan nasihat menasihati supaya menaati
kebenaran dan nasihat menasihati supaya menetapi kesabaran (3).” (Q.S. Al ‘Ashr (103): 1 – 3).

Menurut Ibnu Katsir dalam kitab tafsirnya, Allah bersumpah dengan waktu, disaat mana dalam
waktu itulah gerak dan kehidupan anak Adam berlangsung. Semua manusia dalam kerugian dan
kehancuran kecuali mereka yang beriman dengan hatinya (dengan benar), dan orang-orang yang
beramal shaleh dengan anggota badannya (sebagai bukti iman), dan mereka yang saling member
nasehat untuk melaksanakan ketaatan dan menjauhi kemungkaran serta mereka yang saling
menasehatkan untuk bersabar terhadap segala hambatan dan rintangan dalam rangka ketaatan dan
menyuruh yang baik dan mencegah dari yang mungkar.

Begitu pentingnya dan syumulnya Surat al-‘Ashr ini, sampai-sampai Imam Syafi’i rahimahullah
berkata: “Seandainya Allah tidak menurunkan hujjah atas makhluk-Nya kecuali surat ini, niscaya ia
mencukupi mereka.”

Dari keterangan Ibnu Katsir di atas, maka dipahami bahwa setiap manusia berada dalam kerugan
dan, jalan keluar dari kerugian itu adalah saling menasehati dalam kebenaran dan kesabaran, Ini
bermakna seseorang harus berdakwah untuk keluar dari kerugian. Rasulullah Saw bersabda:

‫َم ْن‬ ‫ َف ِإَّن الَّش اِه َد َع َس ى َأْن َّيْب ُل َغ‬، ‫ِلَي ْب ُلَغ الَّش اِه ُد اْلَغ اِئَب‬
‫ِم ْن ُه‬ ‫ُه َو َأْو َع ى َلُه‬
‫رواه البخاري‬

Artinya:”Supaya orang yang hadir menyampaikan kepada orang yang ghoib, karena orang yang hadir
barangkali akan menyampaikan kepada rang yang lebih paham daripada dirinya”. (H.R. Bukhori)
)‫َب ِّلُغ ْو ا َع ِّن ي َو َلْو آَي ًة ( رواه البخاري‬

Artinya:”Sampaikan dariku walaupun hanya satu ayat”. (H.R. Bukhori) .

Artinya: ”Barang siapa diantara kamu melihat suatu kemungkaran, hendaklah ia ubah dia
(kemungkaran itu) dengan tangannya, jika tidak mampu hendaklah ia ubah dia dengan lisannya, jika
tidak mampu, maka dengan hatinya, itulah selemah-lemahnya iman”. (H.R. Muslim), dan dalam
riwayat lain disebutkan: “dan setelah itu tidak ada keimanan sedikitpun barang seberat biji sawi”.

Dari tiga hadits tersebut di atas kita pahami bahwa kewajiban dakwah amar makruf dan nahi
mungkar adalah kewajiban setiap muslim, tentunya sebatas kemampuannya. Karena barang siapa
yang tidak perhatian dengan dakwah Islamiyyah dan upaya perubahan dari keburukan menuju
kebaikan, maka dikatakan tidak ada lagi keimanan padanya. Dengan demikian pelaksanaan dakwah
merupakan tanda adanya keimanan dan keislaman di dada seorang hamba. Adapun pelaksanaan
dakwah secara kolektif atau jama’i, dilihat dari sisi da’i, dapat dipahami dari ayat Al-Qur’an,
diantaranya:

`ä3tFø9ur öNä3YÏiB ×p¨Bé& tbqããô‰tƒ ’n<Î) ÎŽösƒø:$# tbrããBù'tƒur Å$rã÷èpRùQ$$Î/


tböqyg÷Ztƒur Ç`tã ̍s3YßJø9$# 4 y7Í´¯»s9'ré&ur ãNèd šcqßsÎ=øÿßJø9$# ÇÊÉÍÈ

“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh
kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar,[1] merekalah orang-orang yang beruntung.
( Q.S. Ali ‘Imran: 104).

Ma'ruf: segala perbuatan yang mendekatkan kita kepada Allah, sedangkan Munkar ialah segala
perbuatan yang menjauhkan kita dari pada-Nya. Dari ayat ini pula dipahami bahwa tugas dakwah
memang berangkat dari pribadi-pribadi yang pada gilirannya bisa tergabung dalam sebuah
komunitas atau lembaga dakwah. Sehingga gerak dakwah akan lebih bisa terkoordinanir dengan baik
dan bisa mencakup kalangan yang lebih luas dengan penataan dan management dakwah yang lebih
baik. Dakwah fardiyah menduduki posisi yang sangat penting dalam dunia harakah. Dari aktifitas
dakwah fardiyah inilah proses perekrutan ummat akan lebih kental dan lebih selektif sebagaimana
yang di sebutkan oleh Ali Abdul Hamid berikut:

“Dakwah Fardiyah dalam mafhum haraki atau tahap haraki (gerakan) ialah menjalin hubungan
dengan masyarakat umum, kemudian memilih salah seorang dari mereka untuk membina hubungan
lebih erat, karena da’i mengetahuibahwa orang tersebut layak menerima kebaikan disebabkan
keterkaitan dan komitmennya terhadap manhaj dan adab Islam.”Sifat-sifat dakwah fardiyah dan
jam’iyah, kelebihan dan kekurangannya. Dalam membahas masalah ini penulis menggunakan
pendekatan ilmu komunikasi. Hal ini karena ada hubungann yang kuat antara komunikasi dengan
dakwah, yaitu karena keduanya merupakan proses yang sama sebagaimana yang disebutkan
dimuka.
b. Sifat Dakwah Fardiyah dan Jam’iyah

Dakwah Fardiyah Dakwah Jam’iyah memiliki bebrapa sifat antara lain:

1. Dakwah fardiyah da’i bersifat pribadi dan dakwah jamiyyah da’i mewakili lembaga atau instansi

2. Dakwah fardiyah mad’u bersifat pribadi atau sekelompok kecil orang Dan dakwah Jamiyyah
mad’u dalam jumlah besar dan bahkan khalayak ramai

3. Dakwah fardiyyah mad’u lebih homogen dan dakwah jamiyyah mad’u cenderung bersifat
heterogen

4. Dakwah fardiyah untuk mencapai sasaran yang banyak pesan disampaikan berulang dan
Dakwah jamiyyah pesan bisa disampaikan serempak

5. Dakwah fardiyah effek atau pengaruh bersifat individu atau kelompok kecil dan Dakwah
jamiyyah Pengaruh bersifat meluas.

c. Kelebihan dan kekurangan dakwah fardiyah dan jamiyyah

Kelebihan dakwah fardiyah akan menjadi kekurangan bagi dakwah jam’iyah, diantaranya:

1. Dakwah fardiyyah tatap muka langsung. Sedangkan Dakwah jamiyyah model dakwahnya misalnya
menggunakan radio atau media perantara lain; da’i dan mad’u tidak bertatapmuka langsung.

2. Dakwah fardiyah respon mad’u rata-rata langsung bisa diketahui sehingga da’i bisa introspeksi diri
lebih awal. Sedangkan dakwah jamiyyah respon mad’u biasanya tertunda menunggu affek global,
sehingga sebagian hal-hal yang perlu dievaluasi menjadi tertunda.

3. Dakwah Fardiyah Proses komunikasi berlangsung timbal balik. Sedangkan dakwah jamiyyah proses
komunikasi hanya satu arah

4. Dakwah fardiyah lebih efektif bila mad’u adalah seorang pemimpin atau publik figure. Karena jika
mad’u ini menerima dakwah dengan baik, maka dangat dimungkinkan masyarakat yang berada di
belakangnya relative mudah dipengaruhi atau bahkan mengikuti pesan dakwah. Sedangkan dakwah
jamiyyah Bisa jadi diantara orang yang menerima dakwah dari sekian banyak mad’u adalah orang
yang kurang mempunyai nilai tambah untuk membawa kepada perubahan global.

5. Dakwah fardiyah dianggap paling efektif untuk mengubah sikap, pendapat dan perilaku seseorang.
Sedangkan dakwah jamiyyah dianggap kurang fektif untuk membentu sikap, pendapat dan opini
seseorang.

Kelebihan dakwah jam’iyah akan menjadi kekurangan bagi dakwah fardiyah, diantaranya:

1. Dakwah jamiyyah pesan disampaikan secara serempak dalam cakupan yang luas. Sedangkan
Dakwah fardiyah esan hanya tertuju satu orang.

2. Dakwah jamiyyah tidak harus disampaikan oleh orang yang bisa dalam banyak hal. Sedangkan
dakwah fardiyah kemampuan komunikasi da’i dituntut untuk langsung mempengaruhi mad’u.
3. Dakwah jamiyyah biasanya lebih termanage dengan rapi. Sedangkan dakwah fardiyyah terkadang
berbenturan dengan pesan da’i lain.

4. Dakwah jamiyyah materi lebih bisa runtut. Sedangkan Dakwah fardiyah materi sering terulang di
satu tempat dan oleh da’i yang lain.

5. Dakwah jamiyyah bisa tersaji dalam bentuk kurikulum dan silabus yang tersusun dengan baik.
Sedangkan Dakwah fardiyyah materi dakwah tergantung kemampuan dan (kemauan) da’i.

6. Dakwah jamiyyah bila ada mad’u yang membutuhkan terapi secara khusus, maka bisa diarahkan
kepada bagian dari amal jam’i yang membidangi perawatan mad’u dan pembinaan yang
berkesinambungan. Sedangkan dakwah fardyiah Seorang da’i dituntut kerja sendirian, dari ranah
hulu hingga hilir.

Dalam praktek tidak jarang dua metode tersebut digabungkan menjadi satu. Misalnya seorang da’i
yang ditugaskan oleh sebuah instansi atau lembaga dakwah untuk mengadakan pendekatan
persuasive kepada seorang tokoh atau mad’u lainnya dengan dakwah fardiyah. Maka proses dialog,
diskusi langsung biasanya banyak ditempuh untuk seorang cental public tersebut. Dalam dakwah
fardiyah kemampuan komunikasi verbal da’i mempunyai peran yang sangat penting. Demikian pula
tsaqafah yang luas dari da’i sangat dibutuhkan. Karena di saat itulah terjadi proses argumentasi yang
tidak menutup kemungkinan akan sangat alot. Karena itulah M Natsir dalam “Fiqh Dakwah”
menyebutkan salah satu bekal da’i adalah persiapan ilmiah. Persiapan ini meliputi: 1) tafaqquh fi al-
din, 2) tafaqquh fi al-nas, 3) bahasa al-Qur’an dan 4) bahasa pengantar.

d. Contoh Dakwah Fardiyah dan Jamiyyah

Contoh dakwah fardiyah adalah:

1. Dakwah Rasulullah e ketika sembunyi-sembunyi kepada orang-orang terdekat beliau e. Seperti


kepada Khadijah ra, Abu Bakar al Shiddiq ra, Umar bin Khaththab ra dan beberapa sahabat lainnya
hingga datangnya perintah berdakwah dengan terang-terangan.

2. Dakwah Rasulullah e kepada para raja di sekitar jazirah Arab melalui surat yang dibawa oleh para
utusan. Walaupun Rasulullah e tidak bisa bertatap muka langsung, tetapi pesan itu telah sampai
kepada mereka melalui tangan para utusan beliau. Saat itu pula sahabat utusan bisa mengetahui
reaksi apa yang ditampakkan oleh para raja tersebut.

3. Dakwah para sahabat utusan Rasulullah e seperti Mu’adz bin Jabal ke Yaman. Dalam praktek,
mereka berdakwah secara fardi, sehingga kemampuan da’i dalam berkomunikasi dan berdiplomasi
sangat dibutuhkan.

Contoh dakwah jam’iyah

1. Khutbah Jum’at ataupun Id.

2. Ceramah-ceramah agama di depan umum.

3. Ceramah agama melalui media massa seperti surat kabar, radio, film, televisi, internet dan yang
semisalnya.
4. Da’i-da’i utusan lembaga dakwah tertentu seperti NU, Muhammadiyah, Dewan Dakwah dan yang
semisalnya.

5. Daurah-daurah atau kajian-kajian Islam baik di masjid-masjid, kampus-kampus, sekolah-sekolah


maupun pesantren-pesantren.

6. Seminar tentang Islam dan yang semisalnya.

Kesimpulan

Dakwah Islamiyah merupakan kewajiban yang akan senatiasa lekat pada pundak setiap muslim selagi
hayat dikandung badan. Pelaksaan kewajiban ini akan sangat berfariasi sesuai dengan keadaan dan
waqi’ yang dihadapi oleh da’i. Ada yang dilakukan dengan cara individual approach, ada yang melalui
collective approach. Hal ini sebagai bukti iman hamba kepada Allah I dan sebagai hujjah di akherat
kelak. Semoga Allah I menjadikan kita istiqamah di jalan-Nya. Amiin.

Referensi

Al-Aziz, Jum’ah Amin Abdu, dan Masykur, Abdu al-Salam (Ed), 1998, Fiqih Dakwah, (cet ke 2), Solo:
Intermedia.

Al-‘Utsaimin, Syeikh Muhammad bin Shalih, Oktober 2000, Syarah Tsalâtsatu al-Ushûl, (terj: Ulasan
Tuntas Tentang Tiga Prinsip Pokok), Jakarta, Yayasan al-Sofwa.

Effendi, Onong Uchyana, 1993, Ilmu, Teori dan Filsafat Komunikasi, Bandung: PT Citra Aditya Bakti.

______,1999, Ilmu Komunikasi Teori dan Praktek, (cet ke 12), Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

______,2000, Dinamika Komunikasi , (cet ke 4), Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Katsir, Ibnu, tt, Tafsir al-Qur’an al ‘Adzim, Juz I, Cairo: al-Maktabah al-Taufiqiyah.

, tt, Tafsir al-Qur’an al ‘Adzim, Juz II, Cairo: al-Maktabah al-Taufiqiyah.

Mandzur, Ibnu, , 2003, Lisan al-‘Arab , Juz II, (cet ke 9), Caero: Daar al-Hadits.

______,2003, Lisan al-‘Arab , Juz VII, (cet ke 9), Caero: Daar al-Hadits.

Natsir, Muhammad, 1996, Fiqh Da’wah, (cet ke 10), Jakarta: Yayasan Capita Selecta.

Nuh, Al-Sayyid Muhammad dan Irwan Raihan (Ed), 2003, Da’wah dan Tarbiyah Ahlus Sunnah wal
Jama’ah, Solo, Pustaka Barokah.

Sastropoetro, RA Santoso, 1991, Komunikasi Internasional, (cet ke 3), Bandung: Penerbit Alumni.

Wright, Charles R, dan Trimo, Lilawati (Ed), 1988, Sosiologi Komunikasi Massa, (cet ke 3), Bandung:
Remadja Karya.

Hamid, Ali Abdul, Fiqh Da’wah al-Fardiyah (Dakwah Fardiyah: Membentuk Pribadi Muslim, Jakarta:
Gema Insani Press, cet I: 1995
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Hakekat dan Urgensi Dakwah Fardiyah


A. Pengertian Dakwah Fardiyah
Dakwah fardiyah sebagai antonim dari dakwah jama’iyah atau ‘ammah yaitu berupa
ajakan atau seruan ke jalan Allah yang dilakukan oleh seorang da’i (penyeru) kepada orang
lain secara perseorangan dengan tujuan memindahkan al mad’u pada keadaan yang lebih baik
dan diridhai oleh Allah.1[1]
Selain itu Shaqr mengemukakan definisi dakwah fardiyah ialah penyampaian ajaran
Islam yang ditujukan kepada seseorang secara berhadapan dan bisa terjadi dengan tidak
dirancang terlebih dahulu. Dengan definisi ini dakwah fardiyah berarti interaksi seorang da’i
dengan seorang mad’u yang berlangsung secara tatap muka dan dialogis sehingga respon
mad’u terhadap pesan dan diri da’i dapat diketahui seketika baik secara positif maupun
negatif.
Tahapan dakwah fardiyah di antaranya: Pertama Mafhum fakwah: usaha seorang da’i
mengenal dan menjaga hubungan baik dengan mad’u untuk dituntun ke jalan Allah. Kedua
Mafhum haraki (gerakan): menjalin hubungan dengan masyarakat umum, kemudian memilih
salah seorang dari mereka untuk membina hubungan lebih dekat, menampakkan kecintaan
dan perhatian. Ketiga Mafhum Tanzimi meliputi: pengarahan (tanzih) berupa bimbingan
seorang da’i kepada mad’u dalam rangka berdakwah kepada Allah untuk membantu
memahami keadaan dirinya, memahami persoalan-persoalan dan hambatan-hambatan yang
dihadapinya, menunjukkan dengan cara halus tentang kemampuan dan kelebihan yang ia
miliki. Penegasan (tanzif); dalam hal ini da’i membantu penerima dakwah untuk menentukan
tempatnya dalam alam islami serta menunjukkan kepadanya kewajiban-kewajiban yang harus
dipenuhi posisi ini. Penggolongan (tashzif); pengelompokkan sesuatu agar mudah
membedakannya antara yang satu dengan yang lainnya.2[2]
Perubahan dan perpindahan tersebut adakalanya dari kekafiran kepada keimanan, dari
kesesatan dan kemaksiatan kepada petunjuk dan ketaatan, dari sikap amaniyah
(individualisme) kepada sikap mencintai orang lain, mencintai amal jama’i atau kerja sama,
dan senang kepada jamaah. Atau adakalanya memindahkannya dari sikap acuh tak acuh dan
1

2
tidak peduli menjadi sikap komitmen terhadap islam, baik akhlaknya, adabnya, dan manhaj
(sistem) kehidupannya, yang sudah tentu perpindahan ini menuju arah yang lebih baik dan
lebih diridhoi Allah SWT.
Jadi, pada dasarnya dakwah fardiyah merupakan salah satu metode dakwah yang
paling efektif, karena dakwah dilakukan oleh seorang da’i (penyeru) kepada orang lain secara
perseorangan dengan tujuan memindahkan al mad’u pada keadaan yang lebih baik dan
diridhai oleh Allah. Sehingga seorang mad’u dapat memperoleh informasi (ilmu) yang
banyak dan langsung bisa mengamalkannya.3[3]
Juru dakwah dalam dakwah fardiyah memiliki kelebihan khusus, ia harus mempunyai
skill tersendiri yang memungkinkannya untuk mendidik orang lain, sesuai metode tarbiyah
yang telah kita kenal yaitu pengarahan, perencanaan, konsolidasi, penugasan, pemantapan,
dan pewarisan. Seorang juru dakwah tidak akan mampu melakukan semua ini kecuali jika dia
memiliki keahlian dan kelebihan dalam lapangan amaliah islami pada umumnya dan dalam
lapangan dakwah pada khususnya. Tugas yang dijalankan dalam dakwah fardiyah haruslah
semata-mata mencari ridho Allah. Ia tidak perlu menunggu atau mengharap keuntungan
material maupun spiritual dari seseorang. Ia pun tidak mengharapkan imbalan baik dari
perorangan, jamaah, lembaga, atau pemerintah.
Sedangkan al mad’u dalam dakwah fardiyah adalah orang tertentu yang telah dipilih
oleh da’i berdasarkan pengetahuan dan pengamatannya karena orang tersebut mempunyai
tanda-tanda kebaikan, mau menerima dakwah, mencintai peraturan, dan patuh melaksanakan
kebaikan serta kemampuannya. Al mad’u dalam dakwah fardiyah selalu ditemani dan
didekati. Dalam hal ini seorang da’i berusaha menjalin hubungan yang kuat yang melahirkan
rasa persaudaraan semata-mata karena Allah. Juru dakwah dalam dakwah fardiyah juga
dituntut untuk senantiasa melayani kepentingan al mad’u tanpa menunggu permintaannya.
Selain itu, dalam dakwah fardiyah da’i adalah “orang dakwah” dengan segala makna
dan penjabarannya, diantaranya:
1) Dia adalah orang yang mengerti fase-fase dakwah, mengetahui karakteristik tiap-tiap fase
dengan segala tuntutannya, mengetahui sasaran dan tujuan dakwah yang hendak dicapainya,
serta waktu yang sesuai dengannya.
2) Dia adalah orang yang mengetahui sasaran dakwah dan tujuan dakwah baik fardiyah.
3) Dia adalah orang yang mengetahui kendala dan hambatan-hambatan di jalan dakwah serta
memiliki kemampuan untuk melewati semua penghalang demi kelancaran dakwahnya.

3
4) Dia adalah orang yang mengetahui keadaan para penerima dakwah dengan berbagai
tingkatan dan sifat-sifat yang mereka miliki, serta mengetahui metode dan sarana yang sesuai
untuk mereka.
5) Dia adalah orang yang mengetahui kewajiban-kewajiban dirinya terhadap penerima dakwah
dalam semua situasi dan tahapan yang dilaluinya.4[4]
B. Urgensi Dakwah Fardiyah
2.2 Tujuan dan Sasaran Dakwah Fardiyah
Tujuan umum dakwah fardiyah ialah menumbuhkan dan mengembangkan amal
islami dan memperbaiki pelaksanaannya serta menjadikan para pelakunya mampu memikul
beban yang berat untuk mencari ilmu pengetahuan serta membiasakan dan melaksanakan
amal ini dalam lapangan yang berbeda-beda di wilayah islam manapun.
Adapun tujuan dakwah secara terperinci dibagi menjadi tiga bagian, yaitu tujuan
dakwah fardiyah bagi penerima dakwah, tujuan dakwah fardiyah bagi dakwah, dan tujuan
dakwah bagi da’i.
a. Tujuan dakwah fardiyah bagi penerima dakwah diantaranya adalah:
1) Menanamkan pemahaman tentang urusan ad din.
2) Mengembangkan dan meningkatkan kemampuan ruh (jiwa), akal, dan jasmani al mad’u.
3) Menumbuhkan dan meningkatkan kemampuannya untuk melakukan amal sholeh.
4) Berusaha menjadikan al mad’u sebagai da’i.
b. Tujuan dakwah fardiyah bagi dakwah, di antaranya adalah:
1) Memperdalam pemahaman dakwah Ilallah.
2) Memantapkan dalam jiwa, akal, dan kehidupan manusia.
3) Memperkokoh potensi dakwah dalam berbagai sektor.
4) Memperkokoh gerakan dan kemampuan dakwah agar menarik dan memikat.
5) Membuat fondasi dakwah yang kokoh.
6) Pembinaan individu yang memiliki ilmu-ilmu khusus.
7) Membentuk pribadi yang soleh untuk mengisi kekosongan dalam amal islami umumnya dan
dalam aktivitas dakwah khususnya.
c. Tujuan dakwah fardiyah bagi da’i, di antaranya adalah:
1) Membekali da’i dengan ilmu pengetahuan.
2) Meningkatkan ketrampilan dan kepandaian da’i.
3) Menaggulangi berbagai ujian.
4) Memperbanyak kesempatan amal bagi da’i.
4
5) Pergaulan da’i dan mad’u akan menumbuhkan perasaan dan semangat untuk melakukan
amalan baik.
6) Memberikan kesempatan kepada da’i untuk melakukan pewarisan dan pelatihan.5[5]
Adapun sarana dakwah fardiyah banyak macamnya yang dapat digunakan secara
bertahap sesuai dengan tahapan pendekatan Da’i terhadap Individu mad’unya. Dalam bentuk
tatap muka misalnya (Liqo’), seorang da’i dakwah fardiyah bisa memanfaatkan pertemuan
dengan membaca al-Qur’an, mengkaji hadits atau sirah, pertemuan tersebut sedapat mungkin
dicarikan waktu dan tempatnya yang cocok, bisa juga memanfaatkan pertemuan di Halaqah
(ta’lim) Masjid, seminar Ilmiah, atau dengan mengajaknya ke Rumah makan, dalam bentuk
yang lebih sederhana sarana Dakwah fardiyah bisa dengan menghadiahkan sebuah buku yang
bermuatan fikrah Islam, sehingga pada pertemuan berikutnya bisa didiskusikan hasil dari
bacaan buku tersebut. Semua hal tersebut di atas adalah sebagian dari sarana-sarana dakwah
fardiyah. Adapun selebihnya seorang da’i dengan kecerdasannya dapat mengeksplorasi dan
mengembangkan sarana-sarana lainnya lebih banyak lagi.
Dakwah fardiyah bila dijalankan dengan baik dan sungguh-sungguh maka ia akan
menjadi sarana yang paling efektif, paling kuat pengaruhnya, dan paling terjamin kualitasnya
terhadap individu mad’u, keistimewaan Dakwah fardiyah terletak pada fokus perhatian yang
lebih terhadap mad’u dan kesempatan memberi pengaruh lebih besar, sehingga menjadi besar
pula tingkat keberhasilan mengajak orang ke jalan dakwah.
2.3 Strategi Memikat Hati Manusia Dalam Dakwah Fardiyah
Dalam menjalankan dakwah fardiyah seorang da’i juga harus mengetahui langkah-
langkah atau yang harus ia lakukan, agar dakwahnya berhasil. Adapun di antara langkah-
langkahnya adalah sebagai berikut:
Langkah Pertama: Berupaya untuk membina hubungan dan mengenal setiap orang
yang hendak didakwahi dan membangunnya dengan baik. Upaya ini untuk menarik simpati
darinya agar hatinya lebih terbuka dan siap menerima perbincangan yang dapat diambil
manfaat sehingga pembicaraan berikutnya dapat berlangsung terus. Pembinaan hubungan
dengannya dilakukan secara intens sehingga obyek dakwah mengenal orang yang
mengajaknya sebagai orang yang enak untuk berteman dan berkomunikasi.
Langkah Kedua: Membangkitkan iman yang mengendap dalam jiwa. Pembicaraan
hendaklah tidak langsung diarahkan pada masalah iman, namun sebaiknya berjalan secara
tabi’i, seolah-olah tidak disengaja dengan memanfaatkan momen tertentu untuk memulai
mengajaknya berbicara tentang persoalan keimanan. Melalui pembicaraan yang tabi’i
5
persoalan yang dipaparkan akan mudah mendapatkan sambutan. Dari sambutan yang
disampaikannya mengenai beberapa hal dapat ditindak lanjuti dengan meningkatkan gairah
keimanannya. Gairah keimanan yang timbul darinya akan mencari solusi atas permasalahan
yang dihadapinya. Dari situlah muncul perhatian yang besar terhadap masalah-masalah
keislaman dan keimanan.
Langkah Ketiga: Membantu memperbaiki keadaan dirinya dengan mengenalkan
perkara-perkara yang bernuansa ketaatan kepada Allah dan bentuk-bentuk ibadah yang
diwajibkan. Pada tahap ini perlu pula dibekali dengan bahan-bahan bacaan dari referensi
yang sederhana, seperti Dasar-dasar Islam, Prinsip-prinsip Islam (Abul ‘Alaa Al Maududi)
dan lain-lainnya. Di samping bahan-bahan bacaan juga perlu diperkenalkan dengan
lingkungan yang baik dan komunitas masyarakat yang shalih agar dapat menjaga nilai-nilai
yang telah tertanam dan meneladani kehidupan orang shalih. Mutabaah dan pemantauan
dalam tahap ini memerlukan kesabaran yang tinggi sehingga dapat membimbing
perjalanannya di atas jalan dakwah dan terhindar dari faktor-faktor yang buruk.
Langkah Keempat: Menjelaskan tentang pengertian ibadah secara syamil agar
memiliki kepahaman yang shahih tentang ibadah disertai niat yang benar dan berdasarkan
syara’. Pemahaman yang tidak sempit terhadap ibadah. Ibadah bukan sebatas rukun Islam
yang empat saja (shalat, puasa zakat dan haji). Akan tetapi pengertian ibadah yang luas
sehingga memahami bahwa setiap ketundukan seorang hamba pada-Nya dengan mengikuti
aturan yang telah digariskan akan bernilai ibadah.
Langkah Kelima: Menjelaskan kepada obyek dakwah bahwa keberagamaan kita
tidak cukup hanya dengan keislaman diri kita sendiri. Hanya sebagai seorang muslim yang
taat menjalankan kewajiban ritual, berperilaku baik dan tidak menyakiti orang lain lalu selain
itu tidak ada lagi. Melainkan keberadaan kita mesti mengikatkan diri dengan keberadaan
muslim lainnya dengan berbagai macam problematikanya. Pada tahap ini pembicaraan
diarahkan untuk menyadarkan bahwa persoalan Islam bukan urusan perorangan melainkan
urusan tanggung jawab setiap muslim terhadap agamanya. Perbincangan ini dilakukan agar
mampu mendorongnya untuk berpikir secara serius tentang bagaimana caranya menunaikan
tanggung jawab itu serta menjalankan segala tuntutan-tuntutannya.
Langkah Keenam: Menjelaskan kewajiban untuk mengemban amanah umat dan
permasalahannya. Kewajiban di atas tidak mungkin dapat ditunaikan secara individu.
Masing-masing orang secara terpisah tidak akan mampu menegakkannya. Maka perlu sebuah
jamaah yang memadukan potensi semua individu untuk memperkuat tugas memikul
kewajiban berat tersebut. Dari tahap ini obyek dakwah disadarkan tentang pentingnya amal
jama’i dalam menyelesaikan tugas besar ini.
Langkah Ketujuh: Menyadarkan padanya tentang kepentingan sebuah jamaah.
Pembicaraan ini memang krusial dan rumit sehingga memerlukan hikmah dan kekuatan
argumentasi yang meyakinkan. Oleh karena itu harus dijelaskan padanya bahwa bergabung
dengan sebuah jamaah harus meneliti perjalanan jamaah tersebut. Jangan sampai terburu-
buru untuk menentukan pilihan terhadap sebuah jamaah yang akan dijadikannya sebagai
wahana merealisasikan dasar-dasar Islam.6[6]

BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Dari pembahasan yang telah dipaparkan di atas dapat diambil kesimpulan sebagai
berikut:

Anda mungkin juga menyukai