Anda di halaman 1dari 7

TEKNIK GEMPA

“Mitigasi Bencana dan Merancang


desa yang tangguh bencana”

Disusun Oleh :

WAHYUDI ADZAR
(20160110220)

PROGRAM STUDI TEKNIK SIPIL


FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
2019
Pendahuluan
Bencana merupakan peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam
dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan oleh
faktor alam dan/atau nonalam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan
timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda dan
dampak psikologis (Undang-undang Nomor 24 Tahun 2007). Sehingga
penyelenggaraan penanggulangan bencana seharusnya menggunakan paradigma
pengurangan resiko bencana melalui program mitigasi.
Indonesia memiliki lahan gambut terluas di antara negara tropis,dan
menduduki peringkat ke 4 lahan gambut terluas di dunia. Luas lahan gambut di
Indonesia sendiri mencapai 20,6 juta hektar atau sekitar 10,8% dari daratan di
Indonesia (Wahyunto, 2003). Lahan gambut terluas terletak di pulau Sumatera
yakni 6,4 juta hektar, dengan 60% nya atau sekitar 3,8 juta hektar terletak di
provinsi Riau. Kabupaten Bengkalis merupakan kabupaten atau kota dengan lahan
gambut terluas ke 2 setelah Indragiri Hilir (Haryono, 2011).
Insiden kebakaran hutan dan lahan gambut seolah menjadi isu tahunan
yang melanda Indonesia terutama pada pulau Sumatera dan pulau Kalimantan.
Penyebab dari kebakaran hutan dan lahan gambut ini karena musim kemarau yang
berkepanjangan dan karena perilaku perusahaan maupun individu tidak
bertanggung jawab yang mencoba mencari keuntungan dari lahan gambut.
Setiap tahun berbagai solusi untuk mencegah terjadinya kebakaran lahan
gambut terus dilakukan, namun kerap kali belum mendapatkan hasil yang
diinginkan. Disisi lain kerugian yang ditimbulkan akibat dari kebakaran hutan
dan lahan gambut juga semakin signifikan. Selain itu penanganan setelah terjadi
kebakaran juga lambat dikarenakan berbagai kendala, salah satunya yaitu
manajemen mitigasi bencana yang kurang baik.
1. Mitigasi Bencana Kebakaran Hutan.

Menurut UU No. 24 Tahun 2007, definisi mitigasi adalah serangkaian


upaya untuk mengurangi risiko bencana, baik melalui pembangunan fisik
maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi bencana.
Sedangkan bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang
mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat
yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau faktor non alam maupun
faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia,
kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis.

Gambar 1. Peta Sebaran Titik Api di Kabupaten Begkalis 2013-2016

Dampak dari kebakaran hutan ini sangatlah besar, dari


berkurangnya ekosistem di tempat tersebut sampai mengganggu
kesehatan pernafasan bagi manusia dan seluruh makhluk.
2. Dampak Bencana Polusi Udara Akibat Kebakaran Hutan

Hutan sangat rentan dengan namanya api. Karena api dapat


menghabiskan seluruh kekayaan yang ada didalam hutan, karena semua
orang pernah mengatakan “jangan pernah main-main dengan api karena
api sangat berbahaya apabila disalahgunakan”
Sebagai upaya untuk mengurangi risiko kebakaran pada saat
musim panas, Sebagai upaya untuk mengurangi risiko kebakaran pada saat
musim panas, Pertimbangan penempatan letak posko juga perlu
memperhatikan lokasi padat pemukiman, pos dibangun di lokasi yang
tidak jauh dari pemukiman /tempat kegiatan warga sekitar agar kebutuhan
para satgas seperti makanan, minuman dan kebutuhan pokok lainnya dapat
terpenuhi. Penempatan lokasi pokso tambahan pada penelitian ini
ditujukan di sekitar kantor desa pada wilayah yang tidak terjangkau.
Karena akan lebih mudah untuk melakukan koordinasi dengan perangkat
desa yang sudah mengetahui lokasi dan jalan pada wilayahnya jika terjadi
kebakaran hutan/lahan.

Australia, Amerika Serikat dan Canada dicanangkan suatu


program yang dijalankan di musim semi atau musim dingin yang disebut
dengan fuel treatment. Mengapa istilah ‘fuel’ dan ‘treatment’ dipakai? Di
sini yang bertindak sebagai ‘fuel’ (bahan bakar) pada kebakaran hutan
adalah pohon-pohon atau semak-semak yang ada di hutan itu. Sehingga
jika kita bisa melakukan ‘treatment’ terhadap ‘fuel’ dalam artian
mengurangi jumlah semak-semak atau pepohonan sebelum musim
kebakaran tiba, maka kita bisa mengurangi intensitas kebakaran di musim
panas yang mungkin terjadi. Jadi, harapannya adalah kalaupun terjadi
kebakaran maka intensitasnya tidak begitu besar dan mudah untuk
dipadamkan.

Fuel treatment ini bisa dilakukan dengan dua cara, yang pertama
adalah dengan mechanical thinning (pembabatan), yang kedua adalah
dengan prescribed burning (pembakaran yang direncanakan atau disengaja
atau terkontrol). Tentunya prescribed burning ini harus memenuhi
prosedur sehingga proses tersebut berjalan lancar. Program ini biasanya
dilakukan di saat musim kebakaran sudah selesai. Kondisi lingkungan
seperti kecepatan angin, kelembapan udara, dan temperatur pada saat akan
dilaksanakannya program ini juga harus menjadi perhatian agar api mudah
dikontrol (‘dikawal’) dan hasil yang diinginkan dapat tercapai. Kemajuan
teknologi, seperti prediksi cuaca tentukan akan sangat mendukung
kesuksesan proses perencanaan prescribed burning ini, tetapi para petugas
tetap harus memerhatikan kondisi cuaca. Jika memang ternyata cuaca
berubah, yang semula kondusif menjadi tidak kondusif untuk
dilaksanakan prescribed burning, maka kegiatan ini harus dihentikan demi
keselamatan. Dan yang tak boleh terlupa adalah harus dipastikan bahwa
api harus benar-benar padam pada saat petugas yang menjalankan program
ini meninggalkan lokasi.

Harus diakui bahwa sampai saat ini, program prescribed


burning ini masih menuai pro dan kontra. Pihak yang mendukung program
ini menyatakan bahwa inilah cara mitigasi bencana kebakaran yang tepat
untuk mempersiapkan kejadian kebakaran yang tak mungkin dihindarkan.
Sementara, pihak yang tidak setuju program ini adalah karena menurut
mereka aktivitas prescribed burning ini akan merusak habitat fauna, belum
lagi asap yang ditimbulkan akan merusak kesehatan.

Perlu ditegaskan bahwa prescribed burning bukanlah cara untuk


mencegah kebakaran hutan. Walaupun kita telah mengupayakan agar tidak
terjadi kebakaran hutan, tetap saja api akan kembali lagi dan lagi, karena
memang api adalah bagian dari alam. Program prescribed burning tidak
berupaya untuk memisahkan api dengan alam, tetapi justru ia adalah
intervensi manusia untuk mengembalikan api ke alam, tentunya dengan
cara yang terkontrol. Harus disadari bahwa peran api sangatlah unik dalam
memelihara biodiversitas. Terbukti bahwa untuk daerah semak-semak atau
hutan yang telah dilalap api, flora akan tumbuh dan memulai kehidupan
baru yang lebih sehat, dan seiring dengan waktu berbagai fauna datang
untuk mendiami daerah tersebut.

Sejak program ini dicanangkan dan dijalankan, khususnya di


negara bagian Victoria, Australia, belum ada lagi dan semoga memang
tidak pernah terjadi lagi peristiwa kebakaran hutan sehebat Black
Saturday. Jadi, jika dilakukan dengan optimal, prescribed burning dapat
dengan sangat mungkin memainkan dua peran sekaligus: sebagai upaya
mitigasi bencana, sekaligus mempertahankan biodiversitas.
“Merancang Riau yang tangguh bencana”

Dari pembahasan di atas kita dapat simpulkan apa yang harus di


aplikasikan di provinsi Riau agar tangguh terhadap bencana.
1. Tata guna lahan yang baik.
2. Adanya koordianasi kepada masyarakat agar peduli dengan hutan dan
lingkungan sekitar bencana.
3. Meperkuat kerjasama dengan instansi penanggulangan bencana (SAR).
4. Membuat posko yang ada di dekat daerah rawan kebakaran.
5. Sosialisasi yang diberikan harus sesuai yang di rencanakan.

Gambar 3. Peta Service Area

Anda mungkin juga menyukai