Uas Maternitas Teori
Uas Maternitas Teori
OLEH
Lailatul Fadliyah, SST.,M.Kes.
1
PERSALINAN
PENGERTIAN
1. Suatu proses pengeluaran hasil
konsepsi yang dapat hidup ke dunia
luar dari rahim mll jaln lahir / dgn
jaln lain.
2. Serangkaian kejadian yg berakhir
dgn pengeluaran bayi yg cukup
bulan, disusul dgn pengeluaran
placenta dan selaput janin dari
tubuh ibu.
2
Suatu proses pengeluaran hasil
konsepsi yang dapat hidup dari
dalam uterus mll vagina ke dunia
luar.
3
JENIS-JENIS PERSALINAN
1. Menurut cara persalinan
a. Partus biasa (normal) disebut
partus spontan atau proses lahirnya
bayi pd letak belakang kepala dgn
tenaga ibu sendiri, tanpa bantuan
alat2 serta tdk melukai ibu dan
bayi, umumnya berlangsung < 24
jam.
b. Partus luar biasa (abnormal):
persalinan pervag. Dgn bantuan
alat /mll dinding perut.
4
2. Menurut tua (umur) kehamilan
a. Partus imaturus : penghentian
kehamilan sbl janin viable / BB janin <
1000 gr, kehamilan di bwh 28 mgg.
b. Partus prematurus : persalinan dr hasil
konsepsi pd kehamilan 28-36 mgg, janin
dpt hidup tapi prematur, BB janin antara
1000-2500 gr.
c. Partus maturus / aterm (cukup bln)
partus pd kehamilan 37-40 mgg, janin
matur, BB diatas 2500 gr.
5
d. Partus post maturus (serotinus):
persalinan yg terjadi 2 mgg/ kurang
dari waktu partus yg ditaksir, janin
disebut post matur.
Beberapa Istilah Persalinan:
a. Partus presipitatus: partus yg
berlangsung cepat, bisa tjd dikamar
mandi, diatas kendaraan, dll.
b. Partus percobaan: s/ penilaian
kemajuan persalinan untk
memperoleh bukti ttg ada/ tdknya
disproporsi sefalopelvik.
6
SEBAB-SEBAB PERSALINAN
1) Teori penurunan hormon
2) Teori plasenta menjadi tua
3) Teori distensi rahim
4) Teori iritasi mekanik
5) Induksi partus (induction of labour)
6) Pengaruh janin
7) Teori prostaglandin
8) Teori berkurangnya nutrisi pd janin
7
TANDA-TANDA PERMULAAN PERS.
Lightening/ settling/ dropping, yaitu kapala
turun memasuki PAP terutama
padaprimigravida, pd multi tdk begitu
terlihat.
Perut kelihatan lebih melebar, fundus turun.
banyak.
• Kadang ketuban pecah dgn sendirinya.
ada. 9
Berlangsungnya/ jalannya persalinan
1. Kala I : kala pembukaan
11
FAKTOR2 YG BERPERAN DLM PERS.
13
Letak janin dalam rahim:
1) Letak membujur (longitudinal): letak kepala,
letak sungsang.
2) Letak lintang
3) Letak miring
• Mekanis- masase
• Termis
luas/sempit
vagina, serviks.
Hamil tua ; keadaan panggul, bagian
terdepan janin.
Bila pemeriksaan luar letak janin
tidak dapat ditentukan.
23
SAAT PERSALINAN
Untuk mengetahui keadaan jalan
lahir dan kedudukan janin.
TEHNIK
Penderita tidur terlentang, dengan
kedua kaki terbuka diletakkan diatas
tempat tidur
Masukkan kedua jar (jari tengah
kehamilan tua:
- Dapat meraba bagian terdepan
janin.
- Dapat menilai / memeriksa ukuran
panggul
26
INDIKASI
Pasien baru datang
Ketuban pecah dini
Ada tanda2 pembukaan lengkap
Pasien ingin mengejan
Jika pada palpasi tidak jelas
Jika ada sangkaan kesempitan
panggul/CPD
Jika persalinan tidak maju
27
Akan melakukan tindakan obstetri
operatif
Menentukan nilai skor pelvis
Indikasi sosial untuk menentukan
keadaan kehamilan atau persalinan
sebelum ditinggalkan penolong.
28
TUJUAN VT
Apakah benar masuk fase persalinan
Bila palpasi letak janin tidak jelas
Mengetahui perkiraan jam/waktu
partus
Ada dugaan persalinan normal
29
VT MEMERIKSA
KEADAAN PERINIUM
Kaku, vulva ada tumor, kondiloma,
odem.
KEADAAN SERVIKS
Hodge I,II,III,IV.
POSISI JANIN
KEADAAN PANGGUL
31
32
33
KEHAMILAN
Kehamilan : Dimulai dari konsepsi s.d
lahirnya janin.
Lamanya 280 hari/ 40 mgg/ 9 bln 7 hari
dihitung dari HPHT.
Tujuan asuhan antenatal:
Memantau kemajuan kehamilan ntk
memastikan kesehatan ibu dan tumbang
by.
Meningkatkan dan mempertahankan kesh
fisik, mental dan sosial ibu dan bayi.
34
Mengenali secara dini adanya
ketidaknormalan/ komplikasi yg mungkin
tjd selama hamil, termasuk riwayat peny,
kebidanan/ pembedahan.
Mempersiapkan pers cukup bulan,
melahirkan dgn selamat, ibu & by dgn
trauma seminimal mungkin.
Mempersiapkan ibu agar masa nifas
berjalan normal dan pemberian ASI eklusif
Mempersiapkan peran ibu dan keluarga
dlm menerima kelahiran bayi agar dapt
tumbuh kembang scr normal.
35
Setiap wanita hamil menghadapi resiko
komplikasi yg bisa mengancam jiwanya.
Oleh karena itu setiap wanita hamil
memerlukan sedikitnya 4x kunjungan
selama periode antenatal:
1x kunjungan selama trimester I ( < 14
mgg)
1x kunjungan selama trimester I ( 14-28
mgg)
1x kunjungan selama trimester III (28-36
39
NASIHAT IBU HAMIL
DIET
• Zat yang diperlukan: protein, karbohidrat,
lemak, mineral terutama kalsium, fosfor dan
zat besi, vitamin dan air.
MEROKOK
• Bayi dari ibu perokok cenderung BB lebih kecil.
OBAT2AN
• Dihindari pemakaian obat selama TM I, lebih
besar manfaatnya/ bahayanya.
LINGKUNGAN
• Polusi udara, air, dan makanan. 40
GERAK BADAN
• Kegunaan: sirkulasi darah menjadi baik,
nafsu makan bertambah, pencernaan,
lebih baik dan tidur lebih nyenyak.
• Gerak badan ringan dianjurkan: berdiri –
jongkok, terlentang-kaki diangkat,
terlentang-perut diangkat, melatih
pernafasan.
KERJA
• Boleh bekerja seperti biasa
• Cukup istirahat, makan teratur
• Pemeriksaan hamil yang teratur 41
BEPERGIAN
• Jangan terlalu lama & melelahkan
44
MEMBERIKAN PENERANGAN 7AN:
• MENGHILANGKAN KETIDAK TAHUAN
Memberikan konseling
o Gizi
o Latihan: senam hamil/ aktifitas, istirahat
bila lelah
o Perubahan fisiologis
o Tanda-tanda bahaya:
• Perdarahan pervag
• Sakit kepala lebih dari biasa
48
• Gangguan penglihatan
• Pembengkakan pd wajah / tangan
• Nyeri abdomen /epigastrik
• Janin tdk bergerak spt biasanya.
o Perencanaan dan persiapan kelahiran
bersih dan aman
o Menjaga kebersihan diri
o Perawatan payudara terutama ibu yg
mempunyai putting susu rata
49
Memberikan zat besi 90 tab
Memberi imunisasi TT
Menjadwalkan kunjungan berikutnya
Mendokumentasikan kunjungan tsb.
50
51
52
Persalinan buatan dimana janin dilahirkan
melalui suatu insisi pada dinding perut dan
dinding rahim dengan syarat dinding dalam
keadaan utuh serta berat janin di
atas 500 gram.
FAKTOR IBU
Bayi Terlalu besar
Kelainan Letak Janin
Ancaman Gawat janin (fetal distress)
Janin abnormal
Faktor plasenta
Kelainan tali pusat
Bayi kembar
Usia ibu
Tulang panggul
Faktor hambatan panggul
Kelainan kontraksi uterus
Ketuban pecah dini
A. Sectio Caesarea Abdominalis
Kelebihan :
1) Mengeluarkan janin lebih cepat
2) Tidak mengakibatkan komplikasi kandung kemih tertarik
3) Sayatan bisa diperpanjang proksimal atau distal
Kekurangan :
Kelebihan :
1. Penjahitan luka lebih mudah
2. Penutupan luka dengan reperitonealisasi
3. Tumpang tindih dari peritoneal baik sekali untuk
menahan penyebaran isi uterus ke rongga peritoneum
4. Perdarahan kurang
5. Dibandingkan dengan cara klasik kemungkinan ruptura
uteri spontan kurang/lebih kecil
Kekurangan :
Keluhan pada kandung kemih postoperative tinggi.
Infeksi puerperalis
Perdarahan
Komplikasi : luka pada kandung kencing,
embolisme paru, ruptur uteri
Terjadi ruptur pada kehamilan berikutnya
Persiapan fisik praoperatif : mencukur
rambut pubis, memasang kateter untuk
mengosongkan kandung kemih, dan memberi
obat preoperative sesuai resep.
6/8/2023
1
PENDAHULUAN
6/8/2023
20 – 40 % ibu mengaku adanya gangguan
emosional dan disfungsi kognitif pada periode
pasca melahirkan
Baby blues syndrome → postpartum depression
→ postpartum psychotic
2
DEFINISI
6/8/2023
Baby blues syndrome adalah suatu gangguan
psikologis sementara yang ditandai dengan
memuncaknya emosi (disforia, iritabilitas,
cemas) pada minggu pertama setelah melahirkan
3
EPIDEMIOLOGI
6/8/2023
Studi di luar negeri, angka kejadian baby blues
syndrome cenderung tinggi dan bervariasi (26-
85%)
>50% ibu yang mengalami depresi pada
kehamilan sebelumnya akan menjadi depresi
kembali pada kehamilan selanjutnya
Ibu dengan bayi BBLR 3,64x berpeluang lebih
tinggi mengalami baby blues syndrome daripada
ibu dengan bayi normal
4
ETIOLOGI
6/8/2023
Proses biologis / faktor hormonal, bukan
kesalahan dari ibu atau kepribadian yang lemah
Ketidakseimbangan hormonal
5
PATOFISIOLOGI
6/8/2023
Multifaktorial
Faktor biologis, emosi, sosial dan lingkungan
Partus → perubahan level hormon secara
mendadak → penurunan kadar hormon tiroid →
penurunan reseptor GABAA → gejala sikap
depresi dan gangguan cemas
6
GEJALA KLINIS
6/8/2023
Dipenuhi perasaan kesedihan dan depresi
disertai dengan menangis tanpa sebab
Mudah kesal, tersinggung, dan tidak sabar
Tidak memiliki atau kurang tenaga
Cemas, merasa bersalah dan tidak berharga
Menjadi tidak tertarik dengan bayi atau menjadi
terlalu memperhatikan atau kuatir terhadap
bayinya
Tidak percaya diri
Sulit beristirahat dengan tenang atau tidur lama
Peningkatan BB disertai makan berlebihan
Penurunan BB disertai tidak mau makan 7
6/8/2023
Karakteristik Baby blues Postpartum
syndrome depression
Insiden 30-75% ibu 10-15% ibu
melahirkan melahirkan
Onset 3-5 hari pasca 3-6 bulan pasca
melahirkan melahirkan
Durasi Hari sampai minggu Bulan sampai tahun
jika tidak diobati
Stressor terkait Tidak ada Ada, terutama
kurang dukungan
Pengaruh sosial Tidak ada Ada hubungan yang
budaya kuat
Riw. Gangguan mood Tidak ada Ada
Riw. Gangguan mood Tidak ada Ada 9
pada keluarga
6/8/2023
Karakteristik Baby blues Postpartum
syndrome depression
Rasa sedih Ada Ada
Mood labil Ada Sering pada awalnya
kemudian depresi
secara bertahap
Anhedonia Ada Sering
Gangguan tidur Kadang-kadang Hampir selalu
Keinginan untuk Tidak ada Kadang-kadang
bunuh diri
Keinginan untuk Jarang Sering
menyakiti bayi
Rasa bersalah dan Tidak ada, jika ada Ada dan biasanya
ketidakmampuan pun ringan berat 10
6/8/2023
11
DIAGNOSIS
6/8/2023
Anamnesis
Semua wanita pasca melahirkan
Perubahan sikap dan kondisi emosional umumnya 14
hari pertama pasca melahirkan
Adanya perasaan cemas, khawatir berlebihan, sedih,
dan sering menangis tanpa sebab jelas
Adanya perasaan putus asa, ketidakmampuan dalam
mengurus anak, dan rasa bersalah
Jika gejala menetap >2 minggu dipikirkan
kemungkinan postpartum depression
12
KRITERIA DIAGNOSIS
6/8/2023
Bedasarkan “Diagnostic and statistical manual of
mental disorder IV (DSM IV)” baby blues
syndrome dikategorikan dalam major
depression/depresi berat
Gejala berupa kesedihan, disforia, dan sering
menangis. Puncak emosi hari ke4-5 dan kembali
normal hari ke 10
6/8/2023
16
PENATALAKSANAAN
6/8/2023
Tidak ada perawatan yang khusus
Dukungan dan empati dari keluarga dan staf
kesehatan
Konsultasi kejiwaan umumnya tidak diperlukan
17
KESIMPULAN
6/8/2023
1. Baby blues syndrome adalah fenomena ringan
dan sementara ditandai perasaan menangis,
lelah, cemas, perubahan suasana hati yang
terjadi selama hari-hari pertama masa nifas
2. Baby blues perlu dibedakan dengan postpartum
depression dan postpartum psychotic
3. Etiologi dari baby blues tidak diketahui secara
pasti, hanya terdapat faktor-faktor risiko
4. Tidak ada perawatan khusus untuk baby blues,
empati dan dukungan dari keluarga dan staf
kesehatan mutlak diperlukan
18
DAFTAR PUSTAKA
1. Sadock, Benjamin J. Buku ajar psikiatri klinis, edisi 2. Jakarta: EGC;2010.p.398-99
6/8/2023
2. Sadock B J. Kaplan & sadock’s comprehensive textbook of psychiatry. 7th edition. New
York: Lippincott Williams & Wilkins;2007
3. Ryan D. Psychiatric disorders in the postpartum period. BC Medical Journal;2005.p.3
4. Sadock B J. Kaplan & sadock’s synopsis of psychiatry: behavioral sciences/clinical
psychiatry, 10th edition. New York: Lippincot Williams & Wilkins;2007
5. Buttner, Melissa M, et al. The structure of women’s mood in the early postpartum.
Assessment;2012.p.247
6. Cunningham, Gary F, et al. Obstetri Williams edisi 23. Jakarta: EGC;2013
7. Rosario D, Genevieve A. Postpartum depression: symptoms, diagnosis, and treatment
approaches. JAAPA;2013.p.50-4
8. Cox J L, Holden J M. Detection of postnatal depression: development of the postnatal
depression scale. Edinburgh;2013
19
6/8/2023
TERIMA KASIH
TUHAN MEMBERKATI
20
ASKEP HPP
EMULIANA SULPAT
HEMORAGIK POST PARTUM (HPP)
Perdarahan yang melebihi 500 cc segera setelah lahir
• Perubahan kondisi ibu, tanda-tanda vital, Hb <8 gr%
6. HIV-AIDS
Tipe : Viral (Human Immunodeficiency Virus)
7. Herpes
Tipe : Viral (virus Varicella zoster dan herpes simplex virus )
Kistoma Ovarii
Kista Dermoid
Simpleks
ETIOLOGI
Penyebab dari kista belum diketahui secara
pasti tapi ada beberapa factor pemicu yaitu :
Faktor genetik
PATHOFISIOLOGI
Radiotherapy
Operatif
Keluhan Utam
I. Pengkajian Riwayat Kesehatan Sekarang
1. Identitas Riwayat Menstruasi
Kepala
Identitas Abdomen
RiwayatKlien
Obstetri
Mata Keluarga
Riwayat Genitalia
Berencana
HidungPenyakit
Riwayat
Identitas Penanggung Eksterna
jawab
Dahulu
2. Riwayat Kesehatan
Mulut pernikahan
Riwayat Anus
3. Pemeriksaan Fisik Riwayat
Telinga seksualEktremitas
Riwayat kesehatan Keluarga
Leher
Pre operasi : Kaji hemoglobin,
4. Pemeriksaan Penunjang Pola kebiasaan sehari – hari (
Daerah
Pembekuan darah dan USG
Virginia Henderson)
dada penggunaan zat
Riwayat
Riwayat sosial ekonomi
Riwayat psiko sosial dan spiritual
Analisa Data
0 Karsinoma In Situ Lesi terbatas pada lapisan epitel, tidak ada bukti invasi
I Karsinoma hanya berada pada servix Ukuran tidak menjadi kriteria
IA Mikroinvasif
IB Secara klinis jelas merupakan CA tahap I
II Kanker Vagina Lesi menyebar keluar servix hingga mengenai vagina atau area para servikal pada
salah satu sisi atau keduanya
III Kanker mengenai 1/3 bagian bawah Penyakit nodus linfe yang teraba tidak rata pada dinding pelvis, urogram IV menunjukan
vagina, sudah meluas ke salah satu salah satu atau kedua ureter obstruksi o/k pembesaran tumor
atau kedua dinding pelvis
Cara
Pemeriksaan IVA ( inspeksi Visual Acetat) test yaitu Pemeriksaan sitology dari hapusan sel-sel servix
pemeriksaan teknik IVA menggunakan spekulum Teknik dan persiapan pasien:
untuk melihat serviks yang telah dipulas dengan -pemeriksaan dilakukan pada saat haid
asam asetat 3-5%
- Pasientidak boleh melakukan hubungan sexual 1-2 hari
kategori hasil yang digunakan adalah: sebelum pemeriksaan
◦ • IVA negatif = Serviks normal. - Dilakukan dengan paien berada pada posisi litotomi kemudian
membuka servix memakai speculum dan mengambil kerokan
◦ • IVA radang = Serviks dengan radang (servisitis), sel servix
atau kelainan jinak lainnya (polip serviks).
◦ • IVA positif = ditemukan bercak putih (aceto
white epithelium). Kelompok ini yang menjadi
◦ Kolposkopi, pemeriksaan visual untuk melihat kondisi leher
sasaran temuan skrining kanker serviks dengan servix sampai dengan bagian dalam servix disertai biopsy
metode IVA karena temuan ini mengarah pada jaringan
diagnosis Serviks-pra kanker (dispalsia ringan-
◦ MRI
sedang-berat atau kanker serviks in situ).
◦ CT ccan abdomen
◦ • IVA- Kanker serviks Pada tahap ini pun, untuk
upaya penurunan temuan stadium kanker serviks,
masih akan bermanfaat bagi penurunan
kematian akibat kanker serviks bila ditemukan
masih pada stadium invasif dini.
Pencegahan
◦ Hindari hubungan sexual yang beresiko
◦ Lakukan screening/penapisan kesehatan reproduksi secara
berkala, khususnya IVA tes
◦ Melakukan vaksinasi HPV
◦ Tingkatkan imunitas dengan nutrisi sehat dan pola hidup
sehat
Penatalaksanaan
◦ Adanya tumor In Situ dapat dilakukan krioterapi (
pembekuan) atau terapi laser
◦ Adanya lesi pra malignan dilakukan histerektomi
◦ Eksenterasi pelvis dilakukan jika ada kekambuhan CA servix
( tindakan invasive ini mengangkat seluruh oragan panggul
tdd; uterus,vagina, kandung kemih, kolon dan nodus limfe.
◦ Radiasi
◦ Kemoterapi
Konsep Keperawatan
1. PENGKAJIAN
a. ANAMNESE
Identitas pasien, keluhan pasien
riwayat penyakit dahulu dan sekarang
Identifikasi pola hidup yang beresiko ( menikah usia dini, multipara. Berganti-gsnti pasangan,
dll)
Identifikasi riwayat keluarga yang menderita CA
Identifikasi paparan zat-zat kimia dan karsinogenik
identifikasi sistem dukunga yang dimiliki
Identifikasi konsep diri , psikososial
b. PEMERIKSAAN FISIKPEMERIKSAAN FISIK
Adanya massa intra abdomen, adanya discharge vagina, adanya pembesaran nodus limfe
inguinal. Adanya oedema tungkai dll
b. Pemeriksaan penunjang
Diagnosis keperawatan
1.Ansietas
2.Nyeri kronis
3.Gangguan body image
4.Perubahan peran
5.Kurang pengetahuan
6.Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
Perencanaan
◦Berikan kebutuhan edukasi pasien; tentang konsep
penyakit dan tindakan secara sederhan
◦Beri dukungan emosional ke pasien
◦Berikan lingkungan nyaman bagi pasien
◦Managemen nyeri
◦Kolaborasi dengan dokter untuk terapi dan tindakan
◦Observasi keluhan pasien, TTV
◦ kolaborasi dengan ahli gizi untuk diit pasien dan tim
kesehatan lainnya
Implementasi dan evaluasi
◦Merujuk kepada nursing outcome yang
ditegakan perawat pada setiap diagnosis
keperawatan.
Carsinoma adalah massa jaringan
abnormal dengan pertumbuhan
berlebihan dan tidak ada koordinasi
dengan sel normal (Wills, 1995).
Tumor ganas yang tumbuh di dalam
jaringan payudara (kelenjar susu, saluran
susu, jaringan lemak, jaringan ikat pada
payudara) (Wijaya, 2005) dan (Medicastore,
2011)
Sekelompok sel tidak normal pada
payudara yang terus tumbuh
gandabenjolan kanker di
payudaratidak terkontrol mestastase
bagian tubuh lain (kelenjar getah bening
ketiak,diatas tulang belikat, bersarang di
tulang, paru-paru, hati, kulit, dan bawah
kulit). (Erik T, 2005)
Neoplasma ganas dengan pertumbuhan
jaringan mammae abnormal yang tidak
memandang jaringan sekitarnya, tumbuh
infiltrasi dan destruktif dapat
bermetastase ( Soeharto Resko Prodjo,
1995).
Fase Inisiasi
Terjadi perubahan dalam genetik sel
yang memancing sel menjadi
ganaskarsinogen (bahan kimia, virus, radiasi
/penyinaran, sinar matahari).
sel peka karsinogen.
kelainan genetik dalam sel atau bahan lainnya,
gangguan fisik menahun sel lebih rentan
terhadap karsinogen lebih peka mengalami
keganasan.
Fase Promosi
sel yang telah mengalami inisiasi akan berubah
menjadi ganas.
Sebab-sebab keganasan belum diketahui
secara pasti (Price & Wilson, 1995: 1142)
Ada beberapa teori penyebab
terjadinya Ca mammae:
Mekanisme hormonal
Virus
Genetik
Defisiensi imun
(Murray,2002)
1. wanita
2. Usia (meningkat pada wanita > 50
tahun)
3. mutasi gen
4. Riwayat ca mammae
5. riwayat Ca keluarga
6. Ras
7. Riwayat penyinaran/roentgen daerah
dada sebagai terapi untuk karsinoma yang
lain
Hasil biopsi mammae: hyperplasia,
proliperatif mammae
Nullipara
Hamil pertama sesudah usia 30 tahun
Menarche dini (usia < 12 tahun)
Menopause pada usia lanjut (30 tahun
sesudah menarche)
Penggunaan terapi hormone progesteron
Gaya hidup, diet tinggi lemak dan
protein, rendah serat.
Karsinoma duktal menginflitrasi
75 % dari semua jenis kanker payudara.
Kanker ini sangat jelas karena keras saat
palpasi.
biasanya bermetastasis ke nodus aksila.
Prognosisnya lebih buruk dibanding
dengan tipe kanker lainnya.
biasanya menyebar ke tulang, paru,
hepar dan otak
Karsinoma lobular menginfiltrasi
jarang terjadi
Multisentris
bermetastasis ke permukaan meningeal
atau tempat-tempat yang tidak lazim
lainnya.
Karsinoma modular (6 %)
tumbuh dalam kapsul, dapat menjadi besar
tetapi meluas dengan lambat, sehingga
prognosis seringkali lebih baik.
Karsinoma musinus (3 %)
tumbuh dengan lambat.
Karsinoma duktal-tubular (2%)
Tidak bermetastasis aksilaris, prognosisnya
baik
Karsinoma inflamantori (1-2 %)
menimbulkan gejala-gejala yang berbeda:
nyeri tekan dan sangat nyeri, mammae
secara abnormal keras dan membesar.
Kulit diatas tumor merah dan agak hitam.
Sering terjadi edema dan retraksi papilla
mammae.
Preparat kemotherapi, radiasi dan
pembedahan berperan dalam
pengendalian ca.
T: TX, TIS , TO, T1 (< 2 cm), T2 (2-5 cm),
T3 (>5 cm), T4 (penyebaran langsung ke
dinding toraks: iga, otot interkostal.
N: NX, NO, N1(teraba kelenjer aksila
tidak melekat), N2 (kelenjer aksila
melekat satu sama lain atau melekat
pada jaringan sekitarnya), N3 (terdapat
kelenjer mamaria internal)
M: MX, MO, M1(metastasis jauh sampai
ke kelenjer supraklavikular)
Tanda dini
– Benjolan tunggal tanpa yang agak keras dengan batas kurang
jelas
– Benjolan biasanya terjadi pada mammae sebelah kiri bagian
kuadran lateral atas.
– Kelainan mammogrfi tanpa kelainan pada palpasi
Tanda lama
– Retraksi kulit / retraksi areola
– Retraksi atau inversi putting
– Pengecilan mammae ( pengerutan)
– Pembesaran mammae
– Kemerahan
– Edema
– Fiksasi pada kulit atau dinding thorak
Tanda akhir
– Tukak
– Kelenjer supraklavikula dapat diraba
– Metastasis tulang, paru, hati, otak, pleura/tempat lain
Tahap I : tumor < 2 cm, tidak mengenai
nodus limfe, tidak terdeteksi adanya
metastasis
Tahap II : tumor > 2cm tetapi < 5 cm, dengan
nodus limfe tidak terfiksasi positif atau
negatif dan tidak terdeteksi adanya
metastasis.
Tahap III : tumor > 5 cm, menginvasi kulit atau
dinding, dengan nodus limfe terfiksasi positif
dalam area klavikular dan tanpa bukti adanya
metastasis jauh
Tahap IV : terjadi metastasis jauh.
Bedah kuratif
Bedah kuratif didasarkan pada stadium klinis Ca
mammae, karakteristik histologik tumor,
pertimbagan lain seperti umur dan status kesehatan
Bedah kuratif ini terdiri dari :
a. Bedah radikal (Halsted)
b. Bedah radikal yang diubah (Patey)
c. Bedah konservatif meliputi eksisi luas, diseksi
aksila dan penyinaran mammae
Radioterapi
digunakan pada terapi kuratif dengan
mempertahankan mammae dan sebagai terapi
tambahan atau terapi paliatif.
Kemoterapi
diberikan bila ditemukan metastasis disebuah
atau beberapa kelenjar pada pemeriksaan
histology pascabedah mastektomi. Tujuannya
untuk menghancurkan mikrometastasis dalam
tubuh
Terapi hormonal
Indikasi : bila penyakit telah sistemik, metastasis
jauh, biasanya diberikan sebelum kemoterapi.
Terapi estrogen Bloker reseptor estrogen
positif (pertumbuhan tumor / karsinoma
distimulasi oleh estrogen).
Imunoterapi
Trastuzumab (Herceptin)menghambat efek
protein yang merangsang pertumbuhan sel
kanker.
Scan (mis, MRI, CT, gallium) dan
ultrasound.
biopsi : untuk mendiagnosis
adanya BRCA1 dan BRCA2
Mammografi
sinar X dada
Ansietas
berhubungan dengan diagnosa
kanker payudara,, pengobatan dan
prognosisnya.
Tujuan : Penurunan stress emosional,
ketakutan dan ansietas.
lakukan persiapan emosional klien dan
pasangannya secepatnya setelah diinforamsikan
tentang diagnosa
Kaji pengalaman pribadi,dan pengetahuan
tentang kanker payudara, mekanisme koping
saat krisis, sistem pendukung dan perasaan
mengenai diagnosa.
Informasikan klien tentang pengobatan kanker
peyudara.
Uraikan pengalaman – pengalaman yang akan
dialami klien dan dorong klien untuk
mengajukan pertanyaan.
Lengkapi klien dengan sumber – sumber yang
tersedia untuk memfasilitasi penyembuhan.
Kaji Faktor-faktor yang mempengaruhi prilaku
dan kemampuan klien menghadapi diagnosa,
pembedahan, dan pengobatan tindak lanjut.
616. 979.2
Ind
p
PEDOMAN NASIONAL
PENCEGAHAN PENULARAN HIV
DARI IBU KE ANAK
(PPIA)
KATA PENGANTAR
Salah satu faktor risko penularan HIV (Human Immunodeficiency Virus) adalah
penularan dari ibu pengidap HIV kepada anak, baik selama kehamilan, persalinan
maupun selama menyusui. Hingga saat ini kejadian penularan dari ibu ke anak sudah
mencapai 2,6 persen dari seluruh kasus HIV-AIDS yang dilaporkan di Indonesia.
Upaya untuk mencegah terjadinya penularan HIV dari ibu ke anak adalah dengan
melaksanakan kegiatan 4 prong yang merujuk pada rekomendasi WHO tahun 2010,
dimana pada dasarnya semua ibu hamil ditawarkan tes HIV, pemberian antiretroviral
(ARV) pada ibu hamil HIV positif, pemilihan kontrasepsi yang sesuai untuk perempuan
HIV positif, pemilihan persalinan aman untuk ibu hamil HIV positif, dan pemberian
makanan terbaik bagi bayi yang lahir dari ibu HIV positif.
Pedoman Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Anak ini merupakan revisi dari
Pedoman Nasional Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Bayi tahun 2006. Pedoman
ini diterbitkan sebagai salah satu upaya Kementerian Kesehatan dalam pengendalian
HIV-AIDS di Indonesia, khususnya dalam pencegahan penularan HIV dari ibu ke
anak.
Terima kasih dan penghargaan kami sampaikan kepada semua pihak atas segala
bantuan yang telah diberikan, sehingga Pedoman Pencegahan Penularan HIV dari Ibu
ke Anak ini dapat dimanfaatkan dengan baik.
i
PEDOMAN PENCEGAHAN PENULARAN HIV DARI IBU KE ANAK
ii
PEDOMAN PENCEGAHAN PENULARAN HIV DARI IBU KE ANAK
SAMBUTAN
Dalam upaya menurunkan kematian ibu dan melahirkan generasi yang berkualitas
sebagaimana diamanatkan dalam UU Kesehatan nomor 36 tahun 2009, maka
pelayanan antenatal merupakan pelayanan yang sangat penting. Saat ini cakupan
paelayanan antenatal K1 (akses) sudah cukup tinggi yaitu 92,7% (Riskesdas 2010).
Namun cakupan pelayanan antenatal K4 (kualitas) baru mencapai 61,4%, artinya masih
banyak ibu hamil yang belum mendapatkan pelayanan antenatal yang berkualitas.
Salah satu tujuan pelayanan antenatal yang berkualitas adalah untuk mencegah dan
mendeteksi dini terjadinya masalah/penyakit yang diderita ibu hamil maupun janinnya
yang dapat berdam pak negatif terhadap kesehatan ibu dan janinnya, salah satunya
adalah infeksi HIV pada ibu hamil.
Sejak tahun 2000 Indonesia memasuki klasifikasi endemi terkonsentrasi untuk infeksi
HIV. Sampai saat ini penderita HIV-AIDS telah dilaporkan oleh 341 Kabupaten/Kota
dari 497 Kabupaten/Kota di 33 Provinsi. Seiring dengan meningkatnya proporsi HIV
pada perempuan (28%), terjadi peningkatan jumlah kumulatif AIDS pada ibu rumah
tangga dari 172 orang pada tahun 2004 menjadi 3368 orang sampai bulan Juni
2012. Begitu juga jumlah kumulatif anak dengan AIDS yang tertular HIV dari ibunya
meningkat dari 48 orang pada tahun 2004 menjadi 912 sampai bulan Juni 2012.
(Data Ditjen P2PL. 2012).
Sejauh ini, fasilitas pelayanan untuk Pencegahan Penularan HIV dari ibu ke anak
(PPIA) masih jauh dari memadai. Data bulan Juni tahun 2012, menunjukkan baru
ada 94 fasilitas pelayanan kesehatan (85 Rumah Sakit dan 9 Puskesmas) yang
menyelenggarakan pelayanan PPIA; demikian pula untuk cakupan pelayanannya masih
rendah, yakni baru mencakup 28.314 ibu hamil yang dilakukan konseling dan tes
HIV dimana 812 diantaranya positif, sementara ibu hamil yang mendapatkan ARV
berjumlah 685 orang dan jumlah bayi yang mendapatkan ARV profilaksis sebanyak 752
orang. (Data Ditjen P2PL, Januari-September 2012). Berkaitan dengan permasalahan
diatas, maka program PPIA merupakan hal yang tidak bisa ditunda lagi kalau kita tidak
ingin kehilangan generasi karena terinfeksi HIV.
iii
PEDOMAN PENCEGAHAN PENULARAN HIV DARI IBU KE ANAK
tingkat Provinsi dan Kabupaten/Kota dan peningkatan kemampuan klinis melalui TOT
fasilitator dan pelatihan bagi petugas kesehatan.
Dengan di terbitkannya Pedoman Nasional Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Anak,
diharapkan menjadi acuan penyelenggaraan pelayanan PPIA bagi pengelola program
di tingkat Provinsi dan Kabupaten/Kota serta petugas kesehatan di fasilitas pelayanan
kesehatan. Semoga pedoman ini bermanfaat dalam mendukung upaya Pencegahan
Penularan HIV-AIDS dari Ibu ke Anak.
iv
PEDOMAN PENCEGAHAN PENULARAN HIV DARI IBU KE ANAK
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR .................................................................................... i
SAMBUTAN ............................................................................................... iii
DAFTAR ISI ............................................................................................... v
DAFTAR SINGKATAN DAN ISTILAH ............................................................ vii
BAB I PENDAHULUAN............................................................................... 1
A. Latar Belakang ......................................................................... 1
B. Infeksi HIV, Sifilis dan Penyakit IMS lainnya................................ 4
C. Kebijakan dan Strategi Implementasi Kegiatan PPIA
Komprehensif ........................................................................... 5
D. Tujuan Pedoman Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Anak ...... 7
E. Sasaran ................................................................................... 8
BAB II PENULARAN HIV DARI IBU KE ANAK.............................................. 9
A. Informasi Dasar HIV .................................................................. 9
B. Perjalanan Infeksi HIV ............................................................... 9
C. Cara Penularan HIV ................................................................... 10
D. Faktor yang berperan dalam penularan HIV dari ibu ke anak ......... 11
E. Waktu dan Risiko Penularan HIV dari Ibu ke Anak ....................... 13
BAB III PENCEGAHAN PENULARAN HIV DARI IBU KE ANAK ...................... 15
A. Prong 1: Pencegahan penularan HIV pada perempuan
usia reproduksi ......................................................................... 15
B. Prong 2: Pencegahan kehamilan yang tidak direncanakan
pada perempuan dengan HIV ..................................................... 18
C. Prong 3: Pencegahan penularan HIV dari ibu hamil dengan
HIV ke bayi yang dikandungnya ................................................. 19
D. Prong 4: Pemberian Dukungan Psikologis, Sosial dan Perawatan
kepada Ibu dengan HIV beserta Anak dan Keluarganya ................ 30
BAB IV JEJARING PPIA ............................................................................. 33
BAB V MONITORING DAN EVALUASI PPIA ................................................ 37
A. Monitoring Evaluasi dan Penjaminan Mutu Layanan ..................... 37
B. Pelaporan ................................................................................ 37
BAB VI PENUTUP ..................................................................................... 39
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 41
v
PEDOMAN PENCEGAHAN PENULARAN HIV DARI IBU KE ANAK
LAMPIRAN ............................................................................................... 43
LAMPIRAN 1. KEGIATAN PPIA KOMPREHENSIF .............................. 45
LAMPIRAN 2. STADIUM INFEKSI HIV ............................................. 48
TIM PENYUSUN ...................................................................................... 51
vi
PEDOMAN PENCEGAHAN PENULARAN HIV DARI IBU KE ANAK
DAFTAR SINGKATAN
vii
PEDOMAN PENCEGAHAN PENULARAN HIV DARI IBU KE ANAK
viii
PEDOMAN PENCEGAHAN PENULARAN HIV DARI IBU KE ANAK
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Laporan Epidemi HIV Global UNAIDS 2012 menunjukkan bahwa terdapat 34 juta
orang dengan HIV di seluruh dunia. Sebanyak 50% di antaranya adalah perempuan
dan 2,1 juta anak berusia kurang dari 15 tahun. Di Asia Selatan dan Tenggara, terdapat
kurang lebih 4 juta orang dengan HIV dan AIDS. Menurut Laporan Progres HIV-AIDS
WHO Regional SEARO (2011) sekitar 1,3 juta orang (37%) perempuan terinfeksi HIV.
Jumlah perempuan yang terinfeksi HIV dari tahun ke tahun semakin meningkat, seiring
dengan meningkatnya jumlah laki-laki yang melakukan hubungan seksual tidak aman,
yang selanjutnya akan menularkan pada pasangan seksualnya.
Program Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Anak (PPIA) telah terbukti sebagai
intervensi yang sangat efektif untuk mencegah penularan HIV dari ibu ke anak.
Di negara maju risiko anak tertular HIV dari ibu dapat ditekan hingga kurang dari
2% karena tersedianya intervensi PPIA dengan layanan optimal. Namun di negara
berkembang atau negara miskin, dengan minimnya akses intervensi, risiko penularan
masih berkisar antara 20% dan 50%.
1
PEDOMAN PENCEGAHAN PENULARAN HIV DARI IBU KE ANAK
satu alasan meningkatnya cakupan tes HIV dan terapi ARV pada ibu hamil adalah
meningkatnya tes HIV dan konseling atas inisiasi petugas (KTIP/PITC) di layanan
antenatal dan persalinan, dan layanan kesehatan lainnya.
Di Indonesia, infeksi HIV merupakan salah satu masalah kesehatan utama dan salah
satu penyakit menular yang dapat mempengaruhi kematian ibu dan anak.Human
Immunodeficiency Virus (HIV) telah ada di Indonesia sejak kasus pertama ditemukan
tahun 1987.Sampai saat ini kasus HIV-AIDS telah dilaporkan oleh 341 dari 497
kabupaten/kota di 33 provinsi. Selain itu, Indonesia adalah salah satu negara di dunia
dengan estimasi peningkatan insidens rate infeksi HIV lebih dari 25% (UNAIDS, 2012)
dan merupakan negara dengan tingkat epidemi HIV terkonsentrasi, karena terdapat
beberapa daerah dengan prevalensi HIV lebih dari 5% pada subpopulasi tertentu, dan
prevalensi HIV 2,4% pada populasi umum 15-49 tahun terjadi di Provinsi Papua dan
Papua Barat. Kementerian Kesehatan memperkirakan, pada tahun 2016 Indonesia
akan mempunyai hampir dua kali jumlah orang yang hidup dengan HIV dan AIDS
dewasa dan anak (812.798 orang) dibandingkan pada tahun 2008 (411.543 orang),
bila upaya penanggulangan HIV dan AIDS yang dilaksanakan tidak adekuat sampai
kurun waktu tersebut (Laporan Pemodelan Matematika epidemi HIV di Indonesia,
Kemkes, 2012).
450
400
Estimasi jumlah infeksi baru HIV (x 1000)
350
300
250
SEAR
200
150
India
Thailand
100
50 Indonesia
Myanmar
Nepal
0
1990 1992 1994 1996 1998 2000 2002 2004 2006 2008 2009
Data Kementerian Kesehatan (2011) menunjukkan dari 21.103 ibu hamil yang
menjalani tes HIV, 534 (2,5%) di antaranya positif terinfeksi HIV. Hasil Pemodelan
Matematika Epidemi HIV Kementerian Kesehatan tahun 2012 menunjukkan prevalensi
HIV pada populasi usia 15-49 tahun dan prevalensi HIV pada ibu hamil di Indonesia
2
PEDOMAN PENCEGAHAN PENULARAN HIV DARI IBU KE ANAK
Penularan HIV dari ibu yang terinfeksi HIV ke bayinya juga cenderung meningkat seiring
dengan meningkatnya jumlah perempuan HIV positif yang tertular baik dari pasangan
maupun akibat perilaku yang berisiko. Meskipun angka prevalensi dan penularan
HIV dari ibu ke bayi masih terbatas, jumlah ibu hamil yang terinfeksi HIV cenderung
meningkat. Prevalensi HIV pada ibu hamil diproyeksikan meningkat dari 0,38% (2012)
menjadi 0,49% (2016), dan jumlah ibu hamil HIV positif yang memerlukan layanan
PPIA juga akan meningkat dari 13.189 orang pada tahun 2012 menjadi 16.191
orang pada tahun 2016 (Gambar 2). Demikian pula jumlah anak berusia di bawah 15
tahun yang tertular HIV dari ibunya pada saat dilahirkan ataupun saat menyusui akan
meningkat dari 4.361 (2012) menjadi 5.565 (2016), yang berarti terjadi peningkatan
angka kematian anak akibat AIDS.
30000 12
10.11
9.57
25000 9.04 10
8.49
7.95
20000 18872 19636 8
17807
16735
15517
15000 6
13189 14225 15136 15965 16691
10000 4
5000 2
1048 1208 1368 1528 1688
0 0
2012 2013 2014 2015 2016
3
PEDOMAN PENCEGAHAN PENULARAN HIV DARI IBU KE ANAK
Laporan Kasus HIV dan AIDS Kementerian Kesehatan RI tahun 2011 menunjukkan
cara penularan tertinggi terjadi akibat hubungan seksual beresiko, diikuti penggunaan
jarum suntik tidak steril pada penasun; dengan jumlah pengidap AIDS terbanyak pada
kategori pekerjaan ibu rumah tangga. Hal ini juga terlihat dari proporsi jumlah kasus
HIV pada perempuan meningkat dari 34% (2008) menjadi 44% (2011), selain itu juga
terdapat peningkatan HIV dan AIDS yang ditularkan dari ibu HIV positif ke bayinya.
Jumlah kasus HIV pada anak 0-4 tahun meningkat dari 1,8% (2010) menjadi 2,6%
(2011)
Sebagian besar infeksi HIV dapat dicegah dengan upaya pencegahan penularan dari
ibu-ke-anak yang komprehensif dan efektif di fasilitas pelayanan kesehatan. Upaya
pencegahan penularan HIV dari ibu ke anak yang komprehensif meliputi empat pilar
atau komponen, yang dikenal sebagai “prong”.
Upaya pencegahan penularan HIV dari ibu ke anak telah dilaksanakan di Indonesia
sejak tahun 2004, khususnya di daerah dengan tingkat epidemi HIV tinggi. Namun,
hingga akhir tahun 2011 baru terdapat 94 layanan PPIA (Kemkes, 2011), yang baru
menjangkau sekitar 7% dari perkiraan jumlah ibu yang memerlukan layanan PPIA.
Program PPIA juga telah dilaksanakan oleh beberapa lembaga masyarakat khususnya
untuk penjangkauan dan perluasan akses layanan bagi masyarakat. Agar penularan
HIV dari ibu ke anak dapat dikendalikan, diperlukan peningkatan akses program dan
pelayanan PPIA yang diintegrasikan ke dalam kegiatan pelayanan kesehatan ibu dan
anak (KIA), keluarga berencana (KB), serta kesehatan remaja (PKPR) di setiap jenjang
fasilitas layanan kesehatan dasar dan rujukan. Layanan PPIA terintegrasi merupakan
juga bagian dari Layanan Komprehensif Berkesinambungan (LKB) HIV-AIDS.
Sifilis pada ibu hamil akan menyebabkan sifilis kongenital. Di Asia-Pasifik sifilis
kongenital dapat menyebabkan kematian janin dan neonatus pada 69% dari kehamilan
dengan sifilis. Setiap tahun diperkirakan 600.000 ibu hamil seropositif sifilis. Data
WHO (2003), termasuk hasil serosurvei di Indonesia, menunjukkan 0,8% dari 395 ibu
hamil yang diperiksa terinfeksi sifilis.
4
PEDOMAN PENCEGAHAN PENULARAN HIV DARI IBU KE ANAK
Mencegah dan mengobati IMS dapat mengurangi risiko penularan HIV melalui hubungan
seks. Adanya IMS dalam bentuk ulserasi ataupun inflamasi akan meningkatkan risiko
masuknya infeksi HIV saat melakukan hubungan seks tanpa pelindung antara seorang
yang sudah menderita IMS dengan pasangannya yang belum tertular. Gejala IMS pada
wanita merupakan tanda untuk menawarkan tes HIV pada klien.
Pencegahan penularan HIV, penyakit IMS dan sifilis dari ibu ke bayi mempunyai
kelompok sasaran dan penyedia layanan yang sama, yaitu perempuan usia reproduksi,
ibu hamil dan layanan KIA/KB, kesehatan reproduksi dan kesehatan remaja. Untuk
itu upaya pencegahan penularan HIV dan sifilis serta penyakit IMS lainnya dari ibu ke
anak akan dilaksanakan secara terintegrasi di layanan KIA, KB, kesehatan reproduksi
dan remaja secara terpadu di pelayanan dasar dan rujukan menuju eliminasi penularan
HIV dan sifilis dari ibu ke anak.
1. Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Anak dilaksanakan oleh seluruh fasilitas
pelayanan kesehatan baik pemerintah maupun swasta sebagai bagian dari Layanan
Komprehensif Berkesinambungan dan menitikberatkan pada upaya promotif dan
preventif.
2. Pencegahan penularan HIV dari ibu ke anak diprioritaskan pada daerah dengan
epidemi HIV meluas dan terkonsentrasi, sedangkan upaya pencegahan IMS dan
eliminasi sifilis kongenital dapat dilaksanakan di seluruh fasilitas pelayanan
kesehatan dasar dan rujukan tanpa melihat tingkat epidemi HIV.
3. Memaksimalkan kesempatan tes HIV dan sifilis bagi perempuan usia reproduksi
(seksual aktif), ibu hamil dan pasangannya dengan penyediaan tes diagnosis cepat
HIV dan sifilis; memperkuat jejaring rujukan layanan HIV dan IMS (termasuk
akses pengobatan ARV); dan pengintegrasian kegiatan PPIA ke layanan KIA, KB,
kesehatan reproduksi, dan kesehatan remaja.
5
PEDOMAN PENCEGAHAN PENULARAN HIV DARI IBU KE ANAK
1. Semua perempuan yang datang ke pelayanan KIA, KB, dan kesehatan reproduksi,
dan kesehatan remaja bisa mendapatkan informasi terkait reproduksi sehat,
penyakit IMS/ HIV, dan pencegahan penularan HIV dari ibu ke anak selama masa
kehamilan dan menyusui.
2. Tes HIV, skrining IMS dan tes sifilis merupakan pemeriksaan yang wajib ditawarkan
kepada semua ibu hamil pada daerah epidemi HIV meluas dan terkonsentrasi
yang datang ke layanan KIA/KB. Di layanan KIA tes HIV, skrining IMS dan tes
sifilis ditawarkan sebagai bagian dari paket perawatan antenatal terpadu mulai
kunjungan antenatal pertama hingga menjelang persalinan. Apabila ibu menolak
untuk dites HIV, petugas dapat melaksanakan konseling pra-tes HIV atau merujuk
ke layanan konseling dan testing sukarela.
3. Konseling pasca tes bagi ibu yang hasil tesnya positif sedapatnya dilaksanakan
bersamaan (couple conselling), termasuk pemberian kondom sebagai alat
pencegahan penularan IMS dan HIV di fasilitas pelayanan kesehatan.
4. Perlu partisipasi laki-laki dalam mendukung keberhasilan PPIA.
6
PEDOMAN PENCEGAHAN PENULARAN HIV DARI IBU KE ANAK
5. Di daerah epidemi HIV rendah, penawaran tes HIV oleh tenaga kesehatan
diprioritaskan pada ibu hamil dengan IMS dan TB secara inklusif pada pemeriksaan
laboratorium rutin lainnya saat pemeriksaan antenatal atau menjelang persalinan.
6. Untuk daerah yang belum mempunyai tenaga kesehatan yang mampu atau
berwenang, pelayanan PPIA dapat dilakukan dengan cara:
a) Merujuk ibu hamil ke fasilitas pelayanan HIV yang memadai;
b) Pelimpahan wewenang (task shifting) kepada tenaga kesehatan yang terlatih.
Penetapan daerah yang memerlukan task shifting petugas dilakukan oleh
Kepala Dinas Kesehatan setempat.
7. Setiap ibu hamil yang positif HIV wajib diberi obat ARV dan mendapatkan pelayanan
perawatan, dukungan dan pengobatan lebih lanjut (PDP).
8. Kepala Dinas Kesehatan merencanakan ketersediaan logistik (obat dan pemeriksaan
tes HIV) berkoordinasi dengan Ditjen P2PL, Kemenkes.
9. Pelaksanaan pertolongan persalinan baik secara per vaginam atau per abdominam
harus memperhatikan indikasi obstetrik ibu dan bayinya serta harus menerapkan
kewaspadaan standar.
10. Sesuai dengan kebijakan program bahwa makanan terbaik untuk bayi adalah
pemberian ASI secara ekslusif selama 0-6 bulan, maka ibu dengan HIV perlu
mendapat konseling laktasi dengan baik sejak perawatan antenatal pertama. Namun
apabila ibu memilih lain (pengganti ASI) maka, ibu, pasangan, dan keluarganya
perlu mendapat konseling makanan bayi yang memenuhi persyaratan teknis.
7
PEDOMAN PENCEGAHAN PENULARAN HIV DARI IBU KE ANAK
E. Sasaran
Buku pedoman ini ditujukan untuk semua pihak yang berkepentingan dalam upaya
pengembangan pencegahan penularan HIV dari ibu ke anak di Indonesia, termasuk:
• Tenaga kesehatan, yaitu dokter, dokter spesialis, bidan, perawat dan tenaga terkait
lainnya yang bertugas di layanan kesehatan dasar dan rujukan, fasilitas pelayanan
kesehatan pemerintah dan swasta.
• Pengelola program dan petugas pencatatan-pelaporan di layanan dasar dan rujukan,
terutama layanan HIV-AIDS dan IMS, layanan KIA, KB, kesehatan reproduksi,
kesehatan remaja, baik di fasilitas pelayanan kesehatan milik pemerintah maupun
swasta.
• Pemangku kepentingan (stakeholder) baik Pemerintah maupun Non Pemerintah,
yang terkait dengan penyediaan layanan HIV-AIDS dan IMS.
• Kelompok profesi dan kelompok seminat bidang kesehatan terkait layanan
kesehatan bagi ODHA, layanan KIA, KB, kesehatan reproduksi, kesehatan remaja,
IMS, dan layanan lainnya.
8
PEDOMAN PENCEGAHAN PENULARAN HIV DARI IBU KE ANAK
BAB II
Orang yang terinfeksi HIV dapat tetap tanpa gejala dan tanda (asimtomatik) untuk jangka
waktu cukup panjang bahkan sampai 10 tahun atau lebih. Namun orang tersebut dapat
menularkan infeksinya kepada orang lain. Kita hanya dapat mengetahui bahwa orang
tersebut terinfeksi HIV dari pemeriksaan laboratorium antibodi HIV serum. Sesudah
jangka waktu tertentu, yang bervariasi dari orang ke orang, virus memperbanyak diri
9
PEDOMAN PENCEGAHAN PENULARAN HIV DARI IBU KE ANAK
secara cepat dan diikuti dengan perusakan sel limfosit T CD4 dan sel kekebalan lainnya
sehingga terjadilah gejala berkurangnya daya tahan tubuh yang progresif. Progresivitas
tergantung pada beberapa faktor seperti: usia kurang dari 5 tahun atau di atas 40
tahun, infeksi lainnya, dan faktor genetik.
Infeksi, penyakit, dan keganasan dapat terjadi pada individu yang terinfeksi HIV. Penyakit
yang berkaitan dengan menurunnya daya tahan tubuh pada orang yang terinfeksi HIV,
misalnya infeksi tuberkulosis (TB), herpes zoster (HSV), oral hairy cell leukoplakia
(OHL), oral candidiasis (OC), papular pruritic eruption (PPE), Pneumocystis carinii
pneumonia (PCP), cryptococcal meningitis (CM), retinitis Cytomegalovirus (CMV), dan
Mycobacterium avium (MAC).
1000
900 CD4 + T cells
800
700
CD4 + Cell count
Acute HIV TB
600 Infection Asymptomatic
500
Syndrome HZV
400 Window Relative level of OHL
300 period Plasma HIV-RNA
OC
200
PPE PCP
100
Antibody CM
0 CMV, MAC
0 1 2 3 4 5 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
11 Months ......... Years After HIV Infection
1. Hubungan seksual
Penularan melalui hubungan seksual adalah cara yang paling dominan dari
semua cara penularan. Penularan melalui hubungan seksual dapat terjadi selama
sanggama laki-laki dengan perempuan atau laki-laki dengan laki-laki. Sanggama
berarti kontak seksual dengan penetrasi vaginal, anal, atau oral antara dua individu.
Risiko tertinggi adalah penetrasi vaginal atau anal yang tak terlindung dari individu
yang terinfeksi HIV. Kontak seksual oral langsung (mulut ke penis atau mulut
10
PEDOMAN PENCEGAHAN PENULARAN HIV DARI IBU KE ANAK
ke vagina) termasuk dalam kategori risiko rendah tertular HIV. Tingkatan risiko
tergantung pada jumlah virus yang ke luar dan masuk ke dalam tubuh seseorang,
seperti pada luka sayat/gores dalam mulut, perdarahan gusi, dan atau penyakit gigi
mulut atau pada alat genital.
2. Pajanan oleh darah, produk darah, atau organ dan jaringan yang terinfeksi
Penularan dari darah dapat terjadi jika darah donor tidak ditapis (uji saring) untuk
pemeriksaan HIV, penggunaan ulang jarum dan semprit suntikan, atau penggunaan
alat medik lainnya yang dapat menembus kulit. Kejadian di atas dapat terjadi pada
semua pelayanan kesehatan, seperti rumah sakit, poliklinik, pengobatan tradisional
melalui alat penusuk/jarum, juga pada pengguna napza suntik (penasun). Pajanan
HIV pada organ dapat juga terjadi pada proses transplantasi jaringan/organ di
fasilitas pelayanan kesehatan.
1. Faktor Ibu
• Jumlah virus (viral load)
Jumlah virus HIV dalam darah ibu saat menjelang atau saat persalinan
dan jumlah virus dalam air susu ibu ketika ibu menyusui bayinya sangat
mempengaruhi penularan HIV dari ibu ke anak. Risiko penularan HIV menjadi
sangat kecil jika kadar HIV rendah (kurang dari 1.000 kopi/ml) dan sebaliknya
jika kadar HIV di atas 100.000 kopi/ml.
• Jumlah sel CD4
Ibu dengan jumlah sel CD4 rendah lebih berisiko menularkan HIV ke bayinya.
Semakin rendah jumlah sel CD4 risiko penularan HIV semakin besar.
11
PEDOMAN PENCEGAHAN PENULARAN HIV DARI IBU KE ANAK
2. Faktor Bayi
• Usia kehamilan dan berat badan bayi saat lahir
Bayi lahir prematur dengan berat badan lahir rendah (BBLR) lebih rentan
tertular HIV karena sistem organ dan sistem kekebalan tubuhnya belum
berkembang dengan baik.
• Periode pemberian ASI
Semakin lama ibu menyusui, risiko penularan HIV ke bayi akan semakin
besar.
• Adanya luka di mulut bayi
Bayi dengn luka di mulutnya lebih berisiko tertular HIV ketika diberikan ASI.
3. Faktor obstetrik
Pada saat persalinan, bayi terpapar darah dan lendir ibu di jalan lahir. Faktor
obstetrik yang dapat meningkatkan risiko penularan HIV dari ibu ke anak selama
persalinan adalah:
• Jenis persalinan
Risiko penularan persalinan per vaginam lebih besar daripada persalinan
melalui bedah sesar (seksio sesaria).
• Lama persalinan
Semakin lama proses persalinan berlangsung, risiko penularan HIV dari ibu
ke anak semakin tinggi, karena semakin lama terjadinya kontak antara bayi
dengan darah dan lendir ibu.
• Ketuban pecah lebih dari 4 jam sebelum persalinan meningkatkan risiko
penularan hingga dua kali lipat dibandingkan jika ketuban pecah kurang dari
4 jam.
• Tindakan episiotomi, ekstraksi vakum dan forseps meningkatkan risiko
penularan HIV karena berpotensi melukai ibu atau bayi.
12
PEDOMAN PENCEGAHAN PENULARAN HIV DARI IBU KE ANAK
Tabel 1. Faktor yang berperan dalam penularan HIV dari ibu ke bayi
Penularan HIV dari ibu ke anak pada umumnya terjadi pada saat persalinan dan pada
saat menyusui. Risiko penularan HIV pada ibu yang tidak mendapatkan penanganan
PPIA saat hamil diperkirakan sekitar 15-45%. Risiko penularan 15-30% terjadi pada
saat hamil dan bersalin, sedangkan peningkatan risiko transmisi HIV sebesar 10-20%
dapat terjadi pada masa nifas dan menyusui (lihat Tabel 2).
Waktu Risiko
Selama hamil 5 – 10%
Bersalin 10 – 20%
Menyusui (ASI) 5 – 20%
Risiko penularan keseluruhan 20 – 50%
Apabila ibu tidak menyusui bayinya, risiko penularan HIV menjadi 20-30% dan
akan berkurang jika ibu mendapatkan pengobatan ARV. Pemberian ARV jangka
pendek dan ASI eksklusif memiliki risiko penularan HIV sebesar 15-25% dan risiko
penularan sebesar 5-15% apabila ibu tidak menyusui (PASI). Akan tetapi, dengan
terapi antiretroviral (ART) jangka panjang, risiko penularan HIV dari ibu ke anak dapat
diturunkan lagi hingga 1-5%, dan ibu yang menyusui secara eksklusif memiliki risiko
yang sama untuk menularkan HIV ke anaknya dibandingkan dengan ibu yang tidak
13
PEDOMAN PENCEGAHAN PENULARAN HIV DARI IBU KE ANAK
menyusui (De Cock KM, Fowler MG, Mercier E, et al. JAMA 2000; 283:1175-82).
Dengan pelayanan PPIA yang baik, maka tingkat penularan dapat diturunkan menjadi
kurang dari 2%.
1% 4% 12% 8% 7% 3%
Gambar 4.
Risiko Penularan HIV dari Ibu ke Anak saat hamil, bersalin dan menyusui
14
PEDOMAN PENCEGAHAN PENULARAN HIV DARI IBU KE ANAK
BAB III
Pencegahan penularan HIV dari ibu ke anak dilaksanakan melalui kegiatan komprehensif
yang meliputi empat pilar (4 prong), yaitu:
Upaya pencegahan ini tentunya harus dilakukan dengan penyuluhan dan penjelasan
yang benar terkait penyakit HIV-AIDS, dan penyakit IMS dan didalam koridor kesehatan
reproduksi. Isi pesan yang disampaikan tentunya harus memperhatikan usia, norma, dan
adat istiadat setempat, sehingga proses edukasi termasuk peningkatan pengetahuan
komprehensif terkait HIV-AIDS dikalangan remaja semakin baik.
Untuk menghindari perilaku seksual yang berisiko upaya mencegah penularan HIV
menggunakan strategi “ABCD”, yaitu:
• A (Abstinence), artinya Absen seks atau tidak melakukan hubungan seks bagi
orang yang belum menikah;
• B (Be Faithful), artinya Bersikap saling setia kepada satu pasangan seks (tidak
berganti-ganti pasangan);
• C (Condom), artinya Cegah penularan HIV melalui hubungan seksual dengan
menggunakan kondom;
• D (Drug No), artinya Dilarang menggunakan narkoba.
15
PEDOMAN PENCEGAHAN PENULARAN HIV DARI IBU KE ANAK
Sebaiknya, pesan pencegahan penularan HIV dari ibu ke anak juga disampaikan
kepada remaja, sehingga mereka mengetahui cara agar tidak terinfeksi HIV.
Informasi tentang pencegahan penularan HIV dari ibu ke anak juga penting
disampaikan kepada masyarakat luas sehingga dukungan masyarakat kepada ibu
dengan HIV dan keluarganya semakin kuat.
2. Mobilisasi masyarakat
a. Melibatkan petugas lapangan (seperti kader kesehatan/PKK, PLKB, atau
posyandu) sebagai pemberi informasi pencegahan HIV dan IMS kepada
masyarakat dan untuk membantu klien mendapatkan akses layanan
kesehatan
b. Menjelaskan tentang cara pengurangan risiko penularan HIV dan IMS, termasuk
melalui penggunaan kondom dan alat suntik steril
c. Melibatkan komunitas, kelompok dukungan sebaya, tokoh agama dan tokoh
masyarakat dalam menghilangkan stigma dan diskriminasi
16
PEDOMAN PENCEGAHAN PENULARAN HIV DARI IBU KE ANAK
Layanan konseling dan tes HIV diintegrasikan dengan pelayanan KIA sesuai dengan
strategi Layanan Komprehensif Berkesinambungan, agar:
a. Konseling dan tes HIV dapat ditawarkan kepada semua ibu hamil dalam paket
pelayanan ANC terpadu, sehingga akan mengurangi stigma terhadap HIV-
AIDS;
b. Layanan konseling dan tes HIV di layanan KIA akan menjangkau banyak ibu
hamil, sehingga pencegahan penularan ibu ke anaknya dapat dilakukan lebih
awal dan sedini mungkin.
c. Penyampaian informasi dan tes HIV dapat dilakukan oleh semua petugas di
fasilitas pelayanan kesehatan kepada semua ibu hamil dalam paket pelayanan
ANC terpadu, sehingga akan mengurangi stigma terhadap HIV-AIDS.
d. Pelaksanaan konseling dan tes HIV mengikuti Pedoman Konseling dan Tes
HIV; petugas wajib menawarkan tes HIV dan melakukan pemeriksaan IMS,
termasuk tes sifilis, kepada semua ibu hamil mulai kunjungan antenatal
pertama bersama dengan pemeriksaan laboratorium lain untuk ibu hamil
(inklusif dalam paket pelayanan ANC terpadu).
e. Tes HIV ditawarkan juga bagi pasangan laki-laki perempuan dan ibu hamil
yang dites (couple conselling);
f. Di setiap jenjang layanan kesehatan yang memberikan layanan PPIA dalam
paket pelayanan KIA, harus ada petugas yang mampu melakukan konseling
dan tes HIV;
g. Di layanan KIA, konseling pasca tes bagi perempuan HIV negatif difokuskan
pada informasi dan bimbingan agar klien tetap HIV negatif selama kehamilan,
menyusui dan seterusnya;
h. Konseling penyampaian hasil tes bagi perempuan atau ibu hamil yang HIV
positif juga memberikan kesempatan untuk dilakukan konseling berpasangan
dan penawaran tes HIV bagi pasangan laki-laki;
i. Pada setiap jenjang pelayanan kesehatan, aspek kerahasiaan ibu hamil ketika
mengikuti proses konseling sebelum dan sesudah tes HIV harus terjamin;
j. Menjalankan konseling dan tes HIV di klinik KIA berarti mengintegrasikan
juga program HIV-AIDS dengan layanan lainnya, seperti pemeriksaan rutin
untuk IMS, pengobatan IMS, layanan kesehatan reproduksi, pemberian gizi
tambahan, dan keluarga berencana;
k. Upaya pengobatan IMS menjadi satu paket dengan pemberian kondom sebagai
bagian dari upaya pencegahan.
17
PEDOMAN PENCEGAHAN PENULARAN HIV DARI IBU KE ANAK
• Perempuan dengan HIV yang tidak ingin hamil dapat menggunakan kontrasepsi
yang sesuai dengan kondisinya dan disertai penggunaan kondom untuk mencegah
penularan HIV dan IMS.
• Perempuan dengan HIV yang memutuskan untuk tidak mempunyai anak lagi
disarankan untuk menggunakan kontrasepsi mantap dan tetap menggunakan
kondom.
Sejalan dengan kemajuan pengobatan HIV dan intervensi PPIA, ibu dengan HIV dapat
merencanakan kehamilannya dan diupayakan agar bayinya tidak terinfeksi HIV. Petugas
kesehatan harus memberikan informasi yang lengkap tentang berbagai kemungkinan
yang dapat terjadi, terkait kemungkinan terjadinya penularan, peluang anak untuk tidak
terinfeksi HIV. Dalam konseling perlu juga disampaikan bahwa perempuan dengan HIV
18
PEDOMAN PENCEGAHAN PENULARAN HIV DARI IBU KE ANAK
yang belum terindikasi untuk terapi ARV bila memutuskan untuk hamil akan menerima
ARV seumur hidupnya. Jika ibu sudah mendapatkan terapi ARV, jumlah virus HIV
di tubuhnya menjadi sangat rendah (tidak terdeteksi), sehingga risiko penularan HIV
dari ibu ke anak menjadi kecil, Artinya, ia mempunyai peluang besar untuk memiliki
anak HIV negatif. Ibu dengan HIV berhak menentukan keputusannya sendiri atau
setelah berdiskusi dengan pasangan, suami atau keluarganya. Perlu selalu diingatkan
walau ibu/pasangannya sudah mendapatkan ARV demikian penggunaan kondom harus
tetap dilakukan setiap hubungan seksual untuk pencegahan penularan HIV pada
pasangannya.
Beberapa kegiatan untuk mencegah kehamilan yang tidak direncanakan pada ibu
dengan HIV antara lain:
• Mengadakan KIE tentang HIV-AIDS dan perilaku seks aman;
• Menjalankan konseling dan tes HIV untuk pasangan;
• Melakukan upaya pencegahan dan pengobatan IMS;
• Melakukan promosi penggunaan kondom;
• Memberikan konseling pada perempuan dengan HIV untuk ikut KB dengan
menggunakan metode kontrasepsi dan cara yang tepat;
• Memberikan konseling dan memfasilitasi perempuan dengan HIV yang ingin
merencanakan kehamilan.
Semua jenis kegiatan di atas akan mencapai hasil yang efektif jika dijalankan secara
berkesinambungan. Kombinasi kegiatan tersebut merupakan strategi yang paling
efektif untuk mengidentifikasi perempuan yang terinfeksi HIV serta mengurangi
risiko penularan HIV dari ibu ke anak pada periode kehamilan, persalinan dan pasca
kelahiran.
19
PEDOMAN PENCEGAHAN PENULARAN HIV DARI IBU KE ANAK
Pelayanan KIA yang komprehensif meliputi pelayanan pra-, persalinan dan pasca-
persalinan, serta layanan kesehatan anak. Pelayanan KIA bisa menjadi pintu masuk
upaya pencegahan penularan HIV dari ibu ke anak bagi seorang ibu hamil. Pemberian
informasi pada ibu hamil dan suaminya ketika datang ke klinik KIA akan meningkatkan
kesadaran dan kewaspadaan mereka tentang kemungkinan adanya risiko penularan
HIV di antara mereka, termasuk risiko lanjutan berupa penularan HIV dari ibu ke anak.
Tes HIV atas inisiatif petugas serta skrining IMS harus ditawarkan kepada semua ibu
hamil sesuai kebijakan program.Harapannya, dengan kesadaran sendiri ibu maudites
dengan sukarela.
Konseling dan tes HIV dalam PPIA komprehensif dilakukan melalui pendekatan
Konseling dan Tes atas Inisiasi Petugas Kesehatan (KTIP), yang merupakan komponen
penting dalam upaya pencegahan penularan HIV dari ibu ke anak. Tujuan utama
kegiatan ini adalah untuk membuat keputusan klinis dan/atau menentukan pelayanan
medis khusus yang tidak mungkin dilaksanakan tanpa mengetahui status HIV seseorang,
seperti pada saat pemberian ARV.Apabila seseorang yang datang ke layanan kesehatan
dan menunjukan adanya gejala yang mengarah ke HIV, tanggung jawab dasar dari
petugas kesehatan adalah menawarkan tes dan konseling HIV kepada pasien tersebut
sebagai bagian dari tatalaksana klinis.
Berbagai bentuk layanan di klinik KIA, seperti imunisasi untuk ibu, pemeriksaan IMS
terutama sifilis, pemberian suplemen zat besi dapat meningkatkan status kesehatan
semua ibu hamil, termasuk ibu hamil dengan HIV. Hendaknya klinik KIA juga
menjangkau dan melayani suami atau pasangannya, sehingga timbul keterlibatan aktif
para suami/ pasangannya dalam upaya pencegahan penularan HIV dari ibu ke anak.
Upaya pencegahan IMS, termasuk penggunaan kondom, merupakan bagian pelayanan
IMS dan HIV serta diintegrasikan dalam pelayanan KIA.
2. Diagnosis HIV
Pemeriksaan diagnostik infeksi HIV dapat dilakukan secara virologis (mendeteksi
antigen DNA atau RNA) dan serologis (mendeteksi antibodi HIV) pada spesimen
darah. Pemeriksaan diagnostik infeksi HIV yang dilakukan di Indonesia umumnya
adalah pemeriksaan serologis menggunakan tes cepat (Rapid Test HIV) atau ELISA.
Pemeriksaan diagnostik tersebut dilakukan secara serial dengan menggunakan tiga
reagen HIV yang berbeda dalam hal preparasi antigen, prinsip tes, dan jenis antigen,
20
PEDOMAN PENCEGAHAN PENULARAN HIV DARI IBU KE ANAK
Untuk ibu hamil dengan faktor risiko yang hasil tesnya indeterminate, tes diagnostik
HIV dapat diulang dengan bahan baru yang diambil minimal 14 hari setelah yang
pertama dan setidaknya tes ulang menjelang persalinan (32-36 minggu).
A1
A1 positif A1 negatif
A2
Laporan sebagai
A1 pos, A2 pos A1 pos, A2 neg “Non-reaktif”
Ulangi
A1 & A2
A1 pos, A2 pos A1 neg, A2 neg
A1 pos, A2 neg
Laporan sebagai
A3 “Non-reaktif”
21
PEDOMAN PENCEGAHAN PENULARAN HIV DARI IBU KE ANAK
Cara paling efektif untuk menekan replikasi HIV adalah dengan memulai pengobatan
dengan kombinasi ARV yang efektif. Semua obat yang dipakai harus dimulai pada saat
yang bersamaan pada pasien baru. Terapi kombinasi ARV harus menggunakan dosis
dan jadwal yang tepat. Obat ARV harus diminum terus menerus secara teratur untuk
menghindari timbulnya resistensi. Diperlukan peran serta aktif pasien dan pendamping/
keluarga dalam terapi ARV. Di samping ARV, timbulnya infeksi oportunistik harus
mendapat perhatian dan tatalaksana yang sesuai.
Pemberian terapi antiretroviral (ART) untuk ibu hamil dengan HIV mengikuti Pedoman
Tatalaksana Klinis dan Terapi Antiretroviral pada Orang Dewasa, Kementerian Kesehatan
(2011). Penentuan saat yang tepat untuk memulai terapi obat antiretroviral (ARV) pada
ODHA dewasa didasarkan pada kondisi klinis pasien (stadium klinis WHO) atau hasil
pemeriksaan CD4. Namun pada ibu hamil, pasien TB dan penderita Hepatitis B kronik
aktif yang terinfeksi HIV, pengobatan ARV dapat dimulai pada stadium klinis apapun
atau tanpa menunggu hasil pemeriksaan CD4. Pemeriksaan CD4 tetap diperlukan
untuk pemantauan pengobatan.
Pemberian ARV pada ibu hamil dengan HIV selain dapat mengurangi risiko penularan
HIV dari ibu ke anak, adalah untuk mengoptimalkan kondisi kesehatan ibu dengan cara
menurunkan kadar HIV serendah mungkin.
Pilihan terapi yang direkomendasikan untuk ibu hamil dengan HIV adalah terapi
menggunakan kombinasi tiga obat (2 NRTI + 1 NNRTI). Seminimal mungkin hindari
triple nuke (3 NRTI). Regimen yang direkomendasikan dapat dilihat pada Tabel 4.
22
PEDOMAN PENCEGAHAN PENULARAN HIV DARI IBU KE ANAK
Tabel 4. Saat yang tepat untuk memulai pengobatan ARV pada ibu hamil
Data yang tersedia menunjukkan bahwa pemberian ARV kepada ibu selama hamil
dan dilanjutkan selama menyusui adalah intervensi PPIA yang paling efektif untuk
kesehatan ibu dan juga mampu mengurangi risiko penularan HIV dan kematian bayi.
Pemberian ARV untuk ibu hamil dengan HIV mengikuti Pedoman Tatalaksana Klinis dan
Terapi Antiretroviral pada Orang Dewasa, Kementerian Kesehatan (2011).Pemberian
ARV disesuaikan dengan kondisi klinis ibu (lihat Tabel 5) dan mengikuti ketentuan
sebagai berikut:
23
PEDOMAN PENCEGAHAN PENULARAN HIV DARI IBU KE ANAK
Tabel 5. Rekomendasi ART pada ibu hamil dengan HIV dan ARV profilaksis pada bayi
Keterangan:
* Penggunaan Nevirapin (NVP) pada perempuan dengan CD4 >250 sel/mm3 atau yang
tidak diketahui jumlah CD4-nya dapat menimbulkan reaksi hipersensitif
** Efavirens tidak boleh diberikan pada ODHA hamil trimester 1 karena teratogenik
Pemerintah menyediakan ARV untuk ibu hamil sebagai upaya untuk mengurangi risiko
penularan HIV dari ibu ke anak, termasuk untuk tujuan pengobatan jangka panjang.
24
PEDOMAN PENCEGAHAN PENULARAN HIV DARI IBU KE ANAK
4. Persalinan aman
Pemilihan persalinan yang aman diputuskan oleh ibu setelah mendapatkan konseling
lengkap tentang pilihan persalinan, risiko penularan, dan berdasarkan penilaian
dari tenaga kesehatan. Pilihan persalinan meliputi persalinan per vaginam dan per
abdominam (bedah sesar atau seksio sesarea).
Dalam konseling perlu disampaikan mengenai manfaat terapi ARV sebagai cara terbaik
mencegah penularan HIV dari ibu ke anak. Dengan terapi ARV yang sekurangnya
dimulai pada minggu ke-14 kehamilan, persalinan per vaginam merupakan persalinan
yang aman. Apabila tersedia fasilitas pemeriksaan viral load, dengan viral load < 1.000
kopi/µL, persalinan per vaginam aman untuk dilakukan.
Persalinan bedah sesar hanya boleh didasarkan atas indikasi obstetrik atau jika
pemberian ARV baru dimulai pada saat usia kehamilan 36 minggu atau lebih, sehingga
diperkirakan viral load > 1.000 kopi/µL.
25
PEDOMAN PENCEGAHAN PENULARAN HIV DARI IBU KE ANAK
a. Faktor keamanan ibu pasca bedah sesar. Sebuah penelitian menyebutkan bahwa
komplikasi minor dari operasi bedah sesar seperti endometritis, infeksi luka dan
infeksi saluran kemih lebih banyak terjadi pada ODHA dibandingkan non-ODHA.
Namun tidak terdapat perbedaan bermakna antara ODHA dan bukan ODHA
terhadap risiko terjadinya komplikasi mayor seperti pneumonia, efusi pleura
ataupun sepsis.
b. Fasilitas pelayanan kesehatan dan akses ke pelayanan kesehatan, apakah
memungkinkan untuk dilakukan bedah sesar atau tidak.
c. Biaya bedah sesar yang relatif mahal.
Dengan demikian, untuk memberikan layanan persalinan yang optimal kepada ibu
hamil dengan HIV direkomendasikan kondisi-kondisi berikut ini:
• Pelaksanaan persalinan, baik secara bedah sesar maupun normal, harus
memperhatikan kondisi fisik dan indikasi obstetri ibu berdasarkan penilaian dari
tenaga kesehatan. Infeksi HIV bukan merupakan indikasi untuk bedah sesar.
• Ibu hamil harus mendapatkan konseling sehubungan dengan keputusannya untuk
menjalani persalinan per vaginam atau pun per abdominam (bedah sesar).
• Tindakan menolong persalinan ibu hamil, baik secara persalinan per vaginam
maupun bedah sesar harus selalu menerapkan kewaspadaan standar, yang berlaku
untuk semua jenis persalinan dan tindakan medis.
Proses persalinan aman selain untuk mencegah penularan HIV dari ibu ke anaknya,
juga mencakup keamanan bekerja bagi tenaga kesehatan penolong persalinan
(bidan dan dokter). Risiko penularan HIV akibat tertusuk jarum suntik sangat kecil
(<0,3%). Petugas yang mengalami pajanan HIV di tempat kerja dapat menerima terapi
antiretroviral (ARV) untuk Pencegahan Pasca Pajanan (PPP atau PEP, post exposure
prophylaxis).
26
PEDOMAN PENCEGAHAN PENULARAN HIV DARI IBU KE ANAK
• Perlu dilakukan pemantauan efek samping dari obat ARV yang diminum.
• Perlu dilakukan tes HIV ulangan pada bulan ke 3 dan 6 setelah pemberian PPP.
Pada kasus kecelakaan kerja pada petugas yang menderita hepatitis B maka PPP yang
digunakan sebaiknya mengandung TDF/3TC untuk mencegah terjadinya hepatic flare.
Ibu dengan HIV yang sudah dalam terapi ARV memiliki kadar HIV sangat rendah,
sehingga aman untuk menyusui bayinya. Dalam Pedoman HIV dan Infant Feeding
(2010), World Health Organization (WHO) merekomendasikan pemberian ASI eksklusif
selama 6 bulan untuk bayi lahir dari ibu yang HIV dan sudah dalam terapi ARV untuk
kelangsungan hidup anak (HIV-free and child survival). Eksklusif artinya hanya
diberikan ASI saja, tidak boleh dicampur dengan susu lain (mixed feeding). Setelah
bayi berusia 6 bulan pemberian ASI dapat diteruskan hingga bayi berusia 12 bulan,
disertai dengan pemberian makanan padat.
Bila ibu tidak dapat memberikan ASI eksklusif, maka ASI harus dihentikan dan
digantikan dengan susu formula untuk menghindari mixed feeding (Tabel 7).
Tabel 7. Perbandingan risiko penularan HIV dari ibu ke anak pada pemberian ASI
eksklusif, susu formula, dan mixed feeding
Sangat tidak dianjurkan menyusui campur (mixed feeding, artinya diberikan ASI dan
PASI bergantian). Pemberian susu formula yang bagi dinding usus bayi merupakan benda
asing dapat menimbulkan perubahan mukosa dinding usus, sehingga mempermudah
masuknya HIV yang ada di dalam ASI ke peredaran darah.
27
PEDOMAN PENCEGAHAN PENULARAN HIV DARI IBU KE ANAK
Ibu hamil dengan HIV perlu mendapatkan informasi dan edukasi untuk membantu
mereka membuat keputusan apakah ingin memberikan ASI eksklusif atau susu
formula kepada bayinya. Mereka butuh bantuan untuk menilai dan menimbang risiko
penularan HIV ke bayinya. Mereka butuh dukungan agar merasa percaya diri dengan
keputusannya dan dibimbing bagaimana memberi makanan ke bayinya seaman
mungkin. Agar mampu melakukan hal itu, tenaga kesehatan perlu dibekali pelatihan
tentang informasi dasar HIV dan pemberian makanan untuk bayi.
28
PEDOMAN PENCEGAHAN PENULARAN HIV DARI IBU KE ANAK
8. Pemeriksaan diagnostik HIV pada bayi yang lahir dari ibu dengan HIV
Penularan HIV pada anak dapat terjadi selama masa kehamilan, saat persalinan, dan
menyusui. Antibodi HIV dari ibu dapat berpindah ke bayi melalui plasenta selama
kehamilan berada pada darah bayi/anak hingga usia 18 bulan. Penentuan status HIV
pada bayi/anak (usia <18 bulan) dari ibu HIV tidak dapat dilakukan dengan cara
pemeriksaan diagnosis HIV (tes antibodi) biasa. Pemeriksaan serologis anti-HIV dan
pemeriksaan virologis HIV RNA (PCR) dilakukan setelah usia 18 bulan atau dapat
dilakukan lebih awal pada usia 9-12 bulan, dengan catatan bila hasilnya positif, maka
harus diulang setelah usia 18 bulan.
Pemeriksaan virologis, seperti HIV DNA (PCR), saat ini sudah ada di Indonesia dan
dapat digunakan untuk menegakkan diagnosis HIV pada anak usia di bawah 18 bulan.
Pemeriksaan tersebut harus dilakukan minimal 2 kali dan dapat dimulai ketika bayi
berusia 4-6 minggu dan perlu diulang 4 minggu kemudian. Pemeriksaan HIV DNA
(PCR) adalah pemeriksaan yang dapat menemukan virus atau partikel virus dalam
tubuh bayi dan saat ini sedang dikembangkan di Indonesia untuk diagnosis dini HIV
pada bayi (early infant diagnosis, EID).
29
PEDOMAN PENCEGAHAN PENULARAN HIV DARI IBU KE ANAK
Untuk pemeriksaan diagnosis dini HIV pada bayi ini, Kementerian Kesehatan sedang
mengembangkan laboratorium rujukan nasional (saat ini di Rumah Sakit Dharmais)
dan kedepannya beberapa laboratorium rujukan regional (termasuk di BLK Provinsi
Papua). Spesimen darah anak yang akan diperiksa dapat dikirimkan berupa tetes darah
kering (dry blood spot, DBS) ke laboratorium tersebut. Dengan pemeriksaan tersebut,
diagnosis HIV pada anak dapat ditegakkan sedini mungkin.
Beberapa hal yang mungkin dibutuhkan oleh ibu dengan HIV antara lain:
• Pengobatan ARV jangka panjang
• Pengobatan gejala penyakitnya
• Pemeriksaan kondisi kesehatan dan pemantauan terapi ARV (termasuk CD4
dan viral load)
• Konseling dan dukungan kontrasepsi dan pengaturan kehamilan
• Informasi dan edukasi pemberian makanan bayi
• Pencegahan dan pengobatan infeksi oportunistik untuk diri sendiri dan bayinya.
• Penyuluhan kepada anggota keluarga tentang cara penularan HIV dan
pencegahannya
• Layanan klinik dan rumah sakit yang bersahabat
• Kunjungan ke rumah (home visit)
• Dukungan teman-teman sesama HIV positif, terlebih sesama ibu dengan HIV
• Adanya pendamping saat sedang dirawat
• Dukungan dari pasangan
• Dukungan kegiatan peningkatan ekonomi keluarga
• Dukungan perawatan dan pendidikan bagi anak
Dengan dukungan psikososial yang baik, ibu dengan HIV akan bersikap optimis dan
bersemangat mengisi kehidupannya. Diharapkan ia akan bertindak bijak dan positif
untuk senantiasa menjaga kesehatan diri dan anaknya, serta berperilaku sehat agar
tidak terjadi penularan HIV dari dirinya ke orang lain.
30
PEDOMAN PENCEGAHAN PENULARAN HIV DARI IBU KE ANAK
Informasi tentang adanya layanan dukungan psikososial untuk ODHA ini perlu diketahui
oleh masyarakat luas, termasuk para perempuan usia reproduktif. Diharapkan informasi
ini bisa meningkatkan minat mereka yang merasa berisiko tertular HIV untuk mengikuti
konseling dan tes HIV agar mengetahui status HIV mereka.
Ibu Hamil
Partisipasi Laki-laki • Pemerintah
Mobilisasi Masyarakat • Tenaga LSM
• Kader
• Dokter
Penawaran dan informasi Tes HIV
• Bidan/ Perawat
Konseling Pra-Tes
• Petugas
Pemeriksaan Laboratorium Laboratorium
• Dokter/Bidan
Konseling dan Pemberian • Konselor
Makanan Bayi • Relawan
• Dokter
Konseling Persalinan aman • Bidan
Gambar 7. Alur proses ibu hamil menjalani kegiatan Prong 3 dan 4 dalam
Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Anak
31
PEDOMAN PENCEGAHAN PENULARAN HIV DARI IBU KE ANAK
32
PEDOMAN PENCEGAHAN PENULARAN HIV DARI IBU KE ANAK
BAB IV
JEJARING PPIA
KOMISI PENANGGULANGAN
AIDS
Fasyankes Fasyankes
Sekunder Primer
RS Kab/Kota PUSKESMAS
KADER
MASYARAKAT
PBM:
LSM, Ormas,
Kelompok
Orsos, Relawan
Fasyankes Dukungan
PBR:
Tersier
Keluarga
RS Provinsi
ODHA
COMMUNITY
ORGANIZER
33
PEDOMAN PENCEGAHAN PENULARAN HIV DARI IBU KE ANAK
Komponen LKB mencakup semua bentuk layanan HIV dan IMS, seperti kegiatan
KIE untuk pengetahuan komprehensif, promosi penggunaan kondom, pengendalian/
pengenalan faktor risiko; tes HIV dan konseling; perawatan, dukungan, dan pengobatan
(PDP); pencegahan penularan dari ibu ke anak (PPIA); pengurangan dampak buruk
napza; layanan diagnosis dan pengobatan IMS; pencegahan penularan melalui darah
donor dan produk darah lainnya; kegiatan perencanaan, monitoring dan evaluasi, serta
surveilans epidemiologi di puskesmas rujukan dan non-rujukan termasuk fasilitas
kesehatan lainnya, dan rumah sakit rujukan ODHA di kabupaten/kota; dan keterlibatan
aktif dari sektor masyarakat, termasuk keluarga.
Pelaksanaan PPIA diintegrasikan ke dalam kegiatan pelayanan kesehatan ibu dan anak
dan keluarga berencana (KIA/KB), dan kesehatan remaja (PKPR) di setiap jenjang
pelayanan kesehatan. Paket layanan PPIA terdiri atas:
1. Penawaran tes HIV kepada semua ibu hamil pada saat kunjungan perawatan
antenatal (ANC)
2. Di dalam LKB harus dipastikan bahwa layanan PPIA terintegrasi pada layanan
rutin KIA terutama pemeriksaan ibu hamil untuk memaksimalkan cakupan.
3. Perlu dikembangkan jejaring layanan tes dan konseling HIV serta pengobatan
dan dukungan perawatan ODHA dengan klinik KIA/KB, kespro dan kesehatan
remaja, serta rujukan bagi ibu HIV positif dan anak yang dilahirkannya ke layanan
komunitas untuk dukungan dalam hal pemberian makanan bayi dengan benar,
terapi profilaksis ARV dan kotrimoksasol bagi bayi, kepatuhan minum obat ARV
bagi ibu dan bayinya, dan dukungan lanjutan bagi ibu HIV serta dukungan dalam
mengakses pemeriksaan diagnosis HIV dini bagi bayinya, dan dukungan lanjutan
bagi anak yang HIV positif.
34
PEDOMAN PENCEGAHAN PENULARAN HIV DARI IBU KE ANAK
Dalam jejaring PPIA setiap institusi memiliki peran tersendiri yang terintegrasi dan
saling berhubungan dengan institusi lainnya. Di sarana kesehatan, pelayanan PPIA
dijalankan oleh Puskesmas dan jajarannya, Rumah Sakit, serta bidan praktek swasta.
Di tingkat masyarakat, pelayanan PPIA dijalankan oleh Lembaga Swadaya Masyarakat
(LSM) ataupun Kelompok Dukungan Sebaya (KDS) ODHA.
Agar peran masing-masing institusi berjalan secara optimal, diperlukan sumber daya
manusia yang memiliki pengetahuan dan keterampilan pelayanan PPIA yang memadai.
Untuk itu, diperlukan adanya pelatihan PPIA yang berorientasi terhadap kebutuhan
pelayanan di lapangan. Adanya Task Shifting dimungkinkan untuk menjalankan
kegiatan PPIA dengan disesuaikan pada kondisi setempat. Kegiatan pelatihan-pelatihan
tersebut memerlukan dukungan dari ikatan profesi, seperti IDI, IDAI, POGI, IBI, PAPDI,
PDUI, PPNI serta ikatan profesi lainnya. Ikatan profesi juga berperan meningkatkan
kinerja tenaga kesehatan untuk menjamin pemberian pelayanan yang berkualitas, serta
menjalin koordinasi antar ikatan profesi dan bermitra dengan lainnya
Alur layanan kegiatan PPIA adalah sama dengan alur layanan komprehensif HIV untuk
ODHA, yang dapat dilihat pada gambar berikut ini.
RS Rujukan Strata II
Pemantauan (Kabupaten/Kota) Layanan Rujukan timbal balik
komprehensif, koordinasi, Pembentukan
pasien Monitoring klinis
kelompok ODHA dan dukungan
Layanan Strata I
(Puskesmas, Klinik)
Layanan dasar, dukungan PDP
MASYARAKAT
Layanan berbasis rumah dan masyarakat,
PMO, Peer group
35
PEDOMAN PENCEGAHAN PENULARAN HIV DARI IBU KE ANAK
Layanan HIV-AIDS khususnya PPIA dibagi dalam empat tingkatan (strata) pelayanan,
yaitu strata I, II, III dan layanan berbasis masyarakat. Strata III biasanya dilaksanakan di
tingkat Provinsi atau Nasional. Strata II atau tingkat menengah, biasanya dilaksanakan
di tingkat Kabupaten/Kota. Strata I atau layanan dasar dilaksanakan di tingkat
Puskesmas Kecamatan, Kelurahan maupun layanan yang berbasis masyarakat.
Mekanisme hubungan antar strata layanan terutama berupa rujukan yang merupakan
rujukan timbal balik antara layanan. Rujukan meliputi rujukan pasien, pembinaan dan
rujukan sampel laboratorium. Dalam melaksanakan rujukan, perlu dipertimbangkan
segi jarak, waktu, biaya dan efisiensi. Dengan demikian, diharapkan jaringan kerjasama
yang terjalin dapat member layanan yang lebih baik kepada ODHA.
36
PEDOMAN PENCEGAHAN PENULARAN HIV DARI IBU KE ANAK
BAB V
Merujuk pada tujuan dari pengembangan Layanan Komprehensif HIV & IMS
Berkesinambungan, maka monitoring dan evaluasi diarahkan pada kinerja pencapaian
dari tujuan tersebut. Sehingga indikator kegiatan PPIA juga merujuk pada indikator
nasional yang telah dikembangkan seperti yang tercantum dalam target MDGs, Rencana
Strategis serta pedoman operasionalnya, seperti Pedoman Nasional Monitoring dan
Evaluasi Program Pengendalian HIV dan AIDS, 2010.
Dalam monitoring dan evaluasi tim menggunakan perangkat monev standar sejalan
dengan kegiatan monev nasional dengan menggunakan formulir pencatatan dan
pelaporan yang berlaku. Pelaporan rutin yang berasal dari fasyankes melalui sistim
berjenjang mulai dari dinas kesehatan kabupaten/kota, dinas kesehatan propinsi dan
Kementerian Kesehatan.
B. Pelaporan
Hasil kegiatan pelayanan Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Anak tiap bulan
dilaporkan secara berjenjang oleh Puskesmas, Layanan Swasta dan RSU ke Dinas
Kesehatan Kabupaten/Kota, Dinas Kesehatan Provinsi ke Kementerian Kesehatan
menggunakan format pelaporan dalam buku Pedoman Nasional Monitoring dan
Evaluasi Program Pengendalian HIV dan AIDS, Kementerian Kesehatan, 2010.
Laporan di setiap layanan atau Puskesmas atau RS dibuat mulai tanggal 26 bulan
sebelumnya sampai tanggal 25 bulan sekarang. Kemudian dilaporkan ke Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota. Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota akan merekapitulasi laporan semua
layanan di wilayahnya, kemudian melaporkan ke Dinas Kesehatan Provinsi dengan
melampirkan laporan dari layanan. Seterusnya, Dinas Kesehatan Provinsi melaporkan
ke Kementerian Kesehatan. Di Pusat, data akan diolah, disesuaikan dengan kebutuhan
dan indikator yang telah ditentukan.
37
PEDOMAN PENCEGAHAN PENULARAN HIV DARI IBU KE ANAK
KEMENKES
PER BULAN
DINKES PROVINSI
PER BULAN
DINKES
KABUPATEN
VCT/KTS
l l VCT/KTS l Penjangkauan
l ART l ART
l PMTCT/PPIA l PMTCT/PPIA
l METADON l METADON
l LJSS l LJSS
l PITC/KTIP l PITC/KTIP
38
PEDOMAN PENCEGAHAN PENULARAN HIV DARI IBU KE ANAK
BAB VI
PENUTUP
Dengan adanya Pedoman Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Anak diharapkan
akses layanan dan cakupan pelayanan PPIA sebagai salah satu upaya pengendalian
HIV-AIDS di Indonesia akan lebih luas dan lebih komprehensif, sehingga upaya untuk
mengeliminasi penularan HIV dari ibu ke anak dapat dicapai pada sesuai tujuan Menuju
Titik Nol (Getting to Zero). Disadari Pedoman ini perlu dilengkapi dengan pedoman
teknis lainnya yang secara rinci menjelaskan pelaksanaan di lapangan termasuk alur
pencatatan dan pelaporan secara berjenjang ke Pusat dari fasyankes.
39
PEDOMAN PENCEGAHAN PENULARAN HIV DARI IBU KE ANAK
40
PEDOMAN PENCEGAHAN PENULARAN HIV DARI IBU KE ANAK
DAFTAR PUSTAKA
41
PEDOMAN PENCEGAHAN PENULARAN HIV DARI IBU KE ANAK
42
PEDOMAN PENCEGAHAN PENULARAN HIV DARI IBU KE ANAK
LAMPIRAN
43
PEDOMAN PENCEGAHAN PENULARAN HIV DARI IBU KE ANAK
44
PEDOMAN PENCEGAHAN PENULARAN HIV DARI IBU KE ANAK
45
PEDOMAN PENCEGAHAN PENULARAN HIV DARI IBU KE ANAK
46
PEDOMAN PENCEGAHAN PENULARAN HIV DARI IBU KE ANAK
47
PEDOMAN PENCEGAHAN PENULARAN HIV DARI IBU KE ANAK
Stadium 1
• Tidak ada gejala • Limfadenopati Generalisata Persisten
Stadium 2
• Penurunan berat badan bersifat sedang • Keilitis angularis
yang tak diketahui penyebabnya (<10% • Ulkus mulut yang berulang
dari perkiraan berat badan atau berat • Ruam kulit berupa papel yang gatal
badan sebelumnya) (Papular pruritic eruption)
• Infeksi saluran pernafasan yang berulang • Dermatisis seboroik
(sinusitis, tonsillitis, otitis media, • Infeksi jamur pada kuku
faringitis)
• Herpes zoster
Stadium 3
• Penurunan berat badan bersifat berat • Tuberkulosis paru
yang tak diketahui penyebabnya (lebih • Infeksi bakteri yang berat (contoh:
dari 10% dari perkiraan berat badan pneumonia, empiema, meningitis,
atau berat badan sebelumnya) piomiositis, infeksi tulang atau sendi,
• Diare kronis yang tak diketahui bakteraemia, penyakit inflamasi
penyebabnya selama lebih dari 1 bulan panggul yang berat)
• Demam menetap yang tak diketahui • Stomatitis nekrotikans ulserative akut,
penyebabnya gingivitis atau periodontitis
• Kandidiasis pada mulut yang menetap • Anemi yang tak diketahui
• Oral hairy leukoplakia penyebabnya (<8 g/dl), netropeni
(<0.5 x 109/l) dan/atau
trombositopeni kronis (<50 x 109/l)
48
PEDOMAN PENCEGAHAN PENULARAN HIV DARI IBU KE ANAK
Stadium 4
• Sindrom wasting HIV • Pneumonia Kriptokokus
• Pneumonia Pneumocystis jiroveci ekstrapulmoner, termasuk meningitis
• Pneumonia bacteri berat yang berulang • Infeksi mycobacteria non tuberkulosis
• Infeksi herpes simplex kronis (orolabial, yang menyebar
genital, atau anorektal selama lebih dari • Leukoencephalopathy multifocal
1 bulan atau viseral di bagian manapun) progresif
• Kandidiasis esofageal (atau kandidiasis • Cyrptosporidiosis kronis
trakea, bronkus atau paru) • Isosporiasis kronis
• Tuberkulosis ekstra paru • Mikosis diseminata (histoplasmosis,
• Sarkoma Kaposi coccidiomycosis)
• Penyakit Cytomegalovirus (retinitis • Septikemi yang berulang (termasuk
atau infeksi organ lain, tidak termasuk Salmonella non-tifoid)
hati, limpa dan kelenjar getah bening) • Limfoma (serebral atau Sel B
• Toksoplasmosis di sistem saraf pusat non-Hodgkin)
• Ensefalopati HIV • Karsinoma serviks invasif
• Leishmaniasis diseminata atipikal
• Nefropati atau kardiomiopati terkait
HIV yang simtomatis
49
PEDOMAN PENCEGAHAN PENULARAN HIV DARI IBU KE ANAK
50
PEDOMAN PENCEGAHAN PENULARAN HIV DARI IBU KE ANAK
TIM PENYUSUN
51
PEDOMAN PENCEGAHAN PENULARAN HIV DARI IBU KE ANAK
52
ISBN 978-602-9364-55-2
9 78 6 0 2 9 3 6 4 5 5 2