Anda di halaman 1dari 21

MAKALAH

AKAL dan Wahyu

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Filsafat Agama yang diampu oleh:

Acep Aam Amirudin, M.A, M. Ud.

Disusun Oleh :

Najma Zahiroh (1171030150)

Sofyan Saury (1171030199)

Sultan Muhammad Al-gifari (1171030203)

JURUSAN ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR

FAKULTAS USHULUDDIN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN GUNUNG DJATI

BANDUNG

2019

i
KATA PENGANTAR

Segala puji syukur kehadirat ilahi yang mana dengan segala rahmat, nikmat dan
karunia-Nya kami dapat menyelesaikan makalah tentang Akal dan Wahyu ini dengan
baik meskipun banyak kekurangan di dalamnya. Dan juga kami berterima kasih
kepada Bapak Acep Aam Amirudin, M.A, M. Ud. selaku Dosen mata kuliah Filsafat
Agama UIN Sunang Gunung Djati Bandung yang telah memberikan tugas ini kepada
kami.

Kami berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah wawasan
serta pengetahuan kita mengenai Akal dan Wahyu yang dibutuhkan di masa
mendatang. Kami juga menyadari sepenuhnya bahwa di dalam makalah ini terdapat
kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Oleh sebab itu, kami berharap adanya kritik,
saran, dan usulan demi perbaikan makalah yang kami susun di masa mendatang,
mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa saran yang membangun.

Semoga makalah sederhana ini dapat dipahami bagi siapapun yang membacanya.
Sekiranya makalah yang telah disusun ini dapat berguna bagi kami maupun yang
membacanya. Sebelumnya kami mohon maaf apabila terdapat kesalahan kata-kata
yang kurang berkenan dan kami memohon kritik dan saran yang membangun dari
Anda demi perbaikan makalah ini di waktu yang akan datang.

Bandung, Mei 2019

Penyusun
ii

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR .................................................................................................. ii

DAFTAR ISI ................................................................................................................ iii

BAB I ............................................................................................................................ 1

PENDAHULUAN ........................................................................................................ 1

A. Latar Belakang ............................................................................................. 1


B. Rumusan Masalah ........................................................................................ 2
C. Tujuan ........................................................................................................... 2
BAB II...........................................................................................................................3

PEMBAHASAN............................................................................................................3

A. Definisi Akal dan Wahyu...................................................................................3


B. Pandangan Teolog Terhadap Akal dan Wahyu...............................................5
C. Pandangan Filsuf Terhadap Akal dan Wahyu................................................8
BAB III........................................................................................................................15

PENUTUP...................................................................................................................15

Kesimpulan............................................................................................................15
DAFTAR PUSTAKA..................................................................................................16
iii
BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Mengenal filsafat, merupakan pembahasan yang sangat menarik untuk dikaji,
dan kemudian dapat menambah wawasan dan cipta luhur arah pemikiran
pembacanya atau pengkajinya. Filsafat telah ada sejak ribuan tahun lalu, ia pun
juga merupakan induk ilmu, karena yang memang isi kajian nya yg bersifat keras.
Artinya orang yang berfilsafat itu ia selalu berpikir secara mendalam mengenai
hakikat kebenaran segala sesuatu. Oleh karena filsafat merupakan ilmu yang
mendasari fikiran kita, maka dari itu, filsafat dikatakan sebagai ilmu induk.
Bahkan dalam Al-Quran pun terdapat beberapa ayat pada Al-Quran yang
memerintahkan manusia untuk berfikir.

Seperti yang telah kita ketahui, bahwa bapak dari filsafat adalah socrates
(469 SM - 399 SM), ia merupakan seorang filsuf dari yunani yang merupakan
salah satu figur paling penting dalam tradisi filosofis barat. Pemikiran-pemikiran
filsafat socrates yang menganut paham rasionalisme ini selalu mengalami
perkembangan.

Seiring berkembangnya pemikiran-pemikiran dalam filsafat terdahulu,


banyak sekali pemahaman-pemahaman baru yg bersifat kontroversial. Seperti
hubungan antara akal dengan wahyu. Konon, ada yang mengatakan antara akal
dengan wahyu tidak bisa dijadikan menjadi sesuatu yang padu, namun ada juga
sebagian nya yang mengatakan bahwa keduanya merupakan saudara sekandung.
Maka, masing-masing filsuf saling mempertahankan buah hasil pemikirannya.

Karena pembahasan hubungan akal dengan wahyu ini bersifat kontroversial,


maka kami ingin menjabarkan makna-makna yang terselubung dari pada
pembahasan tersebut.

1
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang dari masalah di atas, dapatlah pemakalah
merumuskan masalah dari makalah yang ingin dikaji diantaranya :

1. Apa definisi akal dan wahyu?

2. Bagaimana pandangan filsuf terhadap akal dan wahyu?

3. Bagaimana pandangan teolog terhadap akal dan wahyu?

C. Tujuan
Berpijak dari rumusan masalah di atas dan sebagaimana lazimnya suatu
kegiatan, harus mempunyai tujuan. Maka tujuan dari penyusunan makalah ini
adalah:

1. Mengetahui definisi akal dan wahyu;

2. Mengetahui pandangan teolog terhadap akal dan wahyu; 3.

Mengetahui pandangan filsuf terhadap akal dan wahyu.


2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi Akal dan Wahyu
Secara bahasa atau Lughowi, akal merupakan kata yang berasal dari bahasa
Arab,’aqala yang berarti mengikat atau menahan, namun kata akal sebagai kata
benda (mashdar) dari ‘aqala tidak terdapat dari al-Qur’an, akan tetapi kata akal
sendiri terdapat dalam bentuk lain yaitu kata kerja (fi’il mudhori’). Hal itu terdapat
dalam al-Qur’an sebanyak 49 sembilan ayat. Disisi lain dalam al-Qur’an selain kata
‘aqala yang menunjukan arti berfikir adalah nazhara yang berarti melihat secara
abstrak. Sebanyak 120 ayat; tafakara yang berarti berfikir terdapat pada 18 ayat;
faqiha yang berarti memahami sebanyak 20 ayat; tadabara sebanyak 8 ayat dan
tadzakara yang berarti mengingat sebanyak 100 ayat. Semua kata tersebut sejatinya
masih berkaitan dengan pengertian dari kata akal tersebut.1

Dalam komunikasi atau lisan orang Arab. Dijelaskan bahwa kata al-’aqal berati
menahan dan al-‘aqil ialah orang yang menahan diri dan mengekang hawa nafsu.
Banyak makna yang diartikan tentang ‘aqala . sejatinya asli kata ‘aqala ialah
mengikat dan menahan. Orang ‘aqil di zaman Jahiliyah dikenal dengan hamiyah atau
darah panas, maksudnya ialah orang yang dapat menahan amarahnya dan oleh
karenanya dapat mengambil sikap dan tindakan yang bijak dalam mengatasi masalah.

Lain halnya bagi Izutzu, ‘aqal di zaman Jahiliyah diartikan kecerdasan praktis.
Bahwa orang yang berakal mempunyai kecakapan untuk menyelesaikan masalah dan
di setiap saat dihadapkan dengan masalah ia dapat melepaskan diri dari bahaya yang
dihadapinya.

Dengan demikian makna dari ‘aqala ialah mengerti, memahami dan berfikir.
Secara common sense kata-kata mengerti, memahami dan berfikir, semua hal tersebut
1 Hafizh Dazuki, Ensiklopedi Islam, (Jakarta: PT Ichtar Baru Van Hoeve, 1994), Hal. 98.

3
berpusat di kepala. Hal ini berbeda dari apa yang terdapat dalam al-Qur’an dalam
surat al-Hajj, bahwa pemikiran, pemahaman dan pengertian bukan berpusat di kepala
tetapi di dada.

Bagi izutzu kata al-‘aqal masuk kedalaam wilayah filsafat Islam dan mengalami
perubahan dalam arti. Dan dengan pengaruh masuknya filsafat Yunani kedalam
pemikiran Islam, maka kata al-‘aqal mengandung arti yang sama dengan kata yunani,
nous. Filsafat Yunani mengartikan nous sebagai daya berfikir yang terdapat dalam
jiwa manusia. Dalam perkembangan zaman moderen pengertian tersebut diyakini
bahwa pemahaman dan pemikiran tidak lagi melalui al-qalb di dada tetapi melalui
al‘aql di kepala.2

Adapun seacara istilah akal memiliki arti daya berfikir yang ada dalam diri
manusia dan merupakan salah satu dari jiwa yang mengandung arti berpikir. Bagi
AlGhazali akal memiliki beberapa pengertian; pertama, sebagai potensi yang
membedakan dari binatang dan menjadikan manusia mampu menerima berbagai
pengetahuan teoritis. Kedua, pengetahuan yang diperoleh seseorang berdasarkan
pengalaman yang dilaluinya dan akan memperhalus budinya. Ketiga, akal merupakan
kekuatan instink yang menjadikan seseorang mengetahui dampak semua persoalan
yang dihadapinya sehingga dapat mengendalikan hawa nafsunya.3

Wahyu adalah sabda Tuhan yang mengandung ajaran, petunjuk dan pedoman yang
diperlukan umat manusia dalam perjalanan hidupnya, baik di dunia maupun akhirat
yaitu yang sudah tertulis di dalam al-Qur-an. Di dalam Islam wahyu atau sabda yang
disampaikan kepada Nabi Muhammad Saw. terkumpul semuanya di dalam al-Qur’an.
Wahyu juga turun untuk memberi penjelasan tentang perincian hukuman dan balasan
yang akan diterima manusia di akhirat kelak. Al-Qodi ‘Abd al-

2 Harun Nasution, Akal dan Wahyu dalam Islam (Jakarta: UI Press, 1986), Hal. 6-8.
3 Quraish Shihab, Logika Agama, (Jakarta: Lentera Hati, 2001), Hal. 87.

4
Jabbar menegaskan bahwa akal tidak dapat mengetahui besar kecilnya pahala di surga
dan hukuman di neraka nanti. Menurut Al-Jubba’i wahyulah yang menjelaskan semua
itu. Wahyu akan datang untuk memperkuat apa yang telah diketahui akal. Rasul-rasul
datang untuk memperkuat apa yang telah ditempatkan Tuhan dalam akal manusia dan
untuk menerangkan perincian apa yang telah diketahui akal. Jelas kiranya bahwa
wahyu yang memberi daya yang kuat kepada akal, tidak membelakangkan wahyu,
tetapi tetap berpegang dan berhajat pada wahyu yang disampaikan oleh Allah Swt.

Menurut bahasa, wahyu mempunyai arti pemberian isyarat, pembicaraan rahasia,


dan mengerakan hati. Sedangkan menurut istilah adalah wahyu merupakan
pemberitahuan yang datangnya dari Allah kepada para nabi-Nya yang di dalamnya
terdapat penjelasan-penjelasan dan petunjuk kepada jalan yang lurus dan benar.

Jadi bisa disimpulkan dari beberapa pendapat bahwa wahyu secara syara’ yaitu
pengetahuan yang diberikan oleh Allah kepada Nabi-nabi-Nya secara langsung
maupun tidak langsung, dengan perantaraan malaikat ataupun tidak, dengan suara
atau tidak tetap dia paham dengan apa yang telah diterimanya. Wahyu itu adalah
suatu kebenaran yang datang dari Allah kepada manusia tertentu.4

B. Pandangan Teolog Terhadap Akal dan Wahyu


Teologi sebagai ilmu yang membahas tentang ketuhanan dan
kewajibankewajiban manusia terhadap Tuhan, memakai akal dan wahyu dalam
memperoleh pengetahuan tentang kedua soal tersebut. Akal, sebagai daya berpikir
yang ada dalam diri manusia, berusaha keras untuk sampai kepada diri Tuhan, dan
wahyu sebagai pengkhabaran dari alam metafisika turun kepada manusia dengan
keteranganketerangan tentang Tuhan dan kewajiban-kewajiban manusia terhadap
Tuhan. Tuhan berdiri di puncak alam wujud dan manusia di kakinya berusaha dengan
akalnya untuk sampai kepada Tuhan; dan Tuhan sendiri dengan belas-kasihan-Nya
4 Efrianto Hutasuhut, Akal Dan Wahyu Dalam Islam (Perbandingan Pemikiran Harun
Nasution Dan Muhammad Abduh), Vol. 2, No. 1, 2017, Hal. 180.

5
terhadap kelemahan manusia, menolong manusia dengan menurunkan wahyu melalui
Nabinabi dan Rasul-rasul.

Konsepsi ini merupakan sistem teologi yang dapat digunakan terhadap


aliranaliran teologi Islam yang berpendapat bahwa akal manusia bisa sampai kepada
Tuhan. Sejatinya dalam persoalan teolog hanya mengacu kepada dua pokok masalah,
yakni kemampuan akal manusia dan fungsi wahyu dalam mengetahui Tuhan serta
baik dan jahat. Kedua masalah pokok tersebut masing-masing bercabang dua.
Masalah yang pertama bercabang menjadi mengetahui Tuhan dan kewajiban
mengetahui Tuhan. Sedangkan masalah kedua bercabang menjadi mengetahui baik
dan jahat serta kewajiban mengerjakan kebaikan dan menjauhi kejahatan. Polemik
yang terjadi antara aliran-aliran teologi Islam yang bersangkutan ialah yang manakah
di antara keempat masalah itu yang dapat diperoleh melalui akal dan yang mana yang
dapat diperoleh melalui wahyu.

Bagi kaum Mu’tazilah segala pengetahuan dapat diperoleh dengan perantara


akal, dan kewajiban-kewajiban dapat diketahui dengan pikiran yang mendalam.
Dengan demikian, berterima kasih kepada Tuhan sebelum turunnya wahyu adalah
wajib. Baik dan jahat wajib diketahui melalui akal dan demikian pula mengerjakan
yang baik dan menjauhi yang jahat juga wajib.

Dalam hubungan ini Abu al-Huzail 5 dengan tegas mengatakan bahwa sebelum
turunnya wahyu, orang telah berkewajiban mengetahui Tuhan; dan jika ia tidak
berterima kasih kepada Tuhan, ia akan mendapat hukuman. Baik dan jahat menurut
pendapatnya, juga dapat diketahui dengan perantara akal. Dengan demikian, orang
wajib mengerjakan yang baik, umpamanya bersikap lurus dan adil, dan wajib
menjauhi yang jahat seperti berdusta dan bersikap zalim.

5 Nama lengkapnya Abu Huzail Hamdan ibn Huzzai al-Allaf, ia dilahirkan pada tahun 135
H di Bashrah yang kemudian menjadi pusat pengembangan Mu’tazilah dan meninggal pada tahun
235 H.

6
Di antara pemimpin-pemimpin Mu’tazilah, antara lain al-Nazzam 6 juga
berpendapat demikian. Begitu pula al-Jubba’i7 dan anaknya Abu Hasyim.
Golongan al-Murdar bahkan pergi lebih jauh. Menurut paham mereka dalam
kewajiban mengetahui Tuhan, termasuk kewajiban mengetahui hukum-hukum dan
sifat-sifat Tuhan, sungguhpun wahyu belum ada; dan orang yang tidak mengetahui
hal itu dan tidak berterima kasih kepada Tuhan, akan mendapat hukuman kekal dalam
neraka. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa jawaban kaum Mu’tazilah atas
pernyataan keempat masalah pokok di atas adalah dapat diketahui oleh akal.

Dari aliran Asy’ariah, al-Asy’ari sendiri menolak sebagian besar dari pendapat
kaum Mu’tazilah di atas. Menurut pendapatnya, segala kewajiban manusia hanya
dapat diketahui melalui wahyu. Akal tidak dapat mengetahui bahwa mengerjakan
yang baik dan menjauhi yang buruk adalah wajib bagi manusia. Betul akal dapat
dapat mengetahui Tuhan, tetapi wahyulah yang mewajibkan orang mengetahui Tuhan
dan berterima kasih kepada-Nya. Dengan wahyu juga dapat diketahui bahwa yang
patuh kepada Tuhan akan memperoleh upah dan yang tidak patuh kepada-Nya akan
mendapat hukuman.

Dari kutipan-kutipan di atas dapat disimpulkan bahwa menurut pendapat


alAsy’ari akal tidak mampu untuk mengetahui kewajiban-kewajiban manusia. Untuk
itulah wahyu diperlukan. Akal dalam pada itu dapat mengetahui Tuhan. Tetapi apakah
akal juga dapat mengetahui mengetahui baik dan jahat, hal ini tidak dijelaskan di
dalam karangan-karangan al-Asy’ari.

6 Nama lengkapnya Ibrahim ibn Yasar ibnu Hani al-Nazzam adalah filosof pertama dari
kalangan Mu’tazilah yang paling mendalam pemikirannya. Paling berani, paling banyak berfikir
merdeka disamping orisinil pendapatnya diantara mereka. Al-Nazzam adalah anak saudara
perempuan Abu Huzail Al-Allaf dan muridnya sekaligus. Al-Nazzam dilahirkan dan dibesarkan di
Basrah, kemudian mengembara di pusat-pusat peradaban islam. Akhirnya, ia berdomisili di Baghdad.
7 Nama lengkapnya adalah Abu ‘Ali Muhammad ibn ‘abd al-Wahhab al-Jubbai, ia
dilahirkan pada tahun 235 H dan wafat pada tahun 303 H. Sebutan al-Jubba’i diambil dari nama satu
tempat yaitu Jubba di propinsi Khuzestan (Iran) tempat kelahirannya.

7
Penjelasannya harus dicari di dalam keterangan pengikutnya. Menurut
alSyahrastani Ahli Sunnah, kaum Asy’ariah berpendapat bahwa kewajiban-kewajiban
diketahui dengan wahyu dan pengetahuan diperoleh dengan akal. Akal tidak dapat
menentukan bahwa mengerjakan yang baik dan menjauhi yang jahat adalah wajib,
karena akal tidak membuat sesuatu menjadi harus atau wajib. Wahyu sebaliknya tidak
pula mewujudkan pengetahuan. Wahyu membawa kewajiban-kewajiban. Dari
keterangan ini dapat disimpulkan bahwa akal dalam pandangan kaum Asy’ariah dapat
mengetahui baik dan jahat.8

C. Pandangan Filsuf Terhadap Akal dan Wahyu

1. Rasionalisme

Rasionalisme merupakan paham filsafat yang munculnya pada zaman filsafat


modern. Tidaklah mudah membuat definisi tentang rasionalisme sebagai suatu
metode memperoleh pengetahuan, akan tetapi secara umum Rasionalisme dapat
didefinisikan dengan pahm filsafat yang menyatakan bahwa akal (reason) adalah alat
terpenting dalam memperoleh pengetahuan dan mengetes pengetahuan.9
Jika empirisme mengatakan bahwa pengetahuan diperoleh dengan alam mengalami
obyek, maka rasionalisme mengajarkan bahwa pengetahuan diperoleh dengan cara
berfikir.

Dalam bidangnya rasionalisme terbagai memnjadi dua macm, yaitu: dalam


bidang agama dan dalam bidang filsafat. Dalam bidang agama rasionalisme
digunakan untuk mengkritik ajaran agama, sedawngkan dalam filsafat berguna
sebagai teori pengetahuan.

8 Harun Nasution, Teologi Islam, (Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia (UI Pers), 1986).
Hal. 81-84
9 Ahmad Tafsir, Filsafat Umum; Akal dan Hati Sejak Thales Sampai Capra, (Bandung:
Remaja Rosda Karya, 2002), Hal. 127.

8
Tokoh yang paling populer dengan aliran rasionalisme adalah Rene Descartes
(1596 – 1650). Ealaupun diantaranya masih ada tokoh-tokoh yang lain seperti
Spinoza (1632 – 1677) dan Leinbniz (1646 – 1716).

Rene Descartes sangat terkenal dengan teorinya Discours de la mothode (1637)


dan meditations (1642). Di dalam bukunya inilah tertuang metode yang terkenal
dengan metode keraguan. Yakni populer dengan semboyannya Cogito ergo sam (saya
ragu maka saya ada).1011 Ia yakin kebenaran-kebenaran semacam itu ada, dan
kebenaran tersebut dikenal dengan cahaya yang terang dari akal dan budi. Dengan
demikian kebenaran itu bisa dipahami lewat sejenis perantara khusus, yang dengan
perantara itu dapat dikenal dengan kebenaran teknik deduktif. Dengan memakai
teknik tersebut dapat ditemukan kebenaran.12

Descartes merasa benar-benar ketegangan dan ketidakpastian yang merajalela


ketika itu dalam kalangan filsafat, Scholastik tak dapat memberi keterangan yang
memuaskan kepada ilmu dan filsafat baru yang dimajukan ketika itu kerap kali
bertentangan satusama lainnya. Filsafat menjadi kacau, demikian menurut Descartes.
Adapun tidak adanya kepastian itu karena menurut dia tak ada pangkal yang sama
dan tak ada metodos.

Maka dari itu Descartes mencari metode baru yakni metode keragu-raguan.
Descartes meragukan semua yang dapat diindera sehingga dia meragukan adanya
badannya sendiri. Keraguan ini menjadi mungkin karena pada pengalaman mimpi,
halusinasi, ilusi dan pengalaman pada roh-roh halus. Descartes menyumpulkan bahwa
jika ia ragu-ragu trerhadap sesuatu maka nampaklah kepadanya sendiri bahwa ia
berpikir.

10 Amsal Bakhtiar, Filsafat Agama, (Bukit Pemulang Indah: Lolos Wacana Ilmu, 1997), Hal.
11 .

12 Amsal Bakhtiar, M.A., Filsafat Agama, (Bukit Pemulang Indah: Lolos Wacana Ilmu,
1997), Hal. 140.

9
Keragu-raguan Descartes ini hanya metode saja, bukanlah ia ragu-ragu
sesungguhnya, melainkan untuk mencapai kepastian-kepastian yang terdapat pada
kesadaran inilah yang dipakai menjadi pangkal pikiran filsafatnya, karena kesadaran
ini nampaklah tindakah budi (ratio). Hanya rasio sajalah yang dapat membawa orang
kebenran dan dapat memberi pimpinan dalam segala jalan pikiran.

Descartes juga mengemukanan gagasan yang mepunyai hakikat obyektif,


sementara gagasan tuhan adalah gagasan tentang suatu maujud yang sepenuhnya
sempurna dan tidak memiliki keterbatasan. Descartes membuktikan bahwa setiap
pikiran fitri di dalam alam manusia adalah pikiran-pikiran tentang materi menjadi dua
bagian:

a. Pikiran-pikiran fitri (Unnase Idea) seperti gagasan tentang pertentangan


(extasion).

b. Pikiran-pikiran yang maujud (kemudian) yang megekpresikan reaksi-reaksi


tertentu juga karena pengaruh-pengaruh luar, seperti gagasan tentang suara,
rasa, panas dan warna.13

2. Empirisme
Jika kita berbicara tentang rasionalisme pada dasarnya kontras terhadap
empirisme. Kebenaran substantif dalam visi rasionalisme diperleh lewat kekuatan
argumentasi rasio manusia. Kontras dengan kebenaran substantif dalam visi
empirisme yang diperoleh lewat pengalaman empirik.

Empirisme berasal dari kata Yunani yaitu Empeirikos dari kata Empeiria artinya
pengalaman. Pengalaman dimaksud adalah pengalaman inderawi. Contohnya
manusia tahu bahwa es itu dingin karena menyentuhnya dan merasakan hal itu.
Dalam pernyataan tersebut ada tiga unsur yang perlu yaitu: yang mengetahui
(subyek), yang diketahui (obyek) dan cara ia mengetahui es itu dingin. Dengan kata
13 Poedjawijatna, Pembimbing ke Arah Alam Filsafat, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
1996), Hal. 100.

10
lain seorang empiris akan mengatakan bahwa pengetahuan itu diperoleh lewat
pengalaman-pengalaman inderawi yang sesuai.

John Locke adalah salah satu tokoh yang populer dalam aliran empirisme yang
dikenal dengan bapak empirisme Britamia, megatakan bahwa pada waktu manusia
dilahirkan akalnya merupakan sejenis buku catatan kosong atau seperti kerta putih
yang belum ternoda yagn terkenal dengan teori (Tabula rasa), dan di dalam buku
catatan itulah ditulis pengalaman-pengalaman inderawi. Ibarat kertas putih tadi
lingkungannyalah yang mencoret-coretnya. Dia memandang akal sebagai sejenis
tempat penampungan, yang secara pasit menerima hasil-hasil penginderaan.

Kemudian John Locke melanjutkan gagasannya bahwa menurutnya manusia


tidak membawa pengetahuan bawaan dalam hidupnya, akan tetapi pengetahuan di
dapat dari pengamatan. Pengamatan memberikan dua hal yakni kesan-kesan
(impressions) dan pengertian-pengertian atau idea-idea (Ideas). Yang dimaksud
denga kesan-kesan dalah pengalaman langsung yang diterima dari pengalaman baik
lahiriah maupun batiniah. Sedangakn yang dimaksud dengan idea adalah gambaran
tentang pengamatan yang redup, yang dihasilkan dengan merenungkannya kembali.
Idea kurang jelas jika dibandung dengan kesan-kesan.

Setelah itu John Locke membagi pengetahuan ke dalam beberapa macam teori
yaitu:

a. Pengetahuan intuitif (al-Ma'rifah al-Wijdaniyyah) yaitu: pengetahuan yang


dapat dicapai pikiran tanpa perlu mengakui sesuatu yang lain, seperti
pengetahuan kita bahwa satu adalah separuh dua: pengetahuan ini hakiki dan
mempunyai nilai filosofis yang sempurna.

b. Pengetahuan reflektif (al-Ma'rifah al-Ta'ammuliyah), yaitu pengetahuan yang


tidak mungkin didapat tanpa bantuan informasi sebelumnya, seperti

11
pengetahuan kita bahwa jumlah sudut sebuah segitiga adalah sama dengan
sudut siku-siku.

c. Pengetahuan yang merupakan hasil dari pengetahuan empirikal atas suatu


obyek yang sudah dieketahui. Pengetahuan empirikal tidak mempunyai nilai
filosofis.

Oleh karena itu ternyata Jhon Locke tidak percaya kepada obyetivitas semua
kualitas materi yang dikenal oleh inderewi. Semua itu bagian yang lain dianggapnya
sebagai reaksi-reaksi subyektif, seperti warna, rasa, bau, dan sifat-sifat lain begitu j
uga dengan Descartes.14

3. Al-Farabi
Al-farabi mengelompokkan akal menjadi akal praktis, yaitu yang menyimpulkan
apa yang mesti dikerjakan,dan teoritis yaitu yang membantu menyempurnakan jiwa.
Akal teoritis ini dibagi lagi menjadi, yang fisik (material), yang terbiasa (habitual),
dan yang diperoleh (acquired).
Akal fisik atau yang biasa disebut Al-Farabi sebagai akal potensial,adalah jiwa atau
bagian jiwa atau unsur yang mempunyai kekuatan mengabstraksi dan menyerap
esensi kemaujudan. Akal dalam bentuk aksi atau kadang disebut terbiasa, adalah salah
satu tingkat dari pikiran dalam upaya memperoleh sejumlah pemahaman. Karena
pikiran tak mampu menangkap semua pengertian, maka akal dalam bentuk aksilah
yang membuat ia menyerap. Begitu akal mampu menyerap abstraksi, maka ia naik ke
tingkat akal yang diperoleh, yaitu suatu tingkat dimana akal manusia mengabstraksi
bentuk-bentuk yang tidak mempunyai hubungan dengan materi. Dengan
demikian, akal mampu meningkat secara bertahap dari akal dalam bentuk daya ke
akal dalam bentuk aksi dan akhirnya ke akal yang diperoleh. Dalam akal yang
diperoleh naik ke tingkat komuni, ekstase dan inspirasi. Kemampuan akal yang
dimiliki manusia disebut akal potensial. Sejak awal keberadaanya untuk memikirkan
14 Louis O Kattsoff, Pengantar Filsafat, (Jogjakarta: Tiara Wacana, 2004), Hal. 137.

12
alam materi. Kemudian mewujud dan menjadi sebuah aktualitas dalam alam materi.
Perubahan akal potensial menjadi akal aktual inilah yang kemudian menjadikan
seseorang mulai memperoleh pengetahuan tentang konsep-konsep atau bentuk-bentuk
universal. Aktualisasi ini terjadi karena akal aktif (yang menurut filosof muslim
adalah yang terakhir dan terendah dari rangkaian sepuluh akal yang memancar dari
tuhan) mengirimkan cahaya kepada manusia, yang kemudian menjadikannya mampu
melakukan abstraksi dari benda-benda yang bisa ditangkap panca indera, kemudian
tersimpan dalam ingatan (akal manusia. Akhirnya proses abstraksi ini melahirkan
sesuatu yang intelligible (konsep-konsep yang universal).

Mengenai wahyu kenabian pada level intelektual ada tiga masalah pokok Yaitu
bahwa nabi berbeda dengan manusia yang berfikiran bisa, dan akal nabi Berbeda
dengan pikiran filosofis dan mistis bisa, tidak membutuhkan pengajar Eksternal,
tetapi berkembang dengan sendirinya dengan bantuan kekuatan illahi, Termasuk
dalam melewati tahap-tahap aktualisasi yang dilalui oleh akal bisa, dan Pada akhir
perkembangan ini, akal kenabian mencapai kontak dengan akal aktif, Yang darinya ia
menerima kekuatan spesifik kenabian.

Dengan kata lain bahwa komunikasi filosof dengan akal perolehan, sedang
Komunikasi Nabi cukup dengan daya pengreka. Kalau diuraikan tentang konsep
Emansi di atas bahwa akal bisa diartikan sebagai daya untuk memperoleh
Pengetahuan dengan cara melakukan latihan rohani atau kontemplasi sehingga
Mendapatkan ilham. Sedangkan Nabi atau Rasul bisa mencapai akal kesepuluh
Sehingga mereka tidak melakukan latihan atau kontemplasi tetapi langsung bisa
Berkomunikasi dengan akal kesepuluh. Dan juga daya yang membuat seseorang
Dapat memperbedakan antara dirinya dan benda lain dan akal juga dapat
Mengabstraksikan benda-benda yang dapat ditangkap oleh panca indra. Disamping
memperoleh pengetahuan, akal juga mempunyai daya untuk Memperbedakan antara
kebaikan dan kejahatan. Akal itu mempunyai fungsi dan Tugas moral. Yaitu bahwa

13
akal adalah petunjuk bagi manusia dan yang membuat Manusia menjadi pencipta
perbuatannya. Akal dalam pengertian Islam bukan otak, tetapi daya berfikir yang
terdapat pada jiwa manusia. Daya yang digambarkan oleh Al-Qur‟an yaitu
memperoleh pengetahuan lewat alam sekitar. Akal dalam pengertian inilah yang
dikontraksikan dalam Islam dengan wahyu yang membawa pengetahuan dari luar diri
manusia yaitu dari Tuhan.

Akal itu berasal dari Tuhan yaitu berawal dari Tuhan yang memikirkan dirinya
sendiri sehingga muncullah wujud-wujud yang lain. Wujud kesepuluh disebut akal
kesembilan dari dirinya timbul bulan dan akal kesepuluh berhenti timbulnya akalakal,
dari akal kesepuluh timbul bumi dan roh-roh dan materi pertama yang menjadi dasar
dari keempat unsur api, udara, air dan tanah. Maka dengan semestinya karena
manusia itu berasal dari Tuhan, manusia harus memiliki sifat-sifat ke-Tuhan-an.
Dengan demikian manusia bisa “bersatu” dengan Tuhan. Dan dengan adanya akal
manusia bisa hidup dengan sejahtera karena bisa berfikir dengan baik dan benar.
Selalu berfikir sebelum bertindak. Di dalam falsafah emanasi, jiwa dan akal manusia
yang telah mencapai derajat perolehan dapat mengadakan hubungan dengan akal
kesepuluh. Dan komunikasi itu bisa terjadi karena akal perolehan telah begitu terlatih
dan kuat daya tangkapnya sehingga sanggup menangkap hal-hal yang bersifat abstrak
murni.15

BAB III

PENUTUP
Kesimpulan

Akal merupakan kata yang berasal dari bahasa Arab,’aqala yang berarti
mengerti, memahami dan berfikir, namun kata akal sebagai kata benda (mashdar) dari

15 Efrianto Hutasuhut, ”Akal dan wahyu dalam islam (perbandingan pemikiran Harun Nasution dan
Muhammad Abduh)” , dalam jurnal Al-Lubb, Vol. 2, No. 1, 2017: 176-205 pada tahun 2017 Hal. 182

14
‘aqala tidak terdapat dari al-Qur’an, akan tetapi kata akal sendiri terdapat dalam
bentuk lain yaitu kata kerja (fi’il mudhori’).

Adapun seacara istilah akal memiliki arti daya berfikir yang ada dalam diri
manusia dan merupakan salah satu dari jiwa yang mengandung arti berpikir

Wahyu adalah sabda Tuhan yang mengandung ajaran, petunjuk dan pedoman
yang diperlukan umat manusia dalam perjalanan hidupnya, baik di dunia maupun
akhirat yaitu yang sudah tertulis di dalam al-Qur-an.
DAFTAR PUSTAKA

Bakhtiar, Amsal. Filsafat Agama. Bukit Pemulang Indah: Lolos Wacana Ilmu, 1997.

Dazuki, Hafizh. Ensiklopedi Islam. Jakarta: PT Ichtar Baru Van Hoeve, 1994.

Hutasuhut, Efrianto. “Akal Dan Wahyu Dalam Islam (Perbandingan Pemikiran Harun
Nasution Dan Muhammad Abduh).” Al-Lubb, Vol. 2, No. 1, 2017.

Nasution, Harun. Akal dan Wahyu dalam Islam. Jakarta: Penerbit Universitas
Indonesia (UI Pers), 1986.

—. Teologi Islam. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia (UI Pers), 1986.

Poedjawijatna. Pembimbing ke Arah Alam Filsafat, . Jakarta, : PT. Raja Grafindo


Persada, 1996.

Shihab, Quraish. Logika Agama. Jakarta: Lentera Hati, 2001.

Tafsir, Ahmad. Filsafat Umum; Akal dan Hati Sejak Thales Sampai Capra. Bandung:
Remaja Rosda Karya, 2002.

15
16

Anda mungkin juga menyukai