Anda di halaman 1dari 3

POLITIK PENDIDIKAN

Sebuah Pandangan Kritis Dalam Pemberantasan Buta Huruf


Adanya anggapan yang keliru terhadap orang yang buta huruf misalnya buta
huruf dianggap sebagai “racun” dan buta huruf dianggap sebagai “penyakit”
yang menular pada orang lain. anggapan-anggapan ini mendistorsi kriteria
keberadaban suatu masyarakat yang mengakibatkan buta huruf menjadi
ukuran ketidakberdayaan suatu masyarakat itu sendiri. Maka dari itu,
pemecahan masalah ini tergantung pada keluasan pengetahuan dan
ketajaman analisa pihak-pihak yang terlibat dalam dunia pendidikan. Jika
pengalaman mereka terbatas, mungkin karena mereka tidak mengerti atau
bisa jadi mereka tidak mau mengerti maka solusi yang di terapkan boleh dikata
selalu bersifat mekanis. Pelajaran membaca direduksi menjadi tindakan
mekanis untuk “menyetorkan” kata-kata, suku kata dan huruf-huruf kepada
orang yang buta huruf. Dengan “menyetor” ini saja tidak cukup, apalagi kalau
nanti siswa itu mengetahui makna “magis” dari sebuah kata dan lantas dia
mengiyakannya begitu saja.

Kata-kata yang diajarkan kepada siswa ini laiknya mantra. Mantra itu di
lafalkan dan merasuk ke dalam dirinya, tetapi tidak di mengerti artinya karena
orang hanya sekedar menirukan apa yang diucapkan dukun. Mantra ini juga
selalu diulang-ulang, namun maknanya tidak berhubungan dengan kehidupan
disekitarnya.

Metode pemberantasan buta huruf yang demikian ini adalah “menyetor” kata-
kata kepada siswa. Kata-kata tersebut mengandung makna “magis” yang
membuat orang menjadi cerdas ala Messiah. Orang yang buta huruf dianggap
sebagai “orang yang hilang” maka harus di temukan dan diselamatkan.
Anehnya, dia dikatakan selamat jika “sudah terisi” dengan kata-kata tadi! Inilah
suatu ungkapan yang “menakjubkan” yang di tawarkan oleh para guru kepada
mereka yang di sebut sebagai orang hilang. Guru ini sering tidak menyadari
kalau sebenarnya ia menjadi agen politik pemerintah untuk
mengkampanyekan program pemberantasan buta huruf.
Teks
Apa artinya sebuah teks yang memberikan pertanyaan dan sekaligus jawaban
yang absurd? Perhatikan contoh berikut ini, ada deu o dedo ao urubu? (apakah
ada menolong urubu?) jawaban pembuat pertanyaan itu, “saya tidak yakin ada
menolong burung itu!”

Pertama kita tidak tahu dalam konteks apa seseorang menyebut kata-kata
urubu dan menolong. Kedua, dalam menjawab pertanyaan itu, pembuat teks
secara eksplisit merasa ragu apakah urubu8 itu seekor burung, dia berharap
siswanya akan menjawab “ada menolong ‘burung itu’ daripada ‘urubu’”

Makna yang benar dari suatu teks seharusnya diperuntukkan bagi laki-laki
perempuan, masyarakat desa atau urban, pekerja, atau bahkan pengangguran.

Siswa
Jika pendekatan pemberantasan buta huruf ini tidak mempunyai “kekuatan”
paling tidak memberikan harapan kepada siswa (misalnya janji yang di
ungkapkan secara eksplisit bahwa setelah siswa menyelesaikan pelajaran ini,
mereka akan mendapatkan pekerjaan), maka cepat atau lambat pendekatan
ini tidak akan mendapat tempat di hadapan sebuah sistem yang di giting oleh
sebuah ideologi ke arah yang “menyenangkan” seperti diatas.

Teori dan Praktik


Landasan teoritis dari praktik yang saya jalankan, saya jelaskan dalam tindakan

nyata, bukan sebagai fetakompli namun sebagai gerakan yang dinamis dimana

keduanya, teori dan praktik, menciptakan dan terus menciptakan dirinya

sendiri.

Buta Huruf dan Melek Huruf


Sangat penting untuk dicatat bahwa buta huruf bukanlah masalah yang

dengan sendirinya, tetapi sebenarnya merupakan derevasi dari masalah

sebelumnya yang kemudian menjadi masalah tersediri. Tidak ada orang yang
ingin buta huruf. Orang menjadi buta huruf karna kondiri yang memaksa.
Dalam lingkungan tertentu orang yang buta huruf adalah orang yang memang
tidak butuh untuk membaca. Di lingkungan yang lain dia adalah orang yang
hak melek hurufnya di rampas. Dalam kasus ini dia memang tidak punya
pilihan lain.

Pemberantasan Buta Huruf yang Transformatif


Siswa yang terus melatih cara berpikirnya dengan selalu mencermati persoalan
dalam kehidupan mereka dan menganalisanya secara kritis, maka
mereka akan

lebih diakui dunia.

Pemberantasan buta huruf dengan demikian selalu melibatkan siswa dengan

kehidupan nyata atau hubungannya dengan orang lain. Siswa belajar

berdasarkan pada pengalaman sosialnya untuk meningkatkan kemampuan

dirinya dalam rangka rangka melakukan transformasi; ini merupakan tindakan

praksis. Sebagai “aktor” mereka melakukan transformasi dengan cara

menekuni pekerjaannya masing-masing atau “menciptakan dunianya sendiri”

catatan : ketika saya mengatakan konsep buta huruf sejauh ini adalah naif,
banyak orang yang bisa disebut naif sewaktu mereka mengungkapkan
konsep tersebut, kenyataannya pikiran mereka sangatlah licik. Mereka
sangat paham dengan apa yang mereka lakukan dan mana arah yang
akan dituju dalam kampanye pemberantasan buta huruf.

Nama : Dwi Refi Lestari

NIM : 6111161072

Kelas: Ilmu Pemerintahan B 16

Politik Pendidikan menurut PAULO FREIRE

Anda mungkin juga menyukai