Anda di halaman 1dari 11

RESUME MATERI

NAMA: RICHARDO INDRA SATRIAWAN


NIM: 2210641035

FAKULTAS TEKNIK
PRODI TEKNIK MESIN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JEMBER
2022
EKSEKUTIF

Dua dekade telah berlalu sejak Reformasi 1998 berhasil menggulingkan rezim militer
Presiden Soeharto yang korup. Namun hingga kini nyaris tidak terjadi perubahan yang
mendasar – jika tidak ingin mengatakan kemunduran – dalam agenda pemberantasan korupsi.
Walaupun secara umum ada peningkatan capaian pemberantasan korupsi seperti
tergambar lewat Corruption Perception Index maupun Control of Corruption, di berbagai
level pemerintahan korupsi beramai-ramai tetap terjadi.
Satu contoh menonjol adalah korupsi pengadaan Kartu Tanda Pen duduk eletronik (E-
KTP) yang melibatkan pengusaha, anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan pejabat
tinggi pemerintahan.
Skandal-skandal itu menunjukkan bagaimana institusi demokrasi seperti DPR, DPRD,
dan partai politik yang didirikan untuk membantu memberantas korupsi sebagai salah satu
pilar reformasi tahun 1999 telah menjelma menjadi episenter korupsi itu sendiri dengan
modus dan besaran yang semakin mengkhawatirkan.
Baru-baru ini Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memperingatkan titik-titik
rawan korupsi dalam penyaluran bantuan sosial terkait wabah COVID-19. Salah satu titik
rawan adalah perubahan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).
Penyusunan atau perubahan anggaran - baik lewat undang-undang (UU) di tingkat
nasional (APBN) maupun lewat peraturan daerah di tingkat daerah (APBD) - mensyaratkan
adanya persetujuan bersama antara eksekutif dan legislatif.
Dalam penelitian saya mengenai dampak institusi politik pada korupsi, saya
mengamati kasus-kasus korupsi dalam penyusunan atau perubahan APBN/APBD. Saya
melacak kasus korupsi politik yang menonjol antara 1999 dan 2019.
Kasus-kasus ini antara lain kasus korupsi Wisma Altet, dan kasus korupsi pengadaan
E-KTP di tingkat nasional dan di level daerah (Sumatra Barat, Sumatra Utara, Jambi, dan
Kota Malang).
Riset saya menunjukkan bahwa korupsi beramai-ramai pada masa Reformasi
disebabkan oleh akibat adanya celah dalam kelembagaan demokrasi yang memberikan aktor
ruang “demokratis” untuk melakukan korupsi.
Penyederhanaan konfigurasi politik adalah salah
LEGISLATIF

Jakarta - Baru-baru ini, para anggota DPRD Sumut periode 2009-2014 dan 2014-2019
ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Jumlahnya tak
tanggung-tanggung, 38 orang. Korupsi diduga dilakukan secara berjemaah. Para anggota
dewan itu terjerat kasus dugaan suap berupa hadiah atau janji dari mantan Gubernur Provinsi
Sumatera Utara, Gatot Pujo Nugroho. Tak pelak, uang rakyat miliaran rupiah jadi bancakan.
Per orang menerima bagian lumayan besar, Rp 300 juta hingga 350 juta.
Korupsi berjemaah yang melibatkan anggota DPRD tak hanya terjadi di Sumatera Utara.
Pada 21 Maret 2018, KPK juga menetapkan 19 tersangka dalam kasus suap pembahasan
APBD-P Kota Malang Tahun Anggaran 2015. Penetapan 19 tersangka tersebut merupakan
pengembangan dari dua tersangka sebelumnya, yaitu Pimpinan DPRD Moch Arief
Wicaksono dan mantan Kepala Dinas Pekerjaan Umum Perumahan dan Pengawasan
Bangunan (PUPPB) Kota Malang, Jarot Edy Sulistyono.

Jika ditarik lebih jauh ke belakang, kasus korupsi berjemaah sejatinya tak hanya kali
ini saja terjadi. Kasus Hambalang, kasus cek perjalanan pemilihan Deputi Gubernur BI, dan
skandal proyek e-KTP juga bikin penjara penuh dengan tersangka korupsi, yang di dalamnya
tak sedikit anggota legislatifnya. Di awal tahun 2000 juga ada kasus Kavling Gate di Jawa
Barat yang nyaris melibatkan semua anggota DPRD Jabar kala itu. Dalam kasus e-KTP
misalnya, disebutkan bahwa korupsi yang merugikan negara sebesar Rp 2,3 triliun ini
menyeret sejumlah nama, dari legislatif, eksekutif hingga pihak swasta.

Persoalan semacam ini tidak saja terkait urusan legislatif, tapi jauh lebih luas daripada
itu, yakni soal kualitas demokrasi kita yang memang buruk. Misalnya, pada 2009 lalu,
William Case (saat ini sebagai Profesor Politik di Hong Kong University) , pernah memberi
label demokrasi kualitas rendah atau low quality democracy kepada Indonesia, meskipun
waktu itu Freedom House memberi Indonesia skor baik sebagai negara dengan kategori
"free".

Menurut Case, meskipun Indonesia adalah satu-satunya negara di Asia Tenggara yang
menyandang predikat free berdasarkan penilaian Freedom House, tapi hal itu tidak serta
merta berkorelasi positif dengan kualitas demokrasi pada tataran operasional. Secara faktual,
demokrasi Indonesia baru sebatas demokrasi dengan tingkat kualitas rendah (low quality
democracy), demikian kesimpulan William Case waktu itu.

Mengapa? Karena, masih menurut Case, legislator dan pemimpin partai politik, meski
telah terpilih melalui proses demokrasi elektoral yang relatif jujur, adil, dan kompetitif,
namun tidak menghasilkan output yang suportif untuk perbaikan kehidupan publik. Mereka
justru sibuk dengan kepentingan pribadi dan kelompoknya serta mengedepankan koalisi-
koalisi yang mengkompromikan kepentingan masing-masing kelompok.

Parahnya lagi, tulis Wiliam Case, para wakil-wakil terpilih tersebut bukan saja
mengesampingkan public good, tapi juga lebih banyak mengakomodasi kepentingan
petinggi-petinggi birokrasi dan kelompok-kelompok pengusaha untuk konsesi-konsesi yang
menguntungkan pribadi atau partai. Di sinilah titik penyelewengan bermula. Legisltor bukan
lagi sebagai pejuang kepentingan pemilihnya, tapi menjadi para pencari benefit personal dan
kepartaian, yang justru acapkali sangat jauh dari aspirasi konstituen (William Case, The
Pacific Review, Vol.22 No.3 July 2009).

Ada yang menduga bahwa kongkalikong antara kepala daerah dan anggota dewan,
misalnya, terjadi karena aturan dalam pembahasan di dewan yang dianggap terlalu kompleks.
Aturan pemda mengatakan, kalau pembahasan anggaran tertunda, yang kena hukuman
kemudian adalah aparat pemerintah daerah. Nah, hal tersebut membuat pihak pemda berpikir
bahwa daripada berdebat tentang substansi anggaran terlalu lama, lebih baik dibayar saja
anggota DPRD-nya, supaya mereka tidak mempersoalkan pembahasan anggaran.

Pada tataran yang spesifik, terkadang aturan tersebut menjadi celah bagi pemerintah
di daerah yang tidak ingin terkena sanksi dengan memberi pelicin bagi dewan. Ibaratnya,
daripada kena denda, lebih baik menyawer anggota DPRD supaya jauh lebih mudah
pembahasan anggaran.

Bila kita tarik lebih jauh ke belakang, celah untuk melakukan korupsi politik secara
masif, baik lokal maupun nasional, memang telah tersedia secara matang. Katakan saja dalam
ranah pemilihan di Indonesia, untuk maju dan berkompetisi, tak sedikit calon legislatif yang
menggandeng sponsor, yakni pihak ketiga yang ikut membiayai kontestasi kandidat. Mereka
rata-rata pengusaha alias dari kalangan bisnis atau patron politik sang kandidat yang level
modalnya jauh di atasnya.

Lantas mengapa tendensinya negatif? Padahal di negara demokrasi maju,


penggalangan dana adalah hal yang biasa. Karena di Indonesia, sponsor tidak memberi secara
cuma-cuma alias no free lunch seperti sponsor konser dangdut atau acara kebudayaan.
Sponsor dalam konteks Indonesia lebih cenderung bergerak dalam logika "berbisnis dalam
politik". Sekian jumlah modal yang dikeluarkan, maka sekian kali lipat jumlah keuntungan
yang harus dibayar sebagai feedback-nya di kemudian hari.

Dan, biasanya pembayarannya tampil dalam rupa-rupa proyek pemerintah,


pemunculan pasal-pasal dalam perundangan atau perda yang menguntungkan pihak sponsor,
dan lain-lain. Kondisi paling mungkin adalah dengan tender-tender yang pemenangnya sudah
diatur sedemikian rupa, yakni berasal dari pihak sponsor atau salah satu dari jaringan pihak
sponsor. Lantas di mana salahnya? Salahnya tentu bukan pada tendernya, toh semua
pengusaha boleh ikut tender selama memenuhi kualifikasi. Tapi, apakah semua pengusaha
punya "chance" untuk menang dan mendapatkan proyek? Nah, karena prakondisi ekonomi
politik di atas tadi, jawabannya rata-rata tidak.

Pada tender-tender yang dilangsungkan di bawah mekanisme "bersponsor" rata-rata


pemenangnya sudah diatur dan ditentukan untuk menang jauh hari sebelum tender itu
dimulai. Bahkan tak menutup kemungkinan, proyek tersebut justru diusulkan oleh pihak
sponsor alias memang dikhususkan untuk dikerjakan oleh sponsor setelah kandidatnya
menang.
Bagi rakyat pemilih di daerah, syukur-syukur jika proyek yang dimunculkan
berkenaan langsung dengan kesejahteraan mereka. Jika tidak, maka tidak pula bisa diganggu-
gugat, selama secara hukum memang tak bermasalah. Jika ternyata ada kaitannya, rakyat
pemilih pun harus bersiap (baca: ikhlas) bahwa kapasitas proyek pada akhirnya hanya tersisa
sebagian saja. Karena dana proyek rata-rata sebagian harus dipakai untuk biaya-biaya politik
pemulus pemenangan tender, dikurangi net profit untuk pihak yang dapat tender. Begitulah
kira-kira cara kerjanya.

Jadi sekalipun kita berbicara demokrasi adalah sistem yang berbasiskan kedaulatan
rakyat, di mana para wakil rakyat mulai dari pusat sampai ke daerah menyatakan dirinya
sebagai penyambung aspirasi pemilih, rasanya cukup sulit juga kita untuk menemukan pada
bagian mana rakyat mendapatkan porsi kedaulatannya dalam pemilihan elektoral atau
pemilihan sejenis, selain beberapa jari yang dipakai di bilik suara. Karena level dekadensi
demokrasi sudah sangat sistemik, bercampur dengan ketahanan moral para kandidat yang
sangat rapuh, sehingga berujung pada kualitas demokrasi yang sangat mengecewakan.

TNI

Jakarta - Polisi menjelaskan penyebab penyerangan Polsek Ciracas, Jakarta Timur


(Jaktim). Menurut polisi, penyerangan itu awalnya dipicu ada seorang anggota TNI yang
menyebarkan isu bahwa dirinya menjadi korban pengeroyokan.
"Karena memang ada indikasi bahwa asal-muasal kejadian itu bermula dengan adanya
seseorang anggota TNI, hasil penyelidikan tim terpadu," kata Kabid Humas Polda Metro Jaya
Kombes Yusri Yunus kepada wartawan, Sabtu (29/8/2020).

Yusri mengatakan seorang anggota TNI inisial MI menyebarkan pesan kepada teman
satu angkatannya bahwa dirinya telah menjadi korban pengeroyokan. Namun, setelah
dilakukan penyelidikan oleh POM Kodam Jaya, ternyata anggota TNI tersebut mengalami
kecelakaan lalu lintas.

"Dia menyebarkan bahwa dia dikeroyok, disebarkan ke temen-temen satu letingnya


bahwa dia dikeroyok oleh masyarakat dan kemudian pengeroyok ditangani oleh polisi.
Sehingga rasa kebersamaan kemudian melakukan penyerangan kepada kepolisian, polsek
dalam hal ini," katanya.

"Tapi setelah hasil investigasi oleh Pomdam juga olah TKP lalu lintas dengan POM.
Ternyata yang bersangkutan itu bukan dikeroyok, tapi kecelakaan lalu lintas," sambungnya.

"Polisi apa yang dilakukan? Melakukan penyelidikan apakah kemungkinan ada orang
lain di luar dari tentara yang melakukan. Tadi kan ratusan yang melakukan," katanya.

Diketahui, peristiwa penyerangan Polsek Ciracas terjadi pada dini hari tadi. Sejumlah
kendaraan dan bangunan di Polsek Ciracas dirusak hingga dibakar.

Dilaporkan ada tiga orang terluka dalam penyerangan tersebut. Dua di antaranya
dirawat di RS. Belum diketahui motif penyerangan tersebut. Polisi bersama TNI tengah
menyelidiki kasus ini.

KPK

Yohanis mengungkapkan, awalnya dia bertanya ke penyidik KPK terkait urgensi dia
dimintai keterangan, yang kemudian dijawab oleh penyidik KPK pemeriksaannya terkait
pengangkatan Kabag Kesra Mimika Marthen Sawy di tahun 2015. Marthen diketahui menjadi
tersangka dalam kasus ini.

"Saya juga tanya itu kepada penyidik, sebenarnya apa urgensi saya diambil
keterangan. Ternyata atas pengangkatan Kabag Kesra Mimika, Marthen Sawy di 2015,"
tegasnya.

Lanjut Yohanis, dia juga dimintai keterangan KPK karena Bupati Mimika Eltinus
Omaleng yang kini menjadi tersangka selalu memberikan keterangan yang berubah-ubah.
"Jadi saya dipanggil untuk diambil keterangan sebagai data pembanding," ungkapnya.

Terkait Yohanis yang menulis nama Marthen sebagai Kabag Kesra Mimika di tahun
2015, dia menegaskan hal itu atas usulan Omaleng.

"Dulu itu memang saya tulis nama Marthen Sawy sebagai Kabag Kesra tapi itu kan atas
usulan dari bupati. Setelah saya tulis, bupati yang tandatangani SK-nya. Itu saya jelaskan ke
penyidik," jelasnya.Sementara itu Yohanis mengaku tidak tahu-menahu terkait pembangunan
Gereja Kingmi Mile 32 di Kabupaten Mimika yang menyebabkan kerugian negara Rp 21,6
miliar.

"Itu juga pertanyaan penyidik. Bahkan saya tidak diikutsertakan dalam pembangunan
gereja itu, pada rapat saja saya tidak dipanggil," ungkapnya.

Untuk diketahui, KPK telah menetapkan 3 orang tersangka dalam kasus korupsi ini,
yakni Bupati Mimika Eltinus Omaleng, Marthen Sawy selaku Pejabat Pembuat Komitmen
(PPK) dan Teguh Anggara selaku Direktur PT Waringin Megah (PT WM).

Total kontrak dari proyek pembangunan Gereja Kingmi Mile 32 di Kabupaten Mimika
sebesar Rp 46 miliar, yang dalam pengerjaannya mengakibatkan kerugian negara Rp 21,6
miliar.

"Mengakibatkan kerugian keuangan negara setidaknya sejumlah sekitar Rp 21,6 miliar


dari nilai kontrak Rp 46 miliar," kata Ketua KPK Firli Bahuri di gedung KPK, Jalan
Kuningan Persada, Kamis (8/9).

"Untuk mempercepat proses pembangunan, EO kemudian menawarkan proyek ini ke


TA dengan adanya kesepakatan pembagian fee 10 persen dari nilai proyek dimana EO
mendapat 7 persen dan TA 3 persen," ungkap Firli.

Firli mengatakan Gereja Kingmi Mile 32 tidak dibangun sesuai dengan kontrak.
Padahal, pembayaran proyek sudah dilakukan.

"Dalam perjalanannya, progres pembangunan Gereja Kingmi Mile 32 tidak sesuai


dengan jangka waktu penyelesaian sebagaimana kontrak, termasuk adanya kurang volume
pekerjaan, padahal pembayaran pekerjaan telah dilakukan," ujarnya.

Para tersangka disangkakan melanggar Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun
2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

YUDIKATIF
Ketua Komisi III DPR RI Herman Hery menjelaskan, Indonesia memiliki aturan

ketatanegaraan dan konstitusi. Sebagai negara hukum, yang berhak menentukan kasus

termasuk dalam kejahatan atau bukan adalah lembaga yudikatif seperti Mahkamah Agung

(MA), Mahkamah Konstitusi (MK) dan Komisi Yudisial (KY). Dia menyampaikan secara

jelas bahwa keputusan untuk menentukan kasus kejahatan ada di tangan lembaga yudikatif

bukan legislatif.

"Perlu saya tegaskan bahwa sebagai negara hukum, yang berhak menentukan sebuah

kasus merupakan sebuah kejahatan atau bukan adalah lembaga yudikatif," kata Herman

melalui rilis resminya yang diterima Parlementaria, Sabtu (17/1).


Penjelasan ini menanggapi pernyataan Jaksa Agung ST Burhanuddin yang menyebut

kasus Semanggi I dan II pada 1998 bukanlah pelanggaran HAM berat. Hal tersebut

disampaikan Burhanuddin dalam Rapat Kerja (Raker) Komisi III DPR RI pada Kamis

(16/1/2020) lalu yang menjelaskan perkembangan perkara HAM berat.

Untuk mengatasi polemik tersebut, Herman mengusulkan agar Komisi III DPR RI

menggelar rapat bersama dengan Kejaksaan Agung, Komnas HAM dan Kemenkopolhukam.

“Untuk menghindari polemik lebih lanjut, saya akan usulkan Komisi III untuk membuat rapat

bersama antara Jaksa Agung, Komnas HAM, dan Menkopolhukam untuk membahas kasus

ini hingga tuntas,” ungkapnya.

Herman menjelaskan DPR RI sebagai sebagai lembaga legislatif tidak memiliki

kewenangan untuk memutuskan kasus tersebut. Sebagai lembaga politik, legislatif hanya bisa

memberikan rekomendasi kepada pemerintah atau aparat penegak hukum.

Dia pun mencontohkan, rekomendasi serupa sempat diberikan Komisi III DPR RI

kepada Pimpinan DPR RI agar membuka kembali kasus Trisakti Semanggi I dan II, pada

2005 silam. "Jadi, rekomendasi DPR RI itu merupakan keputusan politik bukan merupakan

keputusan hukum," papar Herman.

Hasil penyelidikan, Komnas HAM menyimpulkan dalam kasus Semanggi I, II dan Trisakti
telah terjadi praktik Kejahatan Terhadap Kemanusiaan (Crime Against Humanity) yakni
praktik pembunuhan, perbuatan tidak berperikemanusiaan yang berlangsung secara
sistematik, meluas dan ditujukan pada warga sipil. (eko/es)
KEPOLISIAN

Polisi akan menggelar ekshumasi terhadap korban Tragedi Kanjuruhan pada Sabtu
5 November 2022. Rencananya ekshumasi ini akan dilakukan oleh tim dari Perhimpunan
Dokter Forensik Indonesia.

Kepala Bagian Penerangan Umum Divisi Hubungan Masyarakat Polri, Kombes Nurul
Azizah menjelaskan bahwa ekshumasi ini rencananya akan dilakukan di Tempat Pemakaman
Umum (TPU) yang ada di Desa Sukolilo, Kabupaten Malang.

"Rencana hari Sabtu tanggal 5 November 2022 rencana akan dilaksanakan ekshumasi
oleh Tim Perhimpunan Dokter Forensik Indonesia wilayah Jawa Timur di TPU Desa Sukolilo
Kabupaten Malang," kata Nurul di Mabes Polri pada Selasa 1 November 2022.

Nurul menyatakan ekshumasi ini akan diikuti oleh Tim Gabungan Independen Pencari
Fakta (TGIPF), Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), Komnas HAM, Asisten
Tindak Pidana Umum (Aspidum) Kejaksaan Tinggi Jawa Timur, dan Komisi Kepolisian
Nasional (Kompolnas).

"Kegiatan ekshumasi tersebut akan dihadiri oleh yang pertama LPSK, Komnas HAM
RI, TGIPF, Aspidum Kejaksaan Tinggi Jawa Timur, dan Kompolnas," ujarnya.

Sebelumnya, Keluarga korban Tragedi Kanjuruhan, Malang


membatalkan ekshumasi yang dilanjutkan dengan autopsi lantaran mengalami intimidasi.
Federasi Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) menerima
pengaduan dari Devi Athok Yulfitri, 43 tahun warga Desa Krebet Senggrong, Kecamatan
Bululawang, Kabupaten Malang.

"Awalnya Devi bersedia kedua jenazah anaknya diautopsi,” kata Sekretaris Jenderal
Federasi Kontras, Andy Irfan, Rabu 19 Oktober 2022.
Ekshumasi adalah penggalian kubur untuk identifikasi forensik penyebab kematian
seseorang.

Surat pernyataan bersedia ekshumasi dan autopsi diteken Devi 10 Oktober 2022.
Kedua putri Devi, Natasya Debi Ramadhani, 16 tahun, dan Nayla Debi Anggraeni, 13 tahun,
menjadi korban meninggal dalam tragedi Kanjuruhan 1 Oktober 2022.

Tak hanya kehilangan kedua putrinya, Devi juga kehilangan bekas istrinya. Mereka
menonton bersama laga Arema FC lawan Persebaya di stadion Kanjuruhan.

Devi, kata Andy, terintimidadi dengan kehadiran sejumlah pejabat hingga aparat
hukum. “Bahkan, mereka mendekte untuk menulis surat membatalkan autopsi,” kata Andy.

Ekshumasi ini penting untuk mengetahui penyebab kematian korban Tragedi


Kanjuruhan. Hingga saat ini, polisi menyatakan pelepasan gas air mata bukan sebgai
penyebab jatuhnya korban jiwa sebanyak 133 orang.
DAFTAR PUSTAKA
 https://news.detik.com/berita/d-5152028/polisi-penyerangan-polsek-
ciracas-bermula-dari-isu-anggota-tni-dikeroyok.
 https://news.detik.com/kolom/d-4010384/korupsi-legislatif-dan-
kualitas-demokrasi.
 https://theconversation.com/ramai-ramai-korupsi-persekongkolan-
legislatif-dan-eksekutif-138002
 https://www.detik.com/sulsel/hukum-dan-kriminal/d-6356995/bupati-
toraja-utara-11-jam-diperiksa-kpk-dimintai-keterangan-pembanding.
 https://dpr.go.id/berita/detail/id/27252/t/
Penentuan+Kasus+Kejahatan+ada+di+Lembaga+Yudikatif
 https://nasional.tempo.co/read/1651960/ekshumasi-korban-tragedi-
kanjuruhan-dilakukan-akhir-pekan-ini

Anda mungkin juga menyukai