Anda di halaman 1dari 89

KONSEP PEMBATALAN NORMA HUKUM:

(Studi Perbandingan Konsep Asas Lex Posteriori Derogat Legi Periori dan
Konsep Nasikh Mansukh)

HALAMAN SAMPUL LUAR


SKRIPSI

Oleh
Sadam Asir
21801021006

UNIVERSITAS ISLAM MALANG


FAKULTAS HUKUM
2022

i
KONSEP PEMBATALAN NORMA HUKUM:
(Studi Perbandingan Konsep Asas Lex Posteriori Derogat Legi Periori dan
Konsep Nasikh Mansukh)

HALAMAN SAMPUL DALAM


SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Syarat-Syarat


Memperoleh Gelar Kesarjanaan Dalam Ilmu Hukum

Oleh
Sadam Asir
21801021006

UNIVERSITAS ISLAM MALANG


FAKULTAS HUKUM
2022

HALAMAN PERSETUJUAN

ii
iii
HALAMAN PENGESAHAN

iv
PERNYATAAN ORISINALITAS TUGAS AKHIR

v
MOTTO DAN PERSEMBAHAN

Motto:

‫َّللاُ ََل يُ ِحب ُك َّل ُم ْختَا ٍل فَ ُخ ْو ٍر‬


َّ ‫علَى َما فَاتَ ُك ْم َو ََل تَ ْف َر ُح ْوا بِ َمآ آتَ ُك ْم ۗ َو‬ َ ْ‫ِل َكي ََْل تَأ‬
َ ‫س ْوا‬

“Agar kamu tidak bersedih hati terhadap apa yang luput dari kamu dan jangan
pula terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu dan Allah tidak
menyukai orang yang sombong dan membanggakan diri (Q.S Al-Hadid [57] :23).”

Persembahan:

Alhamdulillah, Skripsi ini saya persembahkan untuk kedua orang tua ibu Naimah

Abdussahar dan ayah Muhammad Asir serta untuk almamater saya program studi

Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Islam Malang.

vi
KATA PENGANTAR

Bismillahirrohmanirrohim

Segala puji hanya milik Allah SWT. Rasa syukur penulis panjatkan kepada

Allah SWT atas segala nikmat Rahmat dan Hidayah-Nya sehingga penulis dapat

menyelesaikan tugas akhir skripsi dengan judul KONSEP PEMBATALAN

NORMA HUKUM: (Studi Perbandingan Konsep Asas Lex Posteriorii

Derogat Legi Periori dan Konsep Nasikh Mansukh). Sholawat serta salam

selalu tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW sebagai Uswatun Hasanah.

Penulisan skripsi ini diajukan kepada Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas

Hukum, Universitas Islam Malang untuk memenuhi sebagian syarat memperoleh

gelar Sarjana Hukum (S.H). Penyusunan skripsi ini tidak akan terwujud tanpa

adanya bantuan bimbingan dan kerjasama dari berbagai pihak. Oleh karena itu,

tidak luput penulis ucapkan rasa terimakasih sebesar-besarnya kepada:

1. Prof. Dr. H. Maskuri, M.Si selaku Rektor Universitas Islam Malang, serta

seluruh jajaran Wakil Rektor Universitas Islam Malang;

2. Dr. H. Suratman, S.H., M.Hum selaku Dekan Fakultas Hukum sekaligus

sebagai Dosen Pembimbing 2 yang senantiasa membimbing dan mengarahkan

penulis dalam menyelesaikan tugas akhir skripsi, serta seluruh jajaran Wakil

Dekan Fakultas Hukum Universitas Islam Malang;

3. Dr. Diyan Isnaeni, S.H., M.Hum selaku Ketua Program Studi Ilmu Hukum

Fakultas Hukum Universitas Islam Malang;

4. Dr. H. Moh. Muhibbin, SH., M.Hum sebagai Dosen Pembimbing I yang

senantiasa meluangkan waktu untuk membimbing dan mengarahkan penulis

dalam menyusun tugas akhir skripsi hingga selesai;

vii
viii
RINGKASAN

KONSEP PEMBATALAN NORMA HUKUM:


(Studi Perbandingan Konsep Asas Lex Posteriori Derogat Legi Periori dan
Konsep Nasikh Mansukh)

Sadam Asir
Universitas Islam Malang

Indonesia menganut tiga sistem hukum yakni Sistem Hukum Civil, Sistem
Hukum Adat dan Sistem Hukum Islam. Ketiga sistem hukum tersebut berjalan
harmonis antara satu sama lain. Bahkan terdapat banyak kemiripan hukum
sebagaimana antara Asas Lex Posteriori Derogat Legi Periori dalam sistem
hukum civil dan Nasikh Mansukh dalam sistem hukum Islam. Oleh karena itu,
penelitian ini membahas tentang proses penerapan Asas Lex Posteriori Derogat
Legi Priori dan Nasikh Mansukh dalam Hukum Positif Indonesia sekaligus
mengidentifikasikan persamaan dan perbedaan kedua hukum tersebut.
Adapun jenis penelitian yang dilakukan adalah penelitian normative (legal
research). Pendekatan yang digunakan yakni pendekatan perundang-undangan
(statute approach) dan pendekatan konseptual (conceptual approach) dengan
menggunakan bahan hukum primer, sekunder dan tersier. Bahan hukum terebut
kemudian diinterpretasi, dianalisis, dikontruksikan untuk dapat menghasilkan
kesimpulan untuk menjawab isu hukum yang diangkat.
Hasil penelitian menunjukan bahwa penerapan Asas Lex Posteriori Derogate
Legi Periori dalam hukum positif meliputi tiga cara yakni: (1) mencabut secara
keseluruhan peraturan perundang-undangan yang lama dan diganti dengan baru
yang biasanya disebutkan pada bab terakhir tentang ketentuan penutup; (2)
merubah sebagian pasal pada peraturan perundang-undangan yang lama dengan
mengganti pasal baru pada peraturan perundang-undang yang baru; (3)
menambahkan pasal baru yang belum diatur dalam peraturan perundang-
undangan yang lama dalam peraturan yang baru. Sedangkan penerapan Nasikh
Mansukh dalam al-Qur’an meliputi: (1) penghapusan hukum dan teks (Nash); (2)
penghapusan hukum tanpa teks (Nash) dan (3) penghapusan teks (Nash) tanpa
hukum. Adapun persamaan Asas Lex Posteriori Derogat Legi Priori dan Nasikh
Mansukh yakni sama-sama membatalkan produk hukum yang lama dan
digantikan dengan produk hukum yang baru. Perbedaan Asas Lex Posteriori
Derogat Legi Priori dan Nasikh Mansukh terletak pada cara penerapan keduanya
dan kewenangan para pembuat hukum yakni eksekutif dan legislatif pada Asas
Lex Posteriori Derogat Legi Priori dan Alla SWT. pada Konsep Nasikh Mansukh

Kata Kunci: Asas Lex Posteriori Derogat Legi Priori, Nasikh Mansukh

ix
SUMARRY

THE CONCEPT OF CANCELLATION OF LEGAL NORMS:


(Comparative Study of the Lex Posteriori Derogat Legi Periori Concept and the
Nasikh Mansukh Concept)

Sadam Asir
University of Islam Malang

Indonesia adheres to three legal systems, namely the Civil Law System, the
Customary Law System and the Islamic Law System. The three legal systems work
in harmony with each other. In fact, there are many legal similarities as between
the Lex Posteriori Derogat Legi Periori principle in the civil law system and
Nasikh Mansukh in the Islamic legal system. Therefore, this study discusses the
process of applying the Lex Posteriori Derogat Legi Priori and Nasikh Mansukh
Principles in Indonesian Positive Law as well as identifying the similarities and
differences between the two laws by conducting a normative study (legal
research). The approach used is a statutory approach and a conceptual approach
using primary, secondary and tertiary legal materials.
The results show that the application of the Lex Posteriori Derogate Legi
Periori principle in positive law includes three ways, namely: (1) completely
revoking the old laws and regulations and replacing them with new ones which
are usually mentioned in the last chapter on closing provisions; (2) amending
some of the articles in the old laws and regulations by replacing the new articles
in the new laws and regulations; (3) adding new articles that have not been
regulated in the old laws and regulations in the new regulations. While the
application of Nasik-Mansuk in the Qur'an includes: (1) the abolition of laws and
texts (Nash); (2) abolition of law without text (Nash) and (3) abolition of text
(Nash) without law. The similarities between the Lex Posteriori Derogat Legi
Priori and Nasikh Mansukh Principles are that both cancel the old legal product
and replace it with a new legal product. The difference between the Lex Posteriori
Derogat Legi Priori and Nasikh Mansukh Principles lies in the meaning and way
of applying them.

Keywords: Lex Posteriori Derogat Legi Priori Principle, Nasikh Mansukh

x
DAFTAR ISI

Halaman
HALAMAN SAMPUL LUAR ................................................................................ i
HALAMAN SAMPUL DALAM ........................................................................... ii
HALAMAN PERSETUJUAN ................................................................................ ii
HALAMAN PENGESAHAN ................................................................................ iv
PERNYATAAN ORISINALITAS TUGAS AKHIR ............................................. v
MOTTO DAN PERSEMBAHAN .......................................................................... v
KATA PENGANTAR .......................................................................................... vii
RINGKASAN ........................................................................................................ ix
SUMARRY ............................................................................................................... x
DAFTAR ISI .......................................................................................................... xi
BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah ................................................................................ 1
B. Rumusan Masalah.......................................................................................... 5
C. Tujuan Penelitian ........................................................................................... 6
D. Manfaat Penelitian ......................................................................................... 6
E. Orisinalitas Penelitian .................................................................................... 7
F. Metode Penelitian......................................................................................... 11
G. Sistematika Penulisan ................................................................................... 16
BAB II KAJIAN PUSTAKA ................................................................................ 18
A. Asas Lex Posteriori Derogat Legi Priori .................................................... 18
1. Asas-asas Hukum .................................................................................... 18
2. Norma Hukum ........................................................................................ 23
3. Penafsiran Hukum................................................................................... 30
4. Konflik Norma Hukum (Antynomy Normen) ......................................... 35
B. Nasikh dan Mansukh .................................................................................... 39
1. Pengertian Nasikh Mansukh Menurut Imam Madzhab........................... 41
2. Pengertian Nasikh Mansukh Menurut Ulama Mutaqoddimin dan Ulama
Mutaakhirin ............................................................................................. 43
3. Nasikh Mansukh Menurut Ulama Tafsir ................................................. 46

xi
BAB III HASIL PENEITIAN DAN PEMBAHASAN ......................................... 48
A. Penerapan Asas Lex Posteriori Derogat Legi Priori dan Nasikh Mansukh
Dalam Hukum Positif Indonesia.................................................................. 48
1. Penerapan Asas Lex Posteriori Derogat Legi Priori .............................. 48
2. Penerapan Nasikh Mansukh .................................................................... 61
B. Persamaan dan Perbedaan Asas Lex Posteriori Derogat Legi Priori dan
Nasikh Mansukh Dalam Hukum Positif Indonesia ...................................... 69
BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN .............................................................. 72
A. Kesimpulan .................................................................................................. 72
B. Saran ............................................................................................................ 73
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 73

xii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Indonesia adalah negara hukum yang berasaskan Pancasila dan Undang-

Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945)

sebagai pedoman bernegara. Konsep negara hukum di Indonesia harus sesuai

dengan nilai-nilai yang tercermin dalam Pancasila. Pemahaman sempurna

terhadap konsep Negara Hukum yang berdasarkan Pancasila dapat dilihat dari

proses dan latar belakang lahirnya rumusan Pembukaan UUD 1945 yang

merupakan pernyataan kehendak lahirnya negara Indonesia, serta sebagai dasar

filosofis dan tujuan bernegara. Oleh sebab itu, kedudukan Pembukaan UUD 1945

yang juga memuat rumusan Pancasila, menjadi sumber hukum tertinggi bagi

negara hukum Indonesia. Seiring berjalannya waktu negara hukum Indonesia

mulai mengenal asas-asas dalam menerapkan suatu aturan dan perundang-

undangan yang berlaku sehingga mencegah berlakunya undang-undang yang lama

dengan undang-undang yang baru secara bersamaan.

Dalam tatanan hukum Indonesia asas tersebut dikenal dengan Asas Lex

Posteriori Derogat Legi Priori yang adalah asas hukum dalam pembuatan

peraturan perundang-undangan dimana peraturan yang baru dapat

menyampingkan peraturan yang lama. Asas ini digunakan untuk mencegah

adanya dua peraturan perundang-undangan yang sederajat dan dapat

mengakibatkan ketidakpastian hukum1.

1
Kompas.com 17/02/2022

1
2

Menurut Bagir Manan, ada dua prinsip yang harus diperhatikan dalam asas

Lex Posteriori Derogat Legi Priori, yakni2:

➢ Peraturan perundang-undangan yang baru harus sederajat atau lebih

tinggi dari aturan yang lama

➢ Peraturan perundang-undangan yang baru dan lama mengatur aspek

yang sama.

Artinya asas Lex Posteriori Derogat Legi Priori sangat penting dalam

mengiringi perjalanan tata hukum Indonesia demi terwujudnya hukum yang

berkeadilan dan sesuai peraturan. Diketahui bahwa hierarki dalam peraturan

perundang-undangan di Indonesia termaktub dalam UU Nomor 15 Tahun 2019

Perubahan Atas UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan

Perundang-undangan. Dalam Pasal 7 UU disebutkan, jenis dan hirarki peraturan

perundang-undangan Indonesia terdiri atas:

1. UUD 1945

2. Ketetapan MPR

3. UU atau Peraturan Permerintah Pengganti UU

4. Peraturan Pemerintah

5. Peraturan Presiden

6. Peraturan Daerah Provinsi

7. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota

Semenatara Menurut Hartono Hadisoeprapto memberikan penjelasan

mengenai asas lex Posteriorii derogat legi priori dengan pengertian bahwa

2
Bagir Manan, (2004), Hukum Positif Indonesia: Satu Kajian Teoritik. Yogyakarta: FH UII Press,
h.59.
3

peraturan perundang-undang yang baru merubah atau meniadakan peraturan

perundang-undangan yang lama yang mengatur materi yang sama. 3 Asas ini

berlaku untuk 2 (dua) peraturan perundang-undangan yang mengatur masalah

yang sama pada hirarki yang sama. Jadi, jika suatu peraturan perundang-undangan

telah diundangkan, walaupun dalam peraturan perundang-undangan yang baru

tidak mencabut pemberlakuan peraturan perundang-undang yang lama, maka

dengan sendirinya peraturan perundang-undangan lama yang mengatur hal yang

sama dinyatakan tidak berlaku.4

Dalam khazanah keilmuan penyusun, penyusun pernah mendengar

ataupun membaca sekilas bahwa teori Lex Posteriori Derogat Legi Priori ini

hamper sama dengan teori Nasikh dan Mansukh dalam hukum Islam. Dari segi

etimologi, kata tersebut dipakai dalam beberapa arti, antara lain pembatalan,

penghapusan, pemindahan dari satu wadah kewadah yang lain, pengubahan dan

sebagainya, dinamakan nasikh. Sedangkan yang dibatalkan, dihapus, dipindahkan,

dan sebagainya, dinamakan Mansukh. Menurut Manna’ Khalil Al Qattan dalam

bukunya “Ulumul Qur’an” bahwa nasakh adalah mengangkat atau menghapus

hukum syara’ dengan dalil syara’ yang lain yang datang kemudian. Sementara

nasikh, menurut Al Syatibi menegaskankan bahwa para ulama mutaqaddimin

(ulama abad ke I hingga abad ke III H.) memperluas arti nasikh di ataranya:

1. Pembatalan hukum yang ditetapkan kemudian.

2. Pengecualian hukum yang bersifat umum oleh hukum yang bersifat

khusus yang datang kemudian.

3
Hartono Hadisoeprapto, (2001), Pengantar Tata Hukum Indonesia, Cetakan ke-4, Yogyakarta:
Liberty, h.26.
4
Soedikno Mertokesumo, (2009) Penemuan Hukum sebuah Pengantar Jokjakarta: Liberty, h.87.
4

3. Penjelasan yang datang kemudian terhadap hukum yang belum jelas

(samar)

4. Penetapan syarat terhadap hukum terdahulu yang belum bersyarat.

Sedangkan menurut istilah ulama’ ushul, nasikh ialah membatalkan

pelaksanaan hukum syara’ dengan dalil yang datang kemudian, 5


Adanya

fenomena nasikh dan Mansukh dalam al-Qur’an dan al-Sunnah, menurut logika

dapat diterima, sebab turunnya ayat maupun wurudnya al Hadis itu terkadang

merespon langsung kebutuhan umat yang tergantung oleh kondisi sosiokultural.

Bisa terjadi ayat yang turun kemudian telah membatalkan kandungan ayat

sebelumnya akibat perubahan kondisi sosial.6

Terdapat perbedaan pendapat antara ulama mutaqaddimin dan mutaakhirin

dalam mendefinisikan nasikh secara terminologis. Perbedaan pendapat tersebut

bersumber pada banyaknya pengertian nasikh secara etimologi. Cakupan makna

yang ditetapkan ulama mutaqoddimin di antaranya:

1) Pembatalan hukum yang ditetapkan sebelumnya dengan hukum yang

ditetapkan kemudian.

2) Pengecualian/pengkhususan hukum bersifat `am/umum oleh hukum yang

lebih khusus yang datang setelahnya.

3) Bayan atau penjelasan yang datang kemudian terhadap hukum yang

bersifat samar. Penetapan syarat terhadap hukum terdahulu yang belum

bersyarat.7

5
Abdul Wahhab Khalaf, (1968), Ilmu Ushul Fiqh, ttp: Dar al-Kuwaitiyyah, al-Qur’an, h. 222
6
Subaidi, (2014), Historisitas Nasikh Mansukh dan problematikanya dalam penafsiran al- qur’an,
Hermeunetik, Vol. 8, No. 1, Juni 2014.
7
Moh. Nor Ichwan, (2002), Studi Ilmu-Ilmu al-Quran, Semarang: RaSail Media Group, h.108.
5

Sementara menurut ulama mutaakhirin, nasikh adalah dalil yang datang

kemudian, berfungsi untuk menggugurkan dan menghilangkan hukum yang

pertama. 8 Dengan demikian para ulama mutaakhirin ini mempersempit ruang

lingkup nasikh dengan beberapa syarat, baik yang menasikh maupun yang

dinasikh. Lebih lanjut ulama mutaakhirin mendefinisikan nasikh sebagai berikut :

‫رفع حكم شرعي بدليل شرعي متأخر‬

Artinya : Mengangkat (menghapus) hukum syara` dengan dalil hukum (khatab)

syara` yang datang kemudian.

Dari definisi diatas dapat dipahami bahwa dalil yang datang kemudian

disebut nasikh (yan menghapus) hukum yang terdahulu Mansukh (yang terhapus).

Sementara itu, penghapusan hukumnya disebut nasakh.9 Para ulama mutaakhirin

berpandangan bahwa Nasikh adalah suatu perubahan peraturan hukum lama yang

telah habis masa berlakunya karena adanya hukum baru yang datang dan merubah

ketentuan hukumnya.

Dari kedua penjelasan asas diatas, penulis tertarik untuk membahas kajian

KONSEP PEMBATALAN NORMA HUKUM : (Studi Perbandingan konsep

Asas Lex Posteriori Derogat Legi Priori dan Konsep Nasikh Mansukh), sebagai

cakrawala baru dalam dunia akademik untuk mengetahui seberapa besar dampak

pembaharuan hukum positif maupun hukum Islam dengan adanya konsep tersebut.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang peneliti paparkan di atas, maka

dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut:


8
Ibid
9
Kahar Mansykur, (2002), Pokok-pokok Ulumul Qur`an, Jakarta: Rineka Cipta, h.135.
6

1. Bagaimana penerapan Asas Lex Posteriori Derogat Legi Priori dan penerapan

Nasikh Mansukh dalam Hukum Positif Indonesia?

2. Apa persamaan dan perbedaan Asas Lex Posteriori Derogat Legi Priori dan

Nasikh Mansukh dalam Hukum Positif Indonesia?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan permasalahan yang telah peneliti sebutkan di atas,

maka tujuan dari penelitian ini meliputi:

1. Untuk mengetahui proses penerapan Asas Lex Posteriori Derogat Legi Priori

dan penerapan Nasikh Mansukh dalam Hukum Positif Indonesia.

2. Untuk mengetahui persamaan dan perbedaan Asas Lex Posteriori Derogat Legi

Priori dan Nasikh Mansukh dalam Hukum Positif Indonesia.

D. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara

teoritis maupun secara praktis.

1. Manfaat Teoritis

a) Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah khazanah pemikiran

mahasiswa dalam bidang hukum, khususnya dalam bidang yang berkaitan

dengan Asas Lex Posteriori Derogat Legi Priori dan Nasikh Mansukh.

b) Hasil penelitian ini diharapkan juga dapat memberikan sumbangsih ilmiah

dan sebagai bahan tambahan untuk materi akademik di Fakultas Hukum

Universitas Islam Malang.

c) Hasil penelitian ini juga diharapkan dapat dijadikan sebagai referensi atau

bahan rujukan bagi penelitian sejenis dimasa mendatang untuk

memperkaya keilmuan hukum Positif dan Hukum Islam.


7

2. Manfaat Praktis

a) Memberikan informasi kepada masyarakat tentang khazanah pemikiran

bagi perkembangan ilmu pengetahuan hukum dan hukum islam,

khususnya yang berkaitan dengan Asas lex Posteriori Derogat Legi Priori

dan Nasikh Mansukh.

b) Hasil penelitian ini dapat memberikan sumbangsi dan khazanah pemikiran

bagi perkembangan Ilmu pengetahuan Hukum, untuk para penegak hukum

dan para praktisi hukum lainnya dalam bidang Asas Lex Posteriori

Derogat Legi Priori dan Nasikh Mansukh.

c) Hasil penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan masukan bagi

pemerintah dalam membuat kebijakan agar dapat memperhatikan konsep-

konsep hukum khususnya konsep Asas Lex Posteriori Derogat Legi Priori

dan Nasikh Mansukh.

E. Orisinalitas Penelitian

Untuk menghindari duplikasi karya tulis ilmiah serta untuk menunjukan

keaslian penelitian ini, maka dirasa perlu untuk mengkaji berbagai pustaka yang

berkaitan dalam penelitian ini. Berikut penelitian terdahulu terkait dengan judul

atau pembahasan yang penyusun angkat sebagai berikut :

1. Trisno, Fakultas Hukum, Universitas Muhammadiyah Malang.10

Tabel 1.
Penelitian Terdahulu Oleh Trisno, Fakultas Hukum, Universitas Muhammadiyah
Malang

10
Trisno, (2018), Konsep Pembatalan Norma Hukum: Studi Perbandingan Konsep Nasikh-
Mansukh Menurut Imam Syafi’I dengan Konsep Judical Review dalam Hukum Positif, Skripsi dari
http://eprints.umm.ac.id/39707/ diakses pada 22 Maret 2022.
8

JUDUL SKRIPSI “Konsep Pembatalan Norma Hukum: “Studi


Perbandingan Konsep Nasikh Mansukh Menurut
Imam Syafi’I dengan Konsep Judicil Review Dalam
Hukum Positif”
RUMUSAN 1. Faktor-faktor apakah yang menyebabkan
MASALAH lahirnya nasikh-mansuk menurut Imam Syafi’i
dan judicial review dalam hukum positif?
2. Apa persamaan dan perbedaan nasikh-mansuk
dan judicial review?
HASIL 1. Faktor yang menyebabkan lahirmya nasikh-
PENELITIAN mansuk terjadi tergantung kebutuhan masyarakat
dalam melihat apakah konteks hukum Islam yang
sebelumnya relevan dengan situasi dan kondisi
saat ini. Apabilah tidak, maka para mufasir
maupun ulama fiqih bisa mencari dalil-dalil
dalam al-Qur’an yang memang pada prinsipnya
yang tidak sesuai dengan konteks saat ini daganti
dengan ayat yang relevan dengan konteks saat
ini. Sama seperti halnya judicial review dalam
hukum positif. Masyarakat bisa mengajukan
judicial review setiap saat sesuai dengan
kebutuhan masyarakat.
2. Nasikh Mansukh merupakan teori yang secara
langsung diterapkan oleh Allah SWT dengan
tujuan untuk memudahkan hamba-Nya dalam
menjalankan kewajibannya dengan mewajibkan
berbagai kewajiban, menghapus kewajiban
sebagian yang lain untuk memberi rahmat dan
kelonggaran pada hamba-Nya. Sedangkan
Judical Review merupakan sebuah mekanisme
yang diterapkan oleh lembaga peradilan guna
menguji suatu produk UU denag UUD 1945.
PERSAMAAN Persamaannya yakni sama-sama mengkaji konsep
Nasikh Mansukh (Pembatalan norma hukum Islam).
PERBEDAAN Penelitian ini meneliti pembatalan norma hukum
positif (Judicial Review) sebuah mekanisme yang
diterapkan di dalam sebuah lembaga peradilan untuk
menguji suatu produk Undang-Undang dengan
Undang-Undang Dasar 1945. Sementara penyusun
fokus dalam kajian Asas Lex Posteriorii Derogate
Legi Priori.
KONTRIBUSI Penelitian terdahulu dan penelitian penyusun berguna
bagi para cendikia yang fokus mengkaji Tata Hukum
Islam dan Tata Hukum Indonesia.
9

2. Ahmad Zaeni, Jurusan Al-ahwal Al-syakhsiyah, Fakultas Syari’ah, Universitas

Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang.11

Tabel 2.
Penelitian Terdahulu Oleh Ahmad Zaeni, Fakultas Syari’ah, Universitas Islam
Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang

JUDUL SKRIPSI Asas Lex Postyeriori Derogat Legi Priori dalam


Penemuan Hukum (Rechtsvinding) Oleh Hakim
(Studi Atas Pasal 20 A.B. dan Pasal 4 (1) UU No. 48
Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiaman
RUMUSAN 1. Bagaimana kedudukan Asas Lex Posteriori
MASALAH Derogate Legi Priori dalam sistem hukum?
2. Bagaimana kekuatan Asas Lex Posteriori
Derogate Legi Priori dalam menyelesaiakan
pertentangan antara pasal 20 A.B. dan pasal 4 (1)
UU No. 48 Thun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman mengenai kewenangan dalam
penemuan hukum (RECHTSVINDING)?
HASIL 1. Kedudukan asas hukum dalam system hukum
PENELITIAN merupakan ketentuan prinsip dalam system
hukum itu sendiri. Suatu system hukum baik
tidaknya diukur dari keterkaitannya semua unsur
system hukum teutama dalam peraturan hukum
yang berlaku sebagai pedoman untuk terciptanya
peraturan menjadi sitematis.
2. Kekuatan Asas Lex Posteriori Derogate Legi
Priori dalam menyelesaikan pertentangan antara
pasal 20 A.B. (Algemene Bepalingen van
Wetgeving voor Indonesie) yang menyebutkan
“Hakim harus mengadili menurut undang-
undang" dan pasal 4 (1) UU No. 48 Tahun 2009
tentang Kekuasaan Kehakiman yang berbunyi :
“pengadilan mengadili menurut hukum dengan
tidak membedakan orang” berlaku penyimpangan
atau pengecualian. Hal itu dikarenakan Asas Lex
Posteriori Derogate Legi Priori bersifat umum
sehingga memungkinkan adanya pengecualian-
pengecualian.
PERSAMAAN Adapun persamaan penelitian yakni sama-sama
meneliti tentang Asas Lex Posteriori Derogate Legi

11
Ahmad Zaeni, (2012), Asas Lex Posteriori Derogat Legi Priori dalam Penemuan Hukum
Rechtsvinding) Oleh Hukum, Skripsi dari http://etheses.uin-malang.ac.id/7151/1/08210066.pdf
diakses pada tanggal 18 Mei 2022.
10

Priori.
PERBEDAAN Perbedaan anatara penelitian terdahulu dengan
penelitian penyusun terletak pada objek kajian.
Penelitian terdahulu mengkaji Pasal 20 A.B. dan
pasal 4 (1) UU No.48 Tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman, sedangkan objek kajian
penyusun adalah studi perbandingan anatara Asas
Lex Posteriori Derogate Legi Priori Dan Nasikh
Mansukh.
KONTRIBUSI Berguna sebagai bahan referensi bagi para akademisi
hukum.

3. Irfan, Jurusan Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir, Fakultas Ushuluddin

Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar.12

Tabel 3.
Penelitan Terdahulu Oleh Irfan, Fakultas Ushuluddin
Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar

JUDUL SKRIPSI PENERAPAN NASIKH MANSUKH DALAM AL-


QUR’AN
RUMUSAN 1. Bagaimana Argument Kontroversi Nasikh Mansukh
MASALAH dalam Al-qur’an?
2. Bagaimana Penerapan Nasikh Mansukh dalam Al-
qur’an?
HASIL 1. Ulama yang menolak nasikh Mansukh dalam al-
PENELITIAN Qur’an menagatakan al-Qur’an tidak ada ayat yang
konradiksi, maka tidak ada ayat Mansukh, sebab
syarat suatu ayat dikatakan Mansukh harus
kontadiksi. Sedangkan ulama yang membolehkan
nasikh Mansukh berpandangan bahwa di dalam al-
Qur’an terjadi revisi, sebab terdapat ayat yang tidak
sesuai kondisi sekarang, dan adanya ayat yang
saling bertentangan. Selain dua kelompok diatas
ada ulama mutaqodddimin yang mengartikan
nasikh Mansukh secara luas dan ulama mutaakhirin
mengartikan secara sempit.
2. Penerapannya dalam Al-Qur’an terdapat bentuk-
bentuk Nasikh Mansukh seperti nasikh tidak punya
pengganti, nasikh hukum dan punya pengganti,
menasikh ayatnya namun hukumnya tetap berlaku,
12
Irfan, (2016), Penerapan Nasikh Mansukh dlam Al-Qur’an, Skripsi dari Error! Hyperlink
reference not valid. diakses pada tanggal 11 Mei 2022.
11

menasikh hukum tapi ayatnya tetap ada, dan


menasikh hukum dan ayat secara bersamaan.
PERSAMAAN Persamaannya yakni sama-sama membahas tentang
Nasikh Mansukh.
PERBEDAAN Penelitian terdahulu membahas bagaimana penerapan
Nasikh Mansukh dan kontroversinya. Penelitian
penulis tentang studi komparatif antara konsep Asas
Lex Posteriori Derogate Legi Priori dan konsep
Nasikh Mansukh.
KONTRIBUSI Menjadi salah satu teori revolutif dalam penetapan
hukum dari beberapa pendapat yang ada, dengan
harapan dapat mewujudkan hukum islam yang lebih
bermanfaat bagi umat islam dan bagi penyusun lebih
kolektif mengambil hukum yang dihasilkan dari
pendapat dua kelompok yang kontroversial tersebut.

Adapun penelitian yang sedang disusun oleh penulis sebagaimana

dirangkum dalam tabel dibawah ini:

Tabel 4.
Penelitian Oleh Sadam Asir, Fakultas Hukum Universitas Islam Malang

JUDUL SKRIPSI KONSEP PEMBATALAN NORMA HUKUM :


(Studi Perbandingan Konsep Asas Lex Posteriori
Derogat Legi Priori dan Konsep Nasikh Mansukh)
RUMUSAN 1. Bagaimana penerapan Asas Lex Posteriori Derogat
MASALAH Legi Priori dan Nasikh Mansukh Dalam Hukum
Positif Indonesia?
2. Apa persamaan dan perbedaan Asas Lex Posteriori
Derogat Legi Priori dan Nasikh Mansukh Dalam
Hukum Positif Indonesia?
NILAI 1. Objek yang diteliti berkaitan dengan perbandingan
KEBARUAN sistem hukum civil (civil law) yaitu Penerapan Asas
Lex Posteriori Derogate Legi Periori dan sitem
hukum Islam yaitu penerapan Nasikh Mansukh
dalam hukum positif di Indonesia dan persamaan
serta perbedaan keduanya.

F. Metode Penelitian

Metode penelitian hukum yang penyusun gunakan dalam penelitian ini

sebagai berikut:
12

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normative (legal

research) atau penelitian kepustakaan (library research). Penelitian hukum

normative adalah tata cara penelitian ilmiah untuk mendapatkan atau

menemukan kebenaran secara logis dalam keilmuan dari sudut pandang

normatifnya. 13 Penelitian hukum normatif juga disebut dengan penelitian

doktriner disamping penelitian kepustakaan. Hal ini dikarenakan penelitian

ditujukan hanya pada peraturan-peraturan hukum yang tertulis atau bahan

hukum lainnya yang meliputi: Bahan Hukum Primer, Bahan Hukum Sekunder,

dan Bahan Hukum Tersier.14

Berdasarkan pengertian penelitian hukum normative yang telah dipaparkan

di atas maka dapat ditarik kesimpulan bahwa bahan hukum yang digunakan

dalam memperoleh kebenaran data secara ilmiah dalam suatu penelitian

normatif tidak hanya menggunakan sudut pandang peraturan-peraturan tertulis

melainkan juga mengacu pada bahan kepustakaan atau literatur-literatur ilmiah

lainnya yang berkaitan dengan pokok permasalahan yang dibahas. Dengan

demikian, dalam mengkaji penelitian konsep pembatalan hukum antara Asas

Lex Posteriori Derogate Legi Priori dan Nasikh Mansukh, penyusun

menggunakan bahan hukum diantaranya undang-undang dan literature hukum

yang berkaitan sebagai bahan analisa penyusun untuk menemukan kebenaran

dan hasil akhir dalam penelitian ini.

2. Pendekatan Penelitian

13
Jhonny Ibrahim, (2013), Teori dan Metodelogi Penelitian Hukum Normatif, Malang:
Banyumedia. h.57.
14
Suratman dan Philip Dillah, (2020), Metode Penelitian Hukum, Bandung : Alfabeta. h. 51.
13

Pendekatan penelitian adalah suatu cara atau metode dalam melakukan


15
penelitian. Dalam penelitian ini penyusun menggunakan pendekatan

penelitian meliputi:

a. Pendekatan Perundang-Undangan (Statute Approach).16

Pendekatan perundang-undangan dilakukan dengan menganalisis

bahan hukum utama yaitu peraturan perundang-undangan yang berkenaan

dengan masalah atau isu hukum yang sedang diteliti, dalam hal ini

kaitannya dengan penelitian yang sedang dilakukan adalah peraturan

perundang-undangan yang mengatur tentang sistematika pembentukan

peraturan perundang-undangan.

Dalam pendekatan ini dilakukan analisis, mempelajarai, dan

memahami peraturan perundang-undangan secara linier dan tersistematis

untuk menghindari terjadi konflik norma antara peraturan perundang-

undangan yang satu dan lainya.

b. Pendekatan Konseptual (conceptual approach)17

Pendekatan konseptual (conceptual approach) adalah salah satu jenis

pendekatan yang terdapat dalam penelitian hukum yang menganalisis

penyelesaian permasalahan dalam penelitian hukum ditinjau dari aspek

konsep-konsep hukum yang melatarbelakanginya, atau dapat dilihat dari

nilai-nilai yang termuat dalam penormaan sebuah peraturan perundang-

undangan kaitannya dengan konsep-konsep yang digunakan. Pendekatan ini

15
Suharsimi Arikunto, (2002), Prosedur Penelitian : Suatu Pendekatan Praktek, Jakarta: Rieneka
Cipta. h. 23.
16
Syaiful Anam & Partners, Pendekatan Perundang-undangan (Statute Approach) dalam
Penelitian Hukum dari https://www.saplaw.top/pendekatan-perundang-undangan-statute-approach-
dalam-penelitian-hukum/ diakses pada 14 April 2022
17
Ibid
14

berangkat dari pendapat-pendapat dan doktrin-doktrin yang berkembang dan

berkaitan dengan penelitian yang sedang penyusun lakukan yaitu

pendekatan terhadap konsep asas Lex Posteriori Derogat Legi Priori dan

konsep nasikh mansuk.

3. Bahan Hukum

Adapun yang dimaksud dengan bahan hukum dalam penelitian

normative ini adalah bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan

bahan hukum tersier ialah sebagai berikut:

a. Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer adalah bahan hukum utama yaitu norma dasar

pancasila, peraturan dasar ; batang tubuh UUD 1945, ketetapan MPR,

peraturan perundang-undangan, hukum adat, yurisprudensi dan traktat. 18

Dalam penelitian ini sumber bahan hukum primer yang penyusun gunakan

adalah UU No. 15 Tahun 2019 tentang Perubahan atas UU No. 12 Tahun

2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan dan Al-

Qur’anul Karim.

b. Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang berkaitan erat dengan

bahan hukum primer, meliputi ; rancangan peraturan perundang-undangan,

hasil karya ilmiah, dan hasil-hasil penelitian.19 Dalam penelitian ini bahan

hukum sekuder yang penyusun gunakan yaitu buku-buku hukum dan

literature hukum yang berkaitan dengan penelitian penyusun yaitu asas lex

posteriori derogate legi priori dan Nasikh Mansukh.

18
Suratman dan Philip Dillah, Op.cit. h. 67
19
Ibid.
15

c. Bahan Hukum Tersier

Bahan hukum tersier adalah bahan-bahan yang memberikan informasi

yang berkenaan dengan bahan hukum primer dan bahan hukum

sekunder. 20 Bahan hukum tersier yang akan penyusun gunakan dalam

penelitian ini seperti ensiklopedia, kamus dan juga artikel di internet yang

sumbernya dapat dipertanggungjawabkan.

4. Teknik Memperoleh Bahan Hukum

Teknik pengumpulan bahan hukum yang penyusun lakukan adalah

membuat kartu penelitian atau (card system) yang memuat bahan-bahan

hukum baik primer, sekunder, maupun tersier yang mempunyai relevansi

terhadap isu atau masalah hukum yang sedang diteliti kemudian dianalisis

dan dibahas untuk menjawab isu atau masalah hukum yang diangkat. Maka,

dalam penelitian ini, kegiatan utamanya adalah mencari, mengumpulkan,

mengkaji, mengelolah serta menelaah sumber-sumber bahan hukum yang

berakitan dengan permasalahan hukum yang sedang diteliti.

5. Teknik Analisis Bahan Hukum

Analisis bahan hukum adalah mengelolah dan memanfaatkan bahan-

bahan hukum yang telah dikumpulakan berupa peraturan perundang

undangan, literature hukum, buku-buku dan penelitian-penelitian yang

terdahulu berkaitan dengan isu hukum secara sistematis digunakan untuk

menjawab permasalahan yang tertera pada rumusan masalah. Dalam

penelitian ini penyusun akan melakukan deskripsi atau abstraksi terhadap

bahan hukum yang telah dikumpulkan agar dapat memudahkan penyusun

20
Ibid.
16

dalam menginterpretasi dan menganalisis, serta mengkontruksi bahan

hukum baik bahan hukum primer, sekunder, dan tersier. Hal ini dilakukan

untuk dapat menghasilkan suatu kesimpulan guna menjawab isu hukum

yang diangkat sesuai dengan sistematika penulisan yang sistematis.

G. Sistematika Penulisan

Dalam bagian ini, Penyusun menyusun bagian-bagian yang akan

dibahas menjadi beberapa bab yang diusahakan dapat memberikan

kemudahan bagi para pembaca dan juga peneliti untuk dijadikan referensi

dalam kajian hukum positif Indonesia dan juga tata hukum Islam. Adapun

sistematika penyusunan hukum tersebut adalah sebagai berikut :

BAB I : PENDAHULUAN

Bab ini menjelaskan tentang latar belakang permasalahan, rumusan

masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, orisinal penelitian,

metode penelitian, sistematika penulisan.

BAB II : TINJAUAN PUSTAKA

Bab ini akan menejelaskan tinjauan pustaka perihal (a) Asas-asas

hukum, norma atau kaidah hukum, penafsiran hukum, serta konflik

hukum, hal ini berakitan dengan Asas Lex Posteriori Derogate Legi

Priori, (b) Pengertian-pengertian Nasikh Mansukh menurut ulama.

BAB III : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Bab ini membahas tentang hasil penelitian dan menjawab

permasalahn hukum yang terkandung dalam rumusan masalah

yaitu ; 1) Bagaimana Penerapan Asas Lex Posteriori Derogat Legi

Priori dan Nasikh Mansukh dalam Hukum Positif Indonesia?; 2)


17

bagaimana Persamaan dan Perbedaan Asas Lex Posteriori Derogat

Legi Priori dan Nasikh Mansukh dalam Hukum Positif Indonesia?

BAB IV : KESIMPULAN DAN SARAN

Bab akhir ini merupakan akhir dari penelitian yang berisikan

tentang kesimpulan dari hasil pembahasan serta berisi saran-saran

dan masukan sebagai sumbangan pemikiran dari penulis.


BAB II
KAJIAN PUSTAKA

A. Asas Lex Posteriori Derogat Legi Priori

1. Asas-asas Hukum

Asas hukum adalah “aturan dasar dan prinsip-prinsip hukum yang

abstrak dan pada umumnya melatarbelakangi peraturan kongkret dan

pelaksanaan hukum”. dalam bahasa ingris, kata “asas” diformatkan sebagai

“principle”, sedangkan dalam kamus besar bahasa Indonesia (1991:52), ada

tiga pengertian kata “asas”: 1) hukum dasar, 2) dasar (sesuatu yang menjadi

tumpuan berpikir atau berpendapat, dan 3) dasar cita-cita. Peraturan kongkret

(seperti undang-undang) tidak boleh bertentangan dengan asas hukum,

demikian pula dalam putusan hakim, pelaksanaan hukum, dan sistem hukum.21

Dalam kepustakaan ilmu hukum, asas hukum juga tidak selamanya

besifat universal, karena terdapat beberapa asas hukum yang bersifat sepesifik,

sebagai berikut.22

1) Nullum delictum nulla poena sine praevia lege Poenali :(asas legalitas) :

tidak ada suatu perbuatan yang dapat di hukum, sebelum didahului oleh

suatu peraturan.

2) Eidereen wordt geacht de wette kennen : setiap orang dianggap

mengetahui hukum. Artinya, apabila suatu undang-undang telah

dilembarnegarakan (diundangkan), maka undang-undang itu dianggap

telah diketahui oleh warga masyarakat, sehingga tidak ada alasan bagi

21
Marwan Mas, (2014), Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: Ghalia Indonesia. h. 11.
22
Ibid

18
19

yang melanggarnya bahwa undang-undang itu belum diketahui

berlakunya.

3) Lex superior derogat legi inferiori : hukum yang tinggi lebih diutamakan

pelaksanaannya daripada hukum yang rendah. Misalnya, undang-undang

lebih diutamakan dari pada peraturan pemerintah pengganti undang-

undang (Perpu) atau peraturan pemerintah (PP), keputusan presiden, begitu

seterusnya.

4) Lex specyalist derogat legi general : hukum yang khusus lebih diutamakan

daripada hukum yang umum. Artinya, suatu ketentuan yang bersifat

mengatur secara umum dapat dikesampingkan oleh ketentuan yang lebih

khusus mengatur hal yang sama.

5) Lex Posteriori Derogat Legi Priori: peraturan yang baru didahulukan

daripada peraturan yang lama. Artinya, undang-undang baru di utamakan

pelaksanaannya dari pada undang-undang lama yang mengatur hal yang

sama, apabila dalam undang-undang baru tersebut tidak mengatur

pencabutan undang-undang lama.

6) Lex dura, sed temen scripta : peraturan hukum itu keras, karena wataknya

memang demikian.

7) Summum ius summa iniuria : kepastian hukum yang tertinggi, adalah

ketidak-adilan yang tertinggi.

8) Ius curia novit : hakim dianggap mengetahui hukum. Artinya hakim tidak

boleh menolak mengadili dan memutus perkara yang diajukan kepadanya,

dengan alasan tidak ada hukumnya karena ia dianggap mengetahui hukum.


20

9) Presumption of innosence (praduga tak bersalah) : seseorang disebut tidak

bersalah sebelum dibuktikan kesalahannya melalui putusan hakim yang

berkekuatan hukum tetap.

10) Res judicata pro veritate habetur : setiap putusan pengadilan / hakim

adalah sah, kecuali dibatalkan oleh pengadilan yang lebih tinggi.

11) Audit et alteram partem : hakim haruslah mendengarkan para pihak secara

seimbang sebelum menjatuhkan putusannya.

12) In dubio pro reo : apabila hakim ragu mengenai kesalahan terdakwa,

hakim harus menjatuhkan putusan yang menguntungkan bagi berdakwa.

13) Fair rial atau self incrimination : pemeriksaan yang tidak memihak, atau

memberatkan salah satu pihak atau terdakwa.

14) Speedy administration of justice : peradilan yang cepat. Artinya, seseorang

berhak untuk cepat diperiksa oleh hakim demi terwujudnya kepastian

hukum bagi mereka.

15) The rule of law : semua manusia sama kedudukannya di depan hukum,

atau persamaan memperoleh perlindungan hukum.

16) Unus testis nullus testis : satu saksi bukanlah saksi. Artinya, keterangan

saksi yang hanya satu orang terhadap suatu kasus, tidak dapat dinilai

sebagai saksi.

17) Nemo judex indoneus in propria : tidak seorang pun dapat menjadi hakim

yang baik dalam perkaranya sendiri. Artinya, seorang hakim dianggap

tidak akan mampu berlaku objektif terhadap perkara hagi dirinya sendiri

atau keluarganya, sehingga ia tidak dibenarkan bertindak untuk

mengadilinya.
21

18) The binding forse of precedent atau staro decises et quieta nonmovere :

putusan pengadilan (hakim) terdahulu, mengikat hakim-hakim lain pada

peristiwa yang sama (asas ini dianut pada negara-negara yang menganut

sistem hukum Anglo Sakson, seperti Amerika Serikat dan Inggris).

19) Cogationis poenam nemo patitur : tidak seorang pun dapat dihukum

karena apa yang dipikirkan atau yang ada di hatinya. Artinya, pikiran atau

sesuatu yang ada di hati seseorang untuk melakukan kejahatan, tapi tidak

dilaksanakan atau diwujudkan, maka ia tidak boleh dihukum. Di sini

menunjukan bahwa hukum itu bersifat lahir, apa yang dilakukan secara

nyata, itulah yang diberi sanksi.

20) Restitutio in intergrun: kekacauan dalam masyarakat, haruslah dipulihkan

pada keadaan semula (aman). artinya, hukum harus memerankan

fungsinya sebagai “sarana penyelesaian konflik”.

Sementara menurut para ahli ada beberapa pengertian asas hukum ialah

sebagai berikut :23

1) Paton menyatakan, bahwa asas hukum tidak akan pernah habis

kekuatannya hanya karena telah melahirkan suatu aturan atau peraturan

hukum, melainkan tetap saja ada dan akan mampu terus melahirkan aturan

dan pertauran seterusnya.

2) Satjipto Rahardjo menyatakan, bahwa asas hukum nilai-nilai dan tuntunan-

tuntunan etis. Apabila membaca suatu peraturan hukum, mungkin

ditemukan pertimbangan etis disitu. Akan tetatpi, asas hukum menunjukan

23
Ibid
22

adanya tuntutan etis yang demikian itu, atau setidak-tidaknya kita bisa

merasakan adanya tuntutan ke arah itu.

3) Van Eikema Hommes menyatakan, bahwa asas hukum itu tidak boleh

dianggap sebagai norma-norma hukum kongkret, akan tetapi perlu

dipandang sebagai dasar hukum, atau petunjuk-petunjuk bagi hukum yang

berlaku. Pembentukan hukum, praktis perlu berorintasi pada asas-asas

hukum tersebut. Dengan kata lain, asas hukum ialah dasar-dasar atau

petunjuk arah dalam pembentukan hukum positif.

Terdapat tiga fungsi asas hukum dalam sistem hukum yaitu24.

1) Menjaga ketaatan asas atau konstitusional. Contoh, dalam Hukum acara

Perdata dianut “asas pasif bagi hakim, artinya hanya memeriksa pokok-

pokok sengketa yang ditentukan oleh para pihak yang berperkara dan

bukan oleh hakim”.

2) Menyelesaikan konflik yang terjadi di dalam sistem hukum. Fungsi antara

lain diwujudkan dalam asas hukum “lex superior derogat legi inferiori”,

yaitu aturan yang hirarkinya lebih tinggi, diutamakan pelaksanaanya

daripada aturan yang lebih rendah. Misalnya, undang-undang lebih

diutamakan pemberlakuanya daripada peraturan pemerintah, atau

peraturan pemerintah diutamakan berlakunya daripada peraturan daerah.

3) Sebagai rekayasa sosial, baik dalam sistem hukum peraturan maupun

dalam sistem peradilan. Pada fungsi rekayasa sosial, kemungkinan

difungsikannya suatu asas hukum untuk melakukan rekayasa sosial di

bidang peradilan, seperti asas Hukum Acara Peradilan di Indonesia

24
Ibid
23

menganut asas tidak ada keharusan mewakilkan kepada pengacara, diubah

menjadi “asas keharusan diwakili”.

2. Norma Hukum

Norma hukum lazimnya diartikan sebagai peraturan hidup yang

menentukan bagaimana manusia itu seyogyanya berperilaku, bersikap di dalam

masyarakat agar kepentingannya dan kepentingan orang lain terlindungi.

Norma pada hakekatnya merupakan perumusan suatu pandangan obyektif

mengenai pernilaian atau sikap yang seyogyanya dilakukan atau tidak

dilakukan, yang dilarang atau dianjurkan untuk dijalankan.25

Fungsi norma hukum pada hakekatnya adalah untuk melindungi

kepentingan manusia atau kelompok manusia. Adapun tujuan norma hukum

tidak lain adalah ketertiban masyarakat. Kalau kepentingan manusia itu

terlindungi maka keberadaan masyarakat akan tertib. Norma hukum bertugas

mengusahakan keseimbangan tatanan di dalam masyarakat dan kepastian

hukum agar tujuannya tercapai, yaitu ketertiban masyarakat. Dalam arti sempit

yang dimaksudkan dengan norma hukum adalah nilai yang terdapat dalam

peraturan konkrit. Jadi kalau asas hukum merupakan pikiran dasar yang

bersifat abstrak, maka norma hukum dalam arti yang sempit ini merupakan

nilai yang bersifat lebih konkrit daripada asas hukum.26

Norma hukum adalah kaidah atau peraturan yang dibuat oleh penguasa,

yang isinya mengikat setiap orang dan berlakunya dapat dipaksakan oleh aparat

negara dan pelaksanaanya dapat dipertahankan.27

25
Sudikno Mertokusumo, (2021), Penemuan Hukum, Yogyakarta: Liberty. h. 11.
26
Ibid
27
Ishaq, (2016) Dasar-Dasar Ilmu Hukum, Jarta: Sinar Grafika. h. 41
24

Norma hukum menurut C. S. T. Kansil adalah peraturan-peraturan yang

timbul dari norma hukum, dibuat oleh penguasa negara. Isinya mengikat setiap

orang dan pelaksanaannya dapat dipertahankan dengan segala paksaan oleh

alat-alat negara,28 misalnya :

a. Barangsiapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa

perempuan atau bukan istrinya bersetubuh dengan dia, dihukum, karena

memperkosa dengan hukuman penjara selama dua belas tahun (pasal 285

KUHP). 29 Disini ditetapkan besarnya pidana penjara untuk orang-orang

yang melakukan tindak pidana (Norma Hukum Pidana).

b. Tiap-tiap perikatan untuk berbuat seuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu,

apabila si berutang tidak memenuhi kewajibannya, mendapatkan

pneyelesaiannya dalam kewajiban memberikan penggantian biaya, rugi, dan

bunga (Pasal 1293 KUH Perdata).30 Disini ditentuka kewajiban mengganti

kerugian. (Norma Hukum Perdata)

Berdasarkan contoh diatas, bahwa sanksi dari norma hukum adalah

tegas dan dapat dipaksakan oleh aparat negara, sehingga norma hukum dapat

menjamin terciptanya ketertiban dan keadilan dalam masyarakat.

Keistimewaan norma hukum terletak pada sifatnya yang memaksa, dengan

sanksinya yang berupa ancaman hukuman. Alat-alat kekuasaan negara

berupaya agar peraturan-peratun hukum ditaati dan dilaksanakan. Sifatnya

28
Kansil, (1999), Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia Jilid I, Jakarta: Balai
Pustaka. h. 58.
29
R. Susilo, (2013), Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-
Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, Bogor: Politeia. h. 210.
30
R. Subekti, R. Tjitro Sudibio, (2009) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Jakarta : Pradnya
Paramita. h. 324.
25

yang memaksa bukan berarti sebuah kesewenang-wenangan melainkan sebagai

alat agar norma – norma hukum dapat dihormati dan ditaati.

Hans Kelsen dengan teorinya stufenbau theorie menjelaskan bahwa

norma-norma hukum itu berjenjang dan berlapis dalam satu hierarki yaitu suatu

norma hukum yang lebih rendah bersumber dari norma yang lebih tinggi yang

bersifat hipotetid dan fiktif disebut dengan (grundnorm). 31 Kemudian dalam

bukunya Theory of Law And State, Hans Kelsen mengatakan bahwa peraturan

perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan

peraturan perundangan yang lebih tinggi begitu seterusnya sampai pada

peraturan perundangan yang tertinggi yaitu staatsfundamentalnorm.32 Teori ini

kemudian dikembangkan oleh muridnya Hans Nawiasky yang mengelompokan

norma hukum menjadi 4 (empat) kelompok yaitu :

▪ Kelompok I : Staatfundamentalnorm (norma fundamental negara)

▪ Kelompok II : Staatgrundgesetz (aturan dasar negara)

▪ Kelompok III : Formell Gesetz (Undang-undang formal)

▪ Kelompok IV : Verodnung & Autonome Satzung (aturan pelaksana dan

aturan otonom)

Norma hukum biasa disebut juga kaidah hukum, Dalam bukunya Dr.

Brugink yang berjudul REFLEKSI TENTANG HUKUM yang diterbitkan oleh

PT. Citra Aditya bakti tahun 1999 halaman 100 sampai dengan halaman 107

beliau mengatakan setidaknya ada tiga kaidah hukum yang harus kita ketahui:

1) Kaidah Hukum sebagai Kaidah Perilaku

31
Sirajudin, dkk., (2016), Legislative Drafting Pelembagaan Metode Partisipatif Dalam
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Malang : Setara Press. h. 42
32
Soemardi, (2007), Teori Hukum Dan Negara , Dasar-Dasar Ilmu Hukum Normatif sebagai Ilmu
Hukum Deskriptif-Empirik, Jakarta : BEE Media Indonesia. h. 155
26

Kaidah hukum sebagai kaidah perilaku meliputi:

a) Perintah (gebod), ini adlah kewajiban umum untuk melakukan sesuatu;

b) Larangan (verbod), ini adlah kewajiban umum untuk tidak melakukan

sesuatu;

c) Pembebasan (vrijstelling, dispensasi). ini adalah pembolehan (verlof)

khusus untuk tidak melakukan sesuatu yang secara umum diharuskan;

d) izin (toestemming, permisi), ini adalah pembolehan khusus untuk

melakukan sesuatu yang secara umum dilarang.

Antara empat perintah perilaku ini terdapat berbagai hubungan, yang juga

dapat memperlihatkan hubungan logikal tertentu:

• Sebuah perintah dan sebuah larangan saling mengecualikan (saling

menutup yang satu terhadap lainnya), sebab bukankah orang tidak dapat

pada waktu yang bersamaan mengemban kewajiban untuk melakukan

sesuatu dan kewajiban untuk tidak melakukan hal itu. Jadi, terdapat suatu

pertentangan antara sebuah perintah dan sebuah larangan, dan dengan itu

orang memaksudkan bahwa suatu perilaku tertentu yang dilarang, tidak

dapat pada waktu yang bersamaan juga diharuskan, tetapi mungkin saja

terjadi bahwa perilaku tertentu ini tidak diperintahkan maupun tidak

dilarang. Dalam Logika hubungan ini disebut kontraris. Sebuah

hubungan kontraris terdapat antara dua proposisi umum atau proposisi

universal (dua-duanya berkenaan dengan kewajiban umum), yang

berbeda dalam kualitasnya (yang satu berkenaan dengan melakukan

sesuatu, yang lainnya berkenaan dengan tidak melakukan sesuatu).


27

• Sebuah perintah mengimplikasikan sebuah izin. Sebab, jika orang

mengemban kewajiban untuk melakukan sesuatu, maka orang tersebut

juga pasti mempunyai izin untuk melakukan hal itu. Dengan cara yang

sama sebuah larangan mengimplikasikan sebuah pembebasan

(dispensasi), sebab jika orang mempunyai kewajiban untuk tidak

melakukan sesuatu, maka orang termaksud itu juga mempunyai izin

untuk tidak melakukan sesuatu itu. Jadi terdapat suatu "implikasi" secara

respektif antara sebuah perintah dan sebuah izin, dan antara sebuah

larangan dan sebuah dispensasi, dalam arti bahwa jika suatu perilaku

tertentu diperintahkan maka orang itu juga mempunyai izin untuk

berperilaku demikian, dan bahwa jika suatu perilaku tertentu dilarang

maka orang itu juga dibebaskan (dari keharusan) untuk berperilaku

demikian. Dalam Logika hubungan demikian ini disebut subalternasi.

Hubungan subalternasi terdapat antara sebuah proposisi universal dan

sebuah proposisi partikular (hubungan ini berkenaan dengan di satu pihak

sebuah kewajiban umum dan di lain pihak sebuah kebolehan khusus)

yang kualitasnya sama (atau untuk melakukan sesuatu, atau untuk tidak

melakukan sesuatu).

• Sebuah izin dan sebuah dispensasi (pembebasan) tidak saling

"menggigit", sebab orang dapat mempunyai izin untuk melakukan

sesuatu, dan pada saat yang sama ia dapat mempunyai izin untuk tidak

melakukan hal itu. Jadi, antara izin dan dispensasi terdapat suatu "kontras

semu". Jika suatu perilaku tertentu diperbolehkan, maka terdapat

kemungkinan bahwa pada waktu yang bersamaan ia juga dibebaskan


28

(dari keharusan) untuk berperilaku demikian. Namun tidak mungkin

terjadi bahwa suatu perilaku tertentu tidak diperbolehkan dan orang juga

tidak dibebaskan (dari keharusan) untuk berperilaku demikian. Hubungan

ini dalam Logika disebut hubungan subkontraris.

• Akhirnya sebuah perintah dan sebuah dispensasi, seperti juga sebuah

larangan dan sebuah izin, tidak dapat ada (berlaku) bersama-sama.

Bukankah orang tidak dapat mempunyai kewajiban untuk melakukan

sesuatu sedangkan ia juga diizinkan untuk tidak melakukan hal itu.

Begitu juga orang tidak dapat mempunyai kewajiban untuk tidak

melakukan sesuatu padahal pada saat yang sama ia juga diperbolehkan

untuk melakukan hal itu. Jadi, secara respektif antara sebuah perintah dan

sebuah dispensasi, dan antara sebuah larangan dan sebuah izin terdapat

"perlawanan" (tegenspraak). Jika sebuah perilaku tertentu diperintahkan

maka orang tidak dapat dibebaskan daripadanya, dan jika suatu perilaku

tertentu dilarang maka orang tidak dapat memiliki izin untuk melakukan

hal itu. Namun dapat terjadi bahwa berkenaan dengan suatu perilaku

tertentu tidak terdapat suatu perintah maupun suatu dispensasi, atau tidak

terdapat suatu larangan maupun suatu izin. Hubungan ini dalam Logika

disebut hubungan kontradiksi.

2) Kaidah Hukum sebagai Meta-kaidah

Di samping kaidah perilaku terdapat sekelompok besar kaidah yang

menentukan sesuatu berkenaan dengan kaidah perilaku itu sendiri.

Kelompok kaidah ini kita sebut meta-kaidah. Dalam kelompok ini

dimasukan beerbagai kaidah. Hart menyebut tiga macam meta-kaidah :


29

a) Kaidah Pengakuan (Kaidah Rekognisi). Kaidah yang menetapkan kaidah

perilaku mana yang di dalam sebuah masyarakat hukum tertentu harus

dipatuhi.

b) Kaidah Perubahan. Kaidah yang menetapkan bagaimana suatu kaidah

perilaku dapat diubah.

c) Kaidah Kewenangan. Kaidah yang menetapkan oleh siapa dan dengan

melalui prosedur yang mana kaidah perilaku ditetapkan, dan bagaimana

suatu kaidah perilaku harus diterapkan jika dalam suatu kejadian tertentu

terdapat ketidakjelasan.

3) Kaidah Mandiri dan Tidak Mandiri

Akhirnya masih ada satu pembedaan terakhir yang secara umum dibuat

berkenaan dengan kaidah hukum, yang meminta perhatian, yakni antara

kaidah mandiri dan kaidah yang tidak mandiri. Banyak penyusun yang

mengadakan pembedaan demikian itu; tetapi tentang apa yang mereka

pandang sebagai kaidah mandiri dan kaidah yang tidak mandiri terdapat

perbedaan pendapat. Pembedaan ini juga tidak berbicara (mengungkakan)

banyak tentang berbagai jenis kaidah hukum, tetapi lebih tentang teori

hukum yang dianut seorang penyusun. Tiap ahli menunjuk kaidah hukum

sebagai kaidah hukum mandiri hanya yang menurut wawasannya adalah

kaidah hukum yang khas (bij uitstek, law properly so called). Jenis kaidah

hukum yang lainnya sebagai akibatnya dipandang sebagai kaidah hukum

tidak mandiri, yang harus menunjang yang mandiri. Karena itu, pembedaan

ini dalam kaitannya dengan berbagai jenis kaidah hukum adalah tidak begitu
30

penting, tetapi penting dalam hubungannya dengan berbagai pandangan

tentang hukum yang dianut.

Sebuah ilustrasi dari uraian tadi tampak pada dua penyusun berikut.

Menurut Teori Imperatif dari Engisch, inti hukum terdiri atas perintah dan

larangan. Kaidah ini dipandangnya sebagai kaidah mandiri. Menurut

pandangannya, kaidah hukum lainnya hanya mempunyai arti dalam

kerangka perintah dan larangan itu. Kaidah hukum yang misalnya memuat

definisi atau yang memberikan pembatasan pada secara respektif sebuah

perintah, dengan jalan memberikan dispensasi (pembebasan), atau sebuah

larangan, dengan jalan memberikan izin, adalah kaidah tidak mandiri.

Kaidah tersebut harus dipertautkan pada perintah atau larangan yang terkait

agar memperoleh arti yang penuh sebagai kaidah hukum.

3. Penafsiran Hukum

Dalam kepustakaan hukum, dikenal dua istilah yang pengertiannya

seringkali dipertukarkan, yakni “penafsiran" atau "interpretasi" dan

"hermeneutika”. Secara etimologis, "penafsiran” berasal dari kata "tafsir" yang

diserap dari Bahasa Arab, fassara-yufassiru-tafsiran yang berarti penjelasan,

pemahaman, dan perincian. Istilah ini kemudian diserap ke dalam Bahasa

Indonesia menjadi "tafsir".33

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, istilah "tafsir" adalah kata benda

yang berarti keterangan atau penjelasan tentang ayat-ayat Al Qur'an agar

maksudnya lebih mudah dipahami. Kata ini memiliki kata kerja "menafsirkan",

33
Dia Imaningrum Susanti, (2019), Penafsiran Hukum (Teori dan Metode), Jakarta: Sinar Grafika.
h.2
31

yang mengandung arti: 1) menerangkan maksud ayat-ayat Alquran atau kitab

suci lain; 2) menangkap maksud perkataan (kalimat), dan sebagainya tidak

menurut apa adanya saja, melainkan diterapkan juga apa yang tersirat (dengan

mengutarakan pendapatnya sendiri); mengartikan. Sementara itu, “penafsiran"

adalah proses, cara, perbuatan menafsirkan, upaya menjelaskan arti sesuatu

yang kurang jelas.34

Kata "tafsir", "penafsiran yang sudah diserap ke dalam Bahasa Indonesia

itu dipadankan dengan kata Bahasa Inggris, yakni "to interpretate" (verb) dan

"interpretation" (noun). Dalam Wordweh Dictionary, kata "Interpretation” (n)

memiliki makna: 1) A mental representation of the of something; 2) The act of

interpreting something as expressed in an artistic performance; 3) An

explanation that results from interpreting something dan 4) An explanation of

something that is not immediately obvious.35

Istilah "Interpretasi" itu sendiri berasal dari kata interpretatio yang berasal

dari Bahasa Latin yang berarti pendapat dari ahli hukum Romawi (seorang

penafsir hukum, bukan advokat) yang tidak selalu muncul di pengadilan.

Pendapat tersebut pada awalnya tidak mengikat, tetapi seringkali dikutip.36

Dalam kamus hukum Blacks Law Dictionary, penafsiran atau

interpretation adalah proses untuk menentukan apa yang dimaksud oleh

sesuatu, khususnya hukum atau dokumen hukum; dapat juga disebut sebagai

proses penentuan makna. Hal yang sama dikemukakan pula oleh James Nolan,

34
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, (2021), Kamus Besar bahasa Indonesia, Edisi
Ketiga, Jakarta: Balai Pustaka.
35
Dia Imaningrum Susanti, Op.Cit., h. 2
36
Ibid
32

bahwa Interpretation can be defined in a nutshell as conveying understanding,

bahwa manfaatnya berawal dari fakta bahwa makna yang dibawa oleh si

pembicara yang diungkapkan dalam bahasanya sendiri menjadi dipahami oleh

si pendengar atau si pembaca.37

Sementara itu, masih ada istilah lagi untuk penafsiran dan interpretasi,

yakni “hermeneutika”. Hermeneutika (n) atau hermeneutics (Inggris) adalah

seni menafsirkan teks, khususnya suatu teknik yang digunakan dalam kajian

hukum kritis. Hermeneutik (adj) adalah kata sifat yang menunjukkan makna “

“yang bersifat menjelaskan atau tafsir”. Istilah ini berasal dari bahasa Yunani :

ëpunvɛveiv ( hermeneuein), atau menafsirkan, adalah seni atau ilmu tafsir

ungkapan-ungkapan linguistik dan non-linguistik, yaitu produk objektifikasi

akal budi manusia untuk menemukan maknanya yang tersembunyi atau untuk

membuatnya dari tidak mengerti menjadi dimengerti.38

Walau berasal dari bahasa yang berbeda, ketiga istilah ini “penafsiran"

(dari Bahasa Arab kemudian diserap ke dalam Bahasa Indonesia),

"interpretasi" (dari Bahasa Latin yang diserap ke dalam Bahasa Inggris,

kemudian diserap ke dalam bahasa Indonesia), dan "hermeunetika” (dari

Bahasa Yunani kemudian diserap ke dalam Bahasa Indonesia) memiliki

padanan makna, yakni proses, cara, perbuatan menafsirkan, upaya menjelaskan

37
James Nolan, (2005), Interpretation, Techniques and Exercises, Professional Interpreting in the
Real World, Clarendon: Multilingual Matters Ltd. h. 2. dalam, Dia Imaningrum Susanti,
Penafsiran Hukum (Teori dan Metode), h. 3
38
Richard E. Palmer, (2007), The Gadamer Reader: A Bouquet of the Later Writings of
HansGeorg Gadamer, Northwestern University Press. Hal yang sama dikemukakan dalam
Svenaus, Fredrik, (2007) "Gadamerian Hermeneutics of Medicine: A Phenomenology of Health
and Hiness," dalam Andrej Wiercinski (Ed.) Between Description and Interpretation: The Her
meneutic Turn in Phenomenology. Hermeneutic Press. h. 171 dalam Dia Imaningrum Susanti,
Penafsiran Hukum (Teori dan Metode), h. 3.
33

arti suatu teks untuk menemukan maknanya atau untuk membuatnya menjadi

dipahami.39

Penafsiran atau interpretasi meneurut Soedjono Dirdjosisworo, adalah

menentukan arti atau makna suatu teks atau bunyi pasal berdasar pada

kaitannya. Sedangkan R. Soeroso berpendapat bahwa penafsiran hukum adalah

mencari dan menetapkan pengertian atas dalil-dalil yang tercantum dalam

undang-undang sesuai dengan yang dikehendaki serta yang dimaksud oleh

pembuatan undang-undang.40

Prof Sudikno Mertokusuma dalam bukunya mengenal hukum suatu

pengantar, menjelaskan bahwa penafsiran atau interpretasi hukum adalah salah

satu metode penemuan hukum yang dapat memeberikan penjelasan secara

terperinci mengenai teks yang tercantum dalam peraturan perundang-undangan

agar ruanglinkup norma atau kaidah dapat ditetapkan sehubung dengan

peristiwa tertentu. Penafsiran dilakukan oleh hakim merupakan penjelasan

yang dalam pelaksanaanya harus dapat diterima oleh masyarakat mengenai

peraturan hukum terhadap suatu peristiwa. Metode penafsiran atau interpretasi

ini juga merupakan sarana untuk mengetahui makna yang terkandung dalam

peraturan perundang-undangan.41

Ada dua pengertian penafsiran hukum menurut R. Soeroso42 yaitu :

1. Penafsiran hukum dalam pengertian subyektif dan obyektif.

39
Ibid
40
Ishak, Op.Cit. h. 309
41
Sudikno Mertokusumo, Op.Cit. h. 140
42
R. Soeroso, (2017), Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: Sinar Grafika. h. 97
34

Penafsiran peraturan perundang-undangan seperti yang dikehendaki oleh

pembuat undang-undang disebut penafsiran subyektif. Sedangkan

penafsiran obyektif adalahpenafsiran peraturan perundang-undangan tidak

harus sesuai dengan kehendak pembuat undang-undang dan penafsirannya

sesuai dengan adat bahasa sehari-hari.

2. Penafsiran hukum dalam pengertian sempit dan luas

Penafsiran hukum dalam pengertian sempit (restriktif) adalah apabila dalil

yang ditafsirkan diberi pengertian yang sangat dibatasi, misalnya dalam

pasal 1756 KUH Perdata tentang mata uang, maka pengertiannya hanya

sebatas pada pengertian uang sebagai uang logam saja, dan pada pasal 362

KUH Perdata pengertian barang hanya di artikan sebagai benda yang dapat

dilihat dan diraba saja. Sedangkan penafsiran hukum dalam pengertian

luas (ekstentif) adalahdalil yang ditafsirkan diberi pengertian seluas-

luasnya. Misalnya pada pasal 1756 KUH Perdata dapat diartikan lebih dari

benda yang dapat dilihat dan diraba saja. Contoh aliran listrik.

Yang berhak menafsirkan hukum adalah seorang yang memiliki kompeten

dibidang hukum serta mempunyai jabatan legal di pengadilan (Hakim), dan para

ahli hukum (yang berlatar belakang pendidikan hukum) juga berhak untuk

menafsirkan hukum sesuai kapasitasnya “Ahli”.

Sementara Christopher Hutton dalam bukunya language, meaning and the

law yang diterbitkan oleh edinburgh University Press pada tahun 2009 halaman

64 yang kami kutip dari bukunya Dia Imaningrum Susanti dengan judul

Penafsiran Hukum (Teori dan Metode) halaman 12. Christopher Hutton

mengatakan sampai saat ini subjek penginterpretasi yang paling menonjol adalah
35

hakim, dibandingkan penafsiran hukum yang dilakukan oleh legislator pada saat

law making proses dan ilmuan hukum. Hal ini disebabkan oeh karena kekuasaan

kehakiman berasal dari konstitusi, dan konstitusi dibuat oleh rakyat, sementara

pada saat memeriksa kasus, hakim berhadapan dengan “rakyat” itu sendiri.

Dari pendapat Christopher Hutton tersebut dapat kita simpulkan bahwa

peranan hakim sangat besar dalam menafsirkan hukum yang di buat oleh rakyat

dan diwakili oleh legislator.Sampa-sampai penafsiran hukum tersebut diputuskan

langsung oleh hakim dalam penemuan hukum yang mereka lakukan. Tentunya

kita sadari juga, bahwa hukum yang dibuat oleh rakyat akan menghadapi rakyat

itu sendiri dikarenakan setiap rakyat yang melanggar hukum tersebut harus

dihadapkan ke muka pengadilan dan diputuskan bersalah ataupun tidak oleh sang

pemutus “hakim”.

4. Konflik Norma Hukum (Antynomy Normen)

Konflik hukum terdiri dari kata konflik dan norma hukum. Konflik secara

estimologi berasal dari kata kerja latin yaitu "con" yang artinya bersama

dan "fligere" yang artinya benturan atau bertabrakan. 43 Secara umum, konflik

merupakan suatu peristiwa atau fenomena sosial di mana terjadi pertentangan atau

pertikaian baik antar individu dengan individu, individu dengan kelompok,

kelompok dengan kelompok, maupun kelompok dengan pemerintah.44

Norma hukum menurt C. S. T. Kansil adalah peraturan-peraturan yang

timbul dari norma hukum, dibuat oleh penguasa negara. Isinya mengikat setiap

43
Elly M Setiyadi, Pengantar sosiologi : pemahaman fakta dan gejala permasalahaan sosial : teori,
applikasi dan pemecahannya, Kencana 2011. Dalam Wikipedia 11/05/2022 jam 16:08
44
Ibid
36

orang dan pelaksanaannya dapat dipertahankan dengan segala paksaan oleh alat-

alat negara.45

Konflik norma adalah konflik antara norma hukum yang terjadi

disebabkan apa yang menjadi ketentuan dalam suatu norma hukum tidak

kompatibel dengan apa yang menjadi ketentuan dalam norma hukum lainnya. Hal

ini dapat menyebabkan pelanggaran terhadap satu norma hukum jika menjalankan

satu norma lainnya. Jadi konflik norma hukum bisa diartikan sebagai pertentangan

peraturan perundang-undangan baik peraturan yang lebih rendah bertentangan

dengan peraturan yang lebih tinggi (vertical), pertentangan antara peraturan

perundang-undangan yang sederajat (horizontal), atau pertentangan peraturan

perundang-undangan dalam satu instrumen yang sama (internal).46

Apabila terjadi konflik antara norma hukum maka berlaku asas preferensi

hukum yaitu asas hukum yang mengatur norma hukum mana yang didahulukan

jika terjadi konflik norma.

1. Asas Lex superiori Derogat Legi Inferiori

Asas ini disebut juga asas hieraki yang artinya norma hukum yang lebih tinggi

mengesamping norma hukum yang lebih rendah. Jadi, asas ini belaku apabila

terjadi pertentangan antara peraturan perundang-undang yang lebih rendah

dengan yang lebih tingi, maka yang dikesampingkan adalah peraturan

perundang-undang yang lebih rendah (vertical). Hierarki perarturan perundang-

undang di Indonesia diatur dalam UU Nomor 15 Tahun 2019 Perubahan Atas

45
Kansil. Op.Cit. h. 58.
46
Ida Bagus Gede Putra, (2021), Memecah Konflik Norma Dengan Asas Derogasi, dari
https://advokatkonstitusi.com/memecahkan-konflik-norma-degan-asas-derogasi/ diakses pada
tanggal 22 Mei 2022.
37

UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-

undangan. Pasal 7 UU disebutkan, jenis dan hirarki peraturan perundang-

undangan Indonesia terdiri atas:

a. UUD 1945

b. Ketetapan MPR

c. UU atau Peraturan Permerintah Pengganti UU

d. Peraturan Pemerintah

e. Peraturan Presiden

f. Peraturan Daerah Provinsi

g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota

2. Asas Lex Specialis Derogat Legi Generali

Asas ini bermakna peraturan perundang-undangan yang lebih khusus

mengesampingkan peraturan perundang-undangan yang lebih umum sifatnya.

Jadi apabila terjadi pertentangan antara undang-undang yang khusus dan umum

maka yang didahulukan adalah undang-undang yang lebih khusus sifatnya.

Menurut Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto, asas Lex Specialis

Derogat Legi Generali adalah apabila pada peristiwa khusus maka yang harus

diberlakukan adalah peraturan perundang-undangan yang menyebut peristiwa

tersebut (Lex specialis), sekalipun dalam peristiwa khusus tersebut dapat

diberlakukan peraturan perundang-undangan yang umum (Legi Generali) yang

juga menjangkau peristiwa khusus.47

Syarat berlakunya asas ini adalah :

47
Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto, (1983), Perundang-undangan dan Yurisprudensi,
Bandung : Citra Aditya Bakri. Hal. 4
38

a. Peraturan perundang-undangan yang umum tetap berlaku, kecuali diatur

khusus dalam peraturan perundang-undangan yang khusus.

b. Peraturan perundang-undangan yang khusus harus sederajat dengan

peraturan perundang-undang yang umum.

c. Peraturan perundang-undangan yang khusus harus berada dalam lingkungan

yang sama dengan peraturan perundang-undangan yang umum.

3. Lex Posteriori Derogat Legi Priori

Asas ini memberikan pengertian bahwa peraturan hukum yang baru

mengesamping peraturan hukum yang lama. Menurut Bagir Manan, ada dua

prinsip yang harus diperhatikan dalam asas Lex Posteriori Derogat Legi Priori,

yakni48:

a. Peraturan perundan-undangan yang baru harus sederajat atau lebih tinggi

dari aturan yang lama.

b. Peraturan perundang-undangan yang baru dan lama mengatur aspek yang

sama.

Selain asas derogasi sebagai solusi dalam menyelesaikan konflik norma hukum

antara peraturan perundang-undangan, terdapat juga asas hukum untuk

menyelesaikan pertentangan hukum antara putusan hakim/pengadilan yang

menyimpang dari peraturan perundangan dan hukum adat.

Apabila terjadi penyimpangan putusan pengadilan terhadap peraturan

perundang-undangan dan hukum kebiasaan maka terjadi konflik hukum antara

48
Bagir Manan, (2004), Hukum Positif Indonesia: Satu Kajian Teoritik. Yogyakarta: FH UII Press.
h. 59
39

putusan pengadilan dan peraturan hukum baik hukum tertulis maupun hukum

tidak tertulis. Penyelesaian konflik hukum ini adalah dengan asas Res Judicata

Pro Veritate Habitur yang artinya putusan pengadilan dianggap benar. 49 dapat

diartikan pula putusan pengadilan mengenyampingkan peraturan perundang-

undangan dan hukum adat apabila terjadi pertentangan diantara putusan

pengadilan dengan peraturan perundangan dan hukum adat.

B. Nasikh dan Mansukh

Nasikh secara etimologi berasal dari bahasa arab nasikha )‫ (نسخ‬yang

mempunyai beberapa arti yaitu :

1) Nasikh bermakna menyalin atau menukil, contoh : ‫ نسخت الكتاب‬yang artinya

saya telah menyalin sebuah buku.50

2) Nasikh mempunyai arti menghapus sesuatu, contoh : ‫ت الشمس الظل‬


ِ ‫ نسخ‬yang

artinya matahari menghapus bayangan. Contoh lain dalam surah al-Hajj ayat

52 yaitu :

َ ‫ش ْي‬
َّ ‫طانُ يُ ْح ِك ُم‬
‫َّللاُ ءايَتِ ِه‬ َّ ‫َّللاُ َما يُ ْل ِقى ال‬
َّ ‫خ‬ َ ‫فَيُ ْن‬
ُ ‫س‬

Artinya : Allah menghapus (menghilangkan) apa yang diamsukan syaitan

itu, dan Allah menguatkan ayat-ayatnya.

3) Nasikh berarti merubah contoh : ‫ نسخت الريح آثارالدار‬yang artinya angin

telah merubah sisa-sisa puing rumah (menjadi tidak ada).

4) Nasikh yang artinya pengganti, misal firman Allah dalam surah an-Nahl

ayat 101 :

49
M. Bakri, (2011), Pengantar Hukum Indonesia : Sistem Hukum Indonesia Pada Era Revormasi,
Malang : UB Press, h. 132
50
Luwis Ma’luf, (2003), Al-Munjid fi al-Lughah, Beirut: Dar al-Mashriq. h. 805.
40

َّ ‫َوإِذَا بَ َّد ْلنَآ َءيَةً َّمكَانَ َءيَ ٍة ۙ َو‬


‫َّللاُ أَ ْعلَ ُم ِب َما يُنَ ِز ُل قَلُ ْوا إِنَّ َمآ أَ ْنتَ ُم ْفتَ ٍٍۚر بَ ْل أَ ْكثَ ُرهُ ْم ََل يَ ْعلَ ُم ْو َن‬

Artinya : Dan apabila kami letakkan suatu ayat di tempat lain sebagai

penggantinya, padahal Allah lebih mengetahui apa yang

diturunkan-Nya, mereka berkata : sesungguhnya kamu adalah

orang yang mengada-adakan saja. Bahkan kebanyakan mereka

tiada mengetahui.

Sedangkan Mansukh secara bahasa adalah isim maf’ul dari nasakha yang

artinya yang terhapus.

Nasikh Mansukh secara epistimologi menurut ulama ushul fiqh yaitu :

‫رفع الحكم الشرعي بدليل شرعي متأخرا‬

Yang berarti : pembatalan hukum syar’i dengan dalil syar’i yang datang

kemudian

Jadi, Nasikh Mansukh adalah dalil hukum syar’i yang datang belakang

menghapus pemberlakuan dalil syar’i yang datang terlebih dahulu dan

menggantinya.

Dalil-dali tentang Nasikh Mansukh dalam al-Qur’an :

1. Qur’an surah al-Baqarah ayat 106 :

‫شىءٍ قَ ِديْر‬
َ ‫علَى ك ُِل‬ َ َّ َّ‫ت بِ َخي ٍْر ِم ْن َهآ أَ ْو ِمثْ ِل َه ۗآ أَلَ ْم تَ ْعلَ ْم أَن‬
َ ‫َّللا‬ ِ ْ‫س َها نَأ‬
ِ ‫س ْخ ِم ْن َءايَ ٍة أَ ْو نُ ْن‬
َ ‫َما نَ ْن‬

Artinya : Ayat mana saja yang kami nasikhkan, atau kami jadikan manusia

lupa kepadanya, kami datangkan yang lebih baik dari padanya

atau yang sebanding dengannya. Tidakkah kamu mengetahui

bahwa sesungguhnya Allah Maha kuasa atas segala sesuatu?

2. Qur’an surah an-Nahl ayat 101 :

َّ ‫َو ِإذَا بَ َّد ْلنَآ َءيَةً َّمكَا َن َءيَ ٍة ۙ َو‬


‫َّللاُ أَ ْعلَ ُم ِب َما يُنَ ِز ُل قَلُ ْوا ِإنَّ َمآ أَ ْنتَ ُم ْفتَ ٍٍۚر بَ ْل أَ ْكثَ ُرهُ ْم ََل يَ ْعلَ ُم ْو َن‬
41

Artinya : Dan apabila kami letakkan suatu ayat di tempat lain sebagai

penggantinya, padahal Allah lebih mengetahui apa yang

diturunkan-Nya, mereka berkata: sesungguhnya kamu adalah

orang yang mengada-adakan saja. Bahkan kebanyakan mereka

tiada mengetahui.

Kedua dalil diatas menunjukan bahwa adanya Nasikh Mansukh dalam al-

Qur’an. Ibnu Katsir dalam karyanya berpandangan bahwa kata Nasikh yang

terdapat dalam Qur’an surah al-Baqarah ayat 106 mempunyai makna tabdil

(mengganti/merubah). Konteksnya adalah perubahan atau penggantian itu ada

pada ketetapan hukum yang terkandung dalam ayat. Hukum yang terkandung

dalam ayat semulanya boleh bisa menjadi dilarang dengan hukum yang

terkandung dalam ayat yang datang kemudian, dan hukum yang awalnya tidak

boleh menjadi boleh. perubahan hukum ini terjadi menurut Ibnu Katsir

disebabkan adanya ayat yang ketentuan hukumnya diganti dengan ayat yang lain

yang datang kemudian.51 Kemudian kata tabdil (mengganti) pada surah an-Nahl

ayat 101 menurut al-Qurtubi dalam tafsirnya yang artinya penggantian hukum.

Beliau juga mengutip pandang seorang mujahid yaitu Allah mengangkat suatu

ayat tertentu lalu mengisinya dengan ayat yang lain.52

1. Pengertian Nasikh Mansukh Menurut Imam Madzhab

1) Nasikh Mansukh Menurut Mazhab Imam Hanafi: Al-Sarakhsi dari ulama

Hanafiyah berpendapat bahwa kata nasikh dalam arti “menyalin” atau

51
Isma’il Ibn Kathir, Tafsir al-Qur’an al-Azim (Beirut: Muassasah al-Rayyan), vol. 1, 198-199.
dalam Rahman Hakim, (2015), Nasikh Mansukh Dalam Al-qur’an, Studi Komparatif Interpretasi
Nawawi al-Bantani dan Quraish Shihab terhadap Q.S. al-Baqarah Ayat 106 dan an-Nahl ayat
101, Surabaya : UIN Sunan Ampel. h. 22
52
Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad al-Ansari al-Qurtubi, al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an
(Beirut: Dar al-Ihya’ al-Turath al-‘Arabiyy, 2002), vol. lihat Arif Rahman, Tesis. Ibid
42

“memindahkan”, “meniadakan” atau “membatalkan” bukan dalam arti

hakiki, tetapi hanya majazi. Dalam kalimat “menasikhkan buku” tidak

mungkin dalam arti “memindahkan”, karena sesudah dinasikhkan ternyata

buku itu masih tetap di tempat semula; yang terjadi hanyalah membuat hal

yang sama ditempat lain. Menasikhkan Hukum juga tidak berarti

“meniadakan”, karena hukum semula masih tetap ada; yang berlaku

hanyalah mensyaria’tkan hukum yang semisal dengan hukum itu masa

mendatang. Begitu pula nasikh dalam arti “meniadakan”, hanyalah dalam

arti majazi. Menasikhkan batu tidaklah berarti “meniadakan” batu itu, tetapi

yang terjadi adalh bahwa batu terdapat di tempat lain.53

2) Nasikh Mansukh Menurut Mazhab Imam Syafi’i: Al-Qaffal (bermazhab

Syafi‟iyyah) berpendapat bahwa nasikh dalam arti “menyalin” atau

“memindahkan”. Imam Syafi’i sendiri berpendapat bahwa makna dari

lafadz nasikha ialah meninggalkan satu kefardhuan yang pada mulanya

merupakan satau kefardhuan di masanya dan meninggalkan kefardhuan

tersebut merupakan satu kefardhuan pula jika Allah telah menasikhnya.

Maka seorang yang mendapati kewajiban tersebut dibebani kewajiban untuk

mentaatinya (jika belum dinasikh) dan juga mempunyai kewajiban untuk

meninggalkan kefarduhan tersebut (jika memang telah dinasikh) dan barang

siap yang tidak mendapati kewajiban dibebani kewajiban untuk bersikap

taat mengikuti (ketentuan) kefardhuan dalil nasikh baginya.54 Imam Syafi’i

berpendapat bahwa rahasia dibalik disyariatkannya naskh ialah sebagai

53
Amir Syarifuddin, (1992), Ushul Fiqh Jilid 1. Ciputat: PT. Logos Wacana Ilmu. h. 211
54
Abi Abdullah Muhammad Bin Idris As-Syafi‟I, Ar-Risalah dalam Ahmad Hasanuddin Brutu,
(2008), Teori Nasikh-Mansukh Imam As-Syafi‟I dan Relevansinya Dalam Pembaharuan Fiqih di
Indonesia Skripsi, Malang: UIN Maulana Malik Ibrahim. h. 50
43

rahmat bagi manusia, baik untuk meringankan maupun untuk meluaskan

syari’at tersebut bagi manusia. Imam Syafi’i berpandangan bahwa

sesungguhnya Allah menciptakan makhluknya namun ilmu Allah sendiri

telah mendahului penciptaan makhluk tersebut dari apa-apa yang Dia

maksudkan pada penciptaan mereka dan pada diri mereka sendiri. Tidak

seorangpun yang berhak mengganti hukum-hukum-Nya. Dan Dia-lah dzat

yang maha cepat perhitungannya.55

Imam Syafi’i mengakui keberadaan nasikh dalam Islam dengan

menjelaskan, Allah swt telah menurunkan kitab sebagai petunjuk dan

rahmat bagi hambah-Nya. Didalam kitab, Allah mewajibkan berbagai

kewajiban, dan Allah pula berhak menghapus kewajiban sebagian yang lain,

karena untuk memberi rahmat dan kelonggaran bagi hambah-Nya.56

Teori nasikh yang dipakai Imam Syafi’i berbeda dengan teori yang

dipegang oleh jumhur ulama lain. Menurutnya, nasikh hanya berlaku

terhadap al-Kitab dengan al-Kitab atau as-Sunnah dengan as-Sunnah. Ia

menjelaskan, bahwa Allah telah menegaskan ketentuan dalam al-Kitab

hanya bisa dihapuskan oleh al-Kitab sendiri. Artinya as-Sunnah tidak bisa

menghapus hukum yang terdapat dalam al-Kitab. Karena as-Sunnah, justru

harus mengikuti ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam al-Kitab, baik

dalam memberikan penegasan atau penjelasan.57

2. Pengertian Nasikh Mansukh Menurut Ulama Mutaqoddimin dan Ulama

Mutaakhirin

55
Ibid h. 87
56
Abi Abdullah Muhammad bin Idris as-Syafi’I, Ar-Risalah. Dalam Dongeng, Metode Ijtihad
Imam Syafi‟I (t.p, t.thn), h. 25-26
57
Ibid
44

1) Nasikh Mansukh Menurut Ulama Mutaqoddimin :

Terdapat perbedaan pendapat antara ulama mutaqaddimin dan mutaakhirin

dalam mendefinisikan nasikh secara terminologis. Perbedaan pendapat

tersebut bersumber pada banyaknya pengertian nasikh secara etimologi

sebagaimana dijelaskan di atas. Cakupan makna yang ditetapkan ulama

mutaqoddimin diantaranya:

a. Pembatalan hukum yang ditetapkan sebelumnya dengan hukum yang

ditetapkan kemudian ;

b. Pengecualian / pengkhususan hukum bersifat `am /umum oleh hukum

yang lebih khusus yang datang setelahnya ;

c. Bayan atau penjelasan yang datang kemudian terhadap hukum yang

bersifat samar;

d. Penetapan syarat terhadap hukum terdahulu yang belum bersyarat.58

Disamping itu ada yang berpendapat bahwa istilah tersebut berarti

pembatalan ketetapan hukum yang ditetapkan pada suatu kondisi tertentu

oleh ketetapan lain yang berbeda akibat munculnya kondisi lain. Misalnya

perintah agar kaum muslimin pada periode Mekkah bersabar karena lemah

telah di-nasikh oleh adanya perintah berperang pada periode Madinah

karena kondisi mereka sudah kuat. Bahkan ketetapan hukum Islam yang

membatalkan hukum yang berlaku pada masa sebelum Islam termasuk

dalam pengertian nasikh.59

2) Nasikh Mansukh Menurut Ulama Mutaakhirin :

58
Moh. Nor Ichwan, Hal.108. Dalam Muhammad Husni dan Fathul Wahab, Teori Nasakh
Mansukh Dalam Penetapan Hukum Syariat Islam, Jurnal Annaba, Volume 4 No. 2, 1 September
2018
59
Ibid, Dewan Redaksi Enskopedi Islam, 1997, h. 6.
45

Menurut ulama mutaakhirin, nasikh adalah dalil yang datang kemudian,

berfungsi untuk menggugurkan dan menghilangkan hukum yang pertama.60

Dengan demikian ulama mutaakhirin mempersempit pengertian yang luas

itu. Menurut mereka, nasikh adalah ketentuan hukum yang datang kemudian

untuk membatalkan masa berlakunya hukum terdahulu. Artinya ketetapan

hukum yang terdahulu tidak berlaku lagi dengan adanya ketetapan hukum

yang baru.61Atas dasar itu, dalil yang datang kemudian disebut nasikh (yang

menghapus). Sedangkan hukum yang pertama disebut Mansukh (yang

terhapus). Sementara itu, penghapusan hukumnya disebut nasikh.62

Menurut hemat saya selaku peneliti, sekalipun menjadi lahan perdebatan di

kalangan ulama mutaqoddimin maupun mutaakhirin, ilmu Nasikh wal

Mansukh memegang peranan penting dalam penafsiran al-Qur'an. Kajian

seputar nasikh tidak hanya terdapat dalam diskursus ‘Ulum al-Qur'an,

namun juga dalam Ushul al-Fiqh karena sangat terkait dengan penetapan

syariat. Dari segi historis, sebenarnya nasikh tidak hanya terjadi antar

internal ayat-ayat al-Qur'an, namun juga memiliki sejarah yang panjang

dalam konteks internal hukum Islam, lebih-lebih bila diposisikan secara

eksternal antar ajaran para nabi. Dalam kaitan, adanya ajaran nabi yang

datang kemudian menggantikan dan menyempurnakan ajaran nabi

sebelumnya. Hanya saja, karena yang banyak diperdebatkan dalam kajian

‘Ulum al-Qur'an lebih banyak mengarah pada nasikh internal ayat al-Qur'an,

maka pembahasan lebih fokus dan lebih banyak mengulas persoalan ini.

60
Quraish Shihab, (2004), Membumikan Al-Qur’an, Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan,
Bnadung: Mizan. h. 143
61
Ibid, Dewan Redaksi Enskopedi Islam, h. 16
62
Ibid
46

3. Nasikh Mansukh Menurut Ulama Tafsir

Dikalangan para mufasir Nasikh Mansukh adalah tema yang sangat urgen

sampai-sampai tidak ada satupun kitab tafsir yang tidak membahas masalah ini.

Dalam khazanah keilmuan Islam, terjadi silang pendapat antara para

cendikiawan menyikapi masalah ada tidaknya nasikh dan Mansukh dalam al-

Qur’an. Perbedaan di antara mereka bermuara pada pemahaman terhadap

penafsiran kata nasikh dalam al-Qur’an surat al-Baqarah (2) ayat 106:

‫َّللا ع َٰلى ك ُِل ش َْيءٍ قَ ِديْر‬ ِ ‫س ْخ ِم ْن ٰا َي ٍة اَ ْو نُ ْن‬


ِ ْ‫س َها نَأ‬
َ ٰ َّ‫ت ِب َخي ٍْر ِم ْن َها ٓ اَ ْو ِمثْ ِل َها ۗ اَلَ ْم تَ ْعلَ ْم اَن‬ َ ‫َما نَ ْن‬

Artinya : Ayat yang Kami nasikh (batalkan) atau Kami jadikan (manusia) lupa

padanya, pasti Kami ganti dengan yang lebih baik atau yang

sebanding dengannya. Apakah engkau tidak mengetahui bahwa

Allah Mahakuasa atas segala sesuatu?63

Pada ayat diatas, para ulama tafsir berbeda pendapat dalam menafsirkan kata

nasikh. Ada yang menafsirkan kata nasikh disitu dengan makna “pembatalan

hukum suatu ayat dengan ayat yang lain”. Mayoritas para ulama menganut

pendapat ini, khususnya para ulama klasik. Berangkat dari perbedaan

penafsiran inilah, kalangan cendikiawan Islam terbelah menjadi dua pihak;

yang satu berpendapat bahwa ada nasikh dalam arti pembatalan hukum ayat

dalam al-Qur’an, dan yang lain menolaknya. 64 Sementara itu, ahli tafsir

terkemuka Indonesia yang berpendapat tidak ada ayat pembatalan dalam al-

Qur’an, dan bahwasanya ayat-ayat yang zahirrya terlihat kontradiktif sejatinya

masih bisa dikompromikan, beliau adalah Quraish Shihab, seorang ulama

63
Terjemah Kemenag 2019
64
Ibid
47

pakar tafsir yang hingga kini masih hidup dan berkiprah bagi perkembangan

tafsir al-Qur’an di Indonesia.65

Ibnu Katsir dalam dalam tafsirnya menjelaskan Ibnu Abu Talha meriwayatkan

dari Ibnu Abbas r.a. sehubung dengan tafsir firmaNya, “Ayat mana saja yang

kami nasakhkan, (Al-Baqarah :106) arti yang terkandung di dalamnya adalah

ayat apapun yang kami ganti. Sedangkan Ibnu Juraij meriwayatkan dari

Mujahid bahwa sehubung dengan ayat ini artinya ayat yang kami hapuskan.66

65
Muhammad bin Umar bin Ali Nawawi al-Bantani, Nur al-Zalam Sharhu Manzuma al-Aqidah al-
Awwam (Beirut Dar al-Hawiy, 2008), 11-12. Op.Cit., Hal 47
66
Aplikasi Tafsir Ibnu Katsir
BAB III
HASIL PENEITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Penerapan Asas Lex Posteriori Derogat Legi Priori dan Nasikh Mansukh
Dalam Hukum Positif Indonesia

1. Penerapan Asas Lex Posteriori Derogat Legi Priori

Asas Lex Posteriori Derogat Legi Priori yang mempunyai arti hukum

yang terbaru mengesampingkan hukum yang lama, dimana asas hukum adalah

prinsip yang dianggap dasar atau fundamental hukum, maka asas hukum

dijadikan solusi dalam peraturan perundang-undangan ketika diketemukan

suatu pertentangan antara undang-undang yang satu dengan lainnya.

Asas hukum yang telah didefinisikan oleh banyak pakar hukum

merupakan dasar, pondasi, dan landasan dari terbentuknya suatu peraturan

hukum. Sehingga asas hukum diartikan sebagai aturan dasar dan prinsip-

prinsip hukum yang abstrak dan pada umumnya melatar belakangi peraturan

konkret dan pelaksanaan hukum. Peraturan konkret seperti undang-undang

tidak boleh bertentangan dengan asas hukum, begitu pula dalam sistem hukum.

Jadi, apabila dalam sistem hukum terjadi pertentangan, menurut Marwan

Mas maka asas hukum akan tampil menurut fungsinya untuk mengatasih

pertentangan tersebut. Misalnya, terjadi pertentangan antara satu undang-

undang dengan undang-undang lainnya, maka harus kembali melihat asas

hukum sebagai prinsip dasar yang mendasari suatu peraturan hukum berlaku

secara universal. Hal itu dikarenakan untuk menjaga citra sistem hukum yang

utuh.67

67
Ibid

48
49

Hal ini tentu menjadi solusi terbaik dalam perjalanan peraturan hukum

Indonesia. Dengan adanya asas Lex Posteriori Derogat Legi Priori, maka

peraturan ataupun undang-undang yang lama tidak dapat digunakan kembali.

Sehingga tidak akan pernah terjadi tumpang tindihnya peraturan maupun

undang-undang yang berlaku secara bersamaan. Adapun contoh penerapan asas

tersebut:

1) Lex Posteriori Derogat Legi Priori Dalam Hukum Pidana

Salah satu contoh Penerapan Asas Lex Posterior Derogat Legi Priori

dalam Hukum Pidana ialah UU Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem

Peradilan Pidana Anak yang disahkan oleh Presiden DR. H. Susilo

Bambang Yudhoyono pada tanggal 30 Juli 2012 dan berlaku pada 30 Juli

2014. Dalam Pasal 106 menyebutkan : “Pada saat Undang-Undang ini mulai

berlaku, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak

(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 3, Tambahan

Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3668), dicabut dan dinyatakan

tidak berlaku.”

Dari Pasal 106 UU No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak

diatas maka dapat dipahami bahwa penerapan asas Lex Posteriori Derogat

Legi Priori dengan cara mencabut secara keseluruhan pemberlakuan UU

No. 3 Thun 1997 tentang Pengadilan Anak.

2) Lex Posteriori Derogat Legi Priori Dalam Hukum Perdata

Contoh Penerapan Asas Lex Posterior Derogat Legi Priori dalam Hukum

Perdata yaitu: Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2019

Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang


50

Perkawinan. 68 Yang pada mulanya diatur dalam Kitab Undang-Undang

Hukum Perdata Buku Kesatu tentang Orang Bab IV (empat) tentang

Perkawinan.

1. UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

Undang ini diundangkan dan diberlakukan pada tanggal 2 Januari 1974

sebagai mana disebutkan dalam Pasal 67 ayat (1) : “Undang-Undang ini

mulai berlaku pada tanggal diundangkannya, yang pelaksanaannya secara

efektif lebih lanjut akan diatur dengan peraturan pemerintah.”

Penerapan asas Lex Posterior Derogat Legi Priori pada UU ini terdapat

pada BAB XIV Ketentuan Penutup pasal 66 yang berbunyi :

Untuk perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan


perkawinan berdasarkan atas Undang-Undang ini, maka dengan
berlakunya Undang-Undang ini ketentuan-ketentuan yang diatur
dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk
Wetbook), Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen (Huwelijks
Ordonantie Christen Indonesiers S. 1933 No. 74), Peraturan
Perkawinan Campuran (Regeling op de gemengde Huwelijken S.
1898 No. 158), dan peraturan-peraturan lain yang mengatur tentang
dan perkawinan sejauh telah diatur dalam Undang-Undang ini,
dinyatakan tidak berlaku.

2. UU No. 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas UU No. 1 Tahun 1974

tentang Perkawinan.

Undang-Undang ini ditetapkan pada tanggal 14 Oktober 2019, kemudian

diundangkan dan diberlakukan pada tanggal 15 Oktober 2019. Dalam

Undang-Undang ini terjadi beberapa perubahan dari Undang-undang

sebelumnya UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Dalam UU No.

16 Tahun 2019 disebutkan :

Pasal I
68
Salinan, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2019 Tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.
51

Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 1,

Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3019) diubah

sebagai berikut:

1. Ketentuan Pasal 7 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 7 :

1) Perkawinan hanya diizinkan apabila pria dan wanita sudah mencapai

umur 19 (sembilan belas) tahun.

2) Dalam hal terjadi penyimpangan terhadap ketentuan umur

sebagaimana dimaksud pada ayat (1), orang tua pihak pria dan/atau

orang tua pihak wanita dapat meminta dispensasi kepada Pengadilan

dengan alasan sangat mendesak disertai bukti-bukti pendukung yang

cukup.

3) Pemberian dispensasi oleh Pengadilan sebagaimana dimaksud pada

ayat (2) wajib mendengarkan pendapat kedua belah calon mempelai

yang akan melangsungkan perkawinan. Ketentuan-ketentuan

mengenai keadaan seorang atau kedua orang tua calon mempelai

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (3) dan ayat (41 berlaku

juga ketentuan mengenai permintaan dispensasi sebagaimana

dimaksud pada ayat (2) dengan tidak mengurangi ketentuan

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (6).

Di antara Pasal 65 dan Pasal 66 disisipkan 1 (satu) pasal yakni Pasal 65A

yang berbunyi sebagai berikut :

Pasal 65A
52

Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, permohonan perkawinan yang

telah didaftarkan berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974

tentang Perkawinan, tetap dilanjutkan prosesnya sesuai dengan ketentuan

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

Penerapan Asas Lex Posteriori Derogat Legi Priori dalam peraturan

perkawinan ini dengan cara mencabut secara keseluruhan ketentuan dalam

peraturan perundang-undangan yang lama, merubah sebagian pasal dalam

peraturan perundangan yang lama, dan menambahkan pasal baru, yaitu :

a. UU No. 1 Tahun 1974 tentan Perkawinan mencabut pemberlakuan secara

keseluruhan ketentuan-ketentuan pada :

▪ Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetbook), Buku

Kesatu tentang Orang Bab IV (empat) tentang Perkawinan.

▪ Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen (Huwelijks Ordonantie

Christen Indonesiers S. 1933 No. 74),

▪ Peraturan Perkawinan Campuran (Regeling op de gemengde Huwelijken

S. 1898 No. 158)

b. UU No. 16 Tahun 2019 merubah dan menambahkan pasal yang dalam UU

No. 1 Tahun 1974 yaitu :

▪ Merubah ketentuan pada pasal 7 UU No. 1 Tahun 1974

▪ Diantara pasal pasal 65 dan 66 UU No. 1 Tahun 1974 ditambahkan

pasal 65A UU No. 16 Tahun 2019

3) Lex Posteriori Derogat Legi Priori Dalam Hukum Tata Negara

Penerapan Asas Lex Posterior Derogat Legi Priori dalam Hukum

Tata Negara ialah Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 9 tahun 2015


53

Tentang Perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014

Tentang Pemerintahan daerah.69 Pasal I Beberapa ketentuan dalam Undang-

Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran

Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran

Negara Republik Indonesia Nomor 5587) sebagaimana telah diubah dengan

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan

Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang

Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang

Pemerintahan Daerah Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara

Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 24, Tambahan Lembaran Negara

Republik Indonesia Nomor 5657), diubah sebagai berikut :

1. Ketentuan ayat (1) Pasal 63 diubah, sehingga Pasal 63 berbunyi

sebagai berikut :

Pasal 63 :

1) Kepala daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (1) dibantu

oleh wakil kepala daerah.

2) Wakil kepala daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk

Daerah Provinsi disebut wakil gubernur, untuk Daerah kabupaten

disebut wakil bupati, dan untuk Daerah kota disebut wakil wali kota.

2. Ketentuan ayat (1) huruf f Pasal 65 dihapus, sehingga Pasal 65

berbunyi sebagai berikut :

Pasal 65 :

1) Kepala daerah mempunyai tugas:

69
Salinan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 9 tahun 2015 Tentang Perubahan kedua
atas undang- undang nomor 23 tahun 2014 Tentang pemerintahan daerah.
54

a. memimpin pelaksanaan Urusan Pemerintahan yang menjadi

kewenangan Daerah berdasarkan ketentuan peraturan perundang-

undangan dan kebijakan yang ditetapkan bersama DPRD;

b. memelihara ketenteraman dan ketertiban masyarakat;

c. menyusun dan mengajukan rancangan Perda tentang RPJPD dan

rancangan Perda tentang RPJMD kepada DPRD untuk dibahas

bersama DPRD, serta menyusun dan menetapkan RKPD;

d. menyusun dan mengajukan rancangan Perda tentang APBD,

rancangan Perda tentang perubahan APBD, dan rancangan Perda

tentang pertanggungjawaban pelaksanaan APBD kepada DPRD

untuk dibahas bersama;

e. mewakili Daerahnya di dalam dan di luar pengadilan, dan dapat

menunjuk kuasa hukum untuk mewakilinya sesuai dengan

ketentuan peraturan perundangundangan; dan

f. dihapus.

g. Melaksanakan tugas lain sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan.

2) Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

kepala daerah berwenang :

a. mengajukan rancangan Perda;

b. menetapkan Perda yang telah mendapat persetujuan Bersama

DPRD;

c. menetapkan Perkada dan keputusan kepala daerah;


55

d. mengambil tindakan tertentu dalam keadaan mendesak yang

sangat dibutuhkan oleh Daerah dan/atau masyarakat;

e. melaksanakan wewenang lain sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan.

3) Kepala daerah yang sedang menjalani masa tahanan dilarang

melaksanakan tugas dan kewenangannya sebagaimana dimaksud

pada ayat (1) dan ayat (2).

4) Dalam hal kepala daerah sedang menjalani masa tahanan

sebagaimana dimaksud pada ayat (3) atau berhalangan sementara,

wakil kepala daerah melaksanakan tugas dan wewenang kepala

daerah.

5) Apabila kepala daerah sedang menjalani masa tahanan atau

berhalangan sementara dan tidak ada wakil kepala daerah, sekretaris

daerah melaksanakan tugas sehari-hari kepala daerah.

6) Apabila kepala daerah dan wakil kepala daerah sedang menjalani

masa tahanan atau berhalangan sementara, sekretaris daerah

melaksanakan tugas sehari-hari kepala daerah.

7) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan tugas dan wewenang

kepala daerah oleh wakil kepala daerah dan pelaksanaan tugas sehari-

hari kepala daerah oleh sekretaris daerah sebagaimana dimaksud pada

ayat (4) sampai dengan ayat (6) diatur dalam peraturan pemerintah.

3. Ketentuan Pasal 66 ayat (3) diubah dan ditambah 1 (satu) ayat,

yakni ayat (4), sehingga Pasal 66 berbunyi sebagai berikut :

Pasal 66 :
56

1) Wakil kepala daerah mempunyai tugas :

5) Membantu kepala daerah dalam :

1. Memimpin pelaksanaan Urusan Pemerintahan yang menjadi

kewenangan Daerah;

2. Mengoordinasikan kegiatan Perangkat Daerah dan

menindaklanjuti laporan dan/atau temuan hasil pengawasan

aparat pengawasan;

3. Memantau dan mengevaluasi penyelenggaraan Pemerintahan

Daerah yang dilaksanakan oleh Perangkat Daerah provinsi bagi

wakil gubernur; dan

4. Memantau dan mengevaluasi penyelenggaraan pemerintahan

yang dilaksanakan oleh Perangkat Daerah kabupaten/kota,

kelurahan, dan/atau Desa bagi wakil bupati/wali kota;

6) Memberikan saran dan pertimbangan kepada kepala daerah dalam

pelaksanaan Pemerintahan Daerah;

7) melaksanakan tugas dan wewenang kepala daerah apabila kepala

daerah menjalani masa tahanan atau berhalangan sementara; dan

8) melaksanakan tugas lain sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang undangan.

2) Selain melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wakil

kepala daerah melaksanakan tugas dan kewajiban pemerintahan

lainnya yang diberikan oleh kepala daerah yang ditetapkan dengan

keputusan kepala daerah.


57

3) Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan

ayat (2), wakil kepala daerah menandatangani fakta integritas dan

bertanggung jawab kepada kepala daerah.

4) Wakil kepala daerah wajib melaksanakan tugas Bersama kepala

daerah hingga akhir masa jabatan.

4. Ketentuan Pasal 88 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut :

Pasal 88 :

1) Dalam hal pengisian jabatan gubernur sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 87 ayat (1) belum dilakukan, wakil gubernur melaksanakan

tugas sehari-hari gubernur sampai dilantiknya wakil gubernur

sebagai gubernur.

2) Dalam hal pengisian jabatan bupati/wali kota sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 87 ayat (2) belum dilakukan, wakil bupati/wakil wali

kota melaksanakan tugas sehari-hari bupati/wali kota sampai dengan

dilantiknya wakil bupati/wakil wali kota sebagai bupati/wali kota.

5. Ketentuan Pasal 101 ayat (1), di antara huruf d dan huruf e,

disisipkan huruf d1, sehingga Pasal 101 berbunyi sebagai berikut :

Pasal 101 :

1) DPRD provinsi mempunyai tugas dan wewenang:

a. Membentuk Perda Provinsi bersama gubernur ;

b. Membahas dan memberikan persetujuan Rancangan Perda

Provinsi tentang APBD Provinsi yang diajukan oleh gubernur;

c. melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan Perda Provinsi

dan APBD provinsi ;


58

d. dihapus.

d1. memilih gubernur dan wakil gubernur dalam hal terjadi

kekosongan jabatan untuk meneruskan sisa masa jabatan;

e. mengusulkan pengangkatan dan pemberhentian gubernur kepada

Presiden melalui Menteri untuk mendapatkan pengesahan

pengangkatan dan/atau pemberhentian;

f. memberikan pendapat dan pertimbangan kepada Pemerintah

Daerah provinsi terhadap rencana perjanjian internasional di

Daerah provinsi;

g. memberikan persetujuan terhadap rencana kerja sama internasional

yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah provinsi;

h. meminta laporan keterangan pertanggungjawaban gubernur dalam

penyelenggaraan Pemerintahan Daerah provinsi;

i. memberikan persetujuan terhadap rencana kerja sama dengan

Daerah lain atau dengan pihak ketiga yang membebani masyarakat

dan Daerah provinsi; dan

j. melaksanakan tugas dan wewenang lain yang diatur dalam

ketentuan peraturan perundang-undangan.

2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan tugas dan

wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam

peraturan DPRD provinsi tentang tata tertib.

6. Ketentuan Pasal 154 ayat (1), di antara huruf d dan huruf e,

disisipkan huruf d1, sehingga Pasal 154 berbunyi sebagai berikut :

Pasal 154 :
59

1) DPRD kabupaten/kota mempunyai tugas dan wewenang :

a. membentuk Perda Kabupaten/Kota Bersama bupati/wali kota;

b. membahas dan memberikan persetujuan rancangan Perda mengenai

APBD kabupaten/kota yang diajukan oleh bupati/wali kota;

c. melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan Perda dan APBD

kabupaten/kota;

d. dihapus.

d1. memilih bupati dan wakil bupati serta wali kota dan wakil wali

kota dalam hal terjadi kekosongan jabatan untuk meneruskan sisa

masa jabatan;

e. mengusulkan pengangkatan dan pemberhentian bupati/wali kota

kepada Menteri melalui gubernur sebagai wakil Pemerintah

Pusat untuk mendapatkan pengesahan pengangkatan dan/atau

pemberhentian;

f. memberikan pendapat dan pertimbangan kepada Pemerintah

Daerah kabupaten/kota terhadap rencana perjanjian internasional di

Daerah;

g. memberikan persetujuan terhadap rencana kerja sama internasional

yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah kabupaten/kota;

h. meminta laporan keterangan pertanggungjawaban bupati/wali kota

dalam penyelenggaraan Pemerintahan Daerah kabupaten/kota;

i. memberikan persetujuan terhadap rencana kerja sama dengan

Daerah lain atau dengan pihak ketiga yang membebani masyarakat

dan Daerah;
60

j. melaksanakan tugas dan wewenang lain yang diatur dalam

ketentuan peraturan perundang-undangan.

2) Ketentuan mengenai tata cara pelaksanaan tugas dan wewenang

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam peraturan DPRD

kabupaten/kota tentang tata tertib.

Dalam contoh penerapan Asas Lex Posteriori Derogat Legi Priori pada

Hukum Tata Negara diatas dengan cara melakukan perubahan sebagian

pasal pada peraturan perundang-undangan yang lama dan menghapus

sebagian point pada pasal-pasal tertentu.

Dari ketiga contoh undang-undang yang disebutkan menurut Hukum

Pidana, Perdata dan juga Tata Negara adalah merupakan contoh bentuk

penerapan Asas Lex Posteriori Derogate Legi Periori yang berlaku di

Indonesia dengan cara melakukan :

a. Pencabutan keberlakuan pada seluruh atau sebagian peraturan

perundang-undangan lama dan mengganti dengan peraturan perundang-

undangan yang baru.

b. Perubahan pada bab, pasal, ayat tertentu yaitu :

❖ Merubah bab, pasal, atau ayat tertentu peraturan perundangan

yang lama dan mengganti dengan yang baru.

❖ Menambah bab, pasal atau ayat tertentu dalam peraturan

perundang-undang yang baru.

❖ Menghapus bab, pasal, atau ayat tertentu dalam peraturan

perundang-undangan yang lama.


61

Prinsipnya adalah semua peraturan perundang-undangan lama baik yang

dicabut maupun dilakukan perubahan dengan membuat peraturan perundang-

undangan yang baru, maka peraturan perundang-undangan yang lama tidak

berlaku lagi, karena telah diganti dengan peraturan perundang-undangan yang

baru.

2. Penerapan Nasikh Mansukh

Dalam hukum Islam hal semacam asas Lex Posteriori Derogat Legi

Priori itu dapat kita temukan dalam peristiwa hukum Nasikh wa al-Mansukh

yang dijadikan solusi ketika terdapat pertentangan dalil hukum yang

mempunyai definisi:

‫رفع الشارع حكما منه متقدما بحكم منه متاخرا‬

"Menghapusnya syari' (pembuat hukum) terhadap hukum (yang datangnya

lebih) dahulu (untuk) diganti dengan hukum yang datangnya kemudian”

‫رفع الحكم الشرعي بدليل شرعي متاخرا‬

yaitu mencabut hukum syar’I dengan dalil syar’i yang datang kemudian.70

Dari pengertian-pengertian diatas yang telah penyusun uraikan, Nasikh

Mansukh juga mempunyai syarat-syarat penetapannya :71

1. Hukum yang dihapus (Mansukh) harus sama dan/atau lebih kuat dengan

hukum yang menghapus (Nasikh).

70
Muhammad Ajjaj al-Khathiby. Ushul al-Hadits. Ulummuhu Wa Mushthalahuhu (Beirut:
mathbaah dar al-fiqr, 1983). 287. Dalam Ahmad Zaeni, Skripsi: Asas Lex Posteriori Derogat Legi
Priori Dalam Penemuan Hukum (Rechtsvinding) Oleh Hakim (Studi Atas Pasal 20 A.B. dan Pasal
4 (1) UU No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman) h. 26
71
Quraish Shihab, (2013), Kaidah Tafsir, Syarat, Ketentuan, dan Aturan Yang Patut Anda Ketahui
dalam Memahami Ayat-Ayat al-Qur’an, Tangerang: Lantera Hati. h. 289-291.
62

2. hukum yang dihapus (Mansukh) harus bertentangan dengan hukum yang

menghapus (Nasikh)

3. dapat dibuktikan antara ayat yang turun duluan dengan ayat yang datang

kemudian

Menurut Imam Jalaluddin as-Suyuthi berpendapat di dalam bukunya al-

Itqan fi Ulumil Qur’an bahwa ada dua puluh ayat nasikh dalam al-Qur’an.72

Kami sebutkan 3 contoh dari ayat-ayat nasikh tersebut, Yaitu:

1. Ayat-ayat nasikh dalam masalah masa iddah (nunggu) bagi istri

a. Firman Allah Swt. dalam al-Qur’an surat al-Baqarah (2) ayat 240 yaitu :

َّ‫ج فَ ِإن‬
ٍ ٍۚ ‫غي َْر ِإ ْخ َر‬
َ ‫لى ال َح ْو ِل‬ ِ ‫َوالَّذِي َن يُتَ َوفَّونَ ِم ْن ُك ْم َويَذَ ُر ْو َن أَ ْز َو ًجا َو ِصيَّةً ِِلَ ْز‬
َ ‫ۈج ِه ْم َمتَعًا ِإ‬

َّ ‫علَ ْي ُك ْم فِى َما فَعَ ْلنَ فِى أَ ْنفُس ِِهنَّ ِم ْن َّم ْع ُر ْوفٍ َو‬
٢٤٠ ‫َّللاُ ع َِزيْز َح ِكيْم‬ َ ‫َخ َر ْج َن فَ ََل ُجنَا‬
َ ‫ح‬

Artinya : Dan orang-orang yang akan meninggal dunia diantara kamu dan

meninggalkan isteri, hendaklah berwasiat untuk istri-istrinya,

(yaitu) diberi nafkah hingga setahun lamanya dan tidak disuruh

pindah (dari rumahnya) akan tetapi jika mereka pindah (sendiri),

maka tidak ada dosa bagimu membiarkan mereka berbuat yang

ma’ruf terhadap diri mereka. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha

Bijaksana.73

Ayat di atas diNaskh oleh ayat 234 Qur’an surah al-Baqarah, yaitu :

72
Syaikh Muhammad al-Khudhari Biek, (2007), Ushul Fiqih. Diterjemahkan oleh Faiz el-
Muttaqien, (ed. A. Ma’ruf Asrori) Cet. I, Jakarta: Pustaka Amani. h. 554-572.
73
Terjemah Kemenag 2019
63

‫عش ًْر ۖا فَ ِإذَا‬ ْ َ‫س ِه َّن أَ ْربَعَةَ أ‬


َ ‫ش ُه ٍر و‬ ِ ُ‫صنَ ِبأ َ ْنف‬
ْ َّ‫َوالَّ ِذينَ يُتَ َوفَّونَ ِم ْن ُك ْم َويَذَ ُر ْونَ أَ ْز َو ًجا يًتَ َرب‬

‫َّللاُ ِب َما تَ ْع َملُ ْونَ َخ ِبيْر‬


َّ ‫ف َو‬ ِ ُ‫علَ ْي ُك ْم فِ ْي َما فَعَ ْلنَ فِى أَ ْنف‬
ِ ۗ ‫س ِه َّن ِبا ْل َم ْع ُر‬ َ ‫بَلَ ْغ َن أَ َجلَ ُهنَّ فَ ََل ُجنَا‬
َ ‫ح‬

Artinya : Orang-orang yang meninggal dunia diantaramu dengan

meninggalkan isteri-isteri (hendalah para isteri itu) menangguhkan dirinya

(ber’iddah) empat bulan sepuluh hari. Kemudian apabila telah

habis’iddahnya, maka tiada dosa bagimu(para wali) membiarkan mereka

berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut. Allah mengetahui apa

yang kamu perbuat.74

Surah al-Baqarah ayat 240 diatas mewajibkan para isteri yang ditinggal mati

suaminya ber’iddah selama satu tahun, sedangkan pada ayat 234 pada surah

yang sama dengan tegas menyatakan bahwa para isteri-isteri yang ditinggal

mati suaminya maka harus menjalankan masa ‘iddah (tunggu) selama empat

bulan sepuluh hari.75

Sebagian ulama berpendapat bahwa qur’an surah al-Baqarah ayat 240 yang

mensyariatkan masa ‘iddah satu tahun dihapus pemberlakuannya dengan

qur’an surah al-Baqarah ayat 234 yang mensyariatkan masa ‘iddahnya empat

bulan sepuluh hari. Akan tetapi sebagian ulama menolak pendapat bahwa

terjadi Nasikh Mansukh pada kedua ayat diatas. Mereka berpendapat bahwa

pada ayat 240 ini tidak ada isyarat bagi para isteri untuk menjalankan masa

‘iddah jika ditinggal mati suami baik satu tahun maupun empat bulan sepuluh

hari. Menurut para ulama ini pada ayat 240 adalah wasiat untuk para isteri yang

74
Ibid
75
Qurais Shihab, Tafsir al-Misbah, Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an, Vol. I, h. 269. Lihat :
Irfan, Skripsi : Penerapan Nasikh Mansukh dalam al-Qur’an, h. 88.
64

ditinggal mati suami agar dapat hidup tenang, terpenuhi setiap kebutuhannya

seolah-olah suaminya masih ada.76

2. Ayat-ayat tentang haramnya khamr

a. Firman Allah Swt. dalam al-Qur’an surat al-Baqarah (2) ayat 219 yaitu:

‫اس َو إِثْ ُم ُه َمآ أَ ْكبَ ُر ِم ْن‬


ِ َّ‫سئَلُ ْونَكَ ع َِن ال َخ ْم ِر َو ال َم ْيس ِِۖر قُ ْل فِ ْي ِه َمآ إِثْم َكبِيْر َو َمنَ ِف ُع ِللن‬
ْ َ‫ي‬

ِ َ‫َّللاُ لَ ُك ُم اِلَي‬
َ‫ت لَعَلَّ ُك ْم تَتَفَك َُّر ْون‬ َّ ُ‫سئَلُ ْونَكَ َماذَا يُ ْن ِفقُ ْو َن قُ ِل العَ ْف َوا ۗ َكذَ ِلك يُبَيِن‬
ْ َ‫نَّ ْف ِع ِه َما ۗ َوي‬

Artinya : Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah:

“Pada keduanya terdapat dosa yang besar dan beberapa manfaat

bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya”.

dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan.

Katakanlah: “yang lebih dari keperluan.” Demikianlah Allah

menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu supaya kamu berfikir77

Diriwayatkan oleh ahmad dari Abu Hurairah ketika Rasulullah saw., tiba

di Madinah, beliau bertemu orang-orang sedang meminum khamar dan

berjudi, hal ini telah manjadi kebiasaan mereka sejak dahulu kala. Pada saat

itu para sahabat bertanya kepada Rasulullah tentang bagaimana hukum

meminum khamar? Maka turunlah surah al-Baqarah ayat 219 sebagai

jawabannya.78

Ayat diatas memang secara hukum tidak melarang atau mengharamkan

khamar dan berjudi sehingga apada suatu ketika orang-orang Muhajirin

yang sedang minum khamar dan berjudi tiba-tiba masuk waktu sholat, dan

76
Ibid
77
Terjemah Kemenag 2019
78
Shaleh, A.A. Dahlan, M. D. Dahlan, (2011), Asbabun Nuzul, Latar Belakang, Historis Turunnya
Ayat-Ayat al-Qur’an, Cet. 2, Bandung : Diponegoro. h. 69
65

salah satu dari orang Muhajirin tersebut sedang mabuk dan menjadi imam

sholat, dan terjadi banyak kesalahan dalam bacaan sholat diakibatkan dari

kondisi mabuk sang imam. Maka Allah SWT. Menurunkan ayat berikut

yang lebih keras yaitu surah An-Nisa ayat 43.

b. Firman Allah SWT. Dalam surah an-Nisa ayat 43 yaitu :

‫َارى َحتَّئ تَ ْعا َ ُم ُوا َما تَقُ ْولُ ْونَ َو ََل ُجنُبًا‬
َ ‫سك‬ َّ ‫يَآي َها الَّ ِذ ْي َن َءا َمنُ ْوا ََل ت ْق َربُ ْوا ال‬
ُ ‫صلَواةَ وأنت ُ ْم‬

َ‫سفَ ٍر أَ ْو جآ َء أَ َحد ِم ْن ُك ْم ِمن‬ َ ‫سلُوا ٍۚ َوإِ ْن ُك ْنت ُ ْم َّم ْرضَى أَ ْو‬


َ ‫علَى‬ ِ َ‫س ِب ْي ٍل َحتَّى تَ ْغت‬
َ ‫إِ ََّل عَا ِب ِرئ‬

َ ‫ط ِيبًا فَا ْم‬


‫س ُح ْوا ِب ُو ُج ْو ِه ُك ْم‬ َ ‫سآ َء فَلَ ْم تَ ِجد ُْوا َمآ ًء فَتَيَ َّم ُموا‬
َ ‫ص ِع ْيدًا‬ ْ ‫ا ْلغَآئِ ِط أَ ْو لَ َم‬
َ ِ‫ست ُ ُم الن‬

َ ‫عفُوا‬
‫غفُ ْو ًرا‬ َ َّ َّ‫َوأَي ِد ْي ُك ْم ۗ اِن‬
َ ‫َّللا كَا َن‬

Artinya : Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu salat, sedang

kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu ucapkan, (jangan

pula hampiri mesjid) sedang kamu dalam keadaan junub,

terkecuali sekedar berlalu saja, hingga kamu mandi. Dan jika

kamu sakit atau sedang dalam musafir atau datang dari tempat

buang air atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu

tidak mendapat air, maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang

baik(suci); sapulah mukamu dan tanganmu. Sesungguhnya Allah

maham pemaaf lagi maha pengampun79.

c. Firman Allah SWT. Qur’an surah al-Maidah ayat : 90-91 yaitu :

79
Terjemah Kemenag 2002
66

‫ان‬
ِ ‫ط‬َ ‫ش ْي‬ َ ‫اب واِلَ ْزلَ ُم ِرجْ س ِم ْن‬
َّ ‫ع َم ِل ال‬ ُ ‫ص‬َ ‫ٰ ٓياَي َها الَّ ِذ ْينَ َءا َمنُوا إِنَّ َما ال َخ ْم ُر وال َم ْيس ُِر واِلَ ْن‬

‫َاوةَ والبَ ْغضَآ َء فِى ال َخ ْم ِر‬


َ ‫طا ُن يُوقِ َع بَ ْينَ ُك ُم العَد‬ َ ‫ إِنَّ َما يُ ِر ْي ُد ال‬٩٠ ‫فَا ْجتَنِبُوهُ لَعَلَّ ُك ْم ت ُ ْف ِل ُحو َن‬
َ ‫ش ْي‬

َ‫صلَۈ ِة فَ َه ْل أَ ْنت ُ ْم م ْنتَ ُه ْون‬ ِ َّ ‫ص َّد ُك ْم ع َْن ِذك ِْر‬


َ ‫َّللا َوع َِن ال‬ ُ َ‫وال َم ْيس ِِر َوي‬

Artinya : Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum)

khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib

dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaittan. Maka

jauhilah perbuatan-perbuatan itu supaya kamu mendapat

keberuntungan (90). Sesungguhnya syaithan itu bermaksud

hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian diantara kamu

lantara (meminum) khamar dan berjudi itu, dan menghalangi

kamu dari mengingat Allah dan sembahyang ; maka berhentilah

kamu (dari mengerjakan itu) (91).80

Ketika Qur’an surah an-Nisa ayat 43 diturunkan implikasinya adalah kaum

muhajirin dalam kesehariannya tetap meminum khamar dan berjudi kecuai

masuk waktu sholat mereka tidak lagi mabuk tapi melakukan sholat dalam

keadaan normal. Dan dalam perkembangannya banyak masyarakat madinah

mulai beranjak meninggalkan khamar dan judi secara perlahan. Maka Allah

SWT kemudian secara tegas menurunkan ayat selanjutnya untuk

mengharamkan khamar dan judi, yaitu Qur’an surah al-Maidah ayat 90-91.

Menurut para ualam ayat ini sekaligus menggantikan kedudukan hukum

pada Qur’an surah al-Baqarah ayat 219 dan surah an-Nisa ayat 43.

3. Ayat-ayat nasikh tentang keharusan bersedakah jika ingin berbicara dengan

Rasulullah

80
Ibid
67

a. Firman Allah Swt. Dalam al-Qur’an surat al-Mujadilah ayat 12 yaitu :


ٍۚ
‫ص َدقَةً ذَ ِلكَ َخيْرلَّ ُك ْم‬
َ ‫َى نَ ْج َوا ُك ْم‬ ْ ‫س ْو َل فَقَد‬
ْ ‫ِموا بَ ْي َن يَد‬ َّ ‫ٰيٓاَي َها الَّ ِذ ْينَ َءا َمنُ ْوآ إِذَا نَ َج ْيت ُ ُم‬
ُ ‫الر‬

َ َّ َّ‫َوأَ ْط َه ٍۚ ُر فَ ِإ ْن لَّم تَ ِجد ُْوا فَ ِإن‬


َ ‫َّللا‬
‫غفُ ْور َّرحيْم‬

Artinya : Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu mengadakan

pembicaraan khusus dengan Rasul hendaklah kamu mengeluarkan

sedekah (kepada orang miskin) sebelum pembicaraan itu, yang

demikian itu lebih baik bagimu dan lebih bersih, tapi jika kamu tidak

memperoleh (yang akan disedekahkan) maka sesungguhnya Allah

Maha Pengampun lagi maha Penyayang.

Ayat ini dinasikh oleh ayat selanjutnya yaitu Qur’an surah al-Mujadilah ayat 13 :

َّ ‫علَ ْي ُك ْم فَأ َ ِق ْي ُم ْوا ال‬


َ‫ص ََلة‬ َ ُ‫َّللا‬
َّ ‫اب‬َ َ‫ت فَ ِإ ْذ لَ ْم تَ ْف َعلُ ْوا َوت‬
ٍ ‫ص َدقَا‬ ْ ‫شفَ ْقت ُ ْم أَ ْن تُقَ ِد ُم ْوا َب ْي َن َيد‬
َ ‫َى نَ ْج َو ُك ْم‬ ْ َ‫َءأ‬

‫َّللاُ َخ ِبيْر ِب َما تَ ْع َملُ ْو َن‬


َّ ‫ َو‬,ُ‫س ْولَه‬ َ َّ ‫الزكَوةَ َوأَ ِط ْيعُ ْوا‬
ُ ‫َّللا َو َر‬ َّ ‫َو َءات ُْوا‬

Artinya : Apakah kamu takut (akan menjadi miskin) karena kamu memberikan

sedekah sebelum pembicaraan dengan rasul? Maka jika kamu tidak

memperbuatnya dan Allah telah memberi taubat kepadamu, maka

dirikanlah shalat tunaikanlah zakat dan taatlah kepada Allah dan

Rasulnya ; dan Allah maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.

Qur’an surah al-Mujadilah ayat 12 mewajibkan umat islam generasi awal

agar membayar sedekah kepada orang-orang miskin jika ingin mengadakan

pembicaraan khusus dengan Rasulullah SAW. Ayat 12 ini kemudian dinasikhkan

hukumnya dengan ayat selanjutnya yaitu ayat 13, sehingga umat islam pada masa
68

itu tidak lagi diwajibkan untuk membayar sedekah kepada orang-orang miskin

sebagai prasyarat jika ingin berbicara dengan Rasulullah secara khusus.

Penerapan Nasikh Mansukh dalam al-Qur’an menurut Imam As-Suyuti ada

3 (tiga) bentuk yaitu :81

1) Penghapusan hukum dan teks (Nash)

Contoh hadits dari Aisyah r.a yang diriwayatkan oleh Imam Muslim nabi

SAW bersabda :

‫َاءشَةَ أَنَّ َها‬


ِ ‫بن أَ ِبى َبك ٍْر ع َْن ع‬
ِ ‫َّللا‬ َ ُ‫َح َّدثَنَا َي ْح َي ْب ُن َي ْح َي قَا َل قَ َرأْت‬
َ ‫علَى َملِكٍ ع َْن‬
ِ َّ ‫ع ْب ِد‬

ْ ‫ت يُ َح ِر ْمنَ ث ُ َّم نُ ْنس‬


‫ِخ َن ِب َخ ْم ٍس‬ ٍ ‫ت َم ْعلُ ْو َما‬ َ ‫ش ُر َر‬
ٍ ‫ض َعا‬ ْ ‫ع‬ ِ ‫قَلَتْ كَا َن ِف ْي َما أ ُ ْن ِز ُل ِم ْن القُ ْر‬
َ ‫آن‬

ِ‫سلَّ َم َوهُ َّن ِف ْي َما يُ ْق َرأ ُ ِم ْن القُ ْرآن‬


َ ‫علَ ْي ِه َو‬ َّ ‫صلَّى‬
َ ُ‫َّللا‬ َ ‫َّللا‬
ِ َّ ‫سو ُل‬ ِ ‫ت فَت‬
ُ ‫ُوف َي َر‬ ٍ ‫َم ْعلُ ْو َما‬

Artinya : Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Yahya dia berkata ;

saya membaca dari Malik bin Abu Bakar dari ‘Amrah dari Aisya dia

berkata: “dahulu dalam al-Qur’an susuan yang dapat menyebabkan

menjadi mahram ialah sepuluh kali penyusuan, kemudian dinasikh

(dihapus) menjadi lima kali penyusuan. Kemudian Rasulullah shallallahu

‘alaihi wasallam wafat, dan ayat-ayat al-Qur’an tetap dibaca seperti itu.

Hadits diatas menjelaskan bahwa dahulu ada ayat al-Qur’an yang

menyebutkan ketentuan dua orang dianggap bersaudara dengan ibu yang

berbeda apabila keduanya menyusu kepada salah satu ibu dengan sepuluh

kali susuan. Kemudian hal itu dinasikh dan ditetapkan kemudian menjadi

lima kali susuan. Namun sekarang ayat tentang sepuluh atau lima kali

susuan tersebut tidak terdapat al-Qur’an.

2) Penghapusan hukum tanpa teks (Nash)

81
Al-Suyuti, al-Itqan fi Ulum al-Qur’an, Jilid II, Hal. 22
69

Contoh dari ayat ini adalah Qur’an surah al-Mujadilah ayat 12 sebagaimana

telah kami jelaskan diatas tentang umat muslim pada masa awal islam jika

ingin mengadakan pembicaraan dengan nabi maka diwajibkan membayar

sedeqah kepada ora-orang miskin, ayat 12 ini kemudian dinasikh dengan

ayat 13 di surah yang sama, bahwa kewajiban membayar sedeqah jika ingin

berbicara khusus dengan nabi dihapus. Dalam hal ini eksistensi ayat 12

surah al-Mujadilah ini masih ada terjaga dalam al-Qur’an, namun ketentuan

hukumnya sudah hapus.

3) Penghapusan teks (Nash) hukumnya tetap berlaku

Imam Suyuti dalam bukunya al-Itqan Fi Ulum al-Qur’an menyebutkan

hadits yang diriwayatkan oleh Muhammad Ibnu Ja’far, dari Syu’bah, dari

Qatadah, dari Yunus ibnu Jubair, dari Katsir ibnu al-shalt, dari Zaid ibnu

Tsabit berkata :

ِ‫ش ْي َخةُ إِذَا َزنَيَا فَ ْر ُج ُموا هُ َما البَتَّة‬ ُ ‫ش ْي‬


َّ ‫خ َوال‬ َّ ‫ال‬

Artinya : Orang tua laki-laki dan orang tua perempuan jika keduanya

berzina maka rajamlah keduanya dengan pasti.

Dulu ayat ini disebutkan dalam al-Qur’an kemudian diNasikh teksnya

(tilawahnya) sedangkan hukumnya tetap ada.

B. Persamaan dan Perbedaan Asas Lex Posteriori Derogat Legi Priori dan
Nasikh Mansukh Dalam Hukum Positif Indonesia

Muhammad Alim dalam bukunya Asas-Asas Negara Hukum Modern

Dalam Islam : Kajian Komprehensif Islam dan Ketatanegaraan menyebutkan

bahwa Asas Lex Posteriori Derogat Legi Priori dalam khazanah pemikiran

hukum Islam disebut dengan Nasikh Mansukh. Bahkan Muhammad Alim


70

menambahkan pengesampingan peraturan hukum baru terhadapa peraturan hukum

yang lama yang dipopulerkan dalam bahasa latin yaitu Lex Posteriori Derogat

Legi Priori adalah termasuk dalam kaidah-kaidah hukum islam. 82 Maka bisa

dikatakan bahwa sebagian kajian-kajian ilmu hukum hampir sama dengan kajian

hukum islam, maka diperlukan ada penelitian-penelitian yang lebih holistik untuk

mengetahui sejauh mana perbedaan dan persaman antar kaidah-kaidah yang

terdapat dalam ilmu hukum dan hukum islam.

Adapaun persamaan dan perbedan Asas Lex Posteriori Derogat Legi

Priori dan Nasikh Mansukh menurut pandangan penyusun setelah melakukan

penelitian tentang bagai penerapan atas keduanya. Persamaan dan perbedaan Asas

Lex Posteriori dan Nasik Mansukh sebagai berikut:

a) Persamaan antara Asas Lex Posteriori Derogat Legi Priori dengan Nasikh

Mansukh.

▪ keduanya sama-sama mengesampingkan atau membatalkan produk hukum

yang lama atas pemberlakuan produk hukum baru yang datang kemudian.

▪ Keduanya sama-sama harus berlaku dalam peristiwa hukum atau

pembahasan hukum yang sama.

b) Perbedaan antara Asas Lex Posteriori Derogat Legi Priori dengan Nasikh

Mansukh.

1. Kewenangan membatalkan produk hukum yang lama dengan yang baru.

Asas Lex Posteriori Derogat Legi Priori yang berwenang

mengesampingkan peraturan perundang-undangan yang lama dengan yang

baru adalah pemerintah baik legislatif maupun eksekutuf. Sedangkan Nasikh

82
Muhammad Alim, (2010), Asas-Asas Negara Hukum Modern Dalam Islam : Kajian
Komprehensif Islam dan Ketatanegaraan, Yogyakarta: LKiS Yogyakarta. Hal. 339.
71

Mansukh yang berwenang menghapus ayat yang lama dengan

mendatangkan ayat yang baru adalah Allah SWT.

2. Cara penerapannya :

a. Lex Posteriori Derogat Legi Priori mengesampingkan hukum yang lama

dengan cara melakukan :

a) Pencabutan keberlakuan seluruh atau sebagian peraturan perundang-

undangan yang lama dan memberlakukan peraturan yang baru.

b) Perubahan pada bab, pasal, atau ayat tertentu yaitu:

1) Merubah bab, pasal, atau ayat tertentu pada peraturan perundang-

undangan yang lama dan menggantinya dengan peraturan

perundang-undangan yang baru.

2) Menambah bab, pasal, atau ayat tertentu dalam peraturan

perundang-undangan yang baru.

3) Menghapus bab, pasal, atau ayat tertentu peraturan perundang-

undangan yang lama dalam peraturan perundang-undangan yang

baru.

b. Penerapan Nasikh Mansukh :

a) Penghapusan hukum dan teks (Nash)

b) Penghapusan hukum tanpa teks (Nash)

c) Penghapusan teks (Nash) tanpa hukum


BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil pembahasan yang telah diuraikan pada bab III maka

dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:

1. Penerapan Asas Lex Posteriori Derogate Legi Periori dalam hukum positif

meliputi tiga cara yakni: (1) Pencabutan yaitu mencabut secara keseluruhan

atau sebagian peraturan perundang-undangan yang lama dan diganti dengan

baru yang biasanya disebutkan pada bab terakhir tentang ketentuan penutup;

(2) Perubahan yaitu (a) merubah bab, pasal, atau ayat tertentu pada

peraturan perundang-undangan yang lama dan menggantinya dengan

peraturan perundang-undang yang baru; (b) menambahkan bab, pasal atau

ayat tertentu yang belum diatur dalam peraturan perundang-undangan yang

lama dalam peraturan yang baru; (c) menghapus bab, pasal, atau ayat

tertentu pada peraturan perundang-undangan yang lama dalam peraturan

perundang-undangan yang baru. Sedangkan penerapan Nasikh Mansukh

dalam al-Qur’an meliputi: (1) penghapusan hukum dan teks (Nash); (2)

penghapusan hukum tanpa teks (Nash) dan (3) penghapusan teks (Nash)

tanpa hukum.

2. Persamaan Asas Lex Posteriori Derogat Legi Priori dan Nasikh Mansukh

yakni sama-sama membatalkan produk hukum yang lama dan digantikan

dengan produk hukum yang baru. Baik itu pembatalan sebagianya maupun

secara keseluruhan. Adapun perbedaan Asas Lex Posteriori Derogat Legi

Priori dan Nasikh Mansukh yaitu (1) kewenangan membatalkan, Asas Lex

72
73

Posteriori Derogat Legi Priori adalah pemerintah baik legislatif maupun

eksekutif dan Nasikh Mansukh Allah SWT. (2) Cara penerapan keduanya.

B. Saran

Berdasarkan kesimpulan diatas maka penulis memberikan saran sebagai

berikut :

1. Membandingkan persoalan Asas Lex Posteriori Derogate Legi Periori dan

metode Nasikh Mansukh, bukanlah perkara mudah disamping membutuhkan

wawasan yang luas juga harus mampu menafsirkan kedua metode tersebut

secara bijak sebab apa yang kita simpulkan mampu menjadi bahan hukum

dikalangan cendikia khususnya maupun masyarakat awam pada umunya.

Sehingga penyusun menyarankan bagi para peneliti yang melakukan

penelitian sejenis untuk betul-betul mendalami keilmuan tersebut.

2. Penyusun menyarankan, hendaknya penelitian sejenis ini, terus dilakukan

karena sangat penting untuk menambah wawasan yang berkenaan dengan

istinbath hukum positif maupun hukum Islam.


DAFTAR PUSTAKA

Buku

Abdul Wahhab Khalaf, (1968), Ilmu Ushul Fiqh, ttp: Dar al-Kuwaitiyyah, al-
Qur’an.

Amir Syarifuddin, (1992), Ushul Fiqh Jilid 1. Ciputat: PT. Logos Wacana Ilmu.

Bagir Manan, (2004), Hukum Positif Indonesia: Satu Kajian Teoritik. Yogyakarta:
FH UII Press.

Hartono Hadisoeprapto, (2001), Pengantar Tata Hukum Indonesia, Cetakan ke-4,


Yogyakarta: Liberty.

Ishaq, (2016) Dasar-Dasar Ilmu Hukum, Jarta: Sinar Grafika.

Kahar Mansykur, (2002), Pokok-pokok Ulumul Qur`an, Jakarta: Rineka Cipta.

Kansil, (1999), Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia Jilid I, Jakarta:
Balai Pustaka.

Luwis Ma’luf, (2003), Al-Munjid fi al-Lughah, Beirut: Dar al-Mashriq.

Hamka, (1982), Tafsir al-Azhar, Jiuzu I, Jakarta: Pustaka Panjimas.

M. Yusuf, (2010), Studi Al-Qur’an, Jakarta: Amzah.

Marwan Mas, (2014), Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: Ghalia Indonesia.

Muhammad Alim, (2010), Asas-Asas Negara Hukum Modern Dalam Islam :


Kajian Komprehensif Islam dan Ketatanegaraan, Yogyakarta: LKiS
Yogyakarta.

Muhammad Bakri, 2011, Pengantar Hukum Indonesia : system Hukum Indonesia


Era Reformasi, Jilid 1,Malang : UB Press

Moh. Nor Ichwan, (2002), Studi Ilmu-Ilmu al-Quran, Semarang: RaSail Media
Group.

Peter Mahmud Marzuki, (2013), Penelitian Hukum, Edisi Revisi, Jakarta: Penerbit
Kencana.

Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto, (1983), Perundang-undangan dan


Yurisprudensi, Bandung : Citra Aditya Bakri.

73
74

Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, (2021), Kamus Besar bahasa


Indonesia, Edisi Ketiga, Jakarta: Balai Pustaka.

Quraish Shihab, (2013), Kaidah Tafsir, Syarat, Ketentuan, dan Aturan Yang Patut
Anda Ketahui dalam Memahami Ayat-Ayat al-Qur’an, Tangerang: Lantera
Hati.

Quraish Shihab, (2004), Membumikan Al-Qur’an, Fungsi dan Peran Wahyu


dalam Kehidupan, Bnadung: Mizan.

R. Soeroso, (2017), Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: Sinar Grafika.

R. Subekti, R. Tjitro Sudibio, (2009) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata,


Jakarta : Pradnya Paramita.

R. Susilo, (2013), Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta


Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, Bogor: Politeia.

Shaleh, A.A. Dahlan, M. D. Dahlan, (2011), Asbabun Nuzul, Latar Belakang,


Historis Turunnya Ayat-Ayat al-Qur’an, Cet. 2, Bandung : Diponegoro.

Sirajudin, dkk., (2016), Legislative Drafting Pelembagaan Metode Partisipatif


Dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Malang : Setara
Press.

Soedikno Mertokesumo, (2009) Penemuan Hukum sebuah Pengantar Jokjakarta:


Liberty.

Soemardi, (2007), Teori Hukum Dan Negara , Dasar-Dasar Ilmu Hukum


Normatif sebagai Ilmu Hukum Deskriptif-Empirik, Jakarta : BEE Media
Indonesia.

Sudikno Mertokusuma, (2007), Mengenal Hukum, Cetakan ke-3, Yogyakarta:


Liberty.

Sudikno Mertokusumo, (2021), Penemuan Hukum, Yogyakarta: Liberty.

Suharsimi Arikunto, (2002), Prosedur Penelitian : Suatu Pendekatan Praktek,


Jakarta: Rieneka Cipta.

Suratman dan Philip Dillah, (2020), Metode Penelitian Hukum, Bandung :


Alfabeta.

Perundang-Undangan

UU Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak.


75

Undang-Undang Nomor 9 tahun 2015 Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23


tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.

UU Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.

Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 Perubahan atas Undang-Undang Nomor


12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.

Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 Perubahan Atas Undang-Undang Nomor


1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.

Jurnal

Muhammad Kudhori, (2018), Pro Kontra Nasikh Mansukh dalam Al-Qur’an,


Jurnal Putih Vol. III, Tahun 2018.

Muhammad Husni dan Fathul Wahab, (2018), Teori Nasikh Mansukh dalam
Penetapan Hukum Syariat Islam, Jurnal Annaba, Volume 4 No. 2, 1
September 2018.

Subaidi, (2014), Historisitas Nasikh Mansukh dan problematikanya dalam


penafsiran al- qur’an, Hermeneutik: Jurnal Ilmu Al-Qur’an dan Tahfsir
Vol. 8, No. 1, Juni 2014.

Ruslan, (2019), Nasikh Dan Mansukh Alquran Menurut dr. Hamka, Journal of
Islamic and Law Studies, Volume 3, Nomor 2, Tahun 2019.

Internet

Ahmad Hasanuddin Brutu, (2008), Teori Nasikh Mansukh Imam As-Syafi‟I dan
Relevansinya Dalam Pembaharuan Fiqih di Indonesia Skripsi, Malang:
UIN Maulana Malik Ibrahim dari http://etheses.uin-malang.ac.id/4315/
diakses pada tanggal 18 Mei 2022.
Ahmad Zaeni, (2012), Asas Lex Posteriori Derogat Legi Prioridalam Penemuan
Hukum Rechtsvinding) Oleh Hukum, Skripsi dari http://etheses.uin-
malang.ac.id/7151/1/08210066.pdf diakses pada tanggal 18 Mei 2022.
Contoh Lex Posterior Derogat Legi Priori dari
https://nasional.kompas.com/read/2022/02/17/00450061/contoh-lex-
posterior-derogat-legi-priori diakses pada 18 Maret 2022.
Ida Bagus Gede Putra, (2021), Memecah Konflik Norma Dengan Asas Derogasi,
dari https://advokatkonstitusi.com/memecahkan-konflik-norma-degan-asas-
derogasi/ diakses pada tanggal 22 Mei 2022.
Irfan, (2016), Penerapan Nasikh Mansukh dlam Al-Qur’an, Skripsi dari
https://repositori.uin-alauddin.ac.id/1705/ diakses pada tanggal 11 Mei
2022.
76

Rahman Hakim, (2015), Nasikh Mansukh Dalam Al-qur’an, Studi Komparatif


Interpretasi Nawawi al-Bantani dan Quraish Shihab terhadap Q.S. al-
Baqarah Ayat 106 dan an-Nahl ayat 101, Thesis, dari
http://digilib.uinsby.ac.id/4467/ diakses pada tanggal 11 Mei 2022.
Syaiful Anam & Partners, Pendekatan Perundang-undangan (Statute Approach)
dalam Penelitian Hukum dari https://www.saplaw.top/pendekatan-
perundang-undangan-statute-approach-dalam-penelitian-hukum/ diakses
pada 14 April 2022.
Trisno, (2018), Konsep Pembatalan Norma Hukum: Studi Perbandingan Konsep
Nasikh Mansukh Menurut Imam Syafi’I dengan Konsep Judical Review
dalam Hukum Positif, Skripsi dari http://eprints.umm.ac.id/39707/ diakses
pada 22 Maret 2022.

Anda mungkin juga menyukai