Anda di halaman 1dari 7

Jenis film: Drama. Sutradara: Hanung Bramantyo. Penulis: Hanung Bramantyo.

Pemain: Lukman Sardi, Slamet Rahardjo, Zaskia Adya Mecca, Giring, Ihsan Idol, Ikranegara, Yatti Surachman, Joshua Suherman.

KISAH ini diawali lahirnya seorang bayi laki-laki di Kauman, bernama Darwis. Berangkat remaja ia banyak melihat tradisi sesajen berbaur agama Islam yang menurutnya dapat menyesatkan, Ia berangkat ke tanah suci di usia 15 tahun. Sepulang dari Mekah, Darwis mengubah namanya menjadi Ahmad Dahlan. Seorang pemuda usia 21 tahun yang gelisah atas pelaksanaan syariat Islam yang melenceng ke arah Bidah. Karenanya, Islam dipandang sebagai agama mistik dan tahayul oleh kalangan Eropa (Belanda) dan kaum modern. Melalui suraunya Ahmad Dahlan membuka sekolah yang menyadarkan bahwa Islam tidak hanya berkutat soal tauhid, tetapi juga mampu memperbaiki kesejahteraan masyarakat melalui pendidikan. Bagi Ahmad Dahlan kemiskinan disebabkan karena kebodohan. Berangkat dari gagasan itulah maka laki-laki putra Khatib Masjid Besar Kauman itu memulai kiprahnya. Diawali dengan mengubah arah kiblat yang salah di Masjid Besar Kauman yang mengakibatkan kemarahan para kyai fanatik. Surau atau Langgar Kidoel Ahmad Dahlan dirobohkan karena dianggap mengajarkan aliran sesat. Ahmad Dahlan juga di tuduh sebagai kyai kafir hanya karena membuka sekolah yang menempatkan muridnya duduk di kursi seperti sekolah modern Belanda. Ahmad Dahlan juga dituduh sebagai kyai Kejawen hanya karena dekat dengan lingkungan cendekiawan Jawa di Budi Utomo. Tapi tuduhan tersebut tidak membuat pemuda Kauman itu surut. Didampingi isteri tercinta, Siti Walidah, dan 5 murid-murid setianya yakni Sudja, Fahrudin, Hisyam, Syarkawi, dan Abdulgani, Dahlan membentuk organisasi Muhammadiyah dengan tujuan mendidik umat Islam agar berpikiran maju sesuai dengan perkembangan zaman. Peran Ahmad Dahlan dan Nyai Walidah dimainkan apik oleh Lukman Sardi dan Zaskia Adya Mecca. Detail emosi dibangun secara detail dan manusiawi oleh Hanung. Dalam kesabarannya, Ahmad Dahlan digambarkan putus asa, marah, dan sedih hingga menangis. Adegan ini serta merta bisa membuat penonton meleleh. Sederet bintang remaja seperti Joshua, Ricky Perdana, Mario Irwinsyah, Dennis Adishwara) dan Abdurrahman Arif) yang berperan sebagai murid Ahmad Dahlan. Anda juga bisa menyaksikan peran Giring 'Nidji' yang boleh dikata cukup sebagai artis pendukung. (nin)

Sebuah resensi film tokoh pembaharuan selalu menarik untuk disimak. Resensi Film Sang Pencerah - Perjuangan KH.Ahmad Dahlan ini adalah salah satunya. SEbuah Epik atau tepatnya Biopik yang diketengahkan Hanung Bramantyo sang sutradara. Dibuka dengan kelahiran Muhammad Darwis, dengan segala upacara adat Jawa yang mengikuti kelahirannya. Tergambar jelas bahwa Darwis terlahir dari kalangan berada. Sekitar 30 menit pertama, kita diajak berlari mengenal semua sosok yang ada di film ini. Sedikit agak melelahkan memang, karena semua tokoh memiliki peran penting dalam perjalanan hidup Darwis yang kemudian berganti nama menjadi Ahmad Dahlan (Lukman Sardi) setelah pulang dari Mekkah untuk berhaji.

Ritme Cerita

film mulai melambat menginjak durasi 60 menit. Film ini mulai menampakkan

'kegagahannya'. Di usia 21 tahun, Ahmad Dahlan gelisah atas pelaksanaan syariat Islam yang melenceng ke arah Bid'ah sesat. Pemberian sesajen untuk upacara adat Jawa yang dikaitkan dengan Islam, pengkultusan imam Masjid Besar Kauman, hingga peletakan kedudukan raja keraton sebagai pemangku agama Islam, dan salahnya arah kiblat membuatnya gelisah. Jabatannya sebagai ketip (khotib) Masjid Besar Kauman membuatnya bisa memulai langkah perubahan segera. Dalam kotbah yang dilaksanakannya, pemikiran pembaharuan diutarakan pada jemaat. Tak hal tersebut membuat berang Kyai Penghulu Kamaludiningrat (Slamet Rahardjo) yang menjadi imam Masjid Besar Kauman. Tak mendapat tempat di Masjid Besar Kauman, melalui Langgar/Surau-nya Dahlan mengawali pergerakan dengan mengubah arah kiblat. Sebagai seorang kyai penjaga tradisi, Kyai Penghulu memerintahkan massa untuk merobohkan surau Ahmad Dahlan karena dianggap mengajarkan aliran sesat. Pemikiran modern Ahmad Dahlan mengantarnya untuk bergabung dengan organisasi Budi Utomo. Karena itu ia juga dituduh sebagai kyai Kejawen hanya karena dekat dengan lingkungan cendekiawan Jawa di Budi Utomo. Tak hanya itu, ingin menyebarkan agama di kalangan berpendidikan, Ahmad Dahlan mengajar di sekolah Belanda. Dari sanalah ia mengadopsi sistem sekolah modern yang mendudukkan siswanya pada bangku. Tuduhan datang lagi, Ahmad Dahlan juga dituduh sebagai kyai kafir hanya karena membuka sekolah yang menempatkan muridnya duduk di kursi seperti sekolah modern Belanda. Tapi tuduhan tersebut tidak membuat pemuda Kauman itu surut. Dengan ditemani isteri tercinta, Siti Walidah (Zaskia Adya Mecca) dan lima murid-murid setianya : Sudja (Giring Nidji), Sangidu (Ricky Perdana), Fahrudin (Mario Irwinsyah), Hisyam (Dennis Adishwara) dan Dirjo (Abdurrahman Arif), Ahmad Dahlan terus berjuang. Hingga akhirnya membentuk organisasi Muhammadiyah, yang berarti pengikut Nabi Muhammad. Film ini bisa digolongkan dalam kolosal, karena melibatkan banyak sekali tokoh baik pemain inti maupun kolosal. Detail emosi dibangun secara detail dan manusiawi oleh Hanung. Dalam kesabarannya, Ahmad Dahlan digambarkan putus asa, marah, dan sedih hingga menangis. Adegan ini serta merta bisa membuat penonton meleleh. Sementara tik tok Hisyam dan Sudja memberikan keceriaan dengan banyolan khas anak muda.

Resensi Film SANG PENCERAH : JEJAK PEMBAHARUAN SEORANG ULAMA BESAR


Posted in Uncategorized | January 1st, 2011 <! @page { margin: 0.79in } P { margin-bottom: 0.08in } >
Up Date Januari 2011 : Pilih Categories / Home / About us pada gambar disamping:

Apalah arti sebuah nama?, ternyata nama mengandung filosofi besar. Doa, pengharapan, cita-cita, impian juga terkandung di dalamnya. Bahkan salah satu kewajiban orangtua pada buah hati mereka adalah memberikan nama yang baik, yang berarti dalam konteks pelabelan yang positif. Awal kali petama saya tidak tau apakah gerakan muhammadiyah itu. Yang jelas jika dilihat dari namanya asumsi yang muncul yaitu gerakan yang mengikuti Nabi Muhammad (Nabi penutup, khatamul anbiya). Selain di Jogja di Solo juga terkenal banyak munculnya pemikir-pemikir muhammadiyah. Mengetahui lebih jauh-pun sangat minim, sekedar nama dari berbagai pengajian umum setiap Ahad sore. Waktu sekolah juga tak banyak bersinggungan dengan muhammadiyah, dari SD hingga Perguruan Tinggi tak ada ilmu khusus atau sekolah khusus Muhammadiyah yang diikuti. Teman saya pernah meledek mbak kalau tes, ditanyaain tentang muhammadiyah pasti ndak bisa dong, hingga saya tersenyum iya juga ya, malah ndak diterima. Bersaing tentang teori muhammadiyah kalah saya, dibanding teman-teman sekantor yang paling banyak dari perguruan tinggi muhammadiyah. Hingga suatu hari saat membelajari adik yang sekolah di muhammadiyah, coba saya baca buku pelajaran kelas 3 Al Islam dan Kemuhammadiyahan, mengulas tentang muhammadiyah. Arti nama, organisasi, badan usaha dan profil tentang tokoh muhammadiyah, salah pesan KH. Ahmad Dahlan Hidup-hidupilah muhammadiyah, tetapi jangan hidup di muhammadiyah . Kalau terdapat banyak sekolah, perguruan tinggi yang membuka dengan label muhammadiyah, membayar royalti pada generasi keluarga KH. Ahmad Dahlan, tentu sangat kaya, (he he befikir materialisme). Jauh saat didirikannya muhammadiyah, tujuan mulia KH. Ahmad Dahlan muhammadiyah bergerak dibidang keagamaan, pendidikan hingga sosial kemanusiaan dan kesehatan. Pembaharuan yang dilakukan KH. Ahmad Dahlan mengalami banyak rintangan. Pemikiran ide inovasi umumnya tercetus dari kaum marginal (seperti pendidikan bagi kaum defabel), gerakan dari poros orang-orang yang dianggap terpinggirkan akan berkembang lebih cepat dilapisan masyarakat. KH Ahmad Dahlan yang melakukan pembaharuan dalam skup lingkungan besar (diwali dari masjid Kauman, yang juga dikenal masjid kraton Yogyakarta) lebih banyak pertentangan. Seperti prinsip dalam kaizen, selalu berupaya terus menerus dengan mempelajari metode yang ada (kondisi masyarakat saat itu), untuk menciptakan pembaharuan. Jogja Tempo Doeloe Film yang digarap Hanung Bramantyo berjudul Sang Pencerah, mengkisahkan tentang KH. Ahmad Dahlan, pelopor pembaruan Islam di Indonesia dan pendiri organisasi Muhammadiyah dengan berbagai intrik yang menarik untuk diikuti. Dengan durasi tayang selama 120 menit, film menggunakan setting Yogyakarta, ditahun 1888, tempat asal Dahlan dilahirkan. Dalam silsilah Dahlan termasuk keturunan kedua belas dari Maulana Malik Ibrahim, seorang wali besar dan terkemuka dari wali songo. Hegemoni Masyarakat Dilatar belakangi dari kebiasaan masyarakat Jawa yang terbiasa menjalankan tradisi keagamaan pengaruh dari budaya, dengan anggapan tradisi yang dijalankan itu juga dari ajaran agama (Islam). Melihat kondisi masyarakat seperti itu, Muhammad Darwis - nama kecil Ahmad Dahlan sebelum menunaikan ibadah haji sangatlah gundah. Meretas Peradaban

Setelah menyelesaikan studinya di madrasah, diusia yang sangat muda 15 tahun, ia pergi haji dan tinggal di mekah selama 5 tahun. Selama di Mekah selain digunakan untuk memperdalam ilmu, Dahlan mulai berinteraksi dengan pemikiranpemikiran pembaharu dalam Islam, seperti Muhammad Abduh Al-Afghani, Rasyid Rindha, Ibnu Timiyah, dll. Ketika melaksanakan rukun islam kelima inilah, ia mengganti namanya menjadi Ahmad Dahlan. Banyak ide-ide pembaharuan yang beliau cetuskan, dari arah kiblat yang sebelumnya menghadap ke Afrika menjadi ke Kabah di Mekah, hingga sistem model pendidikan yang beliau kembangkan saat itu, ditengah-tengah lembaga pendidikan yang belum memadai. Selain masalah keimanan dan pendidikan, perjuangannya juga dilakukan dalam bidang sosial. Ia sering melakukan hal-hal yang menurut sebagian ulama pada masa itu tidak sejalan dengan ajaran Islam, sehingga ia dituduh sebagai kiai kafir karena meniru cara-cara Barat. Berbagai pembaharuan membuat para kiai gusar, termasuk kiai penghulu Cholil Kamaludiningrat, penghulu masjid Agung Kauman. Ditengah pergumulan kemarahan emosi yang memuncak, kiai penghulu memerintahkan untuk membongkar surau yang dibuat Dahlan, dikarenakan arah kiblat yang digunakan 24 ke Barat laut. Surau Dahlan itu sekaligus dianggap mencederai tradisi yang berlalu ketat di Yogyakarta. Meski demikian, KH. Ahmad Dahlan tetap pada pendiriannya, bahkan ia sukses menyampaikan pesan penting dari inti surat Al-Maun yang menjadi gerakannya dalam mengelola sebuah masyarakat yang mengalami kemiskinan, kesengsaraan untuk memperoleh kesejahteraan sekaligus kesehatan. KH. Ahmad dahlan semasa hidupnya juga pernah menjadi ketib (juru khotbah) dari masjid kesultanan Yogyakarta, menggantikan ayahnya. Ia dikenal sangat jujur, pandai dan sungguh-sungguh dalam bekerja, sehingga sultan Yogyakarta memberinya gelar Katib Amin (khatib yang dipercaya). Kiprah KH. Ahmad Dahlan dalam pendidikan menjadikan sosok kiai juga seorang guru yang mampu mengajar anak-anak di Kweekschool (dahulu disebut : sekolah raja). Akhirnya, itulah yang membuat para siswa sekolahan Belanda takjub. KH Ahmad Dahlan bersama murid-muridnya yang setia, Sudja, Sangidu, Fahrudin, Hisyam dan Dirjo, mendirikan organisasi Muhammadiyah, yang berarti pengikut Muhammad, nabi utusan terakhir yang diutus oleh Allah. Keteguhan KH Ahmad Dahlan bersama istrinya Siti Walidah (Nyi Dahlan) menjadi inspirasi untuk bersama-sama berjuang dalam kebaikan, menghargai perbedaan, menyemai kepedulian. Ide yang tercetus itulah yang menumbangkan sistem berfikir tradisional, kemudian menciptakan sistem berfikir yang progresif revolusioner. Setting atau lokasi film yang disajikan memang menarik, serta beberapa pemilihan pemain hingga tradisi kebiasaan masyarakat yang dipaparkan seolah kita diajak kembali menggunakan mesin waktu tempo doeloe. Bumbu adegan lucu saat kedatangan kiai dari Magelang dikemas secara apik pula. Hanya saja titik klimaks yang disajikan kurang berkembang. Titik pergumulan melihat langgar yang dibakar, menjadikan KH. Ahmad Dahlan masygul, berniat untuk meninggalkan Yogyakarta selama-lamanya hingga dikejar kakaknya untuk kembali, adegan itulah yang dapat dijadikan titik klimaks dalam cerita yang dapat dikembangkan lagi. Ending cerita kurang menggereget, bahkan terkesan datar-datar saja. Kita tunggu semoga akan muncul cerita sekuel kedua yang lebih menarik lagi. (nrj_nurratnajuwita) Resensi telah dimuat di Majalah PK Media Edisi XIII, Desember 2010

Muhammadiyah sejak pendiriannya memang didedikasikan untuk dunia pendidikan dan kesehatan. Jadi, wajar kalau saat ini kita temukan pendidikan dasar, menengah dan tinggi Muhammadiyah di Nusantara ini. Dan di kompleks pendidikan Muhammadiyah itu selalu ada BKIA (Balai Kesehatan Ibu dan Anak) dan PA (Panti Asuhan). Secara keseluruhan film SP itu sangat bagus ditinjau dari segi kandungan, alur cerita, seni penataan musik, dan segi perfilman lainnya. Paling tidak, sebagai orang awam-film, saya dapat menikmati nonton film SP, mampu memberikan atensi terhadap film tersebut, duduk dengan tenang. Muhammad Darwis (nama KH Ahmad Dahlan) sebelum ke Mekkah) selalu bertanya di dalam hatinya. Mengapa agama yang diyakininya sebagai rahmatan lilalamin (rahmat atau kebaikan bagi seluruh alam) justru tidak nampak. Secara fakta banyak sekali masyarakat yang terlantar dan seakan-akan dibiarkan oleh para pemuka agama. Orang-orang miskin dibiarkan melarat seakan sudah menjadi takdir mereka, nyata-nyata di hadapan masjid. Kesehatan masyarakat sangat rapuh. Tidak ada yang tergerak hatinya untuk memperbaiki hidup dan kehidupan mereka. Para pemuka agama dan pengikutnya tidak terusik dan sibuk dengan ritual keagamaan. Setiap hari mereka sholat berjamaah, sementara masyarakat miskin di sekitar masjid sudah kehilangan harapan hidup. Situasi demikian kontras, dan dari hari ke hari semakin banyak jumlah. Pemahaman agama juga bercampur aduk dengan kepercayaan mistik berlebih-lebihan. Sesajen berbagai jenis makanan terbuang begitu saja. Sangat mubah. Upacara tahlilan sangat berlebihan. Bahkan mereka yang sudah kehilangan saudaranya juga harus melaksanakan tahlilan yang overdosis, membuat masyarakat menjadi sedih lahir dan batin. Masyarakat menganggap bahwa tahlilan adalah kewajiban agama. Darwis merasa yakin bahwa ini bukan esensi beragama. Pasti ada kesalahan pemahaman terhadap agama yang sebenarnya untuk rahmatan lilalamin. Bila sebuah kebiasaan lalu dibungkus dengan kepercayaan sebagai sesuatu yang sakral, maka kebiasaan itu dianggap sebuah kebenaran. Keluar dari kebiasaan itu berarti pelanggaran. Orang lain akan menganggap mereka yang tidak sama kebiasaannya bukanlah kelompoknya, bukan orang-orang beriman alias kafir. Situasi ini dimanfaatkan oleh penguasa (penjajah), bila menguntungkan maka akan diteruskan dan dilindungi seolah-olah inilah ajaran Tuhan yang wajib ditaati. Bila kebiasaan ini mengusik kenikmatan atasan (pemimpin umat, pemerintah, penjajah) maka itu harus dimusnahkan. Keadaan bercampur aduk dengan pimpinan agama yang vested dan mudah memberi cap kafir bagi mereka yang tidak sepaham. Itulah secara umum yang terjadi di sekitar Ngayogyakarta pada saat itu. Cap kafir ini sangat mujarab sehingga orang tidak ada yang mempertanyakan kekeliruan ini terus terjadi. Para pengikut agama yakin seyakin yakinnya bahwa perilaku kafir adalah sebesar-besarnya dosa. Jadi, harus dijauhi. Tetapi mereka banyak yang tidak paham makna iman, musyrik, mistik, sholat, ibadah, kafir, dan sesajen campur baur menjadi kepercayaan seakan kebenaran ajaran yang wajib ditaati. Tanpa reserve. Ketika Darwis membahas semua itu dengan ayahandanya yang diperankan oleh Ikrangera, sang ayah tidak sepenuhnya menerima. Dikatakannya bahwa agama itu bukan soal akal saja, tetapi juga harus dengan hati. Pernyataan ini ada benarnya, tetapi hati yang bagaimana dulu? Hati yang sudah dilumuti kesenangan duniawi, kedudukan, kepangkatan, kewibawaan, tentunya akan memelihara kebiasaan yang dibungkus dengan kepercayaan yang seolah-olah agung. Tidak jarang hati seperti ini justru telah mengikat kita dengan ketamakan duniawi. Kita tidak lagi menjadi bebas, tetapi terperdaya oleh hawa nafsu. Muhammad Darwis tetap tidak bisa menerima situasi demikian. Tetapi bagaimana caranya? Inilah yang menjadi esensi perjuangannya. Darwis lalu pergi menunaikan ibadah haji ke Mekah al Mukaramah. Di sanalah Darwis sempat membaca

pemikiran-pemikiran Jamaluddin Al-Afghani dan Muhammad Abduh. Muhammad Abduh (1849-1905) pemikir modern dari Mesir yang menekankan betapa pentingya akal. Seperti yang dituangkan di dalam Surah Al-Baqarah (30-34) tentang kejadian manusia, jelas sekali bahwa kelebihan manusia di atas makhluk hidup lainnya adalah karena kekuatan akalnya. Akal-fikiran itulah yang membuat manusia layak menjadi khalifatul-fil-ardli (pemimpin di muka bumi). Abduh mengajarkan bahwa manusia diberikan anugerah intelegensia oleh Allah, untuk dipergunakan. Manusia bukanlah kerbau yang ditusuk hidungnya lalu mengekor ke mana saja maunya pimpinan. Abduh berprinsip bahwa kebebasan berpikir untuk selalu bertanya dan berinovasi adalah modal kemajuan sebuah negara. Negara maju, menurut Abduh, adalah negara yang pandai menggunakan otaknya. Dengan demikian, ilmu pengetahuan terus berkembang sesuai dengan kemajuan zaman. Itulah kelebihan orang Barat ketimbang Timur. Dalam konteks ini barangkali Abduh berpendapat "saya melihat Islam di negara Barat, tetapi sedikit Muslim. Dan saya melihat banyak Muslim di Timur, tetapi tidak ada Islam". Abduh juga dikenal dekat dengan tokoh-tokoh dari kalangan Nasrani dan Yahudi. Rupanya pemikiran Abduh sejalan dengan apa yang dipikirkan Darwis. Tidak heran kalau Darwis sering berpendapat bahwa guru agama bukanlah yang menentukan segalanya. Kebenaran harus bersama-sama dicari, bukan hanya milik guru. Pola pendidikan ini tentu sangat berbeda diametral dengan yang selama ini dianggap kebenaran di Ngayogyakarta, yakni petuah guru adalah kebenaran. Murid hanya boleh mengikuti, tanpa ada bantahan sedikitpun. Seperti kebiasaan masa itu, orang Indonesia yang pergi berhaji, lalu mendapat nama baru. Begitupun Darwis, namanya jadi Ahmad Dahlan (AD). Dengan bekal nalar yang kuat ditambah pengetahuan agama yang semakin banyak selama di Makkah al-Mukaramah, AD semakin memiliki modal untuk melakukan perubahan. Sepulang dari Mekah, AD dijadikan Imam Masjid di Kauman dan berhak memberikan tausiah. Ceramah-ceramahnya agak berbeda dengan para kiai umumnya waktu itu yang sangat menekankan penerimaan tanpa banyak bertanya, AD justru menekankan betapa pentingnya akal. Bertanya dan diskusi adalah modal awal untuk maju. AD juga mengajarkan bahwa Al-Qur'an dapat dikaji sesuai dengan nuansa ke kinian, tidak statis tapi dinamis. Tentu saja tausiah model ini cukup membuat para kiai saat itu merinding, karena sudah keluar dari pakem. Dengan bekal pengetahuannya tentang ilmu bumi dan penggunaan kompas, AD mempertanyakan arah sholat yang sudah bertahun-tahun diterima sebagai suatu kebenaran. Inipun membuat hampir semua jamaah terutama para kiainya tersinggung. Mereka tidak mau menerima penjelasan berbasis ilmu pengetahuan yang dipakai AD. Inilah barangkali yang ada di dalam salah satu ayat Surah Al-Baqarah 'tertutuplah mata dan hatinya, sehingga mereka tidak mau belajar'. Ahmad Dahlan bependapat bahwa penggunaan alat dan ilmu pengetahuan adalah bagian dari proses modernisasi. Akan tetapi tidak semudah membalikkan tangan untuk meyakinkan mereka yang sudah larut dengan kebiasaan-kebiasaan yang telah mengakar. Kala itu modernisasi bahkan bisa dicap sebagai langkah menuju ke kafir atau meniadakan Tuhan. Dus, modernisasi lebih berat dari tabu! Harus dijauhi. Karena perbedaan yang dianggap prinsipil, maka AD diberhentikan dari jabatan Imam mesjid. Dan AD membuat mesjid kecil sekalian dipergunakan untuk belajar mereka yang mulai berpikir terbuka. Para muridnya memanggil kiayi, lengkapnya Kiai Haji Ahmad Dahlan (KHAD). Pola pengajiannya sangat berbeda dengan kebiasaan saat itu. Ketika ada beberapa orang muda tertarik dengan pemikiran KHAD bertanya apa itu agama. KHAD malah memainkan biolanya yang membuat orang-orang muda menjadi tenang mendengar kesyahduannya.

Lalu biola itu diberikan kepada salah seorang pemuda dan diminta memainkannya. Keruan saja suaranya menjadi berantakan, karena pemuda itu tidak punya ilmu dan keahlian memainkan biola. Seusai itu KHAD menerangkan makna agama 'Agama bagaikan musik indah yang mampu memberikan kesyahduan, ketenangan, dan kebahagiaan. Tetapi harus dilakukan dengan ilmu pengetahuan, kalau tidak malah bisa menjadi kacau dan jadi bahan tertawaan'. Perjuangannya semakin mendapat tantangan dan tidak jarang KHAD dikategorikan orang kafir. Akan tetapi KHAD semakin "keukeuh" bahwa perubahan harus dilakukan. Maka KHAD mempelajari organisasi-organisasi modern yang mengajak pada perubahan, terutama Budi Utomo. Dari situ muncullah inspirasi pendirian Muhammadiyah. Maka lahirlah Muhammadiyah pada tanggal 18 Nopember 1912, sebagai perserikatan non-politik. Berbasis perjuangan melalui pendidikan dan kesehatan Muhammadiyah terus berkembang secara kuantitatif. Secara kualitatif, Muhammadiyah harus mulai introspeksi, karena tantangan zamannya juga semakin kompleks. Tanpa harus berubah menjadi sebuah partai, Muhammadiyah bisa dengan tegar memberikan masukan kepada penyelenggara negara. Yang jelas, titipan KHAD harus terus dipegang "hidupilah Muhammadiyah, tetapi jangan mencari penghidupan dari Muhammadiyah". Insya Allah. (***) *) Pengurus ICMI Editor: Bambang COPYRIGHT 2010

Anda mungkin juga menyukai