Anda di halaman 1dari 23

TEORI KEBENARAN DALAM PERSPEKTIF

FILSAFAT ILMU
Manusia selalu berusaha menemukan kebenaran. Banyak cara telah ditempuh untuk
memperoleh kebenaran, antara lain dengan menggunakan rasio seperti para rasionalis dan
melalui pengalaman atau empiris. Pengalaman-pengalaman yang diperoleh manusia
membuahkan prinsip-prinsip yang terkadang melampaui penalaran rasional, kejadian-
kejadianyang berlaku di alam itu dapat dimengerti.

Struktur pengetahuan manusia menunjukkan tingkatan-tingkatan dalam hal menangkap


kebenaran. Setiap tingkat pengetahuan dalam struktur tersebut menunjukkan tingkat
kebenaran yang berbeda. Pengetahuan inderawi merupakan struktur yang terendah. Tingkat
pengetahuan yang lebih tinggi adalah pengetahuan rasional dan intuitif. Tingkat yang lebih
rendah menangkap kebenaran secara tidak lengkap, tidak terstruktur, dan pada umumnya
kabur, khususnya pada pengetahuan inderawi dan naluri. Oleh sebab itulah pengetahuan ini
harus dilengkapi dengan pengetahuan yang lebih tinggi.Pada tingkat pengetahuan rasional-
ilmiah, manusia melakukan penataan pengetahuannya agar terstruktur dengan jelas.

Metode ilmiah yang dipakai dalam suatu ilmu tergantung dari objek ilmu yang bersangkutan.
Macam-macam objek ilmu antara lain fisiko-kimia, mahluk hidup, psikis, sosio politis,
humanistis danreligius. Filsafat ilmu memiliki tiga cabang kajian yaitu ontologi,epistemologi
dan aksiologi.

Ontologi membahas tentang apa itu realitas. Dalam hubungannya dengan ilmu
pengetahuan,filsafat ini membahas tentang apa yang bisa dikategorikan sebagai objek ilmu
pengetahuan. Epistemologis membahas masalah metodologi ilmu pengetahuan. Dalam ilmu
pengetahuan modern, jalan bagi diperolehnya ilmu pengetahuan adalah metode ilmiah
dengan pilar utamanya rasionalisme dan empirisme. Aksiologi menyangkut tujuan
diciptakannya ilmu pengetahuan, mempertimbangkan aspek pragmatis-materialistis.
Kerangka filsafat di atas akan memudahkan pemahaman mengenai keterkaitan berbagai ilmu
dalam mencari kebenaran.

Teori Kebenaran Dalam Perspektif FilsafatIlmu

Dalam menguji suatu kebenaran diperlukan teori-teori ataupun metode-metode yang akan
berfungsi sebagai penunjuk jalan bagi jalannya pengujian tersebut. Berikut ini beberapa teori
tentang kebenaran dalam perspektif filsafat ilmu:

a) Teori Korespondensi
Teori kebenaran korespondensi adalah teori yang berpandangan bahwa pernyataan-
pernyataan adalah benar jika berkorespondensi (berhubungan) terhadap fakta yang ada.
Kebenaran atau suatu keadaan dikatakan benar jika adakesesuaian antara arti yang dimaksud
oleh suatu pendapat dengan fakta. Suatu proposisi (ungkapan atau keputusan) adalah benar
apabila terdapat suatu fakta yang sesuai dan menyatakan apa adanya. Teori ini sering
diasosiasikan dengan teori-teori empiris pengetahuan.

Ujian kebenaran yang di dasarkan atas teori korespondensi paling diterima secara luas oleh
kelompok realis. Menurut teori ini, kebenaran adalah kesetiaan kepada realita obyektif
(fidelity to objective reality). Kebenaran adalah persesuaian antara pernyataan tentang fakta
dan fakta itu sendiri, atau antara pertimbangan (judgement) dan situasi yang dijadikan
pertimbangan itu, serta berusaha untuk melukiskannya, karena kebenaran mempunyai
hubungan erat dengan pernyataan atau pemberitaan yang kita lakukan tentang sesuatu (Titus,
1987:237).

Jadi,secara sederhana dapat disimpulkan bahwa berdasarkan teori korespondensi suatu


pernyataan adalah benar jika materi pengetahuan yang dikandung pernyataan itu
berkorespondensi (berhubungan) dan sesuai dengan obyek yang dituju oleh pernyataan
tersebut (Suriasumantri, 1990:57). Misalnya jika seorang mahasiswa mengatakan
“matahariterbit dari timur” maka pernyataan itu adalah benar sebab pernyataan tersebut
bersifat faktual, atau sesuai dengan fakta yang ada bahwa matahari terbit dari timur dan
tenggelam di ufuk barat.

Menurut teori korespondensi, ada atau tidaknya keyakinan tidak mempunyai hubungan
langsung terhadap kebenaran atau kekeliruan. Jika sesuatu pertimbangan sesuai dengan fakta,
maka pertimbangan ini benar, jika tidak, maka pertimbangan itu salah (Jujun, 1990:237).

b) Teori Koherensi atau Konsistensi

Teori kebenaran koherensi adalah teori kebenaran yang didasarkan kepada kriteria koheren
atau konsistensi. Pernyataan-pernyataan ini mengikuti atau membawa kepada pernyataan
yang lain. Berdasarkan teori ini suatu pernyataan dianggap benar bila pernyataan itu bersifat
koheren atau konsisten dengan pernyataan-pernyataan sebelumnya yang dianggap benar
(Jujun, 1990:55)., artinyapertimbangan adalah benar jika pertimbangan itu bersifat konsisten
dengan pertimbangan lain yang telah diterima kebenarannya, yaitu yang koheren menurut
logika.
Suatu kebenaran tidak hanya terbentuk karena adanya koherensi atau kensistensi antara
pernyataan dan realitas saja, akan tetapi juga karena adanya pernyataan yang konsisten
dengan pernyataan sebelumnya. Dengan kata lain suatu proposisi dilahirkan untuk menyikapi
dan menanggapi proposisi sebelumnya secara konsisten serta adanya interkoneksi dan tidak
adanya kontradiksi antara keduanya.

Misalnya,bila kita menganggap bahwa “maksiat adalah perbuatan yang dilarang oleh Tuhan”
adalah suatu pernyataan yang benar, maka pernyataan bahwa “mencuri adalah perbuatan
maksiat, maka mencuri dilarang oleh Tuhan” adalah benar pula, sebab pernyataan kedua
adalah konsisten dengan pernyataan yang pertama.

Kelompok idealis, seperti Plato juga filosof-filosof modern seperti Hegel, Bradley dan Royce
memperluas prinsip koherensi sehingga meliputi dunia; dengan begitu maka tiap-tiap
pertimbangan yang benar dan tiap-tiap sistem kebenaran yang parsial bersifat terus menerus
dengan keseluruhan realitas dan memperolah arti dari keseluruhan tersebut (Titus,1987:239)

Teori Pragmatik

Teori pragmatik dicetuskan oleh Charles S. Peirce (1839-1914) dalam sebuah makalah yang
terbit pada tahun 1878 yang berjudul “How to Make Ideals Clear”. Teori ini kemudian
dikembangkan oleh beberapa ahli filsafat yang kebanyakan adalah berkebangsaan Amerika
yang menyebabkan filsafat ini sering dikaitkan dengan filsafat Amerika. Ahli-ahli filasafat ini
di antaranya adalah William James (1842-1910), John Dewey (1859-1952), George Hobart
Mead (1863-1931) dan C.I.Lewis (Jujun, 1990:57)

Teori kebenaran pragmatis adalah teori yang berpandangan bahwa arti dari ide dibatasi oleh
referensi pada konsekuensi ilmiah, personal atau sosial. Benar tidaknya suatu dalil atau teori
tergantung kepada peran fungsi dalil atau teori tersebut bagi manusia untuk kehidupannya
dalam lingkup ruang dan waktu tertentu. Teori ini juga dikenal dengan teori problem solving,
artinya teori yang dengan itu dapat memecahkan segala aspek permasalahan.

Kebenaran suatu pernyataan harus bersifat fungsional dalam kehidupan praktis.

Menurut teori ini proposisi dikatakan benar sepanjang proposisi itu berlaku atau memuaskan.
Apa yang diartikan dengan benar adalah yang berguna (useful) danyang diartikan salah
adalah yang tidak berguna (useless). Bagi para pragmatis,batu ujian kebenaran adalah
kegunaan (utility), dapat dikerjakan (workability)dan akibat atau pengaruhnya yang
memuaskan (satisfactory consequences). Teoriini tidak mengakui adanya kebenaran yang
tetap atau mutlak.

Francis Bacon pernah menyatakan bahwa ilmu pengetahuan harus mencari keuntungan-
keuntungan untuk memperkuat kemampuan manusia di bumi. Ilmu pengetahuan manusia
hanya berarti jika nampak dalam kekuasaan manusia. Dengan kata lain ilmu pengetahuan
manusia adalah kekuasaan manusia. Hal ini membawa jiwa bersifat eksploitatif terhadap
alam karena tujuan ilmu adalah mencari manfaat sebesar mungkin bagi manusia.

d) Teori Performatif

Teoriini menyatakan bahwa kebenaran diputuskan atau dikemukakan oleh pemegang otoritas
tertentu. Contohnya mengenai penetapan 1 Syawal. Sebagian muslim diIndonesia mengikuti
fatwa atau keputusan MUI atau pemerintah, sedangkan sebagian yang lain mengikuti fatwa
ulama tertentu atau organisasi tertentu.Masyarakat menganggap hal yang benar adalah apa-
apa yang diputuskan oleh pemegang otoritas tertentu walaupun tak jarang keputusan tersebut
bertentangan dengan bukti-bukti empiris.

Dalam fase hidupnya, manusia kadang kala harus mengikuti kebenaran


performatif.Pemegang otoritas yang menjadi rujukan bisa pemerintah, pemimpin
agama,pemimpin adat, pemimpin masyarakat, dan sebagainya. Kebenaran performatif dapat
membawa kepada kehidupan sosial yang rukun, kehidupan beragama yang tertib,adat yang
stabil dan sebagainya.

Masyarakat yang mengikuti kebenaran performatif tidak terbiasa berpikir kritis dan rasional.
Mereka kurang inisiatif dan inovatif, karena terbiasa mengikuti kebenaran dari pemegang
otoritas. Pada beberapa daerah yang masyarakatnya masih sangat patuh pada adat, kebenaran
ini seakan-akan kebenaran mutlak. Mereka tidak berani melanggar keputusan pemimpin adat
dan tidak terbiasa menggunakanrasio untuk mencari kebenaran.

e) Teori Konsensus

Suatu teori dinyatakan benar jika teori itu berdasarkan pada paradigma atau perspektif
tertentu dan ada komunitas ilmuwan yang mengakui atau mendukung paradigma tersebut.
Masyarakat sains bisa mencapai konsensus yang kokoh karena adanya paradigma. Sebagai
komitmen kelompok, paradigma merupakan nilai-nilai bersama yang bisa menjadi
determinan penting dari perilaku kelompok meskipun tidak semua anggota kelompok
menerapkannya dengan cara yang sama.

Paradigma juga menunjukkan keanekaragaman individual dalam penerapan nilai-nilai


bersama yang bisa melayani fungsi-fungsi esensial ilmu pengetahuan. Paradigma berfungsi
sebagai keputusan yuridiktif yang diterima dalam hukum tak tertulis. Adanya perdebatan
antar paradigma bukan mengenai kemampuan relatif suatu paradigma dalam memecahkan
masalah, tetapi paradigma mana yang pada masa mendatang dapat menjadi pedoman riset
untuk memecahkan berbagai masalah secara tuntas.

Teori Kebenaran Dalam Perspektif FilsafatIlmu

Dalam menguji suatu kebenaran diperlukan teori-teori ataupun metode-metode yang akan
berfungsi sebagai penunjuk jalan bagi jalannya pengujian tersebut. Berikut ini beberapa teori
tentang kebenaran dalam perspektif filsafat ilmu:

a) Teori Korespondensi

Teori kebenaran korespondensi adalah teori yang berpandangan bahwa pernyataan-


pernyataan adalah benar jika berkorespondensi (berhubungan) terhadap fakta yang ada.
Kebenaran atau suatu keadaan dikatakan benar jika ada kesesuaian antara arti yang dimaksud
oleh suatu pendapat dengan fakta. Suatu proposisi (ungkapan atau keputusan) adalah benar
apabila terdapat suatu fakta yang sesuai dan menyatakan apa adanya. Teori ini sering
diasosiasikan dengan teori-teori empiris pengetahuan.

Ujian kebenaran yang di dasarkan atas teori korespondensi paling diterima secara luas oleh
kelompok realis. Menurut teori ini, kebenaran adalah kesetiaan kepada realita obyektif
(fidelity to objective reality). Kebenaran adalah persesuaian antara pernyataan tentang fakta
dan fakta itu sendiri, atau antara pertimbangan (judgement) dan situasi yang dijadikan
pertimbangan itu, serta berusaha untuk melukiskannya, karena kebenaran mempunyai
hubungan erat dengan pernyataan atau pemberitaan yang kita lakukan tentang sesuatu (Titus,
1987:237).

Jadi, secara sederhana dapat disimpulkan bahwa berdasarkan teori korespondensi suatu
pernyataan adalah benar jika materi pengetahuan yang dikandung pernyataan itu
berkorespondensi (berhubungan) dan sesuai dengan obyek yang dituju oleh pernyataan
tersebut (Suriasumantri, 1990:57). Misalnya jika seorang mahasiswa mengatakan “matahari
terbit dari timur” maka pernyataan itu adalah benar sebab pernyataan tersebut bersifat faktual,
atau sesuai dengan fakta yang ada bahwa matahari terbit dari timur dan tenggelam di ufuk
barat.

Menurut teori korespondensi, ada atau tidaknya keyakinan tidak mempunyai hubungan
langsung terhadap kebenaran atau kekeliruan. Jika sesuatu pertimbangan sesuai dengan fakta,
maka pertimbangan ini benar, jika tidak, maka pertimbangan itusalah(Jujun, 1990:237).

b) Teori Koherensi atau Konsistensi

Teori kebenaran koherensi adalah teori kebenaran yang didasarkan kepada kriteria koheren
atau konsistensi. Pernyataan-pernyataan ini mengikuti atau membawa kepada pernyataan
yang lain. Berdasarkan teori ini suatu pernyataan dianggap benar bila pernyataan itu bersifat
koheren atau konsisten dengan pernyataan-pernyataan sebelumnya yang dianggap benar
(Jujun, 1990:55)., artinya pertimbangan adalah benar jika pertimbangan itu bersifat konsisten
dengan pertimbangan lain yang telah diterima kebenarannya, yaitu yang koheren menurut
logika.

Suatu kebenaran tidak hanya terbentuk karena adanya koherensi atau kensistensi antara
pernyataan dan realitas saja, akan tetapi juga karena adanya pernyataan yang konsisten
dengan pernyataan sebelumnya. Dengan kata lain suatu proposisi dilahirkan untuk menyikapi
dan menanggapi proposisi sebelumnya secara konsisten serta adanya interkoneksi dan tidak
adanya kontradiksi antara keduanya.

Misalnya,bila kita menganggap bahwa “maksiat adalah perbuatan yang dilarang oleh
Allah”adalah suatu pernyataan yang benar, maka pernyataan bahwa “mencuri adalah
perbuatan maksiat, maka mencuru dilarang oleh Allah” adalah benar pula, sebab pernyataan
kedua adalah konsisten dengan pernyataan yang pertama.

Kelompok idealis, seperti Plato juga filosof-filosof modern seperti Hegel, Bradley danRoyce
memperluas prinsip koherensi sehingga meliputi dunia; dengan begitu makatiap-tiap
pertimbangan yang benar dantiap-tiap sistem kebenaran yang parsial bersifat terus menerus
dengankeseluruhan realitas dan memperolah arti dari keseluruhan tersebut (Titus,1987:239)

Teori Pragmatik
Teori pragmatik dicetuskan oleh Charles S. Peirce (1839-1914) dalam sebuah makalahyang
terbit pada tahun 1878 yangberjudul “How to Make Ideals Clear”. Teori ini kemudian
dikembangkan oleh beberapa ahli filsafat yang kebanyakan adalah berkebangsaan Amerika
yang menyebabkan filsafat ini sering dikaitkan dengan filsafat Amerika. Ahli-ahli filasafat ini
di antaranya adalah William James(1842-1910), John Dewey (1859-1952), George Hobart
Mead (1863-1931) dan C.I.Lewis (Jujun, 1990:57)

Teori kebenaran pragmatis adalah teori yang berpandangan bahwa arti dari ide dibatasi oleh
referensi pada konsekuensi ilmiah, personal atau sosial. Benar tidaknyasuatu dalil atau teori
tergantung kepada peran fungsi dalil atau teori tersebutbagi manusia untuk kehidupannya
dalam lingkup ruang dan waktu tertentu. Teoriini juga dikenal dengan teori problem solving,
artinya teori yang dengan itu dapat memecahkan segala aspek permasalahan.

Kebenaran suatu pernyataan harus bersifat fungsional dalam kehidupan praktis.

Menurut teori ini proposisi dikatakan benar sepanjang proposisi itu berlaku ataumemuaskan.
Apa yang diartikan dengan benar adalah yang berguna (useful) danyang diartikan salah
adalah yang tidak berguna (useless). Bagi para pragmatis,batu ujian kebenaran adalah
kegunaan (utility), dapat dikerjakan (workability)dan akibat atau pengaruhnya yang
memuaskan (satisfactory consequences). Teori ini tidak mengakui adanya kebenaran yang
tetap atau mutlak.

Francis Bacon pernah menyatakan bahwa ilmu pengetahuan harus mencarikeuntungan-


keuntungan untuk memperkuat kemampuan manusia di bumi. Ilmu pengetahuan manusia
hanya berarti jika nampak dalam kekuasaan manusia. Dengankata lain ilmu pengetahuan
manusia adalah kekuasaan manusia. Hal ini membawa jiwa bersifat eksploitatif terhadap
alam karena tujuan ilmu adalah mencari manfaat sebesar mungkin bagi manusia.

d) Teori Performatif

Teori ini menyatakan bahwa kebenaran diputuskan atau dikemukakan oleh pemegang otoritas
tertentu. Contohnya mengenai penetapan 1 Syawal. Sebagian muslim diIndonesia mengikuti
fatwa atau keputusan MUI atau pemerintah, sedangkansebagian yang lain mengikuti fatwa
ulama tertentu atau organisasi tertentu.Masyarakat menganggap hal yang benar adalah apa-
apa yang diputuskan oleh pemegang otoritas tertentu walaupun tak jarang keputusan tersebut
bertentangandengan bukti-bukti empiris.
Dalam fase hidupnya, manusia kadang kala harus mengikuti kebenaran performatif.
Pemegang otoritas yang menjadi rujukan bisa pemerintah, pemimpin agama,pemimpin adat,
pemimpin masyarakat, dan sebagainya. Kebenaran performatif dapatmembawa kepada
kehidupan sosial yang rukun, kehidupan beragama yang tertib,adat yang stabil dan
sebagainya.

Masyarakat yang mengikuti kebenaran performatif tidak terbiasa berpikir kritis danrasional.
Mereka kurang inisiatif dan inovatif, karena terbiasa mengikuti kebenaran dari pemegang
otoritas. Pada beberapa daerah yang masyarakatnya masih sangat patuh pada adat, kebenaran
ini seakan-akan kebenaran mutlak. Mereka tidak berani melanggar keputusan pemimpin adat
dan tidak terbiasa menggunakan rasio untuk mencari kebenaran.

e) Teori Konsensus

Suatuteori dinyatakan benar jika teori itu berdasarkan pada paradigma atau perspektif tertentu
dan ada komunitas ilmuwan yang mengakui atau mendukung paradigma tersebut. Masyarakat
sains bisa mencapai konsensus yang kokoh karena adanya paradigma. Sebagai komitmen
kelompok, paradigma merupakan nilai-nilai bersama yang bisa menjadi determinan penting
dari perilaku kelompok meskipun tidak semua anggota kelompok menerapkannya dengan
cara yang sama.

Paradigma juga menunjukkan keanekaragaman individual dalam penerapan nilai-nilai


bersamayang bisa melayani fungsi-fungsi esensial ilmu pengetahuan. Paradigma
berfungsisebagai keputusan yuridiktif yang diterima dalam hukum tak tertulis. Adanya
perdebatan antar paradigma bukan mengenai kemampuan relatif suatu paradigmadalam
memecahkan masalah, tetapi paradigma mana yang pada masa mendatang dapat menjadi
pedoman riset untuk memecahkan berbagai masalah secara tuntas.

Sumber : https://ilmufilsafat.wordpress.com/category/teori-kebenaran-dalam-perspektif-filsafat-
ilmu/
B. Teori-Teori Kebenaran Menurut Filsafat

1. Teori Corespondence  menerangkan bahwa kebenaran atau sesuatu kedaan benar itu
terbukti benar bila ada kesesuaian antara arti yang dimaksud suatu pernyataan atau
pendapat dengan objek yang dituju/ dimaksud oleh pernyataan atau pendapat tersebut.

2. Teori Consistency  Teori ini merupakan suatu usah apengujian (test) atas arti kebenaran.
Hasil test dan eksperimen dianggap relible jika kesan-kesanyang berturut-turut dari
satu penyelidik bersifat konsisten dengan hasil test eksperimen yang dilakukan
penyelidik lain dalam waktu dan tempat yang lain.

3. Teori Pragmatisme  Paragmatisme menguji kebenaran dalam praktek yang dikenal apra
pendidik sebagai metode project atau medoe problem olving dai dalam pengajaran.
Mereka akan benar-benar hanya jika mereka berguna mampu memecahkan problem
yang ada. Artinya sesuatu itu benar, jika mengmbalikan pribadi manusia di
dalamkeseimbangan dalam keadaan tanpa persoalan dan kesulitan. Sebab tujuan
utama pragmatisme ialah supaya manusia selalu ada di dalam keseimbangan, untuk
ini manusia harus mampu melakukan penyesuaian dengan tuntutan-tuntutan
lingkungan.

4. Kebenaran Religius  Kebenaran tak cukup hanya diukur dnenga rasion dan kemauan
individu. Kebenaran bersifat objective, universal,berlaku bagi seluruh umat manusia,
karena kebenaran ini secara antalogis dan oxiologis bersumber dari Tuhan yang
disampaikan melalui wahyu.

Sumber : https://van88.wordpress.com/teori-teori-kebenaran-filsafat/
Yang ini gk bisa di copas jadi aku screenshoot mbak
Sumber : http://www.slideshare.net/Hidayahilya/teoriteori-kebenaran

Teori Korespondensi (The Correspondence Theory of Thruth) memandang bahwa kebenaran


adalah kesesuaian antara pernya-taan tentang sesuatu dengan kenyataan sesuatu itu sendiri.
Contoh: “Ibu kota Republik Indonesia adalah Jakarta”. Teori Koherensi/Konsistensi (The
Consistence/Coherence Theory of Truth) memandang bahwa kebenaran ialah kesesuaian
antara suatu pernyataan dengan pernyataan-pernyataan lainnya yang sudah lebih dahulu
diketahui, diterima dan diakui sebagai benar. Teori Pragmatis (The Pragmatic Theory of
Truth) memandang bahwa “kebenaran suatu pernyataan diukur dengan kriteria apakah
pernyataan tersebut bersifat fungsional dalam kehidupan praktis”; dengan kata lain, “suatu
pernyataan adalah benar jika pernyataan itu mempunyai kegunaan praktis dalam kehidupan
manusia”. Kata kunci teori ini adalah: kegunaan (utility), dapat dikerjakan (workability),
akibat atau pengaruhnya yang memuaskan (satisfactory consequencies). Kelima macam teori
kebenaran yang akan dibahas berikut ini adalah berbagai cara manusia memperoleh
kebenaran yang sifatnya relatif atau nisbi. Kebenaran absolut atau kebenaran mutlak berasal
dari Tuhan yang disampaikan kepada manusia melalui wahyu. Alam dan kehidupan
merupakan sumber kebenaran yang tersirat dari tuhan untuk dipelajari dan diobservasi guna
kebaikan umat manusia.

Teori Korespondensi (Correspondence Theory of Truth) Teori kebenaran korespondensi


adalah teori yang berpandangan bahwa pernyataan-pernyataan adalah benar jika
berkorespondensi terhadap fakta atau pernyataan yang ada di alam atau objek yang dituju
pernyataan tersebut. Kebenaran atau suatu keadaan dikatakan benar jika ada kesesuaian
antara arti yang dimaksud oleh suatu pendapat dengan fakta. Suatu proposisi adalah benar
apabila terdapat suatu fakta yang sesuai dan menyatakan apa adanya. Teori ini sering
diasosiasikan dengan teori-teori empiris pengetahuan. Teori kebenaran korespondensi adalah
teori kebenaran yang paling awal, sehingga dapat digolongkan ke dalam teori kebenaran
tradisional karena Aristoteles sejak awal (sebelum abad Modern) mensyaratkan kebenaran
pengetahuan harus sesuai dengan kenyataan yang diketahuinya.
Dua kesukaran utama yang didapatkan dari teori korespondensi adalah: Pertama, teori
korespondensi memberikan gambaran yang menyesatkan dan yang terlalu sederhana
mengenai bagaimana kita menentukan suatu kebenaran atau kekeliruan dari suatu pernyataan.
Bahkan seseorang dapat menolak pernyataan sebagai sesuatu yang benar didasarkan dari
suatu latar belakang kepercayaannya masing-masing. Kedua, teori korespondensi bekerja
dengan idea, “bahwa dalam mengukur suatu kebenaran kita harus melihat setiap pernyataan
satu-per-satu, apakah pernyataan tersebut berhubungan dengan realitasnya atau tidak.” Lalu
bagaimana jika kita tidak mengetahui realitasnya? Bagaimanapun hal itu sulit untuk
dilakukan. Ketiga, Kelemahan teori kebenaran korespondensi ialah munculnya kekhilafan
karena kurang cermatnya penginderaan, atau indera tidak normal lagi. Di samping itu teori
kebenaran korespondensi tidak berlaku pada objek/bidang nonempiris atau objek yang tidak
dapat diinderai. Kebenaran dalam ilmu adalah kebenaran yang sifatnya objektif, ia harus
didukung oleh fakta-fakta yang berupa kenyataan dalam pembentukan objektivanya.
Kebenaran yang benar-benar lepas dari kenyataan subjek.

Teori Koherensi (Coherence Theory of Truth) Teori kebenaran koherensi adalah teori
kebenaran yang didasarkan kepada kriteria koheren atau konsistensi. Suatu pernyataan
disebut benar bila sesuai dengan jaringan komprehensif dari pernyataan-pernyataan yang
berhubungan secara logis. Pernyataan-pernyataan ini mengikuti atau membawa kepada
pernyataan yang lain. Seperti sebuah percepatan terdiri dari konsep-konsep yang saling
berhubungan dari massa, gaya dan kecepatan dalam fisika. Teori Koherensi/Konsistensi (The
Consistence/Coherence Theory of Truth) memandang bahwa kebenaran ialah kesesuaian
antara suatu pernyataan dengan pernyataan-pernyataan lainnya yang sudah lebih dahulu
diketahui, diterima dan diakui sebagai benar. Suatu proposisi benar jika proposisi itu
berhubungan (koheren) dengan proposisi-proposisi lain yang benar atau pernyataan tersebut
bersifat koheren atau konsisten dengan pernyataan-pernyataan sebelumnya yang dianggap
benar. Dengan demikian suatu putusan dianggap benar apabila mendapat penyaksian
(pembenaran) oleh putusan-putusan lainnya yang terdahulu yang sudah diketahui,diterima
dan diakui benarnya. Karena sifatnya demikian, teori ini mengenal tingkat-tingkat kebenaran.
Disini derajar koherensi merupakan ukuran bagi derajat kebenaran. Contoh: “Semua manusia
akan mati. Si Fulan adalah seorang manusia. Si Fulan pasti akan mati.” “Sukarno adalah
ayahanda Megawati. Sukarno mempunyai puteri. Megawati adalah puteri Sukarno”. Seorang
sarjana Barat A.C Ewing (1951:62) menulis tentang teori koherensi, ia mengatakan bahwa
koherensi yang sempurna merupakan suatu idel yang tak dapat dicapai, akan tetapi pendapat-
pendapat dapat dipertimbangkan menurut jaraknya dari ideal tersebut. Sebagaimana
pendekatan dalam aritmatik, dimana pernyataan-pernyataan terjalin sangat teratur sehingga
tiap pernyataan timbul dengan sendirinya dari pernyataan tanpa berkontradiksi dengan
pernyataan-pernyataan lainnya. Jika kita menganggap bahwa 2+2=5, maka tanpa melakukan
kesalahan lebih lanjut, dapat ditarik kesimpulan yang menyalahi tiap kebenaran aritmatik
tentang angka apa saja. Teori koherensi, pada kenyataannya kurang diterima secara luas
dibandingkan teori korespondensi. Teori ini punya banyak kelemahan dan mulai
ditinggalkan. Misalnya, astrologi mempunyai sistem yang sangat koheren, tetapi kita tidak
menganggap astrologi benar. Kebenaran tidak hanya terbentuk oleh hubungan antara fakta
atau realitas saja, tetapi juga hubungan antara pernyataan-pernyataan itu sendiri. Dengan kata
lain, suatu pernyataan adalah benar apabila konsisten dengan pernyataan-pernyataan yang
terlebih dahulu kita terima dan kita ketahui kebenarannya. Matematika adalah bentuk
pengetahuan yang penyusunannya dilakukan pembuktian berdasarkan teori koheren. Sistem
matematika disusun diatas beberapa dasar pernyataan yang dianggap benar (aksioma).
Dengan mempergunakan beberapa aksioma, maka disusun suatu teorema. Dan diatas
teorema-lah, maka dikembangkan kaidah-kaidah matematika yang secara keseluruhan
merupakan suatu sistem yang konsisten. Salah satu dasar teori ini adalah hubungan logis dari
suatu proposisi dengan proposisi sebelumnya. Proposisi atau pernyataan adalah apa yang
dinyatakan, diungkapkan dan dikemukakan atau menunjuk pada rumusan verbal berupa
rangkaian kata-kata yang digunakan untuk mengemukakan apa yang hendak dikemukakan.
Proposisi menunjukkan pendirian atau pendapat tentang hubungan antara dua hal dan
merupakan gabungan antara faktor kuantitas dan kualitas. Contohnya tentang hakikat
manusia, baru dikatakan utuh jika dilihat hubungan antara kepribadian, sifat, karakter,
pemahaman dan pengaruh lingkungan. Psikologi strukturalisme berusaha mencari strukturasi
sifat-sifat manusia dan hubungan-hubungan yang tersembunyi dalam kepribadiannya. Dua
masalah yang didapatkan dari teori koherensi adalah: (1) Pernyataan yang tidak koheren
(melekat satu sama lain) secara otomatis tidak tergolong kepada suatu kebenaran, namun
pernyataan yang koheren juga tidak otomatis tergolong kepada suatu kebenaran. Misalnya
saja diantara pernyataan “anakku mengacak-acak pekerjaanku” dan “anjingku mengacak-
acak pekerjaanku” adalah sesuatu yang sulit untuk diputuskan mana yang merupakan
kebenaran, jika hanya dipertimbangkan dari teori koherensi saja. Misalnya lagi, seseorang
yang berkata, “ Sundel Bolong telah mengacak-acak pekerjaan saya!”, akan dianggap salah
oleh saya karena tidak konsisten dengan kepercayaan saya. (2) sama halnya dalam mengecek
apakah setiap pernyataan berhubungan dengan realitasnya, kita juga tidak akan mampu
mengecek apakah ada koherensi diantara semua pernyataan yang benar.

Teori Pragmatik (The Pragmatic Theory of Truth) Teori kebenaran pragmatis adalah teori
yang berpandangan bahwa arti dari ide dibatasi oleh referensi pada konsekuensi ilmiah,
personal atau sosial. Benar tidaknya suatu dalil atau teori tergantung kepada berfaedah
tidaknya dalil atau teori tersebut bagi manusia untuk kehidupannya. Kebenaran suatu
pernyataan harus bersifat fungsional dalam kehidupan praktis. Teori Pragmatis (The
Pragmatic Theory of Truth) memandang bahwa “kebenaran suatu pernyataan diukur dengan
kriteria apakah pernyataan tersebut bersifat fungsional dalam kehidupan praktis”; dengan kata
lain, “suatu pernyataan adalah benar jika pernyataan itu mempunyai kegunaan praktis dalam
kehidupan manusia”. Pragmatisme menantang segala otoritanianisme, intelektualisme dan
rasionalisme. Bagi mereka ujian kebenaran adalah manfaat (utility), kemungkinan dikerjakan
(workability) atau akibat yang memuaskan (Titus, 1987:241), Sehingga dapat dikatakan
bahwa pragmatisme adalah suatu aliran yang mengajarkan bahwa yang benar ialah apa yang
membuktikan dirinya sebagai benar dengan perantaraan akibat-akibatnya yang bermanfaat
secara praktis. Pegangan pragmatis adalah logika pengamatan dimana kebenaran itu
membawa manfaat bagi hidup praktis dalam kehidupan manusia. Kata kunci teori ini adalah:
kegunaan (utility), dapat dikerjakan (workability), akibat atau pengaruhnya yang memuaskan
(satisfactory consequencies). Teori ini pada dasarnya mengatakan bahwa suatu proposisi
benar dilihat dari realisasi proposisi itu. Jadi, benar-tidaknya tergantung pada konsekuensi,
kebenaran suatu pernyataan diukur dengan kriteria apakah pernyataan tersebut bersifat
fungsional dalam kehidupan praktis, sepanjang proposisi itu berlaku atau memuaskan.
Menurut teori pragmatis, “kebenaran suatu pernyataan diukur dengan kriteria apakah
pernyataan tersebut bersifat fungsional dalam kehidupan praktis. Artinya, suatu pernyataan
adalah benar, jika pernyataan itu atau konsekuensi dari pernyataan itu mempunyai kegunaan
praktis bagi kehidupan manusia” . Dalam pendidikan, misalnya di UIN, prinsip kepraktisan
(practicality) telah mempengaruhi jumlah mahasiswa pada masing-masing Fakultas. Tarbiyah
lebih disukai, karena pasar kerjanya lebih luas daripada fakultas lainnya. Mengenai
kebenaran tentang “Adanya Tuhan” atau menjawab pertanyaan “Does God exist ?”, para
penganut paham pragmatis tidak mempersoalkan apakah Tuhan memang ada baik dalam
ralitas atau idea (whether really or ideally). Yang menjadi perhatian mereka adalah makna
praktis atau dalam ungkapan William James “ ….they have a definite meaning for our
ptactice. We can act as if there were a God”. Dalam hal ini, menurut penganut pragmatis,
kepercayaan atau keyakinan yang membawa pada hasil yang terbaik; yang menjadi justifikasi
dari segala tindakan kita; dan yang meningkatkan suatu kesuksesan adalah kebenaran. Teori
pragmatis meninggalkan semua fakta, realitas maupun putusan/hukum yang telah ada. Satu-
satunya yang dijadikan acuan bagi kaum pragmatis ini untuk menyebut sesuatu sebagai
kebenaran ialah jika sesuatu itu bermanfaat atau memuaskan. Apa yang diartikan dengan
benar adalah yang berguna (useful) dan yang diartikan salah adalah yang tidak berguna
(useless). Karena istilah “berguna” atau “fungsional” itu sendiri masih samar-samar, teori ini
tidak mengakui adanya kebenaran yang tetap atau mutlak. Pragmatisme memang benar untuk
menegaskan karakter praktis dari kebenaran, pengetahuan, dan kapasitas kognitif manusia.
Tapi bukan berarti teori ini merupakan teori yang terbaik dari keseluruhan teori. Kriteria
pragmatisme juga diergunakan oleh ilmuan dalam menentukan kebenaran ilmiah dalam
prespektif waktu. Secara historis pernyataan ilmiah yang sekarang dianggap benar suatu
waktu mungkin tidak lagi demikian. Dihadapkan dengan masalah seperti ini maka ilmuan
bersifat pragmatis selama pernyataan itu fungsional dan mempunyai kegunaan maka
pernyataan itu dianggap benar, sekiranya pernyataan itu tidak lagi bersifat demikian,
disebabkan perkembangan ilmu itu sendiri yang menghasilkan pernyataan baru, maka
pernyataan itu ditinggalkan, demikian seterusnya.

Teori Struktural Paradigmatik Suatu teori dinyatakan benar jika teori itu berdasarkan pada
paradigma atau perspektif tertentu dan ada komunitas ilmuwan yang mengakui atau
mendukung paradigma tersebut. Banyak sejarawan dan filosof sains masa kini menekankan
bahwa serangkaian fenomena atau realitas yang dipilih untuk dipelajari oleh kelompok ilmiah
tertentu ditentukan oleh pandangan tertentu tentang realitas yang telah diterima secara apriori
oleh kelompok tersebut. Pandangan apriori ini disebut paradigma oeh Kuhn dan world view
oleh Sardar. Paradigma ialah apa yang dimiliki bersama oleh anggota-anggota suatu
masyarakat sains atau dengan kata lain masyarakat sains adalah orang-orang yang memiliki
suatu paradigma bersama. Masyarakat sains bisa mencapai konsensus yang kokoh karena
adanya paradigma. Sebagai konstelasi komitmen kelompok, paradigma merupakan nilai-nilai
bersama yang bisa menjadi determinan penting dari perilaku kelompok meskipun tidak
semua anggota kelompok menerapkannya dengan cara yang sama. Paradigma juga
menunjukkan keanekaragaman individual dalam penerapan nilai-nilai bersama yang bisa
melayani fungsi-fungsi esensial ilmu pengetahuan. Paradigma berfungsi sebagai keputusan
yuridiktif yang diterima dalam hukum tak tertulis. Pengujian suatu paradigma terjadi setelah
adanya kegagalan berlarut-larut dalam memecahkan masalah yang menimbulkan krisis.
Pengujian ini adalah bagian dari kompetisi di antara dua paradigma yang bersaingan dalam
memperebutkan kesetiaan masyarakat sains. Falsifikasi terhadap suatu paradigma akan
menyebabkan suatu teori yang telah mapan ditolak karena hasilnya negatif. Teori baru yang
memenangkan kompetisi akan mengalami verifikasi. Proses verifikasi-falsifikasi memiliki
kebaikan yang sangat mirip dengan kebenaran dan memungkinkan adanya penjelasan tentang
kesesuaian atau ketidaksesuaian antara fakta dan teori. Perubahan dari paradigma lama ke
paradigma baru adalah pengalaman konversi yang tidak dapat dipaksakan. Adanya
perdebatan antar paradigma bukan mengenai kemampuan relatif suatu paradigma dalam
memecahkan masalah, tetapi paradigma mana yang pada masa mendatang dapat menjadi
pedoman riset untuk memecahkan berbagai masalah secara tuntas. Adanya jaringan yang kuat
dari para ilmuwan sebagai peneliti konseptual, teori, instrumen, dan metodologi merupakan
sumber utama yang menghubungkan ilmu pengetahuan dengan pemecahan berbagai masalah.

Teori Performatik Teori ini menyatakan bahwa kebenaran diputuskan atau dikemukakan oleh
pemegang otoritas tertentu. Contoh pertama mengenai penetapan 1 Syawal. Sebagian muslim
di Indonesia mengikuti fatwa atau keputusan MUI atau pemerintah, sedangkan sebagian yang
lain mengikuti fatwa ulama tertentu atau organisasi tertentu. Contoh kedua adalah pada masa
rezim orde lama berkuasa, PKI mendapat tempat dan nama yang baik di masyarakat. Ketika
rezim orde baru, PKI adalah partai terlarang dan semua hal yang berhubungan atau memiliki
atribut PKI tidak berhak hidup di Indonesia. Contoh lainnya pada masa pertumbuhan ilmu,
Copernicus (1473-1543) mengajukan teori heliosentris dan bukan sebaliknya seperti yang
difatwakan gereja. Masyarakat menganggap hal yang benar adalah apa-apa yang diputuskan
oleh gereja walaupun bertentangan dengan bukti-bukti empiris. Dalam fase hidupnya,
manusia kadang kala harus mengikuti kebenaran performatif. Pemegang otoritas yang
menjadi rujukan bisa pemerintah, pemimpin agama, pemimpin adat, pemimpin masyarakat,
dan sebagainya. Kebenaran performatif dapat membawa kepada kehidupan sosial yang rukun,
kehidupan beragama yang tertib, adat yang stabil dan sebagainya. Masyarakat yang
mengikuti kebenaran performatif tidak terbiasa berpikir kritis dan rasional. Mereka kurang
inisiatif dan inovatif, karena terbiasa mengikuti kebenaran dari pemegang otoritas. Pada
beberapa daerah yang masyarakatnya masih sangat patuh pada adat, kebenaran ini seakan-
akan kebenaran mutlak. Mereka tidak berani melanggar keputusan pemimpin adat dan tidak
terbiasa menggunakan rasio untuk mencari kebenaran.

Sumber : http://www.kompasiana.com/boedis2/teori-teori-kebenaran-korespondensi-koherensi-
pragmatik-struktural-paradigmatik-dan-performatik_550f14b2a33311bb2dba84c7

B. Teori Kebenaran Menurut Filsafat

Ada lima teori kebenaran menurut ilmu filsafat, yaitu:

1. Teori Korespondensi ( The Corespondence Theory of Truth )

Teori kebenaran yang pertama adalah teori korespondensi. Teori ini kadang disebut The
Accordance Theory of Truth. Teori ini menjelaskan bahwa suatu kebenaran atau sesuatu
keadaan benar bila ada kesesuaian antara arti yang dimaksud suatu pernyataan atau pendapat
dengan objek yang dituju atau dimaksud oleh pernyataan atau pendapat tersebut. Sebagai
contoh, Universitas Islam Negri Sunan Kalijaga berada di kota Yogyakarta sekarang ini. Ini
adalah sebuah pernyataan, dan apabila Universitas Islam Negri Sunan Kalijaga berada di
Yogyakarta, berarti pernyataan tersebut benar, sehingga pernyataan tersebut merupakan suatu
kebenaran.

Jadi berdasarkan teori korespondensi ini, kebenaran atau keadaan dapat dinilai dengan
membandingkan antara preposisi dengan fakta atau kenyataan yang berhubungan. Apabila
keduanya terdapat kesesuaian (correspondence), maka preposisi tersebut dapat dikatakan
memenuhi standar kebenaran. Teori ini sering dianut oleh realisme atau empirisme. K. Roger
adalah seorang penganut realisme kritis Amerika, dengan pendapatnya “keadaan benar ini
terletak dalam kesesuaian antara esensi atau arti yang kita berikan dengan esensi yang
terdapat dalam objeknya”.

Rumusan teori ini bermula dari Aristoteles (384-322) dan disebut sebagai penggambaran
yang definisinya berbunyi “veritasest adaequation intelctuset” yang artinya kebenaran adalah
penyesuaian antara pikiran dan kenyataan yang kemudian teori ini dikembangkan oleh
Bertrand Russel (1872-1970) pada zaman modern.1
2. Teori Koherensi (The Coherence Theory of Truth)

Merupakan teori kedua dari teori kebenaran. Teori ini sering disebut The Consistense Theory
of Truth. Teori ini merupakan suatu usaha pengujian (test) atas arti kebenaran. Suatu
keputusan adalah benar apabila putusan itu konsisten dengan putusan-putusan yang lebih
dulu kita terima, dan kita ketahui kebenarannya. Putusan yang benar adalah suatu putusan
yang saling berhubungan secara logis dengan putusan-putusan lainnya yang relevan.

Teori ini dipandang sebagai teori ilmiah yaitu yang sering dilakukan dalam sebuah
penelitian dalam pengukuran suatu pendidikan. Teori koherensi ini tidak [1]bertentangan
dengan teori korespondensi. Kedua teori ini lebih bersifat melengkapi. Teori koherensi adalah
pendalaman dan kelanjutan yang teliti dari teori korespondensi. Teori koherensi menganggap
suatu pernyataan benar bila didalamnya tidak ada pertentangan, bersifat koheren dan
konsisten dengan pernyataan sebelumnya yang telah dianggap benar. Dengan demikian suatu
pernyataan dianggap benar, jika pernyataan itu dilaksanakan atas pertimbangan yang
konsisten dan pertimbangan lain yang telah diterima kebenarannya.

Contoh dari teori ini misalnya apabila seseorang berbohong dalam beberapa hal, maka
untuk menyelidikinya dengan menunjukkan bahwa apa yang dikatakan tidak cocok dengan
hal-hal lain yang telah dikatakannya atau dikerjakannya.[2]

Paham koherensi tentang kebenaran biasanya dianut oleh para pendukung idealisme,
seperti filsuf Britania F.H. Bradley (1846-1924). Teori ini sudah ada sejak pra Socrates,
kemudian dikembangkan oleh Benedictus Spinoza dan Goerge Hegel. Penganut idealisme
juga melakukan pendekatan masalah tersebut melalui epistemologinya Karena praktek
sesungguhnya yang kita kerjakan tidak hanya menunjukkan bahwa ukuran kebenaran ialah
keadaan saling- berhubungan, melainkan juga jawaban terhadap pertanyaan “Apakah halnya
yang kita ketahui?” Hal ini memaksa kita untuk menerima paham tentang kebenaran diatas.

3. Teori Pragmatik ( The Pragmatic Theory of Truth )

Teori yang ketiga adalah teori pragmatik. Menurut William James dalam suatu kuliahnya
mengatakan bahwa pragmatik berasal dari bahasa Yunani “pragma” yang berarti tindakan
atau action. Dari istilah practice dan practical dikembangkan dalam bahasa Inggris. Teori ini
kadang-kadang disebut teori inherensi ( Inherent Theory of Truth ). Pandangannya adalah
suatu proposisi bernilai benar apabila mempunyai konsekuensi yang dapat dipergunakan atau
bermanfaat.

Kattsof (1986) menguraikan tentang teori kebenaran pragmatis ini bahwa penganut
pragmatisme meletakkan ukuran kebenaran dalam salah satu jenis konsekuensi. Atau
proposisi itu dapat membantu untuk mengadakan penyesuaian yang memuaskan terhadap
pengalaman, pernyataan, itu adalah benar. [3]

Pragmatisme menguji kebenaran dalam praktek yang dikenal para pendidik sebagai
metode proyek atau metode problem solving dalam pengajaran. Mereka akan benar-benar
hanya jika mereka berguna mampu memecahkan masalah yang ada. Artinya sesuatu itu
benar, jika mengembalikan pribadi manusia dalam keseimbangan dalam keadaan tanpa
persoalan dan kesulitan. Sebab tujuan utama pragmatisme adalah agar manusia selalu ada
didalam keseimbangan, untuk ini manusia harus mampu melakukan penyesuaian dengan
tuntutan-tuntutan lingkungan.

Kaum pragmatis menggunakan kriteria kebenaran dengan kegunaan (utility) dapat


dikerjakan (workbility) dan akibat yang memuaskan (satisfaktor consequence). Oleh karena
itu tidak adda kebenaran yang mutlak atau tetap, kebenarannya tergantung pada manfaat dan
akibat. Akibat atau hasil yang memuaskan bagi kaum pragmatis adalah:

1. Sesuai dengan keinginan dan tujuan.


2. Sesuai dengan keterujian suatu eksperimen.
3. Ikut membantu dan mendorong perjuangan untuk tetap eksis (ada).

Teori ini diperkenalkan oleh Charles S. Pierce (1914-1939) dalam artikelnya yang
berjuudul How to Make Our Ideas untuk pertama kalinya dan diikuti oleh William James dan
John Dewey (1852-1859). James misalnya menekankan bahwa suatu ide itu benar terletak
pada konsekuensi, pada hasil tindakan yang dilakukan. Bagi Dewey konsekuensi tidaklah
terletak didalam ide itu sendiri, melainkan dalam hubungan ide dengan konsekuensinya
setelah dilakukan. Teori Dewey bukanlah mengerti objek secara langsung (teori
korespondensi) atau cara tidak langsung melalui kesan-kesan dari realita (teori konsistensi),
melainkan mengetahui segalanya melalui praktek dalam problem solving.

Ostwald seorang kimiawan dari Leipzig pernah pula memberi kuliah filsafat dan
menggunakan prinsip pragmatisme. Menurut Ostwald bahwa semua realita memberi
pengaruh pada sikap dan pengaruh itulah yang disebut dengan pengertian. Ketertarikan
James dengan ajaran pragmatisme yang dikemukakan Ostwald, ia mengemukakan pula
bahwa pragmatisme telah mengemukakan suatu sikap yang lengkap bagi filsafat. Apa yang
dikatakan suatu kebenaran bagi James, bahwa kebenaran adalh sebagian daropada apa yang
disebut baik.

Pada akhirnya, James menyimpulkan: “how could pragmatism possibly deny God’s
existence?”[4]……… bagaimana mungkin pragmatisme dapat menyangkal adanya Tuhan
sebagai pencipta alam semesta.

4. Teori Performatif (The Performatif Theory of Truth)

Teori ini menyatakan bahwa kebenaran diputuskan atau dikemukakan oleh pemegang
oleh pemegang otoritas tertentu. Contoh pertama mengenai penetapan 1 Syawal. Sebagian
muslim di Indonesia mengikuti fatwa atau keputusan MUI atau pemerintah, sedangkan
sebagian yang lain mengikuti fatwa ulama tertentu atau organisasi tertentu. Contoh kedua
adalah pada masa rezim orde lama berkuasa, PKI mendapat tempat dan nama yang baik di
masyarakat. Ketika rezim orde baru, PKI adalah partai terlarang dan semua hal yang
berhubungan atau memiliki atribut PKI tidak berhak hidup di Indonesia. Contoh lainnya pada
masa pertumbuhan ilmu, Copernicus (1473-1543) mengajukan teori heliosentris dan bukan
sebaliknya seperti yang difatwakan gereja. Masyarakat menganggap hal yang benar adalah
apa-apa yang diputuskan oleh gereja walaupun bertentangan dengan bukti-bukti empiris.

Dalam fase hidupnya, manusia kadang kala harus mengikuti kebenaran performatif.
Pemegang otoritas yang menjadi rujukan bisa pemerintah, pemimpin agama, pemimpin adat,
pemimpin masyarakat, dan sebagainya. Kebenaran performatif dapat membawa kepada
kehidupan sosial yang rukun, kehidupan beragama yang tertib, adat yang stabil, dan
sebagainya.

Masyarakat yang mengikuti kebenaran performatif tidak terbiasa berpikir kritis dan
rasional. Mereka kurang inisiatif dan inovatif, karena terbiasa mengikuti kebenaran
pemegang otoritas. Pada beberapa daerah yang masyarakatnya masih sangat patuh pada adat,
kebiasaan ini seakan-akan kebenaran mutlak. Mereka tidak berani melanggar keputusan
pemimpin adat dan tidak terbiasa menggunakan rasio untuk mencari kebenaran.[5]

1. 5. Teori Struktural (The Structural Theory of Truth)

Teori ini menyatakan bawa suatu teori dinyatakan benar jika teori itu berdasarkan pada
paradigma atau pwerspektif tertentu dan ada komunitas imuwan yang mengakui atau
mendukung paradigm tersebut Banyak sejarawan dan filosof sains masa kini menekankan
bahwa serangkaian fenomena atau realitas yang dipilih untuk dipelajari oleh kelompok ilmiah
tertentu ditentukan oleh pandangan tertentu tentang realitas yang telah diterima secara apriori
oleh kelompok tersebut. Paradigma adalah apa yang dimiliki bersama oleh anggota-anggota
suatu masyarakat sains atau dengan kata lain masyarakat sains adalah orang-orang yang
memiliki suatu paradigma bersama.

Paradigma juga menunjukkan keanekaragaman individual dalam penerapan nilai-nilai


bersama yang bias melayani fungsi-fungsi esensial ilmu pengetahuan. Fungsi dari paradigma
adalah sebagai keputusan yuridiktif yang diterima dalam hukum yang tidak tertulis.
Pengujian suatu paradigma terjadi setelah adanya kegagalan secara berlarut-larut dalam
memecahkan masalah yang menimbulkan krisis. Pengujian ini adalah bagian dari kompetisi
diantara dua paradigma yang bersaingan dalam merebutkan kesetiaan masyarakat sains. Teori
baru yang menang, akan mengalami verifikasi.

Adanya perdebatan antar paradigma bukan mengenai kemampuan relative suatu


paradigma dalam memecahkan masalah secara tuntas. Adanya jaringan yang kuat dari para
ilmuwan sebagai peneliti konseptual teori instrument dan metodologi merupakan sumber
utama yang menghubungkan dengan pemecahan berbagai masalah.[6]

Sumber : https://riezkyckky.wordpress.com/2012/05/21/teori-teori-kebenaran-filsafat-ilmu/

Anda mungkin juga menyukai