Anda di halaman 1dari 10

2.

1 Perbedaan DM Tipe 1 dan DM Tipe 2

Definisi Etiologi Manifestasi Klinis

Dibetes Kelompok penyakit Destruksi sel beta, umumnya Polidipsi, poliuria dan
Mellitus metabolic dengan berhubungan dengan polifagia.
Tipe 1 karakteristik defisiensi insulin absolut. DM
hiperglikemia yang tipe 1 disebut juga sebagai
terjadi karena diabetes tipe juvenilis-onset
kelainan sekresi atau tipe dependen insulin.
insulin DM tipe 1 dapat terjadi akibat
autoimun atau idiopatik.

Diabetes Hasil kombinasi dari Akibat terjadinya DM tipe 2 Gejala akut :


Mellitus resistensi insulin bervariasi, mulai yang Polidipsi, poliuria dan
Tipe 2 yang terjadi secara dominan resistensi insulin, polifagia, Penurunan
kronis dapat disertai diefisiensi insulin berat badan.
berpengaruh relatif sampai yang dominan
Gejala kronik :
terhadap terjadinya gangguan sekresi insulin
Kesemutan, kulit
defisiensi insulin bersama resistensi insulin.
terasa panas atau
DM tipe 2 dapat dikenal
seperti tertusuk tusuk
sebagai tipe onset maturitas
jarum, rasa kebas di
dan tipe nondependen insulin.
kulit, kram,
kelelahan, mudah
mengantuk,
pandangan mulai
kabur,

Adapun manifestasi klinis akut diabetes melitus tipe 2 dikenal dengan istilah trias
diabetes, yang terdiri dari polidipsia, poliuria, dan polifagia. Polidipsia terjadi karena
peningkatan kadar glukosa darah menyebabkan air secara osmosis ditarik dari sel,
sehingga terjadi dehidrasi intraseluler dan menstimulasi pusat haus di hipotalamus.
Poliuria merupakan keadaan dimana, pasien akan sering buang air kecil. Ini terjadi
karena hiperglikemia akan menyebabkan diuresis osmotic, sehingga sejumlah glukosa
difiltrasi oleh glomerulus melebihi kemampuan reabsorpsi tubulus ginjal yang
selanjutnya akan akan timbul glikosuri disertai hilangnya sejumlah besar air di urine.
Polifagia merupakan keadaan yang membuat pasien akan cenderung untuk makan lebih
banyak. Hal ini terjadi karena berkurangnya simpanan karbohidrat, lemak, dan protein
menyebablan sel menjadi lapar dan menyebabkan keluhan rasa lapar (Huether SE,
McCance KL, editors, 2019).

2.2 Faktor Risiko DM Tipe 2


a. Obesitas, tanda utama yang menunjukkan seseorang dalam keadaan pradiabetes.
Obesitas merusak pengaturan energi metabolisme dengan dua cara, yaitu
menimbulkan resistensi leptin dan meningkatkan resistensi insulin. Leptin adalah
hormon yang berhubungan dengan gen obesitas. Leptin berperan dalam hipotalamus
untuk mengatur tingkat lemak tubuh dan membakar lemak menjadi energi. Orang
yang mengalami kelebihan berat badan, kadar leptin dalam tubuh akan meningkat.
(PERKENI. 2019).
b. Faktor genetic, keturunan atau genetik merupakan penyebab utama diabetes. Jika
kedua orang tua memiliki DM, ada kemungkinan bahwa hampir semua anak-anak
mereka akan menderita diabetes. Pada kembar identik, jika salah satu kembar
mengembangkan DM, maka hampir 100% untuk kembar yang lain berpotensi untuk
terkena DM tipe 2. (PERKENI. 2019).
c. Usia, salah satu faktor yang paling umum yang mempengaruhi individu untuk
mengalami diabetes. Faktor resiko meningkat secara signifikan setelah usia 45 tahun.
Hal ini terjadi karena pada usia ini individu kurang aktif, berat badan akan bertambah
dan massa otot akan berkurang sehingga menyebabkan disfungsi pankreas. Disfungsi
pankreas dapat menyebabkan peningkatan kadar gula dalam darah karena tidak
diproduksinya insulin. (PERKENI. 2019).
d. Makanan, tubuh secara umum membutuhkan diet seimbang untuk menghasilkan
energi untuk melakukan fungsi-fungsi vital. Terlalu banyak makanan, akan
menghambat pankreas untuk menjalankan fungsi sekresi insulin. Jika sekresi insulin
terhambat maka kadar gula dalam darah akan meningkat (Waspadji, 2014). Individu
yang obesitas harus melakukan diet untuk mengurangi pemasukan kalori sampai berat
badannya turun mencapai batas yang ideal. Penurunan kalori yang moderat (500-1000
Kkal/hari) akan menghasilkan penurunan berat badan yang perlahan tapi progresif
(0,5-1 kg/minggu). Penurunan berat badan 2,5-7 kg akan memperbaiki kadar glukosa
darah. (PERKENI. 2019).
e. Stress, dapat meningkatkan kerja metabolisme dan meningkatkan kebutuhan akan
sumber energi yang berakibat pada kenaikan kerja pankreas. Beban yang tinggi
membuat pankreas mudah rusak hingga berdampak pada penurunan insulin.
2.3 Komplikasi DM Tipe 2

Komplikasi Akut

Hipoglikemia pada pasien diabetes sering disebut sebagai syok insulin atau reaksi
insulin. Risiko hipoglikemia pada pasien DM tipe 2 lebih kecil dibanding dengan pasien
DM tipe 1 karena mekanisme glucose counterregulatory yang masih lengkap (intact).
Hipoglikemia pada pasien DM tipe 2 terjadi pada pasien yang mendapat terapi insulin
sekretagog (sulfonilurea) atau insulin eksogen. Gejala yang muncul berupa wajah
kepucatan, tremor, gelisah, takikardia, palpitasi, berkeringat, nyeri kepala, pusing,
iritabilitas, kelelahan, sulit mengambil keputusan, bingung, gangguan penglihatan, terasa
lapar, kejang sampai koma. Terapi yang harus segera diberikan adalah pemberian
pengganti glukosa baik per oral atau intravena. Glukagon dapat digunakan di rumah
terutama untuk pasien kelompok risiko tinggi. Pencegahan dapat dilakukan dengan
pemberian terapi secara individual baik obat maupun diet disertai pemantauan glukosa
darah dan edukasi (Appleton, Vanbergen, O’Neill, Murphy, editor, 2019). (PERKENI,
2021).

Ketoasidosis diabetikum (KAD) adalah komplikasi serius yang disebabkan defisiensi


insulin dan peningkatan kadar hormon kontra insulin (katekolamin, kortisol, glukagon,
hormon pertumbuhan). KAD terjadi pada 30% anak dengan DM tipe 1 dan 5% pasien
DM tipe 2. KAD lebih sering terjadi pada pasien DM tipe 1 karena defisiensi insulin
berat. KAD ditandai dengan hiperglikemia, asidosis dan ketonuria. Pada keadaan normal,
insulin akan menstimulasi lipogenesis dan menghambat lipolisis sehingga katabolisme
lemak terhambat. Pada keadaan defisiensi insulin, akan terjadi lipolisis dan peningkatan
jumlah asam lemak nonester yang dibawa ke hepar. Akibatnya, terjadi glikoneogenesis
dan hiperglikemia serta terbentuknya benda keton (asetoasetat, hidroksibutirat, dan
aseton) oleh mitokondria di hepar dengan kecepatan melebihi yang dibutuhkan jaringan
perifer. Akumulasi benda keton menyebabkan penurunan kadar pH dan asidosis
metabolik. Gejala KAD meliputi pernapasan Kussmaul (hiperventilasi sebagai
mekanisme kompensasi asidosis), rasa pusing akibat perubahan posisi, depresi sistem
saraf pusat, ketonuri, anoreksi, mual, nyeri perut, rasa haus, dan poliuria. Terapi KAD
meliputi kombinasi pemberian cairan, insulin dan koreksi elektrolit (Appleton,
Vanbergen, O’Neill, Murphy, editor, 2019). (PERKENI, 2021).

Sindrom hiperosmolar hiperglikemia non-ketotik (hyperosmolar hyperglycemic state,


HHS) adalah suatu kondisi yang jarang terjadi dan merupakan komplikasi serius DM tipe 2
dengan mortalitas yang tinggi. Ini sering terjadi pada pasien usia lanjut dengan komorbiditas,
seperti infeksi, penyakit kardiovaskular atau kelainan ginjal. Sindrom ini berbeda dengan
KAD baik dari derajat defisiensi insulin (yang lebih berat pada KAD) dan derajat dehidrasi
(yang lebih berat pada HHS). Gambaran laboratorium HHS meliputi kadar glukosa darah dan
osmolaritas yang sangat tinggi, sedangkan kadar bikarbonat dan pH biasanya mendekati
normal. Kadar glukosa darah lebih tinggi pada HHS akibat kekurangan cairan. Mengingat
jumlah insulin yang dibutuhkan untuk menghambat pemecahan lemak lebih sedikit dari yang
dibutuhkan untuk transpor glukosa, maka lipolisis dan ketosis yang berlebihan masih dapat
dihambat. Manifestasi klinis HHS meliputi pasien tampak dehidrasi berat, kehilangan
elektrolit termasuk kalium, serta perubahan status neurologis, seperti stupor. Terapi yang
diberikan berupa rehidrasi cairan, insulin, dan koreksi elektrolit (Appleton, Vanbergen,
O’Neill, Murphy, editor, 2019). (PERKENI, 2021).

Komplikasi Kronik

Komplikasi mikrovaskuler atau gangguan pada pembuluh kapiler menjadi penyebab


kebutaan, gagal ginjal kronik, dan berbagai kelainan pada saraf atau neuropati. Oklusi kapiler
merupakan karakteristik komplikasi mikrovaskuler pada diabetes. Frekuensi dan derajat lesi
dipengaruhi oleh durasi penyakit yang pada umumnya lebih dari 10 tahun dan kendali
glukosa darah. Hipoksia dan iskemia akibat mikroangiopati biasanya dijumpai di mata, ginjal,
dan serabut saraf. Banyak pasien DM yang baru terdiagnosis sudah dengan komplikasi
mikroangiopati akibat hiperglikemia asimtomatik yang telah berlangsung lama. Oleh karena
itu, penting untuk melakukan uji penapis diabetes, terutama pada kelompok risiko tinggi
(Huether SE, McCance KL, editors, 2019).

Retinopati diabetikum. Retinopati diabetikum merupakan penyebab utama kebutaan utama


di seluruh dunia. Dibandingkan dengan pasien DM tipe 1, retinopati pada pasien DM tipe 2
terjadi lebih cepat akibat hiperglikemia yang telah berlangsung lama sebelum diagnosis DM
ditegakkan. Sebagian besar pasien diabetes pada akhirnya akan mengalami retinopati, di
samping katarak dan glaucoma. Retinopati diabetikum terjadi akibat hipoksemia relatif,
kerusakan pembuluh darah retina, agregasi eritrosit, dan hipertensi. Ada tiga tahap retinopati
hingga berujung pada kebutaan, yakni nonproliferatif (tahap 1) yang ditandai dengan
peningkatan permeabilitas kapiler retina, dilatasi vena, pembentukan mikroaneurisma, dan
perdarahan superfisial (flame-shaped) dan dalam (blot). Preproliferatif (tahap II) di mana
terjadi progresivitas iskemia retina pada area dengan perfusi yang kurang, sehingga terjadi
infark (Huether SE, McCance KL, editors, 2019).

2.4 Penatalaksanaan DM Tipe 2

Pemeriksaan Fisik

Pada pemeriksaan fisik penderita DM dilakukan pengukuran tinggi badan, berat


badan, dan lingkar pinggang, pengukuran tekanan darah mencakup pengukuran tekanan
darah dalam posisi berdiri untuk mencari kemungkinan adanya hipotensi ortostatik, serta
ankle branchial index (ABI), pemeriksaan ekstremitas atas dan bawah, pemeriksaan kulit
(acantosis nigrican dan bekas tempat penyuntikan insulin) dan pemeriksaan neurologis,
serta pemeriksaan tanda-tanda penyakit lain yang dapat menimbulkan DM tipe lain.
Pemeriksaan mata meliputi,pemeriksaan visus, lensa mata buram.

Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan penunjang/laboratorium yang perlu dilakukan penderita DM yaitu:

1. Melakukan pemeriksaan glukosa darah puasa dan 1 jam post pradial atau 1 jam post
pradial. sedangkan untuk kriteria diagnosis DM melakukan pemeriksaan glukosa
darah 2 jam post pradial.
2. Pemeriksaan kadar HbA1c, kadar HbA1c normal <5,7%
3. Profil lipid pada keadaan puasa (kolesterol total, HDL, LDL, dan trigliserida)
4. Kreatinin serum
5. Albuminuria
6. Ketok, sedimen, dan protein dalam urin
7. Elektrokardiogram
8. Foto sinar x thorax

(Adi,2015)
Famakologi

Terapi nutrisi medis (TNM) merupakan bagina penatalaksanaan diabetes secara total.
TNM pada dasarnya adalah melakukan pengaturan pola makan yang didasarkan pada
satus gizi. Terapi nutrisi medis dapat dipakai sebagai pencegahan timbulnya diabetes
bagi penderita yang mempunyai risiko diabetes, terapi pada penderita yang sudah
terdiagnosis diabetes (diabetisi) serta mencegah atau memperlambat laju berkembangnya
komplikasi diabetes.

Tujuan terapi gizi medis bagi diabetisi adalah :


1. Untuk mencapai dan mempertahankan
a. Kadar glukosa darah dalam batas normal atau mendekati normal tanpa efek samping
hipoglikemi.
 Glukosa darah sebelum makan pagi (preprandial) antara 70-130 mg/dl
 Glukosa darah 1 jam sesudah makan (peak postprandial) < 180 mg/dl
 Kadar A1C <7%
b. Profil lipid untuk mencegah risiko penyakit kardiovaskular
 Kolesterol LDL < 100 mg/dl (bagi diabetes dengan komplikai kardiovaskuler
kolesterol LDL < 70 mg/dl
 Kolesterol HDL >40 mg/dl
 Trigliserida <150 mg/dl
c. Tekanan darah dalam batas normal atau seaman mungkin mendekati normal
 <130.80 mmHg
2. Untuk mencegah atau memperlambat laju berkembangnya komplikasi kronis diabetes
dengan melakukan modifikasi asupan nutrisi serta perubahan gaya hidup
3. Nutrisi diberikan secara individual dengan memperhitungkan kebutuhan nutrisi dan
memperhatikan kebiasaan makan diabetisi.

Sepuluh Petunjuk Pola Hidup Sehat (GULOH-SISAR), dilaksanakan dengan


pedoman Batasi, Nikmati, Imbangi (BNI), artinya para diabetes bisa menikamti semua
jenis makanan namun jumlahnya harus dibatasi kecuali yang manis (gula dan dll)
sebaiknya dihindari.. tetapi bila mengkonsumsi makanan dengan jumlah berlebihan harus
diibangi dengan melakukan olahraga yang lebih dari biasa yang dilakukan (Ilmu Penyakit
Dalam,2018).

GULOH-SISAR merupakan singkatan dari :

1. G (Gula) : artinya bagi bagi para diabetisi sebaiknya pantang gula dan bagi non DM
membatasi asupan gula
2. U (Urat): untuk mencegah atau mengatasi hiper- urisemia maka batasi konsumsi JAS-
BUKET yaitu Jerohan, Alkohol, Sarden, Burung Dara, Unggas, Kaldu, Kacang-
kacangan, Emping, Tape
3. L (Lemak) batasi TEK-KUK-CS2: Telor, Keju-Kepiting, udang, kerang, cumi-cumi,
susu dan santan.
4. O (Obesitas) lakukanlah penurunan berat badan bila terjadi obesitas dengan target
lingkar pinggang untuk laki-laki <90 cm, untuk wanita <80 cm
5. H (Hipertensi) untuk pasien hipertensi batasi ekstra garam, ikan asin, kacang asin dan
lain-lain
6. S (Sigaret), stop merokok
7. I (Inaktivitas) lakukanlah olah raga setiap hari yang bisa mengeluarkan kalori kurang
lebih 300 kcal/hari atau jalan 3 km atau sit-up 50 - 200x / hari
8. S (Stres) usahakan tidur nyenyak 6-7 jam sehari, bila tidur malam kurang maka bisa
digantikan pada siang harinya
9. A (Alkohol) stop alkohol
10. R (Regular Check Up) lakukanlah kontrol secara teratur bagi umur >40 tahun setiap
3,6,12 bulan, konsultasi kepada ahlinya dan terapi.

Latihan Fisik

Namun pada pasien DM tipe l respons hormonal ini hilang, sebagai dampaknya bila
kadar insulin dalam sirkulasi rendah akibat terapi yang tidak adekuat, pelepasan hormon
kontrainsulin yang berlebihan selama latihan fisik akan meningkatkan kadar glukosa
darah yang memang sudah tinggi disertai dengan terbentuknya benda keton dan ini akan
mencetuskan terjadinya ketoasidosis diabetik. Sebaliknya kadar insulin dalam darah yang
tinggi akibat pemberian insulin eksogen akan menurunkan bahkan mencegah
meningkatnya mobilisasi glukosaatau subtrat lain selama latihanfisik sehingga terjadi
hipoglikemia.

Latihan fisik merupakan salah satu pilar dalam pengelolaan DM tipe 2 selain bisa
memperbaiki sensitivitas insulin, juga untuk menjaga kebugaran tubuh.Beberapa
penelitian membuktikan dengan latihan fisik bisa memasukkan glukosa kedalam sel tanpa
membutuhkan insulin, selain itu latihan fisik bisa untuk menurunkan berat badan bagi
diabetisi dengan obesitas serta mencegah laju progresivitas gangguan toleransi glukosa
menjadi DM tipe2.

Askandar Tjokroprawiro (1978) menyarankan semua diabetisi untuk melakukan


latihanfisik ringan teratur setiap hari pada saat 1 atau 1.5 jam sesudah makan, termasuk
diabetisi yang dirawat dirumah sakit (bed exercise). Misalnya makan pagi jam 07.00,
makan siang jam 13.00 dan makan malam jam 19.00, maka latihan fisik ringan dilakukan
berturut-turut jam 08.00,jam 14.00 dan jam 20.00. Latihan fisik ini disebut latihan fisik
primer.

Sedangkan latihan fisik sekunderdengan melakukan latihan fisik dengan intensitas


agak berat terutama ditujukan pada diabetisi dengan obesitas dan sehat bisa dilaksanakan
pagi hari atau sore hari.

Di dalam konsensus pengelolaan dan pencegahan diabetes melitus tipe 2 di Indonesia


PERKENI, 2011 menyarankan bahwa setiap diabetisi melakukan kegiatan fisik sehari-
hari dan latihan fisik secara teratur 3-4 kali seminggu selama 30 menit. Kegiatan sehari-
hari seperti berjalan kaki kepasar, menggunakan tangga berkebun harus tetap dilakukan.
Latihan fisik yang dianjurkan adalah berupa latihan fisik yang bersifat aerobik seperti
jalan kaki, bersepeda santai, jogging dan berenang. Untuk mereka yang relatif sehat
intensitas latihan fisik bisa ditingkatkan, sementara yang sudah mendapatkan komplikasi
DM dapat dikurangi. Hindarkan kebiasaan hidup kurang gerak atau bermalas-malasan.
Hindari aktivitas sedenter misalnya menonton televisi, menggunakan internet, main game
komputer. Persering aktivitas dengan mengikuti olah raga rekreasi dan beraktivitas fisik
tinggi pada waktu liburan, misalnya jalan cepat, golf, olah otot, bersepeda.

Latihan fisik pada kendali glukosa darah yang tidak optimal

Hiperglikemi

Pada DM tipel yang tidak mendapatkan insulin dalam waktu 12-48 jam dan adanya
ketosis, latihan fisik justru akan memperburuk hiperglikemi dan ketosis. ADA (American
Diabetes Association) exercise position satement, latihan fisik harus dihindari bila kadar
glukosa darah puasa > 250mg / d * l dan disertai dengan adanya ketosis, bila kadar
glukosa darah > 300mg / d * l walaupun tidak didapatkan ketosis maka latihan fisik harus
dilakukan dengan hati-hati bahkan ada yang menyarankan tetap tidak melakukan latihan
fisik.Pada pasien DM tipe2 bila tidak ada defisiensi insulin yang sangat berat, latihan fisik
dengan intensitas ringan atau sedang akan menurunkan glukosa darah, bila diabetisi
dalam kondisi baik, asupan cairan cukup, keton urin maupun darah negatif.

Hipoglikemi

Pada diabetisi yang mendapatkan terapi insulin n insulin sekretagogus, latihan fisik
akan menyebabkan hipoglikemia bila asupan karbohidrat maupun dosis obat tidak
dirubah. Hipoglikemi akan terjadi bila kadar insulin eksogen mencapai kadar puncak dan
latihan fisik diperpanjang. Hipoglikemi jarang terjadi pada diabetisi yang tidak
mendapatkan terapi insulin dan insulin sekretagogus. maupun

Menurut ADA guideline diberikan tambahan karbohidrat bila kadar glukosa darah
sebelum latihan fisik<100 mg/ dl, namun tambahan karbohidrat tidak diperlukan bagi
diabetisi yang hanya mendapat terapi diet saja,metformin, alfa glukosidase inhibitor dan
atau thiazolidinedion tanpa insulin atau insulin sekretagogus.

Anda mungkin juga menyukai