Anda di halaman 1dari 126

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.

id
56

BAB IV
HASIL PENELITIAN
A. Deskripsi Lokasi Penelitian

1. Lokasi dan Keadaan Masyarakat Kampung Laweyan


a. Lokasi Kampung Batik Laweyan
Kampung Batik Laweyan merupakan salah satu kampung yang berada di
wilayah Kota Surakarta. Wilayah kampung batik Laweyan secara administratif,
termasuk ke dalam wilayah Kelurahan Laweyan, Kecamatan Laweyan, Kota
Surakarta, Provinsi Jawa Tengah. Wilayah kampung Laweyan berada di sebelah
barat daya dari pusat pemerintahan Kota Surakarta berjarak kurang lebih sekitar
15 km, adapun batas-batas wilayah Kampung Laweyan adalah sebagai berikut.
Sisi sebelah utara Kampung Laweyan berbatasan dengan dengan wilayah
Kelurahan Sondakan, Kecamatan Laweyan yang dibatasi oleh jalan Dr. Radjiman
sekarang, dahulu jalan ini merupakan jalan yang digunakan sebagai jalur
transportasi darat utama bagi masyarakat dan bernama jalan Laweyan.
Sisi sebelah selatan wilayah Kampung Laweyan, berbatasan dengan
kelurahan Banaran, Kabupaten Sukoharjo. Di wilayah ini terdapat sebuah sungai
yaitu sungai Jenes yang juga sekaligus menjadi pembatas antara wilayah Kota
Surakarta dengan Kabupaten Sukoharjo. Dahulu masyarakat menyebut sungai ini
sebagai Sungai Kabanaran. Pada masa lalu, sungai tersebut merupakan jalur
utama transportasi dan perdagangan yang terhubung langsung ke Sungai
Bengawan Solo.
Bagian barat wilayah Kampung Laweyan berbatasan dengan Kelurahan
Pajang, Kabupaten Sukoharjo. Di Kelurahan Pajang inilah terdapat situs Kerajaan
Pajang.
Sisi sebelah timur Kampung Laweyan berbatasan dengan Kalurahan Bumi,
yang masih termasuk kedalam wilayah administratif kecamatan Laweyan, Kota
Surakarta.
Luas wilayah Kampung Laweyan adalah 24800 m², yang terbagi ke dalam
delapan wilayah kampung, yaitu kampung Kwanggan, kampung Sayangan Kulon,
commit to user

56
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
57

kampung Sayangan Wetan, kampung Setono, kampung Lor Pasar, kampung Kidul
Pasar, kampung Kramat dan kampung Klaseman.
Keadaan iklim di Laweyan sama seperti umumnya keadaan iklim daerah-
daerah lain di Jawa Tengah, yaitu beriklim Muson. Daerah yang mempunyai iklim
tersebut dalam setahun terdapat musim hujan pada bulan Oktober sampai April
dan musim kemarau pada bulan Mei sampai bulan September. Curah hujan rata-
rata 24, 25 mm per bulan dan suhu udara rata -rata 27, 29? C.

b. Demografi Masyarakat Laweyan


Kelurahan Laweyan secara fisik dapat dilihat dari jumlah kependudukan dan
mata pencaharian. Menurut data yang diambil dari kelurahan Laweyan per April
2013, Kelurahan Laweyan memiliki jumlah penduduk sejumlah 2.258 jiwa
dengan perincian jumlah penduduk laki- laki berjumlah 1.116 jiwa dan jumlah
penduduk perempuan berjumlah 1.142 jiwa
Wilayah Kelurahan Laweyan, secara administratif terbagi kedalam 3 Rukun
Warga (RW) dan 10 Rukun Tetangga (RT) yang terbagi kedalam 714 kepala
keluarga (KK). Secara umum, tingkat pendidikan pada masyarakat Laweyan rata-
rata terakhir adalah SLTA atau sederajat. Jika dilihat dari segi mata pencaharian
masyarakat secara umum , pekerjaan masyarakat di kampung Laweyan rata -rata
bekerja sebagai karyawan dan pada sektor wiraswasta , terutama dalam industri
batik.
Masyarakat Kelurahan Laweyan, mayoritas memeluk Agama Islam, untuk
lebih jelasnya dibawah disajikan sebuah tabel mengenai demografi masyarakat
Kelurahan Laweyan, Kecamatan Laweyan Surakarta data di ambil per April 2013.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
58

Tabel 4.1. Data Kependudukan Kelurahan Laweyan Per April 2013

BANK DATA-BULAN APRIL 2013


KELURAHAN LAWEYAN
KECAMATAN LAWEYAN KOTA SURAKARTA

UMUR PENDIDIKAN PEKERJAAN AGAMA


Kelompok Lk Pr (umur 5 tahun keatas) (Umur 17 tahun keatas)
Islam 2.078
0–4 36 32 Tidak /blm Sekolah 239 Belum/tdk bekerja 181 Kristen 88
4–9 85 64 Belum tamat SD 60 Buruh 83 Katholik 92
10 – 14 70 96 Tidak Tamat SD 209 Guru/Dosen 23 Hindu -
15 – 19 87 91 TamatSD 201 Karyawan 480 Budha -
20 – 24 83 75 SLTP/Sederajat 280 Mengurus Rmh Tangga 246 Konghucu -
25 – 29 85 85 SLTA/Sederajat 792 Pelajar/Mahasiswa 208 Lainnya -
30 – 39 208 193 Diploma III/SM 133 PNS 33
40 – 49 168 187 Diploma IV/ S1 243 TNI 3
50 – 59 143 143 Starta 2 33 POLRI 1
60 plus 151 176 Starta 3 1 Pensiunan/Purnawirawan 44
Wiraswasta 284
Jumlah Lain-lain 173
Laki- laki 1.116
Perempuan 1.142
Jumlah Total 2.258
Kepala Keluarga 714
Rukun Tetangga 10
Rukun Warga 3

Sumber : Data Kelurahan Laweyan Per April 2013

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
59

2. Sejarah Laweyan
a. Asal Muasal Nama Laweyan
Laweyan masa lalu terkenal sebagai daerah yang menjadi pusat
perdagangan lawe yaitu salah satu bahan baku pembuatan tenun. Keberadaan
wilayah Laweyan telah ada sejak sebelum berdirinya Kerajaan Mataram Islam.
Kampung Laweyan merupakan wilayah yang cukup strategis pada masa keraton
Pajang, letak Laweyan yang terletak di antara dua sungai, yaitu sungai Premulung
dan sungai Jenes atau sungai Kabanaran sekarang, dimana di sisi sungai
Kabanaran tersebut terdapat sebuah bandar, yaitu bandar Kabanaran dan pasar
Laweyan.
Letak Laweyan yang strategis ini memungkinkan wilayah Laweyan menjadi
pusat peradagangan dan penjualan lawe yang cukup ramai pada masa itu. Bandar
Sungai Kabanaran yang terletak di tepi sungai Kabanaran memungkinkan para
pengusaha atau saudagar di Laweyan lebih cepat memasarkan produknya ke
bandar besar Nusupan yang berada di tepi Bengawan Solo. Sungai dan Bandar
Kabanaran sebagai cabang dan penghubung jalur menuju sungai Bengawan Solo
berpengaruh terhadap pertumbuhan dan perkembangan ekonomi, sosial, dan
budaya masyarakat Laweyan. (Wawancara Ibu Naniek Widayati, 21 Mei 2013).
Lebih lanjut lihat Catatan Lapangan 1, pada lampiran halaman 200 (Selanjutnya,
dalam kalimat disingkat menjadi CL 1).
Sungai Bengawan Solo merupakan sunga i terbesar yang membelah wilayah
Jawa Tengah dan mengalir sampai ke Jawa Timur, sungai Bengawan Solo sejak
dahulu telah digunakan masyarakat sebagai jalur transportasi utama sebelum
adanya transportasi darat. Dalam hal ini dapat dikaitkan dengan simpulan
Soeratman (1989) yang menyatakan bahwa, “bengawan adalah sebuah sungai
yang terbesar di Jawa sejak zaman kuno yang mempunyai arti penting sebagi jalur
penghubung antara Jawa Tengah dan Jawa Timur untuk kepentingan ekonomi,
militer, politik, sosial” (hlm. 19).
Pentingnya sungai Bengawan Solo merupakan bukti bahwa sungai
merupakan ja lur transportasi utama kala itu sebelum dibangunnya jalan darat.
Sungai pada masa lalu selain digunakan sebagai jalur transportasi masyarakat,
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
60

juga digunakan pula dalam mendistribusikan batik dan kegiatan perdagangan


lainnya.
Wilayah Laweyan, dilihat dari sisi sejarah merupakan wilayah yang
termasuk kedalam status tanah perdikan . Tanah Perdikan adalah sistem
pengaturan tanah yang di adopsi dari ajaran hukum India oleh kerajaan-kerajaan
di nusantara. Hal tersebut sesuai dengan simpulan Schrieke (1975) menyatakan
bahwa pranata daerah bebas yang disebut “perdikan” merupakan suatu
kelanjutan dari ajaran hukum India. Para raja Hindu dapat memberikan kebebasan
dari beban-beban kerajaan (dharma sima swatantra atau membebaskan), kepada
sesuatu desa atau daerah karena sesuatu alasan (Widayati, 2002 : 47).
Wilayah Laweyan dijadikan sebagai tanah perdikan, yaitu tanah yang
dibebaskan dari segala macam beban kerajaan. Status tanah perdikan mulai
diberlakukan sejak era Kerajaan Pajang sampai era Keraton Kasunanan Surakarta.
Status wilayah yang dimerdekakan dan sentra produksi dan perdagangan lawe
menjadikan Laweyan berkembang pesat dari segi ekonomi, sosial maupun budaya
masyarakat Laweyan.
Sejarah mencatat bahwa dengan status sebagai sentra perdagangan lawe,
sampai sentra industri batik itulah Laweyan menjadi terkena. Bahkan asal mula
nama Laweyan sendiri diduga berawal dari sesuatu yang berkaitan dengan usaha
masyarakatnya yaitu berdagang lawe (bahan baku pembuatan benang atau tenun),
hal ini sejalan dengan pendapat Mlayadipura (l981) yang menyatakan bahwa,
“…Asal nama Kampung Laweyan dikatakan berasal dari kata “lawe” atau kapas
yang dipintal kemudian diantih (ditenun) menjadi mori gedog (mori yang rupanya
masih seperti lawe atau belum diberi pemutih) dan kain baju lurik….” (hlm. 10).
Metamorfosis Laweyan sebagai pusat perdagangan lawe menjadi Industri
batik cap sendiri terjadi sekitar abad ke XX bersamaan dengan perkembangan
industri batik di Surakarta.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
61

b. Kyai Ageng Henis dan Kampung Laweyan


Sejarah kawasan Laweyan barulah berarti setelah Kyai Ageng Henis
bermukim di desa Laweyan pada sekitar tahun 1546 M, tepatnya di sebelah utara
pasar Laweyan. Kyai Ageng Henis adalah putra dari Kyai Ageng Selo, yang
menurut silsilah merupakan keturunan raja dari kerajaan Majapahit yaitu Raja
Brawijaya V (Mlayadipura, 1981).
Laweyan sebagai suatu wilayah sudah berada sejak sebelum keraton
Kasunanan Surakarata Hadiningrat berada, yakni pada masa kerajaan Pajang, pada
saat itu Kerajaan Pajang dipimpin oleh Sultan Hadiwijaya atau lebih dikenal
dengan sebutan Jaka Tingkir pada sekitar tahun 1568. Wilayah Laweyan sejak
dahulu sudah terkenal dengan pusat dari perdagangan terutama pusat perdagangan
lawe sebagai ba han utama pembuatan kain, letak Laweyan yang sangat strategis
pada waktu itu.
Keberadaan sungai Jenes sebagai pusat perdagangan serta adanya bandar
Kabanaran yang menghubungkan dengan bandar besar yaitu bandar besar
Nusupan di sisi Bengawan Solo. Perkembangan Laweyan sebagai suatu kawasan
yang terkenal tidak bisa terlepas dari peranan tokoh yang melegenda yaitu Kyai
Ageng Henis (Wawancara, Bapak Drs.Susanto M.Hum, 6 Juni 2013). Lebih lanjut
lihat Catatan Lapangan 2, pada lampiran halaman 208 (Selanjutnya, dalam
kalimat disingkat menjadi CL 2).
Kyai Ageng Henis adalah tokoh yang berjasa menyiarkan agama Islam di
wilayah Laweyan yang dahulu beragama Hindu. Wilayah kampung Laweyan atau
pedukuhan Laweyan awalnya menganut Agama Hindu, yang dipimpin oleh
seorang yang bernama Kyai Ageng Beluk, kemudian Kyai Ageng Henis diutus
untuk mengislamkan wilayah Laweyan dan mendirikan langgar (Mushola) yang
berada di sebelah selatan sungai Jenes. Langgar tersebut sekarang dikenal dengan
nama Masijd Laweyan.
Kyai Ageng Henis adalah tokoh pemuka agama yang sangat terkenal dan
disegani, karena jasanya itu raja kerajaan Demak yang saat itu dipimpin oleh
Raden Patah memberikan tanah di kampung Laweyan dan dijadikan sebagai
wilayah atau tanah perdikan yang dibebaskan dari segala macam pajak kerajaan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
62

Demak dan keraton Pajang. Kampung Laweyan dahulu merupakan daerah


perdikan dari kerajaan Pajang, kerajaan Pajang saat itu di pimpin oleh Sultan
Hadiwijaya atau terkenal dengan nama Jaka Tingkir.
Kampung Laweyan awalnya merupakan sebuah wilayah yang memeluk
Agama Hindu, setelah terjadinya Islamisasi, masyarakat Laweyan kemudian
memeluk islam, termasuk Kyai Ageng Beluk sendiri yang memeluk Islam dan
wilayah Laweyan, dijadikan sebagai wilayah atau tanah perdikan .
Tanah perdikan adalah tanah yang diberikan oleh kerajaan atau raja karena
pengabdian seseorang terhadap raja, tanah Laweyan diberikan kepada Kyai
Ageng Henis, sebagai balas jasa kepada kepada Sultan Hadiwijaya atau Jaka
Tingkir raja dari kerajaan Pajang waktu itu. Sejak era Kerajaan Demak sampai era
Kasunanan tanah Laweyan tetap menjadi tanah perdikan. Tanah pemberian ini
kemudian diberi nama Laweyan, karena wilayah ini terkenal dengan komoditas
perdagangan atau bahan baku pembuatan lawe yang sangat terkenal dan besar saat
itu (wawancara, Ibu Naniek Widayati, 21 Mei 2013). Lebih lanjut lihat CL 1, pada
lampiran halaman 200.
Kyai Ageng Henis atau Kyai Ageng Laweyan merupakan tokoh yang
melegenda dalam kehidupan masyarakat Laweyan dan tokoh yang berjasa dalam
penyiaran agama Islam di wilayah Laweyan, Mlayadipura (1981) mengemukakan,
“Kyai Ageng Henis atau Kyai Ageng Laweyan merupakan manggala pinitu
waning nagara ” (hlm. 15). Sebutan tersebut merupakan suatu tanda hormat yang
ditunjukan sebagai tanda balas jasa atas pengabdian Kyai Ageng Henis kepada
Kerajaan Pajang.
Kyai Ageng Henis bertempat tinggal disebelah selatan sungai Kabanaran
atau Sungai Jenes sekarang, disebuah rumah dinas yang diberikan oleh Kerajaan
Pajang, konsep rumah tersebut menggunakan konsep rumah pangeran yaitu
dengan salah satu ciri rumah tersebut memiliki 32 saka pengiring , awalnya rumah
tersebut merupakan sebuah candi pemujaan umat Hindu masyarakat Laweyan
sebelum kedatangan Kyai Ageng Henis.
Kyai Ageng Henis menggunakan rumah ini sebagai rumah dinas, setelah
wafat dan dimakamkan di pesarean Laweyan yang berada di belakang Masjid
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
63

Laweyan, rumah tempat tinggal Kyai Ageng Henis ditempati oleh cucunya yang
bernama Bagus Danang atau Mas Ngabehi Sutowijaya. Sutowijaya atau lebih
dikenal dengan sebutan Raden Ngabehi Loring Pasar, kemudian pindah ke
Mataram tepatnya di Kota Gede , Yogyakarta sekarang dan menjadi raja pertama
Dinasti Mataram Islam dengan sebutan Panembahan Senapati yang kemudian
menurunkan raja -raja Mataram Islam. (wawancara Ibu Nanik Widayati, 21 Mei
2013). Lebih lanjut lihat CL 1 pada lampiran halaman 200.

3. Kehidupan Masyarakat Laweyan


Kampung Laweyan sejak dahulu sudah terkenal sebagai daerah di mana
pengusaha. Kampung Laweyan awalnya merupakan kampung penghsil bahan
pembuat kain (lawe), kemudian bermetamorfosis menjadi sentra industri batik.
Produksi batik di Laweyan mulai berkembang pada abad ke XX bersamaan
dengan perkembangan industri batik di Surakarta. Pengusaha batik di Laweyan
memasarkan produksinya tidak hanya untuk pasar setempat, tetapi diproduksi
untuk pasar yang berskala nasional.
Budaya masyarakat Laweyan tidak terlepas dari sejarah dan lokasi serta
potensi alam di mana Laweyan terletak. Pekembangan kehidupan masyarakat dan
budaya masyarakat Laweyan tidak terlepas dari sejarah dan budaya kerajaan Jawa
saat itu, tradisi lisan legenda Kyai Ageng Henis dan Raden Pabelan pada zaman
Pajang, Raden Ayu Lembah dan Pelarian Paku Buwana II pada zaman Kartasura
berpengaruh terhadap budaya masyarakat Laweyan (Soedarmono, 2006).
Legenda dan foklor masyaraka t Laweyan ditambah dengan sejarah
Laweyan yang merupakan pusat dari komoditas perdagangan lawe telah
membentuk kepribadian dan budaya masyarakat saudagar batik Laweyan yang
mempunyai cita-cita, norma, nilai, dan hukum yang berlaku untuk komunitasnya.
Kutukan sebagai orang yang hanya mengejar harta semakin mengukuhkan
saudagar batik sebagai pedagang atau saudagar kaya yang mandiri. Legenda
Laweyan sebagai tanah perdikan . Kyai Ageng Henis, menjadikan wilayah
Laweyan bebas pajak dan merdeka dari segala macam beban kerajaan, sehingga

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
64

pada perkembangan selanjutnya masyarakat Laweyan menjadi masyarakat


mandiri dalam perekonomian.
Laweyan berstatus sebagai tanah perdikan dimulai dari masa kerajaan
Pajang abad ke-16 hingga masa Kasunanan Surakarta abad ke-20. Hal ini
menunjukkan bahwa daerah Laweyan merupakan satu daerah penting dalam
pertumbuhan kebudayaan Jawa selama empat abad. Hal ini berdampak pada
keluasan bangunan rumah saudagar batik, rata -rata luas banguan saudagar batik
Laweyan sekitar 500 m² lebih. (wawancara Ibu Naniek Widayati, 21 Mei 2013).
Lebih lanjut lihat CL 1 pada lampiran halaman 200.
Kehidupan masyarakat Jawa, jauh sebelum kedatangan Kolonial Belanda
masyarakat Jawa telah mengenal adanya sisitem strtifikasi sosial dalam kehidupan
bermasyarakat. Secara umum stratifikasi sosial masyarakat Jawa tradisional
terbagi kedalam tiga lapisan masyarakat,yaitu Raja, Priyayi, dan Kawula .
Kedudukan hiearki tertinggi dalam masyarakat Jawa adalah seorang Raja yang di
daulat sebagai penguasa seluruh kerajaan dar i berbagai aspek kehidupan.
Masyarakat Laweyan secara sosial tidak dapat dikategorikan sebagai priyayi
keraton atau abdi dalem keraton, masyarakat Laweyan adalah pribadi mandiri dan
terlepas dari kehidupan keraton yang bebas merdeka. Saudagar Laweyan tidak
memiliki kedudukan kultural yang dianggap terhormat dalam masyarakat Jawa
yang feodalistis, masyarakat Laweyan dikategorikan sebagai kawula sekelas
dengan rakyat biasa, meskipun memiliki kekuatan ekonomi dan kekayaan yang
tidak jarang melebihi para bangsawan dan priyayi (Soedarmono, 2006).
Masyarakat Laweyan sejak dahulu telah memposisikan diri sebagai
kelompok masyarakat yang mandiri, yaitu sebagai kelompok masyarakat
pedagang, sehingga masyarakat Laweyan khususnya saudagar batik memilki
karakter berbeda dengan para bangsawan dan priyayi keraton. Karakter orang
Laweyan berbeda dengan para priyayi keraton, masyarakat Laweyan hanya
berfokus pada perdagangan sedangkan para priyayi keraton menjunjung tinggi
nilai-nilai feodalisme keraton.
Masyarakat Laweyan menganggap status priyayi lebih rendah daripada para
saudagar Laweyan, karena priyayi menerapkan prinsip dan gaya hidup yang
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
65

berfoya-foya dan tidak menghargai uang dalam kehidupan. Secara umum


masyarakat laweyan memiliki karakter tertutup dibandingkan dengan masyarakat
lainnya. Hal ini yang menyebabkan masyarakat Laweyan termarginalkan dari
sistem sosial yang berlaku di keraton dan hanya menempati posisi kawula atau
rakyat kebanyakan walaupun kekayaan para saudagar batik Laweyan khususnya
melebihi kekayaan para bangsawan keraton (Wawancara bapak Drs.Susanto,
M.Hum, 6 Juni 2013). Lebih lanjut lihat CL 2 pada lampiran halaman 208.
Kedudukan masyarakat saudagar batik Laweyan yang secara sosial
diklasifikasikan sebagai kawula, menjadikan masyarakat Laweyan membentuk
kelompok komunitas yang berlaku untuk komunitas sendiri, pengelompokan
sosial dalam kehidupan masyarakat Laweyan dibagi kedalam beberapa kelompok
sosial. Dalam hal ini Widayati (mengutip simpulan Sarsono dan Suyatno, l985)
menyatakan bahwa:
Secara umum masyarakat Laweyan dapat dikelompokan kedalam tiga
kelompok yaitu kelompok wong saudagar (orang pedagang), wong cilik
(orang kebanyakan atau rakyat), wong mutihan (Islam atau alim ulama) dan
wong priyayi (bangsawan atau pejabat). Selain itu dikenal pula golongan
saudagar atau juragan batik dengan pihak wanita sebagai pemegang peranan
penting dalam menjalankan roda perdagangan batik yang biasa disebut
dengan istilah mbok mase atau nyah nganten. Sedang untuk suami disebut
mas nganten sebagai pelengkap utuhnya keluarga (2000: 42).

Kedudukan masyarakat Laweyan yang tidak disejajarkan status sosialnya


dengan para priyayi dan bangsawan keraton, walaupun memiliki kekayaan yang
melebihi bangsawan kera ton menyebabkan timbulnya masyarakat Laweyan yang
bebas merdeka tanpa terikat oleh feodalisme keraton dan cepat berkembang, baik
dari segi ekonomi ataupun segi kebudayaan. Oleh karena itu, ketika
berkembangnya kebudayaan Indis, masyarakat Laweyan khususnya saudagar
batik menajdi pendukung berkembangnya kebudayaan in i, hal ini dilakukan oleh
masyarakat saudagar batik pada khusunya sebagai sarana penunjukkan identitas
diri dari saudagar Laweyan yang termarginalkan dari sistem budaya feodal
keraton.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
66

4. Pola Pemukiman Kawasan Kampung Batik Laweyan


Masyarakat dan pemukiman merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan
satu dengan lainnya, pemukiman suatu masyarakat cenderung berkelompok,
karena kodrat manusia sebagai makhluk sosial pada dasarnya mereka menjalani
hidupnya secara berkelompok bersama kelompok masyarakat lainnya.
Pengelompokan permukiman dapat didasarkan atas kesamaan golongan
dalam masyarakat, seperti pengelompokan pemukiman dari lapisan sosial tertentu,
pengelompokan pemukiman dari profesi tertentu dan pengelompokan pemukiman
atas dasar suku bangsa tertentu (Widayati, 2002).
Awal abad ke XX terdapat dua kawasan pemukiman besar di Hindia -
Belanda , yaitu Pemukiman Belanda di bawah pemerintahan gubernur Belanda,
yang mengurus daerah di dalam Benteng dan penduduknya dan pemukiman
pribumi yang berada di luar gerbang benteng. Diberlakukannya Politik Etis, yang
memperbolehkan pembukaaan perusahaan swasta dan meningkatnya penduduk di
pusat kota. Oleh karena itu pemerintah Kolonial Belanda mengeluarkan kebijakan
desentralisasi dengan membentuk kota otonom pertama pada tahun 1905 (Jessup,
1985).
Pertambahan penduduk yang cukup cepat dengan kedatangan bangsa
Kolonial Belanda , berpengaruh terhadap kota-kota dan pola pemukiman di Pulau
Jawa termasuk di Surakarta. Sarana dan prasarana kota lama sudah tidak dapat
menampung lagi pertambahan penduduk dan kemajuan jaman. Pola pemukiman
yang dibentuk oleh kolonial Belanda ditandai dengan mengambil prototype dari
tata kota lama dengan alun-alun sebagai cirinya dan menjadikan alun-alun sebagai
pusat kekuasaan administrasi kolonial Belanda dengan membangun benteng. Hal
ini sebagai upaya dapat lebih mengontrol kepentingan ekonomi kolonial Belanda
(Handinoto & Paulus, 1996).
Struktur kota kolonial telah direncanakan dan tumbuh berdasarkan asumsi
bahwa suku dan asal etnis merupakan prin sip utama dari organisasi sosial. Sistem
pemisahan etnis dikombinasikan dengan kekhususan pemukiman, baik diantara
maupun di dalam kelompok etnis. Meskipun ada pemusatan orang-orang berstatus
sosial tinggi dan rendah dalam masing-masing kelompok, namun tidak pernah ada
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
67

percampuran menyeluruh antara suku-suku bangsa dan kelas sosial. Karena


pemisahan pemukiman menjadi pedoman pokok, orang-orang dari kelompok etnis
yang sama tapi berlainan status sosial ekonomi, cenderung tinggal berdekatan. Hal
ini dilakukan sebagai upaya untuk meredam konflik antar etnis.
Melihat pola pemukiman yang dibentuk oleh Kolonial Belanda, secara
umum pemukiman di wilayah Surakarta terbagi kedalam enam kawasan spesifik.
Kawasan-kawasan tersebut terletak mengelilingi keraton, karena keraton
merupakan titik pusatnya. Hal ini diperkuat dengan pendapat Widayati bahwa,
“secara makro wilayah kota Surakarta dapat dibagi ke dalam beberapa satuan
ruang spesifik, yaitu Kawasan Pecinan, Kawasan Arab, Kawasan Santri, Kawasan
Ningrat, Kawasan Peja galan, dan Kawasan Pengrajin” (2002 : 8). Berikut
digambarkan peta kawasan spesifik wilayah Surakarta

f
a
d
Keraton sebagai
c
Titik Sentral

b
Gambar 4.1. Peta Letak Kawasan Spesifik Wilayah Surakarta. a. Kawasan
Pecinan; b. Kawasan Arab; c. Kawasan Santri; d. Kawasan Ningrat;
e. Kawasan Pejagalan; f. Kawasan Pengusaha Batik
(Sumber: Widayati, 2002 : 9).
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
68

Kawasan Pecinan ada di Kampung Balong, kawasan Arab ada di Pasar


Kliwon, Kawasan Santri ada di Kauman, Kawasan Ningrat ada di Jero Beteng,
Kawasan Pejagalan di Kampung Pejagalan, Kawasan pengrajin ada di Kampung
Laweyan. Pada masa kejayaan keraton Kasunana n Surakarta Hadiningrat,
kawasan-kawasan tersebut memiliki kontribusi yang cukup besar dalam
perekonomian keraton.
Kawasan Laweyan apabila dilihat dari letak kawasan, terletak pada
pinggiran kota Surakarta, yang apabila ditinjau dari struktur kotanya merupakan
suatu kawasan kantong atau kawasan enclave, kawasan atau enclave secara
administratif tidak mungkin akan berkembang dibandingkan dengan kawasan lain
yang berada dekat dengan pusat pemerintahan, dan kawasan Laweyan termasuk
kedalam pola pemukiman kawasan pengrajin karena masyarakat Laweyan adalah
para pengrajin batik, baik batik cap ataupun batik tulis.
Pola pemukiman Laweyan terbentuk seperti pola papan catur (gird ). Pola
papan catur ditandai dengan sirukluasi jala n dan gang yang membentuk pola
kotak-kotak seperti papan catur. Sirkulasi jalan yang berada di kampung Laweyan
sendiri di bagi kedalam tiga pola atau sirkulasi jalan, yaitu jalan utama, jalan
pemukiman dan jalan gang. Pola penataan ruang kawasan Laweyan, ditinjau dari
sisi tata ruang kawasan, dipengaruhi oleh keterikatan hubungan antara pekerja dan
pemilik batik. Sisi jalan utama merupakan perumahan para saudagar batik,
sedangkan kawasan belakang merupakan kawasa n perumahan pekerja batik.
Tatanan ini memberikan kemudahan bagi pebatik untuk bekerja sambil menangani
tugas rumah tangga. (Wawancara Ibu Naniek Widayati, 21 Mei 2013). Lebih
lanjut lihat CL 1, pada lampiran halaman 200.
Jalan utama, yaitu jalan yang mele wati kawasan tersebut dan
menghubungkan antar kota yang berada di antara kawasan tersebut. Jalan tersebut
mempunyai lebar jalan kira-kira 15 meter (jalan Dr.Radjiman sekarang) . Jalan
lingkungan, yaitu jalan yang menghubungkan antar sub kawasan atau wilayah di
Laweyan, mempunyai lebar kurang lebih 6 meter. Jalan kecil (gang), yaitu jalan
yang berada di antara rumah penduduk yang mempunyai lebar sekitar 2,3 meter.
Rumah yang berada di Laweyan dikelilingi tembok tinggi dan mempunyai regol
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
69

(pintu masuk ke halaman) yang besar dan kokoh, pada umumnya gang tersebut
berada di antara tembok-tembokg (beteng) batas kapling rumah para saudagar
batik yang mempunyai ketinggian kurang lebih sekitar 6 meter (Observasi
Lapangan, 21 Mei 2013).

Gambar 4. 2. Salah Satu Bentuk Sirkulasi Jala n Gang yang Terdapat di Kawasan
Kampung Batik Laweyan.
(Dokumentasi Pribadi, 21 Mei 2013) .

Kehidupan suatu masyarakat tidak dapat dipisahkan dari tempat tinggal atau
pemukiman. Biasanya pemukiman masyarakat cenderung berkelompok, karena
pada dasarnya manusia dalam masyarakat menjalani kehidupan secara
berkelompok.
Pemukiman dalam suatu masyarakat pada dasarnya terbagi kedalam dua
pola pengelompokan pemukiman, yakni menurut kepercayaan dan menurut mata
pencaharian. Hal ini sejalan dengan pendapat Priyatmono (2004); Widayati (2002)
bahwa, pengelompokan permukiman juga bisa terbentuk atas dasar kepercayaan
dari masyarakat dan atas dasar sistem teknologi mata pencahariannya.
Pengelompokan permukiman tersebut tidak selalu menghasilkan bentuk denah
dan pola persebaran yang sama, tetapi tergantung pada latar belakang budaya
yang ada.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
70

Permukiman di kampung Laweyan termasuk ke dalam pemukiman


tradisional. Pemukiman tradisional biasanya memilki ciri atupun identitas yang
membedakan dengan kam pung lainnya. Hal ini sejalan dengan pendapat Antariksa
(mengutip simpulan Krisna et al, 2005) bawa, permukiman tradisional adalah aset
kawasan yang dapat memberikan ciri ataupun identitas lingkungan. Identitas
kawasan tersebut terbentuk dari pola lingkungan, tatanan lingkungan binaan, ciri
aktifitas sosial budaya dan aktifitas ekonomi yang khas (2011: 5). Kampung
Laweyan sebagai pemukiman tradisional memiliki salah satu identitas yang
disebutkan di atas, yaitu memiliki aktifitas ekonomi yang khas sebagai pengrajin
batik.
Kampung Laweyan sebagai kampung tradisional terbentuk dari banyaknya
profesi pedagang dan pengusaha batik, dalam pembagian kelompok pemukiman,
Laweyan terdiri dari dua kelompok pemukiman besar, yaitu kelompok
pemukiaman saudagar batik dan buruh batik. Kelompok tersebut terbentuk
berdasarkan kesamaan etnis dan profesi atau mata pencaharian yaitu produksi
batik.
Wilayah kampung Laweyan merupakan suatu perkampungan yang memiliki
penduduk homogen dalam hal mata pencaharian yaitu pengusaha dan pekerja
industri batik. Secara keseluruham, luas wilayah kampung Laweyan adalah 24,83
Ha, dengan pembagian wilayah terdiri dari 20,56 Ha tanah pekarangan dan
bangunan, sedang yang berupa sungai, jalan, tanah terbuka, kuburan seluas 4,27
Ha.
Pola pemukiman berbentuk grid atau pola papan catur disebabakan adanya
pembagian persil tanah kawasan Laweyan antara saudagar batik besar, sedang dan
buruh batik. Secara garis besar, pembagian persil tanah kawasan Laweyan, di bagi
kedalam tiga bagian tanah persil, yaitu persil untuk juragan dan untuk buruh batik,
jenis persil rumah di Laweyan secara garis besar terdiri dari persil rumah juragan
batik besar seluas 1000 m²-3000 m² , persil rumah juragan batik sedang antara 300
m²-1000 m², persil milik buruh batik antara 25 m²-100 m².
Besaran persil tanah yang dimiliki menunjukkan tingkat kekayaan dari
masyarkat Laweyan pada umumnya dan saudagar batik pada khususnya. Semakin
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
71

besar persil tanah yang dimiliki menunjukkan semaikin sukses saudagar tersebut
dalam perdagangan batik. Pembagian persil tanah, pada pemukiman di Laweyan
menyebabkan pola pemukiman pada kampung Laweyan membentuk jaringan-
jaringan jalan yang membentuk blok-blok seperti papan catur atau pola grid dan
seakan tertutup dari lingkungan masyarakat sekitarnya . Blok-blok perumahan
tersebut biasanya dimilki oleh para saudagar batik Laweyan yang memilki persil
tanah cukup luas.
Sistem kisi-kisi atau pola gird, mengandaikan suatu bidang dibentuk
sedemikian rupa oleh jaringan-jaringan jalan sehingga blok-blok yang ada se perti
sebuah papan catur. Pola papan catur adalah pola pemukiman yang berderet
seperti papan catur atau kotak-kotak. Pola pemukiman seperti ini hampir sama
seperti pola pemukiman rumah di negeri Belanda yang biasa disebut pula grid on
patron atau pola papan catur.
Prinsip otonomi dan kegiatan usaha produksi dan perdagangan batik sangat
berkaitan dengan pengaturan sistem jalan di kawasan tersebut. Pola tatanan ruang
kawasan juga dipengaruhi oleh pola ikatan kekeluargaan, mengingat industri batik
merupakan industri rumahan yang erat kaitannya dengan kekerabatan, sebagai
hasil dari ikatan perkawinan antar keluarga serta banyaknya pekerja wanita.
Dengan sistem seperti ini para wanita Laweyan bisa mengurus rumah tangga
walaupun mereka bekerja (Wawancara Ibu Naniek Widayati, 21 Mei 2013). Lebih
lanjut lihat CL 1 pada lampiran halaman 200
Pemakaian pola grid on patron secara teoritis, menurut Antariksa (mengutip
simpulan Stanislawski, 1946) bahwa pola ini didasa ri atas dua macam
pertimbangan. Pertama, adalah alasan efisiensi penggunaan ruang, berkaitan
dengan anggapan bahwa bangunan pada umumnya berbentuk persegi
(rectangular). Kedua, adalah alasan berkaitan dengan penyiapan jalan untuk
keperluan barisan prosesi memanjang dan lurus (straight processional street).
Pola ini diterapkan baik di kawasan Laweyan sebagai wilayah yang memilki corak
yang spesifik , sebagai kawasan yang dihuni oleh masyarakat yang memiliki mata
pencahaian sebaga i pengusaha dan pengrajin batik (2011 : 2)

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
72

Elemen kawasan kampung Laweyan dibentuk oleh butiran masa yang saling
berdekatan dan membentuk jalan-jalan merupakan ciri lain dari pemukiman
tradis ional. Permukiman tradisional biasanya banyak dicirikan dengan munculnya
massa bangunan yang mempunyai tampak berupa dinding-dinding tertutup
menghimpit dan dikelilingi oleh gang atau jalan sempit .
Pemukiman pengusaha batik berskala besar di kampung Laweyan memiliki
masa bangunan rumah yang cukup luas dan besar. Bangunan rumah tersebut
biasanya dikelilingi oleh tembok-tembok tinggi. Tembok-tembok yang
mengelilingi kampung Laweyan hampir mirip dengan tembok cepuri yang
mengelilingi keraton Surakarta.
Permukiman tradisional Laweyan, merupakan manifestasi dari nilai sosial
budaya masyarakat yang erat kaitannya dengan nilai sosial budaya penghuni
pemukiman tersebut, yang dalam proses penyusunannya menggunakan dasar
norma-norma tradisi serta ekonomi yang khas.
Pola pemukiman sistem gird, menjadikan kawasan kampung Laweyan
seakan tertutup dengan dunia luar dan juga gird bisa dikatakan sebuah upaya
merefleksikan budaya masyarakat Laweyan yang termarginalkan dalam
stratifikasi sosial para priyayi keraton sebagai suatu kawasan pengrajin dan
pengusaha batik yang independen dan mandiri dalam bidang ekonom i.
(Wawancara Ibu Naniek Widayati, 21 Mei 2013). Lebih lanjut lihat CL 1 pada
lampiran halaman 200.
Pola tata ruang pemukiman berbentuk gird tersebut juga merupakan akibat
dari peran pembatik yang mayoritas adalah wanita, dimana pekerja batik wanita
membutuhkan akses yang dekat dan mudah antara rumah dengan tempat kerja ,
supaya dapat bekerja sekaligus mengurus rumah tangga. Ditinjau dari persaingan
dagang, keamanan terhadap kekayaan maupun rahasia perusahaan, secara fisik
melahirkan bentuk bangunan yang tertutup. Dengan kata lain, bukti morfologi
kawasan Laweyan yang mayoritas adalah pengusaha dan pekerja batik, dan pola
pemukiman yang berbentuk sistem grid merefleksikan budaya masyarakat yang
independen dan sistem mata pencaharian sebagai pengusaha batik .

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
73

B. Hasil Penelitian

1. Latar Belakang Masuknya Kebudayaan Indis di Laweyan


a. Latar Belakang Masuknya Kebudayaan Indis di Surakarta
Surakarta merupakan salah satu wilayah bekas ibu kota dari kerajaan
Mataram Islam. Surakarta terbentuk karena adanya suatu perjanjian yang dikenal
dengan perjanjian Giyanti sekitar tahun 1755. Perjanjian Giyanti merupakan suatu
perjanjian yang digunakan Belanda sebagai strategi memecah kerajaan Mataram
Islam menjadi dua bagian wilayah yakni, Kasunanan Surakarta Hadiningrat, di
bawah pemerintahan Paku Buwana dan Kasultanan Yogyakarta di bawah
pemerintahan Hamengkubuwana. Setelah pemisahan tersebut kedua wilayah
disebut dengan nama vorstenlanden yang berarti daerah kerajaan Jawa (Larson,
1990).
Wilayah vorstenlanden mempunyai otoritas sendiri dalam mengatur
wilayahnya, termasuk dalam mengatur sistem pemerintahan dan sebagai pusat
dari kebudayaan Jawa, walaupun masih dalam pengawasan pemerintah kolonial
Belanda .
Otoritas sendiri dalam mengatur wilaya h memunculkan suatu pengaruh
yang cukup besar dalam bidang kebudayaan, khususnya kebudayaan Jawa.
Kebudayaan Jawa yang berkembang di dalam keraton memancarkan pengaruhnya
ke segala penjuru kerajaan, termasuk ketika kebudayaan Eropa (Belanda) masuk
ke dalam lingkungan keraton.
Surakarta sebagai pusat kerajaan memiliki penduduk yang heterogen.
Prularisme penduduk mengakibatkan adanay pengelompokan sosial di kalangan
masyarakat Surakarta berdasarkan etnis dan kelompok mata pencaharian. Secara
umum, masyarakat Surakarta pada masa kolonial, terbagi kedalam tiga kelompok
besar yaitu orang Jawa yang tinggal di pedesaan, orang Eropa yang kebanyakan
adalah orang-orang Belanda, orang Cina dan Arab yang tinggal di kota-kota
(Suhartono, 1991).
Perkembangan penduduk di kota Surakarta merupakan dampak dari
kebijaksanaan dari politik etis yang diterapkan Belanda. Politik etis menyebabkan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
74

berkembangnya perusahaan swasta seperti perkebunan, pelayaran, pe rkeretaapian


yang memerlukan banyak tenaga kasar, tenaga menengah maupun tenaga
professional dan urbanisasi besar-besaran dari bangsa Belanda ke wilayah
pedalaman. Situasi yang demikian mengakibatkan bertambahnya penduduk
Surakarta dan perkembangan lokasi hunian (Qamarun dan Prayitno, 2007).
Berikut disajikan tabel perkembangan penduduk Surakarta selama kurun
waktu tahun 1900-1930 :

Tabel 4.2 Perkembangan Penduduk Surakarta Tahun 1900 -1930


Tahun Jawa Eropa Cina Arab dan Melayu Lain-lain Jumlah
1900 1.499.438 3.637 9265 171 262 1.512.773
1905 1.557.996 3.335 11.725 - - 1.593.056
1917 2.042.954 3.919 13.997 - - 2.060.870
1920 2.029.843 5.003 14.701 - - 2.049.547
1930 2.535.594 6.555 21.224 1.475 - 2.564.848

(Sumber : Suhartono, 1991: 196; Prasangka, 2005: 22)

Penduduk Surakarta meningkat dari tahun ketahun seiring de ngan


perkembangan kota tersebut. Golongan penduduk Eropa sebagai penguasa
jumlahnya tidak terlalu banyak jika dibandingkan golongan Cina dan golongan
pribumi. Jumlah golongan pribumi (Jawa) di Surakarta , menduduki jumlah yang
terbanyak namun demikian dalam struktur kolonial golongan ini menempati posisi
paling bawah, karena berlakunya sistem strtifikasi masyarakat yang diberlakukan
oleh pemerintah kolonial dan hanya beberapa persen saja yang menduduki posisi
lebih baik , yakni golongan elit pribumi yang memiliki hubungan dekat dengan
pejabat pemerintah kolonial Belanda.
Masyarakat urban di Hindia Belanda secara umum dikelompokan menjadi
tiga kelompok besar, yang terdiri dari golongan pribumi, golongan Eropa, dan
golongan Cina dan Arab. Hal ini berkaitan dengan pendapat Handinoto (1994),
yang menyatakan bahwa:

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
75

Masyarakat urban pada jaman kolonial di Hindia Belanda pada umumnya


terbagi menjadi 3 kelompok. Kelompok pertama adalah golongan pribumi
yangmerupakan penduduk asli setempat. Kelompok kedua sering disebut
sebagai“vreemde oosterlingen” (Timur Asing), yang terdiri atas orang Cina,
Arab serta orang Asia la innya. Sedangkan kelompok yang ketiga golongan
orang Eropa. Golongan orang Eropa terdiri dari masyarakat Indo-Eropa atau
sering disebut sebagai masyarakat Eurasia dan orang Belanda totok (hlm. 2).

Stratifikasi masyarakat pada masa kolonialisme Belanda menempatkan


pejabat Belanda dan orang Eropa termasuk didalamnya adalah pengusaha Eropa
berada pada lapisan pertama, kemudian disusul oleh bangsa timur asing yaitu
golongan saudagar Cina dan Arab, serta yang terakhir adalah golongan pribumi.
Dalam hal perkembangan budaya Indis di Hindia-Belanda pada umumnya dan
Surakarta pada khusunya , golongan pejabat Belanda, pengusaha Eropa serta para
sauda gar Cina dan Arab menjadi pendukung utama lahir dan berkembangnya
budaya Indis.
Kebudayaan Indis merupakan bagian dari kebudayaan urban pada abad ke
XVII dan XVIII, yang melanda mayoritas rumah tangga di Batavia dan kota-kota
besar kolonial lainnya di Jawa. Handinoto (1994); Soekiman (2000) menyatakan
bahwa, kebudayaan Indis berkembang di Hindia Belanda diawali oleh kebiasaan
hidup membujang dan membawa istri dari para pegawai Belanda, prototype dari
kebudayan Indis tumbuh akibat hubungan dari laki-laki Eropa yang mengambil
gundik para pembantu rumah tangga wanita Indonesia (Nyai), yang kemudian
membentuk keluarga .
Perkembangan budaya Indis di Jawa, pada awalnya hanya didukung oleh
para pejabat kolonial, pemilik perkebunan, saudagar Cina dan Arab, dan sebagian
abdi dalem dan bangsawan keraton yang memiliki kecukupan harta untuk
melakukkan gaya dan pola hidup Indis. Seiring masuknya modal swasta pada
bidang-bidang pertanian dan perkebunan maka budaya indis tumbuh subur di
lingkungan perkebunan dan mulai menjamur dikalangan masyarakat luas.
Proses perkembangan kebudayaan Indis di Jawa pada umumnya dan
Surakarta pada khususnya, berlangsung cukup intensif dan lama, serta
menghasilkan wujud kebudayaan yang unik, khususnya dalam bidang arsitektur

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
76

Indis yang tidak terdapat pada daerah koloni lain di Hindia -Belanda. Proses
perkembangan kebudayaan Indis di Jawa, dapat digambarkan sebaga i berikut :

Penguasa Kolonial, pedagang,


Tujuh Unsur serdadu, cendikiawan Belanda
Kebudayaan :
Pengalaman para mahasiswa
1. Bahasa Indonesia di Belanda
2. Peralatan dan
perlengkapan
hidup Cendikiawan
3. mata Proses Akulturasi Rohaniawan
pencaharia n
Arsitek Kebudayaan
4. sistem Indis
kemasyarakatan Seniman
5. kesenian Local Genius
Guru, dsb
6. kesenian

7. religi

Lingkungan Alam Masyarakat Budaya


Indonesia Indonesia

Bagan. 4.1. Proses Akulturasi dari Kebudayaan Indis antara Kebudayaan Belanda-
Jawa.
(Sumber: Djoko Soekiman, 2000 : 43)

Selama awal abad ke IXX, kebudayaan tersebut terlihat jelas pada


kehidupan keluarga pejabat sipil Eropa, pejabat angkatan bersenjata serta opsir
bawahannya, pengusaha yang hidup di kota -kota dan para tuan tanah. Kebudayaan
Indis juga dianut pada keluarga opsir peranakan Cina, yang kaya dan bahkan
beberapa juga terlihat pada tuan tanah orang Arab yang tinggal di kota-kota besar
(Handinoto, 1994) .
Tumbuh dan berkembangnya kebudayaan dan gaya hidup Indis di
lingkungan perkebunan karena pada saat itu, terjadi kontak langsung antara
pemilik perkebunan dan pekerja yang mayoritas pribumi, dan secara langsung
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
77

pekerja pribumi dapat meniru pola dan gaya hidup Indis majikannya dengan
didukung oleh ekonomi yang baik. Kehidupan sosial dan ekonomi yang rata -rata
lebih baik dibandingkan dengan masyarakat pribumi memungkinkan para
pendukung kebudayaan Indis untuk dapat ber gaya hidup mewah.
Peranan pemerintah kolonial Belanda semakin penting dalam struktur
pemerintahan keraton Surakarta Hadiningrat, ketika di tempatkan seorang R esiden
di wilayah Surakarta. Ditempatkannya seorang Residen di wilayah Surakarta
mengakibatkan posisi Belanda sebagai penguasa dalam bidang politik keraton
menjadi semakin penting, selain itu kebijakan politik baru setelah berakhirnya
politik tanam paksa yang diterapkan oleh pemerintah kolonial Belanda yakni
sekitar tahun 1870, berdampak pada perubaha n-perubahan dalam tata
pemerintahan, tata kota, pola pemukiman, gaya arsitektur bangunan dan
masuknya kebudayaan barat melalui tradisi pesta, musik dan agama.
Dengan kata lain, perkembangan kebudayaan Indis di kalangan bangsawan
keraton dilatarbelakangi oleh kedekatan bangsawan keraton dengan pemerintah
kolonial belanda dan didukung kekayaan bangsawan yang menganggap bisa
meniru pola hidup bangsa Eropa, sehingga meraka mulai meniru gaya dan pola
hidup, seperti mengadakan pesta penjamuan makan malam, dansa, rekreasi serta
arsitektur rumah yang digunakan oleh bangsa Belanda di adaptasi oleh bangsawan
keraton. (Wawancara Bapak Drs.Susanto, 6 Juni 2013). Lebih lanjut liat CL 2
pada lampiran halaman 208.
Pembukaan daerah pedalaman sebagai daerah perkebunan swasta secara
tidak langsung meningkatkan kebutuhan tenaga kerja di wilayah pedalaman pada
sekitar abad IXX, serta faktor kedekatan politis antara penguasa lokal dengan
pemerintah Kolonial Belanda, menjadi embrio dari lahir dan berkembangnya
kebudayaan Indis di Surakarta, yang di dukung oleh sebagian besar bangsawan
dan priyayi Jawa.
Pendukung kebudayaan Indis dikalangan priyayi dan bangsawan berupaya
menjaga prestise dan kedudukan melalui berbagai cara agar dapat dibedakan
dengan kelompok-kelompok masyarakat lainnya. Dalam pandangan hidup sehari-
hari, pendukung kebudayaan Indis di tembok istana (keraton) dipengaruhi oleh
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
78

pandangan hidup yang berakar pada dua budaya, yaitu Eropa dan Jawa.
Kewibawaan, kekayaan, dan kebesaran ditampilkan agar tampak lebih daripa da
masyarakat kebanyakan, hal demikian dimaksudkan untuk menjaga kelangsungan
sebagai penguasa.
Kebudayaan Indis yang berkembang di Surakarta pada awalnya hanya
mempengaruhi pola dan gaya hidup bangsawan Jawa tetapi seiring berjalannya
waktu, kebudayaan Indis juga mempengaruhi segala aspek kehidupan, misalkan
melalui media pendidikan, hubungan pekerjaan, perdagangan, dan lain
sebagainya. Terlebih dengan adanya priyayi baru, yaitu para terpelajar yang
mendapatkan pendidikan di lingkungan colonial. Selain gaya hidup dengan
berbagai aspeknya, bangunan rumah tinggal mendapat perhatian dalam
perkembangan budaya Indis, karena rumah tempat tinggal merupakan ajang
kegiatan sehari-hari.
Ekspansi kekuasaan kolonial yang dimulai pada abad ke IXX, merupakan
gerakan kolo nialisme yang membawa dampak perubahan bukan hanya dibidang
politik dan sosial saja , tetapi juga melatarbelakangi perkembangan kebudayaan
baru yaitu kebudayaan Indis di Surakarta. Akibat dari perkembangan kebudayaan
Indis di Surakarta, terjadi perubahan yang cukup signifikan dalam berbagai aspek
kehidupan masyarakat pendukung kebudayaan Indis khusunya kalangan
bangsawan dan priyayi keraton.
Perkembangan kebudayaan Indis ke wilayah pedalaman Surakarta di
dukung oleh kedekatan raja dengan petinggi-petinggi pemeritah kolonial Belanda
yang kemudian di ikuti oleh para bangsawan dan priyayi Jawa. Perkembangan
kebudayaan Indis di Surakarta selain di dukung oleh kedekatan raja dan
bangsawan keraton dengan pejabat kolonial Belanda, terlebih setelah
ditempatkannya seorang residen di Surakarta juga terjadi karena adanya
perkembangan kota , perluasan perkebunan swasta dan berkembangnya kaum
terpelajar sebagai kaum priyayi baru yang mengenyam pendidikan Belanda .

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
79

b. Latar Belakang Masuknya Kebudayaan Indis di Laweyan


Sejarah Laweyan diawali oleh Pasar Laweyan dan Bandar Kabanaran yang
merupakan pusat perdagangan lawe (bahan baku tenun) yang sangat ramai.
keberadaan kampung Laweyan sudah berada sejak sebelum keraton Kasunanan
Surakarta Hadiningrat berada, tepatnya pada masa kerajaan Pajang. Bahan baku
kapas pada saat itu banyak dihasilkan dari Desa Pedan, Juwiring, dan Gawok yang
masih termasuk daerah Kerajaan Pajang. Semasa Kerajaan Pajang sekitar tahun
1546, Laweyan terkenal sebagai daerah penghasil tenun dan bahan sandang
(Mlayadipuro, 1981).
Kampung Laweyan dengan Pasar Laweyan (sekarang terletak di antara
Kampung Lor Pasar Mati dan Kidul Pasar Mati serta di sebelah timur Kampung
Setono, Kelurahan Laweyan) dan Bandar Kabanaran (sekarang terletak di selatan
Kampung Lor Pasar Mati dan merupkan batas wilayah kota Surakarta dan
kabupaten Sukoharjo) dahulu merupakan pusat perdagangan dan penjualan bahan
baku tenun (lawe) yang ramai dan strategis, letak yang strategis ini
memungkinkan wilayah Laweyan menjadi pusat peradagangan masa itu.
Perkembangan kampung Laweyan tidak terlepas dari letak Laweyan yang
terletak diantara dua sungai yaitu, yakni terletak diantara sungai Premulung
(sungai ini telah mati sekarang) dan sungai Kabanaran. Sungai Kabanaran terdapat
sebuah bandar sebagai salah satu bandar yang berada di jalur perdagangan sungai
Bengawan Solo .
Bandar Kabanaran merupakan salah satu dari 44 bandar yang dimiliki
Bengawan Solo. Disebut bandar Kabanaran karena terletak di tepi sungai
Kabanaran atau sungai Jenes sekarang. Melalui Bandar dan sungai Kabanaran,
memungkinkan para pengusaha atau saudagar di Laweyan lebih cepat
memasarkan produknya ke bandar besar Nusupan yang berada di tepi Bengawan
Solo. (Wawancara bapak Alpha Febela Priyatmono, tanggal 4 September 2013).
Lebih lanjut lihat Catatan Lapangan 3, pada lampiran halaman 211. (Selanjutnya,
dalam kalimat disingkat menjadi CL 3).
Industri batik berkembang pesat di Laweyan setelah ditemukannya teknik
pembuatan batik cap yang ditemukan juragan batik di Semarang. Pada awalnya,
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
80

Laweyan terkenal sebagai pusat dari perdagangan lawe, kemudian berkembang


menjadi pusat perdagangan tenun tradisional dan pembuat mori sampai akhirnya,
Laweyan bermetamorfosis, menjadi salah satu sentra industri batik cap di
Surakarta.
Perkembangan usaha pembuatan batik cap di Laweyan dimulai sekitar
pertengahan abad ke IXX dan marak mulai sekitar tahun 1870, pada tahun
tersebut para pengusaha batik di Laweyan mendirikan tempat usaha dalam skala
besar. Hampir keseluruhan dari masyarakat Laweyan pada waktu itu, bekerja di
sektor industri batik, baik sebagai juragan atau saudagar, pedagang maupun
sebagai buruh batik (wawancara Bapak Alpha Febela Priyatmono, tanggal 4
September 2013). Lebih lanjut lihat CL 3 pada lampiran halaman 211.
Industri batik cap di wilayah Surakarta terjadi sekitar abad ke IXX.
Perkembangan industri batik cap merupakan penanda zaman modal kedua, yang
dibagi dalam dua tahap yaitu, sekitar tahun 1850-an dan 1870-an. Tahun tahap
pertama ketika diperkenalkannya alat untuk batik cap dan tahap kedua ketika
menghebatnya penetrasi perkebunan Belanda ke pedesaan. Pada tahun-tahun
tersebut hampir seluruh wilayah di Surakarta telah memiliki spesialisasi produk
batik masing-masing, seperti Kauman, Keprabon dan Pasar Kliwon yaitu
membuat batik halus, sedangkan di Tegalsari dan Laweyan membuat batik cap.
Sehingga pada sekitar abad ke IXX hingga memasuki abad XX, Surakarta
menjadi pusat utama dari industri batik (Shiraishi, 2005).
Perkembangan industri batik cap yang berkembang di Laweyan, berawal
dari inovasi teknologi stempel atau cap batik yang diciptakan oleh seorang juragan
batik di Semarang pada tahun 1915, yang kemudian ditiru dan diaplikasikan
dalam proses produksi batik di Laweyan. Teknologi batik cap dipilih oleh
saudagara batik Laweyan karena dapat melipatgandakan produksi, proses
membatik lebih sederhana, tahap produksi lebih pendek, waktu produksi lebih
cepat dan biaya lebih rendah daripada industri kerajinan batik tulis (Sariyatun,
2005).
Perkembangan Industri batik di Laweyan, di samping telah ditemukannya
teknik pembuatan batik dengan metode cap juga karena adanya keistimewaan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
81

tersendiri dalam kain batik, karena batik menjadi busana wajib bagi raja dalam
kegiatan formal kerajaan, sehingga industri batik cepat berkembang pada sekitar
awal abad XX. Selain itu, sejumlah permintaan dari para konsumen daerah
terhadap batik menyebabkan batik menjadi barang konsumtif bagi rakyat
kebanyakan.
Komunitas saudagar batik Laweyan mengkhususkan diri pada produksi
batik cap untuk konsumsi massa. Industri batik cap di Laweyan mengalami
kejayaan antara tahun 1910 sampai tahun 1930, dalam kurun waktu itu saudagar
batik Laweyan, terus menerus mengembangkan identitasnya ke dalam masyarakat
saudagar sehingga industri batik di Laweyan berkembang pesat dan sulit
ditemukan tandingan terutama di daerah pedalaman Jawa Tengah-Selata n, bahkan
produksi batik di Kota Surakarta hampir 85 % berada di tangan saudagar batik
Laweyan (Soedarmono, 2006) .
Perkembangan masyarakat pada awal abad XX sangat diwarnai oleh
aktivitas ekonomi, termasuk sektor perkebunan. Pemerintah kolonial Belanda
sebagai penguasa menyediakan sarana dalam menunjang kelancaran aktivitas
ekonomi masyarakat, salah satusarana yang terkait dengan kedudukan ekonomi
suatu daerah adalah menyediakan sarana transportasi transportasi.
Transportasi yang digunakan adalah kereta api. Transportasi kereta api,
sebagai alat pengangkutan hasil-hasil produksi dari daerah pedalaman kedaerah
pantai, memegang peranan penting yang kemudian akan menentukan kalancaran
sirkulasi hasil-hasil produksi, termasuk dalam distribusi produksi batik.
Kelancaran transportasi semakin menunjukkan tingkat perkembangan
tersendiribagi daerah yang bersangkutan, termasuk didalamnya adalah adalah
keuntungan yang didapat oleh saudagar batik Laweyan dengan tersedianya
transportasi kereta api. Hadirnya jalur kereta api milik perusahaan NIS
(Nederlandsch Indische Spoorweg Maatschappij) di Surakarta, dapat
mempercepat distribusi batik juga mempengaruhi perkembangan industri batik di
wilayah Surakarta pada umumnya dan Laweyan pada khususnya (Hastuti,2011).
Masyarakat saudagar batik Laweyan adalah masyarakat saudagar, dimana
dalam aktifitas perdagangan telah melakukan hubungan dengan para pedagang
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
82

dari berbagi suku budaya. Kontak budaya dengan berbagai pedagang baik lokal
maupun manca negara berakibat pada pola pikir dan pandangan hidup masyarakat
Laweyan dalam mewujudkan cita-cita.
Masyarakat Laweyan menjadi saudagar yang berwawasan luas, khususnya
gaya hidup yang berbeda dengan masyarakat Laweyan di sekitarnya, sehingga
lambat laun masyarakat saudagar batik Laweyan terpengaruh kebudayaan Indis
yang sebelumnya telah lebih dahulu berkembang di lingkungan keraton.
Kebudayaan Indis, berkembang di Laweyan bisa dilihat dari faktor geografis
Laweyan itu sendiri. Secara geografis kampung Laweyan merupakan suatu
wilayah yang sejak masa kerajaan Pajang terkenal dengan pusat pedagangan lawe,
pusat peradagangan terpusat di Sungai Jenes atau Sungai kabanaran sekarang
dimana sungai tersebut terhubung dengan Sungai Bengawan Solo, di wilayah
tersebut terdapat bandar dagang yaitu Bandar Kabanaran yang terhubung dengan
bandar besar di Nusupan, posisi yang sangat starategis secara geografis jika
ditinjau dari segi masa lalu karena transportasi sungai pada masa lalu merupakan
alat transportasi utama masyarakat.
Letak geografis wilayah Laweyan yang di lintasi jalur perdagangan ini
memungkinkan masuknya dan berkembangnya kebudayaan baru, termasuk
kebudayaan indis beserta hasil-hasilnya berupa arsitektur bangunan rumah.
Tipikal masyarakat saudagar batik yang berjiwa pedagang ditambah keuntungan
yang besar dalam berdagang batik sekitar abad akhir abad 19 dan awal abad 20
menjadikan cepat berkembangnya budaya Indis di Laweyan khususnya arsitektur
rumah Indis.
Kontak perdagangan antara saudagar batik dengan para pedagang dari
berbagai bangsa menyebabkan saudagar batik mempunyai wawasan yang cukup
tinggi tentang kebudayaan Eropa, terutama mengenai arsitektur luar negeri.
Wawasan itu lantas diterapkan saudagar batik Laweyan untuk membangun rumah-
rumah yang meniru rumah-rumah pejabat kolonial berarsitektur Indis beserta
kelengkapannya yang mewah dan mahal. (Wawancara Bapak Mohammad
Muqqofa, tanggal 8 Juli 2013). Lebih lanjut lihat CL 4 pada lampiran halaman
215.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
83

Kontak kebudayaan dari adanya perdagangan dan faktor kekayaan dari hasil
berdagang batik tersebut berdampak pada terpengaruhnya masyarakat Laweyan
oleh kebudayaan Indis , khususnya dalam perkembangan arsitektur rumah tinggal
bergaya Indis. Rumah saudagar batik yang awalnya menggunakan material kayu
dengan arsitektur Jawa, berubah menjadi bangunan loji mirip bangunan rumah
milik pejabat Kolonial Belanda.
Kehidupan masyarakat Jawa jauh sebelum kedatangan bangsa Kolonial
Belanda, telah mengenal adanya sistem starfikasi sosial dalam kehidupa n
masyarakatnya. Secara umum, masyarakat Jawa terdiri dari tiga lapisan
masyarakat yaitu raja, priyayi dan kawula . Raja sebagai penguasa merupakan
pusat hieark i tertinggi.
Stratifikasi sosial masyarakat Jawa menempatkan masyarakat Laweyan
sebagai kaum kawu la atau rakyat kebanyakan, walaupun kekayaan masyarakat
saudagar Laweyan melebihi kekayaan para bangsawan keraton tetapi masyarakat
saudagar Laweyan termarginalkan baik dari status maupun dari kebudayaan. Hal
ini dipertegas dengan pendapat (Soedarmono, 2006).
Masyarakat saudagar batik Laweyan yang posisinya sejajar dengan rakyat
biasa, tidak terikat pada adat yang membatasi ruang gerak. Saudagar batik
Laweyan dalam kehidupan masyarakat lebih bebas dalam menentukan pilihan dan
tidak terikat oleh ikatan feodal, hiearki dan simbolisme yang ada di keraton,
termasuk di antaranya dalam membangun rumah tinggalnya. Simbol dan hierarki
itu makin ke bawah makin luntur. Karenanya, wong cilik termasuk saudagar batik
Laweyan terhindar dari sistem simbol dan hierarki itu, bukan karena sengaja
menghindar tetapi simbol dan hierarki itu memang secara samar-samar saja
sampai kepada saudagar batik (Kuntowijoyo, 2003).
Posisi masyarakat saudagar batik Laweyan sebagai kawula menyebabkan
saudagar batik Laweyan tidak temasuk ke dalam lingkup stratifikasi sosial keraton
dan tidak memiliki kedudukan kultural yang dianggap terhormat dalam
masyarakat Jawa yang feodalistis , walaupun memiliki kekuatan ekonomi dan
kekayaan yang tidak jarang melebihi para bangsawan dan priyayi.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
84

Saudagar batik Laweyan dalam menjalani kehidupannya masih meniru


konsep dari para priyayi mulai dari pakaian, rumah dan cara hidup priyayi, hal ini
dikarenakan keraton karena masih terikat dengan perdagangan batik dan merasa
mampu secara ekonomi. Dalam hal ini masyarakat Laweyan bisa dikatakan
“ambigu” dalam menjalani kehidupannya, disisi lain masyarakat saudagar batik
Laweyan merupakan para saudagar yang tidak terikat stratifikasi sosial keraton
dan hanya berfokus pada perdagangan batik, tetapi di sisi lain masyarakat
Laweyan meniru pola hidup dan kebudayaan para priyayi keraton (wawancara Ibu
Naniek Widayati, 21 Mei 2013). Lebih lanjut lihat CL 1 pada lampiran halaman
200.
Sebagai kelompok yang sekelas dengan rakyat, para saudagar batik
Laweyan tentu saja memiliki orientasi terhadap kelompok lain yang memiliki
otoritas di dalam masyarakat. Pada awalnya para saudagar batik Laweyan ingin
menandingi bentuk rumah-rumah para bangsawan, oleh karenanya tempat tinggal
para saudagar batik Laweyan yang di bangun sebelum abad XX pada umumnya
mengacu pada tempat tinggal kaum aristokrat dengan segala perangkatnya.
Perkembangan industri batik di Surakarta sekitar abad XX, menyebabkan
saudagar batik memilki keuntungan yang besar. Keuntungan yang besar dalam
berdagang batik, menyebabkan para saudagar batik perlu menunjukan identitasnya
sebagai pribadi yang mandiri.
Penunjukkan identitas saudagar batik Laweyan yakni dengan mulai berani
membuat banguan rumah loji tiruan seperti layaknya tempat tinggal orang-orang
Eropa dengan segala macam atributnya yang sering tidak sesuai dengan
lingkungannya. (wawancara Ibu Naniek Widayati, 21 Mei 2013). Lebih lanjut
lihat CL 1 pada lampiran halaman 200.
Saudagar batik Laweyan membangun rumahnya tidak sekedar untuk pamer
kekayaan belaka, tetapi bisa be rmakna sebagai perlawanan baik terhadap
pemegang otoritas kultural maupun terhadap para penguasa politik dan ekonomi
riil yaitu keraton. Pembangunan rumah saudagar batik Laweyan, tidak terikat pada
aturan tata ruang Jawa yang ada namun masih memasukkan uns ur-unsur Jawa
sebagai komponennya baik sebagian ataupun seluruhnya walaupun bentuk rumah
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
85

berarsitektur Indis , tetapi dalam proses pembuatannya disesuaikan dengan aturan


adat yang berlaku. Dalam hal ini adalah aturan dan larangan-larangan yang sudah
baku da lam membangun rumah yaitu mengadakan selametan lengkap mulai dari
awal pembuatan rumah sampai selesai pembuatan rumah diadakan oleh saudagar
batik Laweyan.
Posisi saudagar Laweyan yang dalam sistem sosial masyarakat Jawa di
Surakarta pada awal abad ke -20 berada di antara kelas rakyat yang mayoritas
petani dan kelas menengah priyayi atau bangsawan keraton, walaupun kekayaan
saudagar batik Laweyan melebihi kekayaan bangsawan keraton. Hal ini
menyebabkan adanya upaya penunjukan identitas diri yang di lakukan masyarakat
saudagar batik di Laweyan untuk mensejajarkan diri dengan derajat priyayi dan
bangsawan keraton.
Presepsi menjadi pedagang lebih mulia bagi saudagar batik Laweyan,
dibandingkan dengan menjadi bangsawan dan priyayi keraton, karena penuh ide
dan bebas serta tidak terikat oleh ke kuasaan feodalisme keraton. Bahkan, saudagar
batik Laweyan menganggap rendah status bangsawan keraton karena mereka
melakukkan pola hidup boros atau kurang menghargai uang dalam kehidupannya.
Profesi sebagai pedagang mem buat ekonomi berpera n penting bagi
kehidupan mereka sehingga kekayaan saudagar batik Laweyan dapat melebihi
kekayaan bangsawan keraton, dari sini timbulah suatu “pertempuran” atau
persaingan kebudayaan antara masyarakat Laweyan dengan masyarakat yang
berada di lingkungan keraton.
Pertempuran yang dimaksud bukanlah pertempuran yang sebenarnya,
melainkan pertempuran dalam bidang penunjukkan kekayaan. Dalam gaya
hidupnya para saudagar mengacu pada kehidupan para bangsawan keraton
Surakarta dan mampu membangun rumah yang mewah layaknya rumah para
pejabat Belanda, walaupun masih menggunakan pola ruang dan ornamen dari
arsitektur Jawa.
Pola ruang tersebut hanya sebagai prototype dari rumah bangsawan keraton
dan rumah masyarakat Jawa pada umum nya. Hal ini menanda kan bahwa
komunitas Laweyan adalah orang Jawa sama seperti bangsawan keraton dan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
86

masyarakat sekitar, dengan kata lain orang Laweyan tidak kehilangan sifat orang
Jawa meskipun kebudayaan Indis telah berkembang dikalangan masyarakat
Laweyan.
Perkembangan kebudayaan Indis di Laweyan, khususnya dalam
perkembangan arsitektur Indis disamping adanya perkemba ngan industri batik
yang memberikan keuntungan yang besar bagi saudagar batik, juga dipengaruhi
oleh perubahan tata kota dan pola pemukiman yang berada dilingkungan sekitar
keraton. (Wawancara Bapak Drs.Susanto, 6 Juni 2013). Lebih lanjut lihat CL 2
pada lampiran halaman 208.
Pola -pola pemukiman di pusat kota menunjukan karakter majemuk,
lingkungan perumahan Eropa ditunjukan dengan fasade bangunan rumah yang
besar dengan halaman yang luas dan berbentuk loji yang menunjukan status yang
paling tinggi sebagai penguasa di Surakarta. Pola pemukiman dan rumah yang di
miliki oleh para pejabat Kolonial Belanda yang ditiru dan di adaptasi oleh
saudagar batik Laweyan dalam membangun, karena ingin mensejajarkan dengan
status bangsawan dan priyayi keraton. Pola dan bentuk rumah loji pada rumah
milik pejabat kolonial tersebut , diadaptasi oleh saudagar batik Laweyan pada
sekitar tahun 1920-1930an untuk membangun dan merenovasi rumah tempat
tinggal yang awalnya hanya rumah berstruktur kayu.
Rumah bagi masyarakat saudagar batik adalah sebagai alat dan sarana untuk
mewujudkan cita -cita saudagar batik Laweyan dan penunjukkan identitas diri
yang termarginalkan dai status sosial masyarakat feodal. Saudagar batik Laweyan
sebagai manusia Jawa yang pergaulannya luas dengan berbagai budaya, kaya dan
termarginal, merasakan perlu pengakuan atas keberadaan dan keberhasilan.
Faktor kekayaan yang melimpah dari hasil perdagangan batik, letak lokasi
Laweyan yang strategis dan kedekatan saudagar Laweyan dengan bangsa Eropa
dalam bidang perdagangan menyebabkan masyarakat saudagar batik Laweyan
mulia meniru pola dan gaya hidup bangsa Eropa, hal tersebut menjadi latar
belakang lahir dan berkembangnya kebudayaan Indis, terutama aristektur bergaya
Indis. (wawancara Ibu Naniek Widayati, 21 Mei 2013). Lebih lanjut lihat CL 1
pada lampiran halaman 200.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
87

Berkembangnya kebudayaan Indis, khususnya arsitektur Indis di Laweyan


merupakan sebuah growing up dari masyarakat saudagar batik yang termasuk
kelas kawula dari ikatan stratifikasi dan budaya feodal keraton, hal ini
menyebabkan masyarakat saudagar batik Laweyan perlu dalam menunjukan
eksistensi dan identitas dirinya sebagai pengusaha dan pantas di pandang. Para
saudagar batik bangga dengan identitas kampung, gaya hidup, dan etos kerja,
karena hal tersebut menunjukkan status pemiliknya. Bagi saudagar batik kekayaan
dapat menyejajarkan status sosial dengan kaum bangsawan keraton.
Bangunan rumah tempat tinggal dengan arsitektur dan interior Indis yang
berkembang di Laweyan hadir sebagai jawaban dari orang-orang Laweyan dalam
penunjukkan identitas diri. Kekayaan yang melimpah, hasil dari usaha batik,
digunakan untuk membangun rumah loji.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
88

2. Bentuk Arsitektur dan Ornamen Rumah Bergaya Indis di Laweyan


a. Bentuk Umum Arsitekur dan Ornamen Rumah Indis di Surakarta
Kebudayaan Indis beserta hasil-hasilnya berkembang di wilayah
vorstenlanden Surakarta, dilatarbelakangi oleh adanya perkembangan politik di
negeri Belanda. Kemenangan kaum liberal di negeri belanda memaksa
pemerintahan di negeri koloni melakukan politik etis sebagi balas jasa kepada
negeri koloni.
Kebijakan politik baru yang dilakukan pemerintah kolonial Belanda pada
sekitar tahun 1870 an, menyebabkan berkembangnya perusahaan swasta seperti
perkebunan, pelayaran, perkeretaapian memerlukan banyak tenaga kasar, tenaga
menengah maupun tenaga profesional, kebutuhan tenaga kerja tersebut membawa
dampak pembukaan daerah pedalaman. Pembukaaan daera h pedalaman semakin
meningkatkan jumlah bangsa Eropa di Surakarta. Peningkatan penduduk Eropa di
Surakarta menyebabkan tumbuhnya budaya Indis di lingkungan masyarakat,
terutama kalangan bangsawan keraton (Handinoto, 2004).
Kebudayaan Indis yang berkembang di wilayah pedalaman bukan hanya
menyangkut pola dan gaya hidup semata, tetapi berpengaruh pula terhadap bentuk
arsitektur rumah tradisional, utamanya adalah rumah-rumah milik bangsawan
keraton.
Arsitektur Indis merupakan hasil dari proses akulturasi kebudayaan yang
belangsung panjang dan intensif antara arsitektur tradisional Jawa dengan
arsitektur Eropa. Perkembangan arsitektur di Surakarta sama seperti halnya
perkembangan arsitektur di Hindia Belanda yang dibagi kedalam beberapa tahap
perkembangan atau periodisasi, arsitektur yang berkembang di Hindia Belanda
awalnya masih mencirikan arsitektur negara asal yaitu Belanda, kemudaian
lambat laun arsitektur bangunan menyesuaikan dengan alam dan kebudayaan
masyrakat Jawa.
Periodesasi arsitektur kolonial di Hindia Belanda pada umumnya dan
Surakarta pada khususnya , secara umum menurut Handinoto (mengutip simpulan
Helen Jessup, 1984) dibagi ke dalam empat periode sebagai berikut :

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
89

1) Abad 16 - tahun 1800an


Periode ini Indonesia masih disebut sebagai Nederland Indische
(Hindia Belanda) di bawah kekuasaan perusahaan dagang Belanda yang
bernama VOC (Vereenigde Oost Indische Compagnie). Arsitektur yang
berkembang pada periode ini masih memiliki bentuk yang tidak jelas,
bahkan kehilangan orientasinya pada bangunan tradis ional di Belanda.
Bangunan yang terbentuk berupa persegi panjang yang sempit dengan
bentuk atap yang curam, dan yang lebih buruk lagi, bangunan-bangunan
tersebut tidak diusahakan untuk beradaptasi dengan iklim dan lingkungan
setempat.
2) Tahun 1800 – 1902an
P eriode ini pemerintah kolonial Belanda mengambil alih Hindia
Belanda dari perusahaan dagang VOC. Pengambilalihan kekuasaan tersebut
akibat dari kekalahan perang dengan Perancis sehingga mengubah kebijakan
politik negeri Belanda. Hindia Belanda kemudian sepenuhnya dikuasai oleh
pemerintah Belanda. Kekuasaan Belanda pada waktu itu bertujuan untuk
memperkuat kedudukan ekonomi negeri Belanda. Oleh sebab itu, Belanda
pada abad ke -19 harus memperkuat statusnya sebagai kaum kolonialis
dengan membangun gedung-gedung yang berkesan grandeur (megah) di
Hindia Belanda. Bangunan gedung dengan gaya megah ini dipinjam dari
gaya arsitektur neo-klasik , yang sebenarnya berasal dari Perancis dan
berlainan dengan gaya arsitektur nasional Belanda waktu itu.
Gaya ini tidak diterapkan secara murni, tetapi digabungkan dengan
kondisi iklim dan material bangunan yang tersedia di indonesia. Akhirnya
terbentuk sebuah aliran arsitektur tersendiri yang berbeda dari neo -klasik .
Aliran ini lebih dikenal dengan sebutan the Empire Style atau The Ducth
Colonial Villa.
Ciri dari bangunan dengan gaya the Empire Style atau The Ducth
Colonial Villa adalah denah yang simetris, satu lantai dan ditutup dengan
atap perisai. Karakteristik lain dari gaya ini diantaranya terbuka. Ciri khas
dari gaya arsitektur ini yaitu adanya barisan pilar atau kolom (bergaya
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
90

Yunani) yang menjulang ke atas serta terdapat gevel dan mahkota di atas
serambi depan dan belakang. Serambi belakang seringkali digunakan
sebagai ruang makan dan pada bagian belakangnya dihubungka n dengan
daerah servis.
3) Tahun 1902 - 1920an
Pada periode ini, kekuasaan Perancis di Belanda berhasil
ditumbangkan, hal ini berakibat pada adanya kebijakan baru dalam politik
Belanda untuk daerah jajahan Hindia Belanda. Kaum Liberal di Belanda
meminta pemerintah Belanda melakukan politik balas budi (Politik Etis )
terhadap Indonesia, politik etis ini menyebabkan pemukiman orang Belanda
semakin cepat berkembang dan menyebabkan Indis Architectuur (Arsitektur
Indis) menjadi terdesak. Ciri khas pada banguan di periode ini adalah
memiliki denah tipis, bentuk bangunan ramping agar cross-ventilation
mudah diterpakan. Terdapat galeri atau serambi di bagian tepi bangunan
untuk menghindari tempias dan sinar matahari.
Bangunan berorientasi utara-selatan agar cahaya ma tahari dapat masuk
ke dalam ruangan. Penerapan konsep vernacular telah dilakukan arsitek
pada periode ini untuk menyesuaikan bangunan dengan kondisi iklim di
Indonesia yang tropis basah.
4) Tahun 1920-1940an
Periode ini ditandai dengan muncul gerakan pembarua n dalam
arsitektur, baik nasional maupun internasional di Belanda yang kemudian
memengaruhi arsitektur kolonial di Indonesia. Hanya saja arsitektur baru
tersebut kadang-kadang diikuti secara langsung, tetapi kadang-kadang juga
muncul gaya yang disebut sebagai ekletisisme (gaya campuran), termasuk di
dalamnya adalah gaya atau langgam art deco .
Tahun 1920-1940an perkembangan arsitektur yang memadukan unsur
tradisional dalam membangun suatu bangunan, hal ini dikarenakan pada
masa tersebut muncul arsitek Belanda yang memandang perlu untuk
memberi ciri khas pada arsitektur Hindia Belanda, yaitu mengambil budaya
lokal Indonesia (1996: 130).
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
91

Kolonialisme Belanda menyebabkan Indonesia mengalami pengaruh


Occidental (Barat) dalam berbagai segi kehidupan termasuk kebudayaan dan
beberapa hasil kebudayaan. Hal tersebut antara lain dapat dilihat dalam bentuk
kota dan bangunan, pengaruh tersebut ditandai dengan muncul serta
bekembangnya bangunan Indis di Indonesia.
Arsitektur kolonial di Indonesia adalah fenomena budaya ya ng unik, tidak
terdapat dilain tempat, bahkan pada negara-negara bekas koloni Belanda lainnya.
Dikatakan demikian karena terjadi percampuran budaya antara penjajah Belanda
dengan budaya Indonesia yang beraneka ragam (Sumaloyo, 1993)
Arsitektur Indis di Hindia-Belanda pada masa VOC, pada awalnya
berkembang mengikuti gaya arsitektur Belanda, secara umum rumah-rumah yang
dibangun oleh para pejabat pemerintahaan Belanda belum dapat mencirikan
arsitektur khas Belanda dan dapat beradaptasi dengan lingkungan ala m dan iklim
tropis yang ada di Jawa sehingga buruk bagi kesehatan. Hellen Jessup (1986),
menyatakan bahwa;
In these genuinely colonial conditions, Indies architecture of the nineteenth
century tended less to reflect its Netherlands roots, as the structures of the
transitory VOC traders among many examples of monumental colonial
buildings of this type. Had and more to stress the ideas of grandeur
commen surate with ruler status. The buildings typifying this period did not
draw on the consciously Dutch revivalism (hlm. 139).
(Pada hakekatnya, dalam kondisi penjajahan saat ini, Arsitektur Indis pada
abad kesembilanbelas kurang menggambarkan diri mereka sendiri, sebagai
pedagang VOC. Banyak contoh monumen bangunan kolonnial Belanda
yang cenderung berbeda, dan lebih sering mengeluarkan ide-ide yang
menekankan komentar yan bagus dengan berstatment peraturan. Bangunan
yang ada pada saat ini tidak lagi dirawat, tanpa disadari oleh orang-orang
mereka sendiri) (hlm.139).

Seiring dengan perkembangan waktu, arsitektur Indis di Indonesia


mengalami perkembangan sehingga menghasilkan arsitektur yang dapat
beradaptasi dengan lingkungan dan alam tropis Indonesia. Adaptasi arsitektur
yang paling signifikan muncul dalam desain atap dan façade bentuk bangunan
yang besar.
Arsitektur Indis adalah sebuah jawaban dari tantangan alam tropis yang ada
di Jawa, penyesuaian iklim disesuaikan dengan bentuk rumah yang dihuni dengan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
92

alam Jawa. Arsitektur Indis adalah arsitektur perpaduan antara arsitektur Eropa
dengan arsitektur Jawa. Penentuan sebuah gaya arsitektur rumah Indis yang
berkembang di Jawa, tidak dapat dilihat dari tahun dimana bangunan itu berdiri
(wawancara Bapak M. Muqqofa, pada tanggal 8 Juli 2013). Lebih lanjut lihat CL
4 pada lampiran halaman 215.
Arsitektur bangunan rumah di Jawa pada umumnya dan Surakarta pada
khusunya, jauh sebelum kedatangaan bangsa Belanda masih menerapkan
arsitektur tradisional Jawa. Arsitektur Jawa yang terkenal adalah bentuk rumah
joglo, yang tidak lain sebenarnya hanya sebagai salah satu bentuk atap pada
rumah jawa bukan bentuk bangunannya.
Atap rumah dalam arsitektur Jawa dijadikan sebuah identitas atau ciri dari
pemilik bangunan rumah tersebut dan atap Joglo merupakan gaya atap yang
tekenal dalam arsitektur Jawa. Secara umum berkaitan denga n bentuk atap pada
rumah tradisonal Jawa dibagi kedalam lima bentuk atap.
Perubahan politik yang terjadi di negeri Belanda menyebabkan adanya suatu
tuntutan politik etis dan perkembangan perusahaan swasta, menyebabkan adanya
suatu urbanisasi besar -besaran orang-orang Eropa ke Hindia Belanda.
Meningkatnya jumla h perusahan bekorelasi terhadap kebutuhan tenaga kerja baik
tenaga kasar, menengah ataupun profesional yang dibutiuhkan. Perusahaan-
perusahaan swasta asing, mendorong terciptanya golongan sosial baru yaitu
golongan priyayi. Golongan baru hasil pengangkatan pemerintah Belanda ini
berperan besar pada perkembangan ke budayaan Indis pada awal abad XX.
Meningkatnya status dan kesejahteraan seseorang menuntut adanya
perubahan gaya hidup yang baru, seperti penggunaan bahasa, cara berpakaian,
cara makan, kelengkapan perabot alat rumah tangga, mata pencaharian hidup,
kesenian, kepercayaan atau agama, dan menghargai waktu. Disini terjadi
pertukaran yaitu manusia Jawa memasuki lingkungan budaya Eropa dan juga
sebaliknya dan merupakan embrio dari kebudyaan Indis di Surakarta, termasuk
didalamnya adalah perubahan rumah tinggal dari arsitektur tradisional ke
arsitektur yang lebih modern yaitu pembangunan rumah loji.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
93

Arsitektur Indis yang berkembang di Hindia-Belanda pada umumnya dan


Surakarta pada khususnya sebelum tahun 1900an masih berorientasi kepada gaya
bangunan yang berada di Eropa khususnya Perancis, yang sudah menyesuaikan
dengan iklim dan keadaaan lingkungan alam Penerapan gaya arsitektur Indis di
Surakarta pada periode ini masih menerpakan gaya arsitektur Indisch Empire
Sty le, yang termasuk gaya arsitektur neo-klasik . Gaya arsitektur Indisch Empire
Sty le merupakan gaya yang diibawa oleh Gubernur Jendral Deandels (Handinoto
& Paulus, 1996).
Struktur bangunan Indis di Surakarta secara umum berbentuk simetris, pada
bagian dalam rumah tersebut terbagi kedalam beberapa ruang yang memiliki
fungsi sendiri-sendiri. Pada rumah Indis pembagian ruang didasarkan pada
pembedaan umur, jenis kelamin, generasi, famili, dan lain-lain. Hal seperti ini
tidak ditemukan pada struktur bangunan rumah tradisional Jawa. Selain itu
dirumah Indis ini fungsi dari tiap-tiap ruang diatur seketat mungkin agar privasi
dari tiap-tiap individ u dalam rumah tersebut terjamin .

Publik
Veranda/ Beranda / Teras Depan

Privat

Beranda Belakang

Gambar. 4.3. Façade Denah Ruang Rumah Gaya Indische Empire Style yang
Berorientasi Keluar dan Kedalam
(Sumber: Samuel Hartono & Handinoto, 2006 : 84; Mahardika,
2010: 46 ).
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
94

Gaya arsitektur Indisch Empire Style memilki denah ruang yang berorientasi
ke luar da n ke dalam. Ciri khas dari bangunan-bangunan Indis ini adalah adanya
halaman yang luas dengan bangunan besar yang memiliki tiang-tiang dan kolom-
kolom besar di depannya. Hal ini untuk memberikan kesan mewah, megah, dan
wibawa dari golongan orang-orang Eropa sebagai penguasa di tanah jajahannya.
Kesenangan masyarakat Indis adalah melakukan hal-hal yang menunjukkan
kemewahan dengan mengadakan perjamuan-perjamuan, pesta-pesta dansa. Hal
tersebut menjadikan struktur bangunan Indis harus mampu mewakili aktifitas
penghuninya, oleh karena itu ruangan dalam rumah Indis dibagi menurut
fungsinya masing-masing (Soekiman, 2000).
Perpaduan unsur Eropa dengan unsur tradisional yang dapat ditelusuri lewat
adanya beranda depan, samping, belakang, serta taman yang luas yang
melatarinya. Nuansa alam Jawa yang sejuk tergambar dengan berbagai tumbuhan,
biasanya tanaman yang ditanam adalah tanaman khas Indonesia berupa tanaman
obat tradisional, hadirnya tanaman-tanaman ini menambah kesejukan rumah
bergaya Indische Empire Style (Handinoto, 1994).
Perkembangan gaya bangunan Indische Empire Style di Surakarta
dipengaruhi oleh faktor politik pemerintah kolonial Belanda sebagai penguasa di
Jawa. Kekuasaan menjadikan para pejabat pemerintah Eropa sebagai penguasa
ingin menampilkan diri dengan kesan mewah, gagah dan berwibawa sebagai
penguasa dan berbeda dengan masyarakat sekitar.
Rumah bergaya Indisch Empire Style di Surakarta , dapat dilihat pada
bangunan rumah Agustinus De Zentje seorang pengusaha pekebunan di Surakarta
pada waktu itu. Loji Gandrung, dewasa ini digunakan sebagai rumah dinas
Walikota Surakarta yang terletak di pusat kota Surakarta, tepatnya di kawasan
jalan utama Slamet Riyadi.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
95

Gambar. 4.4. Loji Gandrung (Rumah Dinas Walikota Surakarta) Merupakan


Salah Satu Bangunan Indis dengan Gaya Empire Style
(Sumber : Dokumentasi Pribadi, 25 Juni 2013)

Bangunan dengan ciri Indische Empire ditampilkan melalui penataan


ruangan dan kolom Doria yang menghiasi serambi depan Bangunan rumah pada
era ini terlihat mewah, kemewahan bangunan ini terlihat dari banyaknya ragam
hias yang dipasang di rumah tersebut.
Ukuran atap yang lebih luas dan tinggi dimaksudkan agar rumah menjadi
lebih teduh dari panasnya sinar matahari. Demikian pula dengan adanya teras
disekeliling rumah ya ng menjadi isolator panas matahari agar tidak langsung
menerpa bangunan rumah.Selain itu, Bangunan-bangunan yang bercorak Indische
Empire di Surakarta antara lain seperti Balaikota lama, Gereja Protestan, dan
rumah-rumah di Loji Wetan.
Awal abad 20 unsur-unsur gaya Indis telah masuk kedalam gaya arsitektur
tradisional, terutama pada rumah-rumah milik bangsawan dan para pengusaha
kaya pribumi. Pada rumah bangsawan pribumi contoh unsur gaya Indis dapat
dilihat pada bangunan Dalem Sasonomulyo dan Dalem Wuryoningrat. Pada dalem
Sasonomulyo corak Indis dapat dilihat dari bangunan lojen dan kopel. Bangunan
lojen tersebut dulunya dipergunakan sebagai tempat menjamu para pejabat
Belanda. Sementara pada dalem Wuryoningrat dapat dilihat dari ornamen-
ornamen yang terdapat pada rumah ini. Contohnya adalah ornamen yang terdapat

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
96

pada batang tiang penyangga rumah yang bergaya Eropa klasik (Prasangka,
2005).
Proses perubahan bentuk bangunan tradisional menjadi bangunan dengan
arsitektur modern tersebut terjadi karena berbaga i faktor. Faktor tersebut antara
lain seperti kondisi alam, kontak sosial, ekonomi, budaya dan politik.
Perkembanga n arsitektur Indis di Surakarta, bisa ditinjau berdasarkan
perkembangan kota Surakarta dan kebijakan politk pada masa pemerintahan
kolonial Belanda.
Perkembangan suatu kota akan sangat tergantung kepada banyak faktor,
seperti letak geografi, sosial, ekonomi, budaya masyarakat dan sebagainya.
Namun yang paling menentukan dalam perkembangan kota adalah faktor
manusianya. Menjelang peralihan abad IXX ke abad XX di Hindia -Belanda,
khususnya Jawa banyak sekali mengalami perubahan dalam masyarakat. Akibat
kebijakan politik pemerintah pada waktu itu mendorong terjadinya perubahan
bentuk tata kota yang di dalamnya secara tidak langsung mencakup pula bentuk
arsitektur (wawancara Bapak Muqqofa, pada tanggal 8 Juli 2013). Lebih lanjut
lihat CL 4 pada lampiran halaman 215.
Perkembangan dan perluasan kota -kota besar di Jawa terutama di Surakarta
menimbulkan kesulitan akan kekurangan rumah tempat tinggal bagi penduduk
kota. Hal ini menyebabkan pembanguan rumah bergaya Empire Style mulai
berkurang, karena tidak tersedianya lahan dan menunjukan pemababakan baru
dalam sejarah arsitektur Indis di Surakarta yang terjadi setelah tahun 1900an.
Berkurangnaya bangunan Indis bergaya Empire Style disamping berkurangnya
lahan akibat ledakan penduduk di Surakarta juga disebabkan oleh mahalnya harga
tanah di pusat kota serta adanya zaman Malaise dan pecahnya Perang Dunia
(Soekiman, 2000).
Rumah tradisional Jawa merupakan ha sil budaya yang syarat dengan
simbol-simbol, baik itu dalam bentuk religi, adat-istiadat, dan tradisi. Semua ini
menunjukkan bahwa dalam budaya Jawa hasil karya kebudayaan fisik tidak saja
mengandung fungsi kegunaan, melainkan juga fungsi simbolis dan religius.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
97

Masuknya budaya arsitektur Eropa tidak merubah tatanan rumah tradisonal Jawa
terutama dari pola ruang yang khas ada dirumah tradisional.
Bangunan rumah tradisional Jawa pada abad ke XX, sudah banyak yang
dibangun baru dan sedikit banyak sudah dipenga ruhi oleh unsur -unsur arsitektur
Barat, walaupun bentuknya masih tradisional, yaitu bangunan dengan atap
limasan atau joglo.
Masyarakat golongan Belanda dan Eropa lainnya dalam membangun rumah
beraristektur Indis telah memikirkan secara mendalam pembagia n ruang-ruang
dalam tempat tinggalnya. Fungsi dari tiap-tiap bagian ditata dengan baik. Secara
fungsional struktur bangunan Indis selain menjadi rumah tinggal juga mewakili
aktifitas dari penghuninya. (wawancara Bapak Muqqofa, pada tanggal 8 Juli
2013). Lebih lanjut lihat CL 4 pada lampiran halaman 215.
Rumah berarsitektur Indis memilki karakter bangunan yang meneysuaikan
dengan keadaan alam Pulau Jawa, hal ini diterapka n dalam pola tata ruang dan
banyaknya sistem bukaan dalam rumah Indis serta bentuk rumah besar dengan
yang simetris. Pengaruh-pengaruh Eropa lainnya terlihat pada ornamen-ornamen
yang menempel pada tubuh bangunan, sepert i ornamen pada tiang penyangga
(Hartono & Handinoto, 2006).
Ornamen-ornamen pada tiang tersebut bergaya klasik, selain itu batang tiang
yang disebut sebagai saka guru, saka rawa, dan saka emper banyak yang sudah
tidak lagi terbuat dari kayu, namun diganti dengan pilar -pilar yang di cor dari batu
dan semen.
Halaman yang luas disekitar pendapa dan dalem ageng , dengan masuknya
budaya Belanda maka ruangan-ruangan yang luas tersebut didirikan bangunan-
bangunan baru seperti lojen, pavilyun, dan kopel. Pavilyun dan lojen biasanya
dipergunakan untuk menjamu pejabat Belanda yang datang berkunjung
(wawancara Bapak Muqoffa, 8 Juli 2013). Lebih lanjut lihat CL 4 pada lampiran
halaman 215.
Arsitektur bukan sebuah bangunan atau monumen yang tanpa jiwa.
Arsitektur rumah tinggal sebagai hasil budaya merupakan perpaduan karya seni
dan pengetahuan tentang bangunan, sehingga arsitektur juga membicarakan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
98

berbagai aspek keindahan dalam kontruksi bangunan. Keindahan pada banguan


tersebut ditandaidengan penempatan ornamen-ornamen penghias rumah, yang
memilki keindahan serta makna simbolis tertentu sesuai dengan keadaan pemilik
dari bangunan tersebut.
Masyarakat Belanda pada umumnya sangat menguasai dan mencintai karya-
karya pertukangan hingga pada detail-detailnya. Hal ini terlihat dari penggunaaan
ornament pada rumah tinggalnya yang begitu indah. Elemen-elemen yang dapat
digunakan untuk mengidentifikasi karakter ragam hias muka bangunan pada
banguan kolonial antara lain penunjuk arah tiupan angin (windwijzer), kolom
(pilar), gevel, geveltoppen, pagar serambi (stoep), tower, bovenlicht, serta hiasan
puncak atap (nok acroterie) dan cerobong asap semu (Zulkiflianto, 2010).
Hiasan pada bangunan rumah rumah pada dasarnya ada dua macam, yaitu
hiasan yang kontruksional dan hiasan yang tidak kontruksional. Yang dimaksud
hiasan konstruksional ialah hiasan yang jadi satu dengan bangunannya. Jadi ini
tidak dapat dilepas dari bangunannya. Contohnya adalah pilar -pilar pada
bangunan. Sedangkan hiasan yang tidak konstruksional ialah hiasan bangunan
yang dapat terlepas dari bangunannya dan tidak berpengaruh apa -apa terhadap
kontruksi bangunan. Contohnya lampu gantung dan meubelair (Dakung, 1981).
Rumah tempat tinggal para pejabat Eropa (Belanda), di Surakarta memilki
detail ornamen yang sama dengan perkembangan arsitektur Kolonial yang ada di
Jawa. Ornamen pada bangunan rumah berarsite ktur Indis berkembang di Hindia-
Belanda merupakan perpaduan dua kebudayaan yang unik karena tidak terdapat
di daerah koloni lain. Pemberian ornamen biasanya pada bangunan ditempatkan di
tiang penyangga atau pilar-pilar rumah dan di bagian atap atau kemuncuk. Berikut
dijelaskan secara umum beberapa ornamen penghias yang terdapat pada banguan
Indis di Surakarta.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
99

a) Ornamen pada Tiang Penyangga


Ciri menonjol yang menandakan banguan tersebut termasuk kedalam gaya
bangunan Indis bisa dilihat dari tiang-tiang atau pilar pilar yang menjulang tinggi
di sekeliling bangunan dan difungsikan sebagai menopang bangunan.
Pilar-pilar atau tiang pada bangunan Indis merupakan tirua n dari pilar
yang berkembang pada istana-itsana di Yunani dan Romawi, hal ini dimaksudkan
sebagai symbol dari kekuasaan dan kekuatan. Tiang pada banguan Indis memiliki
beberapa gaya antara lain menggunakan gaya Doria, Ionia, dan Korinthia, yang
tersusun atas kepala, tubuh, dan kaki tiang (soubasement). Masing-masing gaya
memiliki arti dan lambang tersendiri. Tiang-tiang ini banyak dipergunakan dalam
bangunan rumah dewa (kuil) masa Yunani dan Romawi kuno, kemudian
dipergunakan juga dalam bangunan-bangunan dari masa Renaissance (Soekiman,
2000).

a b

Gambar 4.5 Beberapa Bentuk Pilar atau Tiang pada Bangunan Indis: a; Tiang
Doria, b ; Tiang Ionia, c; Tiang Corinthian
(Sumber: Soekiman, 2000 : 304).

Penggunaan tiang gaya Doria, Korintia, dan Ionia, berhubungan dengan


perkembangan arsitektur di Eropa abad 17. Pada sekitar tahun 1660-1760
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
100

arsitektur yang berkembang pada masa ini adalah arsitektur Barock. Pada zaman
Barock arsitektur manjadi sebuah karya seni yang utama, dengan mengunakan
lukisan dan ukiran yang merupakan elemen dari keseluruhan bangunan. Tema
dasarnya adalah bangunan yang memusat pada mahkota kubah yang digabung
dengan bangunan memanjang. Barock menyatukan berbagai unsur gaya tiang
pada bangunan, yang pada zaman Renaissance bagian tiang dipisahkan
berdasarkan ruang-ruang pada struktur bangunan (Budiono, 1997).
Penggunaan tiang Doria, Ionia, Corinthian, biasanya di pakai untuk
bangunan-bangunan pemerintahan dan tempat tinggal pejabat Kolonial Belanda,
seperti Gubernur, Residen, Assisten Residen, Bupati dan kontrolir di wilayah dan
pengusaha-pengusaha Belanda karena lebih indah dan banyak memiliki detail,
khususnya tiang gaya Ionia dan Corinthian. Tiang Doria merupakan bentuk tiang
paling sederhana diantara ketiga tiang tersebut. Tiang Ionia lebih ringan dan
terkesan feminism, memiliki bentuk dua buah kepala tiang, berbentuk lengkung
yang saling membelakangi (volutes). Tiang Corinthian merupakan yang paling
rumit dari ketiga tiang tersebut, bentuk kolomnya lebih langsing dan kepala
kolomnya berbentuk dua susun daun-daun Acanthus (Zulkiflianto, 2010).
Tiang yang bergaya Doria memiliki simbol kekuatan, sesuai dengan jiwa
bangsa Doria yang berjiwa militer. Gaya Doria menghendaki bentuk bangunan
yang diciptakan tampak kokoh, kuat, perkasa, sekaligus juga dapat dijadikan
sebagai lambang kekuasaan, dengan demiian gaya Doria sangat cocok sebagai
hiasan bangunan pemerintah atau pe nguasa. Gaya Doria banyak dipilih karena
memiliki proporsi yang kokoh dan terkesan maskulin. gaya Korintian dan gaya
Ionia yang penuh garis -garis halus pencerminan kelembutan (Soekiman, 2000).
Pengguaan tiang gaya Doria, Korintia, dan Ionia menunjukan gaya
bangunan yang dijadikan alat untuk pencerminan kekuasaan melalui bangunan
tempat tinggalnya. Sehingga apabila masyarakat umum melihat bangunan tersebut
mereka dapat langsung mengetahui bahwa yang bertempat tinggal dirumah
tersebut adalah orang yang memiliki kekuasaan dan dihormati.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
101

b) Ornamen pada Atap atau Hiasan Kemucuk


Kehadiran bangsa-bangsa Eropa di Indonesia sejak awal abad XVI
mempengaruhi berbagai unsur kebudayaan termassuk didalamnya adalah
arsitektur bangunan rumah beserta bagian-bagiannya. Faktor orang-orang Belanda
sangat menghargai suatu karya seni menjadi salah satu faktor keindahan banguan-
banguan Indis di Indonesia, keindahan ornament ditempatkan masyarajkat
Belanda pada berbagai sisi bangunan tidak terkecuali pada atap banguan.
Masyarakat Jawa pada umumnya tidak terlalu memperhatikan hiasan-hiasan
yang terdapat pada bagian puncak rumah mereka. Selain pada bangunan-
bangunan rumah ibadah, hiasan kemuncak tidak terlalu mendapat tempat yang
spesial pada pembangunan sebuah rumah di Jawa. Berbeda dengan masyarakat
Kolonial Belanda, yang sangat memperhatikan hiasan atap rumah, karena memilki
makna dan arti simbolis dalam kehidupan masyarakat Belanda (Sujayanto, 2000).
Bangunan rumah bergaya Indis di Indonesia masih banyak yang
mengguankan hiasan-hiasan dan lambang-lambang pada atap bangunan, tetapi
lambang-lambang dan makna-makna yang terkandung dari berbagai macam
ragam hias tersebut sudah kehilangan maknanya. Ragam-ragam tersebut hanya
dijadikan sebuah hiasan penghias rumah belaka, sehingga terjadi keterputusasaan
budaya (missing link) antara budaya asli di negeri Belanda dengan budaya di
negeri jajahannya Hindia-Belanda (Soekiman, 2000).
Beberapa macam ragam hias yang menghiasi atap bangunan Indis pada
umumnya berupa Penunjuk Arah Angin (Windwijzer), Makelaar, gevel,tower dan
Hiasan dari Kaca. Di wilayah Surakarta Ragam hias tersebut masih tetap
dipertahankan sampai sekarang sebagai penentu c iri dari banguan bekas Kolonial
Belanda, walaupun hiasan-hiasan tersebut sudah tidak bisa berfungsi dengan
benar. Berikut dijelaska n beberapa hiasan atap atau hia san kemucuk yang ada pada
banguan Indis di Jawa pada umumnya dan di Surakarta khususnya.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
102

(1) Penunjuk Arah Angin (Windwijzer)


Penunjuk arah tiupan angin disebut juga windwijzer, biasanya di
negeri Belanda sesuai dengan pekerjaan atau lambang keluarga pemilik
bangunan. Pada umumnya, windwijzer terbuat dari logam dengan warna
merah menyala yang dapat terlihat dari kejauhan, seperti warna merah
metalik atau keemasan.
Penunjuk arah mata angin (windwijzer) atau tadhah angin ini di
negeri Belanda bermacam-macam bentuknya, seringkali menunjukkan
macam usaha dan pekerjaan dari pemilik rumah, berbentuk ayam jago,
bendera dan lain sebagiannya.
Seiring dengan perkembangan jaman, pada abad pertengahan di
Belanda tidak semua orang dapat dengan sekehendak hati membuat hiasan
ini, karena dikeluarkan ketentuan-ketentuan tertentu oleh penguasa, baik
tentang bentuknya maupun perwujudannya. Misalnya seorang ridder
(bangsawan) di atas puncak istananya dengan windwijzer berbentuk seperti
bendera, sedang untuk baanderheer (pejabat biasa) menggunakan
penunjuk arah berbentuk persegi empat. Pada abad XV bangsawan-
bangsawan tinggi menaruhkan pada ujung tongkatnya windwijzer dengan
hiasan mahkota. Ada pula yang menaruh hia san berwarna keperakan pada
sisi sudut persegi empat diisi dengan hiasan rozet, tetapi lazimnya diisi
dengan lambang keluarga pemiliknya. (Sujayanto, 2000).
Hiasan penunjuk arah mata angin pada banguan Indis yang ada di
Jawa bukan merupakan perlambang kekuasaaan atau memilki makna
tertentu, hiasan tersebut hanya sekedar hiasan tanpa arti kecuali ornamen
yang membuat indah suatu bangunan.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
103

Gambar 4. 6 a; Contoh bentuk Hiasan Kemucuk Berupa Penunjuk Arah Mata


Angin yang berada di Negeri Belanda, b; Hiasan Kemucuk pada
Panggung Sanggabuwana Keraton Surakarta Hadiningrat.
(Sumber: Soekiman, 2000 : 278; KITLV).

Penunjuk arah angin angin ini biasanya diletakan diatas sebuah


kubah kecil yang terdapat dipuncak bangunan. Hiasan penunjuk arah angin
ini di Surakarta terdapat pada banguan gedung Bank Indonesia dan pada
atap Panggung Sanggabuwana di Keraton Surakarta Hadiningrat.
Keberadaan hiasan windwijzer pada bangunan keraton menunjukan
kebudayaan Indis juga merambah ke lingkungan keraton.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
104

Hiasan kemunc uk pada rumah-rumah Indis di pulau Jawa umumnya


dan di Surakarta khususnya tidak terlalu kaya. Hal ini bertolak belakang
dengan dinegeri asalnya yang mana tiap-tiap rumah saling bersaing dalam
menghias rumahnya. Hal ini dikarenakan akibat tekanan ekonomi atau
kemiskinan jaman Malaise dan akibat Perang Dunia I (Soekiman, 2000).

(2) Makelaar
Ornamen yang terdapat pada atap bangunan Indis selanjutnya yaitu
makelaar. Makellar yaitu papan kayu berukir yang berukuran panjang
sekitar 2 meter dan ditempelkan secara vertikal dan diwujudkan berupa
pohon palem atau orang dengan tangan menengadah, dan juga berbentuk
hewan angsa yang diletakan saling membelakangi.
Hiasan ini terdapat didepan rumah (geveltoppen) yang disebut
voorschot, yaitu bentuk segitiga yang terdapat didepan rumah. Biasanya
merupakan atap dari teras. Pada beberapa bangunan Indis banyak
menggunakan hiasan makelaar, hiasan makellar yang sulit dilacak arti
simboliknya, tetapi secara umum hiasan makelaar ini melambangkan roh-
roh baik dan ja hat sesuai dengan kepercayaan masyarakat. (Soekiman,
2000).
Hiasan makellar di Belanda memilki berbagai bentuk yang
disesuaikan dengan perkembangan jaman dan mata pencaharian
masyarakat di negeri Belanda , misalkan lambang dari masa pra kristen
yang diwujudkan dalam bentuk pohon hayat, kepala kuda, roda matahari
dan lambang pada masa kristenan berupa bentuk salib dan hati, sedangkan
Roma Katolik berupa miskelk dan hostle .
Bangunan rumah Indis bebrapa memilki ragam hias yang
dipahatkan pada makelaar seringkali berupa hiasan yang diukir berupa
huruf yang distilisasi sehingga menjadi motif ragam hias (runenschrifti),
yang memilki makna tertentu, biasanya sebagai lambang keselamatan dan
kemakmuran. Misalkan Lambang Manrune, mengandung arti simbolik

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
105

kesuburan, seringkali diwujudkan dalam bentuk gambar huruf M dan


gamabar bunga tulip atau leli (Zulkiflianto, 2010).
Selain stilisasi berbentuk huruf dan bunga, ragam hias yang
dipahatkan juga berupa binatang angsa berjumlah dua, dikenal dengan
istilah Oelebord yang diletakan bertolak belakang, Oelebord ini bagi
masyarakat Belanda memiliki makna simbolik berupa pembawa sinar
terang atau pemilik wilayah .
Hiasan Makelaar pada rumah-rumah di negeri asalnya yaitu
Belanda, sesungguhnya mempunyai arti simbolis tertentu. Setelah
diadaptasi pada banguan Indis yang berada di Indonesia, sama seperti juga
hiasan-hiasan lainnya pada rumah Indis, makna -makna tersebut sudah
hilang. Hiasan hanyalah sebagai hiasan tanpa makna hanya sekedar
pelengkap keindahan bangunan (Soekiman, 2000).

Gambar 4.7. Bentuk Hiasan Kemucuk Berupa Makellar, Gambar Atas


Menunjukkan Lambang Masa Kristen Berbentuk Salib dan
gambar bawah Berbentuk Seperti Binatang Angsa yang
Ditempatkan Saling Membelakangi atau Biasa Disebut
Oelebord
(Sumber: Soekiman, 2000 : 295-297)

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
106

(3) Gavel, Domer, dan Tower


Bangunan Indis dicirikan dengan bentuk bangunan dan atap yang
tinggi dan tingkat kemiringan sampai 40°. Pada atap terdapat elemen
hiasan berupa gavel, Domer, dan Tower .
Ornamen gavel menurut Harris (1996); Soemalyo (1993), gevel
merupakan sebagai bagian berbentuk segitiga yang terletak pada dinding
samping, di bawah condongan atap. Bentuk gavel pada umumnya
diletakan di depan bangunan dan memilki berbagai bentuk seperti
Curvilinear Gable, Stepped Gable.
Domer merupakan semacam jendela atap yang menjadi komponen
pencahayaan dan sirkulasi penghawaan dengan penerapan konsep
vernacular. Biasanya domer diletakan di sisi-sisi atap. Penggunaan domer
sebagai akibat dari adanya kesadaaran arsitek untuk menyesuaikan bentuk
banguan dengan keadaan iklim Indonesia (Zulkiflianto, 2010).

c
Gambar 4.8 Hiasan Kemucuk Berbentuk a; Gevel, b; Domer, c; Bentuk
Tower pada bangunan Indis di Surakarta.
(Sumber: Dokumentasi Pribadi, 18 Mei 2013)
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
107

Bangunan-bangua n yang menggunakan tower atau menara di negeri


Belanda pada awalnya terbatas hanya pada banguanan gereja. Kemudian
bentuk tower ini diadaptasi ke bangunan umum. Secara makna fungsi
menara untuk mengalirkan udara panas dari bawah (ruangan) ke atas.
Variasi tower berupa bentuk bulat, segi empat ramping, dan ada pula yang
dikombinasikan dengan gevel depan (Samsudi, 2000).
Keberadaan Gavel, Domer dan Tower memiliki fungsi sebagai
penyesuaian dengan kondisi iklim tropis di Jawa. Arsitektur Eropa ataupun
Belanda banyak dipengaruhi oleh hal-hal yang bersifat rasional. Penghuni
rumah berusaha untuk seoptimal mungkin untuk memanfaatkan tiap
bagian bangunan. Dengan hadirnya suatu Gavel, Tower dan Domer pada
bagian lantai paling atas ini dapat digunakan sebagai lonteng, tempat tidur
maupun ruang yang lain.

(4) Hiasan dari Kaca Patri (glass in lood)


Hiasan dari kaca yang berwarna dan menempel pada tubuh bangunan
(glass in lood), pada awalnya merupakan ornamen-ornamen yang banyak
terdapat di gereja-gereja zaman klasik Eropa. Gereja -gereja yang dibangun
pada masa ini walaupun terlihat keramat dari luar, namun kemegahan dan
keindahan terdapat didalamnya dengan adanya pantulan cahaya matahari
oleh kaca emas warna-warni sehingga menimbulkan mozaik yang indah.
Rumus dasar pembuatan kaca, mencampurkan pasir, garam, dan abu.
Kaca berwarna dibuat dengan memanasi campuran ini sampai cair, yang
kemudian diwarnai dengan oksidasi logam, tembaga untuk warna merah,
besi untuk warna kuning, kobalt untuk warna biru. Keping-keping kecil
kaca warna-warni tersebut dimasukkan dalam alur bingkai timah yang
bentuknya bermacam-macam sehingga membentuk panel. Baru setelah
panel dipasang pada jendela, tukang kaca dapat mengetahui kecerahan
warna dan kesan seluruh desain. Hiasan kaca patri pada abad pertengahan
banyak menceritakan dan melukiskan tokoh-tokoh dalam sejarah kitab
Injil serta manusia sejak penciptaan alam semesta (Soekiman, 2000).
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
108

Hiasan dari kaca pada umumnya ditempatkan pada pintu dan jendela
rumah. Bentuknya dikombinasikan dengan panel-panel kayu, tetapi ada
pula yang menempatkan hiasan kaca ini pada domer.
Melihat dari sisi sejarah pada awalnya bentuk jendela mengguanakan
penutup rotan yang dianyam seperti kursi. Cara ini didapat oleh orang-
orang Portugis dengan meniru cara orang pribumi. Kelemahan jendela
dengan penutup anyaman rotan ini ialah terbuka dan tidak dapat
melindungi ruangan dalam dari hujan dan panas matahari, juga terpaan
angin, dan apabila ditutup ruangan menjadi gelap dan pengap.
Perkembangan hiasan dari kaca tidak bisa terlepas dari
perkembangan arsitektur gaya art deco yang berkembang sekitar abad ke
XX. Mengenai definisi art deco, Handinoto, Santoso & Irawan (2012)
menyimpulkan
Art Deco adalah seni populer, gerakan desain internasional dari 1925
sampai 1940, yang mempengaruhi seni dekoratif seperti arsitektur,
desain interior, dan desain industri, serta seni visual seperti fashion,
lukisan, seni grafis, dan film. Pada saat itu, gaya ini dianggap
sebagai elegan, glamor, fungsional, dan modern (hlm. 1)

Art Deco memberika n sentuhan-sentuhan modern yang diartikan


dengan berani tampil beda dan baru, tampil lebih menarik dari yang lain
dan tidak kuno. Kesemuanya itu dimanifestasikan dengan pemilihan warna
yang mencolok, proporsi yang tidak biasa, material yang baru dan dekora si
(Tanti Johana, 2004).
Rumah tradisional Jawa dalam strukturnya, ada tempat yang disebut
tebeng, yaitu bidang segi empat yang terletak diatas pintu atau diatas
jendela. Tebeng ini dihiasi dengan ornamen yang namanya dalam bahasa
Kawi disebut sebagai warayang.
Wujud dari ornamen warayang berupa beberapa anak panah yang
distilisasi menuju kesatu titik. Secara teknis ragam hias ini berfungsi ganda
yaitu sebagai ventilasi atau jalan udara agar terjadi sirkulasi udara di dalam
rumah. selainitu juga berfungsi sebagai penambah penerangan dalam
ruangan (Dakung, 1982). Pada rumah berarsitektur Indis, hiasan warayang
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
109

yang merupakan ornamen khas arsitektur Jawa tersebut diadaptasi oleh


arsitek-arsitek belanda menjadi ornamen glass in lood untuk mempercantik
rumah dan menimbulkan kesan mewah
Awal abad 20 hiasan dari kaca (glass in lood ) mengalami
perkembangan yang sangat pesat dan mulai banyak masyarakat Surakarta
menghias rumah-rumah dengan hiasan ini. Hiasan glass in lood biasanya
ditemukan pada rumah-rumah orang kaya dan terpandang, rumah-rumah
pejabat dan saudagar-saudagar terutama di Laweyan, hiasan dari kaca ini
dibentuk dengan panel-panel yang membentuk relief tertentu biasanya
relief tumbuhan, relief gambar matahari, dengan pemakaian warna yang
terlihat mewah.

Gambar 4.9. Salah Satu Bentuk Hiasan Kaca Patri (Glass In Lood ) yang
ditempatkan pada Panel Ventilasi di Atas Pintu dan jendela
(Bovenlich ) pada Bangunan Rumah Indis milik
Poesposumartan di Laweyan.
(Sumber: Dokumentasi Pribadi, 22 Mei 2013)

Ornamen pada rumah berga ya Indis tidak terlalu mencolok, keindahan


ornamen pada bangunan selain mempercantik bangunan, juga diharapkan akan
dapat memberi ketentraman bagi yang menempatinya. Bagi kalangan pejabat dan
orang kaya, ornamen-ornamen yang terdapa t dirumah tersebut juga sebagai
sebuah simbol kedudukan yang dimiliki penghuni rumah. Arsitektur dan ornamen
Indis telah berhasil memenuhi nilai-nilai budaya yang dibutuhkan oleh penguasa
karena dianggap bisa dijadikan sebagai simbol status, keagungan, kebesaran
kekuasaan, bukan hanya bagi golongan Belanda saja tetapi juga oleh penguasa
pribumi.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
110

b. Bentuk Arsitektur dan Ornamen Indis di Kampung Laweyan


1) Persebaran Saudagar Batik dan Bentuk Rumah di Kampung Laweyan
Wilayah Kampung Batik Laweyan memiliki luas wilayah sekitar 24,83 Ha,
yang terbagi kedalam delapan kawasan yaitu Kwanggan, Sayangan Kulon,
Sayangan Wetan, Setono, Lor pasar, Kidul Pasar, Kramat dan Klaseman. Secara
administratif, kampung Laweyan terbagi kedalam 3 Rukun Warga (RW) dan 10
Rukun Tetangga (RT).
Elemen kawasan kampung Laweyan dibentuk oleh butiran masa yang saling
berdekatan dan membentuk jalan-jalan merupakan ciri lain dari pemukiman
tradis ional.Permukiman tradisional biasanya banyak dicirikan dengan munculnya
massa bangunan yang mempunyai tampak berupa dinding-dinding tertutup
menghimpit dan dikelilingi oleh gang atau jalan sempit (Priyatmono, 2004).
Pemukiman pengusaha batik berskala besar di kampung Laweyan memiliki
masa bangunan rumah yang cukup luas dan besar. Bangunan rumah tersebut
biasanya dikeli lingi oleh tembok-tembok tinggi (beteng). Dinding berhimpit dan
memiliki ketinggian yang cukup tinggi sekitar enam meter dan biasanya dimiliki
oleh rumah-rumah saudagar batik, hal ini dimaksudkan untuk menghindari
pencurian dan persaingan pr oduksi antar pengrajin batik.
Wilayah kampung Laweyan merupakan suatu perkampungan yang memiliki
penduduk homogen dalam hal mata pencaharian yaitu pengusaha dan pekerja
industri batik, hampir sebagian besar masyarakat di Laweyan berprofesi sebagai
pengusaha dan pengrajin batik.
Kawasan Kampung Laweyan, dalam hal pembagian kelompok pemukiman
terbagi kedalam dua kelompok pemukiman, yaitu kelompok pemukiman
pengusaha atau saudagar batik dan pekerja batik. Jika kawasan Laweyan dianggap
bermula dari Jalan Dr. Radjiman sebagai jalan utama, kemudaian masuk ke dalam
ke arah Sungai Kabanaran maka akan diperoleh 3 lapisan pemukiman, untuk sub
kawasan pengusaha menempati lapisan pertama dan kedua dalam kawasan,
sedangkan sub kawasan buruh menempati lapisan ketiga. Dengan demikian letak
sub kawasan buruh seolah berada di ujung belakang kawasan Laweyan,

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
111

berdekatan dengan sungai. (wawancara, Ibu Naniek Widyati, 21 Mei 2013). Lebih
lanjut lihat CL 1 pada lampiran halaman 200.
Rumah-rumah saudagar batik, yang memiliki luas rumah cukup besar
terletak di jalan utama ka mpung, yakni sepanjang Jalan Sidoluhur dan jalan Tiga
Negeri. Pemukiman berskala kecil biasanya ditempati oleh para pekerja atau
buruh batik, rumah para pekerja batik biasanya terletak masuk ke pinggiran jalan
utama atau berdekatan atau di tepi sungai Kabanaran atau sungai Jenes sekarang,
tetapi ada pula saudagar batik yang bertempat tinggal di tepi sungai (Wawancara
Bapak Alpha Febela, 4 September 2013). Lebih lanjut lihat CL 3 pada lampiran
halaman 211.
Jika digambarkan pada peta, kawasan pemukiman atau letak hunian
saudagar batik dengan pekerja batik adalah sebagai berikut:

Gambar 4. 10. Peta Pembagian Lapisan Sub Kawasan Pengusaha dan Buruh pada
Kawasan Laweyan. Lapisan 1 dan 2 dari kawasan ja lan Dr.
Radjiman merupakan kawasan pemukiman saudagar batik yang
menjorok sampai ke dalam. Lapisan 3, merupakan Lapisan pekerja
atau Buruh Batik
(Sumber : Widayati, 2002 : 241)

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
112

Kawasan Laweyan adalah suatu kawasan yang memiliki komunitas


masyarakat dengan pekerjaan sama yaitu pengusaha atau saudagar batik dan
pekerja atau buruh batik. Perubahan sebagai pusat perdagangan lawe menjadi
pusat industri batik, menjadikan kawasan Kampung Batik Laweyan dewasa ini
telah banyak perubahan, baik dari segi masyarakat ataupun dari segi arsitektur
rumah tinggal.
Masyarakat Laweyan yang masih aktif dalam produksi batik berjumlah
kurang lebih sekitar 23 pengusaha batik yang masih aktif. Usaha batik yang ada di
Laweyan biasanya adalah usaha turun temurun keluarga yang dikerjakan oleh
anak cucu saudagar batik Laweyan, baik dengan skala produksi besar maupun
skala kecil. (Wawancara Bapak Alpha Febella, 4 September 2013). Lebih lanjut
lihat CL 3 pada lampiran halaman 211.
Produksi batik yang dilakukan masayarakat Laweyan dilakukan di pabrik.
Pabrik biasanya menyatu dengan rumah sekaligus dijadikan showroom, tetapi ada
pula pengusaha batik yang hanya menggunakan rumah sebagai showroom dan
memiliki pabrik tersendiri. Persebaran rumah penduduk Laweyan yang
memproduksi batik ini hampir di seluruh kawasan kampung Laweyan .
Berikut disajikan tabe l persebaran saudagar batik yang masih aktif dalam
berproduksi di Kawasan kampung batik Laweyan, yang di olah berdasarkan
observasi di lapangan :
Tabel. 4. 3. Persebaran Pengusaha Batik yang Masih Aktif di Kampung Laweyan
No Kampung Jumlah Presentase (%)
1 Kwanggan - -
2 Sayangan Kulon 1 4,35
3 Sayangan Wetan 1 4,35
4 Setono 7 30,43
5 Kidul Pasar 6 26,09
6 Lor Pasar 4 17,39
7 Kramat - -
8 Klaseman 4 17,39
Jumlah 23 100

(Sumber : Observasi, 23 Mei 2013)


commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
113

Wilayah Kampung Setono merupakan wilayah dengan pengusaha batik


terbanyak sekitar 30 % atau berjumlah sekitar 7 pengusaha yang aktif
memproduksi batik, kemudaian disusul oleh kampung Kidul Pasar sekitar 26 %
yakni sekitar 6 pengusaha aktif dan sisanya adalah kampung Sayangan Kulon dan
Wetan masing-masing 1 pengusaha aktif, kampung Lor Pasar dan kampung
Klaseman sebanyak 4 pengusaha aktif. Kampung Kramat dan kampung
Kwanggan tidak ada pengusaha batik yang masih aktif.
Kampung Laweyan sejak masa Keraton Pajang telah terkenal sebagai pusat
perdagangan lawe (bahan baku pembuatan tenun), menginjak awal abad XX
pekembangan Industri batik di Surakarta meningkat seiring dengan ditemukannya
teknologi batik cap. Hal tersebut juga terjadi di Laweyan yang menyebabkan
hampir seluruh rumah tangga mengusahakan batik, dan bertahan hingga sekarang.
Keuntungan yang besar dari perdagangan batik digunakan oleh saudagar batik
untuk membangun rumah. Diantara para pengusaha tersebut memilki rumah-
rumah yang memilki arsitektur tradisional, baik arsitektur Jawa, campuran Jawa-
Eropa, Jawa-Islam dan arsitektur modern yang masih terawat dan masih
digunakan sebagai pabrik batik sampai sekarang.
Kajian dalam skripsi ini mengkaji tentang bagaimana bentuk dan
araistektur serta ornamen rumah saudagar batik yang bercorak Indis atau gaya
campuran Jawa-Eropa (Belanda). Dari hasil observasi diketahui ada sekitar 23
pengusaha batik yang masih aktif berproduksi dan para saudagar batik ini
memiliki rumah yang unik dari berbagai langgam arsitektur baik Jawa, Eropa
ataupun Art Deco . Dari 23 rumah yang di observasi ada sekitar 11 rumah milik
saudagar batik Laweyan yang bercorak Indis, Jawa Limasan dan Joglo.
Bangunan-bangunan tersebut, masih digunakan sebagai tempat produksi dan
showroom batik.
Bangunan rumah tersebut rata-rata sudah berusia dari 50 tahun. Pada
periode awal abad XX dimana pengaruh arsitektur Indis di adaptasi oleh saudagar
Laweyan, menghasilkan beberapa bentuk rumah loji dari berbagai bentuk gaya
Indis antara la in Art Deco , Indische Style dan Modern -Clasic serta perpaduan
dominasi ukiran dan loji.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
114

Dalam penelitian ini penulis mencoba mendeskripsikan 3 rumah saudagar


batik di Laweyan yang terpengaruh arsitektur Indis dan dianggap mewakili
periode arsitektur Indis yang berkembang di Laweyan. Riwayat 3 rumah besar
tersebut dibangun berdasarkan latar belakang yang sama, yaitu kesuksesan
saudagar batik dalam mengelola Industri batik cap pada sekitar abad ke XX.
Diantara rumah yang dijadikan objek penelitian yaitu Ruma h Djimatan atau lebih
dikenal dengan nama dalem Djimatan, Rumah Poesposumartan atau dikenal
dengan nama dalem Poesposumartan dan Rumah H. Mawardi, yang sekarang di
tempati oleh anak cucu dari para saudagar batik tersebut. Berikut disajikan
beberapa gambar bentuk rumah tradisional yang dimilki oleh saudagar batik
Laweyan.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
115

Gambar 4.11. Façade Arsitektur Rumah Saudagar di Laweyan, berturut-turut (a)


Rumah dengan arsitektur Jawa; (b) Rumah Indis dengan Struktur
Dominan Kayu, c; Rumah Indis dengan Struktur Bearing wall
(Sumber : Dokumentasi Pribadi, 22 Mei 2013).
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
116

2) Bentuk Arsitektur dan Ornamen Bangunan Rumah Indis di Laweyan


Kebudayaan Indis beserta hasil-hasilnya, termasuk arsitektur yang bercorak
Indis, masuk dan berkembang di wilayah Kampung Laweyan disebabkan oleh
beberapa faktor, diantaranya adalah faktor geografis Laweyan, faktor
berkembangnya industri batik sehingga menyebabkan keuntungan yang besar dan
faktor status kawula yang membuat saudagar ba tik merasa perlu menunjukkan
identitas sebagai saudagar.
Secara geografis kampung Laweyan merupakan suatu wilayah yang sejak
masa kerajaan Pajang terkenal dengan pusat pedagangan lawe (bahan baku
pembuatan kain) yang berpusat di sungai Jenes atau sungai Kabanaran sekarang
dimana sungai tersebut terhubung dengan Sungai Bengawan Solo, di wilayah
tersebut terdapat bandar dagang yaitu Bandar Kabanaran yang terhubung dengan
bandar besar di Nusupan, posisi yang sangat starategis secara geografis jika
ditinjau dari segi masa lalu karena transportasi sungai pada masa lalu merupakan
alat trsansportasi utama yang digunakan oleh masyarakat.
Letak Laweyan secara geografis dilintasi jalur perdagangan pada masa itu,
menjadikan Laweyan ini memungkinkan masuknya dan berkembangnya
kebudayaan baru, termasuk kebudayaan indis beserta hasil-hasilnya berupa
arsitektur bangunan rumah yang menjamur sekitar abad ke XX, abad
berkembangnya industri batik di wilayah Laweyan.
Tipikal masyarakat saudagar batik yang berjiwa pedagang ditambah
keuntungan yang besar dalam berdagang batik sekitar abad akhir abad IXX dan
awal abad XX menjadikan cepat berkembangnya budaya Indis di Laweyan
khususnya arsitektur rumah Indis, hal ini dikarenakan masyarakat saudagar batik
telah melakukan kontak perda gangan dengan para pedagang dari berbagai bangsa,
saudagar batik sudah mampu berdagang ke luar negeri terutama ke Eropa oleh
karena itu saudagar batik mempunyai wawasan mengenai arsitektur luar negeri
wawasan itu lantas diterapkan untuk rumah-rumah saudagar batik Laweyan.
Rumah-rumah Indis di Laweyan merupakan bukti dari perkembangan arsitektur
Indis masa itu di wilayah Laweyan. (Wawancara , Bapak M. Muqqofa pada
tanggal 8 Juli 2013). Lebih lanjut lihat CL 4 pada lampiran halaman 215.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
117

Arsitektur rumah tinggal masyarakat di kawasan Kampung Batik Laweyan


jauh sebelum adanya perkembangan industri batik sekitar abad XX di dominasi
oleh arsitektur rumah Jawa yang dimiliki rakyat kebanyakan, yang berbahan
utama kayu.
Perkembangan industri batik di Surakarata sekitar awal abad XX,
menyebabkan saudagar batik memilki keuntungan yang besar dari hasil
perdagangan batik. Perkembangan indusrtri batik tersebut berpengaruh tehadap
eksistensi Laweyan sebagai kawasan yang spesifik, untuk merubah banguna n
awal rumah mereka yang terbuat dari kayu dan berarsitektur tradisional Jawa ke
bentuk loji. Sehingga pada masa itu, corak bangunan di Laweyan banyak
dipengaruhi oleh gaya arsitektur colonial Belanda, sehingga banyak bermunculan
bangunan bergaya arsitektur Indis (campuran arsitektur Jawa dan Eropa ) yang
sebelumnya telah berkembang di lingkungan keraton. (Wawancara Bapak Alpha
Febella, 4 September 2013 ). Lebih lanjut lihat CL 3 pada lampiran halaman 211.
Masyarakat saudagar batik Laweyan menjadi pendukung dari
perkembangan ke budayaan Indis di Surakarta dipengaruhi oleh kekayaan yang
dimiliki oleh saudagar batik yang memperoleh kekayaan dari hasil usaha batik
pada sekitar abad XX, selain itu faktor perkembangan kota Surakarta semenjak
pembukaan perusahaan swasta ikut mempengaruhi perkembangan arsitektur di
Laweyan.
Arsitektur Indis yang berkembang dan diadaptasi oleh saudagar batik
dipengaruhi oleh perkembangan pemukiman di kota menunjukan pola pemukiman
yang menunjukan karakter yang majemuk. Bentuk rumah loji atau tembok
merupakan pola dari rumah golongan Eropa dan elite pribumi dengan halaman
rumah yang luas yang menunjukan rumah para penguasa dan menduduki hiearki
yang tinggi dalam tatanan masyarakat. Pola rumah seperti ini yang di adaptasi
dengan baik oleh saudagar batik Laweyan pada sekitar tahun 1920-1930an
(Hastuti, 2013).
Perubahan rumah para saudagar batik Laweyan yang awalnya berstruktur
kayu dan bentuk rumah kampung secara cepat dan di renovasi menjadi bangunan
berdinding tembok atau loji pada sekitar tahun 1920-1930an. Bentuk bangunan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
118

rumah tempat tinggal dengan ukuran yang besar dan luas, berdinding tembok
dengan perabot yang mewah, aksesoris interior dan eksterior dengan materi bahan
yang mahal, detail, dan dikerjakan dengan tingkat keahlian yang tinggi, dapat
dipergunakan sebagai tolok ukur derajat dan kekayaan pemilik rumah tersebut.
Semakin banyak ornamen yang mengisi rumah tersebut menunjkkan pemiliknya
adalah bukan orang biasa. (wawancara Bapak Alpha Febella, 4 September 2013).
Lebih lanjut lihat CL 3 pada lampiran halaman 211.
Banyak bangunan rumah para saudagar ini dilengkapi dengan cermin di
pendapa rumah, menggunakan tiang rumah yang kokoh dan berukir serta lantai
dari marmer. Biasanya pada rumah-rumah orang kaya di Laweyan akan dijumpai
pintu gerbang bersusun seperti gerbang rumah para bangsawan di keraton dan di
atas pintu tersebut dilengkapi dengan ukiran crown semacam la mbang mahkota
kerajaan Belanda , yang sanagat indah dan membutuhkan kedetailan dalam
membuatnya. Hal ini menunjukan bahwa dalam gaya hidupnya para saudagar ini
mengacu pada kehidupan para bangsawan keraton Surakarta atau masih
berpedoman pada kehidupan dan budaya Jawa meskipun dalam asitektur rumah
telah berubah mengikuti pola bangunan rumah Eropa (Wawancara Bapak Alfa
Febella, 4 September 2013). Lebih lanjut lihat CL 3 pada lampiran 211.
Banguan rumah Indis milik saudagar batik di Laweyan umumnya memiliki
ciri bangunan kolonial Belanda dengan bentuk unsur dominan garis lurus, unsur
dominan garis lengkung, perpaduan antara keduanya, perpaduan unsur kayu yang
diukir dengan loji, tetapi ada juga perpaduan dengan unsur yang lain. Tetapi
dalam hal pola ruang, masih mirip dengan pola ruang yang ada di rumah
bangsawan dan pola ruang arsitektur Jawa pada umumnya. Hal ini dikarenakan
adanya hubungan ya ng erat antara masyarakat saudargar batik Laweyan dengan
keraton melalui perdagangan batik dan di dukung dengan kekayaan yang ada,
sehingga façade atau bentuk arsitektur pada bangunan rumah milik saudagar batik
Laweyan pada umumnya masih menggunakan konsep aristektur Jawa, baik dari
bentuk ataupun pola ruang pada rumah tradisional Jawa seperti rumah kebanyakan
di Surakarta. (wawancara, Ibu Naniek Widyati, 21 Mei 2013). Lebih lanjut lihat
CL 1 pada lampiran halaman 200.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
119

Façade bangunan dengan aristektur Indis millik saudagar batik Laweyan


masih menggunakan pola ruang yang sama dengan pola ruang rumah Jawa yang
dimilki bangsawan, seperti Pendopo, dalem, sentong kiwa, sentong tengen,
sentong tengah , gandok, beteng, regol, butulan dan ditambah dengan bangunan
pabrik. Halaman depan rumah yang cukup luas dengan orientasi bangunan
menghadap utara-selatan, masih dipertahankan sebagai penanda bahwa para
saudagar batik Laweyan adalah orang Jawa.
Beberapa rumah Indis milik saudagar batik di Laweyan kebanyakan
menggunakan bahan material dari pasir dan semen atau berbentuk bearing wall,
sehingga bangunan terlihat kokoh. Penggunaan atap pada rumah Indis di Laweyan
rata-rata menggunakan kombinasi antara atap limasan dan pelana.
Penggunaan atap limasan dikarenakan masyarakat saudagar batik Laweyan
bukanlah keturunan bangsawan yang atap rumahnya menggunakan atap Joglo,
atap limasan menunjukan ciri masyarakat Laweyan yang termasuk golongan
rakyat kebanyakan karena masayarakat Laweyan secara sosial termasuk kedalam
kelas kawula .
Struktur pendukung atap pada bangunan rumah saudagar bergaya Indis di
Laweyan, terbuat dari tembok dengan susunan 2 batu (bearing wall), sehingga
tidak memerlukan 4 tiang sebagai penyangga atap (saka guru) khususnya di area
dalem seperti rumah para bangs awan, untuk menunjukan bahwa saudagar batik
Laweyan merupakan orang Jawa yang kebanyakan dalam membangun rumah
mereka menggunakan saka hanya dua buah yang terdapat di area dalem.
Masyarakat saudagar Laweyan memodifikasi dengan dua tiang saka
(sebagai hiasan supaya terkesan mempunyai saka) yang biasanya berada di tengah
area dalem, begitu pula dengan kelengkapan-kelengkapan pengisi ruang
masyarakat saudagar batik Laweyan meniru benda-benda yang ada pada rumah
bansawan tetapi dengan perbedaan yang sangat mencolok, khususnya dari
material yang digunakan. (Wawancara Ibu Naniek Widayati 21 Mei 2013). Lebih
lanjut lihat CL 1 pada lampiran halaman 200.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
120

Gambar 4. 12. Variasi Bentuk Atap pada Bangunan Rumah Saudagar Batik di
Kampung Laweyan
(Sumber : Widayati, 2002: 152)

Keuntungan yang besar dalam berdagang batik, menyebabkan para saudagar


batik perlu menunjukan identitasnya sebagai pribadi yang mandiri secara
ekonomi. Penunjukkan identitas diri dari saudagar batik Laweyan ditunjukan
dengan mulai berani membuat banguan rumah loji tiruan seperti layaknya tempat
tinggal orang-orang Eropa.
Rumah sebagai tempat tinggal merupakan salah satu kebutuhan hidup yang
utama bagi manusia disamping kebutuhan sandang dan pangan. Oleh sebab itu
rumah dibutuhkan manusia bukan hanya sebagai tempat tinggal namun juga
sebagai tempat berlindung dari ancaman alam, selain itu dalam masyarakat Jawa
pada umumnya dan Laweyan pada khususnya, sebuah rumah bisa dijadikan
sebagai penanda status sosial.
Arsitektur Rumah bergaya Indis yang berkembang di wilayah Laweyan
merupakan sebuah growing up dari masyarakat saudagar batik yang merdeka,
yang termar ginalkan budaya dari ikatan stratifikasi keraton, dengan kekayaan
yang melebihi bangsawan keraton masyarakat saudagar batik membangun rumah
bergaya Indis. Arsitektur Indis adalah sebuah jawaban dari masyarakat saudagar
batik secara sosial (Wawancara Ibu Naniek Widayati, 21 Mei 2013). Lebih lanjut
lihat CL 1 pada lampiran halaman 200.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
121

Bangunan Indis milik saudagar batik Laweyan memiliki façade sederhana,


berorientasi ke dalam, fleksibel, berpagar tinggi lengkap dengan lantai yang
bermotif karpet khas Timur Tengah. Keberadaan “beteng” tinggi yang banyak
memunculkan gang-gang sempit merupakan ciri khas Laweyan. Selain untuk
keamanan juga merupakan salah satu usaha para saudagar untuk menjaga privasi
dan memperoleh daerah “kekuasaan” di lingkungan komunitasnya (Priyatmono,
2004).
Bangunan rumah Indis milik saudagar batik di Laweyan memiliki ciri
perpaduan arsitektur Belanda dan Jawa. Ciri atau unsur pengaruh Belanda
ditunjukkan dengan bangunan yang besar dengan struktur dinding (bearing wall),
halaman rumah yang luas, beratap tinggi dengan kemiringan hampir 70° dan
lebar, bukaan rumah sampai dengan 60% dari keseluruhan fasade bangunan, batu
kali setinggi 50 cm dari tanah pada dinding bagian luar sebagai fondasi rumah,
ventilasi udara yang banyak dan lebar.
Unsur arsitektur Jawa ditunjukkan dalam sistem pembagian atau pola ruang,
seperti adanya regol, pendapa, pringgitan, sentong, gandok, dalem, dan butulan
walaupun dalam peletakan serta jumlah ruang-ruang tersebut saudagar Laweyan
bebas menentukannya tanpa terikat oleh pakem dalam pola ruang arsitektur Jawa.
Pekembangan arsitektur Indis yang di adaptasi oleh masyarakat saudagar
batik Laweyan tidak merubah seluruh tatanan ruang pada rumah saudagar batik,
walaupun rumah saudagar batik berbentuk rumah loji, tetapi dalam tata ruang
rumah, masih menerapkan pola ruang khas Jawa dengan pembagian-pembagian
ruang tertentu yang bersifat umum dan yang bersifat privasi.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
122

Regol (Pintu Gerbang)

Halaman Depan / area semi publik

pendopo
Gandok Kiri Gandok Kanan

ndalem

sentong beteng

Butulan

Pabrik
Gambar. 4.13. Pola Ruang Rumah Indis Saudagar Batik Laweyan yang Masih
Menerapkan Pola Ruang Arsitektur Jawa
(Sumber : Priyatmono, 2004 : 2, di gambar kembali oleh penulis)

Pola ruang rumah Jawa dalam rumah Indis milik saudagar batik di Laweyan
ditunjukkan dengan adanya rumah induk di bagian tengah, di apit rumah atau
pavilium tambahan di kanan dan kiri rumah induk. Dalam istilah arsitektur Jawa
dikenal dengan istilah gandhok tengen dan gandhok kiwa.
Kedua gandhok terhubung dengan dapur dan pabrik pada bagian belakang
rumah induk, sehingga berbentuk U, tetapi para saudagar batik Laweyan bebas
menentukan letak gandhok, hanya satu di sisi kanan atau kiri saja, atau kedua sisi
sampai sejajar dengan letak rumah induk bagian depan.
Bagian dalem atau ruang utama dalam rumah Indis di Laweyan masih
terdapat adanya ruang khusus yang dalam arsitektur Jawa disebut krobogan atau
patanen yang terdapat ruang pada ruangan sentong tengah , sentong sendiri yang
berjumlah 3 buah, yaitu sentong tengen, sentong tengah dan sentong kiwa .

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
123

Sentong ini merupakan tempat yang sakral dalam rumah tradisional Jawa
karena merupakan perlambang dari kesuburan. Dalam ruang senthong biasanya
ditempatkan perlengkapan yang di golongkan ke dalam benda hiasan, antara lain
bantal, guling, tempat sesaji, tempat sirih atau kinang , dan patung roro blonyo,
walaupun ada saudagar batik yang tidak memilki dan menempatkan patung
tersebut. Selain itu pada bagian tengah dalem biasanya dipasang rono atau
devider, sebagai sekat.
Pengusaha batik di Laweyan membuat petanen dengan sangat indahnya dan
dilengkapi dengan benda hiasan yang bagus-bagus dan mahal. Hal ini sengaja
dibuat sedemikian oleh para pengusaha untuk menunjukkan kelebihannya sebagai
pengusaha walaupun mereka bukan dari golongan bangsawan. Dengan kata lain
adalah sebagai penunjukkan kekayaan saudagar batik (Wawancara Ibu Naniek
Widayati dan observasi lapangan, 21 Mei 2013). Lebih lanjut lihat CL 1 pada
lampiran halaman 200.
Arsitektur Rumah Indis di Laweyan merupakan salah satu upaya dalam
penunjukan identitas diri pada masyarakat saudagar yang termarginalkan oleh
sistem budaya masyarakat feodal. Kekayaan akibat dari berkembangnya industri
batik menjadi pendorong masyarakat Laweyan untuk bergaya hidup Indis dan
salah satunya adalah dengan membangun rumah-rumah megah berarsitektur Indis
beserta ornamen yang menghiasinya.
Ornamen yang terdapat pada rumah Indis milik saudagar batik Laweyan
yang ditemukan, umumnya berupa hiasan yang menempel pada struktur bangunan
dan ornamen yang tidak menempel pada bangunan atau terlepas dari struktur
bangunan dan berfungsi sebagai penghias ruang.
Ornamen yang menempel pada bangunan biasanya terdapat di lantai,
dinding, tiang, pintu, jendela, dan senthong adalah hiasan atau ornamen yang di
stilir atau diukirkan pada benda dengan motif flora dengan bentuk lung-lungan
atau sulur-suluran , pada jendela atau pintu terdapat hiasan kaca dikombinasikan
dengan pola jalusi kayu dan merupakan citi arsitektur bergaya art deco .
Benda hiasan atau or namen yang biasanya terlepas dari struktur bangunan
dan merupakan pelengkap ruang. Sama seperti rumah bangsawan Jawa pada
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
124

umumnya, pada rumah Indis di Laweyan juga terdapat hiasan berupa kaca besar
yang terletak di kanan-kiri petanen serta di pendopo pada dinding kanan dan kiri.
Selain itu terdapat pula patung (arca) yang terletak di kanan dan kiri regol atau di
halaman. Kemudian di area petanen ada perlengkapan yang digolongkan ke dalam
benda hiasan, antara lain bantal, guling, tempat sesaji, tempat sirih atau kinang,
patung dan roro blonyo .
Penempatan ornamen baik yang menempel maupun terlepas dari struktur
bangunan rumah masyarakat saudagar batik Laweyan tidak memiliki makna
filosofis tertentu tetapi hanya beruapa unsur penghias dan sarana penunjukan
ide ntitas bahwa saudagar batik adalah orang kaya dan pantas disejajarkan dengan
golongan bangsawan keraton. Hal ini terlihat dari pemakaian ornamen-ornamen
berlanggam Eropa baik yang di tempatkan di pintu rumah, jendela, kaca dan
penguunaan lantai marmer pada bangunan rumah, bagi masyarakat saudagar batik
Laweyan semakin banyak ornamen yang ada di dalam rumah menunjukan pemilik
dari rumah tersebut bukan merupakan orang biasa (wawancara bapak Alpha
Febella, 4 September 2013) . Lebih lanjut lihat CL 3 pada lampiran halaman 211.
Kekayaan saudagar batik Laweyan hasil dari usaha batik yang berkembang
menyebabkan pola dan gaya hidup Indis di adaptasi oleh saudagar batik,
khususnya dalam membangun rumah. Rumah Indis di Laweyan, pada
perkembangan arsitek terdapat beberapa bentuk rumah dari berbagai bentuk
seperti didominasi unsur garis lurus, unsur garis lengkung, perpaduan antara
keduanya, ada juga ukiran sebagai yang menjadi unsur dominan dan mewakili
periode arsitektur indis di Laweyan.
Bangunan rumah yang dijadikan obyek penelitian ini adalalah rumah
Djimatan, ruma h Poesposumartan, rumah H.Mawardi dan rumah Tjokrosumarto.
Keempatnya merupakan bukti dari kesuksesan saudagar batik Laweyan. Berikut
dideskripsikan riwayat singkat dari keempat rumah tersebut.
Rumah Djimatan atau lebih dikenal dengan nama dalem Djimatan terletak
di Jalan Tiga Negeri, wilayah kampung Sentono RT 03/RW 03, Kelurahan
Laweyan. Letaknya disebelah utara sungai Kabanaran atau sungai Jenes sekarang.
dalem Djimatan dibangun pada tahun 1938.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
125

Riwayat dibangunnya rumah Djimatan diawali dengan bangunan Jawa


dengan atap Joglo yang terdiri dari 32 saka pengiring dengan gaya rumah
pangeran. Rumah ini awalnya adalah sebuah rumah dinas dari Kyai Ageng Henis
sebagai pemimpin tanah perdikan Laweyan. Sebelum menjadi rumah dinas dari
Kiyai Ageng Henis yang merupakan penguasa tanah perdikan Laweyan, rumah ini
awalnya adalah sebuah candi pemujaan, hal tersebut dapat di buktikan dari bukti
arkeologis.
Bukti pertama adalah keberadaan arca yang terletak di depan regol atau
gerbang masuk dari Rumah Djimatan, arca tersebut merupakan alat untuk
melakukan pembersihan kaki sebelum memasuki candi melakukan pemujaan
terhadap Tuhan pada waktu itu. Bukti kedua adalah dari struktur tanah dimana
semakin ke uatara tingkat ketinggian atau kelandaian tanah semakin tinggi yang
menggambarkan seperrti candi.
Dalem Djimatan, ditempati oleh Kyai Ageng Henis sampai akhir hayatnya.
Setelah Kyai Ageng Henis meninggal dan dimakamkan di pasareyan Laweyan
yang berada di sisi Masjid Laweyan sekarang, rumah tersebut digunakan sebagai
rumah dinas bagi pengurus makam keluarga keraton yang dimakamkan di
pasarean Laweyan. Abdi dalem keraton yang bertugas sebagai juru kunci pasaren
Laweyan yakni Mas Bei Djimat Kartohastono adalah orang yang terakhir
bertempat tinggal atau menempati rumah Djimatan tersebut dan setelah Mas Bei
Djimat Kartohastono wafat para penjaga yang menempatinya. Berawal dari nama
Mas Bei Djimat Kartohastono itu orang-orang di sekitar menyebut rumah ini
dengan sebutan Dalem Djimatan .
Sekitar tahun 1900an, keraton mengalami krisis keuangan dan kemudian
diadakan lelang oleh pihak keraton, rumah tersebut akhirnya di lelang, pemenang
dari lelang tersebut adalah ibu Karyo Wijoyo. Kesuksesan dalam mengelola
industri batik menjadikan Ibu Karyo Wijoyo merenovasi banguan rumah tersebut
dengan bentuk bangunan loji dengan ukuran sama persis dengan ukuran rumah
sebelumnya. Setelah di miliki oleh Ibu Karyo Wijoyo, kemudaian rumah tersebut
diwariskan kepada keempat anaknya, yaitu Wirosukarto, Wiryo Wijoyo,
Priyomarsono, dan Wongsodinomo. Hak waris terakhir jatuh kepada tangan bapak
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
126

Priyomarsono (Wawancara Ibu Nanik Widayati, 21 Mei 2013) . Lebih lanjut lihat
CL 1 pada lampiran 200.
Rumah kedua adalah rumah milik bapak Poesposoemarto, riwayat
kesuksesan saudagar batik Poesposumartan berawal dari rumah Poesposumarto
yang berlokasi di Jalan Tiga Negeri yang awalnya digunakan sebagai pabrik
pembuatan batik. Rumah awal Poesposumarto sejak 2008 sebagian ruangnya
berfungsi sebagai Museum Samanhoedi yang sekarang sudah tidak difungsikan
lagi dan kondisinya suadah lapuk dimakan jaman.
Poesposumarto mengawali usaha batik dari rumah tersebut, setelah
mengalami kemajuan yang pesat dalama industri batik pada abad ke XX, akhirnya
pada tahun 1938 Poesposumarto mampu membangun rumah loji untuk 3 anaknya.
Dalem Poesposumartan berlokasi sangat strategis di Jalan Dr. Radjiman no. 501,
dahulu bernama Jalan Laweyan dan merupakan jalur utama dari taransporatsi
darat yang digunakan masyarakat. Kesuksesan Poesposumarto dala m mengelola
industri batik menjadikan masyarakat Laweyan lebih mengenal rumah ini dengan
nama Dalem Poesposumartan.
Rumah pertama tetap berfungsi sebagai pabrik dan rumah kedua hanya
sebagian kecil berfungsi sebagai pabrik, karena lebih berfungsi sebaga i kantor.
Rumah Poesposumartan sejak awal rumah dibangun dengan bangunan gaya Indis,
dengan karakter denah Art Deco simetri, atap miring, menjulang tinggi dan
konstruksi bangunan sepenuhnya di topang oleh dinding (bearing wall), list batu
kali pada bagian luar serta pola ruang yang menggunakan pola ruang dalam
arsitektur Jawa. Banguna n rumah ini pada tahun 2002 telah berpindah tangan
karena dijual oleh keluarga kepada Ibu Krisnina Maharani Tandjung, putri dari
bapak Akbar Tandjung dan merubahnya menjadi sebuah Hotel yang menerapkan
sebuah gaya tempo dulu, hotel ini bernama Roemah Koe (Wawancara Ibu
Andrini, 29 Juni 2013). Lebih lanjut lihat Catatan Lapangan 5 pada lampiran
halaman 218 (Selanjutnya, dalam kalimat disingkat menjadi CL 5).
Rumah H. Mawardi berlokasi di kampung Sayangan Kulon, rumah ini
merupakan rumah dengan arsitektur Indis dengan struktur dominan banguan
terbuat dari kayu, dari angka yang terdapat pada banguan rumah tersebut, di
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
127

ketahui bahwa rumah ini dibangun pada tahun 1858, dengan struktur bangunan
dan atap menerapkan struktur rumah limasan.
Pola ruang pada rumah ini terdiri dari pendapha dan pringgitan jadi satu,
kemudaian gandhok dan area dalem. Pemilik bangunan ini masih kerabat dengan
pemilik rumah Djimatan.
Rumah ini dihuni oleh kaka dari ibu Naniek bersama anaknya. Rumah ini
menerapkan ukiran-ukiran pada lisplank dan terdapat banyak ventilasi udara.
Rumah ini merupakan sebuah rumah pada periode elektitas yang berkembang
pada periode 1920an dan mewakili periode arsitektur indis di Laweyan.
Rumah Tjokrosumartan atau lebih dikenal dengan nama dalem
Tjokrosumartan, terletak di Jalan Sidoluhur No. 18 Laweyan. Rumah ini memiliki
struktur banguan dengan motif lengkung dan bergaya neoklasik . Rumah ini
dibangun sekitar tahun 1928, dengan luas bangunan sekitar 1800 m² dan luas
tanah 3000 m².
Arah hadap bangunan ke arah selatan, sayang sekali tanpa alasan yang jelas
peneliti tidak diperbolehkan oleh pemilik yang menempati rumah ini untuk
meneliti struktur banguan ini lebih detail.
Rumah bercorak Indis milik saudagar batik Laweyan, sebagian besar rumah
induk memiliki program ruang seperti rumah tradisional Jawa. Program ruang
tersebut diawali dengan ruang yang menyerupai pendapa, paringgitan, dale m,
gandhok . Meskipun beberapa rumah tidak ada pringg itan, jadi hanya pendapa dan
dalem. Bagian depan pendapa terdapat teras yang berfungsi sebagai adaptasi
emper depan.
Rumah saudagar batik Laweyan, seperti kebanyakan rumah tradisional Jawa
pada umumnya memiliki perbedaan tinggi level lantai menunjukan pembagian
ruang yang bersifat umum dan yang bersifat privasi seperti rumah tradisional Jawa
lainnya.
Arah hadap rumah saudagar batik di Laweyan, secara umum menghadap ke
arah utara dan selatan. Arah hadap tersebut tidak memiliki makna filosofis seperti
rumah bangsawan, tetapi lebih kepada akses keluar masuk dan sisitem sirkulasi
udara yang masuk dan keluar rumah.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
128

Ruang dalam arsitektur tradisional Jawa selain dikelompokkan berdasarkan


fungsinya, juga atas hirarkinya, Widayati (mengutip simpulan Tjahjono, l989)
menyatakan bahwa, ruang yang bersifat umum dibedakan dengan ruang yang
bersifat pribadi atau privat, antara yang sakral dan yang profan dan sebagainya.
Sistem klasifikasi dua kategori juga menyangkut pada dua kategori kanan dan kiri.
Kanan biasanya dikait kan dengan hal-hal yang bersih, sopan, halus dan beradab,
sedangkan kiri biasanya dikaitkan dengan hal-hal yang kotor, tidak sopan dan
kurang beradab (2002 : 32).

dalem

Pendapha Senthong

Gambar 4.14. Pola Perbedaan Tinggi Lantai Rumah pada Banguan Indis di
Laweyan
(Sumber: Widayati, 2002: 32)

Area dalem dipertahankan di dalam bangunan rumah loji karena merupakan


simbol bagi masyarakat Laweyan yang tidak mau kehilangan identitas sebagai
manusia Jawa. Rumah loji dengan pengaruh arsitektur Belanda, berpadu dengan
program ruang interior rumah Jawa mencerminkan kemampuan masyarakat
saudagar batik dalam beradaptasi sekaligus bertahan dalam situasi dan kondisi
politik serta kebijakan Belanda atas etnisitas masyarakat di Surakarta.
Beberapa rumah yang dijadikan objek penelitian memiliki bentuk yang,
material interior dan luas bangunan yang berbeda. Berikut dijelaskan visual
struktur dan material interior pada masing-masing rumah yang menjadi objek
dalam penelitian ini.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
129

a) Visual Struktur dan Material Interior pad a Dalem Djimatan


Bangunan rumah Djimatan atau lebih dikenal dengan nama dalem Djimatan
berdiri diatas tanah dengan luas sekitar 800 m² yang terbagi beberapa ruang,
dengan arah hadap bangunan ke arah selatan, menghadap tepat ke arah sungai
Jenes atau sungai Kabanaran. Bangunan dalem Djimatan merupakan banguan
kolonial Belanda dibangun pada sekitar tahun 1938 pada periode elektitas atau
periode campuran antara arsitektur Kolonial Belanda dan Jawa.
Dalem Djimatan merupakan suatu banguan yang berarsitektur Indis,
campuran antara arsitektur modern simple dan arsitektur Jawa. Unsur arsitektur
Indis atau Belanda pada banguan ini terlihat dari sususnan material yang dipakai,
dimana dari keseluruhan fasade bangunan, menggunakan material batu bata atau
tembok (loji) dengan finishing cat dinding.
Ciri lainnya adalah rumah ini didominasi unsur garis lurus atau horizontal,
seperti rumah pejabat kolonial Belanda kebanyakan dengan ukuran banguan dan
halaman cukup luas.

Gambar 4.15. Bentuk Visual Dalem Djimata n, Tampak Depan, dengan Struktur
Bearing Wall dan Menggunakan Arsitektur Eropa Jawa
(Sumber : Dokumentasi Pribadi 20 Mei 2013)

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
130

Struktur bangunan dalem Djimatan berjenis bearing wall, dengan struktur


dua buah tiang beton yang menyangga keseluruhan bangunan. Struktur yang
dipakai untuk fondasi rumah berupa batu kali setinggi sekitar 50 cm dari tanah.
Luas rumah ini disesuaikan dengan rumah sebelumnya yaitu bangunan rumah
Jawa dengan atap Joglo yang terdiri dari 32 saka pengiring dengan gaya rumah
pangeran.
Unsur arsitektur Jawa pada rumah ini terlihat dari adanya pola ruang yang
hampir sama dengan pola ruang yang ada pada rumah Jawa pada ummnya. Pola
ruang yang digunakan dalam rumah ini masih menerapkan pola ruang pada rumah
Jawa kebanyakan, yang terdiri dari regol atau pintu gerbang, pringgitan, gandhok
tengen, gandhok kiwa, dan dalem. Di area dalem terdapat ruang petanen atau
krobogan yang terdiri dari tiga buah senthong yaitu senthong kiwa, senthong
tengen dan senthong tengah dan ditopang dengan dua buah saka guru yang
terbuat dari besi berukir lunglungan ., untuk banguan pabrik ditempatkan di bagian
belakang rumah berdekatan dengan dapur atau pawon disertai dengan pintu kecil
yang disebut butulan. Rumah ini tidak memiliki pendhapa . Area pendapha dan
pringgitan dijadikan satu.
Area halaman rumah Djimatan memilki area yang cukup luas, karena
sebelum berdirinya rumah ini, rumah djimatan adalah bekas candi. Sebelum
menjadi rumah dinas dari Kiyai Ageng Henis yang merupakan penguasa tanah
perdikan Laweyan dan rumah yang sekarang, rumah ini awalnya adalah sebuah
candi Hindu tempat pemujaan, hal tersebut dapat di buktikan dari bukti-bukti
arkeologis yang terdapat di rumah tersebut.
Bukti pertama bahwa rumah tersebut adalah bekas candi pemujaan adalah
keberadaan arca yang terletak di depan regol atau gerbang masuk dari Rumah
Djimatan, arca tersebut merupakan alat untuk melakukan pembersihan kaki
sebelum memasuki candi melakukan pemujaan terhadap Tuhan pada waktu itu.
Bukti kedua adalah dari struktur tanah dimana semakin ke utara , tingkat
ketinggian atau kelandaian tanah semakin tinggi yang menggambarkan seperti
candi (wawancara Ibu Naniek Widayati 21 Mei 2013). Lebih lanjut lihat CL 1
pada lampiran halaman 200.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
131

Berdasarkan observasi yang dilakukan di lapangan menemukan, ukuran


rumah adalah sebagai berikut. dalem Djimatan seperti kebanyakan rumah
sauda gar batik di Laweyan, dibatasi dengan tembok-tembok tinggi (beteng)
sekitar 3 m yang mengelilingi rumah, ukuran tinggi regol sekitar 2,30 m dengan
arah hadap regol mengha dap ke barat. Di samping sebelah kiri dan kanan regol
terdapat dua buah arca.
Rumah Djimatan memilki ukuran panjang 7,64 m, lebar 4,60 m dan tinggi
flafond sekitar 4,50 m. Area pringgitan memilki ukuran yang sama dengan ukuran
rumah. Area dalem atau rumah induk pertama memiliki level lantai yang sama
dengan pringgitan , berukuran panjang 7,64 dan lebar 1,55m.
Saudagar batik Laweyan secara umum dalam membangun rumah bebas
menentukan pola ruang yang diinginkan tidak terikat pakem aturan dalam
membangun rumah tradisional Jawa. Misalkan pembanguan gandhok saudagar
batik Laweyan bebas menentukan gandhok sesuai keinginanya bisa berjumlah
satu ataupun dua buah gandhok. Pada rumah Djiamatan memiliki satu buah
gandhok yang terdapat di kiri banguan rumah utama, gandhok ini bisa juga
disebut paviliyon dan digunakan sebagai ruang tidur tamu.
Area dalem bagi masyarakat Jawa merupakan area privasi dimana area
tersebut digunakan oleh anggota keluarga untuk berkumpul, pada rumah
tradisional Jawa biasanya area dalem memilki empat buah tiang saka, tetapi pada
rumah Djimatan tiang saka yang berada di area dalem hanya berjumlah dua tiang
yang memiliki tinggi sekitar 3,50 m. Tiang saka ini terbuat dari besi bukan dari
kayu seperti rumah bangsawan Jawa kebanyakan. Hal ini hanya se batas adaptasi
yang dilakukkan oleh saudagar batik Laweyan dalam menjaga etika saudagar
sebagai orang Jawa yang mewajibkan adanya saka di area dalem. (wawancara Ibu
Naniek Widayati, 21 Mei 2013). Lebih lanjut lihat CL 1 pada lampiran halaman
200.
Rumah Djimatan sebagai rumah milik saudagar Jawa, memilki pola ruang
yang hampir sama denagan pola ruang rumah bangsawan Jawa, dimana dalam
pengaturan ada pemisahan ruang yang bersifat umum dan pribadi dengan
membedakan level lantai. Untuk area dalem dimana ruang ini merupakan induk
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
132

rumah yang bersifat privasi, maka jelas berbeda ketungguan level lantai. Area
kedua dalem (Krobogan) yang memiliki perbedaan level lantai setinggi 20 cm
dibanding area pertama. Kedua area dalem ini memiliki ukuran panjang 7,64 m
dan lebar 4,05 m dan tinggi plafond 4,53 m.
Ruang Dalem pada rumah ini terdapat krobongan atau petanen yang
menjadi bagian dari senthong tengah. Kanan-kiri senthong tengah terdapat
senthong tengen dan senthong kiwa. Atap yang digunakan berbentuk atap limasan
dan atap pelana, dengan proposrsi kemirngan tinggi atap sekitar 70° dan
ketinggian plafont sekitar 4 m dari tanah.
Rumah Djimatan merupakan tipe bangunan Indis yang termasuk kedalam
periode campuran, dimana unsur Eropa dan Jawa dipadukan dalam proses
pembuatan rumah ini. Ciri Belanda telihat dari unsur bangunan yang kebanyakan
menggunakan unsut garis horizontal dan tipe banguan yang tinggi seperti
bangunan kolonial, sedangkan ciri Jawa dilihat dari pola ruang yang tersusun .
Lantai yang digunakan pada rumah Djimatan adalah tegel teraso dengan
warna dan ukuran berbeda pada setiap ruang. Ukuran tinggi menggunakan
dimensi meter, sedangkan ukuran panjang dan lebar menggunakan hasta dan depa
dari kepala keluarga penghuni rumah. Perbedaan dimensi tersebut karena ukur an
tinggi mendapat pengaruh proporsi bangunan Eropa dan struktur bearing wall.
Dimensi panjang lebar ruang merupakan implementasi pemahaman
masyarakat Jawa dalam menjaga keseimbangan kosmos dalam hidup. Akses
bukaan pada rumah Djimatan terlihat hampir sekitar 50% dari keseluruhan fasade
bangunan, ini terlihat dari banyaknya pintu dan jendela yang terdapat pada rumah,
ini merupakan pola dari kebanyakan rumah Indis yang berada di Jawa, dimana
pola ini dimaksudkan untuk beradaptasi dengan lingkungan alam tropis Jawa dan
menambah kesejukan rumah (wawancara Ibu Naniek Widayati, 21 Mei 2013).
Lebih lanjut lihat CL 1 pada lampiran halaman 200.
Akses bukaan pada rumah Djimatan ditunjukkan dengan adanya beberapa
pintu dan jendela . Pintu dan jendela menggunakan double daun pintu dan kaca
atau bentuk kupu tarung dengan pola geometris dan jalusi dalam arsitektur Jawa

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
133

disebut dengan jendela krapyak, dimana bagian atas terpisah dengan bagian
bawah.
Pintu terletak di depan rumah area pringgitan sebanyak tiga buah pintu,
samping kanan dan kiri serta tengah. Area dalem memilki akses bukaan dengan
dua buah pintu di sebelah samping, satu pintu di sebelah kanan untuk akses ke
ruang paviliyon atau gandhok dan di sebelah kiri untuk akses ke ruang tidur.
Jendela sebagai ventilasi udara terletak disamping kanan dan kiri rumah serta
diatas pintu.

Gambar 4.16. Akses Bukaan Berupa Pintu dan Jendela dan Ventilasi pada Rumah
Djimatan
(Sumber : Dokumentasi Pribadi, 20 Mei 2013)

Kesuksesan dari saudagar batik ditunjukkan denga n kepemilkian harta


kekayaan, salah satunya ditunjukan dengan membangun rumah loji dengan
ornamen-ornamen mewah yang menghiasinya baik ornamen yang menempel pada
banguan rumah ataupun ornamen pelengkap ruang.
Rumah Djimatan sebagai salah satu rumah milik saudagar batik yang sukses
memilki ornamen-ornamen atau ragam hias yang menghiasinya. Ragam hias
tersebut ada yang menempel dengan banguan dan ada yang terlepas dalam arti
hanya sebagai penghias dan penunjuk kemewahan rumah saudagar batik

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
134

(Wawancara Ibu Naniek Widayati, 21 Mei 2103). Lebih lanjut lihat CL 1 pada
lampiran halaman 200.
Rumah Djimatan, sebagai rumah yang dimiliki oleh saudagar batik memilki
ornamen-ornamen yang di tempatkan kontruksional ataupun tidak kontruksional.
Hiasan konstruksional terdapat pada pintu dan hiasan kaca pada jendela dan
gebyok (tirai pemisah anatara area dalem dengan area petanen ) yang memiliki
warna yang mencolok dan indah. Pada tiang rumah, terdapat haisan berupa
ukiran-ukiran tumbuhan yang distilisasi.
Hiasan yang tidak konstruksional digunakan sebagai penghias dan
pelengkap ruangan. Hiasan ini juga terdapat pada pelengkap ruang rumah
bangsawan, akan tetapi ada perbedaan terutama dari material bahan yang dipakai.
Ornamen atau hiasan yang digunakan pada rumah Djiamtan merupakan
ornamen Jawa dan Eropa (Eropa). Ornamen Eropa di tempatkan pada struktur
bangunan berupa hiasan kaca geometri pada jendela dan pintu dan lain
sebagiannya. Ornamen Jawa di tempatkan pada area dalem sebagai pelengkap
ruang dan menunjukkan kesan orang kaya dan tetap orang Jawa walaupun rumah
yang digunakan sudah berstruktur loji. Berikut dijelaskan beberapa ornamen yang
menghias dan melengkapi rumah Djimatan.

(1) Ornamen pada Pintu dan Jendela


Arsitektur Indis selain ditandai oleh besarnya bangunan rumah, juga
ditandai dengan banyaknya akses bukaan pada rumah sebagai adaptasi dengan
iklim lingkungan Jawa yang beriklim tropis.
Daun pintu pada rumah Jawa memiliki dua tipe. Yang pertama yaitu pintu
dengan dua buah daun pintu, orang menyebutnya Kupu Tarung . Pintu kupu tarung
ini memiliki sirkulasi yang baik, tapi memiliki kekurangan dari segi kekuatan
konstruksi. Yang kedua adalah pintu dengan satu daun pintu, dinamakan dengan
pintu Inep -Siji. Pintu jenis ini lebih kokoh, aman, praktis dan tentu saja ekonomis
(Ismunandar, 2007).
Pintu dan jendela pada rumah Djimatan menggunakan pintu dengan jenis
Kupu Tarung, yang terdapat hampir diseluruh bagian bangunan. Hal ini
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
135

menunjukkan rumah tersebut dibangun sesuai dengan kondisi udara wilayah


tropis.
Ornamen yang terdapat pada pintu dan jendela termasuk hiasan
konstruksional. Ornamen pada pintu dan jendela pada rumah Djiamatan yang ada
hanya kombinasi kayu bentuk kupu tarung dengan berbentuk geometris dan pola
jalusi atau istilah Jawa untuk jendela jenis ini adalah jendela kepryak.
Pola jalusi dan bentuk jendela kupu tarung menjadikan rumah menjadi
sejuk, karena memiliki akses ventilasi udara yang cukup. Pada bovenlicht atau
bukaan pada pintu dan jendela terdapat hiasan lainnya berupa penggunaan teralis
batangan besi dipadukan dengan kaca berbentuk geometri kotak-kotak dibagian
luar dengan warna kaca putih dipadukan dengan jalusi besi berwarna putih.

Gambar. 4.17. Bentuk Jendela dan Pintu dengan Ornamen Berupa Kombinasi
Kayu Geometris dengan Pola Jalusi dan bovenlicht dengan Kaca
yang dibentuk geometris dipadukan dengan teralis besi dibagian
dalam.
(Sumber: Dokumentasi Pribadi, 20 Mei 201).
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
136

(2) Ornamen pada Kaca Pintu dan Jendela


Ornamen pada kaca yang terdapat pada daun pintu ataupun jendela hanya
berupa kaca dengan warna hijau dan kuning atau orange, hiasan kaca dengan
warna ini tidak lebih hanya untuk penyesuaian pencahayaan alami dari cahaya
matahari yang masuk ke dalam rumah. Ornamen hiasan kaca ini dikombinasikan
dengan kayu berbentuk geometris lurus.
Ornamen penghias pada kaca dan terdapat pada area dalem dan ditempatkan
di gebyok yang menjadi pembatas senthong berupa panel- panel kaca serta pada
panel-panel kaca jendela. Ornamen kaca pada rumah Djimatan hanya sebatas
hiasan untuk mempercantik area dalem.

Gambar 4.18. Hiasan Kaca Berwarna yang diletakan di panel-panel di area Dalem
Rumah Djimatan.
(Sumber Dokumentasi Pribadi, 20 Mei 2013)

(3) Ornamen pada Tiang Penyangga atau Saka


Rumah Djimatan merupakan banguan loji berarsitektur Indis, teta pi rumah
ini memilki tiang penyangga atau saka. Secara struktur banguan rumah loji
dengan struktur bearing wall, walaupun tidak memiliki tiang (saka) di area dalem
tidak akan membuat bangunan menjadi roboh, tetapi hal ini dipakai oleh saudagar
batik Laweya n sebagai simbol bahwa saudagar Laweyan, masih termasuk orang
Jawa walaupun bentuk rumah yang dimiliki berarsitektur Indis. Dengan kata lain
saudagar batik Laweyan tidak menginginkan kehilangan identitas sebagai manusia
Jawa dan penunjukkan kekayaan yang dimilki oleh saudagar batik Laweyan.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
137

Penerapan simbol Jawa tersebut di aplikasikan dengan memasang tiang pada


area dalem, pemasangan tiang saka ini hanya berjumlah dua buah tiang yang
terbuat dari besi dan bukan dari kayu sebagaimana digunakan pada rumah-rumah
bangsawan Jawa.

Gambar 4.19. Ornamen Berupa Lung-lungan pada Tiang Besi di Rumah


Djimatan, Laweyan.
(Sumber: Dokumentasi Pribadi, 20 Mei 2013)

Tiang saka tersebut memilki tinggi sekitar 4,5 m, yang konon katanya di
impor langsung dari Belanda. Ornamen yang terdapat pada tiang ini ditunjukan
dengan ukiran berupa tumbuhan sulur-suluran atau lung-lungan pada keseluruhan
tubuh tiang, menggunakan cat dengan warna krem pada tubuh tiang dan hijau
pada stialasi ornamen lunglungan, menambah keindahan dan kesakralan ruang.
Konon tiang saka ini langsung dipesan dan di impor dari Belanda.

(4) Ornamen Pelengkap Ruang


Ornamen pelengkap ruang yaitu ornamen yang bersifat tidak konstruksional
atau terlepas dari konstruksi banguan. Pada Rumah Djimatan, ornamen pelengkap
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
138

terdapat di area dalem. Di dalam area tersebut terdapat ruang petanen yang terbagi
kedalam tiga ruang senthong yang berisi tumpukan bantal dan guling motif cindai
berwarna merah dengan tutup bagian ujung terbuat dari lempeng berwarna emas
dan dibatasi oleh kaca berwarna putih bening, dua buah cermin yang diletakan di
sebelah kanan dan kiri senthong dan bokor hasil bumi, kendi, tanpa patung loro
blonyo.
Bagian sudut ruangan dalem terdapat sebuah lemari yang berisi berbagai
benda koleksi dari pemilik rumah. Selain itu, pada langit langit terdapat hiasan
lampu gantung yang didatangkan langsung dari negeri Belanda. Kendi dan bokor
hasil bumi terbuat dari material kuningan, bukan dari tanah liat yang dapat
menunjukkan perbedaan dengan bangsawan keraton.
.

Gambar 4. 20. Benda Koleksi Priyosumarsono yang berada di Rumah Djimatan


(Sumber : Dokumentasi Pribadi, 20 Mei 2013)

Ornamen pelengkap digunakan sebagai penghias dan penunjujkkan


kekayaan, semakin banyak ornamen penghias di area dalem dan pada struktur
rumah, menunjukan bahwa pemilik rumah tersebut merupakan orang kaya
(wawancara Ibu Naniek Widayati, 21 Mei 2013). Lebih lanjut lihat CL 1 pada
lampiran 200.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
139

b) Visual Struktur dan Material Interior Dalem Poesposumartan


Poeposumarto adalah salah satu saudagar batik yang cukup terkenal di
Laweyan, kesuksesan dari berdagang batik membuat Poesposumarto bisa
membangun rumah loji berarsitektur Indis yang digunakan untuk tempat tinggal
beliau bersama istri dan ketiga anak Poesposumarto.
Rumah Poesposumarto atau lebih dikenal dengan Dalem Poesposoemartan
berlokasi tepat di Jalan utama Laweyan yaitu jalan Dr. Radjiman, nomor 501,
kelurahan Laweyan, Surakarta. Rumah Poesposumartan dibangun pada sekitar
tahun 1921, dibangun diatas lahan seluas 1950 m², dikelilingi oleh pagar tembok
setinggi kurang lebih 3 m.
Rumah ini sekarang telah berpindah tangan dari keluarga Poesposumarto
kepada Ibu Krisnina Maharani Tandjung, putri dari Akbar Tandjung yang
membeli rumah tersebut pada tahun 2002 dan menjadikannya sebagai hotel dan
restoran dan hotel bernama Roemahkoe dengan konsep Heritage Hotel.
Wujud fisik bangunan rumah ini semenjak berdiri sampai sekarang
dijadikan sebuah hotel dan restoran tidak memiliki perubahan sama sekali, kecuali
penambahan kamar dan perubahan fungsi ruang yang diprioritaskan untuk
pengunjung atau tamu hotel sekarang.
Fasade rumah ini memiliki bentuk bangunan perpaduan arsitektur Jawa dan
arsitektur art deco simetri, atap miring menjulang tinggi. Struktur bangunan
bearing wall dengan konstruksi bangunan sepenuhnya di topang dinding, dua
buah tiang beton yang menyangga bangunan, dan list batu kali pada bagian luar
sebagai fondasi rumah setinggi kurang lebih 55 cm serta kayu jati pada sepertiga
bangunan. Atap yang digunakan pada banguan ini menggunakan atap pelana dan
limasan. Arah hadap rumah ini mengahadap ke arah selatan tepat menghadap
jalan utama Laweyan. Halaman rumah yang dimiliki cukup luas seperti
kebanyakan rumah saudagar batik lainnya. (Wawancara Ibu Andrini dan
Observasi, 22 Mei 2013) Lebih lanjut lihat CL 5 pada lampiran halaman 218.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
140

Gambar 4.21. Bentuk Visual Dalem Poesposumartan (tampak samping), Struktur


Bearing Wall dan Menggunakan Langgam Art Deco Campuran
Jawa menjadi Ciri Khas Rumah Ini
(Dokumentasi Pribadi, 22 Mei 2013).

Bangunan rumah ini merupakan bangunan Indis berlanggam atau bergaya


art deco . Art deco adalah seni arsitektur yang mulai mengalami kejayaan sekitar
tahun 1920an dan dipadukan dengan arsitektur Jawa menghasilkan bangunan
milik saudagar batik yang te rkesan megah dan mewah. Unsur art deco pada
Dalem Poesposumartan terlihat dari hiasan atau ornamen kaca patri yang terdapat
pada kaca jendela.
Konsep Jawa pada Dalem Poesposumartan terbentuk dengan pola ruang
seperti pola ruang pada rumah tradisional Jawa lainnya, yang terdiri dari regol,
pringgithan, gandhok yang terdiri dari gandhok kiri dan gnadhok kanan, dalem
yang terdapat ruangan krobogan atau petanen dimana di ruangan tersebut terdapat
sentong kiwa, senthong tengah dan senthong tengen, dapur atau pawon, serta
banguan pabrik dan sebuah pintu kecil atau butulan yang menghubungkan bagian
rumah belakanng dengan akses jalan kampung, sehingga jika divisualisasikan
denah rumah ini akan membentuk huruf U.
Ukuran pada saat membangun rumah ini masih menggunakan ukuran atau
konsep ukuran rumah Jawa, untuk ukuran tinggi menggunakan dimensi meter,
sedangkan ukuran panjang dan lebar menggunakan hasta dan depa dari kepala
keluarga pemilik rumah yaitu Poesposumarto. Sedangkan kosep art deco bisa
dilihat dari pemasangan berbagai ornamen yang menghiasi rumah terutama pada
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
141

panel-panel kaca dan pintu kayu, diaman terdapat hiasan kaca patri dengan warna
yang indah membentuk beberapa benda (Wawancara Ibu Andrini, 22 Mei 2013).
Lebih lanjut lihat CL 5 pada lampiran halama n 218.
Art Deco adalah seni populer, gerakan desain internasional dari 1925 sampai
1940, yang mempengaruhi seni dekoratif seperti arsitektur, desain interior, dan
desain industri, serta seni visual seperti fashion, lukisan, seni grafis, dan film.
Awalnya gaya ini dipakai untuk menghias tempat peribadatan atau gereja. Pada
saat itu, gaya ini dianggap sebagai elegan, glamor, fungsional, dan modern.
Penggunaan pada arsitektur di tunjukkan dengan pemasangan ornament dengan
mengedepankan budaya lokal (Handinoto,dkk, 2012)
Area rumah terbentuk dari dua area dalem dengan ketinggian level lantai
yang berbeda dari setiap area. Pola ketinggian lantai ini sama denagn pola
ketinggian lantai pada rumah Jawa kebanyakan dimana ada perbedaaan level
lantai antara bangunan yang besifat pribadi dan umum.
Area pertama terletak di dalem dengan ketinggian level lantainya sama
dengan area pringgitan . Area ini terletak pada bagian depan dari dalem, dengan
ukuran panjang 9,30 m lebar 1,80 m tinggi plafond 4,25 m. Area dalem yang
kedua, dengan perbedaan tinggi level lantai 20 cm lebih tinggi dibandingkan
dengan area lainnya. Area dalem tersebut memiliki ukuran panjang 9,34 m dan
lebar 3,98 m dan tinggi 4,04 m.
Ukuran pringgitan panjang 9, 34 m dan lebar 3,40. Area pringgitan pada
bagian menuju area dalem dikelilingi oleh panel-panel kayu yang terbuat dari
kayu jati dengan plistur coklat. Untuk area gandhok terdapat di samping rumah
utama, dahulu gandhok ini diperuntukan untuk menginap tamu atau saudara dari
Poesposumarto dan sekarang digunakan sebagai kamar hotel.
Area Dalem pada rumah ini terdapat krobongan atau petanen yang menjadi
bagian dari senthong tengah yang dibatasi dengan gebyok . Kanan-kiri senthong
tengah adalah senthong tengen dan senthong kiwa. Dalam area petanen ini
ditempatkan sepasang patung loro blonyo. Di area dalem terdapat dua buah tiang
(saka) yang terbuat dari besi dengan tinggi sekitar 3 m berornamen sulur-suluran

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
142

yang distilisasi. Lantai menggunakan tegel teraso dengan warna dasar merah dan
hijau yang memilki ukuran tegel yang berbeda antar ruang.
Bangunan rumah ini memilki akses bukaan yang cukup meneyesuaikan
dengan iklim tropis Jawa seperti kebanyakan bangunan Indis yang ada di Jawa.
Pintu dan jendela menggunakan double daun pintu atau bentuk kupu tarung
dengan pola geometris dan jalusi, dimana bagian atas terpisah dengan bagian
bawah.
Daun pintu dan jendela terbuat dari kayu jati dikombinasikan dengan kaca
atau glass in lood yang menghias hampir seluruh sudut ruangan, sehingga kesan
bangunan bergaya art deco semakin nampak. Pintu terletak di depan rumah
sebanyak tiga buah pintu, samping kanan dan kiri serta tengah.
Area dalem memilki akses bukaan dengan dua buah pintu di sebelah
samping, satu pintu di sebelah kanan untuk akses ke ruang paviliyon atau gandhok
dan di sebelah kiri untuk akses ke ruang tidur. Jendela terletak di samping kanan
dan kiri rumah serta di atas pintu, serta terdapat butulan yang menghubungkan
antara pintu rumah belakang dengan pabrik serta jalan kampung.

Gambar 4.22. Akses Bukaan Berupa Jendela dan Pintu dengan Kombinasi Kayu
Dan Kaca Glass In Lood pada Dalem Poesposumartan
(Dokumentasi Pribadi, 22 Mei 2013)

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
143

Dalem Poesposumartan seperti pada rumah saudagar batik lainnya di


Laweyan, memiliki bentuk bangunan yang megah dan indah karena terdapat
berbagai ornamen rumah yang menghiasi rumah. Ornamen di tempatkan pada
struktur banguan atau ditempatkan pada ruang sebagai pelengkap keindahan dan
penunjukkan kekayaan pemilik rumah.
Ornamen yang terdapat pada rumah Indis milik Poesposumarto terkesan
lebih mewah dan indah dibandingkan dengan rumah Djimatan. Kesan mewah
terlihat dari hiasan yang menempel pada panel-panel kaca warna yang
dikombinasikan dengan pola geometris kayu memberikan kesan indah.
Dalem Poesposumartan merupakan salah satu saksi bisu kejayayaan art deco
di Eropa yang merambah ke Indonesia, keuntungan yang besar dalam berdagang
batik menyebabkan Poesposumarto dapat mebangun rumah loji dengan arsitektur
Indis bercorak Art deco dengan berbagai ornament kelengkapan yang begitu
mewah dan indah dan kebanyakan adalah impor dari negeri Belanda (Wawancara
Ibu Andrini, 22 Mei 2013). Lebih lanjut lihat CL 5 pada lampiran halaman 218.

(1) Ornamen pada Pintu dan Jendela


Ornamen konstruksional yaitu ornamen yang menempel pada konstruksi
banguan. Dalem Poesposumartan sebagai rumah Indis bercorak art deco dan Jawa
memilki ornamen yang cukup banyak terurtama pada kaca dan jendela.
Art Deco adalah gaya hias yang lahir setelah Perang Dunia I dan berakhir
sebelum Perang Dunia II yang banyak diterapkan dalam berbagai bidang,
misalnya eksterior, interior , mebel, patung, poster, pakaian, perhiasan dan lain-
lain.
Pola ragam hias geometris daun pintu, jendela, dan bofenlicht dengan
dominasi bidang persegi dan lengkung dengan kombinasi kayu dan kaca patri
(glass in lood) merupakan bukti ornamen art deco menghiasi dalem
Poesposumartan ini, sedangkan unsur Jawa terlihat dari bentuk dan bahan material
penyusun jendela dan pintu berupa kayu Jati. Hiasan kaca patri ini membentuk
hiasan seperti gambar tumbuhan dan gambar matahari terbit dengam kombinasi
warna yang menarik.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
144

Gambar 4.23. Ornamen Glass In Lood pada Panel Kaca Jendela yang
Dikombinasikan dengan Pola Geometris Kayu Jati, pada Dalem
Poesposumatan
(Sumber : Dokumentasi Pribadi, 22 Mei 2013)

Variasi warna kaca terbentuk dari perpaduan warna kaca merah, biru,
kuning, putih, dan hijau. Bidang lengkung terpusat pada bagian tengah atau sisi
dalam dari daun pintu, jendela dan bofenlicht atau kaca yang terdapat pada bagian
atas pintu dan jendela.
Hiasan kaca patri juga terdapat pada gebyok sebagai area pembatas antar
area dalem dengan petanen yang memberikan kesan mewah dan elegan serta
sakral.

(2) Ornamen pada Tiang Penyangga atau Saka


Arsitektur Jawa secara umum memilki tiang saka yang berjumlah 4 buah
yang terbuat dari kayu jati dan biasanya ditempatkan di area dalem.
Poesposumarto sebagai orang Jawa mengadaptasi tiang (saka) tersebut dengan
tiang yang berjumlah dua buah, walaupun rumah tersebut secara struktur tidak
akan rubuh jika tidak mengguankan tiang karena sudah termasuk gaya banguan
bearing wall. Hal ini dilakukkan karena Poesposumartan tidak menginginkan
identitas sebagai orang Jawa hilang.
Dalem Poesposumartan memilki dua buah tiang pada area dalem yang
terbuat dari besi dengan dilapisi cat plistur berwarna coklat cerah. Tiang saka ini
memilki tinggi sekitar 4 m, ornamen yang mengisi batang tiang adalah berupa
ornamen lung-lungan berbentuk stilisasi tumbuhan. Pada umpak atau ompak tiang
saka terdapat ornamen berupa bunga.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
145

Ornamen Lung-lungan juga terdapat pada list pintu kaca atau tepatnya
diantara gebyok atau pembatas area dalem dan senthong. warna yang digunakan
adalah coklat cerah. Tiang besi tersebut merupakan tiang yang dipesan oleh
Poesposumartan langsung dari negeri Belanda.

Gambar 4.24. Ornamen Lung-lungan pada Batang Tubuh Tiang dan Stilisasi
Bentuk Bunga Padma pada Dalem Poesposumartan, Laweyan
(Sumber: Dokumentasi Pribadi, 22 Mei 2013)

(3) Ornamen Kaca Patri (Glass in Lood)


Dalem Poesposumatan merupakan gaya banguan rumah Indis dengan
mengguankan langgam Art deco . Pengaruh Art Deco dapat terlihat pada
penggunaan motif art deco dalam ornamentasi pintu, jendela dan bukaan ventilasi
yang tersebar hampir diseluruh bangunan.
Kaca pada dalem Poesposumartan memiliki bentuk yang indah, bentuk kaca
di bentuk dari kombinasi kayu dan kaca (glass in lood) didominasi bentuk
lengkung dan bentuk geometri dan juga membentuk gambar matahari, hampir
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
146

setiap sudut bangunan ini dihiasi ornamen kaca warna-warni, seperti merah,
kuning, biru, dan putih yang masih utuh.
Penempatan warna kaca biru sebagai border dan warna merah maroon pada
bagian bawah memberi kesan tegas dan kontras. Pengguanan kaca dengan warna
yang tegas dimaksudkan untuk pengaturan cahaya matahari yang masuk kedalam
rumah.

Gambar 4.25 Variasi Bentuk Ornamen Glass In Lood, sebagai ciri langgam art
deco pada pintu, jendela dan bofenlicht pada Dalem
Poesposumartan, Laweyan
(Sumber: Dokumentasi Pribadi, 22 Mei 2013)

Kesenian kaca patri yang diterapkan pada dalem Poesposumartan


menunjukan bahwa bangunan ini merupakan bangunan yang berlanggam art deco
yang berkembang pada sekitar tahun 1920an dan menunjukkan kekayaan yang
dimiliki saudagar batik Laweyan.

(4) Ornamen Pelengkap Ruang


Saudagar batik Laweyan bukan termasuk golongan bangsawan dalam
stratifikasi sosial masyarakat feodal, tetapi kekayaan mereka melebihi kekayaan
para bangsawan keraron. Kekayaan tersebut ditunjukkan dengan membangun
rumah bergaya Indis dengan kelengkapan ornamen pengisi ruang yang sebagian
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
147

berasal dari luar negeri, hal ini dikarenakan saudagar batik telah melakukan
hubungan perdagangan dengan saudagar dari luar negeri.
Dalem Poesposumartan sebagai tempat tinggal dari salah satu saudagar
batik kaya di Laweyan memilki kelengkapan ornamen penghias ruang yang cukup
banyak dan berasal dari luar negeri tetapi ornamen pelengkap lokal tetap dipakai
sebagai penanda orang Jawa.
Ornamen pelengkap ruang terdapat di area dalem, diantara ornamen
pelengkap tersebut adalah sebagai berikut. Area k robogan atau petanen
merupakan area sakral dalam pola ruang arsitektur Jawa, dimana dalam area ini
terdapat tiga buah senthong yang salah satu sentong yaitu sentong tengah berisi
pusaka dan alat-alat upacara.

Gambar 4.26 Beberapa Ornamen Pelengkap Ruang yang terdapat pada Dalem
Poesposumartan, Laweyan
(Sumber : Dokumentasi Pribadi, 22 Mei 2013)
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
148

Area ini dibatasi dengan gebyok yang dihiasi oleh gordjen motif cinde dan
panel-panelnya diukir dengan motif lung-lungan serta di depannya ditempatkan
sepasang patung loro-blonyo , meja kaca, sepasang bokor sirih dan kembang
mayang , kendi serta sepasang cermin esta bermotif flora di sebelah kiri dan kanan
gebyok.
Isi dari petanen adalah bantal dan guling dengan kain penutup warna putih
dan tutup bagian ujungnya menggunakan lempengan logam berwarna perak.
Bagian sisi dari area ini terdapat benda-benda koleksi pribadi yang berasal dari
luar negeri. Pada dalem Poesposumartan juga terdapat lampu-lampu hias yang di
impor langsung dari Belanda. Kelengkapan dan keindahan area petanen serta
ornamen penghias rumah lainnya menunjukkan kesuksesan Poesposumartan
dalam mengelola industri batik.
Ornamen pelengkap lainnya adalah sebuah meja marmer dengan kaki meja
kayu berupa ukiran naga, meja marmer ini didatangkan langsung dari Cina.
Sedangkan pada bagian lorong rumah terdapat foto-foto perjuangan Sarekat
Dagang Islam yang dipimpin oleh KH.Samanhudi serta beberapa foto keluarga
Poesposumartodan juga koleksi benda antik pada area dalem

c) Visual Struktur dan Material Interior Rumah H. Mawardi


Rumah H. Mawardi terletak di kampung Sayangan Kulon, rumah ini
merupakan rumah dari kerabat Ibu Naniek pemilik dalem Djimatan. Struktur pada
bangunan rumah ini berbeda dengan bangunan dalem Djimatan dan bangunan
dalem Poesposumartan yang bentuk banguannya didominasi loji. Bangunan ini
memilki perpaduan unsur banguan loji dengan ukiran-ukiran kayu. Rumah ini
dibangun pada sekitar tahun 1925an, rumah ini di tempati oleh istri dari Haji
Mawardi Ibu Siti Mastiloh bersama cucunya.
Rumah ini berdiri daiatas tanah seluas sekitar 700 m², dikelilingi pagar
tembok tinggi sekitar 3 meter dengan pembagian ruang khas seperti rumah Jawa
kebanyakan. Gandhok rumah terdapat disebelah kiri dan kanan rumah, pendapa
dan pringgitan jadi satu, dalem yang ter diri dari ruang senthong tengah, senthomg

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
149

k iwa dan senthong tengen dan dapur dan pabrik batik yang berada di belakang
rumah dan tambahan satu buah rumah di samping rumah utama serta regol.
Pendopo pada rumah ini di topang oleh empat buah saka guru yang terbuat
dari kayu jati dan saka pengiring bermaterialkan beton. Struktur banguan ini
merupakan perpaduan antara bentuk loji dengan kayu yang di pasang di lisplank
dan pendopo , dengan fondasi menggunakan beton setinggi sekitar 56 cm dilapisi
dengan keramik.
Fasade banguan ini meupakan ciri bangunan Indis, bentuk simetris dengan
tiga buah pintu diarea pendapha, Atap yang digunakan pada banguan ini adalah
atap Limasan dengan proporsi kemiringan hampir 60° dilengkapi dengan konsul
dari papan kayu (wawancara Ibu Naniek, 22 Mei 2013). Lebih lanjut lihat CL 1
pada lampiran halaman 200.

Gambar 4.27 Visual Struktur Bangunan Rumah Indis yang Memilki Unsur
Dominan Kayu Milik H. Mawardi, Laweyan, Surakarta
(Dokumentasi Pribadi, 25 Mei 2013)

Rumah ini terbagi kedalam dua area, area pendopo dan area dalem yang
memilki ketinggian atau level lantai yang berbeda. Area pendopo memiliki ukuran
panjang sekitar 5,30 m dan lebar sekitar 3,15 meter. Area gandhok pada rumah ini

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
150

ditempatkan di sisi sebelah kanan rumah dan difungsikan sebagai tempat tidur
tamu.
Area dalem memiliki ukuran panjang sekitar 5,30 m dan lebar 2,10 m
dengan perbedaan level lantai setinggi 20 cm. Struktur bukaan pada bangunan ini
hampir 60% terbuka, dengan ventilasi yang tredapat di bawah lisplank atap,
kemudaian di atas jendela yang menggunakkan ornament ukiran flora yang
terlihat terbuka.
Pintu di bangunan rumah ini berjumlah 3 buah pintu utama dengan double
daun pintu, pintu diletakan di sebelah kiri, tengah dan samping kanan area
pendapa. Jendela yang digunakan menggunakan pola geometris kayu dan jalusi.
Rumah H. Mawardi sebagai rumah salah satu pengusaha batik yang sukses
dijamanya, sama seperti saudagar batik lainnya yang ingin menunjukkan
eksistensinya sebagai saudagar dengan bentuk rumah yang bergaya Indis dan
ornamen yang menghiasi rumah tersebut. Ornamen pada rumah H. Mawardi
ditempatkan pada struktur rumah dan di dalan ruang sebagai penghias ruang.
Ornamen yang ada di Rumah ini sebagian be sar menepel pada struktur bangunan
sementara beberpa ornamen sebagai pelengkap terdapat di dalam ruang area
dalem.

(1) Ornamen pada Atap


Rumah H. Mawardi merupakan bangunan Indis dengan unsur material
bangunan campuran, yaitu loji dan kayu. Atap bangunan merupakan jenis atap
limasan dan pelana seperti kebanyakan rumah saudagar batik Laweyan. Ornamen
yang ada di bagian atap berupa ornamen hiasan lubang angin berbentuk lubang
angin berupa jendela bentuk jalusi dari kayu pada gavel yang terbuat dari kayu.
Pada bagian ujung atap terdapat hiasan berupa gunungan atau kayon yang terbuat
dari kayu. Rumah arsitektur Indis di Laweyan jarang sekali ditemukan yang
menggunakan hiasan kemucuk atau hiasan pada atap ini.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
151

Gambar 4,28. Ornamen pada Atap Berupa Kayon atau Gunungan (Panah Merah)
yang Terbuat dari Kayu pada Rumah Indis milik H. Mawardi di
Kawasan Laweyan, Surakarta
(Dokumentasi Pribadi, 25 Mei 2013)

(2) Ornamen pada Jendela dan Pintu


Pintu dan jendela pada rumah ini menggunakan dua daun yang terbuat da ri
kayu. Bentuk ornamen pada pintu beruap hiasan geometris yang didominasi
bentuk atau motif persegi dengan kombinasi kaca berwarna putih, sedangkan pada
jendela hanya berupa pola geometris kayu berjalusi.

Gambar 4.29 Ornamen Pintu serta bofenlicht Berupa Ukiran Bunga yang
Distalisasi dan Hiasan Kaca Geometris Kotak
(Dokumentasi Pribadi, 25 Mei 2013)

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
152

Lubang angin terdapat dibagian atas jendela (bofenlicht) ataupun pintu,


ornamen yang menghiasi lubang angin berupa ragam hias dari flora dengan motif
lunglungan dan bunga seroja yang di ukir. Pada bagaian lubang angin atau
ventilasi lain terdapat hiasan kaca bentuk persegi yang dikombinasikan dengan
kayu (glass in lood) dengan warna yang cerah.

(3) Ornamen pada Area Pringgitan


Rumah ini memiliki empat buah saka pengiring yang terdapat pada area
pringgitan , pada tiang di area ini tidak ada motif atau ragam hias dan tiang
menggunakan umpak biasa.
Menurut Ibu Naniek, pada konsol bangunan dimana konsol ini dibuat
sebagai penahan atap pada area pringgitan , terbuat dari kayu dan mendapat
pengaruh dari Cina. Selain itu terdapat pula papan kayu yang memanjang vertikal
di sekeliling tririsan berbentuk lengkung dengan ornamen bentuk flora seperti
ornamen banyu tetes yang memilki ukuran yang berbeda antara tritisan atau teras
samping dan depan.

Gambar 4.30. Ornamen pada Area Pringgitan berupa hiasan dari kayu berbentuk
memanjang mirip seperti ornamen banyu tetes (gambar kiri) dan
ornamen Lambrissering yaitu hiasan lukisan dari keramik yang di
cat dengan pola tumbuhan tunas bunga terbalik (gambar kanan)
(Dokumentasi Pribadi, 25 Mei 2013)

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
153

Sekeliling area pringgitan terdapat pula hiasan dari keramik yang di cat
dengan pola tumbuhan tunas bunga yang ditempatkan ke bawah yang disebut
Lambrissering. Area dalem terdapat hiasan ukiran berupa lung -lungan yang
menghiasi gebyok pembatas ruang senthong dan pada tiang saka.

(4) Ornamen Pelengkap Ruang


Rumah H. Mawardi sebagai rumah pengusaha batik memilki ornamen yang
terkesan mewah. Ornamen ornamen pelengkap tersebut ditempatkan di area dalem
yang bersifat sakral dan privasi. Ornamen yang digunakan di rumah H. Mawardi
kebanyakan menggunakan ornamen Jawa karena untuk menunjukkan diri bahwa
saudagar batik Laweyan masih memegang prinsip hidup orang Jawa
Ornamen pelengkap ruang pada rumah ini terdapat dia area dalem berupa,
dua buah cermin esta motif flora, yang ditempatkan di sisi kanan dan kiri ruang
senthong, sebuah meja kaca, bokor sirih, tanpa patung loro blonyo.

Gambar 4.31 Ornamen Pelengkap Ruang Berupa Sepasang Cermin dan Bokor
Siih dari Kuningan serta Furniture Berupa Kursi Berukir pada Area
pringgitan Rumah H.Mawardi, Laweyan
(Dokumentasi Pribadi, 25 Mei 2013).
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
154

Area sentong tengah sebagai area sakral, terdapat bantal dan guling sebagai
pengisi ruang, dilapisi kain warna putih dan ujungnya memakai lempengan
berwarna perak. Gebyok atau pembatas area petanen panel-panelnya diukir
dengan motif lunglungan berwarna emas dan gordjen motif cinde dan Area lantai
yang lebih tinggi dilapisi dengan permadani berwarna hijau serta kursi berukir
tang terbauat dari kayu yang ditempatkan di area pringgitan. Saudagar batik di
Laweyan membuat petanen dengan sangat indahnya dan dilengkapi dengan benda
hiasan yang bagus-bagus. Hal ini sengaja dibuat demikian untuk menunjukkan
kekayaan.

3. Fungsi dan Makna Simbolik Ornamen pada Bangunan Indis di Laweyan


Arsitektur rumah tinggal adalah sebagai hasil kebudayaan, yang
memadukan unsur seni dan ilmu bangunan yang harus diperhatikan aspek
keindahan dan konstruksi. Hal ini sejalan dengan pendapat Soekiman yang
menyatakan bahwa, “dalam arsitektur ada tiga unsur yang merupakan faktor dasar
dalam arsitektur dan harus diperhatikan yaitu masalah kenyamanan (convinience),
kekuatan atau kekukuhan (strength), dan keindahan (beauty)” (2000: 240).
Keindahan dalam arsitektur teletak dari pemberian ornamen-ornamen yang
melekat. Mengenai pengertian ornamen, Sunarmi, Guntur, & Prasetyo (2007)
menyatakan “Ornamen adalah media komunikasi yang di dalamnya terkandung
sejumlah pesan untuk dikomunikasikan kepada anggota pemiliknya melalui
simbol-simbol yang melaluinya makna-makna budaya dalam bentuk visual” (hlm.
129).
Hiasan pada bangunan rumah rumah pada dasarnya ada dua macam, yaitu
hiasan yang kontruksional dan hiasan yang tidak kontruksional.Hiasan
konstruksional ialah hiasan yang jadi satu dengan bangunannya. Jadi ini tidak
dapat dilepas dari bangunannya. Contohnya adalah pilar-pilar pada bangunan.
Sedangkan hiasan yang tidak konstruksional ialah hiasan bangunan yang dapat
terlepas dari bangunannya dan tidak berpengaruh apa-apa terhadap kontruksi
bangunan. Contohnya lampu gantung dan meubelair (Dakung, 1981).

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
155

Ornamen yang terdapat pada rumah Indis milik saudagar batik Laweyan
yang ditemukan di lapangan umumnya be rupa hiasan yang menempel pada
struktur bangunan dan ornamen yang tidak menempel pada bangunan atau
terlepas dari struktur bangunan dan berfungsi sebagai penghias ruang.
Ornamen digunakan masyarakat saudagar batik Laweyan untuk penunjukan
kekayaan, semaik in banyak ornamen rumah yang menghiasi berarti semakin kaya
orang yang menempatinya (Wawancara Bapak Alpha, 4 September 2013). Lebih
lanjut lihat CL 3 pada lampiran halaman 211.
Rumah bergaya arsitektur Indis di Laweyan secara umum menggunakan
ornamen yang konstruksional dan tidak konstruksional. Ornamen konstruksional
adalah ornamen yang menempel pada struktur bangunan, sedangkan yang tidak
konstruksional digunakan sebagai pelengkap dari isi ruang pada rumah
berarsitektur Indis. Diantara ornamen yang ada pada rumah Indis di Laweyan,
disamping menggunakan or namen yang berasal dari dalam negeri juga ornamen
yang berasal dari luar negeri.
Saudagar batik Laweyan sebagai manusia Jawa dalam membangun
rumahnya masih tetap berpegang teguh pada nilai- nilai kebudayaan Jawa
walaupun bentuk rumah mereka telah berubah menjadi bentuk loji, hal ini dapat di
buktikan dengan pola tata ruang pada bangunan milik saudagar batik Laweyan,
selain itu penggunana ornamen pada rumah Indis di Laweyan juga menerapkan
pemberian ornamen Jawa dan ornament Eropa.
Oranamen-oranamen dan material dari ornamen yang digunakan dalam
menghias rumah berarsitektur Indis milik saudagar batik di Laweyan, memiliki
makna tertentu dan merupakan sebuah tanda yang tersembunyi dan memiliki
fungsi yang berbeda dengan fungsi ornament pada rumah Jawa milik bangsawan.
Kajian seimotika dalam penelitian ini digunakan untuk mengkaji dan mendalami
makna tanda yang tersembunyi dari setiap ornamen dan material ornamen yang
digunakan oleh saudagar batik Laweyan dalam menghias rumah.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
156

a. Fungsi dan Makna Simbolik Ornamen Lung -lungan


Istilah lunglungan berasl dari kata lung yang berarti batang tumbuh-
tumbuhan yang masih muda yang mempunyai bentuk melengkung, hiasan
lunglungan biasanya distilirkan atau diukir langsung pada konstruksi banguna n,
bentuk yang distilirkan terdiri dari bentuk tangkai, daun dan bunga.
Ornamen lunglungan dipahatkan pada dua buah tiang yang terbuat dari besi
bukan dari material kayu seperti rumah bangsawan. Penggunaan material besi
untuk tiang sak a yang digunakan oleh saudagar batik sebagai bagian dari proses
penunjukkan identitas diri sebagai kaum yang termarginalkan dari stratifikasi
sosial masyarakat feodal.
Material besi pada masa tersebut merupakan bahan yang mahal dan hanya
orang kaya yang mampu untuk membeli dan menggunakan tiang yang terbuat dari
saka. Penggunaan tiang (saka) yang berjumlah dua hanya sebagai pertanda bahwa
masyarakat Laweyan masih memiliki jati diri sebagai orang Jawa, selain itu
penempatan tiang yang berada di ruang dalem, yang notabenenya adalah area semi
public menunjukkan bahwa saudagar batik ingin menunjukkan kekayaan yang
dimilki kepada orang yang berkunjung di rumahnya.

b
Gambar 4. 32 a; Bentuk Ornamen Lung-lungan b; Penempatan Lung-lungan pada
pada Tiang Saka di Dalem Djimatan.
(Sumber Ismunandar, 2007 :64; Dokumentasi Pribadi, 2013).
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
157

Jenis pohon yang biasanya distilir untuk hiasan lung-lungan adalah teratai
(padma), daun kluwih, bunga melati, dan tanaman-tanaman yang bersifat melata
dan bukan hwan, karena bagi masyarakat Jawa itu tidak diperbolehkan. ukiran
yang dibuat dengan cara mengubah atau menyederhanakan bentuk aslinya
menjadi bentuk gambar lain yang dikehendaki. Ornamen lunglungan biasanya
ditempatkanpada balok kerangka rumah seperti pada blandar, tumpang,
dadapeksi, tebeng pintu dan lain-lainnya (Ismunandar, 2007).
Rumah milik saudagar batik Laweyan yang bercorak Indis juga
menggunakan ornamen ini sebagai hiasan dari rumah mereka, penempatan
ornamen lunglungan, tersebut pada rumah saudagar biasanya pada tiang saka
yang berada di area dalem, di pahat dengan posisi vertikal dan bentuknya seperti
daun-daunan, biasanya di berikan warna yang cerah. Lunglungan memiliki fungsi
sebagai ornaemen untuk penghias ruangan serta memberikaan kesan yang angker,
wingit atau sakral. Hal ini dikarenakan ornamen lung -lungan ditempatkan pada
rumah inti atau area dalem dari rumah para saudagar batik Laweyan.
Ornamen lunglungan pada rumah berarsitektur Jawa pada umumnya, tidak
diberi warna, karena biassanya oranamen ini dipahatkan pada kayu jati, tetapi
pada rumah Indis di Laweyan, batang tiang tersebut di cat, warna cat disesuaikan
dengan penyesuaian cahaya dalam ruang. Pada rumah Indis milik saudagar batik
Laweyan yang diteliti, ditemukkan warna yang digunakaan menggunakan warna
kremm dan coklat untuk batang tiang dan hijau untuk stiliran lunglungan. Warna
hijau dan coklat memberikan kesan kenyamanan.
Ornamen lunglungan, pada rumah indis di Laweyan ini memiliki makna
yang sama dengan makna pada rumah Jawa pada umumnya, ya itu sebagai
perlambang kesuburan sebagai sumber penghidupan di muka bumi dan
menunjukan simbolisme tanaman sorgawai. Masyarakat saudagar batik Laweyan
yang memiliki watak berdagang, selain mengaanggap ornamen ini sebagai
penghias rumah juga melambangkan da ri kesuksesan duniawi karena yang
digambarkan adalah sumber kehidupan di dunia berupa bentuk tanaman.
(wawancara Ibu Naniek, 23 Mei 2013). Lebih lanjut lihat CL 1 pada lampiran
200.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
158

b. Fungsi dan Makna Simbolik Ornamen Kaca Patri (Glass In Lood)


Ornamen kaca patri (Glass In Lood), merupakan suatu ornamen hasil
perkembangan arsitektur kolonila Belanda di Jawa. Ornemen ini termasuk
kedalam ornamen gya arsitektur art deco. Art Deco adalah gaya hias yang lahir
setelah Perang Dunia I dan berakhir sebelum Perang Dunia II yang banyak
diterapkan dalam berbagai bidang, misalnya eksterior, interior, mebel, patung,
poster, pakaian, perhiasan dan lain-lain (Joehana, 2004) .
Perkembangan Art Deco tidak lepas dari pengaruh situasi dan kondisi
jamannya, pada saat itu di Eropa sedang berlangsung revolusi industri, masyarakat
terpesona oleh adanya penemuan-penemuan dan teknologi yang maju dengan
pesat.
Bangunan rumah dengan arsitektur ber langgam art deco menempatkan
hiasan kaca patri pada jendela rumah dan pintu, serta lubang ventilasi udara.
Bentuk dari hiasn kaca ini memilki berbagai bentuk berupa bentuk geometri garis,
lengkung ataupun berupa kotak persegi panajng kecil atau pun membentuk
gambar matahari dengan dikombinasikan (dimasukan) pada pola geometris kayu.
Ornamen kaca ini biasanya mengguankan warna yang cerah seperti merah,
kuning, hijau, putih, biru. Ornamen kaca patri merupakan penanda bangunan Indis
tersebut bercorak atau bergaya art deco.
Ornamen kaca sebagai penanda banguan art deco di Laweyan paling banyak
digunakan pada dalem Poesposumartan, bentuk kaca dibentuk dari kombinasi
kayu dan kaca (glass in lood) didominasi bentuk lengkung dan bentuk geometri
dan juga membentuk gambar matahari, hampir setiap sudut bangunan memiliki
bentuk dengan kombinasi warna yang indah.
Bentuk geometri yang mendominasi bentuk hiasan kaca patri menunjukkan
karakter semangat desain akibat perkembangan teknologi yang digambarkan ke
dalam desain dalam bentuk garis-garis lengkung dan zig-zag. Awalnya hiasan
kaca patri hanya dipeuntukan untuk bangunan-banguan peribadatan (gereja), dan
yang dilukiskan adalah cerita-cerita dalam kitab bible.
Pola ragam hias geometris terdapat pada kaca patri daun pintu, jendela, dan
bofenlicht dengan dominasi bidang persegi dan lengkung. Variasi warna kaca
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
159

terbentuk dari perpaduan warna kaca merah, biru, kuning, putih, dan hijau. Bidang
lengkung terpusat pada bagian tengah atau sisi dalam dari daun pintu, jendela dan
bofenlicht. Penempatan warna kaca biru sebagai border dan warna merah maroon
pada bagian bawah memberi kesan tegas dan kontras.

Gambar 4. 33 Variasi Bentuk Ornamen Art Deco Berupa Hiasan Glass In Lood
sebagai Penanda Langgam Eropa dengan Bentuk Pola Garis
Lengkung dan Lurus Berwarna Cerah pada Dalem
Poesposumartan, Laweyan.
(Dokume ntasi Pribadi, 23 Mei 2013) .

Pengguanaan warna yang cerah berfungsi sebagai unsur penyeimbang


penchayaan bangunan, keitka malam hari warna tersebut berpadu dengan cahaya
lampu gantung memberi kesan keindahan dan ketentraman,begitu pun pada siang
hari akan memantulkan cahaya matahari yang masuk ke dalam rumah.
Makna simbolik dari hiasan kaca ini tidak lebih hanya sebagai hiasan dan
penunjukan kekayaan dari saudagar batik, karena ornamen ini di impor langsung
dari Eropa. (wawancar a Ibu Andrini, 25 Mei 2013). Lebih lanjut lihat CL 5 pada
lampiran halaman 218.

c. Fungsi dan Makna Simbolik Hiasan Gunungan dan Banyu Tetes


Masyarakat Jawa pada umumnya tidak terlalu memperhatikan hiasan-hiasan
yang terdapat pada bagian puncak rumah. Selain pada bangunan-bangunan rumah
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
160

ibadah, hiasan kemuncak tidak terlalu mendapat tempat yang spesial pada rumah
di Jawa. Berbeda dengan masyarakat Kolonial Belanda, yang sangat
memperhatikan hiasan atap rumah, karena memilki makna dan arti simbolis dalam
kehidupan masyarakat Belanda (Sujayanto, 2000).
Atap pada bangunan berarsitektur Indis di Laweyan secara umum
menggunakan kombinasi atap limasan dan pelana. Penggunaan atap limasan
kerena masyarakat Laweyan menyadari bahwa kelas sosila yang disandang adalah
sebagai kawula, bukanlah bangs awan dan termasuk kedalam elite keraton.
Pembannguan rumah bearsitektur Indis hanya sebagai pembuktian diri sebagai
masyarakat yang termarginalkan dari struktur tatanan masyaraka t feodal keraton,
selain itu Bentuk limasan dianggap cocok dengan struktur banguan bearing wall
yang ada di Laweyan (Wawancara Ibu Naniek Widayati, 21 Mei 2013) . Lebih
lanjut lihat CL 1 pada lampiran 200.
Ornamen yang mengisi atap rumah Indis pada awalnya merupakan
ornament yang berasal dari Belanda berupa penunjuk arah angin (windwijzer) dan
geveltovmen atau hiasan kemuncak yang berada pada depan rumah Indis. Seiring
perkembangan waktu hiasan kemuncak mengambil ornament tradisional Jawa
(Soekiman, 2000).
Rumah Indis di Laweyan ada yang mengguankan hiasan atap dan ada pula
yang tidak menggunakan, pada observasi yang peneliti lakuakan hiasan atap pada
rumah Indis di Laweyan hanya satu rumah yang mengguankan hiasan berupa
kayon atau gunungan sebagai pengganti geveltovmen.
Ornamen gunungan atau kayon mengandung makna filosofis yang dalam
dalam masyarakat Jawa. Gunungan atau kayon diinterpretasikan sebagai lambang
dari jagad raya tempat manusia berpijak.
Hiasan gunungan merupakan lambang ke Agungan dan ke Esaan yang
diharapkan para penghuni rumah yang memakai hiasan gunungan akan mendapat
ketentraman lahir dan batin, serta dilindungi Tuhan Yang Maha Esa. Hal ini
sejalan dengan pendapat Djono, et al (2009) yang menyatakan bahwa, “kayon
atau gunungan esensinya adalah perwujudan rumah tradisional Jawa, yang

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
161

merupakan simbol kehidupan, yang dipercaya sebagai penghubung dunia bawah


(bumi) dan langit” (hlm. 273).
Salah satu rumah Indis di Laweyan pada area di bawah atap atau gevel dan
di area teras dikelilingi dari kayu yang memanjang vertikal berbentuk lengkung
dengan ornamen bentuk flora mirip seperti ornamen banyu tetes yang memilki
ukuran yang berbeda antara tritisan (teras) samping dan depan.

Gambar 4.34. Bentuk Ornamen pada Atap Berupa Gunungan atau Kayon (gambar
atas) dan Ornamen Kayu Memanjang Secara Vertikal di Area
Teras pada Rumah Indis milik H. Mawardi
(Sumber: Dokumentasi Pribadi, 23 Mei 2013)

Fungsi dari ornamen gunungan sendiri sebagai perwujudan dari masyrakat


Laweyan sebagai orang yang tidak menginginkan identitas sebagai manusia Jawa
hilang, sedangkan fungsi dari ornamen kayu memanjang vertikal dengan ornamen
mirip ornamen banyu tetes berwarna coklat krem , fungsinya adalah sebagai
penahan sinar matahari dan hujan serta sebagai ventilasai angin, sementara itu
makna simbolik yang terkandung dalam hiasan banyu tetes adalah sebagai makna
kehidupan yang mengandung filosofi tiada kehidupan tanpa air (Wawancara Ibu
Naniek Widayati, 21 Mei 2013). Lebih lanjut lihat CL 1 pada lampiran halaman
200.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
162

d. Fungsi dan Makna Simbolik pada Ornamen Pelengkap Ruang


Ornamen atau ragam hias yang digunakan oleh saudagar batik Laweyan
menggunakan ornamen khas Jawa karena merupakan orang Jawa. Hiasan
ornamen pelengkap ruang banyak ditemukan di area dalem dimana area ini
merupakan area yang bersifat privat bagi pemilik rumah.
Ornamen yang digunakan menggunakan ornamen yang indah dan mewah
sebagai wujud pennunjukan diri bahwa saudagar batik adalah orang kaya.
Ornamen yang diwujudkan ada yang berasal dari luar Indonesia karena saudagar
batik Laweyan pada masa perdagangan batik telah melakukan perdagangan
internasional (Wawancara Bapak Alpha, 4 September 2013). Lebih lanjut lihat CL
3 pada lampiran halaman 211.
Araea dalem terdapat sebuah ruangan yang bersifat sakral, ruangan ini
diseburt dengan ruang petanen, di dalam ruang petanen di tempatkan berbagai
ornament diantaranya adalah Patung loro blonyo , sepasang cermin, bokor hasil
tani dan tempat kinang, meja kaca.
Area petanen dilengkapi dengan ruang sentong yang terbagi kedalam tiga
ruang yaitu sentong kiwa, sentong tengen, dan sentong tengah. Sentong tengah
adalah ruang yang sangat disaktralkan dan tidak ditempati sebagai tempat tidur
tetapi dilengkapi dengan bantal dan guling, padi dan pusaka milik pemilik rumah.
Keindahan ruang petanen pada rumah Indis di Laweyan menujukkan
kemewahan dan keindahan. Kemewahan terlihat dari ornamen ukir pada bagian
tebeng atau gebyok yang diukir dengan ukiran yang sangat indah, serta keahlian
yang tinggi. Penambahan lemari kecil berisi benda -benda koleksi ysng berasal
dari luar negeri menunjukkan saudagar batik ingin memamerkan kekayaan yang
dimiliki.
Kehidupan masyarakat jawa memandang ruang krobongan sebagai ruang
tempat bersemayamnya Dewi Sri atau dewi kesuburan dan kebahagiaan dalam
rumah tangga, keberadaan krobongan beserta isinya tidak dapat dipisahkan dari
pemahaman orang jawa tenteng keseimbangan hidup antara makrokosmos dan
mikrokosmos (Djono, et al, 2009).
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
163

Krbongan sebagai ruangan khusus pemujaan Dewi Sri bagi masyarakat


Jawa, memilki makna simbolis dari setiap isi benda yang terdapat di dalamnya.
Berikut dijelaskan satu persatu makna dari setiap ornamen pelengkap tersebut.
Tetapi bagi masyarakat Laweyan hal tersebut hanya sebagai penunjukkan
kekayaan dengan menempatkan benda -benda koleksi yang mewah dan mahal
semata tanpa ada makna simbolik yang menyeratinya. (wawancara Ibu Naniek
Widayati, 21 Mei 2013). Lebih lanjut lihat CL 1 pada lampiran halaman 200.

1) Patung Loro-Blonyo
Patung loro blonyo merupakan patung sepasang pengantin Jawa yang
ditempatkan di area petanen, tepatnya di sebelah kiri dan kanan sentong.
Patung dalam ruangan itu bukan hanya sebagai pajangan semata tetapi
melambangkan kebahagian suami istri pemilik rumah dan perwujudan
cita-cita. Hal ini sejalan dengan pendapat Subiantoro (2009) bahwa, ”loro-
blonyo menjadi lambang cita-cita yang dipedomani nilai intrinsik sebagai
lambang kekuatan spiritual” (hlm. 193).

Gambar 4.35. Patung Loro-Blonyo pada Area dalem dan Bokor Sirih dari
Kuningan.
(Sumber Dokumentasi Pribadi, 25 Mei 2013) .

Keberadaaan patung loro-blonyo pada masyarakat saudagar Laweyan


melambangkan status kekayaan dari para saudagar batik Laweyan. Pada
bagian depan loro blonyo ditemapatkan paidon, genuk atau bokor sirih,

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
164

bokor hasil bumi, dan kendi tidak dari tanah liat seperti dalem pada rumah
bangsawan, tetapi terbuat da ri bahan kuningan
Penggunaan paidon, genuk atau bokor sirih, bokor hasil bumi, dan
kendi dari material kuningan menunjukkan tanda bahwa saudagar batik
ingin menunjukkan kekayaan yang dimiliki dengan membuat kelengkapan
ornament penghias ruang yang berbeda dengan milik bngsawan

2) Kain Cindai atau Patola India


Penutup tempat tidur dan bantal serta guling di dalam krobongan
merupakan kain cindai atau patola India. Karena memiliki pola yang sarat
dengan makna Hindu (pola jlamprang dan cakra-senjata Dewa Wisnu dan
delapan tataran yoga) maka kain ini dianggap memiliki kesaktian dan
keberadaannya pun dikeramatkan. Hal ini melambangkan bahwa saudagar
batik laweyan mampu menandingi kekayaan bangsawan meskipun
termasuk kedalam kelas kawula, begitu pula lempengan loga m berwarna
emas dan perak, pada ujung bantal dan guling menunjukan kesan pamer
kekaayaan dan kemewahan dari saudagar batik.

3) Sepasang Cermin
Masyarakat Jawa dalam menjalani kehidupan penuh dengan symbol,
begitu pila dengan penggunaan ornament cermin pada rumah tempat
tinggal. Cermin besar esta dengan motif flora, pada rumah Indis di
Laweyan biasanya diletakkan di area dalem (di kanan dan kiri petanen)
serta di pendapa (pada tembok kanan dan kiri). Hiasan cermin ini telihat
mewah dengan warna emas dan ukiran yang indah.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
165

Gambar 4.36 Cermin sebagai Pelengkap Ruang dan Penolak Bala sesuai
Kepercayaan Orang Jawa pada area Krobongan ditemapatkan di
sisi kanan dan kiri Senthong.
(Sumber: Dokumentasi Pribadi, 25 Mei 2013)

Saudagar batik di Laweyan membuat rumah Loji bergaya arsitektur Indis


dan ornamen pengisi ruangan dengan sangat indahnya dan dilengkapi dengan
benda hiasan yang bagus-bagus. Hal ini sengaja dibuat sedemikian oleh para
pengusaha untuk menunjukkan kelebihannya sebagai pengusaha walaupun mereka
bukan dari golongan bangsawan.
Pemberian ornamen tambahan berupa koleksi benda dari luar negeri pada
ruang petanen semakin menunjukan fungsi dari benda tersebut bukan hanya
sebagai hiasan tatapi ajang penunjukan kekayaan dan kesuksesan menja di
saudagar batik Laweyan. (wawancara Ibu Naniek Widayati, 21 Mei 2013). Lebih
lanjut lihat CL 1 pada lampiran halaman 200.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
166

4. Hubungan Antara Bentuk Arsitektur dan Ornamen Bangunan Rumah


Indis dengan Status Sosial Saudagar Batik Laweyan
Abad ke XX merupakan periode emas bagi kalangan saudagar batik
Laweyan dalam perdagangan batik. Ditemukannya teknologi batik cap,
perkembangan transportasi kereta api di Surakarta merupakan beberapa factor
penyebab berkembangnya Indiustri batik di Laweyan, sehingga menyebabkan
Laweyan bermetamorfosis dari kampung penghasil dan pusat perdagangan lawe
pada masa keraton Pajang menjadi salah satu pusat dari produksi dan perdagangan
batik di Surakarta.
Status sosial masyarakat saudagar batik yang tergolong kedalam kelas
kawula menjadikan masyarakat sauda gar batik termarginalkan oleh sistem budaya
feodal. Hal ini menyebabkan masyarakat saudagar batik Laweyan merasa perlu
membentuk identitas diri dan menampakkan kelas sosialnya dalam kehidupan
masyarakat.
Saudagar batik Laweyan meskipun tergolong kedalam status sosial kawula
atau golongan rakyat kebanyakan, tetapi dalam menjalani kehidupannya masih
meniru konsep dari para priyayi, hal ini dikarenakan saudagar batik Laweyan
terikat hubungan dengan perdagangan batik.
Konsep yang ditiru dari golo ngan priyayi menunjukan sikap “ambigu” dari
masyarakat Laweyan pada umumnya dan saudagar batik Laweyan pada
khususnya. Di sisi lain masyarakat saudagar batik Laweyan merupakan para
saudagar yang tidak terikat stratifikasi sosial keraton da n hanya berfokus pada
perdagangan batik, tetapi di sisi lain masyarakat Laweyan meniru pola hidup dan
kebudayaan para priyayi keraton, termasuk meniru arsitektur Indis yang lebih
dahulu berkembang di lingkungan keraton (Wawanca Ibu Naniek Widayati, 21
Mei 2013). Lebih lanjut lihat CL 1 pada lampiran halaman 200.
Kesuksesan saudagar batik pada sekitar abad XX menyebebkan kekayaan
saudagar batik mengalami peningkataan dan lebih tinggi kekayaan saudagar batik
dibandingkan dengan para bangsawan keraton. Kekayaa n yang melimpah
menyebabkan saudagar batik mampu untuk meniru pola dan gaya hidup Indis

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
167

yang berkembang di kalangan pejabat pemerintah Kolonial Belanda dan


bangsawan keraton terutama bidang arsitektur pembanguan rumah.
Kesuksesan dan kekayaan saudagar batik Laweyan menyebabkan saudagar
batik perlu membangun rumah dengan arsitektur Loji yang memilki banguanan
yang besar dan pekarangan yang luas besrta kelengkapannya berupa ornamen-
ornamen penghias dan furniture yang didatangkan langsung dari Belanda, sebagai
salah satu cara untuk menampakan identitas diri sebagai saudagar sukses dan
status sosial masyarakat saudagar batik Laweyan sebagai kaum yang termarginal
di lingkungan masyarakat feodal.
Penunjukan satatus sosial dari masyarakat saudagar batik Laweyan tid ak
hanya pada bentuk rumah loji berarsitektur Indis yang dimiliki. Tetapi penunjukan
status sosial melalui kekayaan benda-benda juga menjadi sarana dalam hal
penunjukan status sosial di masyarakat. Hal ini sejalan dengan pendapat
Soedarmono bahwa, “para juragan biasanya juga memiliki barang-barang sebagai
simbol status kekayaan. Misalnya: krobongan, dubang , gigi emas, perhiasan, dan
tata cara berpakaian Jawa seperti priyayi” (2006:115).
Periode abad XX rumah-rumah milik saudagar batik Laweyan mengalami
perubahan bentuk dari arsitektur Jawa khususnya rumah bentuk kampung dengan
komposisi material kayu menjadi rumah loji dengan struktur dari beton dan
tembok bearing wall.
Perubahan bentuk rumah tersebut tidak menghilangkan jiwa saudagar batik
Laweyan sebagai orang Jawa. Rumah loji berarsitektur Indis di Laweyan memiliki
struktur ruang yang sama dengan struktur ruang yang ada pada rumah bangsawan
secara umum, karena ada ikatan sosial dalam perdagangan batik dengan keraton.
Rumah saudagar batik memiliki pendopo, pringgitan, gandok, dalem,
sentong dan petanen yang membedakan adalah masyarakat saudagar batik
Laweyan tidak megikuti pola ruang bangsawan secara penuh, mereka bebas dalam
menentukan letak dari rumah pendukung. Bentuk pola ruang yang sama dengan
rumah bangsawan, hanya sebagai prototype dari kebanyakan banguan yang ada di
Surakarta (wawancara bapak Drs. Susanto, 6 Juni 2013) . Lebih lanjut lihat CL 2
pada lampiran halaman 208.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
168

Keterkaitan bentuk visual rumah dengan penunjukan kelas sosial dapat


dipahami dari sistem sosial yang berlaku pada masyarakat Jawa. Rumah
merupakan salah satu sarana penting dalam penunjukan kelas sosial, sehingga
rumah bagi saudagar batik Laweyan yang termarginal dalam sistem sosial budaya,
tidak hanya sebagai sarana pemenuhan kebutuhan tempat tinggal saja, tetapi juga
sebagai bagian dari identitas sosial.
Pembangunan rumah loji berarsitektur Indis di Laweyan menyebabkan
masyarakat saudagar batik Laweyan memilki rumah dan pekarangan luas,
sehingga pada periode tersebut status saudagar besar yang sukses dapat dilihat
dari bentuk rumah dan perkarangan atau persil tanah rumah yang di miliki.
Pembanguan rumah Indis dengan struktur yang besar dan luas tersebut
menjadikan kawasan Laweyan jika dilihat dari struktur tata ruang elemen
kawasandibentuk oleh butiran masa yang saling berdekatan dan membentuk jalan-
jalan merupakan ciri lain dari pemukiman tradisional. Hal ini sejalan dengan
pendapat Priyatmono (mengutip simpulan Carmona.dkk, 2003) bahwa,
Permukiman tradisional biasanya banyak dicirikan dengan munculnya massa
bangunan yang mempunyai tampak berupa dinding-dinding tertutup menghimpit
dan dikelilingi oleh gang atau jalan sempit (2004 : 3).
Periode abad XX, masyarakat di Laweyan dapat melihat besar dan kecilnya
kesuksesan saudagar batik dapat dilihat dari bentuk rumah dan luas tanah yang di
miliki. Pembagian persil tanah dikawasan kampung Laweyan, secara garis besar
di bagi kedalam tiga bagian tanah persil, yaitu persil untuk juragan atau saudagar
batik dan untuk buruh batik.
Jenis pembagian persil untuk rumah di Laweyan secara garis besar terdiri
dari persil rumah juragan batik besar seluas 1000 m²-3000 m² , persil rumah
juragan batik sedang antara 300 m²-1000 m², persil milik buruh batik antara 25 m²
-100 m².
Pembagian persil tanah milik saudagar batik Laweyan berpengaruh terhadap
bentuk rumah berarsitektur Indis beserta ornamen pelengkap ruang yang dimilki.
Semakin besar persil tanah dan besarnya rumah yang dibangun besrta
kelengkapan ornamen pengisi rumah menunjukan saudagar batik tersebut
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
169

termasuk kedalam saudagar batik besar pada periode tersebut. Begitu pula
sebaliknya saudagar batik yang memilik persil tanah yang kecil dikategorikan
sebagai saudagar sedang dan sisanya termasuk golongan pekerja atau buruh batik.
Berdasarkan pengamatan dan survey di lapangan, menemukan bahwa ada
sekitar 23 Pengusaha batik yang masih aktif berproduksi dan 3 diantaranya
merupakan pengusaha yang terkenal akan kesuksesannya dan dikategorikan
sebagai pengusaha besar dan sedang pada masa tersebut. Ketiga pengusaha
tersebut memilki bentuk rumah Indis dengan gaya dan style yang berbeda sesuai
dengan tingkat kesuksesan dari saudagar batik tersebut.

a. Bentuk Arsitektur Bangunan Rumah Indis dan Ornamen Saudagar


Batik Besar
Masyarakat Laweyan merupakan masyarakat yang memilki mata
pencaharian yang homogen, yaitu sebagai saudagar dan pedagang batik. Dalam
starifikasi masyaraat feodal, masyarakat saudagar batik Laweyan termasuk
kedalam golongan kawula, yang termasuk kedalam kategori golongan dari rakyat
kebanyakan walaupun saudagar batik tersebut memiliki kekayaan melebihi
kekayaan bangsawan keraton.
Kategori golongan kawula yang disandang masyarakat dan saudagar batik
Laweyan menyebabkan keinginan masyarakat Laweyan untuk membentuk
struktur dan sistem sosial sendiri yang berbeda dengan struktur masyarakat feodal
keraton dan berlaku untuk komunitas Laweyan yang tremarginalkan oleh sistem
budaya dan sosial masyarakat feodal.
Perbedaan struktur dan sistem sosial yang berlaku di masyarakat Laweyan
dengan masyarakat feodal di keraton ditunjukan dengan penempatan saudagar
batik sebagi puncak hieariki dalam struktur dan status sosial yang berlaku dalam
komunitas Laweyan.
Status sosial sebagai saudagar besar ditandai dengan memilki rumah dan
persil tanah yang luas untuk membangun rumah dan pabrik. Persil tanah yang
dimiliki oleh saudagar besar memilki luas sekitar 1000 m² - 3000 m² , dengan
diberi batas tembok tinggi (beteng) setinggi hampir 4 meter.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
170

Masyarakat saudagar batik Laweyan menjadi pendukung dari


perkembangan kebudayaan Indis di Surakarta dipengaruhi oleh kekayaan yang
dimiliki oleh saudagar batik yang memperoleh kekayaan dari hasil usaha batik
pada sekitar abad XX, selain itu faktor perkembangan kota Surakarta semenjak
pembukaan perusahaan swasta ikut mempengaruhi perke mbangan kebudayaan
Indis khususnya hasil kebudayaan berupa bentuk arsitektur rumah tinggal milik
saudagar batik di Laweyan.
Abad XX merupakan abad kesuksesaan dari para saudagar batik Laweyan.
Perkembangan indusrtri batik tersebut berpengaruh tehadap eksistensi Laweyan
sebagai kawasan yang spesifik, sehingga corakbangunan rumah pada abad XX di
Laweyan, khusunya rumah milik saudagar batik Laweyan banyak dipengaruhi
oleh gaya arsitektur Eropa dan Islam, sehingga banyak bermunculan bangunan
bergaya arsitektur Indis (Jawa-Eropa), dengan bentuk banguan dan halaman yang
besar (Wawancara Bapak Alpha Febella, 4 September 2013). Lebih lanjut lihat
CL 3 pada lampiran halaman 211.
Bentuk rumah loji atau tembok merupakan pola dari rumah golongan Eropa
dan elite pribumi dengan halaman rumah yang luas yang menunjukan rumah para
penguasa dan menduduki hiearki yang tinggi dalam tatanan masyarakat. Pola
rumah seperti ini yang di adaptasi dengan baik oleh saudagar batik Laweyan pada
sekitar tahun 1920-1930an.
Tipikal masyaraka t saudagar batik yang berjiwa pedagang ditambah
keuntungan yang besar dalam berdagang batik sekitar abad akhir abad 19 dan
awal abad 20 menjadikan cepat berkembangnya budaya Indis di Laweyan
khususnya arsitektur rumah Indis, hal ini dikarenakan masyarakat saudagar batik
telah melakukan kontak perdagangan dengan para pedagang dari berbagai
bangsa,saudagar batik sudah mampu berdagang ke luar negeri terutama ke Eropa
oleh karena itu saudagar batik mempunyai wawasan mengenai arsitektur luar
negeri wawasan itu lantas diterapkan untuk rumah-rumah saudagar batik yang
meniru rumah-rumah pejabat kolonial. (Wawancara Bapak Mohammad Muqofa
pada tanggal 8 Juli 2013). Lebih lanjut lihat CL 4 pada lampiran halaman 213.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
171

Arsitektur rumah tinggal bergaya Indis milik saudagar batik Laweyan,


memiliki bentuk arsitektur unsur campuran yaitu arsitektur Jawa dan Eropa
(Belanda), baik unsur struktur bahan material bangunan ataupun dari ornamen
eksterior interior bangunan rumah.
Unsur Aritektur Belanda bisa dilihat dari struktur material banguan yang
berjenis bearing wall dengan tiang atau kolom yang diadaptasi dari tiang berjenis
Ionia, tanpa ornamen, biasanya diletakan di depan rumah sebaga i penopang
bangunan, kemudian dari sturktur list batu kali pada fondasi banguan. Unsur
ars itektur Jawa dalam rumah Indis di Laweyan dilihat dari bentuk atap yang
kebanyakan mengguankan atap limasan, kemudain pola ruang yang diadaptasi
dari arsitektur Jawa, seperti adanya regol, pringgithan, dalem, gandhok, ruang
petanen atauu krobongan atau petanen beserta unsur kelengkapannya.
(wawancara Ibu Naniek Widayati, 21 Mei 2013). Lebih lanjut lihat CL 1 pada
lampiran halaman 200.
Poesposumarto dan Tjokrosoemarto adalah dua orang pengusaha batik
Laweyan yang terkenal dan termasuk kedalam kategori pengusaha atau saudagar
besar pada abad ke XX. Pengusaha tersebut memilki rumah loji dengan arsitektur
Indis yang megah dengan ornamen eksterior yang indah dan mewah.
Rumah Tjokrosumarto atau lebih dikenal dengan dalem Tjokrosumartan
dibangun pada tahun 1928, dengan luas bangunan 1800 m² di atas tanah persil
seluas sekitar 3000 m² yang didalamnya terdapat tiga rumah yang diperuntukan
untuk anak-anak Tjokrosumarto. Rumah ini dibangun dengan struktur bearing
wall berasitektur Indis langgam Art Noveau dan Jawa.
Langgam Art Noveau dalah gaya dari seni dekoratif yang menjamur di
seluruh Eropa khususnya di Perancis selama dekade terakhir abad 19 dan tahun-
tahun awal abad 20. Gaya ini ditandai dengan bentuk organik, khususnya yang
diilhami motif-motif bunga dan tanaman lain, dan juga sangat bergaya bentuk-
bentuk lengkung yang mengalir. Gaya Art Nouveau dan pendekatannya telah
diterapkan dalam hal arsitektur, melukis, furnitur, gelas, desain grafis, perhiasan,
tembikar, logam, dan tekstil dan patung (Handinoto et al, 2012 ).

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
172

Rumah Tjokrosumarto rumah dengan arsitektur Indis yang sangat megah


dengan kelengkapan ornamen yang mewah dan sangat indah, tetapi dalam
penelitian ini penulis tidak bisa menjabarkan lebih detail tentang rumah ini karena
tidak di ijinkan oleh pemilki rumah untuk dijadikan obyek penelitian.
Poesposumarto adalah salah satu pengusaha atau saudagar batik kedua yang
terkenal dan kaya di Laweyan, kesuksesan yang diaih dari usaha perdagangan
batik membuat Poesposumartan dapat membangun rumah loji berarsitektur Indis
untuk Poesposumarto dan istri serta ketiga anaknya.
Rumah Poesposumarto atau lebih dikenal dengan Dalem Poesposoemartan
berlokasi di Jalan Dr.Radjiman 501, Laweyan, Surakarta. Rumah Poesposumartan
dibangun pada sekitar tahun 1938, dibangun diatas lahan seluas 1950 m²,
dikelilingi oleh pagar tembok seperti kebanyakan rumah saudagar batik di
Laweyan setinggi kurang lebih sekitar 3 m.
Dalem Poesposumartan semenjak dibangun pada sekutar tahun 1938 sampai
sekarang bentuk dan wujud rumah tersebut, khususnya banguan induk tidak
mengalami perubahan dari banguan asli kecuali perubahan fungsi ruangan yang
diprioritaskan untuk tamu hotel. Rumah ini tetap khas dengan gaya arsitektur
Indis – Jawa dengan langgam Art Deco. (Wawancara Ibu Andrini, 25 Mei 2013).
Lebih lanjut lihat CL 5 pada lampiran halaman 218.
Art Deco adalah seni populer, gerakan desain internasional dari 1925 sampai
1940, yang mempengaruhi seni dekoratif seperti arsitektur, desain interior, dan
desain industri, serta seni visual seperti fashion, lukisan, seni grafis, dan film.
Pada peiode saat itu, gaya art deco ini dianggap sebagai elegan, glamor,
fungsional, dan modern (Joehana, 2004).
Fasade rumah ini memiliki bentuk bangunan perpaduan arsitektur Jawa dan
arsitektur art deco simetri, atap miring menjulang tinggi. Struktur bangunan
bearing wall dengan konstruksi bangunan sepenuhnya ditopang dinding, dua buah
tiang beton sebagai tiang yang diadaptasi dari gaya Ionia berfungsi untuk
menyangga bangunan serta list batu kali pada bagian luar sebagai fondasi rumah
setinggi 55 cm serta kayu jati pada sepertiga bangunan. Atap yang digunakan pada
banguan ini menggunakan atap pelana dan limasan. Arah hadap rumah ini
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
173

mengahadap ke arah selatan (Wawancara Ibu Andrini dan Observasi, 22 Mei


2013). Lebih lanjut lihat CL 5 pada lampiran halaman 218.
Unsur art deco pada dalem Poesposumartan bisa dilihat dari berbagai hiasan
kaca patri yang dikombinasikan dengan bentuk geometris kaca atau jendela kayu
(glass ini lood) yang ditempatkan di kaca jendela, pintu serta bovenlicht atau
lubang ventilasi di atas pintu dan jendela yang bisa dilihat diberbagai sudut
ruangan.
Masyarakat saudagar batik Laweyan pada umumnya dan Poesposumarto
khususnya sudah lama melakukanaktifitas perdagangan batik sampai keluar
negeri, dari aktifitas itu menyebabkan wawasan masyarakat Laweyan menjadi
lebih terbuka dalam menerima pengaruh kebudayaan asing, termasuk arsitektur
Indis dan ornamen-ornamen penghiasnya.
Penggunaan hiasan kaca patri untuk hiasan kaca jendela dan pintu misalkan
merupakan salah satu wujud dari kontak kebudayaan Jawa dengan Eropa dan
merupakan penanda dari perkembangan dari langgam art deco di Laweyan.
Hiasaan kaca patri yang dikombinasikan dengan kayu pada pintu dan jendela yang
diimpor langsung dari Belanda menunjukan masyarakat Laweyan sebagai
masyarakat yang tidak kalah kekayaan dengan bangsawan keraton (Wawancara
Ibu Andrini, 25 Mei 2013). Lebih lanjut lihat CL 5 pada lampiran hlaman 218.
Masyarakat Jawa dalam kehidupannya tidak terlepas dari simbolisme dalam
berbagai aspek. Naiknya status sosial dapat diwujudkan dengan banyak simbol,
sebagai tanda yang dianggap mampu mewakili sebuah makna tertentu. Bentuk-
bentuk simbolisme dalam budaya Jawa sangat dominan dalam segala hal dan
segala bidang, salah satunya adalah bentuk ruma h menunjukan kekayaan
pemiliknya serta onamen pengisi rumah yang mempunyai makna simbolis tertentu
bagi penghuninya (Satoto, 2003).
Poesposumarto merupakan salah satu saudagar batik kaya yang berada di
Laweyan, pembanguan rumah Indis yang berlanggam Art Deco dengan
pemakaian ornamen yang mewah dan banyak pada rumah serta di impor langsung
dari Belanda serta ornamen Jawa yang menunjukan bahwa Poesposumartan masih

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
174

menganut konsep pemikiran Jawa dan menunjukan kekayaan Poesposumarto


tidak kalah dengan kekayaan para bangsawan.
Pemakaian ornament-ornamen berlanggam Eropa baik yang di tempatkan
pada pintu, jendela, kaca serta penggunaan lantai marmer pada bangunan rumah,
bagi masyarakat saudagar batik Laweyan semakin banyak ornamenyang ada di
dalam rumah menunju kan pemilik dari rumah tersebut bukan merupakan orang
biasa (wawancara bapak Alpha Febella, 4 September 2013) . Lebih lanjut lihat CL
3 pada lampiran halaman 211.
Ornamen pelengkap atau pengisi ruang pada rumah Indis milik saudagar
batik Poesposumarto di Laweyan, secara umum banyak menggunakan ornamen
pelengkap yang biasa digunakan dalam arsitektur Jawa, misalkan pada area dalem
dimana terdapat ruang sakral bagi masyarakat Jawa yaitu petanen atau krobongan
yang berisi ambèn, bantal, guling, paidon, genukatau bokor sirih, bokor hasil
bumi, kendidan loro blonyo . Hal tersebut mencerminka n bahwa pmilik rumah ini
yaitu bapak Poesposumarto masih menganutkonsep pemikiran Jawa, bahwa
krobongan sebagai simbol penghormatan Dewi Sri ketika memberikananugerah
tercukupinya sandang dan pangan (wawancara Ibu Andrini, 25 Mei 2013) Lebih
lanjut lihat CL 5 pada lampiran 216.
Kelengkapan paidon, genuk atau bokor sirih, bokor hasil bumi, dan kendi
tidak dari tanah liat seperti di dalem pada rumah bangsawan, namun berupa
kuningan serta bebragai koleksi barang pribadi milik Poesposumarto yang konon
di impor langsung dari negeri Belanda. Hal ini sebagai penunjukan status
kekayaan yang melebihi bangsawan dari saudagar batik Poesposumarto.
Rumah Poesposumarto atau dalem Poesposumartan ini sekarang telah
beralih fungsi menjadi sebuah hotel sejak tahun 2002 karena pemilik rumah
tersebut, yaitu keluarga Poesposumarto telah menjaul rumah tersebut kepabda Ibu
Krisnina Maharani Tandjung, putri dari Akbar Tandjung dan dikenal dengan nama
Hotel Roemahkoe Heritage Hotel.
Kekayaan yang dimilki saudagar batik dari hasil berdagang batik pada
sekitar abad XX, menajadikan saudagar batik mampu untuk membangun rumah
loji berarsitektur Indis dengan ornamen gaya Art deco. Hal ini menunjukan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
175

saudagar batik Laweyan yang termarginalkan dari sistem budaya feodal bisa
berkembang meniru pola hidup dan gaya arsitektur Indis yang pada awalnya
berkembang di lingkungan pejabat pemerintah Kolonial Belanda dan bangsawan
keraton.
Rumah dengan arsitektur gaya Indis yang merupakan pengaruh arsitektur
Belanda, berpadu dengan program ruang interior rumah Jawa mencerminkan
kemampuan masyarakat saudagar batik dalam beradaptasi sekaligus bertahan
dalam situasi dan kondisi politik serta kebijakan Belanda atas etnisitas masyarakat
di Surakarta.
Saudagar batik dengan menyandang status sosial sebagai saudagar besar
banyak yang membangun rumah Indis dengan kelengkapan interior dan eksterior
yang terkesan mewah dan mahal bahkan ornamen dan kelengkapan barang koleksi
pribadi banyaak yang didatangkan dari luar Laweyan.

b. Bentuk Arsitektur Bangunan Rumah Indis dan Ornamen Saudagar


Batik Sedang
Perkembangan industri batik yang berkemba ng di Surakarta pada
umumnya dan Laweyan pada khusunya berpengaruh terhadap peningkatan
kekayaan dari saudagar batik. Penunjukkan kekaaayn tersebut di tunjukan dengan
pembanguan rumah loji berarsitektur Indis dengan berbagai kelengkapan ornamen
yangh mewah serta kepemilikan persil tanah yang luas. Kekayaan yang dimilki
saudagar batik Laweyan digunakan untuk menandingi status sosial bangsawan
keraton.
Saudagar batik Laweyan yang termasuk kedalam status saudagar sedang
berbeda bentuk rumah dan kelengkapan rumah serta luas persil tanah. Jika pada
saudagar besar luas persil tanah yang dimilki sekitar 1000 m² - 3000 m² dengan
bangunan Indis yang megah dan ornamen mewah, tetapi pada saudagar batik
denagan status social sauda gar sedaang persil rumah juragan batik sedang antara
300 m² -1000 m² , serta bentuk rumah Indis dengan façade sederhana serta
ornamen yang tidak begitu banyak (wawancara Ibu Naniek, 21 Mei 2013). Lebih
lanjut lihat CL 1 pada lampiran halaman 200.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
176

Façade bangunan rumah yang berarsitektur Indis milik saudagar batik


Laweyan yang dikategorikan sebagai saudagar sedang memilki bentuk bangunan
rumah yang sederhana tidak begitu mewah dengan berbagai macam ornamen yang
menghiasinya. Rumah saudagar batik Laweyan yang termasuk kriteria ini adalah
rumah Djimatan, yang berlokasi di kampung Setono ujung dan rumah milik H.
Mawardi yang berlokasi di kampung Sayangan Kulon.
Banguan rumah Djiamtan berdiri diatas tanah dengan luas sekitar 800 m²
yang terbagi beberapa ruang, dengan arah hadap bangunan ke arah selatan
menghadap tepat ke arah sungai Jenes atau sungai Kabanaran. Bangunan rumah
Djimatan merupakan banguan kolonial Belanda dibangun pada sekitar tahun 1938
pada periode elektitas.
Periode elektitas merupakan perkembangan arsitektur Kolonial Belanda
yang sudah spesifik. Bentuk tersebut merupakan hasil kompromi dari arsitektur
modern yang berkembang di Belanda pada waktu yang bersamaan dengan
penyesuaian iklim tropis basah Indonesia. Ada juga beberapa bangunan arsitektur
kolonial Belanda yang mengambil elemen-elemen tradisional setempat yang
kemudian diterapkan ke dalam bentuk arsitekturnya. Hasil keseluruhan dari
arsitektur kolonial Belanda di Indonesia tersebut adalah suatu bentuk khas yang
berlainan dengan arsitektur modern yang ada di Belanda sendiri (Handinoto,
1996).
Rumah Djimatan berarsitektur Indis modern simple dan Jawa. Unsur Indis
atau Belanda pada banguan ini terlihat dari sususnan material yang dipakai,
dimana dari keseluruhan fasade bangunan, menggunakan material batu bata atau
tembok seperti rumah kolonial kebanyakan dengan finishing cat dinding. C iri lain
yang menunjukkan arsitektur Eropa (Belanda) adalah bentuk rumah yang
didominasi unsur garis lurus atau horizontal dan bentuk tiang Ionia.
Ukuran luas rumah djimatan dari mulai berdiri sebagai rumah dinas Kyai
Ageng Henis sampai dibangun sekitar tahun 1983 tidak merubah ukuran luas
rumah awal yaitu rumah Joglo dengan 32 saka pengiring, hanya materialnya saja
yang diganti dari struktur kayu menjadi struktur bearing wall (Wawancara Ibu

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
177

Naniek Widayati, 21 Mei 2013). Lebih lanjut lihat CL 1 pada lampiran halaman
200.
Struktur bangunan rumah Djimatan berjenis bearing wall, dengan struktur
dua buah tiang beton yang diadopsi dari tiang berjenis Ionia tanpa ornamen dan
difungsikan untuk menopang atau menyangga bangunan. Struktur yang dipakai
untuk fondasi rumah berupa batu kali setinggi sekitar 50 cm.
Atap yang digunakan pada rumah djimatan adalah atap limasan dan pelana
karena saudagar batik bukanlah keturunan bangsawan atau priyayi keraton.
Kelandaian atap rumah djimatan hampir sama dengan rumah Poesposumartan
dengan tingkat kemiringan atau kelandaian atap sekitar 70°.
Rumah Djiamatan setelah Kyai Ageng Henis meninggal, diambil alih oleh
keraton Kasunaann Surakarta dan difungsikan sebagai rumah dinas bagi penunggu
makam di pasarean Laweyan. Penunggu rumah dinas tersebut terakhir bernama
Mas Bei Djimat Kartohastono, berawal dari nama penunggu terakhir tersebut
rumah tersebut lebih dikenal masyarakat dengan sebutan Dalem Djimatan.
Periode tahun 1900-an keraton mengalami krisis keuangan, sehinggarumah
Djimatan dilelang. Pemenang dari lelang tersebut adalah Karyo Wijoyo. Rumah
Djimatan setelah dimiliki oleh Ibu Karyo Wijoyo diwariskan kepada keempat
anaknya, yaitu Wirosukarto, Wiryo Wijoyo, Priyomarsono, dan Wongsodinomo.
Hak waris terakhir rumah ini jatuh pada Priyomarsono yang merupakan ayah dari
ibu Nanik Wida yati.
Pemilik rumah Djiamatan sebagai pemilik hak waris utama adalah bapak
Priyomarsono, beliau merupakan saudagar batik Laweyan yang cukup sukses
pada sekitar abad ke XX, kesuksesan tersebut dibuktikan dengan merubah struktur
material banguan lama denganbangunan rumah Indis yang berstruktur bearing
walll, tetapi tidak meninggalkan cir i orang Jawa terutama dalam penempatan
unsur Jawa dalam pola ruang rumah Djimatan.
Unsur Jawa yang melengkapi rumah ini terlihat dari adanya pola ruang yang
hampir sama dengan pola ruang yang ada pada rumah Jawa pada ummnya. Pola
ruang yang digunakan dalam rumah ini masih menerapkan pola ruang pada rumah
Jawa kebanyakan, terdiri dari regol, pringgitan, gandhok tengen, gandhok kiwa,
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
178

dan dalem, untuk pabrik ditempatkan di bagian belakang rumah berdekatan


dengan dapur atau pawon (Wawancara Ibu Naniek Widayati, 21 Mei 2013) . Lebih
lanjut lihat CL 1 pada lampiran halaman 200.
Keindahan atau estetika yang ditunjukan oleh saudagar batik Laweyan
dengan menerapkan ornamen. Ornamen yang digunakan oleh saudagar batik
Laweyan bervariasi dan memilki bentuk indah dan mahal terutama saudagar batik
besar.
Ornamen atau ragam hias yang ditempatkan pada rumah Djimatan adalah
ornamen yang bersifat konstruksional dan tidak konstruksional. Ornamen
konstruksional yaitu onamen yang menempel pada struktur banguan ditempatkan
pada jendela dan pintu kayu berbentuk garis geometris pola jalusi dikombinasikan
dengan kaca berbentuk kotak persegi kecil.
Ornamen konstruksional selanjutnya di tempelkan pada dua buah tiang saka
yang berada di area dalem berupa ornamen khas Jawa yaitu ornamen lung-lungan.
Pengguanaan tiang saka yang berada di area dalem menggunakan tiang besi yang
di impor langsung dari negeri Belanda hanya sebagai ciri bahwa pemilik rumah
adalah orang Jawa atau dengan kata lain Ibu Karyo Wijoyo tidak ingin
kehilanagan identitasnya sebagai orang Jawa.
Material tiang yang dari besi dan langsung di impor dari Belanda
menunjuknan pemilik rumah Djimatan merupakan masyarakat saudagar batik
yang sukses dalam kekayaan dan mampu melebihi kekayaan bangsawan keraton
(wawancara Ibu Naniek Widayati, 21 Mei 2013). Lebih lanjut lihat CL 1 pada
lampiran halaman 200.
Penempatan ornamen pelengkap atau ornamen yang tidak konstruksional
berupa hiasan pelengkap ruang dan ditempatkan pada area dalem berupa
kelengkapan bokor hasil bumi, sirih ayu, paidon , tanpa patung loro blonyo.
Sementara itu pada area senthong dimana area tersebut merupakan tempat sakral
bagi masyarakat Jawa, ditempatkan berupa ambèn, bantal, dan guling. Gebyok
dibatasi dengan hiasan gordjen motif cinde.
Rumah berarsitektur Indis milik saudagar batik di Laweyan selain bentuk
mempunyai perpaduan bentuk antara lain; unsur garis lurus, unsur garis lengkung,
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
179

perpaduan antara keduanya, ada juga ukiran sebagai yang menjadi unsur dominan
tetapi ada juga perpaduan dengan unsur yang lain. Bahan yang dipakai dari
tembok sehingga bangunan kelihatan kokoh.
Rumah Indis milik saudagar batik dengan ukiran kayu sebagai unsur
dominan dimilki oleh saudagar batik Laweya n bernama H. Mawardi yang masih
merupakan keluraga dari keluarga besar bapak Priyomarsono pemilik hak waris
rumah Djimatan.Rumah ini dibangun pada sekitar tahun 1925an, rumah ini
ditempati oleh istri dari Haji Mawardi Ibu Siti Mastiloh bersama cucunya
Rumah ini berdiri daiatas tanahseluas sekitar 700 m², dikelilingi pagar
tembok tinggi sekitar 3 meter dengan pembagian ruang khas seperti rumah Jawa
kebanyakan, seperti adanya gandhok di kiri kanan bangunan utama, pringgitan,
dalem, sentohong, pawon, petanen serta pabrik yang ditempatkan di bagian
belakang rumah.
Fasade banguan ini meupakan ciri bangunan Indis, bentuk simetris dengan
tiga buah pintu diarea pendapha. Bangunan ini memilki perpaduan unsur banguan
loji dengan ukiran-ukiran kayu, dengan fondasi menggunakan beton setinggi
sekitar 56 cm dilapisi dengan keramik.
Pendopo pada rumah ini di topang oleh empat buah saka guru yang terbuat
dari kayu jati dan saka pengiring bermaterialkan beton.Atap yang digunakan pada
banguan ini adalah atap Limasan dan pelana dengan gevel yang terbuat dari
kayu.Proporsi tingkat kemiringan atau kelandaian atap hampir 60° dilengkapi
dengan konsul dari kayu (wawancara Ibu Naniek Widayati, 21 Mei 2013). Lebih
lanjut lihat CL 1 pada lampiran halaman 200.
Ornamen sebagai unsur keindahan merupakan hal yang wajib dalam
arsitektur rumah abik ornamen konstruksional maupun ornamen pelengkap. Pada
rumah H. Mawadi hiasan atau ornamen konstruksional ditempatkan di atap berupa
ornamen hiasan lubang angin berbentuk lubang angin berupa jendela bentuk jalusi
dari kayu pada gavel yang terbuat dari kayu. Pada bagian ujung atap terdapat
hiasan berupa gunungan atau kayon yang terbuat dari kayu.
Lubang angin terdapat dibagian atas jendela (bofenlicht) ataupun pintu,
ornamen yang menghiasi lubang angin berupa ragam hias dari flora dengan motif
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
180

lunglungan dan bunga seroja yang di ukir. Pada bagian lubang angin atau ventilasi
lain terdapat hiasan kaca bentuk persegi yang dikombinasikan dengan kayu.
Selain itu terdapat pola papan kayu yang memanjang vertikal di sekeliling tririsan
berbentuk lengkung dengan ornamen bentuk flora seperti ornamen banyu tetes
yang memilki ukuran yang berbeda antara tritisa n atau teras samping dan depan.
Sekeliling area pringgitan terdapat pula hiasan dari keramik yang di cat
dengan pola tumbuhan tunas bunga yang ditempatkan ke bawah yang disebut
Lambrissering. Area dalem terdapat hiasan ukiran berupa lung -lungan yang
menghiasi gebyok pembatas ruang senthong dan pada tiang saka (Obsevasi
Lapangan, 25 Mei 2013)
Ornamen pelengkap ruang pada rumah ini terdapat dia area dalem berupa,
dua buah cermin esta motif flora, yang ditempatkan di sisi kanan dan kiri ruang
senthong, sebuah meja kaca, bokor sirih.
Gebyok atau pembatas area petanenpanel-panelnya diukir dengan motif
lunglungan berwarna emas dan gordjen motif cinde dan Area lantai yang lebih
tinggi dilapisi dengan permadani berwarna hijau serta kursi berukir tang terbauat
dari kayu yang ditempatkan di area pringgitan. Area sentong tengah sebagai area
sakral, terdapat bantal dan guling sebagai pengisi ruang, dilapisi kain warna putih
dan ujungnya memakai lempengan berwarna perak tanpa patung loro blonyo.
Perubahan rumah para saudagar batik Laweyan yang awalnya berstruktur
kayu dan bentuk rumah kampung secara cepat dan direnovasi me njadibangunan
berdinding tembok atau loji sekitar tahun 1920-1930an disaat perkembanagan dan
kejayaan industri batik.
Berkembangnya arsitektur Indis di Laweyan merupakan sebuah growing up
dari masyarakat saudagar batik yang merdeka, yang termarjinalkan dari ikatan
budaya dari ikatan stratifikasi keraton selain itu, kekayaan yang melimpah dari
hasil perdagangan batik dan juga faktor kedekatan saudagar Laweyan dengan
bangsa Eropa dalam bidang perdagangan menjadi latar belakang lahir dan
berkembangnya kebudayaan Indis, te rutama aristektur bergaya Indis (wawancara
Ibu Naniek, 21 Mei 2013). Lebih lanjut lihat CL 1 pada lampiran halaman 200.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
181

Penunjukan identitas atau status sosial masyarakat saudagar batik juga di


tunjukan dengan bentuk rumah loji dengan hiasan atau ornamen yang dijadikan
sebagai pelengkap ruangan yang berbeda dengan kaum bangsawan. Jika pada
rumah bangsawan keraton, hiasan pelengkap seperti kendi, bokor, meja duduk
kecil terbuat dari tanah, masyarakat saudagar batik Laweyan memodifikasi bentuk
tersebut dengan penggunaan material kuningan dan kaca sebagai perlawanan bagi
kaum bangsawan.
Rumah loji dengan pengaruh arsitektur Belanda, berpadu dengan program
ruang interior rumah Jawa mencerminkan kemampuan masyarakat saudagar batik
dalam beradaptasi sekaligus bertahan dalamsituasi dan kondisi politik dan
kebijakan Belanda atas etnisitas masyarakat di Surakarta dan pembuktian
massyarakat Laweyan yang termarginalkan.
Bentuk bangunan rumah tempat tinggal berarsitektur Indis dengan ukuran
yang besar dan luas, berdinding tembok dengan perabot yang mewah, asesoris
interior dengan materia l bahan yang mahal, detail, dan dikerjakan dengan tingkat
keahlian yang tinggi, dapat dipergunakan sebagai tolok ukur derajat dan kekayaan
dari saudagar batik Laweyan sebagai pemilik rumah tersebut.

commit to user

Anda mungkin juga menyukai