Bab Iv
Bab Iv
id
56
BAB IV
HASIL PENELITIAN
A. Deskripsi Lokasi Penelitian
56
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
57
kampung Sayangan Wetan, kampung Setono, kampung Lor Pasar, kampung Kidul
Pasar, kampung Kramat dan kampung Klaseman.
Keadaan iklim di Laweyan sama seperti umumnya keadaan iklim daerah-
daerah lain di Jawa Tengah, yaitu beriklim Muson. Daerah yang mempunyai iklim
tersebut dalam setahun terdapat musim hujan pada bulan Oktober sampai April
dan musim kemarau pada bulan Mei sampai bulan September. Curah hujan rata-
rata 24, 25 mm per bulan dan suhu udara rata -rata 27, 29? C.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
58
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
59
2. Sejarah Laweyan
a. Asal Muasal Nama Laweyan
Laweyan masa lalu terkenal sebagai daerah yang menjadi pusat
perdagangan lawe yaitu salah satu bahan baku pembuatan tenun. Keberadaan
wilayah Laweyan telah ada sejak sebelum berdirinya Kerajaan Mataram Islam.
Kampung Laweyan merupakan wilayah yang cukup strategis pada masa keraton
Pajang, letak Laweyan yang terletak di antara dua sungai, yaitu sungai Premulung
dan sungai Jenes atau sungai Kabanaran sekarang, dimana di sisi sungai
Kabanaran tersebut terdapat sebuah bandar, yaitu bandar Kabanaran dan pasar
Laweyan.
Letak Laweyan yang strategis ini memungkinkan wilayah Laweyan menjadi
pusat peradagangan dan penjualan lawe yang cukup ramai pada masa itu. Bandar
Sungai Kabanaran yang terletak di tepi sungai Kabanaran memungkinkan para
pengusaha atau saudagar di Laweyan lebih cepat memasarkan produknya ke
bandar besar Nusupan yang berada di tepi Bengawan Solo. Sungai dan Bandar
Kabanaran sebagai cabang dan penghubung jalur menuju sungai Bengawan Solo
berpengaruh terhadap pertumbuhan dan perkembangan ekonomi, sosial, dan
budaya masyarakat Laweyan. (Wawancara Ibu Naniek Widayati, 21 Mei 2013).
Lebih lanjut lihat Catatan Lapangan 1, pada lampiran halaman 200 (Selanjutnya,
dalam kalimat disingkat menjadi CL 1).
Sungai Bengawan Solo merupakan sunga i terbesar yang membelah wilayah
Jawa Tengah dan mengalir sampai ke Jawa Timur, sungai Bengawan Solo sejak
dahulu telah digunakan masyarakat sebagai jalur transportasi utama sebelum
adanya transportasi darat. Dalam hal ini dapat dikaitkan dengan simpulan
Soeratman (1989) yang menyatakan bahwa, “bengawan adalah sebuah sungai
yang terbesar di Jawa sejak zaman kuno yang mempunyai arti penting sebagi jalur
penghubung antara Jawa Tengah dan Jawa Timur untuk kepentingan ekonomi,
militer, politik, sosial” (hlm. 19).
Pentingnya sungai Bengawan Solo merupakan bukti bahwa sungai
merupakan ja lur transportasi utama kala itu sebelum dibangunnya jalan darat.
Sungai pada masa lalu selain digunakan sebagai jalur transportasi masyarakat,
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
60
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
61
Laweyan, rumah tempat tinggal Kyai Ageng Henis ditempati oleh cucunya yang
bernama Bagus Danang atau Mas Ngabehi Sutowijaya. Sutowijaya atau lebih
dikenal dengan sebutan Raden Ngabehi Loring Pasar, kemudian pindah ke
Mataram tepatnya di Kota Gede , Yogyakarta sekarang dan menjadi raja pertama
Dinasti Mataram Islam dengan sebutan Panembahan Senapati yang kemudian
menurunkan raja -raja Mataram Islam. (wawancara Ibu Nanik Widayati, 21 Mei
2013). Lebih lanjut lihat CL 1 pada lampiran halaman 200.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
64
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
66
f
a
d
Keraton sebagai
c
Titik Sentral
b
Gambar 4.1. Peta Letak Kawasan Spesifik Wilayah Surakarta. a. Kawasan
Pecinan; b. Kawasan Arab; c. Kawasan Santri; d. Kawasan Ningrat;
e. Kawasan Pejagalan; f. Kawasan Pengusaha Batik
(Sumber: Widayati, 2002 : 9).
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
68
(pintu masuk ke halaman) yang besar dan kokoh, pada umumnya gang tersebut
berada di antara tembok-tembokg (beteng) batas kapling rumah para saudagar
batik yang mempunyai ketinggian kurang lebih sekitar 6 meter (Observasi
Lapangan, 21 Mei 2013).
Gambar 4. 2. Salah Satu Bentuk Sirkulasi Jala n Gang yang Terdapat di Kawasan
Kampung Batik Laweyan.
(Dokumentasi Pribadi, 21 Mei 2013) .
Kehidupan suatu masyarakat tidak dapat dipisahkan dari tempat tinggal atau
pemukiman. Biasanya pemukiman masyarakat cenderung berkelompok, karena
pada dasarnya manusia dalam masyarakat menjalani kehidupan secara
berkelompok.
Pemukiman dalam suatu masyarakat pada dasarnya terbagi kedalam dua
pola pengelompokan pemukiman, yakni menurut kepercayaan dan menurut mata
pencaharian. Hal ini sejalan dengan pendapat Priyatmono (2004); Widayati (2002)
bahwa, pengelompokan permukiman juga bisa terbentuk atas dasar kepercayaan
dari masyarakat dan atas dasar sistem teknologi mata pencahariannya.
Pengelompokan permukiman tersebut tidak selalu menghasilkan bentuk denah
dan pola persebaran yang sama, tetapi tergantung pada latar belakang budaya
yang ada.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
70
besar persil tanah yang dimiliki menunjukkan semaikin sukses saudagar tersebut
dalam perdagangan batik. Pembagian persil tanah, pada pemukiman di Laweyan
menyebabkan pola pemukiman pada kampung Laweyan membentuk jaringan-
jaringan jalan yang membentuk blok-blok seperti papan catur atau pola grid dan
seakan tertutup dari lingkungan masyarakat sekitarnya . Blok-blok perumahan
tersebut biasanya dimilki oleh para saudagar batik Laweyan yang memilki persil
tanah cukup luas.
Sistem kisi-kisi atau pola gird, mengandaikan suatu bidang dibentuk
sedemikian rupa oleh jaringan-jaringan jalan sehingga blok-blok yang ada se perti
sebuah papan catur. Pola papan catur adalah pola pemukiman yang berderet
seperti papan catur atau kotak-kotak. Pola pemukiman seperti ini hampir sama
seperti pola pemukiman rumah di negeri Belanda yang biasa disebut pula grid on
patron atau pola papan catur.
Prinsip otonomi dan kegiatan usaha produksi dan perdagangan batik sangat
berkaitan dengan pengaturan sistem jalan di kawasan tersebut. Pola tatanan ruang
kawasan juga dipengaruhi oleh pola ikatan kekeluargaan, mengingat industri batik
merupakan industri rumahan yang erat kaitannya dengan kekerabatan, sebagai
hasil dari ikatan perkawinan antar keluarga serta banyaknya pekerja wanita.
Dengan sistem seperti ini para wanita Laweyan bisa mengurus rumah tangga
walaupun mereka bekerja (Wawancara Ibu Naniek Widayati, 21 Mei 2013). Lebih
lanjut lihat CL 1 pada lampiran halaman 200
Pemakaian pola grid on patron secara teoritis, menurut Antariksa (mengutip
simpulan Stanislawski, 1946) bahwa pola ini didasa ri atas dua macam
pertimbangan. Pertama, adalah alasan efisiensi penggunaan ruang, berkaitan
dengan anggapan bahwa bangunan pada umumnya berbentuk persegi
(rectangular). Kedua, adalah alasan berkaitan dengan penyiapan jalan untuk
keperluan barisan prosesi memanjang dan lurus (straight processional street).
Pola ini diterapkan baik di kawasan Laweyan sebagai wilayah yang memilki corak
yang spesifik , sebagai kawasan yang dihuni oleh masyarakat yang memiliki mata
pencahaian sebaga i pengusaha dan pengrajin batik (2011 : 2)
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
72
Elemen kawasan kampung Laweyan dibentuk oleh butiran masa yang saling
berdekatan dan membentuk jalan-jalan merupakan ciri lain dari pemukiman
tradis ional. Permukiman tradisional biasanya banyak dicirikan dengan munculnya
massa bangunan yang mempunyai tampak berupa dinding-dinding tertutup
menghimpit dan dikelilingi oleh gang atau jalan sempit .
Pemukiman pengusaha batik berskala besar di kampung Laweyan memiliki
masa bangunan rumah yang cukup luas dan besar. Bangunan rumah tersebut
biasanya dikelilingi oleh tembok-tembok tinggi. Tembok-tembok yang
mengelilingi kampung Laweyan hampir mirip dengan tembok cepuri yang
mengelilingi keraton Surakarta.
Permukiman tradisional Laweyan, merupakan manifestasi dari nilai sosial
budaya masyarakat yang erat kaitannya dengan nilai sosial budaya penghuni
pemukiman tersebut, yang dalam proses penyusunannya menggunakan dasar
norma-norma tradisi serta ekonomi yang khas.
Pola pemukiman sistem gird, menjadikan kawasan kampung Laweyan
seakan tertutup dengan dunia luar dan juga gird bisa dikatakan sebuah upaya
merefleksikan budaya masyarakat Laweyan yang termarginalkan dalam
stratifikasi sosial para priyayi keraton sebagai suatu kawasan pengrajin dan
pengusaha batik yang independen dan mandiri dalam bidang ekonom i.
(Wawancara Ibu Naniek Widayati, 21 Mei 2013). Lebih lanjut lihat CL 1 pada
lampiran halaman 200.
Pola tata ruang pemukiman berbentuk gird tersebut juga merupakan akibat
dari peran pembatik yang mayoritas adalah wanita, dimana pekerja batik wanita
membutuhkan akses yang dekat dan mudah antara rumah dengan tempat kerja ,
supaya dapat bekerja sekaligus mengurus rumah tangga. Ditinjau dari persaingan
dagang, keamanan terhadap kekayaan maupun rahasia perusahaan, secara fisik
melahirkan bentuk bangunan yang tertutup. Dengan kata lain, bukti morfologi
kawasan Laweyan yang mayoritas adalah pengusaha dan pekerja batik, dan pola
pemukiman yang berbentuk sistem grid merefleksikan budaya masyarakat yang
independen dan sistem mata pencaharian sebagai pengusaha batik .
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
73
B. Hasil Penelitian
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
75
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
76
Indis yang tidak terdapat pada daerah koloni lain di Hindia -Belanda. Proses
perkembangan kebudayaan Indis di Jawa, dapat digambarkan sebaga i berikut :
7. religi
Bagan. 4.1. Proses Akulturasi dari Kebudayaan Indis antara Kebudayaan Belanda-
Jawa.
(Sumber: Djoko Soekiman, 2000 : 43)
pekerja pribumi dapat meniru pola dan gaya hidup Indis majikannya dengan
didukung oleh ekonomi yang baik. Kehidupan sosial dan ekonomi yang rata -rata
lebih baik dibandingkan dengan masyarakat pribumi memungkinkan para
pendukung kebudayaan Indis untuk dapat ber gaya hidup mewah.
Peranan pemerintah kolonial Belanda semakin penting dalam struktur
pemerintahan keraton Surakarta Hadiningrat, ketika di tempatkan seorang R esiden
di wilayah Surakarta. Ditempatkannya seorang Residen di wilayah Surakarta
mengakibatkan posisi Belanda sebagai penguasa dalam bidang politik keraton
menjadi semakin penting, selain itu kebijakan politik baru setelah berakhirnya
politik tanam paksa yang diterapkan oleh pemerintah kolonial Belanda yakni
sekitar tahun 1870, berdampak pada perubaha n-perubahan dalam tata
pemerintahan, tata kota, pola pemukiman, gaya arsitektur bangunan dan
masuknya kebudayaan barat melalui tradisi pesta, musik dan agama.
Dengan kata lain, perkembangan kebudayaan Indis di kalangan bangsawan
keraton dilatarbelakangi oleh kedekatan bangsawan keraton dengan pemerintah
kolonial belanda dan didukung kekayaan bangsawan yang menganggap bisa
meniru pola hidup bangsa Eropa, sehingga meraka mulai meniru gaya dan pola
hidup, seperti mengadakan pesta penjamuan makan malam, dansa, rekreasi serta
arsitektur rumah yang digunakan oleh bangsa Belanda di adaptasi oleh bangsawan
keraton. (Wawancara Bapak Drs.Susanto, 6 Juni 2013). Lebih lanjut liat CL 2
pada lampiran halaman 208.
Pembukaan daerah pedalaman sebagai daerah perkebunan swasta secara
tidak langsung meningkatkan kebutuhan tenaga kerja di wilayah pedalaman pada
sekitar abad IXX, serta faktor kedekatan politis antara penguasa lokal dengan
pemerintah Kolonial Belanda, menjadi embrio dari lahir dan berkembangnya
kebudayaan Indis di Surakarta, yang di dukung oleh sebagian besar bangsawan
dan priyayi Jawa.
Pendukung kebudayaan Indis dikalangan priyayi dan bangsawan berupaya
menjaga prestise dan kedudukan melalui berbagai cara agar dapat dibedakan
dengan kelompok-kelompok masyarakat lainnya. Dalam pandangan hidup sehari-
hari, pendukung kebudayaan Indis di tembok istana (keraton) dipengaruhi oleh
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
78
pandangan hidup yang berakar pada dua budaya, yaitu Eropa dan Jawa.
Kewibawaan, kekayaan, dan kebesaran ditampilkan agar tampak lebih daripa da
masyarakat kebanyakan, hal demikian dimaksudkan untuk menjaga kelangsungan
sebagai penguasa.
Kebudayaan Indis yang berkembang di Surakarta pada awalnya hanya
mempengaruhi pola dan gaya hidup bangsawan Jawa tetapi seiring berjalannya
waktu, kebudayaan Indis juga mempengaruhi segala aspek kehidupan, misalkan
melalui media pendidikan, hubungan pekerjaan, perdagangan, dan lain
sebagainya. Terlebih dengan adanya priyayi baru, yaitu para terpelajar yang
mendapatkan pendidikan di lingkungan colonial. Selain gaya hidup dengan
berbagai aspeknya, bangunan rumah tinggal mendapat perhatian dalam
perkembangan budaya Indis, karena rumah tempat tinggal merupakan ajang
kegiatan sehari-hari.
Ekspansi kekuasaan kolonial yang dimulai pada abad ke IXX, merupakan
gerakan kolo nialisme yang membawa dampak perubahan bukan hanya dibidang
politik dan sosial saja , tetapi juga melatarbelakangi perkembangan kebudayaan
baru yaitu kebudayaan Indis di Surakarta. Akibat dari perkembangan kebudayaan
Indis di Surakarta, terjadi perubahan yang cukup signifikan dalam berbagai aspek
kehidupan masyarakat pendukung kebudayaan Indis khusunya kalangan
bangsawan dan priyayi keraton.
Perkembangan kebudayaan Indis ke wilayah pedalaman Surakarta di
dukung oleh kedekatan raja dengan petinggi-petinggi pemeritah kolonial Belanda
yang kemudian di ikuti oleh para bangsawan dan priyayi Jawa. Perkembangan
kebudayaan Indis di Surakarta selain di dukung oleh kedekatan raja dan
bangsawan keraton dengan pejabat kolonial Belanda, terlebih setelah
ditempatkannya seorang residen di Surakarta juga terjadi karena adanya
perkembangan kota , perluasan perkebunan swasta dan berkembangnya kaum
terpelajar sebagai kaum priyayi baru yang mengenyam pendidikan Belanda .
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
79
tersendiri dalam kain batik, karena batik menjadi busana wajib bagi raja dalam
kegiatan formal kerajaan, sehingga industri batik cepat berkembang pada sekitar
awal abad XX. Selain itu, sejumlah permintaan dari para konsumen daerah
terhadap batik menyebabkan batik menjadi barang konsumtif bagi rakyat
kebanyakan.
Komunitas saudagar batik Laweyan mengkhususkan diri pada produksi
batik cap untuk konsumsi massa. Industri batik cap di Laweyan mengalami
kejayaan antara tahun 1910 sampai tahun 1930, dalam kurun waktu itu saudagar
batik Laweyan, terus menerus mengembangkan identitasnya ke dalam masyarakat
saudagar sehingga industri batik di Laweyan berkembang pesat dan sulit
ditemukan tandingan terutama di daerah pedalaman Jawa Tengah-Selata n, bahkan
produksi batik di Kota Surakarta hampir 85 % berada di tangan saudagar batik
Laweyan (Soedarmono, 2006) .
Perkembangan masyarakat pada awal abad XX sangat diwarnai oleh
aktivitas ekonomi, termasuk sektor perkebunan. Pemerintah kolonial Belanda
sebagai penguasa menyediakan sarana dalam menunjang kelancaran aktivitas
ekonomi masyarakat, salah satusarana yang terkait dengan kedudukan ekonomi
suatu daerah adalah menyediakan sarana transportasi transportasi.
Transportasi yang digunakan adalah kereta api. Transportasi kereta api,
sebagai alat pengangkutan hasil-hasil produksi dari daerah pedalaman kedaerah
pantai, memegang peranan penting yang kemudian akan menentukan kalancaran
sirkulasi hasil-hasil produksi, termasuk dalam distribusi produksi batik.
Kelancaran transportasi semakin menunjukkan tingkat perkembangan
tersendiribagi daerah yang bersangkutan, termasuk didalamnya adalah adalah
keuntungan yang didapat oleh saudagar batik Laweyan dengan tersedianya
transportasi kereta api. Hadirnya jalur kereta api milik perusahaan NIS
(Nederlandsch Indische Spoorweg Maatschappij) di Surakarta, dapat
mempercepat distribusi batik juga mempengaruhi perkembangan industri batik di
wilayah Surakarta pada umumnya dan Laweyan pada khususnya (Hastuti,2011).
Masyarakat saudagar batik Laweyan adalah masyarakat saudagar, dimana
dalam aktifitas perdagangan telah melakukan hubungan dengan para pedagang
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
82
dari berbagi suku budaya. Kontak budaya dengan berbagai pedagang baik lokal
maupun manca negara berakibat pada pola pikir dan pandangan hidup masyarakat
Laweyan dalam mewujudkan cita-cita.
Masyarakat Laweyan menjadi saudagar yang berwawasan luas, khususnya
gaya hidup yang berbeda dengan masyarakat Laweyan di sekitarnya, sehingga
lambat laun masyarakat saudagar batik Laweyan terpengaruh kebudayaan Indis
yang sebelumnya telah lebih dahulu berkembang di lingkungan keraton.
Kebudayaan Indis, berkembang di Laweyan bisa dilihat dari faktor geografis
Laweyan itu sendiri. Secara geografis kampung Laweyan merupakan suatu
wilayah yang sejak masa kerajaan Pajang terkenal dengan pusat pedagangan lawe,
pusat peradagangan terpusat di Sungai Jenes atau Sungai kabanaran sekarang
dimana sungai tersebut terhubung dengan Sungai Bengawan Solo, di wilayah
tersebut terdapat bandar dagang yaitu Bandar Kabanaran yang terhubung dengan
bandar besar di Nusupan, posisi yang sangat starategis secara geografis jika
ditinjau dari segi masa lalu karena transportasi sungai pada masa lalu merupakan
alat transportasi utama masyarakat.
Letak geografis wilayah Laweyan yang di lintasi jalur perdagangan ini
memungkinkan masuknya dan berkembangnya kebudayaan baru, termasuk
kebudayaan indis beserta hasil-hasilnya berupa arsitektur bangunan rumah.
Tipikal masyarakat saudagar batik yang berjiwa pedagang ditambah keuntungan
yang besar dalam berdagang batik sekitar abad akhir abad 19 dan awal abad 20
menjadikan cepat berkembangnya budaya Indis di Laweyan khususnya arsitektur
rumah Indis.
Kontak perdagangan antara saudagar batik dengan para pedagang dari
berbagai bangsa menyebabkan saudagar batik mempunyai wawasan yang cukup
tinggi tentang kebudayaan Eropa, terutama mengenai arsitektur luar negeri.
Wawasan itu lantas diterapkan saudagar batik Laweyan untuk membangun rumah-
rumah yang meniru rumah-rumah pejabat kolonial berarsitektur Indis beserta
kelengkapannya yang mewah dan mahal. (Wawancara Bapak Mohammad
Muqqofa, tanggal 8 Juli 2013). Lebih lanjut lihat CL 4 pada lampiran halaman
215.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
83
Kontak kebudayaan dari adanya perdagangan dan faktor kekayaan dari hasil
berdagang batik tersebut berdampak pada terpengaruhnya masyarakat Laweyan
oleh kebudayaan Indis , khususnya dalam perkembangan arsitektur rumah tinggal
bergaya Indis. Rumah saudagar batik yang awalnya menggunakan material kayu
dengan arsitektur Jawa, berubah menjadi bangunan loji mirip bangunan rumah
milik pejabat Kolonial Belanda.
Kehidupan masyarakat Jawa jauh sebelum kedatangan bangsa Kolonial
Belanda, telah mengenal adanya sistem starfikasi sosial dalam kehidupa n
masyarakatnya. Secara umum, masyarakat Jawa terdiri dari tiga lapisan
masyarakat yaitu raja, priyayi dan kawula . Raja sebagai penguasa merupakan
pusat hieark i tertinggi.
Stratifikasi sosial masyarakat Jawa menempatkan masyarakat Laweyan
sebagai kaum kawu la atau rakyat kebanyakan, walaupun kekayaan masyarakat
saudagar Laweyan melebihi kekayaan para bangsawan keraton tetapi masyarakat
saudagar Laweyan termarginalkan baik dari status maupun dari kebudayaan. Hal
ini dipertegas dengan pendapat (Soedarmono, 2006).
Masyarakat saudagar batik Laweyan yang posisinya sejajar dengan rakyat
biasa, tidak terikat pada adat yang membatasi ruang gerak. Saudagar batik
Laweyan dalam kehidupan masyarakat lebih bebas dalam menentukan pilihan dan
tidak terikat oleh ikatan feodal, hiearki dan simbolisme yang ada di keraton,
termasuk di antaranya dalam membangun rumah tinggalnya. Simbol dan hierarki
itu makin ke bawah makin luntur. Karenanya, wong cilik termasuk saudagar batik
Laweyan terhindar dari sistem simbol dan hierarki itu, bukan karena sengaja
menghindar tetapi simbol dan hierarki itu memang secara samar-samar saja
sampai kepada saudagar batik (Kuntowijoyo, 2003).
Posisi masyarakat saudagar batik Laweyan sebagai kawula menyebabkan
saudagar batik Laweyan tidak temasuk ke dalam lingkup stratifikasi sosial keraton
dan tidak memiliki kedudukan kultural yang dianggap terhormat dalam
masyarakat Jawa yang feodalistis , walaupun memiliki kekuatan ekonomi dan
kekayaan yang tidak jarang melebihi para bangsawan dan priyayi.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
84
masyarakat sekitar, dengan kata lain orang Laweyan tidak kehilangan sifat orang
Jawa meskipun kebudayaan Indis telah berkembang dikalangan masyarakat
Laweyan.
Perkembangan kebudayaan Indis di Laweyan, khususnya dalam
perkembangan arsitektur Indis disamping adanya perkemba ngan industri batik
yang memberikan keuntungan yang besar bagi saudagar batik, juga dipengaruhi
oleh perubahan tata kota dan pola pemukiman yang berada dilingkungan sekitar
keraton. (Wawancara Bapak Drs.Susanto, 6 Juni 2013). Lebih lanjut lihat CL 2
pada lampiran halaman 208.
Pola -pola pemukiman di pusat kota menunjukan karakter majemuk,
lingkungan perumahan Eropa ditunjukan dengan fasade bangunan rumah yang
besar dengan halaman yang luas dan berbentuk loji yang menunjukan status yang
paling tinggi sebagai penguasa di Surakarta. Pola pemukiman dan rumah yang di
miliki oleh para pejabat Kolonial Belanda yang ditiru dan di adaptasi oleh
saudagar batik Laweyan dalam membangun, karena ingin mensejajarkan dengan
status bangsawan dan priyayi keraton. Pola dan bentuk rumah loji pada rumah
milik pejabat kolonial tersebut , diadaptasi oleh saudagar batik Laweyan pada
sekitar tahun 1920-1930an untuk membangun dan merenovasi rumah tempat
tinggal yang awalnya hanya rumah berstruktur kayu.
Rumah bagi masyarakat saudagar batik adalah sebagai alat dan sarana untuk
mewujudkan cita -cita saudagar batik Laweyan dan penunjukkan identitas diri
yang termarginalkan dai status sosial masyarakat feodal. Saudagar batik Laweyan
sebagai manusia Jawa yang pergaulannya luas dengan berbagai budaya, kaya dan
termarginal, merasakan perlu pengakuan atas keberadaan dan keberhasilan.
Faktor kekayaan yang melimpah dari hasil perdagangan batik, letak lokasi
Laweyan yang strategis dan kedekatan saudagar Laweyan dengan bangsa Eropa
dalam bidang perdagangan menyebabkan masyarakat saudagar batik Laweyan
mulia meniru pola dan gaya hidup bangsa Eropa, hal tersebut menjadi latar
belakang lahir dan berkembangnya kebudayaan Indis, terutama aristektur bergaya
Indis. (wawancara Ibu Naniek Widayati, 21 Mei 2013). Lebih lanjut lihat CL 1
pada lampiran halaman 200.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
87
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
88
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
89
Yunani) yang menjulang ke atas serta terdapat gevel dan mahkota di atas
serambi depan dan belakang. Serambi belakang seringkali digunakan
sebagai ruang makan dan pada bagian belakangnya dihubungka n dengan
daerah servis.
3) Tahun 1902 - 1920an
Pada periode ini, kekuasaan Perancis di Belanda berhasil
ditumbangkan, hal ini berakibat pada adanya kebijakan baru dalam politik
Belanda untuk daerah jajahan Hindia Belanda. Kaum Liberal di Belanda
meminta pemerintah Belanda melakukan politik balas budi (Politik Etis )
terhadap Indonesia, politik etis ini menyebabkan pemukiman orang Belanda
semakin cepat berkembang dan menyebabkan Indis Architectuur (Arsitektur
Indis) menjadi terdesak. Ciri khas pada banguan di periode ini adalah
memiliki denah tipis, bentuk bangunan ramping agar cross-ventilation
mudah diterpakan. Terdapat galeri atau serambi di bagian tepi bangunan
untuk menghindari tempias dan sinar matahari.
Bangunan berorientasi utara-selatan agar cahaya ma tahari dapat masuk
ke dalam ruangan. Penerapan konsep vernacular telah dilakukan arsitek
pada periode ini untuk menyesuaikan bangunan dengan kondisi iklim di
Indonesia yang tropis basah.
4) Tahun 1920-1940an
Periode ini ditandai dengan muncul gerakan pembarua n dalam
arsitektur, baik nasional maupun internasional di Belanda yang kemudian
memengaruhi arsitektur kolonial di Indonesia. Hanya saja arsitektur baru
tersebut kadang-kadang diikuti secara langsung, tetapi kadang-kadang juga
muncul gaya yang disebut sebagai ekletisisme (gaya campuran), termasuk di
dalamnya adalah gaya atau langgam art deco .
Tahun 1920-1940an perkembangan arsitektur yang memadukan unsur
tradisional dalam membangun suatu bangunan, hal ini dikarenakan pada
masa tersebut muncul arsitek Belanda yang memandang perlu untuk
memberi ciri khas pada arsitektur Hindia Belanda, yaitu mengambil budaya
lokal Indonesia (1996: 130).
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
91
alam Jawa. Arsitektur Indis adalah arsitektur perpaduan antara arsitektur Eropa
dengan arsitektur Jawa. Penentuan sebuah gaya arsitektur rumah Indis yang
berkembang di Jawa, tidak dapat dilihat dari tahun dimana bangunan itu berdiri
(wawancara Bapak M. Muqqofa, pada tanggal 8 Juli 2013). Lebih lanjut lihat CL
4 pada lampiran halaman 215.
Arsitektur bangunan rumah di Jawa pada umumnya dan Surakarta pada
khusunya, jauh sebelum kedatangaan bangsa Belanda masih menerapkan
arsitektur tradisional Jawa. Arsitektur Jawa yang terkenal adalah bentuk rumah
joglo, yang tidak lain sebenarnya hanya sebagai salah satu bentuk atap pada
rumah jawa bukan bentuk bangunannya.
Atap rumah dalam arsitektur Jawa dijadikan sebuah identitas atau ciri dari
pemilik bangunan rumah tersebut dan atap Joglo merupakan gaya atap yang
tekenal dalam arsitektur Jawa. Secara umum berkaitan denga n bentuk atap pada
rumah tradisonal Jawa dibagi kedalam lima bentuk atap.
Perubahan politik yang terjadi di negeri Belanda menyebabkan adanya suatu
tuntutan politik etis dan perkembangan perusahaan swasta, menyebabkan adanya
suatu urbanisasi besar -besaran orang-orang Eropa ke Hindia Belanda.
Meningkatnya jumla h perusahan bekorelasi terhadap kebutuhan tenaga kerja baik
tenaga kasar, menengah ataupun profesional yang dibutiuhkan. Perusahaan-
perusahaan swasta asing, mendorong terciptanya golongan sosial baru yaitu
golongan priyayi. Golongan baru hasil pengangkatan pemerintah Belanda ini
berperan besar pada perkembangan ke budayaan Indis pada awal abad XX.
Meningkatnya status dan kesejahteraan seseorang menuntut adanya
perubahan gaya hidup yang baru, seperti penggunaan bahasa, cara berpakaian,
cara makan, kelengkapan perabot alat rumah tangga, mata pencaharian hidup,
kesenian, kepercayaan atau agama, dan menghargai waktu. Disini terjadi
pertukaran yaitu manusia Jawa memasuki lingkungan budaya Eropa dan juga
sebaliknya dan merupakan embrio dari kebudyaan Indis di Surakarta, termasuk
didalamnya adalah perubahan rumah tinggal dari arsitektur tradisional ke
arsitektur yang lebih modern yaitu pembangunan rumah loji.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
93
Publik
Veranda/ Beranda / Teras Depan
Privat
Beranda Belakang
Gambar. 4.3. Façade Denah Ruang Rumah Gaya Indische Empire Style yang
Berorientasi Keluar dan Kedalam
(Sumber: Samuel Hartono & Handinoto, 2006 : 84; Mahardika,
2010: 46 ).
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
94
Gaya arsitektur Indisch Empire Style memilki denah ruang yang berorientasi
ke luar da n ke dalam. Ciri khas dari bangunan-bangunan Indis ini adalah adanya
halaman yang luas dengan bangunan besar yang memiliki tiang-tiang dan kolom-
kolom besar di depannya. Hal ini untuk memberikan kesan mewah, megah, dan
wibawa dari golongan orang-orang Eropa sebagai penguasa di tanah jajahannya.
Kesenangan masyarakat Indis adalah melakukan hal-hal yang menunjukkan
kemewahan dengan mengadakan perjamuan-perjamuan, pesta-pesta dansa. Hal
tersebut menjadikan struktur bangunan Indis harus mampu mewakili aktifitas
penghuninya, oleh karena itu ruangan dalam rumah Indis dibagi menurut
fungsinya masing-masing (Soekiman, 2000).
Perpaduan unsur Eropa dengan unsur tradisional yang dapat ditelusuri lewat
adanya beranda depan, samping, belakang, serta taman yang luas yang
melatarinya. Nuansa alam Jawa yang sejuk tergambar dengan berbagai tumbuhan,
biasanya tanaman yang ditanam adalah tanaman khas Indonesia berupa tanaman
obat tradisional, hadirnya tanaman-tanaman ini menambah kesejukan rumah
bergaya Indische Empire Style (Handinoto, 1994).
Perkembangan gaya bangunan Indische Empire Style di Surakarta
dipengaruhi oleh faktor politik pemerintah kolonial Belanda sebagai penguasa di
Jawa. Kekuasaan menjadikan para pejabat pemerintah Eropa sebagai penguasa
ingin menampilkan diri dengan kesan mewah, gagah dan berwibawa sebagai
penguasa dan berbeda dengan masyarakat sekitar.
Rumah bergaya Indisch Empire Style di Surakarta , dapat dilihat pada
bangunan rumah Agustinus De Zentje seorang pengusaha pekebunan di Surakarta
pada waktu itu. Loji Gandrung, dewasa ini digunakan sebagai rumah dinas
Walikota Surakarta yang terletak di pusat kota Surakarta, tepatnya di kawasan
jalan utama Slamet Riyadi.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
95
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
96
pada batang tiang penyangga rumah yang bergaya Eropa klasik (Prasangka,
2005).
Proses perubahan bentuk bangunan tradisional menjadi bangunan dengan
arsitektur modern tersebut terjadi karena berbaga i faktor. Faktor tersebut antara
lain seperti kondisi alam, kontak sosial, ekonomi, budaya dan politik.
Perkembanga n arsitektur Indis di Surakarta, bisa ditinjau berdasarkan
perkembangan kota Surakarta dan kebijakan politk pada masa pemerintahan
kolonial Belanda.
Perkembangan suatu kota akan sangat tergantung kepada banyak faktor,
seperti letak geografi, sosial, ekonomi, budaya masyarakat dan sebagainya.
Namun yang paling menentukan dalam perkembangan kota adalah faktor
manusianya. Menjelang peralihan abad IXX ke abad XX di Hindia -Belanda,
khususnya Jawa banyak sekali mengalami perubahan dalam masyarakat. Akibat
kebijakan politik pemerintah pada waktu itu mendorong terjadinya perubahan
bentuk tata kota yang di dalamnya secara tidak langsung mencakup pula bentuk
arsitektur (wawancara Bapak Muqqofa, pada tanggal 8 Juli 2013). Lebih lanjut
lihat CL 4 pada lampiran halaman 215.
Perkembangan dan perluasan kota -kota besar di Jawa terutama di Surakarta
menimbulkan kesulitan akan kekurangan rumah tempat tinggal bagi penduduk
kota. Hal ini menyebabkan pembanguan rumah bergaya Empire Style mulai
berkurang, karena tidak tersedianya lahan dan menunjukan pemababakan baru
dalam sejarah arsitektur Indis di Surakarta yang terjadi setelah tahun 1900an.
Berkurangnaya bangunan Indis bergaya Empire Style disamping berkurangnya
lahan akibat ledakan penduduk di Surakarta juga disebabkan oleh mahalnya harga
tanah di pusat kota serta adanya zaman Malaise dan pecahnya Perang Dunia
(Soekiman, 2000).
Rumah tradisional Jawa merupakan ha sil budaya yang syarat dengan
simbol-simbol, baik itu dalam bentuk religi, adat-istiadat, dan tradisi. Semua ini
menunjukkan bahwa dalam budaya Jawa hasil karya kebudayaan fisik tidak saja
mengandung fungsi kegunaan, melainkan juga fungsi simbolis dan religius.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
97
Masuknya budaya arsitektur Eropa tidak merubah tatanan rumah tradisonal Jawa
terutama dari pola ruang yang khas ada dirumah tradisional.
Bangunan rumah tradisional Jawa pada abad ke XX, sudah banyak yang
dibangun baru dan sedikit banyak sudah dipenga ruhi oleh unsur -unsur arsitektur
Barat, walaupun bentuknya masih tradisional, yaitu bangunan dengan atap
limasan atau joglo.
Masyarakat golongan Belanda dan Eropa lainnya dalam membangun rumah
beraristektur Indis telah memikirkan secara mendalam pembagia n ruang-ruang
dalam tempat tinggalnya. Fungsi dari tiap-tiap bagian ditata dengan baik. Secara
fungsional struktur bangunan Indis selain menjadi rumah tinggal juga mewakili
aktifitas dari penghuninya. (wawancara Bapak Muqqofa, pada tanggal 8 Juli
2013). Lebih lanjut lihat CL 4 pada lampiran halaman 215.
Rumah berarsitektur Indis memilki karakter bangunan yang meneysuaikan
dengan keadaan alam Pulau Jawa, hal ini diterapka n dalam pola tata ruang dan
banyaknya sistem bukaan dalam rumah Indis serta bentuk rumah besar dengan
yang simetris. Pengaruh-pengaruh Eropa lainnya terlihat pada ornamen-ornamen
yang menempel pada tubuh bangunan, sepert i ornamen pada tiang penyangga
(Hartono & Handinoto, 2006).
Ornamen-ornamen pada tiang tersebut bergaya klasik, selain itu batang tiang
yang disebut sebagai saka guru, saka rawa, dan saka emper banyak yang sudah
tidak lagi terbuat dari kayu, namun diganti dengan pilar -pilar yang di cor dari batu
dan semen.
Halaman yang luas disekitar pendapa dan dalem ageng , dengan masuknya
budaya Belanda maka ruangan-ruangan yang luas tersebut didirikan bangunan-
bangunan baru seperti lojen, pavilyun, dan kopel. Pavilyun dan lojen biasanya
dipergunakan untuk menjamu pejabat Belanda yang datang berkunjung
(wawancara Bapak Muqoffa, 8 Juli 2013). Lebih lanjut lihat CL 4 pada lampiran
halaman 215.
Arsitektur bukan sebuah bangunan atau monumen yang tanpa jiwa.
Arsitektur rumah tinggal sebagai hasil budaya merupakan perpaduan karya seni
dan pengetahuan tentang bangunan, sehingga arsitektur juga membicarakan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
98
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
99
a b
Gambar 4.5 Beberapa Bentuk Pilar atau Tiang pada Bangunan Indis: a; Tiang
Doria, b ; Tiang Ionia, c; Tiang Corinthian
(Sumber: Soekiman, 2000 : 304).
arsitektur yang berkembang pada masa ini adalah arsitektur Barock. Pada zaman
Barock arsitektur manjadi sebuah karya seni yang utama, dengan mengunakan
lukisan dan ukiran yang merupakan elemen dari keseluruhan bangunan. Tema
dasarnya adalah bangunan yang memusat pada mahkota kubah yang digabung
dengan bangunan memanjang. Barock menyatukan berbagai unsur gaya tiang
pada bangunan, yang pada zaman Renaissance bagian tiang dipisahkan
berdasarkan ruang-ruang pada struktur bangunan (Budiono, 1997).
Penggunaan tiang Doria, Ionia, Corinthian, biasanya di pakai untuk
bangunan-bangunan pemerintahan dan tempat tinggal pejabat Kolonial Belanda,
seperti Gubernur, Residen, Assisten Residen, Bupati dan kontrolir di wilayah dan
pengusaha-pengusaha Belanda karena lebih indah dan banyak memiliki detail,
khususnya tiang gaya Ionia dan Corinthian. Tiang Doria merupakan bentuk tiang
paling sederhana diantara ketiga tiang tersebut. Tiang Ionia lebih ringan dan
terkesan feminism, memiliki bentuk dua buah kepala tiang, berbentuk lengkung
yang saling membelakangi (volutes). Tiang Corinthian merupakan yang paling
rumit dari ketiga tiang tersebut, bentuk kolomnya lebih langsing dan kepala
kolomnya berbentuk dua susun daun-daun Acanthus (Zulkiflianto, 2010).
Tiang yang bergaya Doria memiliki simbol kekuatan, sesuai dengan jiwa
bangsa Doria yang berjiwa militer. Gaya Doria menghendaki bentuk bangunan
yang diciptakan tampak kokoh, kuat, perkasa, sekaligus juga dapat dijadikan
sebagai lambang kekuasaan, dengan demiian gaya Doria sangat cocok sebagai
hiasan bangunan pemerintah atau pe nguasa. Gaya Doria banyak dipilih karena
memiliki proporsi yang kokoh dan terkesan maskulin. gaya Korintian dan gaya
Ionia yang penuh garis -garis halus pencerminan kelembutan (Soekiman, 2000).
Pengguaan tiang gaya Doria, Korintia, dan Ionia menunjukan gaya
bangunan yang dijadikan alat untuk pencerminan kekuasaan melalui bangunan
tempat tinggalnya. Sehingga apabila masyarakat umum melihat bangunan tersebut
mereka dapat langsung mengetahui bahwa yang bertempat tinggal dirumah
tersebut adalah orang yang memiliki kekuasaan dan dihormati.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
101
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
102
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
103
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
104
(2) Makelaar
Ornamen yang terdapat pada atap bangunan Indis selanjutnya yaitu
makelaar. Makellar yaitu papan kayu berukir yang berukuran panjang
sekitar 2 meter dan ditempelkan secara vertikal dan diwujudkan berupa
pohon palem atau orang dengan tangan menengadah, dan juga berbentuk
hewan angsa yang diletakan saling membelakangi.
Hiasan ini terdapat didepan rumah (geveltoppen) yang disebut
voorschot, yaitu bentuk segitiga yang terdapat didepan rumah. Biasanya
merupakan atap dari teras. Pada beberapa bangunan Indis banyak
menggunakan hiasan makelaar, hiasan makellar yang sulit dilacak arti
simboliknya, tetapi secara umum hiasan makelaar ini melambangkan roh-
roh baik dan ja hat sesuai dengan kepercayaan masyarakat. (Soekiman,
2000).
Hiasan makellar di Belanda memilki berbagai bentuk yang
disesuaikan dengan perkembangan jaman dan mata pencaharian
masyarakat di negeri Belanda , misalkan lambang dari masa pra kristen
yang diwujudkan dalam bentuk pohon hayat, kepala kuda, roda matahari
dan lambang pada masa kristenan berupa bentuk salib dan hati, sedangkan
Roma Katolik berupa miskelk dan hostle .
Bangunan rumah Indis bebrapa memilki ragam hias yang
dipahatkan pada makelaar seringkali berupa hiasan yang diukir berupa
huruf yang distilisasi sehingga menjadi motif ragam hias (runenschrifti),
yang memilki makna tertentu, biasanya sebagai lambang keselamatan dan
kemakmuran. Misalkan Lambang Manrune, mengandung arti simbolik
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
105
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
106
c
Gambar 4.8 Hiasan Kemucuk Berbentuk a; Gevel, b; Domer, c; Bentuk
Tower pada bangunan Indis di Surakarta.
(Sumber: Dokumentasi Pribadi, 18 Mei 2013)
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
107
Hiasan dari kaca pada umumnya ditempatkan pada pintu dan jendela
rumah. Bentuknya dikombinasikan dengan panel-panel kayu, tetapi ada
pula yang menempatkan hiasan kaca ini pada domer.
Melihat dari sisi sejarah pada awalnya bentuk jendela mengguanakan
penutup rotan yang dianyam seperti kursi. Cara ini didapat oleh orang-
orang Portugis dengan meniru cara orang pribumi. Kelemahan jendela
dengan penutup anyaman rotan ini ialah terbuka dan tidak dapat
melindungi ruangan dalam dari hujan dan panas matahari, juga terpaan
angin, dan apabila ditutup ruangan menjadi gelap dan pengap.
Perkembangan hiasan dari kaca tidak bisa terlepas dari
perkembangan arsitektur gaya art deco yang berkembang sekitar abad ke
XX. Mengenai definisi art deco, Handinoto, Santoso & Irawan (2012)
menyimpulkan
Art Deco adalah seni populer, gerakan desain internasional dari 1925
sampai 1940, yang mempengaruhi seni dekoratif seperti arsitektur,
desain interior, dan desain industri, serta seni visual seperti fashion,
lukisan, seni grafis, dan film. Pada saat itu, gaya ini dianggap
sebagai elegan, glamor, fungsional, dan modern (hlm. 1)
Gambar 4.9. Salah Satu Bentuk Hiasan Kaca Patri (Glass In Lood ) yang
ditempatkan pada Panel Ventilasi di Atas Pintu dan jendela
(Bovenlich ) pada Bangunan Rumah Indis milik
Poesposumartan di Laweyan.
(Sumber: Dokumentasi Pribadi, 22 Mei 2013)
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
111
berdekatan dengan sungai. (wawancara, Ibu Naniek Widyati, 21 Mei 2013). Lebih
lanjut lihat CL 1 pada lampiran halaman 200.
Rumah-rumah saudagar batik, yang memiliki luas rumah cukup besar
terletak di jalan utama ka mpung, yakni sepanjang Jalan Sidoluhur dan jalan Tiga
Negeri. Pemukiman berskala kecil biasanya ditempati oleh para pekerja atau
buruh batik, rumah para pekerja batik biasanya terletak masuk ke pinggiran jalan
utama atau berdekatan atau di tepi sungai Kabanaran atau sungai Jenes sekarang,
tetapi ada pula saudagar batik yang bertempat tinggal di tepi sungai (Wawancara
Bapak Alpha Febela, 4 September 2013). Lebih lanjut lihat CL 3 pada lampiran
halaman 211.
Jika digambarkan pada peta, kawasan pemukiman atau letak hunian
saudagar batik dengan pekerja batik adalah sebagai berikut:
Gambar 4. 10. Peta Pembagian Lapisan Sub Kawasan Pengusaha dan Buruh pada
Kawasan Laweyan. Lapisan 1 dan 2 dari kawasan ja lan Dr.
Radjiman merupakan kawasan pemukiman saudagar batik yang
menjorok sampai ke dalam. Lapisan 3, merupakan Lapisan pekerja
atau Buruh Batik
(Sumber : Widayati, 2002 : 241)
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
112
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
115
rumah tempat tinggal dengan ukuran yang besar dan luas, berdinding tembok
dengan perabot yang mewah, aksesoris interior dan eksterior dengan materi bahan
yang mahal, detail, dan dikerjakan dengan tingkat keahlian yang tinggi, dapat
dipergunakan sebagai tolok ukur derajat dan kekayaan pemilik rumah tersebut.
Semakin banyak ornamen yang mengisi rumah tersebut menunjkkan pemiliknya
adalah bukan orang biasa. (wawancara Bapak Alpha Febella, 4 September 2013).
Lebih lanjut lihat CL 3 pada lampiran halaman 211.
Banyak bangunan rumah para saudagar ini dilengkapi dengan cermin di
pendapa rumah, menggunakan tiang rumah yang kokoh dan berukir serta lantai
dari marmer. Biasanya pada rumah-rumah orang kaya di Laweyan akan dijumpai
pintu gerbang bersusun seperti gerbang rumah para bangsawan di keraton dan di
atas pintu tersebut dilengkapi dengan ukiran crown semacam la mbang mahkota
kerajaan Belanda , yang sanagat indah dan membutuhkan kedetailan dalam
membuatnya. Hal ini menunjukan bahwa dalam gaya hidupnya para saudagar ini
mengacu pada kehidupan para bangsawan keraton Surakarta atau masih
berpedoman pada kehidupan dan budaya Jawa meskipun dalam asitektur rumah
telah berubah mengikuti pola bangunan rumah Eropa (Wawancara Bapak Alfa
Febella, 4 September 2013). Lebih lanjut lihat CL 3 pada lampiran 211.
Banguan rumah Indis milik saudagar batik di Laweyan umumnya memiliki
ciri bangunan kolonial Belanda dengan bentuk unsur dominan garis lurus, unsur
dominan garis lengkung, perpaduan antara keduanya, perpaduan unsur kayu yang
diukir dengan loji, tetapi ada juga perpaduan dengan unsur yang lain. Tetapi
dalam hal pola ruang, masih mirip dengan pola ruang yang ada di rumah
bangsawan dan pola ruang arsitektur Jawa pada umumnya. Hal ini dikarenakan
adanya hubungan ya ng erat antara masyarakat saudargar batik Laweyan dengan
keraton melalui perdagangan batik dan di dukung dengan kekayaan yang ada,
sehingga façade atau bentuk arsitektur pada bangunan rumah milik saudagar batik
Laweyan pada umumnya masih menggunakan konsep aristektur Jawa, baik dari
bentuk ataupun pola ruang pada rumah tradisional Jawa seperti rumah kebanyakan
di Surakarta. (wawancara, Ibu Naniek Widyati, 21 Mei 2013). Lebih lanjut lihat
CL 1 pada lampiran halaman 200.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
119
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
120
Gambar 4. 12. Variasi Bentuk Atap pada Bangunan Rumah Saudagar Batik di
Kampung Laweyan
(Sumber : Widayati, 2002: 152)
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
122
pendopo
Gandok Kiri Gandok Kanan
ndalem
sentong beteng
Butulan
Pabrik
Gambar. 4.13. Pola Ruang Rumah Indis Saudagar Batik Laweyan yang Masih
Menerapkan Pola Ruang Arsitektur Jawa
(Sumber : Priyatmono, 2004 : 2, di gambar kembali oleh penulis)
Pola ruang rumah Jawa dalam rumah Indis milik saudagar batik di Laweyan
ditunjukkan dengan adanya rumah induk di bagian tengah, di apit rumah atau
pavilium tambahan di kanan dan kiri rumah induk. Dalam istilah arsitektur Jawa
dikenal dengan istilah gandhok tengen dan gandhok kiwa.
Kedua gandhok terhubung dengan dapur dan pabrik pada bagian belakang
rumah induk, sehingga berbentuk U, tetapi para saudagar batik Laweyan bebas
menentukan letak gandhok, hanya satu di sisi kanan atau kiri saja, atau kedua sisi
sampai sejajar dengan letak rumah induk bagian depan.
Bagian dalem atau ruang utama dalam rumah Indis di Laweyan masih
terdapat adanya ruang khusus yang dalam arsitektur Jawa disebut krobogan atau
patanen yang terdapat ruang pada ruangan sentong tengah , sentong sendiri yang
berjumlah 3 buah, yaitu sentong tengen, sentong tengah dan sentong kiwa .
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
123
Sentong ini merupakan tempat yang sakral dalam rumah tradisional Jawa
karena merupakan perlambang dari kesuburan. Dalam ruang senthong biasanya
ditempatkan perlengkapan yang di golongkan ke dalam benda hiasan, antara lain
bantal, guling, tempat sesaji, tempat sirih atau kinang , dan patung roro blonyo,
walaupun ada saudagar batik yang tidak memilki dan menempatkan patung
tersebut. Selain itu pada bagian tengah dalem biasanya dipasang rono atau
devider, sebagai sekat.
Pengusaha batik di Laweyan membuat petanen dengan sangat indahnya dan
dilengkapi dengan benda hiasan yang bagus-bagus dan mahal. Hal ini sengaja
dibuat sedemikian oleh para pengusaha untuk menunjukkan kelebihannya sebagai
pengusaha walaupun mereka bukan dari golongan bangsawan. Dengan kata lain
adalah sebagai penunjukkan kekayaan saudagar batik (Wawancara Ibu Naniek
Widayati dan observasi lapangan, 21 Mei 2013). Lebih lanjut lihat CL 1 pada
lampiran halaman 200.
Arsitektur Rumah Indis di Laweyan merupakan salah satu upaya dalam
penunjukan identitas diri pada masyarakat saudagar yang termarginalkan oleh
sistem budaya masyarakat feodal. Kekayaan akibat dari berkembangnya industri
batik menjadi pendorong masyarakat Laweyan untuk bergaya hidup Indis dan
salah satunya adalah dengan membangun rumah-rumah megah berarsitektur Indis
beserta ornamen yang menghiasinya.
Ornamen yang terdapat pada rumah Indis milik saudagar batik Laweyan
yang ditemukan, umumnya berupa hiasan yang menempel pada struktur bangunan
dan ornamen yang tidak menempel pada bangunan atau terlepas dari struktur
bangunan dan berfungsi sebagai penghias ruang.
Ornamen yang menempel pada bangunan biasanya terdapat di lantai,
dinding, tiang, pintu, jendela, dan senthong adalah hiasan atau ornamen yang di
stilir atau diukirkan pada benda dengan motif flora dengan bentuk lung-lungan
atau sulur-suluran , pada jendela atau pintu terdapat hiasan kaca dikombinasikan
dengan pola jalusi kayu dan merupakan citi arsitektur bergaya art deco .
Benda hiasan atau or namen yang biasanya terlepas dari struktur bangunan
dan merupakan pelengkap ruang. Sama seperti rumah bangsawan Jawa pada
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
124
umumnya, pada rumah Indis di Laweyan juga terdapat hiasan berupa kaca besar
yang terletak di kanan-kiri petanen serta di pendopo pada dinding kanan dan kiri.
Selain itu terdapat pula patung (arca) yang terletak di kanan dan kiri regol atau di
halaman. Kemudian di area petanen ada perlengkapan yang digolongkan ke dalam
benda hiasan, antara lain bantal, guling, tempat sesaji, tempat sirih atau kinang,
patung dan roro blonyo .
Penempatan ornamen baik yang menempel maupun terlepas dari struktur
bangunan rumah masyarakat saudagar batik Laweyan tidak memiliki makna
filosofis tertentu tetapi hanya beruapa unsur penghias dan sarana penunjukan
ide ntitas bahwa saudagar batik adalah orang kaya dan pantas disejajarkan dengan
golongan bangsawan keraton. Hal ini terlihat dari pemakaian ornamen-ornamen
berlanggam Eropa baik yang di tempatkan di pintu rumah, jendela, kaca dan
penguunaan lantai marmer pada bangunan rumah, bagi masyarakat saudagar batik
Laweyan semakin banyak ornamen yang ada di dalam rumah menunjukan pemilik
dari rumah tersebut bukan merupakan orang biasa (wawancara bapak Alpha
Febella, 4 September 2013) . Lebih lanjut lihat CL 3 pada lampiran halaman 211.
Kekayaan saudagar batik Laweyan hasil dari usaha batik yang berkembang
menyebabkan pola dan gaya hidup Indis di adaptasi oleh saudagar batik,
khususnya dalam membangun rumah. Rumah Indis di Laweyan, pada
perkembangan arsitek terdapat beberapa bentuk rumah dari berbagai bentuk
seperti didominasi unsur garis lurus, unsur garis lengkung, perpaduan antara
keduanya, ada juga ukiran sebagai yang menjadi unsur dominan dan mewakili
periode arsitektur indis di Laweyan.
Bangunan rumah yang dijadikan obyek penelitian ini adalalah rumah
Djimatan, ruma h Poesposumartan, rumah H.Mawardi dan rumah Tjokrosumarto.
Keempatnya merupakan bukti dari kesuksesan saudagar batik Laweyan. Berikut
dideskripsikan riwayat singkat dari keempat rumah tersebut.
Rumah Djimatan atau lebih dikenal dengan nama dalem Djimatan terletak
di Jalan Tiga Negeri, wilayah kampung Sentono RT 03/RW 03, Kelurahan
Laweyan. Letaknya disebelah utara sungai Kabanaran atau sungai Jenes sekarang.
dalem Djimatan dibangun pada tahun 1938.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
125
Priyomarsono (Wawancara Ibu Nanik Widayati, 21 Mei 2013) . Lebih lanjut lihat
CL 1 pada lampiran 200.
Rumah kedua adalah rumah milik bapak Poesposoemarto, riwayat
kesuksesan saudagar batik Poesposumartan berawal dari rumah Poesposumarto
yang berlokasi di Jalan Tiga Negeri yang awalnya digunakan sebagai pabrik
pembuatan batik. Rumah awal Poesposumarto sejak 2008 sebagian ruangnya
berfungsi sebagai Museum Samanhoedi yang sekarang sudah tidak difungsikan
lagi dan kondisinya suadah lapuk dimakan jaman.
Poesposumarto mengawali usaha batik dari rumah tersebut, setelah
mengalami kemajuan yang pesat dalama industri batik pada abad ke XX, akhirnya
pada tahun 1938 Poesposumarto mampu membangun rumah loji untuk 3 anaknya.
Dalem Poesposumartan berlokasi sangat strategis di Jalan Dr. Radjiman no. 501,
dahulu bernama Jalan Laweyan dan merupakan jalur utama dari taransporatsi
darat yang digunakan masyarakat. Kesuksesan Poesposumarto dala m mengelola
industri batik menjadikan masyarakat Laweyan lebih mengenal rumah ini dengan
nama Dalem Poesposumartan.
Rumah pertama tetap berfungsi sebagai pabrik dan rumah kedua hanya
sebagian kecil berfungsi sebagai pabrik, karena lebih berfungsi sebaga i kantor.
Rumah Poesposumartan sejak awal rumah dibangun dengan bangunan gaya Indis,
dengan karakter denah Art Deco simetri, atap miring, menjulang tinggi dan
konstruksi bangunan sepenuhnya di topang oleh dinding (bearing wall), list batu
kali pada bagian luar serta pola ruang yang menggunakan pola ruang dalam
arsitektur Jawa. Banguna n rumah ini pada tahun 2002 telah berpindah tangan
karena dijual oleh keluarga kepada Ibu Krisnina Maharani Tandjung, putri dari
bapak Akbar Tandjung dan merubahnya menjadi sebuah Hotel yang menerapkan
sebuah gaya tempo dulu, hotel ini bernama Roemah Koe (Wawancara Ibu
Andrini, 29 Juni 2013). Lebih lanjut lihat Catatan Lapangan 5 pada lampiran
halaman 218 (Selanjutnya, dalam kalimat disingkat menjadi CL 5).
Rumah H. Mawardi berlokasi di kampung Sayangan Kulon, rumah ini
merupakan rumah dengan arsitektur Indis dengan struktur dominan banguan
terbuat dari kayu, dari angka yang terdapat pada banguan rumah tersebut, di
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
127
ketahui bahwa rumah ini dibangun pada tahun 1858, dengan struktur bangunan
dan atap menerapkan struktur rumah limasan.
Pola ruang pada rumah ini terdiri dari pendapha dan pringgitan jadi satu,
kemudaian gandhok dan area dalem. Pemilik bangunan ini masih kerabat dengan
pemilik rumah Djimatan.
Rumah ini dihuni oleh kaka dari ibu Naniek bersama anaknya. Rumah ini
menerapkan ukiran-ukiran pada lisplank dan terdapat banyak ventilasi udara.
Rumah ini merupakan sebuah rumah pada periode elektitas yang berkembang
pada periode 1920an dan mewakili periode arsitektur indis di Laweyan.
Rumah Tjokrosumartan atau lebih dikenal dengan nama dalem
Tjokrosumartan, terletak di Jalan Sidoluhur No. 18 Laweyan. Rumah ini memiliki
struktur banguan dengan motif lengkung dan bergaya neoklasik . Rumah ini
dibangun sekitar tahun 1928, dengan luas bangunan sekitar 1800 m² dan luas
tanah 3000 m².
Arah hadap bangunan ke arah selatan, sayang sekali tanpa alasan yang jelas
peneliti tidak diperbolehkan oleh pemilik yang menempati rumah ini untuk
meneliti struktur banguan ini lebih detail.
Rumah bercorak Indis milik saudagar batik Laweyan, sebagian besar rumah
induk memiliki program ruang seperti rumah tradisional Jawa. Program ruang
tersebut diawali dengan ruang yang menyerupai pendapa, paringgitan, dale m,
gandhok . Meskipun beberapa rumah tidak ada pringg itan, jadi hanya pendapa dan
dalem. Bagian depan pendapa terdapat teras yang berfungsi sebagai adaptasi
emper depan.
Rumah saudagar batik Laweyan, seperti kebanyakan rumah tradisional Jawa
pada umumnya memiliki perbedaan tinggi level lantai menunjukan pembagian
ruang yang bersifat umum dan yang bersifat privasi seperti rumah tradisional Jawa
lainnya.
Arah hadap rumah saudagar batik di Laweyan, secara umum menghadap ke
arah utara dan selatan. Arah hadap tersebut tidak memiliki makna filosofis seperti
rumah bangsawan, tetapi lebih kepada akses keluar masuk dan sisitem sirkulasi
udara yang masuk dan keluar rumah.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
128
dalem
Pendapha Senthong
Gambar 4.14. Pola Perbedaan Tinggi Lantai Rumah pada Banguan Indis di
Laweyan
(Sumber: Widayati, 2002: 32)
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
129
Gambar 4.15. Bentuk Visual Dalem Djimata n, Tampak Depan, dengan Struktur
Bearing Wall dan Menggunakan Arsitektur Eropa Jawa
(Sumber : Dokumentasi Pribadi 20 Mei 2013)
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
130
rumah yang bersifat privasi, maka jelas berbeda ketungguan level lantai. Area
kedua dalem (Krobogan) yang memiliki perbedaan level lantai setinggi 20 cm
dibanding area pertama. Kedua area dalem ini memiliki ukuran panjang 7,64 m
dan lebar 4,05 m dan tinggi plafond 4,53 m.
Ruang Dalem pada rumah ini terdapat krobongan atau petanen yang
menjadi bagian dari senthong tengah. Kanan-kiri senthong tengah terdapat
senthong tengen dan senthong kiwa. Atap yang digunakan berbentuk atap limasan
dan atap pelana, dengan proposrsi kemirngan tinggi atap sekitar 70° dan
ketinggian plafont sekitar 4 m dari tanah.
Rumah Djimatan merupakan tipe bangunan Indis yang termasuk kedalam
periode campuran, dimana unsur Eropa dan Jawa dipadukan dalam proses
pembuatan rumah ini. Ciri Belanda telihat dari unsur bangunan yang kebanyakan
menggunakan unsut garis horizontal dan tipe banguan yang tinggi seperti
bangunan kolonial, sedangkan ciri Jawa dilihat dari pola ruang yang tersusun .
Lantai yang digunakan pada rumah Djimatan adalah tegel teraso dengan
warna dan ukuran berbeda pada setiap ruang. Ukuran tinggi menggunakan
dimensi meter, sedangkan ukuran panjang dan lebar menggunakan hasta dan depa
dari kepala keluarga penghuni rumah. Perbedaan dimensi tersebut karena ukur an
tinggi mendapat pengaruh proporsi bangunan Eropa dan struktur bearing wall.
Dimensi panjang lebar ruang merupakan implementasi pemahaman
masyarakat Jawa dalam menjaga keseimbangan kosmos dalam hidup. Akses
bukaan pada rumah Djimatan terlihat hampir sekitar 50% dari keseluruhan fasade
bangunan, ini terlihat dari banyaknya pintu dan jendela yang terdapat pada rumah,
ini merupakan pola dari kebanyakan rumah Indis yang berada di Jawa, dimana
pola ini dimaksudkan untuk beradaptasi dengan lingkungan alam tropis Jawa dan
menambah kesejukan rumah (wawancara Ibu Naniek Widayati, 21 Mei 2013).
Lebih lanjut lihat CL 1 pada lampiran halaman 200.
Akses bukaan pada rumah Djimatan ditunjukkan dengan adanya beberapa
pintu dan jendela . Pintu dan jendela menggunakan double daun pintu dan kaca
atau bentuk kupu tarung dengan pola geometris dan jalusi dalam arsitektur Jawa
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
133
disebut dengan jendela krapyak, dimana bagian atas terpisah dengan bagian
bawah.
Pintu terletak di depan rumah area pringgitan sebanyak tiga buah pintu,
samping kanan dan kiri serta tengah. Area dalem memilki akses bukaan dengan
dua buah pintu di sebelah samping, satu pintu di sebelah kanan untuk akses ke
ruang paviliyon atau gandhok dan di sebelah kiri untuk akses ke ruang tidur.
Jendela sebagai ventilasi udara terletak disamping kanan dan kiri rumah serta
diatas pintu.
Gambar 4.16. Akses Bukaan Berupa Pintu dan Jendela dan Ventilasi pada Rumah
Djimatan
(Sumber : Dokumentasi Pribadi, 20 Mei 2013)
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
134
(Wawancara Ibu Naniek Widayati, 21 Mei 2103). Lebih lanjut lihat CL 1 pada
lampiran halaman 200.
Rumah Djimatan, sebagai rumah yang dimiliki oleh saudagar batik memilki
ornamen-ornamen yang di tempatkan kontruksional ataupun tidak kontruksional.
Hiasan konstruksional terdapat pada pintu dan hiasan kaca pada jendela dan
gebyok (tirai pemisah anatara area dalem dengan area petanen ) yang memiliki
warna yang mencolok dan indah. Pada tiang rumah, terdapat haisan berupa
ukiran-ukiran tumbuhan yang distilisasi.
Hiasan yang tidak konstruksional digunakan sebagai penghias dan
pelengkap ruangan. Hiasan ini juga terdapat pada pelengkap ruang rumah
bangsawan, akan tetapi ada perbedaan terutama dari material bahan yang dipakai.
Ornamen atau hiasan yang digunakan pada rumah Djiamtan merupakan
ornamen Jawa dan Eropa (Eropa). Ornamen Eropa di tempatkan pada struktur
bangunan berupa hiasan kaca geometri pada jendela dan pintu dan lain
sebagiannya. Ornamen Jawa di tempatkan pada area dalem sebagai pelengkap
ruang dan menunjukkan kesan orang kaya dan tetap orang Jawa walaupun rumah
yang digunakan sudah berstruktur loji. Berikut dijelaskan beberapa ornamen yang
menghias dan melengkapi rumah Djimatan.
Gambar. 4.17. Bentuk Jendela dan Pintu dengan Ornamen Berupa Kombinasi
Kayu Geometris dengan Pola Jalusi dan bovenlicht dengan Kaca
yang dibentuk geometris dipadukan dengan teralis besi dibagian
dalam.
(Sumber: Dokumentasi Pribadi, 20 Mei 201).
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
136
Gambar 4.18. Hiasan Kaca Berwarna yang diletakan di panel-panel di area Dalem
Rumah Djimatan.
(Sumber Dokumentasi Pribadi, 20 Mei 2013)
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
137
Tiang saka tersebut memilki tinggi sekitar 4,5 m, yang konon katanya di
impor langsung dari Belanda. Ornamen yang terdapat pada tiang ini ditunjukan
dengan ukiran berupa tumbuhan sulur-suluran atau lung-lungan pada keseluruhan
tubuh tiang, menggunakan cat dengan warna krem pada tubuh tiang dan hijau
pada stialasi ornamen lunglungan, menambah keindahan dan kesakralan ruang.
Konon tiang saka ini langsung dipesan dan di impor dari Belanda.
terdapat di area dalem. Di dalam area tersebut terdapat ruang petanen yang terbagi
kedalam tiga ruang senthong yang berisi tumpukan bantal dan guling motif cindai
berwarna merah dengan tutup bagian ujung terbuat dari lempeng berwarna emas
dan dibatasi oleh kaca berwarna putih bening, dua buah cermin yang diletakan di
sebelah kanan dan kiri senthong dan bokor hasil bumi, kendi, tanpa patung loro
blonyo.
Bagian sudut ruangan dalem terdapat sebuah lemari yang berisi berbagai
benda koleksi dari pemilik rumah. Selain itu, pada langit langit terdapat hiasan
lampu gantung yang didatangkan langsung dari negeri Belanda. Kendi dan bokor
hasil bumi terbuat dari material kuningan, bukan dari tanah liat yang dapat
menunjukkan perbedaan dengan bangsawan keraton.
.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
139
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
140
panel-panel kaca dan pintu kayu, diaman terdapat hiasan kaca patri dengan warna
yang indah membentuk beberapa benda (Wawancara Ibu Andrini, 22 Mei 2013).
Lebih lanjut lihat CL 5 pada lampiran halama n 218.
Art Deco adalah seni populer, gerakan desain internasional dari 1925 sampai
1940, yang mempengaruhi seni dekoratif seperti arsitektur, desain interior, dan
desain industri, serta seni visual seperti fashion, lukisan, seni grafis, dan film.
Awalnya gaya ini dipakai untuk menghias tempat peribadatan atau gereja. Pada
saat itu, gaya ini dianggap sebagai elegan, glamor, fungsional, dan modern.
Penggunaan pada arsitektur di tunjukkan dengan pemasangan ornament dengan
mengedepankan budaya lokal (Handinoto,dkk, 2012)
Area rumah terbentuk dari dua area dalem dengan ketinggian level lantai
yang berbeda dari setiap area. Pola ketinggian lantai ini sama denagn pola
ketinggian lantai pada rumah Jawa kebanyakan dimana ada perbedaaan level
lantai antara bangunan yang besifat pribadi dan umum.
Area pertama terletak di dalem dengan ketinggian level lantainya sama
dengan area pringgitan . Area ini terletak pada bagian depan dari dalem, dengan
ukuran panjang 9,30 m lebar 1,80 m tinggi plafond 4,25 m. Area dalem yang
kedua, dengan perbedaan tinggi level lantai 20 cm lebih tinggi dibandingkan
dengan area lainnya. Area dalem tersebut memiliki ukuran panjang 9,34 m dan
lebar 3,98 m dan tinggi 4,04 m.
Ukuran pringgitan panjang 9, 34 m dan lebar 3,40. Area pringgitan pada
bagian menuju area dalem dikelilingi oleh panel-panel kayu yang terbuat dari
kayu jati dengan plistur coklat. Untuk area gandhok terdapat di samping rumah
utama, dahulu gandhok ini diperuntukan untuk menginap tamu atau saudara dari
Poesposumarto dan sekarang digunakan sebagai kamar hotel.
Area Dalem pada rumah ini terdapat krobongan atau petanen yang menjadi
bagian dari senthong tengah yang dibatasi dengan gebyok . Kanan-kiri senthong
tengah adalah senthong tengen dan senthong kiwa. Dalam area petanen ini
ditempatkan sepasang patung loro blonyo. Di area dalem terdapat dua buah tiang
(saka) yang terbuat dari besi dengan tinggi sekitar 3 m berornamen sulur-suluran
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
142
yang distilisasi. Lantai menggunakan tegel teraso dengan warna dasar merah dan
hijau yang memilki ukuran tegel yang berbeda antar ruang.
Bangunan rumah ini memilki akses bukaan yang cukup meneyesuaikan
dengan iklim tropis Jawa seperti kebanyakan bangunan Indis yang ada di Jawa.
Pintu dan jendela menggunakan double daun pintu atau bentuk kupu tarung
dengan pola geometris dan jalusi, dimana bagian atas terpisah dengan bagian
bawah.
Daun pintu dan jendela terbuat dari kayu jati dikombinasikan dengan kaca
atau glass in lood yang menghias hampir seluruh sudut ruangan, sehingga kesan
bangunan bergaya art deco semakin nampak. Pintu terletak di depan rumah
sebanyak tiga buah pintu, samping kanan dan kiri serta tengah.
Area dalem memilki akses bukaan dengan dua buah pintu di sebelah
samping, satu pintu di sebelah kanan untuk akses ke ruang paviliyon atau gandhok
dan di sebelah kiri untuk akses ke ruang tidur. Jendela terletak di samping kanan
dan kiri rumah serta di atas pintu, serta terdapat butulan yang menghubungkan
antara pintu rumah belakang dengan pabrik serta jalan kampung.
Gambar 4.22. Akses Bukaan Berupa Jendela dan Pintu dengan Kombinasi Kayu
Dan Kaca Glass In Lood pada Dalem Poesposumartan
(Dokumentasi Pribadi, 22 Mei 2013)
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
143
Gambar 4.23. Ornamen Glass In Lood pada Panel Kaca Jendela yang
Dikombinasikan dengan Pola Geometris Kayu Jati, pada Dalem
Poesposumatan
(Sumber : Dokumentasi Pribadi, 22 Mei 2013)
Variasi warna kaca terbentuk dari perpaduan warna kaca merah, biru,
kuning, putih, dan hijau. Bidang lengkung terpusat pada bagian tengah atau sisi
dalam dari daun pintu, jendela dan bofenlicht atau kaca yang terdapat pada bagian
atas pintu dan jendela.
Hiasan kaca patri juga terdapat pada gebyok sebagai area pembatas antar
area dalem dengan petanen yang memberikan kesan mewah dan elegan serta
sakral.
Ornamen Lung-lungan juga terdapat pada list pintu kaca atau tepatnya
diantara gebyok atau pembatas area dalem dan senthong. warna yang digunakan
adalah coklat cerah. Tiang besi tersebut merupakan tiang yang dipesan oleh
Poesposumartan langsung dari negeri Belanda.
Gambar 4.24. Ornamen Lung-lungan pada Batang Tubuh Tiang dan Stilisasi
Bentuk Bunga Padma pada Dalem Poesposumartan, Laweyan
(Sumber: Dokumentasi Pribadi, 22 Mei 2013)
setiap sudut bangunan ini dihiasi ornamen kaca warna-warni, seperti merah,
kuning, biru, dan putih yang masih utuh.
Penempatan warna kaca biru sebagai border dan warna merah maroon pada
bagian bawah memberi kesan tegas dan kontras. Pengguanan kaca dengan warna
yang tegas dimaksudkan untuk pengaturan cahaya matahari yang masuk kedalam
rumah.
Gambar 4.25 Variasi Bentuk Ornamen Glass In Lood, sebagai ciri langgam art
deco pada pintu, jendela dan bofenlicht pada Dalem
Poesposumartan, Laweyan
(Sumber: Dokumentasi Pribadi, 22 Mei 2013)
berasal dari luar negeri, hal ini dikarenakan saudagar batik telah melakukan
hubungan perdagangan dengan saudagar dari luar negeri.
Dalem Poesposumartan sebagai tempat tinggal dari salah satu saudagar
batik kaya di Laweyan memilki kelengkapan ornamen penghias ruang yang cukup
banyak dan berasal dari luar negeri tetapi ornamen pelengkap lokal tetap dipakai
sebagai penanda orang Jawa.
Ornamen pelengkap ruang terdapat di area dalem, diantara ornamen
pelengkap tersebut adalah sebagai berikut. Area k robogan atau petanen
merupakan area sakral dalam pola ruang arsitektur Jawa, dimana dalam area ini
terdapat tiga buah senthong yang salah satu sentong yaitu sentong tengah berisi
pusaka dan alat-alat upacara.
Gambar 4.26 Beberapa Ornamen Pelengkap Ruang yang terdapat pada Dalem
Poesposumartan, Laweyan
(Sumber : Dokumentasi Pribadi, 22 Mei 2013)
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
148
Area ini dibatasi dengan gebyok yang dihiasi oleh gordjen motif cinde dan
panel-panelnya diukir dengan motif lung-lungan serta di depannya ditempatkan
sepasang patung loro-blonyo , meja kaca, sepasang bokor sirih dan kembang
mayang , kendi serta sepasang cermin esta bermotif flora di sebelah kiri dan kanan
gebyok.
Isi dari petanen adalah bantal dan guling dengan kain penutup warna putih
dan tutup bagian ujungnya menggunakan lempengan logam berwarna perak.
Bagian sisi dari area ini terdapat benda-benda koleksi pribadi yang berasal dari
luar negeri. Pada dalem Poesposumartan juga terdapat lampu-lampu hias yang di
impor langsung dari Belanda. Kelengkapan dan keindahan area petanen serta
ornamen penghias rumah lainnya menunjukkan kesuksesan Poesposumartan
dalam mengelola industri batik.
Ornamen pelengkap lainnya adalah sebuah meja marmer dengan kaki meja
kayu berupa ukiran naga, meja marmer ini didatangkan langsung dari Cina.
Sedangkan pada bagian lorong rumah terdapat foto-foto perjuangan Sarekat
Dagang Islam yang dipimpin oleh KH.Samanhudi serta beberapa foto keluarga
Poesposumartodan juga koleksi benda antik pada area dalem
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
149
k iwa dan senthong tengen dan dapur dan pabrik batik yang berada di belakang
rumah dan tambahan satu buah rumah di samping rumah utama serta regol.
Pendopo pada rumah ini di topang oleh empat buah saka guru yang terbuat
dari kayu jati dan saka pengiring bermaterialkan beton. Struktur banguan ini
merupakan perpaduan antara bentuk loji dengan kayu yang di pasang di lisplank
dan pendopo , dengan fondasi menggunakan beton setinggi sekitar 56 cm dilapisi
dengan keramik.
Fasade banguan ini meupakan ciri bangunan Indis, bentuk simetris dengan
tiga buah pintu diarea pendapha, Atap yang digunakan pada banguan ini adalah
atap Limasan dengan proporsi kemiringan hampir 60° dilengkapi dengan konsul
dari papan kayu (wawancara Ibu Naniek, 22 Mei 2013). Lebih lanjut lihat CL 1
pada lampiran halaman 200.
Gambar 4.27 Visual Struktur Bangunan Rumah Indis yang Memilki Unsur
Dominan Kayu Milik H. Mawardi, Laweyan, Surakarta
(Dokumentasi Pribadi, 25 Mei 2013)
Rumah ini terbagi kedalam dua area, area pendopo dan area dalem yang
memilki ketinggian atau level lantai yang berbeda. Area pendopo memiliki ukuran
panjang sekitar 5,30 m dan lebar sekitar 3,15 meter. Area gandhok pada rumah ini
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
150
ditempatkan di sisi sebelah kanan rumah dan difungsikan sebagai tempat tidur
tamu.
Area dalem memiliki ukuran panjang sekitar 5,30 m dan lebar 2,10 m
dengan perbedaan level lantai setinggi 20 cm. Struktur bukaan pada bangunan ini
hampir 60% terbuka, dengan ventilasi yang tredapat di bawah lisplank atap,
kemudaian di atas jendela yang menggunakkan ornament ukiran flora yang
terlihat terbuka.
Pintu di bangunan rumah ini berjumlah 3 buah pintu utama dengan double
daun pintu, pintu diletakan di sebelah kiri, tengah dan samping kanan area
pendapa. Jendela yang digunakan menggunakan pola geometris kayu dan jalusi.
Rumah H. Mawardi sebagai rumah salah satu pengusaha batik yang sukses
dijamanya, sama seperti saudagar batik lainnya yang ingin menunjukkan
eksistensinya sebagai saudagar dengan bentuk rumah yang bergaya Indis dan
ornamen yang menghiasi rumah tersebut. Ornamen pada rumah H. Mawardi
ditempatkan pada struktur rumah dan di dalan ruang sebagai penghias ruang.
Ornamen yang ada di Rumah ini sebagian be sar menepel pada struktur bangunan
sementara beberpa ornamen sebagai pelengkap terdapat di dalam ruang area
dalem.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
151
Gambar 4,28. Ornamen pada Atap Berupa Kayon atau Gunungan (Panah Merah)
yang Terbuat dari Kayu pada Rumah Indis milik H. Mawardi di
Kawasan Laweyan, Surakarta
(Dokumentasi Pribadi, 25 Mei 2013)
Gambar 4.29 Ornamen Pintu serta bofenlicht Berupa Ukiran Bunga yang
Distalisasi dan Hiasan Kaca Geometris Kotak
(Dokumentasi Pribadi, 25 Mei 2013)
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
152
Gambar 4.30. Ornamen pada Area Pringgitan berupa hiasan dari kayu berbentuk
memanjang mirip seperti ornamen banyu tetes (gambar kiri) dan
ornamen Lambrissering yaitu hiasan lukisan dari keramik yang di
cat dengan pola tumbuhan tunas bunga terbalik (gambar kanan)
(Dokumentasi Pribadi, 25 Mei 2013)
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
153
Sekeliling area pringgitan terdapat pula hiasan dari keramik yang di cat
dengan pola tumbuhan tunas bunga yang ditempatkan ke bawah yang disebut
Lambrissering. Area dalem terdapat hiasan ukiran berupa lung -lungan yang
menghiasi gebyok pembatas ruang senthong dan pada tiang saka.
Gambar 4.31 Ornamen Pelengkap Ruang Berupa Sepasang Cermin dan Bokor
Siih dari Kuningan serta Furniture Berupa Kursi Berukir pada Area
pringgitan Rumah H.Mawardi, Laweyan
(Dokumentasi Pribadi, 25 Mei 2013).
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
154
Area sentong tengah sebagai area sakral, terdapat bantal dan guling sebagai
pengisi ruang, dilapisi kain warna putih dan ujungnya memakai lempengan
berwarna perak. Gebyok atau pembatas area petanen panel-panelnya diukir
dengan motif lunglungan berwarna emas dan gordjen motif cinde dan Area lantai
yang lebih tinggi dilapisi dengan permadani berwarna hijau serta kursi berukir
tang terbauat dari kayu yang ditempatkan di area pringgitan. Saudagar batik di
Laweyan membuat petanen dengan sangat indahnya dan dilengkapi dengan benda
hiasan yang bagus-bagus. Hal ini sengaja dibuat demikian untuk menunjukkan
kekayaan.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
155
Ornamen yang terdapat pada rumah Indis milik saudagar batik Laweyan
yang ditemukan di lapangan umumnya be rupa hiasan yang menempel pada
struktur bangunan dan ornamen yang tidak menempel pada bangunan atau
terlepas dari struktur bangunan dan berfungsi sebagai penghias ruang.
Ornamen digunakan masyarakat saudagar batik Laweyan untuk penunjukan
kekayaan, semaik in banyak ornamen rumah yang menghiasi berarti semakin kaya
orang yang menempatinya (Wawancara Bapak Alpha, 4 September 2013). Lebih
lanjut lihat CL 3 pada lampiran halaman 211.
Rumah bergaya arsitektur Indis di Laweyan secara umum menggunakan
ornamen yang konstruksional dan tidak konstruksional. Ornamen konstruksional
adalah ornamen yang menempel pada struktur bangunan, sedangkan yang tidak
konstruksional digunakan sebagai pelengkap dari isi ruang pada rumah
berarsitektur Indis. Diantara ornamen yang ada pada rumah Indis di Laweyan,
disamping menggunakan or namen yang berasal dari dalam negeri juga ornamen
yang berasal dari luar negeri.
Saudagar batik Laweyan sebagai manusia Jawa dalam membangun
rumahnya masih tetap berpegang teguh pada nilai- nilai kebudayaan Jawa
walaupun bentuk rumah mereka telah berubah menjadi bentuk loji, hal ini dapat di
buktikan dengan pola tata ruang pada bangunan milik saudagar batik Laweyan,
selain itu penggunana ornamen pada rumah Indis di Laweyan juga menerapkan
pemberian ornamen Jawa dan ornament Eropa.
Oranamen-oranamen dan material dari ornamen yang digunakan dalam
menghias rumah berarsitektur Indis milik saudagar batik di Laweyan, memiliki
makna tertentu dan merupakan sebuah tanda yang tersembunyi dan memiliki
fungsi yang berbeda dengan fungsi ornament pada rumah Jawa milik bangsawan.
Kajian seimotika dalam penelitian ini digunakan untuk mengkaji dan mendalami
makna tanda yang tersembunyi dari setiap ornamen dan material ornamen yang
digunakan oleh saudagar batik Laweyan dalam menghias rumah.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
156
b
Gambar 4. 32 a; Bentuk Ornamen Lung-lungan b; Penempatan Lung-lungan pada
pada Tiang Saka di Dalem Djimatan.
(Sumber Ismunandar, 2007 :64; Dokumentasi Pribadi, 2013).
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
157
Jenis pohon yang biasanya distilir untuk hiasan lung-lungan adalah teratai
(padma), daun kluwih, bunga melati, dan tanaman-tanaman yang bersifat melata
dan bukan hwan, karena bagi masyarakat Jawa itu tidak diperbolehkan. ukiran
yang dibuat dengan cara mengubah atau menyederhanakan bentuk aslinya
menjadi bentuk gambar lain yang dikehendaki. Ornamen lunglungan biasanya
ditempatkanpada balok kerangka rumah seperti pada blandar, tumpang,
dadapeksi, tebeng pintu dan lain-lainnya (Ismunandar, 2007).
Rumah milik saudagar batik Laweyan yang bercorak Indis juga
menggunakan ornamen ini sebagai hiasan dari rumah mereka, penempatan
ornamen lunglungan, tersebut pada rumah saudagar biasanya pada tiang saka
yang berada di area dalem, di pahat dengan posisi vertikal dan bentuknya seperti
daun-daunan, biasanya di berikan warna yang cerah. Lunglungan memiliki fungsi
sebagai ornaemen untuk penghias ruangan serta memberikaan kesan yang angker,
wingit atau sakral. Hal ini dikarenakan ornamen lung -lungan ditempatkan pada
rumah inti atau area dalem dari rumah para saudagar batik Laweyan.
Ornamen lunglungan pada rumah berarsitektur Jawa pada umumnya, tidak
diberi warna, karena biassanya oranamen ini dipahatkan pada kayu jati, tetapi
pada rumah Indis di Laweyan, batang tiang tersebut di cat, warna cat disesuaikan
dengan penyesuaian cahaya dalam ruang. Pada rumah Indis milik saudagar batik
Laweyan yang diteliti, ditemukkan warna yang digunakaan menggunakan warna
kremm dan coklat untuk batang tiang dan hijau untuk stiliran lunglungan. Warna
hijau dan coklat memberikan kesan kenyamanan.
Ornamen lunglungan, pada rumah indis di Laweyan ini memiliki makna
yang sama dengan makna pada rumah Jawa pada umumnya, ya itu sebagai
perlambang kesuburan sebagai sumber penghidupan di muka bumi dan
menunjukan simbolisme tanaman sorgawai. Masyarakat saudagar batik Laweyan
yang memiliki watak berdagang, selain mengaanggap ornamen ini sebagai
penghias rumah juga melambangkan da ri kesuksesan duniawi karena yang
digambarkan adalah sumber kehidupan di dunia berupa bentuk tanaman.
(wawancara Ibu Naniek, 23 Mei 2013). Lebih lanjut lihat CL 1 pada lampiran
200.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
158
terbentuk dari perpaduan warna kaca merah, biru, kuning, putih, dan hijau. Bidang
lengkung terpusat pada bagian tengah atau sisi dalam dari daun pintu, jendela dan
bofenlicht. Penempatan warna kaca biru sebagai border dan warna merah maroon
pada bagian bawah memberi kesan tegas dan kontras.
Gambar 4. 33 Variasi Bentuk Ornamen Art Deco Berupa Hiasan Glass In Lood
sebagai Penanda Langgam Eropa dengan Bentuk Pola Garis
Lengkung dan Lurus Berwarna Cerah pada Dalem
Poesposumartan, Laweyan.
(Dokume ntasi Pribadi, 23 Mei 2013) .
ibadah, hiasan kemuncak tidak terlalu mendapat tempat yang spesial pada rumah
di Jawa. Berbeda dengan masyarakat Kolonial Belanda, yang sangat
memperhatikan hiasan atap rumah, karena memilki makna dan arti simbolis dalam
kehidupan masyarakat Belanda (Sujayanto, 2000).
Atap pada bangunan berarsitektur Indis di Laweyan secara umum
menggunakan kombinasi atap limasan dan pelana. Penggunaan atap limasan
kerena masyarakat Laweyan menyadari bahwa kelas sosila yang disandang adalah
sebagai kawula, bukanlah bangs awan dan termasuk kedalam elite keraton.
Pembannguan rumah bearsitektur Indis hanya sebagai pembuktian diri sebagai
masyarakat yang termarginalkan dari struktur tatanan masyaraka t feodal keraton,
selain itu Bentuk limasan dianggap cocok dengan struktur banguan bearing wall
yang ada di Laweyan (Wawancara Ibu Naniek Widayati, 21 Mei 2013) . Lebih
lanjut lihat CL 1 pada lampiran 200.
Ornamen yang mengisi atap rumah Indis pada awalnya merupakan
ornament yang berasal dari Belanda berupa penunjuk arah angin (windwijzer) dan
geveltovmen atau hiasan kemuncak yang berada pada depan rumah Indis. Seiring
perkembangan waktu hiasan kemuncak mengambil ornament tradisional Jawa
(Soekiman, 2000).
Rumah Indis di Laweyan ada yang mengguankan hiasan atap dan ada pula
yang tidak menggunakan, pada observasi yang peneliti lakuakan hiasan atap pada
rumah Indis di Laweyan hanya satu rumah yang mengguankan hiasan berupa
kayon atau gunungan sebagai pengganti geveltovmen.
Ornamen gunungan atau kayon mengandung makna filosofis yang dalam
dalam masyarakat Jawa. Gunungan atau kayon diinterpretasikan sebagai lambang
dari jagad raya tempat manusia berpijak.
Hiasan gunungan merupakan lambang ke Agungan dan ke Esaan yang
diharapkan para penghuni rumah yang memakai hiasan gunungan akan mendapat
ketentraman lahir dan batin, serta dilindungi Tuhan Yang Maha Esa. Hal ini
sejalan dengan pendapat Djono, et al (2009) yang menyatakan bahwa, “kayon
atau gunungan esensinya adalah perwujudan rumah tradisional Jawa, yang
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
161
Gambar 4.34. Bentuk Ornamen pada Atap Berupa Gunungan atau Kayon (gambar
atas) dan Ornamen Kayu Memanjang Secara Vertikal di Area
Teras pada Rumah Indis milik H. Mawardi
(Sumber: Dokumentasi Pribadi, 23 Mei 2013)
1) Patung Loro-Blonyo
Patung loro blonyo merupakan patung sepasang pengantin Jawa yang
ditempatkan di area petanen, tepatnya di sebelah kiri dan kanan sentong.
Patung dalam ruangan itu bukan hanya sebagai pajangan semata tetapi
melambangkan kebahagian suami istri pemilik rumah dan perwujudan
cita-cita. Hal ini sejalan dengan pendapat Subiantoro (2009) bahwa, ”loro-
blonyo menjadi lambang cita-cita yang dipedomani nilai intrinsik sebagai
lambang kekuatan spiritual” (hlm. 193).
Gambar 4.35. Patung Loro-Blonyo pada Area dalem dan Bokor Sirih dari
Kuningan.
(Sumber Dokumentasi Pribadi, 25 Mei 2013) .
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
164
bokor hasil bumi, dan kendi tidak dari tanah liat seperti dalem pada rumah
bangsawan, tetapi terbuat da ri bahan kuningan
Penggunaan paidon, genuk atau bokor sirih, bokor hasil bumi, dan
kendi dari material kuningan menunjukkan tanda bahwa saudagar batik
ingin menunjukkan kekayaan yang dimiliki dengan membuat kelengkapan
ornament penghias ruang yang berbeda dengan milik bngsawan
3) Sepasang Cermin
Masyarakat Jawa dalam menjalani kehidupan penuh dengan symbol,
begitu pila dengan penggunaan ornament cermin pada rumah tempat
tinggal. Cermin besar esta dengan motif flora, pada rumah Indis di
Laweyan biasanya diletakkan di area dalem (di kanan dan kiri petanen)
serta di pendapa (pada tembok kanan dan kiri). Hiasan cermin ini telihat
mewah dengan warna emas dan ukiran yang indah.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
165
Gambar 4.36 Cermin sebagai Pelengkap Ruang dan Penolak Bala sesuai
Kepercayaan Orang Jawa pada area Krobongan ditemapatkan di
sisi kanan dan kiri Senthong.
(Sumber: Dokumentasi Pribadi, 25 Mei 2013)
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
166
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
167
termasuk kedalam saudagar batik besar pada periode tersebut. Begitu pula
sebaliknya saudagar batik yang memilik persil tanah yang kecil dikategorikan
sebagai saudagar sedang dan sisanya termasuk golongan pekerja atau buruh batik.
Berdasarkan pengamatan dan survey di lapangan, menemukan bahwa ada
sekitar 23 Pengusaha batik yang masih aktif berproduksi dan 3 diantaranya
merupakan pengusaha yang terkenal akan kesuksesannya dan dikategorikan
sebagai pengusaha besar dan sedang pada masa tersebut. Ketiga pengusaha
tersebut memilki bentuk rumah Indis dengan gaya dan style yang berbeda sesuai
dengan tingkat kesuksesan dari saudagar batik tersebut.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
171
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
172
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
174
saudagar batik Laweyan yang termarginalkan dari sistem budaya feodal bisa
berkembang meniru pola hidup dan gaya arsitektur Indis yang pada awalnya
berkembang di lingkungan pejabat pemerintah Kolonial Belanda dan bangsawan
keraton.
Rumah dengan arsitektur gaya Indis yang merupakan pengaruh arsitektur
Belanda, berpadu dengan program ruang interior rumah Jawa mencerminkan
kemampuan masyarakat saudagar batik dalam beradaptasi sekaligus bertahan
dalam situasi dan kondisi politik serta kebijakan Belanda atas etnisitas masyarakat
di Surakarta.
Saudagar batik dengan menyandang status sosial sebagai saudagar besar
banyak yang membangun rumah Indis dengan kelengkapan interior dan eksterior
yang terkesan mewah dan mahal bahkan ornamen dan kelengkapan barang koleksi
pribadi banyaak yang didatangkan dari luar Laweyan.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
177
Naniek Widayati, 21 Mei 2013). Lebih lanjut lihat CL 1 pada lampiran halaman
200.
Struktur bangunan rumah Djimatan berjenis bearing wall, dengan struktur
dua buah tiang beton yang diadopsi dari tiang berjenis Ionia tanpa ornamen dan
difungsikan untuk menopang atau menyangga bangunan. Struktur yang dipakai
untuk fondasi rumah berupa batu kali setinggi sekitar 50 cm.
Atap yang digunakan pada rumah djimatan adalah atap limasan dan pelana
karena saudagar batik bukanlah keturunan bangsawan atau priyayi keraton.
Kelandaian atap rumah djimatan hampir sama dengan rumah Poesposumartan
dengan tingkat kemiringan atau kelandaian atap sekitar 70°.
Rumah Djiamatan setelah Kyai Ageng Henis meninggal, diambil alih oleh
keraton Kasunaann Surakarta dan difungsikan sebagai rumah dinas bagi penunggu
makam di pasarean Laweyan. Penunggu rumah dinas tersebut terakhir bernama
Mas Bei Djimat Kartohastono, berawal dari nama penunggu terakhir tersebut
rumah tersebut lebih dikenal masyarakat dengan sebutan Dalem Djimatan.
Periode tahun 1900-an keraton mengalami krisis keuangan, sehinggarumah
Djimatan dilelang. Pemenang dari lelang tersebut adalah Karyo Wijoyo. Rumah
Djimatan setelah dimiliki oleh Ibu Karyo Wijoyo diwariskan kepada keempat
anaknya, yaitu Wirosukarto, Wiryo Wijoyo, Priyomarsono, dan Wongsodinomo.
Hak waris terakhir rumah ini jatuh pada Priyomarsono yang merupakan ayah dari
ibu Nanik Wida yati.
Pemilik rumah Djiamatan sebagai pemilik hak waris utama adalah bapak
Priyomarsono, beliau merupakan saudagar batik Laweyan yang cukup sukses
pada sekitar abad ke XX, kesuksesan tersebut dibuktikan dengan merubah struktur
material banguan lama denganbangunan rumah Indis yang berstruktur bearing
walll, tetapi tidak meninggalkan cir i orang Jawa terutama dalam penempatan
unsur Jawa dalam pola ruang rumah Djimatan.
Unsur Jawa yang melengkapi rumah ini terlihat dari adanya pola ruang yang
hampir sama dengan pola ruang yang ada pada rumah Jawa pada ummnya. Pola
ruang yang digunakan dalam rumah ini masih menerapkan pola ruang pada rumah
Jawa kebanyakan, terdiri dari regol, pringgitan, gandhok tengen, gandhok kiwa,
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
178
perpaduan antara keduanya, ada juga ukiran sebagai yang menjadi unsur dominan
tetapi ada juga perpaduan dengan unsur yang lain. Bahan yang dipakai dari
tembok sehingga bangunan kelihatan kokoh.
Rumah Indis milik saudagar batik dengan ukiran kayu sebagai unsur
dominan dimilki oleh saudagar batik Laweya n bernama H. Mawardi yang masih
merupakan keluraga dari keluarga besar bapak Priyomarsono pemilik hak waris
rumah Djimatan.Rumah ini dibangun pada sekitar tahun 1925an, rumah ini
ditempati oleh istri dari Haji Mawardi Ibu Siti Mastiloh bersama cucunya
Rumah ini berdiri daiatas tanahseluas sekitar 700 m², dikelilingi pagar
tembok tinggi sekitar 3 meter dengan pembagian ruang khas seperti rumah Jawa
kebanyakan, seperti adanya gandhok di kiri kanan bangunan utama, pringgitan,
dalem, sentohong, pawon, petanen serta pabrik yang ditempatkan di bagian
belakang rumah.
Fasade banguan ini meupakan ciri bangunan Indis, bentuk simetris dengan
tiga buah pintu diarea pendapha. Bangunan ini memilki perpaduan unsur banguan
loji dengan ukiran-ukiran kayu, dengan fondasi menggunakan beton setinggi
sekitar 56 cm dilapisi dengan keramik.
Pendopo pada rumah ini di topang oleh empat buah saka guru yang terbuat
dari kayu jati dan saka pengiring bermaterialkan beton.Atap yang digunakan pada
banguan ini adalah atap Limasan dan pelana dengan gevel yang terbuat dari
kayu.Proporsi tingkat kemiringan atau kelandaian atap hampir 60° dilengkapi
dengan konsul dari kayu (wawancara Ibu Naniek Widayati, 21 Mei 2013). Lebih
lanjut lihat CL 1 pada lampiran halaman 200.
Ornamen sebagai unsur keindahan merupakan hal yang wajib dalam
arsitektur rumah abik ornamen konstruksional maupun ornamen pelengkap. Pada
rumah H. Mawadi hiasan atau ornamen konstruksional ditempatkan di atap berupa
ornamen hiasan lubang angin berbentuk lubang angin berupa jendela bentuk jalusi
dari kayu pada gavel yang terbuat dari kayu. Pada bagian ujung atap terdapat
hiasan berupa gunungan atau kayon yang terbuat dari kayu.
Lubang angin terdapat dibagian atas jendela (bofenlicht) ataupun pintu,
ornamen yang menghiasi lubang angin berupa ragam hias dari flora dengan motif
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
180
lunglungan dan bunga seroja yang di ukir. Pada bagian lubang angin atau ventilasi
lain terdapat hiasan kaca bentuk persegi yang dikombinasikan dengan kayu.
Selain itu terdapat pola papan kayu yang memanjang vertikal di sekeliling tririsan
berbentuk lengkung dengan ornamen bentuk flora seperti ornamen banyu tetes
yang memilki ukuran yang berbeda antara tritisa n atau teras samping dan depan.
Sekeliling area pringgitan terdapat pula hiasan dari keramik yang di cat
dengan pola tumbuhan tunas bunga yang ditempatkan ke bawah yang disebut
Lambrissering. Area dalem terdapat hiasan ukiran berupa lung -lungan yang
menghiasi gebyok pembatas ruang senthong dan pada tiang saka (Obsevasi
Lapangan, 25 Mei 2013)
Ornamen pelengkap ruang pada rumah ini terdapat dia area dalem berupa,
dua buah cermin esta motif flora, yang ditempatkan di sisi kanan dan kiri ruang
senthong, sebuah meja kaca, bokor sirih.
Gebyok atau pembatas area petanenpanel-panelnya diukir dengan motif
lunglungan berwarna emas dan gordjen motif cinde dan Area lantai yang lebih
tinggi dilapisi dengan permadani berwarna hijau serta kursi berukir tang terbauat
dari kayu yang ditempatkan di area pringgitan. Area sentong tengah sebagai area
sakral, terdapat bantal dan guling sebagai pengisi ruang, dilapisi kain warna putih
dan ujungnya memakai lempengan berwarna perak tanpa patung loro blonyo.
Perubahan rumah para saudagar batik Laweyan yang awalnya berstruktur
kayu dan bentuk rumah kampung secara cepat dan direnovasi me njadibangunan
berdinding tembok atau loji sekitar tahun 1920-1930an disaat perkembanagan dan
kejayaan industri batik.
Berkembangnya arsitektur Indis di Laweyan merupakan sebuah growing up
dari masyarakat saudagar batik yang merdeka, yang termarjinalkan dari ikatan
budaya dari ikatan stratifikasi keraton selain itu, kekayaan yang melimpah dari
hasil perdagangan batik dan juga faktor kedekatan saudagar Laweyan dengan
bangsa Eropa dalam bidang perdagangan menjadi latar belakang lahir dan
berkembangnya kebudayaan Indis, te rutama aristektur bergaya Indis (wawancara
Ibu Naniek, 21 Mei 2013). Lebih lanjut lihat CL 1 pada lampiran halaman 200.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
181
commit to user