Anda di halaman 1dari 24

Pesantren adalah lembaga akademik dengan sejarah yang panjang dan khas.

Pesantren termasuk
yang pertama dalam sejarah dan masih beroperasi sampai sekarang. Pesantren, berbeda dengan
lembaga pendidikan yang muncul yang kemudian memiliki peran penting dalam mengembangkan
kader ulama yang kemudian secara aktif berkontribusi dalam penyebaran Islam dantransfer ilmu
pengetahuan.

Tidak menutup kemungkinan pesantren ini, meskipun dalam keadaan yang sangat sederhana dan
memiliki sifat yang khas dan beraneka ragam, akan tetap bertahan karena keunikannya yang
memungkinkan pesantren tetap eksis dalam berbagai situasi dan kondisi.

Kemajuan pendidikan sangat terbantu dengan masuknya pesantren ke dalam sistem pendidikan
nasional. Pesantren juga secara historis memiliki pengalaman luar biasa yang telah membantu
membangun dan memperbaiki masyarakat. Pesantren sebenarnya dapat mengembangkan perannya
sendiri dengan melihat potensi lingkungan tempat tinggalnya.

Meningkatkan dan memperluas fungsi pesantren dalam prosedur langkah strategis dalam
pembangunan masyarakat, wilayah, negara. Pesantren sebagai lembaga pendidikan yang
membentuk dan mengembangkan nilai-nilai moral, dapat menjadi pelopor sekaligus inspirator
pembangkit moral bangsa, sehingga tidak menjadi hampa melainkan lebih bernilai dan bermakna.

Tujuan pendidikan nasional di Indonesia ini, berdampak pada tujuan dalam rangka pengembangan
kualitas pengetahuan, keterampilan, atau kemampuan dan sikap yang harus dimiliki oleh setiap
peserta didik bangsa Indonesia. Jadi, tujuan pendidikan nasional yang juga menjadi tujuan dari
pendidikan yang diterapkan di pesantren adalah berupaya pada penciptaan, pelaksanakan,
perwujudan dan pemeliharaan perkembangan cita-cita kehidupan bangsa Indonesia berdasarkan
pada pengamalan ajaran Islam secara utuh dan menyeluruh, dan secara bertanggung jawab (Mahdi,
2013).

Secara kultural pondok pesantren telah diterima dan ikut serta membentuk dan memberikan peran
dalam kehidupan dan pemberdayaan masyarakat. Fungsinya sebagai salah satu lembaga pendidikan
keagamaan di Indonesia dianggap banyak memberikan andil dalam perjalanan bangsa dan
kenegaraan, baik pada masa kolonial hingga sekarang .

Dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional yang menyatakan
bahwa, "Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta
peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa,
bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman
dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif,
mandiri, dan menjadiwarga negara yang demokratis serta tanggung jawab".
Sebagai lembaga pendidikan pertama dan tertua, tentu pendidikan pesantren menjadi inspirasi bagi
tokoh-tokoh pendidikan dalam merumuskan sistem pendidikan nasional di Indonesia. Selain itu,
pendidikan pesantren telah banyak mencetak tokoh-tokoh intelektual pendidikan Indonesia, yang
pemikiran mereka sangat berpengaruh dalam merumuskan sistem pendidikan nasional. Pada sisi
lain, keberadaan pesantren ternyata memiliki tiga peranan penting di Indonesia, yaitu: sebagai pusat
berlangsungnya transmisi ilmu-ilmu Islam tradisional, sebagai penjaga dan pemelihara terhadap
keberlansungan Islam tradisonal dan sebagai pusat lahirnya ulama.

3.3.a.6 Demonstrasi Kontekstual Modul 3.3

Kompasiana.com

Recommended by

Untuk sekarang ini, peranan yang begitu nyata dari sistem pendidikan pesantren

terhadap pendidikan nasional adalah munculnya wacana tentang pendidikan karakter

bangsa. Sebagaimana diketahui, bahwa model pendidikan karakter di pesantren cukup

berhasil dengan indikator telah banyaknya mencetak ulama-ulama Indonesia. Hal ini

dikarenakan sistem pendidikan pesantren tidak hanya mementingkan aspek kognitif

semata, tetapi juga sangat mengutamakan pembentukan karakter atau akhlak (afektif)

santri-santrinya. Oleh karena itu, untuk masa-masa yang akan datang, pendidikan

pesantren diprediksi memiliki baragam peran sebagai model dalam Pendidikan Nasional.

1. Peran Instrumental

Upaya pendidikan nasional tidak diragukan lagi memerlukan sarana-sarana sebagai media dalam
mengejawantahkan tujuannya. Sarana-sarana tersebut dibentuk secara formal dan informal yang
merupakan swadaya murni dari masyarakat.

2. Peran Keagamaan

Pendidikan pesantren pada hakikatnya dikembangkan untuk mengefektifkan usaha dalam penyiaran
dan pengamalan ajaran-ajaran agama. Tujuan intinya adalah mengusahakan terbentuknya manusia
yang berbudi luhur dengan pengamalan keagamaan yang konsisten. Sedang pendidikan nasional
adalah untuk menciptakan manusia bertakwa, sehingga untuk kepentingan tersebut, pendidikan
agama dikembangkan secara terpadu melalui sekolah atau madrasah.
3. Peran Mobilisasi Masyarakat

Dalam kenyataannya usaha-usaha pendidikan nasional secara formal belum mampu menampung
seluruh hak pendidikan pesantren bagi putra-putrinya. Hal itu, mungkin karena biaya yang tidak
serta anggapan bahwa pendidikan keagamaan sangat dibutuhkan. Jadi, hal itu merupakan
sumbangsih pesantren dalam menggerakkan gairah pendidikan nasional.

4. Peran Pembinaan Mental dan Keterampilan

Tujuan pendidikan nasional, yaitu menciptakan manusia indonesia yang memiliki kepribadian
mantap dan mandiri serta memiliki rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan, maka
pendidikan pondok pesantren dikembangkan tidak hanya pada sektor agama saja, tapi juga ada
pembinaan terhadap mental dan sikap para santri untuk mandiri, dan meningkatkan ketrampilan
serta berjiwa entrepreneurship.

Sudah tidak diragukan lagi bahwa pesantren memiliki kontribusi nyata dalam pembangunan
pendidikan. Apalagi dilihat secara historis, pesantren memiliki pengalaman yang luar biasa dalam
membina dan mengembangkan masyarakat. Bahkan, pesantren mampu meningkatkan perannya
secara mandiri dengan menggali potensi yang dimiliki masyarakat di sekelilingnya (Pesantren dalam
Sistem Pendidikan Nasional, 2011).

Repost : https://pp-alfatah.blogspot.com/2011/02/pesantren-dalam-sistem-pendidikan.html.

Konten ini telah tayang di Kompasiana.com dengan judul "Peran dan Kontribusi Pesantren dalam
Sistem Pendidikan Nasional", Klik untuk baca:

https://www.kompasiana.com/shifaarafi9934/6488bbef4addee5a75393612/peran-dan-kontribusi-
pesantren-dalam-sistem-pendidikan-nasional?page=all#section1

Kreator: SHIFA ARAFI


Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili
pandangan redaksi Kompas.

Tulis opinPESANTREN SEBAGAI SUBSISTEM PENDIDIKAN NASIONAL

A. Peran pesantren dalam pendidikan karakter

Dalam historis pendidikan di Indonesia, pesantren termasuk lembaga pendidikan tertua, bahkan
dalam sejarah perjuangan dan pembangunan bangsa, pesantren sudah banyak memberikan
kontribusi nyata dalam melahirkan pemimpin yang berkarakter kuat, militan, penuh integritas, gigih,
visioner, pantang menyerah dan ikhlas dalam berjuang. Kontribusi tersebut tidak berhenti pada
masa perjuangan bangsa, melainkan hingga dewasa ini, pimpinan institusi tertinggi negara banyak
yang dipimpin oleh tokoh nasional dengan latar belakang pesantren.

Pondok pesantren menurut sejarah akar berdirinya di Indonesia, ditemukan dua pendapat. Pertama,
pendapat yang menyebutkan bahwa pondok pesantren berakar pada tradisi Islam sendiri, yaitu
tradisi tarekat. pondok pesantren mempunyai kaitan yang erat dengan tempat pendidikan yang khas
bagi kaum sufi .

Kedua, pondok pesantren yang dikenal sekarang pada awalnya merupakan penyesuaian dari sistem
pondok pesantren yang diadakan masyarakat Hindu di Nusantara (Kemenag, 2003). Hal ini
didasarkan pada fakta bahwa jauh sebelum datangnya Islam ke Indonesia, lembaga pondok
pesantren sudah ada di negeri ini. Pendirian pondok pesantren di Indonesia baru diketahui
keberadaan dan perkembangannya setelah abad ke-16.

Bruinessen (1995) tradisi pengajaran agama Islam seperti yang muncul di pesantren Jawa dan
lembaga serupa di luar Jawa merupakan tradisi agung (great tradition)1. Namun bagaimanapun asal
mula terbentuknya, pondok pesantren tetap menjadi lembaga pendidikan dan keagamaan Islam
tertua di Indonesia, yang perkembangannnya berasal dari masyarakat yang melingkupinya.
1. Bruinessen (1995)

Walaupun sulit diketahui kapan permulaan munculnya, namun banyak dugaan yang mengatakan
bahwa lembaga pondok pesantren mulai berkembang tidak lama setelah masyarakat Islam
terbentuk di Indonesia, dan kemunculannya tidak terlepas dari upaya untuk menyebarkan agama
Islam di masyarakat.

Pondok pesantren sebagai bagian integral dari institusi pendidikan berbasis masyarakat merupakan
sebuah komunitas yang memiliki tata nilai tersendiri. Di samping itu, pesantren mampu menciptakan
tata tertib yang unik, dan berbeda dari lembaga pendidikan yang lain. Peran serta sebagai lembaga
pendidikan yang luas penyebarannya di berbagai pelosok tanah air, telah banyak memberikan saham
dalam pembentukan Indonesia religius2.

Pondok pesantren merupakan lembaga pendidikan yang berada di lingkunagn masyarakat yang
dilembagakan. Pondok pesantren sebagai lembaga pendidikan bercirikan keagamaan. Sebagaimana
tercantum dalam peraturan pemerintah No. 37 tahun 1991 pasal 3 ayat 3 disebutkan bahwa
pendidikan keagamaan merupakan pendidikan yang mempersiapkan warga belajar untuk
menjalankan peranan yang menuntut penguasaan khusus tentang ajaran agama yang bersangkutan.

Pondok pesantren sebagai satuan pendidikan luar sekolah merupakan bagian dari sistem pendidikan
nasional. Sitem pendidikan mengandung beberapa subsistem yang saling berkaitan dengan
tujuannya. Begitu pula pondok pesantren apabila dijadikan sebagai sistem pendidikan, maka harus
memiliki subsistem tersebut. Pesantren merupakan salah satu lembaga pendidikan yang tertua di
Indonesia dan salah satu bentuk kebudayaan asli bangsa Indonesia3. Lembaga dengan pola Kiai,
Santri, dan Asrama telah dikenal dalam kisah dan cerita rakyat maupun sastra klasik Indonesia,
khususnya di Pulau Jawa

Terdapat beberapa aspek yang layak mendapat perhatian mengenai pesantren, diantaranya 4 :

2. Tafsir (1997).

3. Kafrawi, Tafsir (1994)

4. Raharjo (1985)

1. Pendidik bisa melakukan tuntunan dan pengawasan langsung, di sini ia menekankan aspek
pengaruh sistem pondok dalam proses pendidikan.

2. Ia melihat keakraban hubungan antara Santri dan Kiai, sehingga bisa memberikan pengetahuan
yang hidup.

3. Ia melihat bahwa pesantren ternyata telah mampu mencetak orang-orang yang bisa memasuki
semua lapangan pekerjaan yang bersifat merdeka.

4. Ia tertarik pada cara hidup Kiai yang sederhana, tetapi penuh kesenangan dan kegembiraan
dalam melihat penerangan bagi bangsa kita yang miskin.

5. Pesantren merupakan sistem pendidikan yang murah biaya penyelenggaraan pendidikannya


untuk menyebarkan kecerdasan bangsa.

Pondok pesantren memiliki beberapa kelebihan sebagai berikut:

Menggunakan pendekatan holistik dalam sistem pendidikan pondok pesantren. Artinya para
pengasuh pondok pesantren memandang bahwa kegiatan belajar mengajar merupakan
kesatupaduan atau lebur dalam totalitas kegiatan hidup sehari-hari. Bagi warga pondok pesantren,
belajar di pondok pesantren tidak mengenal perhitungan waktu.

Memiliki kebebasan terpimpin. Setiap manusia memiliki kebebasan, tetapi kebebasan itu harus
dibatasi, karena kebebsan memiliki potensi anarkisme. Kebebasan mengandung kecenderungan
mematikan kreatifitas, karena pembatasan harus dibatasi. Inilah yang dimaksud dengan kebebasan
yang terpimpin. Kebebasan terpimpin adalah watak ajaran Islam.
Berkemampuan mengatur diri sendiri (mandiri). Di pondok pesntren santri mengatur sendiri
kehidupannya menurut batasan yang diajarkan agama.

Memiliki kebersamaan yang tinggi. Dalam pondok pesantren berlaku prinsip; dalam hal kewajiban
harus menunaikan kewajiban lebih dahulu, sedangkan dalam hak, individu harus mendahulukan
kepentingan orang lain melalui perbuatan tata tertib.

Mengabdi orang tua dan guru. Tujuan ini antara lain melalui pergerakan berbagai pranata di pondok
pesantren seperti mencium tangan guru, dan tidak membantah guru5.

5, Mastuhu (1994)

Dalam prakteknya, di samping menyelenggarakan kegiatan pengajaran, pesantren juga sangat


memperhatikan pembinaan pribadi melalui penanaman tata nilai dan kebiasaan di lingkungan
pesantren. Hal tersebut pada umumnya ditentukan oleh tiga faktor, yaitu lingkungan (sistem
asrama/hidup bersama), perilaku Kiai sebagaicentral figure dan pengamalan kandungan kitab-kitab
yang dipelajari6.

Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta pergeseran paradigma
pembangunan pendidikan, pesantren kini digiring untuk dilengkapi dengan pendidikan formal,
sehingga pesantren di samping menyelenggarakan pendidikan non formal juga menyelenggarakan
pendidikan formal. Pesantren dewasa ini umumnya terbagi menjadi beberapa pola sebagai berikut:

Pesantren Pola I yaitu pesantren yang memiliki unit kegiatan dan elemen berupa masjid dan rumah
kiai. Pesantren ini masih sederhana. Kiai mempergunakan masjid atau rumahnya untuk tempat
mengaji, biasanya santri datang dari daerah sekitarnya, namun pengajian telah diselenggarakan
secara kontinu dan sistematik.

Pesantren Pola II yaitu sama dengan Pola I ditambah adanya pondokan bagi santri.

Pesantren Pola III yaitu sama dengan Pola II tetapi ditambah dengan adanya Madrasah. Jadi di
Pesantren Pola III ini telah ada pengajian sistem klasikal.

Pesantren Pola IV yaitu Pesantren Pola III ditambah adanya unit keterampilan, seperti peternakan,
kerajinan, dan koperasi7.

Pendidikan di pesantren secara umum memiliki tujuan yang sama dengan tujuan yang diharapkan
dalam sistem pendidikan nasional, diantaranya berbudi luhur, kemandirian, kesehatan rohani 8.
Bahkan jika dirinci akan tampak ciri utama tujuan pendidikan di pesantren, antara lain sebagai
berikut:

(1) memiliki kebijaksanaan menurut ajaran Islam,

(2) memiliki kebebasan terpimpin,


6. Kafrawi, Tafsir (1994)

7. Kafrawi, Tafsir (1994)

8. Matsuhu, Oepon (1998)

(3) berkemampuan mengatur diri sendiri,

(4) memiliki rasa kebersamaan yang tinggi,

(5) menghormati orang tua dan guru,

(6) cinta kepada ilmu,

(7) mandiri,

(8) kesederhanaan.

Berdasarkan peran strategis dengan didukung oleh karakteristiknya yang khas, kajian tentang peran
pesantren dalam pendidikan karakter sangat menarik dan akan menjadi fokus kajian dalam makalah
ini.

B. Pendidikan Karakter

Pendidikan karakter dapat dimaknai sebagai proses penanaman nilai esensial pada diri anak melalui
serangkaian kegiatan pembelajaran dan pendampingan sehingga para siswa sebagai individu mampu
memahami, mengalami, dan mengintegrasikan nilai yang menjadi core values dalam pendidikan
yang dijalaninya ke dalam kepribadiannya.

Dengan menempatkan pendidikan karakter dalam kerangka dinamika dan dialektika proses
pembentukan individu, para insan pendidik diharapkan semakin dapat menyadari pentingnya
pendidikan karakter sebagai sarana pembentuk pedoman perilaku, pembentukan akhlak, dan
pengayaan nilai individu dengan cara menyediakan ruang bagi figur keteladanan dan menciptakan
sebuah lingkungan yang kondusif bagi proses pertumbuhan, berupa kenyamanan dan keamanan
yang membantu suasana pengembangan diri satu sama lain dalam keseluruhan dimensinya (teknis,
intelektual, psikologis, moral, sosial, estetis, dan religius).

Pendidikan karakter dapat dimaknai sebagai sebuah usaha untuk mendidik anak agar dapat
mengambil keputusan dengan bijak dan mempraktikkannya dalam kehidupan sehari-hari, sehingga
mereka dapat memberikan kontribusi yang positif kepada lingkungannya. Adapun nilai yang layak
diajarkan kepada anak, dirangkum Indonesia Heritage Fondation (IHF) yang digagas oleh Ratna
Megawangi menjadi sembilan pilar karakter, yaitu ;

1. Cinta tuhan dan Segenap Ciptaan-Nya (love Allah, trust, reverence, loyalty)

2. Kemandirian dan Tanggug Jawab (responsibility, excellence, self reliance, Discipline, orderliness)

3. Kejujuran dan Amanah, Bijaksana (trustworthiness, reliability, honesty)


4. Hormat dan Santun (respect, courtesy, obedience)

5. Dermawan, suka menolong dan Gotong Royong (love, compassion, caring, Empathy, generousity,
moderation, cooperation)

6. Percaya Diri, Kreatif, dan Pekerja keras (confidence, assertiveness, creativity, Determination, and
enthusiasm)

7. Kepemimpinan dan Keadilan (justice, fairness, mercy, leadership)

8. Baik dan Rendah Hati (kindness, friendliness, humality, modesty)

9. Toleransi dan Kedamaian dan kesatuan (tolerance, flexibility, peacefulness)

Pendidikan karakter bukan sekadar memiliki dimensi integratif, dalam arti mengukuhkan moral
intelektual peserta didik sehingga menjadi personal yang kokoh dan tahan uji, melainkan juga
bersifat kuratif secara personal maupun sosial. Pendidikan karakter bisa menjadi salah satu sarana
penyembuh penyakit sosial9. Pendidikan karakter menjadi sebuah jalan keluar bagi sebuah proses
perbaikan dalam masyarakat. Situasi sosial yang ada menjadi alasan utama agar pendidikan karakter
segera dilaksanakan dalam lembaga pendidikan.

Pendidikan karakter yang secara sistematis diterapkan dalam pendidikan dasar dan menengah
merupakan sebuah daya tawar berharga bagi seluruh komunitas10. Para peserta didik mendapatkan
keuntungan dengan memperoleh perilaku dan kebiasaan positif yang mampu meningkatkan rasa
percaya dalam diri mereka, membuat hidup mereka lebih bahagia, dan lebih produktif. Tugas-tugas
guru menjadi lebih ringan dan lebih memberikan kepuasan ketika para peserta didik memiliki disiplin
yang lebih besar di dalam kelas. Orangtua bergembira ketika anak-anak mereka belajar untuk
menjadi lebih sopan, memiliki rasa hormat dan produktif. Para pengelola sekolah akan menyaksikan
berbagai macam perbaikan dalam hal disiplin, kehadiran, beasiswa, pengenalan nilai-nilai moral bagi
peserta didik maupun guru, demikian juga berkurangnya tindakan vandalisme di dalam sekolah.
9. Khoesoema (2007)

10. Brook and Goble (1997)

Memasuki abad ke-21 banyak pendidik ingin menekankan kembali hadirnya kembali pendidikan
karakter, untuk mempromosikan nilai-nilai positif bagi anak-anak muda dalam kaitannya dengan
merebaknya prilaku kekerasan dalam masyarakat. Brooks dan Goble mengindikasikan bahwa,
kejahatan dan bentuk-bentuk lain prilaku tidak bertanggung jawab telah meningkat dengan
kecepatan yang sangat menghawatirkan dan telah merembes menembus berbagai macam aspek
kehidupan sehari-hari dan telah menjadi proses reproduksi sosial. Masyarakat kita sedang berada
dalam ancaman tindakan kekerasan, vandalisme, kejahatan di jalan, adanya geng-geng jalanan,
anak-anak kabur dari sekolah/bolos(truancy), kehamilan dikalangan anak-anak muda, bisnis
hitam(business fraud), korupsi pada politisi, kehancuran dalam kehidupan rumah tangga, hilangnya
rasa hormat pada orang lain, dan memupusnya etika profesi.

Pemikiran lain, West, misalnya, melihat bahwa kemerosotan nilai-nilai moral yang ada dalam diri
anak-anak muda itu tidak hanya berlaku bagi kaum muda semata. West menyatakan bahwa, Kita
hidup pada penghujung abad yang ditandai dengan brutalitas dan kekejaman yang tidak
berkesudahan, sebuah masa dimana lebih dari dua ratus juta umat manusia telah dibunuh atas
nama ideologi yang bersifat jagal(pernicious ideology).
Pendidikan karakter sesungguhnya bukan sekadar berurusan dengan proses pendidikan tunas muda
yang sedang mengenyam masa pembentukan di dalam sekolah, melainkan juga bagi setiap individu
di dalam lembaga pendidikan. Sebab pada dasarnya, untuk menjadi individu yang bertanggung
jawab di dalam masyarakat, setiap individu harus mengembangkan berbagai macam potensi yang
ada dalam dirinya, terutama mengokohkan moral yang akan menjadi panduan bagi peraksis mereka
di dalam lembaga.

Terdapat 11 faktor yang menentukan kesuksesan pendidikan karakter sebagai berikut:

Pendidikan karakter harus mengandung nilai-nilai yang dapat membentuk good character.

Karakter harus didefinisikan secara menyeluruh yang termasuk aspek thinking, feeling, and action.

Pendidikan karakter yang efektif memerlukan pendekatan yang komprehensif dan terfokus dari
aspek guru sebagai role model, disiplin sekolah, kurikulum dan sebagainya.

Sekolah harus jadi model masyarakat yang damai dan harmonis.

Para murid memerlukan kesempatan untuk mempraktekannya.

Harus mengikutsertakan kurikulum yang berarti bagi kehidupan anak.

Harus membangkitkan motivasi internal dari diri anak.

Seluruh staf sekolah harus terlibat dalam pendidikan karakter

Memerlukan kepemimpinan moral dari berbagai pihak

10. Sekolah harus bekerjasama dengan orang tua murid dan masyarakat sekitarnya.

11. Harus ada evaluasi berkala mengenai keberhasilan pendidikan karakter di sekolah 11.

Pendidikan karakter sebagai sebuah pandangan pedagogi, dipengaruhi oleh tiga matra penting yakni
individu, sosial, dan moral12. Dalam konteks pendidikan karakter di pesantren, ketiga matra tersebut
meliputi santri dan kiai/ustad sebagai individu, lingkungan pesantren dan interaksi ustad-santri
sebagai matra sosial, dan pilar pendidikan karakter cinta kepada Allah dan segenap ciptaanya
sebagai matra moral. Ketiganya saling terkait dan menjadi serangkaian program yang berjalan
sistemik dan prosedural.

Terkait dengan pendidikan karakter, Lickona dalam Megawangi (2004) mengemukakan bahwa
proses pendidikan karakter menekankan kepada tiga komponen karakter yang baik (components of
good character) yakni moral knowing, moral feeling dan moral action13. Dalam konteks proses
pendidikan karakter di pesantren, tahapan moral knowing disampaikan dalam dimensi masjid dan
dimensi komunitas oleh ustad. Adapun moralfeeling dikembangkan melalui pengalaman langsung
para santri dalam konteks sosial dan personalnya. Aspek emosi yang ditekankan untuk dirasakan
para santri meliputi sembilan pilar pendidikan karakter, khususnya pilar rasa cinta Allah dan segenap
ciptaanya. Sedangkan moral action meliputi setiap upaya pesantren dalam rangka menjadikan pilar
pendidikan karakter rasa cinta Allah dan segenap ciptaanya diwujudkan menjadi tindakan nyata.

11. Lickona, Megawangi (2004)


12. Koesoema (2007)

Hal tersebut diwujudkan melalui serangkaian program pembiasaan melakukan perbuatan yang
bernilai baik menurut parameter Allah swt di lingkungan pesantren. Dalam mewujudkan moral
action, pesantren memperhatikan tiga aspek lainnya terkait dengan upaya perwujudan materi
pendidikan menjadi karakter pada diri santri, ketiga aspek tersebut meliputi kompetensi, keinginan
dan kebiasaan. Pembentukan ketiga aspek tersebut diupayakan oleh ustad secara terpadu dan
konsisten yang pada akhirnya diharapkan melahirkan moral action yang secara spontan dilakukan
anak, baik di lingkungan pesantren, keluarga, maupun di lingkungan masyarakat.

C. Strategi Pendidikan Karakter di Pesantren

Apa yang disarankan oleh Zainal Abidin Bagir, dkk. dapat menjadi referensi para praktisi pendidikan
di lingkungan pesantren dalam mengembangkan strategi pendidikan karakter. Menurutnya bahwa
terdapat empat tataran implementasi, yaitu tataran konseptual, institusional, operasional, dan
arsitektural. Dalam tataran konseptual, internalisasi pendidikan karakter dapat diwujudkan melalui
perumusan visi, misi, tujuan dan program pesantren (rencana strategis pesantren), adapun secara
institusional, integrasi dapat diwujudkan melalui pembentukan institution culture yang
mencerminkan adanya misi pendidikan karakter, sedangkan dalam tataran operasional, rancangan
kurikulum dan esktrakulikuler harus diramu sedemikian rupa sehingga nilai-nilai fundamental agama
prihal pendidikan karakter dan kajian ilmu/ilmiah prihal pendidikan karakter terpadu secara
koheren. Sementara secara arsitektural, internalisasi dapat diwujudkan melalui pembentukan
lingkungan fisik yang berbasis pendidikan karakter, seperti sarana ibadah yang lengkap, sarana
laboratorium yang memadai, serta perpustakaan yang menyediakan buku-buku prihal akhlak mulia.

Beberapa langkah yang dapat dikembangkan oleh pesantren dalam melakukan proses pembentukan
karakter pada santri. Adapun langkah tersebut adalah sebagai berikut:

Memasukan konsep karakter pada setiap kegiatan pembelajaran dengan cara:

Menambahkan nilai kebaikan kepada anak(knowing the good)

Menggunakan cara yang dapat membuat anak memiliki alasan atau keinginan untuk berbuat baik
(desiring the good)

Mengembangkan sikap mencintai untuk berbuat baik (loving the good)

2. Membuat slogan yang mampu menumbuhkan kebiasaan baik dalam segala tingkah laku
masyarakat sekolah

Pemantaua secara kontinu. Pemantauan secara kontinyu merupakan wujud dari pelaksanaan
pembangunan karakter. Beberapa hal yang harus selalu dipantau diantaranya adalah:

Kedisiplinan masuk pesantren

Kebiasaan saat makan di kantin

Kebiasaan dalam berbicara

Kebiasaan ketika di masjid, dll

4. Penilaian orangtua. Rumah merupakan tempat pertama sebenarnya yang dihadapi anak. Rumah
merupakan tempat pertama anak berkomunikasi dan bersosialisasi dengan lingkungannya. Untuk
itulah, orangtua diberikan kesempatan untuk menilai anak, khususnya dalam pembentukan moral
anak13.

Pendidikan karakter jika ingin efektif dan utuh harus menyertakan tiga basis desain dalam
pemogramannya.

Desain pendidikan karakter berbasis kelas. Desain ini berbasis pada relasi guru/ustad sebagai
pendidik dan siswa/santri sebagai pembelajar di dalam kelas. Konteks pendidikan karakter adalah
proses relasional komunitas kelas dalam konteks pembelajaran. Relasi guru-pembelajar bukan
monolog, melainkan dialog dengan banyak arah sebab komunitas kelas terdiri atas guru dan siswa
yang sama-sama berinteraksi dengan materi. Memberikan pemahaman dan pengertian akan
keutamaan yang benar terjadi dalam konteks pengajaran ini, termasuk di dalamnya pula ranah
noninstruksional, seperti manajemen kelas, konsensus kelas, dan lain-lain, yang membantu
terciptanya suasana belajar yang nyaman. Dalam konteks pendidikan karakter di pesantren, kegiatan
rutin proses pembelajaran harian dilaksanakan di lingkungan masjid dengan ustad/ustadzah
bertindak sebagai fasilitator, mediator dan modeling.

13. Sulhan (2010)

14.

Desain pendidikan karakter berbasis kultur sekolah/pesantren. Desain ini mencoba membangun
kultur sekolah/pesantren yang mampu membentuk karakter anak didik dengan bantuan pranata
sosial sekolah/pesantren agar nilai tertentu terbentuk dan terbatinkan dalam diri siswa/santri. Untuk
menanamkan nilai kejujuran tidak cukup hanya dengan memberikan pesan-pesan moral kepada
anak didik. Pesan moral ini mesti diperkuat dengan penciptaan kultur kejujuran melalui pembuatan
tata peraturan sekolah yang tegas dan konsisten terhadap setiap perilaku ketidakjujuran. Dalam
konteks pendidikan karakter di pesantren, implementasi desain pendidikan karakter berbasis kultur
sekolah/pesantren dilaksanakan dengan menata lingkungan fisik sekolah/pesantren dan pembuatan
tata tertib sekolah/pesantren yang bernuansa nilai-nilai Islam, hal tersebut relevan dengan core pilar
karakter yakni cinta kepada Allah dan segenap ciptaanya.

Desain pendidikan karakter berbasis komunitas. Dalam mendidik, komunitas sekolah tidak berjuang
sendirian. Masyarakat di luar lembaga pendidikan, seperti keluarga, masyarakat umum, dan negara,
juga memiliki tanggung jawab moral untuk mengintegrasikan pembentukan karakter dalam konteks
kehidupan mereka. Ketika lembaga negara lemah dalam penegakan hukum, ketika mereka yang
bersalah tidak pernah mendapatkan sanksi yang setimpal, negara telah mendidik masyarakatnya
untuk menjadi manusia yang tidak menghargai makna tatanan sosial bersama. Dalam konteks
pendidikan karakter di pesantren, implementasi desain pendidikan karakter berbasis komunitas
dikembangkan dengan membuat kelompok-kelompok belajar dan mengembangkan program
pengembangan diri.
Selain pendekatan di atas, minimal terdapat empat strategi yang bisa menjadi alternatif pendidikan
karakter di pesantren:

Pendekatan Normatif, yakni mereka (perangkat pesantren) secara bersama-sama membuat tata
kelela (good governence) atau tata tertib penyelenggaraan pesantren yang didalamnya dilandasi
oleh nilai-nilai pendidikan karakter/akhlak, perumusan tata kelola ini penting dibuat secara bersama,
bahkan melibatkan santri dan tidak bersifat top down dari pimpinan pesantren. Sehingga terlahir
tanggung jawab moral kolektif yang dapat melahirkan sistem kontrol sosial, yang pada giliranya
mendorong terwujudnya institution culture yang penuh makna.

Pendekatan Model yakni mereka (perangkat pesantren), khususnya pimpinan pesantren berupaya
untuk menjadi model dari tata tertib yang dirumuskan, ucap, sikap dan prilakunya menjadi
perwujudan dari tata tertib yang disepakati bersama.

Pendekatan Reward and Punishmen yakni diberlakukanya sistem hadiah dan hukuman sebagai
stimulus dan motivator terwujudnya tata kelola yang dibuat.

Pendekatan Suasana Belajar (baik suasana fisik maupun suasana psikis) yakni dengan
mengkondisikan suasana belajar agar menjadi sumber inspirasi penyadaran nilai bagi seluruh
perangkat pesantren, termasuk para santri, seperti dengan memasang visi pesantren, kata-kata
hikmah, ayat-ayat Al quran dan mutiara hadis di tempat-tempat yang selalu terlihat oleh siapapun
yang ada di pesantren, memposisikan bangunan masjid di arena utama pesantren, memasang
kaligrafi di setiap ruangan belajar santri, membiasakan membaca Al quran setiap mengawali belajar
dengan dipimpin ustad, program shalat berjamaah, kuliah tujuh menit, perlombaan-perlombaan dan
sebagainya

PENUTUP

Jadi pendidikan di lingkungan pesantren dalam mengembangkan strategi pendidikan karakter


terdapat empat tataran implementasi, yaitu tataran konseptual, institusional, operasional, dan
arsitektural. Dalam tataran konseptual, internalisasi pendidikan karakter dapat diwujudkan melalui
perumusan visi, misi, tujuan dan program pesantren (rencana strategis pesantren), adapun secara
institusional, integrasi dapat diwujudkan melalui pembentukan institution culture yang
mencerminkan adanya misi pendidikan karakter, sedangkan dalam tataran operasional, rancangan
kurikulum dan esktrakulikuler harus diramu sedemikian rupa sehingga nilai-nilai fundamental agama
prihal pendidikan karakter dan kajian ilmu/ilmiah prihal pendidikan karakter terpadu secara
koheren

i Anda seputar isu terkini di Kompasiana.com

Peran Pesantren Dalam Pendidikan Indonesia

Pesantren merupakan salah satu lembaga pendidikan tertua di


Indonesia yang memiliki kontribusi penting dalam mencerdaskan
kehidupan bangsa. Lembaga ini layak diperhitungkan dalam
pembangunan bangsa di bidang pendidikan, keagamaan, dan moral.

Dilihat secara historis, pesantren memiliki pengalaman luar biasa


dalam membina, mencerdaskan, dan mengembangkan masyarakat.
Bahkan, pesantren mampu meningkatkan perannya secara mandiri
dengan menggali potensi yang dimiliki masyarakat di sekelilingnya.

Pesantren telah lama menyadari bahwa pembangunan sumber daya


manusia (SDM) tidak hanya menjadi tanggung jawab pemerintah,
tetapi juga semua komponen masyarakat, termasuk dunia
pesantren. Karena itu, sudah semestinya pesantren yang telah
memiliki nilai historis dalam membina dan mengembangkan SDM ini
terus didorong dan dikembangkan kualitasnya.

Pengembangan dunia pesantren ini harus didukung secara serius


oleh pemerintah yang terintegrasi dalam sistem pendidikan nasional
(Sisdiknas). Mengembangkan peran pesantren dalam pembangunan
merupakan langkah strategis dalam membangun pendidikan.

Dalam kondisi bangsa saat ini krisis moral, pesantren sebagai


lembaga pendidikan yang membentuk dan mengembangkan nilai-
nilai moral harus menjadi pelopor sekaligus inspirator pembangkit
reformasi gerakan moral bangsa. Dengan begitu pembangunan tidak
menjadi hampa dan kering dari nilai-nilai kemanusiaan.

Dalam eksistensinya, pesantren pada umumnya bersifat mandiri dan


tidak tergantung pada pemerintah atau kekuasaan yang ada.
Dengan sifat kemandiriannya inilah pesantren bisa memegang teguh
kemurniannya sebagai lembaga pendidikan Islam. Pesantren pun
tidak mudah disusupi oleh aliran atau paham yang tidak sesuai
dengan ajaran Islam.

Sedikitnya ada tiga unsur utama penopang eksis dan tidaknya


pesantren dalam pendidikan, yaitu kiai sebagai pendidik sekaligus
pemilik pondok dan para santri, kurikulum pondok pesantren, dan
sarana peribadatan serta pendidikan, seperti masjid, rumah kiai,
pondok, madrasah, dan bengkel-bengkel keterampilan. Unsur-unsur
tersebut mewujud dalam bentuk kegiatannya yang terangkum dalam
Tridharma Pondok Pesantren, yaitu pembinaan keimanan dan
ketakwaan kepada Allah SWT, pengembangan keilmuan dan
keahlian yang bermanfaat, serta pengabdian pada agama,
masyarakat, dan negara.
Kebijakan Diknas

Merujuk pada UU No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional,


posisi dan keberadaan pesantren memiliki tempat istimewa. Namun,
ini belum disadari oleh mayoritas Muslim. Ini karena kelahiran UU
tersebut amat belia. Keistimewaan pesantren dalam sistem
pendidikan nasional dapat kita lihat dari ketentuan dan penjelasan
pasal-pasal berikut.

Dalam Pasal 3 dijelaskan bahwa pendidikan nasional berfungsi


mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta
peradaban bangsa yang bermartabat dalam mencerdaskan
kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta
didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada
Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap,
kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta
bertanggung jawab.

Ketentuan ini tentu saja sudah berlaku dan diimplementasikan di


pesantren. Pesantren sudah sejak lama menjadi lembaga yang
membentuk watak dan peradaban bangsa serta mencerdaskan
kehidupan bangsa yang berbasis pada keimanan dan ketakwaan
kepada Allah SWT serta akhlak mulia.

Eksistensi pesantren sebagai motor penggerak pendidikan


keagamaan mendapat legitimasi yang kuat dalam sistem pendidikan
nasional. Pasal 30 menjelaskan, pendidikan keagamaan
diselenggarakan oleh pemerintah dan/atau kelompok masyarakat
dari pemeluk agama sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Pendidikan keagamaan berfungsi mempersiapkan peserta didik


menjadi anggota masyarakat yang memahami dan mengamalkan
nilai-nilai ajaran agamanya dan/atau menjadi ahli ilmu agama.
Pendidikan keagamaan dapat diselenggarakan pada jalur
pendidikan formal, nonformal, dan informal. Pendidikan keagamaan
berbentuk pendidikan diniyah, pesantren, dan bentuk lain yang
sejenis.

Pesantren yang merupakan pendidikan berbasis masyarakat juga


diakui keberadaannya dan dijamin pendanaannya oleh pemerintah
maupun pemerintah daerah. Pasal 55 menegaskan: Masyarakat
berhak menyelenggarakan pendidikan berbasis masyarakat pada
pendidikan formal dan nonformal sesuai dengan kekhasan agama,
lingkungan sosial, dan budaya untuk kepentingan masyarakat. Dana
penyelenggaraan pendidikan berbasis masyarakat dapat bersumber
dari penyelenggara, masyarakat, pemerintah, pemerintah daerah
dan/atau sumber lain. Lembaga pendidikan berbasis masyarakat
dapat memperoleh bantuan teknis, subsidi dana, dan sumber daya
lain secara adil dan merata dari pemerintah dan/atau pemerintah
daerah.

Ketentuan tersebut mestinya semakin membuka peluang pesantren


terus bertahan dan berkontribusi mengembangkan pendidikan
keagamaan formal maupun nonformal. Dengan demikian, pesantren
mampu melahirkan anak-anak bangsa yang cerdas, kreatif, memiliki
skill dan kecakapan hidup profesional, agamis, serta menjunjung
tinggi moralitas.

Pesantren tidak perlu merasa minder, kolot, atau terbelakang.


Posisi pesantren dalam sistem pendidikan nasional memiliki tujuan
yang sama dengan lembaga pendidikan lainnya dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa.

Kenyataannya, amanat UU Sisdiknas serta UU Guru dan Dosen serta


beberapa peraturan pemerintah lainnya masih belum berpihak pada
dunia pesantren. Pesantren nyaris tidak pernah disentuh dan
dilibatkan dalam kebijakan sistem pendidikan nasional. Revitalisasi
pendidikan pesantren yang diamanatkan UU Sisdiknas pun
terabaikan.

Revitalisasi pesantren

Untuk semakin memajukan pendidikan pesantren sesuai amanat UU


No 20/2003, eksistensi dan fungsi pesantren sebagai lembaga
pendidikan keagamaan harus makin ditingkatkan. Pemerintah
sebagai penanggung jawab pendidikan harus berniat sungguh-
sungguh memberikan ruang dan peran yang lebih luas untuk
merevitalisasi dan membangun modernisasi dunia pesantren.

Departemen Pendidikan Nasional dan Departemen Agama harus


lebih meningkatkan koordinasi dan sinkronisasi dengan intensif
dalam pelaksanaan dan pengelolaan pesantren. Upaya
merevitalisasi dan memodernisasi pesantren tentu saja harus
sejalan dengan upaya peningkatan kualitas pendidikan nasional.

Paling tidak, hal ini bisa dilakukan melalui beberapa terobosan.


Pertama, menghapus dikotomi dan diskriminasi terhadap pendidikan
pesantren yang selama ini dipandang sebagai bukan bagian dari
sistem pendidikan nasional. Kedua, diperlukan adanya pola
pendidikan dengan terobosan kurikulum terpadu yang memadukan
antara pendekatan sains, agama, dan nilai kebangsaan. Dengan
begitu, upaya penanaman nilai agama, moral, dan nilai kebangsaan
pada anak didik dapat mencapai sasaran pembelajaran.

Ketiga dan yang tak kalah penting lagi adalah upaya peningkatan
kualifikasi, profesionalitas dan kesejahteraan guru pesantren
sebagaimana amanat UU No 14/2005 tentang Guru dan Dosen.
Sehingga, guru-guru di pesantren bisa mengajar dengan nyaman dan
merasakan hidup yang sejahtera.

Sudah saatnya kita lebih memperhatikan dunia pendidikan


pesantren. Pesantren harus ditempatkan sebagai bagian yang tak
terpisahkan dari sistem pendidikan nasional. Pesantren telah
memberikan kontribusi nyata dalam melahirkan generasi
berkualitas dan mampu menjaga moralitas bangsa.

Ikhtisar
- Pesantren berpengalaman dalam membina, mencerdaskan, dan
mengembangkan masyarakat.
- Pemerintah harus lebih memedulikan pesantren demi
kemaslahatan umat.

Sumber: Republika.co.id

Pondok Pesantren Dalam Sistem


Pendidikan Nasional
ahmadliza (25)in #indonesia • 6 years ago

Pondok Pesantren Dalam Sistem Pendidikan Nasional


Oleh: Ahmad Liza

A. Pendahuluan.
Pesantren merupakan lembaga pendidikan yang mempunyai sejarah panjang
dan unik. Secara historis, pesantren termasuk pendidikan Islam yang paling
awal dan masih bertahan sampai sekarang. Berbeda dengan lembaga –
lembaga pendidikan yang muncul kemudian, pesantren telah sangat berjasa
dalam mencetak kader – kader ulama, dan kemudian berperan aktif dalam
penyebaran agama Islam dan transfer ilmu pengetahuan. Namun, dalam
perkembangan pesantren telah mengalami transformasi yang
memungkinkannya kehilangan identitas jika nilai – nilai tradisonalnya tidak
dilestarikan.
Karena keunikannya itu maka pesantren hadir dalam berbagai situasi dan
kondisi dan hampir dapat dipastikan bahwa lembaga ini, meskipun dalam
keadaan yang sangat sederhana dan karekteristik yang beragam, tidak pernah
mati. Demikian pula semua komponen yang ada didalamnya seperti kyai atau
ustad serta para santri senantiasa mengabdikan diri mereka demi
kelangsungan pesantren.tentu saja ini tidak dapat diukur dengan standart
system pendidikan modren dimana tenaga pengajarnya dibayar, karena jerih
payahnya, dalam bayaran dalam bentuk material .
Dengan begitu, pesantren tentu saja tidak bisa dilepaskan dari sistem
pendidikan nasional Indonesia. Makalah ini menjelaskan tentang pondok
pesantren dalam sistem pendidikan nasional yang meliputi kajian tentang:
pondok pesantren di antara madrasah dan sekolah, pola pengembangan
kurikulum di ponpes dan kebijakan departemen agama dalam pengembangan
ponpes.

B. Pondok Pesantren Antara Madrasah dan Sekolah.


Peran pesantren dalam memajukan pendidikan nasional telah membuktikan
eksistensinya. Keperipurnaan pondok pesantren harus dipahami dan dilihat
dari berbagai aspek.
Pada awal tahun70-an, sebagian kalangan menginginkan pesantren
memberikan pelajaran umum bagi para santrinya. Hal ini melahirkan
perbedaan pendapat di kalangan para pengamat dan pemerhati pondok
pesantren. Sebagian berpendapat bahwa pondok pesantren sebagai lembaga
pendidikan yang khas dan unik harus mempertahankan ketradisionalannya.
Namun pendapat lain menginginkan agar pondok pesantren mulai
mengadopsi elemen-elemen budaya dan pendidikan dari luar.
Dari dua pandangan yang berbeda tersebut, terlahir pula keinginan yang
berbeda di kalangan para pengelola pesantren. Kelompok pertama
menginginkan agar pesantren tetap mempertahankan posisinya seperti semula
dengan sistem yang khas. Sedangkan kelompok ke dua menginginkan agar
pesantren mulai mengadopsi atau mengakodmodasi sistem pendidikan
sekolah atau madrasah ke dalam sistem pendidikan pesantren.
Akhirnya terjadilah persentuhan antara pondok pesantren dengan madrasah
dan sekolah. Dalam sejarah perkembangan pesantren, disebutkan bahwa
pondok pesantren, masih berbentuk surau, yang pertamakali membuka
pendidikan formal adalah Tawalib di Padang Panjang pada tahun 1921,
sedangkan di Jawa adalah pesantren Tebu Ireng Jombang pada tahun 1919
menyusul pondok modern Darussalam Gontor pada tahun 1926.
Pondok pesantren yang memiliki kreteria tertentu dianggap telah mapan,
didukung oleh persyaratan yang cukup mapan, seperti bangunan, tanah, guru
yang berkompeten, murid-murid yang banyak serta tersedianya tenaga
administrasi. Pondok pesantren yang seperti inilah yang dianggap layak
untuk mengakomodasi sistem pendidikan formal atau elemen pendidikan
lainnya yang berasal dari luar. Sebaliknya, pondok pesantren yang tidak
memiliki dan memenuhi kriteria di atas tentu saja tidak bisa memaksakan
kehendak untuk mengadopsi sistem pendidikan dari luar.
Selain itu ada beberapa alternatif yang juga dikembangkan di lingkungan
pesantren. Ada yang mengakomodasi sistem pendidikan formal ala sekolah
umum atau madrasah dengan tetap mempertahankan sistem pendidikan
pesantren, dengan memisahkan area untuk sekolah madrasah atau sekolah
umum dengan area khusus untuk pesantren. Murid-murid yang bersekolah di
sekolah umum pesantren tersebut mengikuti kurikulum pendidikan nasional,
seperti mengikuti uas dan uan. Mereka tidak tinggal di asrama, akan tetapi
tinggal di rumah masing-masing. Sementara santri yang mengikuti
pendidikan pesantren tinggal di asrama dan mengikuti program pendidikan
pesantren yang relatif independen dari kebijakan-kebijakan departemen
agama dan pendidikan. Guru-guru yang mengajar di pondok pesantren
dengan sistem seperti ini secara umum dikategorikan kepada dua kelompok
yakni guru-guru yang berasal dari pesantren dan yang berasal dari luar.
Umumnya, guru-guru tersebut mengjar pelajaran umum. Contoh pesantren
seperti ini adalah Pondok Pesantren Darunnajah Cipining Bogor.
Bentuk atau opsi ke dua adalah pesantren yang menggabungkan sistem
pendidikan formal ala madrasah atau sekolah umum lainnya dengan sistem
pendidikan pesantren tanpa memisahkan kelas-kelas atau area untuk ke dua
sistem pendidikan yang berbeda ini. Para santri tetap tinggal di asrama,
mengikuti uas dan uan dan juga mengikuti agenda-agenda kepesantrenan
yang tidak terdapat di madrasah atau sekolah lainnya. Guru-guru yang
mengjar di pesantren ini relatif sama dengan di atas. Bentuk pesantren yang
seperti inilah yang sekarang banyak ditemui.
Akomodasi pesantren terhadap sistem atau elemen pendidikan luar ini tentu
saja membawa pengaruh negatif terhadap pesantren itu sendiri:

1. kehadiran para siswa sekolah atau madrasah di lingkungan pondok


pesantren sedikit banyak akan mengganggu aktifitas dan agenda-
agenda kepesantrenan. Para santri yang memang ingin mengecap
pendidikan pesantren akan merasa tidak betah dengan kondisi yang
demikian.
2. kemungkinan terjadinya kesenjangan antara murid, guru dan pengelola
pesantren dengan madrasah atau sekolah umum pesantren besar
peluang terjadi.
3. ada juga kemungkinan bahwa pesantren akan terkucilkan.
Permasalahan status pesantren di antara pesantren, madrasah dan
sekolah umum tampaknya dipicu oleh sistem pendidikan nasional yang
terlalu lamban mengakui ijazah pesantren yang tidak mengikuti
program pendidikan nasional. Terbengkalainya agenda-agenda
kepesantrenan sering bermula dari keinginan untuk menggabungkan
sistem pendidikan nasional dengan sistem pendidikan pesantren.
Pesantren yang begitu padat aktifitas kepesantrenan mau tidak mau
harus memikirkan nasib para santri setelah lulus dari pesantren
tersebut, sementara ijazah pesantren pada umumnya (kecuali akhir-
akhir ini) tidak diakui di perguruan tinggi di Indonesia. Hal ini tentu
memaksa pengelola pesantren untuk tetap mengikuti agenda
departemen pendidikan dan departemen agama.
Contoh yang sangat mudah di temui adalah agenda ujian di pesantren,
pada umumnya, di pesantren modern yang telah menggunakan sistem
kelas mengagendakan dua ujian kepesantrenan dalam setahun. Ujian
ini kemudian ditambahi dengan dua agenda ujian dalam setahun yang
berasal dari dinas pendidikan atau departemen lainnya.
Contoh lain adalah sistem pesantren yang tidak membagi jenjang
pendidikan kepada dua tsanawiyah atau smp dan aliyah atau smu.
Santri yang pindah dari pesantren tanpa menyelesaikan pendidikan
hingga jenjang terakhir, ketika mendaftar ke madrasah atau sekolah
umum, jika ia tidak memiliki ijazah sah nasional, maka ia harus
mengulang dari kelas awal.
Akhir-akhir ini, peluang pesantren untuk bisa mengembangkan diri
secara independen tampaknya mulai terbuka. Sebut saja seperti
lahirnya undang-undang yang mewajibkan pendidikan sembilan tahun,
beberapa dekade ke depan besar kemungkinan diwajibkannya
pendidikan hingga jenjang SMU dan sederajat.

C. Pola Pengembangan Kurikulum di Pesantren.


Pada awalnya berdirinya, pesantren merupakan media pembelajaran yang
sangat simple. Tidak ada klasifikasi kelas, tidak ada kurikulum, juga tidak
ada aturan yang baku di dalamnya. Sebagai media pembelajaran keagamaan,
tidak pernah ada kontrak atau permintaan santri kepada kiai untuk
mengkajikan sebuah kitab, apalagi mengatur secara terperinci materi-materi
yang hendak diajarkan. Semuanya bergantung pada kiai sebagai poros sistem
pembelajaran pesantren. Mulai dari jadwal, metode, bahkan kitabyang
hendak diajarkan, semua merupakan wewenang seorang kiai secara penuh.
Dua model pembelajaran yang terkenal pada awal mula berdirinya pesantren
adalah model sistem pembelajaran wetonan non klasikal dan sistem sorogan.
Sistem wetonan/bandongan adalah pengajian yang dilakukan oleh seorang
kiai yang diikuti oleh santrinya dengan tidak ada batas umur atau ukuran
tingkat kecerdasan. Sistem pembelajaran model ini, kabarnya merupakan
metode yang diambil dari pola pembelajaran ulama Arab. Sebuah kebiasaan
pengajian yang dilakukan di lingkungan Masjid al-Haram. Dalam sistem ini,
seorang kiai membacakan kitab, sementara para santri masing-masing
memegang kitab sendiri dengan mendengarkan keterangan guru untuk
mengesahi atau memaknai Kitab Kuning.
Lain dengan pengajian wetonan, pengajian sorogan dilakukan satu persatu,
dimana seorang santri maju satu persatu membaca kitab dihadapan kiai untuk
dikoreksi kebenaannya. Pada pembelajaran sorogan ini, seorang santri
memungkinkan untuk berdialo dengan kiai mengenai masalah-masalah yang
diajarkan. Sayangnya banyak menguras waktu dan tidak efesien sehingga
diajarkan pada santri-santri senior saja.
Pada dasarnya, dalam pesantren tradisional, tinggi rendahnya ilmu yang
diajarkan lebih banyak tergantung pada keilmuan kiai, daya terima santri dan
jenis kitab yang digunakan. Kelemahan dari sistem ini adalah tidak adanya
perjenjangan yang jelas dan tahapan yang harus diikui oleh santri. Juga tidak
ada pemisahan antara santri pemula dan santri lama. Bahkan seorang kiai
hanya mengulang satu kitab saja untuk diajarkan pada santrinya.
Pada abad ke tujuh belasan, materi pembelajaran pesantren didominasi
olehmateri-materi ketahuidan. Memang pada waktu itu ajaran ketauhidan dan
ketasaufan menduduki urutan yang paling dominant. Belakangan, sejalan
dengan banyaknya para ulama yang berguru ketanah suci, materi yang
diajarkannya pun bervariasi.
Dari sekian banyak tipe pondok pesantren, dalam menyelenggarakan
pendidikan dan pengajaran bagai para santrinya, secara garis besar dapat
dikelompokkan ke dalam dua bentuk pondok pesantren:

1. Pondok Pesantren Salafiyah, yaitu yang menyelenggarakan pengajaran


Alquran dan ilmu-ilmu agama Islam, serta kegiatan pendidikan dan
pengajarannya sebagaimana yang berlangsung sejak awal
pertumbuhannya.
2. Pondok Pesantren Khalafiyah, yaitu pondok pesantren yang selain
menyelenggarakan kegiatan pendidikan kepesantrenan, juga
menyelenggarakan kegiatan pendidikan formal (sekolah atau
madrasah).
Pada mulanya kiai merupakan fungsionaris tunggal dalam pesantren.
Semenjak berdirinya madrasah dalam lingkungan pesantren inilah,
diperlukan sejumlah guru-guru untuk mengajarkan berbagai macam
jenis pelajaran baru yang tidak semuanya dikuasai oleh kiai. Sehingga
peran guru menjadi penting karena kemampuan yang dimilikinya dari
pendidikan diluar pesantren. Dan sejak saat itu kiai tidak menjadi
fungsionaris tunggal dalam pesantren.
Mengikuti perkembangan zaman, beberapa pesantren mulai
memasukkan pelajaran keterampilan sbagai salah satu materi yang
diajarkan. Ada keterampilan berternak, bercocok tanam, menjahit
berdagang dan lain sebagainya. Disisi lain ada juga pesantren yang
cenderung mengimbangi dengan pengetahuan umum. Seperti tercermin
dalam madrasah yang disebut dengan “modern” dengan menghapuskan
pola pembelajaran wtonan, sorogan dan pembacaan kitab-kitab
tradisional. Dengan mengadopsi kurikulum modern, pesantren yang
terakhir ini lebih mengutamakan penguasaan aspek bahasa.
Pada masa sekarang ini, banyak pesantren yang melaksanakan
kurikulum Depdiknas dengan rasio 70% mata pelajaran umum dan
30% pelajarana agama.

D. Kebijakan Departemen Agama Dalam Pengembangan Pondok Pesantren.


Pada awal abad kedua puluhan, unsur baru berupa sistem pendidikan klasikal
mulai memasuki pesantren. Sejalan dengan perkembangan dan perubahan
bentuk pesantren, Menteri Agama RI. Mengeluarkan peraturan nomor 3
tahun 1979, yang mengklasifikasikan pondok pesantren sebagai berikut:

1. Pondok Pesantren tipe A, yaitu dimana para santri belajar dan


bertempat tinggal di Asrama lingkungan pondok pesantren dengan
pengajaran yang berlangsung secara tradisional (sistem wetonan atau
sorogan).
2. Pondok Pesantren tipe B, yaitu yang menyelenggarakan pengajaran
secara klasikal dan pengajaran oleh kyai bersifat aplikasi, diberikan
pada waktu-waktu tertentu. Santri tinggal di asrama lingkungan
pondok pesantren.
3. Pondok Pesantren tipe C, yaitu pondok pesantren hanya merupakan
asrama sedangkan para santrinya belajar di luar (di madrasah atau
sekolah umum lainnya), kyai hanya mengawas dan sebagai pembina
para santri tersebut.
4. Pondok Pesantren tipe D, yaitu yang menyelenggarakan sistem pondok
pesantren dan sekaligus sistem sekolah atau madrasah.
Peraturan Pemerintah, dalam hal ini Menteri Agama yang
mengelompokkan pesantren menjadi empat tipe tersebut, bukan suatu
keharusan bagi pondok pesantren tersebut. Namun, pemerintah
menyikapi dan menghargai perkembangan serta perubahan yang terjadi
pada pondok pesantren itu sendiri, walaupun perubahan dan
perkembangan pondok pesantren tidak hanya terbatas pada empat tipe
saja, namu akan lebih beragam lagi. Dari tipe yang sama akan terdapat
perbedaan-perbedaan tertentu yang menjadikan satu sama lain akan
berbeda.
Populasi pondok pesantren ini semakin bertambah dari tahun ke tahun,
baik pondok pesantren tipe salafiyah maupun khalafiyah yang kini
tersebar di penjuru tanah air. Pesatnya pertumbuhan pesantren ini akan
sekan mendorong pemerintah untuk melembagakannya secara khusus.
Sehingga keluarlah surat keputusan Menteri Agama Republik
Indonesia nomor 18 tahun 1975 tentang susunan organisasi dan tata
kerja Departemen agama yang kemudian diubah dan disempurnakan
dengan keputusan Menteri Agama RI nomor 1 tahun 2001.
Dengan keluarnya surat keputusan tersebut, maka pendidikan
pesantren dewasa ini telah mendapatkan perhatian yang sama dari
pemerintah terutama Departemen Agama. Saat ini telah menjadi
direktorat tersendiri yaitu direktorat pendidikan keagamaan dan
pondok pesantren yang bertujuan untuk meningkatkan pelayanan
pondok pesantren secara optimal terhadap masyarakat.
Data yang diperoleh dari kantor Dinas Pendidikan, Departemen Agama
serta Pemerintahan Daerah, sebagaian besar anak putus sekolah,
tamatan sekolah dasar dan madrasah ibtidaiyah, mereka tidak
melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi, namun mereka
tersebar di pondok pesantren dalam jumlah yang relatif banyak.
Kondisi pondok pesantren yang demikian akhirnya direspon oleh
pemerintah. Sehingga lahirlah kesepakatan bersama antara departemen
Agama dan departemen Pendidikan dengan nomor 1/U/KB/2000 dan
MA/86/2000 tentang pedoman pelaksanaan pondok pesantren salafiyah
sebagai pola pendidikan dasar.
Secara eskplisit, untuk operasionalnya, setahun kemudian keluar surat
keputusan Direktur Jendral Kelembagaan Agama Islam, nomor
E/239/2001 tentang panduan teknis penyelenggaraan program wajib
belajar pendidikan dasar pada pondok pesantren salafiyah.
Lahirnya UU nomor 02 tahun 1989, yang disempurnakan menjadi UU
nomor 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional pada pasal 30
ayat 1 sampai ayat 4 disebutkan pendidikan keagamaan, pondok
pesantren termasuk bagian dari sistem pendidikan nasional. Merupakan
dokumen yang amat penting untuk menetukan arah dan kebijakan
dalam penanganan pendidikan pada pondok pesantren di masa yang
akan datang.

E. Penutup.
Dilema status pondok pesantren antara madrasah dan sekolah umum
merupakan dilema yang sudah lama dihadapi pesantren. Ada beberapa
penyebab munculnya dilema ini termasuk faktor sistem pendidikan nasional.
Pondok pesantren yang dahulunya sistem pengajaran dan materi
pengajarannya terfokus kepada ilmu-ilmu kegamaan, mulai berkembang
dengan mengakomodasi elemen-elemen kurikulum dari sistem pendidikan
nasional. Tuntutan sistem pendidikan di Indonesia telah mengharuskan
pesantren untuk mengikuti atau menyetarakan standarnya dengan kurikulum
pendidikan nasional.
Seiring dengan tuntutan tersebut, departemen yang berkaitan dengan
pesantren juga mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang turut memajukan dan
memberikan peluang bagi pesantren untuk mengembangkan diri.

Daftar Pustaka

Haedani, H. Amin M.Pd dkk, Panorama, Pesantren Dalam Cakrawala


Modern. Jakarta: Diva Pustaka, 2004.

Madjid, Nurcholish, Bilik-Bilik Pesantren. Jakarta: P3M, 1985.

Nata, Abudin, Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Lembaga – Lembaga


Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta: PT Grafindo persada, 2001.

Noor, Mahpuddin, Potret Dunia Pesantren. Bandung: Humaniora, 2006.

Zuhairini, Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara, 1992.

Anda mungkin juga menyukai