Anda di halaman 1dari 95

LAPORAN KEGIATAN

KAJIAN PEMULIHAN EKOSISTEM


DI RESORT AKE JAWI SPTN WILAYAH III SUBAIM

TAHUN ANGGARAN 2020

BALAI TAMAN NASIONAL AKETAJAWE LOLOBATA


DIREKTORAT KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM DAN EKOSISTEM
KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN

Sofifi, 28 Februari 2020


HALAMAN PENGESAHAN

KAJIAN PEMULIHAN EKOSISTEM


DI RESORT AKE JAWI, SPTN WILAYAH III SUBAIM

Sofifi: 28 Februari 2020

Disusun oleh:
Ketua Tim,

Junesly F. Lilipory, S.Pi.


NIP.19760122 200212 1 003

Disahkan oleh: Diperiksa oleh:


Kepala Balai, Kepala Seksi

T. Heri Wibowo, S.Hut. M.Eng. Junesly F. Lilipory, S.Pi.


NIP. 19781208 200312 1 004 NIP.19760122 200212 1 003
ABSTRAK

KAJIAN PEMULIHAN EKOSISTEM


DI RESORT AKE JAWI, SPTN WILAYAH III SUBAIM

Dalam pengelolaan Taman Nasional Aketajawe Lolobata, ditemukan


aktivitas gangguan terhadap kawasan hutan yang mengancam keutuhan
dan kerusakan ekosistem. Dampaknya menyebabkan terganggunya
keseimbangan lingkungan dan fungsi ekosistem. Lokasi-lokasi yang
mengalami degradasi fungsi tersebut telah teridentifikasi menggunakan
interpretasi citra penginderaan dan masih harus melalui tahapan kajian
pemulihan ekosistem untuk menilai dan mengukur kondisi kerusakan yang
terjadi di dalam kawasan. Sedangkan tujuannya untuk memberikan
landasan dalam pengambilan keputusan yang tepat bagi upaya tindak lanjut
terhadap kondisi ekosisitem yang mengalami kerusakan.

Kegiatan ini dilaksanakan pada lahan terbuka di Desa Tabanalou, Resort


Ake Jawi. Adapun waktu pelaksanaannya selama 9 (sembilan) hari mulai
dari tanggal 16 s/d 24 Februari 2020. Lebih lanjut metode pengambilan data
dilakukan mengacu pada Peraturan Dirjen KSDAE Nomor: P.12/KSDAE-
Set/2015 yang meliputi Studi Literatur, Observasi, Wawancara, dan Kajian.

Hasil pelaksanaan kegiatan berhasil mengindentifikasi open area berupa


lahan perkebunan dan lahan dengan kerapatan rendah. Tipologi kerusakan
kawasan termasuk kategori rusak berat. Potensi gangguan dan ancaman
terbesar berasal dari faktor sosial yang mana melibatkan Desa Pintatu dan
Tomares. Kompleksitas faktor sosial ini mengharuskan adanya rekonsiliasi
terhadap kedua desa tersebut guna mengoptimalkan kesiapan tapak dan
kelembagaannya terkait rencana pemulihan ekosistem di Desa Tabanalou.
Salah satu opsi yang dapat dinegoisasikan pada proses rekonsiliasi adalah
jenis tanaman yang akan ditanam termasuk kategori Multi Purpose Tree
Species (MPTS) yang berasal dari jenis unggulan setempat yang meliputi
jenis Pala, Sukun, dan Kenari.

Kata Kunci: Kajian Pemulihan Ekosistem, Desa Tabanalou, Taman Nasional


Aketajawe Lolobata
KATA PENGANTAR

Tiada kata yang paling indah melainkan puja dan puji syukur kepada
yang maha sempurna Allah S.W.T atas rahmat dan hidayah-Nya sehingga
tim penyusun dapat menyelesaikan laporan ini. Kami menyadari bahwa
laporan ini dapat terselesaikan tidak terlepas dari bantuan dari banyak
pihak, maka dengan kerendahan hati, kami mengucapkan terima kasih.

Disadari sepenuhnya bahwa laporan ini masih jauh dari


kesempurnaan. Oleh karena itu, kami mengharapkan kritik maupun saran
yang bersifat membangun demi perbaikan di masa yang akan datang.

Subaim, Februari 2020

Tim Penyusun

iv
DAFTAR ISI

Halaman
DAFTAR TABEL ................................................................................ vii
DAFTAR GAMBAR ............................................................................. viii
DAFTAR LAMPIRAN .......................................................................... ix
BAB I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang .................................................................. 1
B. Maksud dan Tujuan ........................................................... 2
C. Target Kegiatan ................................................................ 2
D. Ruang Lingkup Kegiatan .................................................... 2
E. Kerangka Kerja ................................................................. 3
F. Dasar Pelaksanaan ............................................................ 3
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Kawasan Konservasi di Indonesia ....................................... 5
B. Ekosistem ......................................................................... 6
C. Ekosistem Hutan ............................................................... 10
D. Pemulihan Ekosistem ......................................................... 12
E. Analisis Vegetasi................................................................ 14
BAB III. KONDISI UMUM LOKASI
A. Kondisi Umum TN Aketajawe Lolobata ................................ 17
B. Desa Penyangga TNAL ....................................................... 26
BAB IV. METODOLOGI KEGIATAN
A. Tempat dan Waktu ............................................................ 27
B. Pelaksana Kegiatan ........................................................... 27
C. Alat dan Bahan.................................................................. 28
D. Pengambilan Data ............................................................. 28
E. Analisa Data ...................................................................... 39

v
BAB V. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Kondisi Lahan Terbuka di Desa Tabanalou .......................... 41
B. Tipologi Kerusakan Kawasan .............................................. 46
C. Karakteristik Kondisi Tapak ................................................ 49
D. Ekosistem Referensi .......................................................... 53
E. Jenis Satwa Utama dan Wilayah Jelajahnya ........................ 53
F. Sosial Ekonomi dan Budaya Masyarakat .............................. 54
G. Potensi Gangguan dan Ancaman ........................................ 59
H. Hambatan Dalam Pelaksanaan Kegiatan ............................. 61
I. Rekomendasi Kebijakan Program Pemulihan Ekosistem........ 62
BAB VI. KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan ....................................................................... 65
B. Saran ............................................................................... 66
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................ 67
LAMPIRAN ....................................................................................... 70

vi
DAFTAR TABEL

Halaman
1. Batas-Batas Kelompok Hutan ....................................................... 18
2. Formasi Batuan TNAL .................................................................. 22
3. Klasifikasi Tanah di Kawasan TNAL ............................................... 24
4. Desa Penyanggan TNAL ............................................................... 26
5. Klasifikasi Tipologi Kerusakan Kawasan ......................................... 31
6. Klasifikasi Teknik Pemulihan Ekosistem ......................................... 33
7. Rekapitulasi Tegakan per Hektar .................................................. 48
8. Data Kelas Topografi ................................................................... 50
9. Jumlah Penduduk Desa Tabanalou ............................................... 57
10. Tingkat Pendidikan di Desa Tabanalou .......................................... 57
11. Sebaran Penduduk Desa Tabanalou Berdasarkan Pekerjaan ........... 58

vii
DAFTAR GAMBAR

Halaman
1. Kerangka Kerja Kajian/Studi Pemulihan Ekosistem ......................... 3
2. Peta Zonasi Taman Nasional Aketajawe Lolobata........................... 17
3. Gua-Gua di TNAL......................................................................... 23
4. Peta Lokasi Kegiatan ................................................................... 27
5. Peta Klasifikasi Penutupan Lahan di Lokasi Kegiatan ...................... 41
6. Kondisi Lahan Perkebunan di Desa Tabanalou ............................... 42
7. Kebun Warga Yang Diduga Baru Dikelola ...................................... 42
8. Kondisi Bekas Tunggak Pohon Yang Dijumpai ............................... 43
9. Rumah Kebun di Lahan Terbuka Desa Tabanalou .......................... 44
10. Tumbuhan Tingkat Bawah (Semak Belukar dan Perdu) .................. 45
11. Peta Sebaran Titik Sampling di Lokasi Kegiatan ............................. 47
12. Peta Kelas Kelerengan di Lokasi Kegiatan...................................... 51
13. Peta Kelas Ketinggian di Lokasi Kegiatan....................................... 51
14. Peta Letak Anakan Sungai di Lokasi Kegiatan ................................ 52
15. Tampak Anakan Sungai di Lokasi Kegiatan .................................... 52
16. Peta Kecamatan Wasile Selatan .................................................... 55

viii
DAFTAR LAMPIRAN

Halaman
1. Surat Tugas Kepala Balai ............................................................. 71
2. Analisis Nilai Penting Tumbuhan ................................................... 73
3. Hasil Inventarisasi Jenis Satwa ..................................................... 75
4. Dokumentasi Kegiatan ................................................................. 76

ix
BAB I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Taman Nasional Aketajawe Lolobata (TNAL) merupakan Kawasan


Pelestarian Alam yang terdiri dari tipe hutan dataran rendah dan hutan
pegunungan dengan kondisi yang masih alami. Kawasan TNAL secara
administratif pemerintahan terletak di wilayah Provinsi Maluku Utara
pada tiga kabupaten/kota, yaitu Kabupaten Halmahera Tengah, Kota
Tidore Kepulauan dan Kabupaten Halmahera Timur. Luas kawasan TNAL
mencapai 167.319,32 Ha yang terdiri dari kelompok hutan Aketajawe
seluas 77.793 ,95 Ha dan kelompok hutan Lolobata seluas 89.525,37 Ha.

TNAL sebagai kawasan pelestarian alam mempunyai 3 (tiga) fungsi


pokok yaitu sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan,
pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa beserta
ekosistemnya serta pemanfaatan secara lestari sumberdaya alam
hayati dan ekosistemnya. Kawasan TNAL dikelola dengan sistem
zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan,
pendidikan, menunjang budidaya dan pariwisata.

Dalam pengelolaan TNAL ditemukan aktivitas gangguan terhadap


kawasan hutan yang mengancam keutuhan dan kerusakan ekosistem,
diantaranya: perambahan untuk perkebunan, illegal logging,
pertambangan emas liar, perburuan satwa, kebakaran hutan dan
bencana alam. Dampak dari adanya aktivitas yang merugikan tersebut
ialah terganggunya keseimbangan lingkungan dan fungsi ekosistem.
Lokasi-lokasi yang mengalami degradasi fungsi tersebut telah
teridentifikasi menggunakan interpretasi citra penginderaan jauh dan

Page | 1
ground check. Sebagian lokasi telah diakomodir dalam zona
rehabilitasi untuk diprioritaskan upaya pemulihan ekosistemnya
melalui kerjasama pihak ketiga (Dokumen RPE TNAL, 2019-2021),
sebagian lokasi lainnya masih harus melalui tahapan kajian pemulihan
ekosistem untuk merumuskan efektivitas perencanaan program dan
realisasi kedepannya.

B. Maksud dan Tujuan

Kajian pemulihan ekosistem dimaksudkan untuk menilai dan


mengukur kondisi kerusakan yang terjadi di dalam kawasan TNAL.
Sedangkan tujuannya untuk memberikan landasan dalam
pengambilan keputusan yang tepat bagi upaya tindak lanjut terhadap
kondisi ekosisitem yang mengalami kerusakan.

C. Target Kegiatan

Tersusunnya hasil kajian berupa rekomendasi areal pemulihan


ekosistem, cara pemulihan dan skala pemulihan termasuk penentuan
jenis-jenis tanaman yang akan dipilih.

D. Ruang Lingkup

Kajian pemulihan ekosistem dilakukan pada kawasan TNAL yang telah


teridentifikasi sebagai open area melalui interpretasi citra

Page | 2
penginderaan jauh dan ground check yang kajiannya difokuskan pada
aspek biofisik dan aspek sosial-ekonomi-budaya masyarakat.

E. Kerangka Kerja

Kerangka Kerja Kajian/Studi Pemulihan Ekosistem kawasan TNAL


disadur dari Peraturan Direktur Jenderal KSDAE Nomor: P.12/KSDAE-
Set/2015 tentang Pedoman Tata Cara Penanaman dan Pengkayaan
Jenis dalam rangka Pemulihan Ekosistem Daratan Pada Kawasan
Suaka Alam dan Kawasan Pelesarian Alam (Gambar 1).

Gambar 1. Kerangka Kerja Kajian/Studi Pemulihan Ekosistem

F. Dasar Pelaksanaan

Dasar pelaksanaan kegiatan ini sebagai berikut:


a) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumber
Daya Alam dan Ekosistemnya;
b) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan;

Page | 3
c) Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999 Tentang Pengawetan
Jenis Tumbuhan dan Satwa;
d) Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Pemanfaatan
Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar;
e) Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2011 Tentang Kawasan
Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam;
f) Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor
P.07/Menlhk/Setjen/OTL.0/1/2016 Tentang Organisasi dan Tata
Kerja UPT Taman Nasional;
g) Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor:
P.48/Menhut-II/2014 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Pemulihan
Ekosistem Pada Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam;
h) Peraturan Direktur Jenderal KSDAE Nomor: P.12/KSDAE-Set/2015
tentang Pedoman Tata Cara Penanaman dan Pengkayaan Jenis
dalam rangka Pemulihan Ekosistem Daratan Pada Kawasan Suaka
Alam dan Kawasan Pelesarian Alam;
i) Surat Pengesahan Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) Balai
Taman Nasional Aketajawe Lolobata TA 2020 Nomor: SP DIPA-
029.05.2.57436/2020 Tanggal 12 November 2019;
j) Rencana Pelaksanaan Kegiatan (RPK) Kajian/Studi Pemulihan
Ekosistem Taman Nasional Aketajawe Lolobata (Kelompok Hutan
Aketajawe) Balai Taman Nasional Aketajawe Lolobata Tahun 2020.

Page | 4
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Kawasan Konservasi di Indonesia

Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun


1990, Kawasan konservasi terdiri dari Kawasan Suaka Alam dan
Kawasan Pelestarian Alam. Lebih lanjut dijelaskan bahwa Kawasan
Suaka Alam merupakan kawasan dengan ciri khas tertentu, baik di
darat maupun di perairan yang mempunyai fungsi pokok sebagai
kawasan pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta
ekosistemnya yang juga berfungsi sebagai wilayah sistem penyangga
kehidupan. Kawasan Suaka Alam terdiri dari Cagar Alam dan Suaka
Margasatwa. Sedangkan Kawasan Pelestarian Alam diartikan sebagai
kawasan dengan ciri khas tertentu, baik di darat maupun di perairan
yang mempunyai fungsi perlindungan sistem penyangga kehidupan,
pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa, serta
pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan
ekosistemnya. Kawasan Pelestarian Alam terdiri dari Taman Nasional,
Taman Hutan Raya, dan Taman Wisata Alam.

Wiratno (2018) memaparkan fakta bahwa Indonesia memiliki kawasan


konservasi yang tersebar di seluruh wilayah propinsi, sebanyak 556
unit dengan luas mencapai 27,14 juta hektare, dimana 60,2%
kawasan konservasi berstatus sebagai taman nasional. Lebih lanjut
dijelaskan bahwa sejak era 1980-an telah terjadi perubahan
penggunaan lahan akibat eksploitasi hutan skala besar, yang
kemudian terus berlanjut pada tahun 1990-an. Terjadinya booming
penggunaan lahan untuk keperluan monokultur pasar global, terutama
kopi, coklat, karet, jagung. Dengan berkembangnya pengembangan
pembangunan infrastruktur, lahirnya kota-kota baru, serta mobilitas

Page | 5
dan pertumbuhan penduduk mengakibatkan kawasan konservasi
mendapatkan tekanan semakin besar dan kompleks.

Berdasarkan kajian dari Direktorat PIKA dan Direktorat Kawasan


Konservasi, diidentifikasi sebanyak 6.381 desa berada di sekitar
kawasan konservasi. Telah ditelaah pula, terdapat areal terbuka
(open area ) seluas lebih kurang 2,2 juta hektare atau 9,95% dari
total 22.108.630 hektare luas kawasan konservasi daratan. Areal
terbuka (open area ) ini harus dipastikan apakah merupakan
perambahan atau savana, lautan pasir, dan bebatuan atau karst.
Daerah terbuka yang berupa perambahan, biasanya merupakan
perkebunan sawit, kopi, coklat, karet atau untuk pertanian lahan
kering, akibat illegal logging , kebakaran, dan penambangan liar
(Wiratno, 2018).

B. Ekosistem

1. Definisi Ekosistem

Organisme atau makhluk hidup tidak akan dapat hidup sendiri.


Kelangsungan hidup suatu organisme akan bergantung kepada
organisme lain dan semua komponen lingkungan yang dapat
dipandang sebagai sumber daya alam untuk keperluan pangan, papan
atau tempat berlindung, sandang, serta kegunaan lain sesuai dengan
kebutuhan hidupnya. Dengan demikian, antar organisme yang satu
dengan yang lainnya, serta dengan semua komponen lingkungannya
itu mempunyai hubungan timbal balik secara langsung maupun tidak
langsung (Indriyanto, 2006). Hubungan yang demikian itu alamiah,

Page | 6
terjadi otomatis pada sistem alam atau ekologi yang dikenal dengan
istilah ekosistem (Resosoedarmo et al, 1986 dalam Irwan, 2003).

Resosoedarmo et al (1986) dalam Irwan (2003) menjelaskan bahwa


ekosistem merupakan satuan fungsional dasar dalam ekologi,
mengingat di dalamnya tercakup organisme dan komponen abiotik
yang masing-masing saling mempengaruhi. Ekosistem juga
mempunyai ukuran yang beraneka ragam besarnya bergantung
kepada tingkat organisasinya. Tingkatan organisasi ini dikatakan
sebagai suatu sistem karena memiliki komponen-komponen dengan
fungsi berbeda yang terkoordinasi secara baik sehingga masing-
masing komponen terjadi hubungan timbal balik. Hubungan timbal
balik terwujudkan dalam rantai makanan dan jaring makanan yang
pada setiap proses ini terjadi aliran energi dan siklus materi.

2. Komponen Ekosistem

Odum (1993) menjelaskan bahwa semua jenis ekosistem terdiri atas


komponen-komponen yang dapat dikelompokkan berdasarkan segi
trofik atau nutrisi dan segi struktur dasar ekosistem. Lebih lanjut
dijelaskan Gopal dan Bhardwaj (1979) dalam Irwan (2003) bahwa
berdasarkan segi struktur dasar ekosistem, maka komponen ekosistem
terdiri atas dua jenis, sebagai berikut:

a) Komponen biotik (komponen makhluk hidup), misalnya binatang,


tetumbuhan, dan mikrobiologi.
b) Komponen abiotik (komponen benda mati), misalnya air, udara,
tanah dan energi”.

Page | 7
Komponen ekosistem yang lengkap harus mencakup produsen,
konsumen, pengurai, dan komponen abiotik. Sebagai produsen adalah
tumbuhan hijau yang merupakan satu-satunya komponen ekosistem
yang dapat mengikat energi matahari secara langsung dan diubah
menjadi energi kimia dalam proses fotosintesis. Konsumen yang
mengkonsumsi energi yang dihasilkan oleh produsen. Secara umum
konsumen dibedakan menjadi makrokonsumen dan mikrokonsumen.
Yang termasuk dalam makrokonsumen adalah herbivora (pemakan
produsen langsung) dan karnivora (karnivora tingkat I, tingkat II, dan
top-karnivora). Sedangkan yang termasuk ke dalam mikrokonsumen
adalah pengurai, yakni organisme perombak bahan dari organisme yang
telah mati melalui proses immobilisasi dan mineralisasi sehingga menjadi
unsur hara yang siap dimanfaatkan oleh produsen (Indriyanto, 2006).

Komponen abiotik pada dasarnya terdiri dari tanah dan iklim. Contoh
unsur-unsur iklim yang mempengaruhi kehidupan seperti suhu,
kelembaban, angin, intensitas cahaya, curah hujan, dan sebagainya.
Komponen abiotik ini sangat menentukan kelangsungan hidup suatu
ekosistem, karena sangat mempengaruhi proses-proses biologis,
kimia, maupun fisik pada ekosistem tersebut (Heddy, 1986).

3. Karakteristik dan Daya Lenting Ekosistem

Secara umum, setiap ekosistem mempunyai tiga karakteristik dasar


yaitu komponen, struktur dan fungsi ekosistem. Komponen adalah
unsur pembentuk ekosistem, struktur adalah organisasi dari
komponen-komponen tersebut, sedangkan fungsi adalah peranan
atau proses-proses yang terjadi di dalam ekosistem. Proses terpenting
dalam ekosistem adalah aliran energi dan perputaran materi sehingga

Page | 8
kelangsungan hidup dan dinamika di dalam ekosistem terjamin
(Setiadi, 1983).

Daya tahan ekosistem yang besar menunjukkan bahwa ekosistem


mampu menghadapi gangguan sehingga perubahan-perubahan yang
terjadi akibat gangguan itu masih ditolerir bahkan ekosistem mampu
pulih kembali dan menuju kepada kondisi keseimbangan. Berkaitan
dengan daya tahan ekosistem tersebut, di dalam ekologi terdapat
istilah yang dikenal dengan daya lenting. Daya lenting menunjukkan
kemampuan ekosistem untuk pulih setelah terkena gangguan.
Semakin cepat kondisi ekosistem itu pulih berarti semakin pendek
masa pulih, semakin banyak gangguan yang dapat ditanggulangi,
maka semakin besar daya lentingnya (Odum, 1993).

Suatu ekosistem yang ingin dipertahankan sifat-sifatnya seperti taman


nasional, cagar alam, suaka margasatwa, taman wisata, taman buru,
taman hutan raya, serta jenis ekosistem lainnya harus memiliki daya
lenting yang tinggi. Setiap ekosistem akan memberi tanggapan
(respon) terhadap suatu gangguan. Tanggapan ekosistem terhadap
gangguan dilakukan sesuai dengan daya lentingnya. Gangguan yang
jauh melebihi daya lenting suatu ekosistem akan menciptakan
dinamika yang mengarah kepada terbentuknya kondisi ekosistem yang
menyimpang atau berbeda dengan kondisi ekosistem sebelumnya
(Hamilton dan King, 1988).

Page | 9
C. Ekosistem Hutan

1. Definisi Hutan

Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi


sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam
persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat
dipisahkan (Undang-Undang Republik Indonesia No. 41 Tahun 1999).
Hutan merupakan ekosistem alamiah yang sangat kompleks dengan
bebagai jenis tumbuh-tumbuhan yang rapat, mulai dari yang kecil sampai
yang berukuran besar (Arief, 2001). Lebih lanjut dijelaskan Barnes et al
(1997) bahwa hutan dianggap sebagai persekutuan antara tumbuhan
dan binatang dalam suatu asosiasi biotis. Asosiasi ini bersama-sama
dengan lingkungannya membentuk suatu sistem ekologis dimana
organisme dan lingkungan saling berpengaruh di dalam suatu siklus
energi yang kompleks.

Daniel et al (1992), menjelaskan bahwa hutan memiliki beberapa


fungsi bagi kehidupan manusia, antara lain: (1) pengembangan dan
penyediaan atmosfer yang baik dengan komponen oksigen yang
stabil, (2) produksi bahan bakar fosil (batu bara), (3) pengembangan
dan proteksi lapisan tanah, (4) produksi air bersih dan proteksi daerah
aliran sungai terhadap erosi, (5) penyediaan habitat dan makanan
untuk hewan, (6) penyediaan material bangunan, bahan bakar dan
hasil hutan, (7) Manfaat penting lainnya seperti nilai estetika, rekreasi,
kondisi alam asli, dan taman. Semua manfaat tersebut kecuali
produksi bahan bakar fosil, berhubungan dengan pengolahan hutan.

Page | 10
2. Degradasi Hutan

Lamb (1994) menjelaskan bahwa degradasi hutan memiliki arti yang


berbeda tergantung pada suatu kelompok masyarakat. Rimbawan
memiliki persepsi yang bervariasi terhadap arti degradasi. Sebagian
mengatakan bahwa hutan yang terdegradasi adalah hutan yang telah
mengalami kerusakan sampai pada suatu point/titik dimana penebangan
kayu maupun non kayu pada periode yang akan datang menjadi tertunda
atau terhambat semuanya. Sedangkan sebagian lainnya mendefinisikan
hutan yang terdegradasi sebagai suatu keadaan dimana fungsi ekologis,
ekonomis dan sosial hutan tidak terpenuhi.

Sementara Oldeman (1992) menjelaskan bahwa degradasi adalah


suatu proses dimana terjadi penurunan kapasitas baik saat ini maupun
masa mendatang dalam memberikan hasil (product). Penebangan
hutan yang semena-mena merupakan degradasi lahan. Selain itu tidak
terkendali dan tidak terencananya penebangan hutan secara baik
merupakan bahaya ekologis yang paling besar. Kerusakan lahan atau
tanah akan berpengaruh terhadap habitat semua makhluk hidup yang
ada di dalamnya dan kerusakan habitat sangat berpengaruh terhadap
kelangsungan makhluk hidup yang disangganya.

3. Deforestasi

Deforestasi merupakan hilangnya tutupan hutan secara permanen


ataupun sementara. (bukan vegetasi pohon atau bahkan tidak
bervegetasi) (Nawir et al, 2008). Lebih lanjut dijelaskan Nawir et al
(2008) bahwa faktor penyebab deforestasi di Indonesia tidak jauh
berbeda dengan penyebab degradasi hutan. Penyebab deforestasi ada
2 yaitu penyebab langsung dan penyebab tidak langsung. Penyebab

Page | 11
langsung meliputi: (1) kebakaran hutan, (2) banjir, (3) kondisi
morfologi dan curah hujan yang tinggi, (4) penebangan untuk
pembukaan lahan perkebunan, (5) perambahan hutan, (6) program
transmigrasi, (7) pengelolaan lahan dengan teknik konservasi tanah
dan air yang tidak sesuai, serta (8) pertambangan dan pengeboran
minyak. Sedangkan penyebab tidak langsung antara lain: (1)
kegagalan pasar akibat harga kayu hasil hutan yang terlalu rendah, (2)
kegagalan kebijakan dalam memberikan ijin pengusahaan hutan dan
program transmigrasi, (3) kelemahan pemerintah dalam penegakan
hukum, (4) penyebab sosial ekonomi dan politik yang lebih luas,
seperti: krisis ekonomi, era reformasi, kepadatan dan pertumbuhan
penduduk yang tinggi, dan penyebaran kekuatan ekonomi dan politik
yang tidak merata.

Deforestasi memberikan dampak yang signifikan bagi masyarakat dan


lingkungan. Kegiatan penebangan yang mengesampingkan konversi
hutan mengakibatkan penurunan kualitas lingkungan dan akan
meningkatkan peristiwa bencana alam, seperti tanah longsor dan
banjir. Dampak lain akibat kerusakan hutan adalah terancamnya
kelestarian satwa dan flora endemik. Sebagaimana adanya issue
perubahan iklim, pencegahan deforestasi menjadi alternatif utama
dengan maksud untuk menurunkan emisi gas yang dapat mengurangi
pemanasan global.

D. Pemulihan Ekosistem

Maginnis dan Jackson (2006) dalam Gunawan (2015) menjelaskan


bahwa ekosistem yang telah sangat rusak, sehingga tidak mampu
memulihkan diri sendiri melalui proses suksesi alam, perlu direstorasi

Page | 12
untuk pemulihan dan pemeliharaan proses-proses penting seperti
hidrologi, siklus hara dan transfer energi. Lebih lanjut dijelaskan
Gunawan (2015) bahwa penggundulan hutan juga merupakan
masalah serius hutan hujan tropika di wilayah Asia Tenggara yang
penyebab utamanya adalah perambahan hutan.

Berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan No. P.48/Menhut-ll/2014


Tentang Tata Cara Pelaksanaan Pemulihan Ekosistem Pada Kawasan
Suaka Alam (KSA) dan Kawasan Pelestarian Alam (KPA), bahwa KSA
dan KPA yang mengalami kerusakan perlu dilakukan pemulihan
ekosistem. Pemulihan ekosistem merupakan kegiatan mengembalikan
fungsi, produktivitas, layanan, konektivitas dan mitigasi dari ekosistem
sehingga terwujud keseimbangan alam hayati dan ekosistemnya di
kawasan tersebut. Pemulihan ekosistem bertujuan untuk
mengembalikan sepenuhnya integritas ekosistem sehingga kembali ke
tingkat/kondisi aslinya, dan kepada kondisi masa depan tertentu
sesuai dengan tujuan pengelolaan kawasan.

Pemulihan ekosistem dapat dilakukan melalui 3 (tiga) cara yakni


mekanisme alam, rehabilitasi, dan restorasi.

1. Mekanisme Alam / Suksesi Alam yaitu suatu proses pemulihan


terhadap ekosistem yang terjadi secara alami dengan
mengandalkan proses suksesi alam. Tindakan campur tangan
manusia hanya sebatas perlindungan dan pengamanan kawasan
yang sedang mengalami suksesi agar proses suksesi alam tersebut
dapat berjalan dengan wajar menuju ke tahap keseimbangan
klimaks sehingga dapat kembali memberikan fungsi-fungsinya
seperti kondisi semula.

2. Rehabilitasi Ekosistem adalah suatu tindakan mengembalikan kondisi


ekosistem yang telah mengalami kerusakan yang menyebabkan

Page | 13
perubahan penutupan lahan atau kerusakan badan air dan bentang
alam laut serta terganggunya kehidupan organisme di dalamnya,
melalui kegiatan penanaman, pembinaan habitat, dan populasi
dengan jenis asli serta normalisasi badan air atau bentang alam laut,
mendekati kondisi semula, sehingga terjadi keseimbangan dinamis
dari komponen-komponen ekosistem dan kembalinya fungsi-fungsi
ekosistem seperti sediakala

3. Restorasi Ekosistem adalah suatu tindakan perbaikan kondisi


ekosistem yang telah mengalami kerusakan yang menyebabkan
berkurangnya penutupan lahan atau kerusakan badan air atau
bentang alam laut, melalui tindakan penanaman dengan jenis asli,
perbaikan badan air atau bentang alam laut dengan tujuan
meningkatkan kualitas lingkungan dan perbaikan fungsi ekosistem.

E. Analisis Vegetasi

Vegetasi dalam ekologi adalah istilah untuk keseluruhan komunitas


tetumbuhan. Vegetasi merupakan bagian hidup yang tersusun dari
tetumbuhan yang menempati suatu ekosistem. Beraneka tipe hutan,
kebun, padang rumput, dan tundra merupakan contoh-contoh vegetasi.
Analisis vegetasi adalah cara mempelajari susunan komposisi spesies dan
bentuk struktur vegetasi atau masyarakat tumbuh-tumbuhan. Dalam
ekologi hutan satuan yang diamati adalah suatu tegakan, yang
merupakan asosiasi konkrit (Rohman, 2001).

Dalam hal pemulihan ekosistem, analisis vegetasi penting dilakukan


sebagai ukuran dalam penentuan jenis tegakan yang akan ditanam.
Penentuan jenis tegakan ini pada prinsipnya diharapkan memiliki

Page | 14
kesamaan dengan jenis tegakan yang terdapat pada ekosistem hutan
alam yang ada di dekat areal pemulihan ekosistem. Hideki Miyakawa
(2014) menjelaskan bahwa dalam pelaksanaan restorasi untuk
pemulihan ekosistem harus memprioritaskan jenis-jenis kunci untuk
pembentukan ekosistem, sarang dan pakan satwa. Jumlah jenis pohon
yang ditanam disarankan paling sedikit 30% dari ekosistem hutan alam
yang ada di dekat areal restorasi; dengan komposisi jenis pionir
(60%), semi klimaks (20%) dan klimaks (20%), dan sifatnya sebagai
pakan dan sarang satwa serta cepat menyebarkan biji.

Tjitrosoepomo (2002) mengungkapkan bahwa analisis vegetasi dapat


digunakan untuk mempelajari susunan dan bentuk vegetasi atau
masyarakat tumbuh-tumbuhan: 1) Mempelajari tegakan hutan yaitu
pohon dan permudaan nya, 2) Mempelajari tegakan tumbuhan bawah
yang dimaksud tumbuhan bawah adalah suatu jenis vegetasi dasar yang
terdapat di bawah tegakan hutan kecuali permudaan pohon hutan,
padang rumput, atau ilalang dan vegetasi semak belukar. Kusuma (1997)
menjelaskan bahwa untuk kepentingan deskripsi suatu komunitas
tumbuhan diperlukan 3 macam parameter kuantitatif antara lain densitas,
frekuensi, dan dominasi. Sedangkan untuk keperluan deskripsi vegetasi
tersebut ada tiga macam parameter kuantitatif yaitu densitas, frekuensi,
dan kelindungan. Kelindungan yang dimaksud adalah dominasi.

1. Kerapatan

Kerapatan adalah jumlah individu suatu spesies tumbuhan dalam


suatu luasan tertentu, misalnya 100 individu/ha. Frekuensi suatu
spesies tumbuhan adalah jumlah petak contoh dimana ditemukannya
jenis tersebut dari sejumlah petak contoh yang dibuat. Biasanya
frekuensi dinyatakan dalam besaran persentase. Basal area

Page | 15
merupakan suatu luasan areal dekat permukaan tanah yang dikuasai
oleh tumbuhan. Untuk pohon, basal areal dapat diduga dengan
mengukur diameter batang (Kusuma, 1997).

2. Frekuensi

Frekuensi merupakan ukuran dari regularitas terdapatnya suatu spesies.


Frekuensi memberikan gambaran bagaimana pola penyebaran suatu
spesies, apakah menyebar keseluruh kawasan atau kelompok. Hal ini
menunjukkan daya penyebaran dan adaptasinya terhadap lingkungan.
Raunkiser (1977) dalam Shulka dan Chandel (1986) membagi frekuensi
dalam lima kelas berdasarkan besarnya persentase. Frekuensi kehadiran
merupakan nilai yang menyatakan jumlah kehadiran suatu spesies di
dalam suatu habitat.

3. Dominansi

Dominansi atau luas penutupan adalah proporsi antara luas tempat yang
ditutupi oleh spesies tumbuhan dengan luas total habitat. Dominansi
dapat dinyatakan dengan menggunakan luas penutupan tajuk ataupun
luas bidang dasar (Amliana et al, 2016).

4. Indeks Nilai Penting

Indeks nilai penting adalah parameter kuantitatif yang dapat dipakai


untuk menyatakan tingkat dominansi spesies-spesies dalam suatu
komunitas tumbuhan. Spesies-spesies yang dominan dalam suatu
komunitas tumbuhan akan memiliki indeks nilai penting yang tinggi,
sehingga spesies yang paling dominan tentu saja memiliki indeks nilai
penting yang paling besar (Amliana et al, 2016).

Page | 16
BAB III. KONDISI UMUM LOKASI

A. Kondisi Umum TN Aketajawe Lolobata

Kawasan TN. Aketajawe Lolobata ditunjuk berdasarkan Surat Keputusan


Menteri Kehutanan Nomor: SK.397/Menhut-II/2004 tanggal 19 Oktober
2004. Selanjutnya, terbitlah Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor:
SK.350/Menhut-II/2010 tanggal 25 Mei 2010 tentang penetapan
kelompok hutan Lolobata dengan luas 89.525,37 ha. Kemudian
menyusul Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor:
SK.11919/Menhut-VII/KUH/2014 tanggal 4 April 2014 tentang
penetapan kelompok hutan Aketajawe dengan luas 77.793,95 ha.

Gambar 2. Peta Zonasi Taman Nasional Aketajawe Lolobata

Page | 17
Letak kawasan TN. Aketajawe Lolobata berada di Pulau Halmahera
Provinsi Maluku Utara. Secara administratif, letak kawasan TN.
Aketajawe Lolobata berada di Kota Tidore Kepulauan, Kabupaten
Halmahera Tengah dan Kabupaten Halmahera Timur. Pintu masuk
utama kawasan TN. Aketajawe Lolobata adalah dari Kota Ternate yang
dilanjutkan dengan perjalanan laut menyeberang ke Ibu Kota Sofifi. Dari
Sofifi, perjalanan menuju kawasan dapat dilanjutkan melalui jalan darat.
Dari hasil overlay antara peta penetapan kawasan TN. Aketajawe
Lolobata dengan peta fungsi kawasan hutan di Provinsi Maluku Utara
diperoleh batas-batas masing-masing kelompok hutan yang terlihat
sebagaimana Tabel 1.

Tabel 1. Batas-Batas Kelompok Hutan


Kelompok Hutan Kelompok Hutan
Arah
Aketajawe Lolobata
Berbatasan dengan Berbatasan dengan
Utara kelompok hutan produksi kelompok hutan produksi
terbatas dan hutan produksi terbatas.
Berbatasan dengan
Berbatasan dengan
kelompok hutan lindung,
Selatan kelompok hutan produksi
hutan produksi dan hutan
terbatas.
produksi terbatas
Berbatasan dengan
kelompok hutan produksi Berbatasan dengan
Barat
terbatas dan hutan produksi kelompok hutan produksi
tetap
Berbatasan dengan Berbatasan dengan
kelompok hutan lindung, kelompok hutan produksi
Timur
hutan produksi terbatas, dan hutan produksi
dan hutan produksi tetap terbatas
Sumber: Dokumen RPJP BTNAL 2015-2024

1. Potensi Ekosistem

Berdasarkan tingkat suksesinya, eksositem hutan yang berada di


dalam kawasan TN. Aketajawe Lolobata terbagi menjadi dua, yaitu
ekosistem hutan primer (85,9 persen dari luas kawasan) dan
eksosistem hutan sekunder (2,7 persen). Ekosistem hutan skunder
berada di lokasi bekas aktivitas logging perusahaan. Ekosistem ini

Page | 18
banyak ditandai dengan tumbuhnya tanaman tanaman pioner, seperti
samama (Anthocephalus macrophylla) dan pisang hutan (Kandelia
candel). Beberapa ekosistem lain dalam luasan kecil terdapat di
kawasan TN. Aketajawe Lolobata, seperti ekosistem rawa air tawar
(yang didominasi oleh vegetasi Metroxylon sago), ekosistem karst dan
hutan di atas batuan karst, ekosistem padang alang-alang dan semak
belukar serta ekosistem sungai dan sempadan sungai.

2. Potensi Flora

Damar (Agathis sp.), Bintangur (Calophyllum inophyllum), Benuang


(Octomeles sumatrana), Kayu Bugis (Koordersiodrendron pinnatum),
Matoa (Pometia pinnata) dan Nyatoh (Palaquium obtusifolium)
merupakan beberapa jenis flora yang umum ditemui di kawasan TN.
Aketajawe Lolobata. Hingga saat ini telah ditemukan 152 jenis pohon,
104 Jenis merupakan pohon dan permudaannya serta 68 Jenis
tumbuhan bawah, 46 jenis paku-pakuan, 19 jenis palem dan 22 jenis
anggrek (Database Pengawetan, 2014). Pada kawasan hutan TNAL
sedikitnya ditemukan 72 jenis tumbuhan yang teridentifikasi sebagai
tumbuhan obat, di antaranya yaitu Kayu raja (Euonymus javanicus)
sebagai obat maag dan penambah stamina, Akar Kuning (Fibraurea
chlororleuca) sebagai obat malaria dan Lumut Hati (Marchantia
polymorpha) sebagai obat hepatitis (Database Pengawetan, 2014).

3. Potensi Fauna

Kawasan TNAL tidak banyak memiliki jenis fauna terestrial, namun cukup
kaya akan jenis avifauna. Bersumber dari database bidang pengawetan
2014, setidaknya terdapat 141 jenis burung di dalam kawasan, termasuk
25 di antaranya merupakan jenis endemik Maluku Utara. Dari 25 jenis ini,

Page | 19
empat jenis merupakan jenis endemik Pulau Halmahera, yaitu mandar
gendang (Habroptila wallacii), cekakak murung (Todiraphus fenubris),
kepudang Halmahera (Oriolus phaeochromus) dan kepudang-sungu
Halmahera (Coracina parvula). Mandar gendang sendiri merupakan jenis
burung yang saat ini paling sedikit dikenal dan dilaporkan keberadaannya
di Pulau Halmahera.

Beberapa jenis burung yang terancam secara global berdasarkan IUCN


(2008), juga masih dapat dijumpai dalam kawasan taman nasional,
seperti kakatua putih (Cacatua alba), kasturi ternate (Lorius garrulus) dan
cikukua hitam (Philemon fuscicapillus). Bahkan untuk jenis kakatua putih
telah ditetapkan oleh Kemen-LHK melalui SK Dirjen KSDAE nomor:
SK.180/IVKKH/2015 tanggal 30 Juni 2015 menjadi salah satu dari 25
satwa terancam punah prioritas untuk ditingkatkan populasinya sebesar
10% pada tahun 2015-2019.

Jenis fauna lain juga dapat ditemui di dalam kawasan TNAL. Hasil survey
hingga saat ini terdapat 33 jenis mamalia (termasuk di dalamnya 26 jenis
kelelawar dan terdapat 1 jenis kuskus endemik Halmahera), 43 jenis
reptilia (1 jenis endemik Halmahera) dan 21 jenis amfibia (4 jenis
endemik Halmahera). Kekayaan fauna endemik Maluku Utara yang
terdapat di Halmahera berdasarkan kajian yang dilakukan oleh Poulsen
et al (1999), kemungkinan juga berada di dalam kawasan TNAL yaitu 13
jenis belalang, 43 jenis capung, 11 jenis kupu-kupu raja dan 105 jenis
moluska darat. Kegiatan identifikasi terbaru menyatakan bahwa telah
ditemukan sebanyak 77 jenis kupu-kupu di kawasan TNAL yang terbagi
menjadi 7 famili (Surili, 2014 dalam RPJP BTNAL 2015-2024).

Page | 20
4. Topografi Kawasan

TNAL secara umum mempunyai topografi datar dan bergelombang


sampai bergunung-gunung. TNAL berada pada ketinggian 50-1.150
m.dpl. Kelompok Hutan Aketajawe berada pada ketinggian antara 50-
1.050 m.dpl, sedangkan Kelompok Hutan Lolobata berada pada
ketinggian antara 150-1150 m.dpl. Sebagian besar kontur kawasan ini
sangat rapat dan memperlihatkan bentuk permukaan atau relief yang
bergelombang secara tidak teratur. Tidak terdapat gunung berapi di
dalam kawasan TNAL, baik yang masih aktif maupun non-aktif.
Kawasan TNAL memiliki kelas kelerengan yang beragam, yaitu 0-8%
hingga di atas 40%. Kelompok Hutan Lolobata merupakan kawasan
yang memiliki lebih banyak kelas kelerengan di atas 45% dibanding
Kelompok Hutan Aketajawe.

Secara umum, Kelompok Hutan Lolobata mempunyai topografi datar dan


berbukit sampai bergunung sedangkan Kelompok Hutan Aketajawe
mempunyai topografi datar sampai bergelombang. Kelompok Hutan
Lolobata, mempunyai tiga kelas kelerengan, yakni kelas kelerengan 0-
8%, kelas kelerengan 25-40% dan kelas kelerengan >40% sedangkan
Kelompok Hutan Aketajawe mempunyai lima kelas kelerengan yaitu kelas
kelrengan 0-8%, kelas kelerengan 8-15%, kelas kelerengan 1525%,
kelas kelerengan 25-40% dan kelas kelerengan >40%. Hal ini berarti
bahwa TN Aketajawe Lolobata Kelompok Hutan Lolobata tidak
mempunyai wilayah yang mempunyai kelas kelerengan antara 8-15%
dan kelas kelerengan antara 15-25%.

Page | 21
5. Geologi Kawasan

Berdasarkan Peta Geologi Lembar Ternate Maluku Utara tahun 1980,


kawasan TNAL tersusun dari beberapa formasi geologi. Berikut
perbandingan jenis batuan antara kedua kelompok hutan di kawasan
TNAL (Tabel 2).

Tabel 2. Formasi Batuan TNAL

Kelompok Hutan Kelompok


Jenis Batuan Aketajawe Hutan
Lolobata
Batuan Gunung Api a) Formasi kayasa: breksi, a) Formasi bacan:
lava, dan tufa breksi, lava, dan tufa
bersusunan andesit dan bersusunan andesit
basal. dan basal.
Formasi bacan: breksi,
b) lava, dan tufa
bersusunan andesit dan
basal.
Batuan Sedimen a) Formasi tingteng: batu a) Formasi dorosagu:
gamping hablur, batuan batu pasir, batu
gamping, napal, dan lanau, batu
batu pasir. lempung, serpih,
Formasi weda: batu konglomerat, dan
b) pasir, napal, tufa, b) batu gamping.
konglomerat, dan batu Formasi weda: batu
gamping. pasir, napal, tufa,
c) konglomerat, dan
batu gamping.
Formasi
tingteng:
batu gamping
hablur, batuan
gamping, napal, dan
batu pasir. d.
Formasi dodaga:
batu lanau, serpih,
batu
pasir, napal,
dan batu gamping
Batuan Beku - a) Kompleks batuan
ultrabasa:
serpentinit, dunit,
basal, gabro, dan
diabas.
Sumber: Peta Geologi Maluku Utara Tahun 1980 dalam Dokumen RPJP BTNAL 2015-2024

Page | 22
Gambar 3. Gua-Gua di TNAL

Diketahui bahwa jenis batuan sedimen dalam bentuk kelompok batu


pasir, batu lumpur, konglomerat, batu gamping dan marl merupakan
formasi terluas di wilayah Kelompok Hutan Lolobata, yakni mencakup
47,33% atau seluas 42.371,47 ha, sedangkan luas terkecil, diduduki
oleh kelompok batu pasir, batu lumpur, serpih, konglomerat dan batu
gamping yang juga merupakan tipe batuan sedimen hanya mencakup
1,01% atau hanya seluas 907,74 ha.

6. Tanah

Berdasarkan Peta Jenis Tanah Provinsi Maluku Utara yang


menggunakan sistem klasifikasi USDA Soil Taxonomy (1975), jenis
tanah di kawasan TN Aketajawe Lolobata berupa Inceptisol, Entisol,
Alfisol dan Rendol/Mollisol. Dari keempat jenis tanah tersebut, jenis
tanah inceptisol merupakan jenis tanah yang paling dominan setelah
jenis tanah Mollisol. Berikut padanan nama jenis tanah di kawasan TN
Aketajawe Lolobata dari menurut beberapa klasifikasi (Tabel 3).

Page | 23
Tabel 3. Klasifikasi Tanah di Kawasan TNAL
USDA Soil Sistem
Modifikasi FAO/UNESCO
Taxonomy DudalSoepraptohardjo
1978/1982 (PPT) (1974)
(1975) (1956-1961)
Inceptisol Andosol Andosol Andosol
Entisol Tanah Aluvial Tanah Aluvial Fluvisol
Alfisol Mediteran Mediteran Luvisol
Rendol/Mollisol Renzina Renzina Renzina
Sumber: USDA dalam RPJP BTNAL 2015-2014

Tanah Inceptisol adalah tanah yang berwarna hitam sampai coklat tua
dengan kandungan bahan organik tinggi, remah dan porous, licin (smeary)
dan reaksi tanah antara 4.5 – 6.5. Jenis ini termasuk tanah belum matang
(immature) dan memiliki perkembangan profil lebih lemah dibanding
dengan tanah matang. Selain itu, jenis tanah ini juga masih banyak
menyerupai sifat dari bahan induknya. Tanah yang termasuk ordo Inceptisol
merupakan tanah muda. Tanah jenis ini dijumpai pada daerah dengan
bahan induk vulkanis mulai dari pinggirn pantai sampai 3.000 m.dpl dengan
curah hujan tinggi serta suhu rendah pada daerah dataran tinggi.

Tanah Entisol adalah tanah yang berasal dari endapan alluvial atau
koluvial muda dengan perkembangan profil tanah lemah sampai tidak
ada. Sifat tanah jenis ini beragam tergantung dari bahan induk yang
diendapkannya serta penyebarannya tidak dipengaruhi oleh
ketinggian maupun iklim.

Tanah Alfisol merupakan tanah-tanah yang terdapat penimbunan liat di


horison bawah (terdapat horison argilik) dan mempunyai kejenuhan
basa tinggi yaitu lebih dari 35% pada kedalaman 180 cm dari
permukaan tanah. Liat yang tertimbun di horison bawah ini berasal dari
horison di atasnya dan tercuci ke bawah bersama dengan gerakan air.

Page | 24
Tanah Rendol atau Mollisol merupakan tanah dengan tebal epipedon
lebih dari 18 cm yang berwarna hitam (gelap), kandungan bahan
organik lebih dari 1%, kejenuhan basa lebih dari 50%. Agregasi tanah
baik, sehingga tanah tidak keras bila kering. Kata Mollisol berasal dari
kata Mollis yang berarti lunak.

7. Iklim

Iklim menggambarkan suatu kondisi rata-rata cuaca pada lokasi tertentu


dalam waktu yang lama. Provinsi Maluku Utara merupakan provinsi
kepulauan yang dipengaruhi oleh iklim laut tropis dan iklim musim. Hal
ini disebabkan oleh wilayah yang berupa pulau-pulau yang dikelilingi oleh
lautan yang luas. Iklim di Provinsi Maluku Utara sangat dipengaruhi oleh
eksistensi perairan laut yang luas dan bervariasi antara tiap bagian
wilayah, yaitu iklim pada bagian Halmahera Utara, Halmahera Tengah
dan Barat, Halmahera Selatan dan Kepulauan Sula. Iklim memiliki
beberapa komponen, antara lain suhu udara, kelembaban, tekanan
udara, kecepatan angin, curah hujan dan penyinaran matahari.

8. Hidrologi

Terdapat 23 sungai yang berhulu di dalam kawasan TNAL. Tercatat 14


sungai di Kelompok Hutan Aketajawe dan 9 sungai di Kelompok Hutan
Lolobata. Daerah Aliran Sungai (DAS) terluas yang masuk ke dalam
Kelompok Hutan Aketajawe adalah DAS Akekobe (40,5% dari luas
Kelompok Hutan Aketajawe), DAS Aketayawi (23,7%) dan DAS Akefidi
(9,8%). Adapun Kelompok Hutan Lolobata, DAS terluas dalam kawasan
adalah DAS Akelamo (56,7%), DAS Onat (23,8%) dan DAS Gogaili
(5,2%). Sungai sungai besar yang berada di kawasan TNAL merupakan

Page | 25
sungai yang airnya mengalir sepanjang tahun. Ketinggian permukaan air
sungai sangat fluktuatif dipengaruhi oleh curah hujan.

B. Desa Penyangga TNAL

Adapun desa-desa penyangga di sekitar kawasan TN Aketajawe Lolobata


dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Desa Penyangga TNAL


Kabupaten/Kota Kecamatan Kelurahan/Desa
Koli, Kosa, Kel. Payahe, Kel. Toseho,
Gita, Woda, Kususinopa, Bale, Tului
Oba
Talagamori, Todapa, Talasi,
Talagamori
Bukit Durian, Kusu, Kel. Guraping,
Kaiyasa, Kel. Sofifi, Oba, Somahode,
Tidore Kepulauan Oba Utara
Garojou, Ampera, Balbar, Galala,
Akekolano, Gosale Puncak
Aketubatu, Togeme, Kel. Akelamo,
Akeguraci, Akesai, Aketobololo,
Oba Tengah
Akedotilou, Lola, Tadupi, Beringin Jaya,
Tauno, Yehu, Siokona, Fanaha
Halmahera Barat Jailolo Selatan Tabadamai, Rioribati, Braha, Toniku
Halmahera
Weda Sidanga, Kelurahan Weda
Tengah
Kobe, Sawai Itepo, Lelilef Waibulan,
Weda Tengah Kulo Jaya, Upt Kobe-Kulo, Woejerana,
Woekob
Mekar Sari, Cemara Jaya, Bumi Restu,
Wasile
Subaim
Tutuling Jaya, Ake Daga, Daka Ino,
Wasile Timur
Dodaga, Woka Jaya
Kakaraino, Hatetabako, Puao,
Halmahera Timur Wasile Tengah
Lolobata, Foli
Tatam, Marimoi, Iga, Labi Labi, Bololo,
Wasile Utara
Helaitetor
Pekaulang, Baburino, Geltoli, Buli,
Maba
Gamesan, Wayafli
Sumber: Dokumen RPE BTNAL 2019-2021

Page | 26
BAB IV. METODOLOGI KEGIATAN

A. Tempat dan Waktu

Kegiatan kajian lokasi pemulihan ekosistem dilaksanakan pada lahan


terbuka terletak di Desa Tabanalou, Resort Ake Jawi, Kecamatan
Wasile Selatan, SPTN Wilayah III Subaim, Kabupaten Halmahera
Timur. Sedangkan pelaksanaan kegiatan dilakukan selama 9 hari
mulai dari tanggal 16 s/d 24 Februari 2020. Secara geografis, lokasi
pemulihan ekosistem dapat dilihat pada Gambar 4.

Gambar 4. Peta Lokasi Kegiatan

B. Pelaksana Kegiatan

Kegiatan ini dilaksanakan oleh tim pelaksana yang tercantum dalam


lampiran Surat Tugas Kepala Balai Nomor: ST.33/T.25/Keu/02/2020

Page | 27
tanggal 12 Februari 2020 tentang perintah melaksanakan kegiatan
Pengambilan Data Kajian Pemulihan Ekosistem di Desa Tabanalou
(Lampiran 1).

C. Alat dan Bahan

Alat dan bahan yang digunakan selama pelaksanaan kegiatan ini


sebagai berikut:

• Peralatan umum: buku/literatur pendukung, peta kerja, kamera


digital, alat tulis menulis dan buku panduan pengenalan jenis satwa
dan tumbuhan.
• Peralatan survey: global positioning system (GPS), tali ukur, parang
dan camping unit.
• Perangkat analisis data dan pelaporan: Laptop dan Arc Gis 10.

D. Pengambilan Data

Pengambilan data selama pelaksanaan kegiatan ini mengacu pada


Peraturan Direktur Jenderal KSDAE Nomor: P.12/KSDAE-Set/2015
tentang Pedoman Tata Cara Penanaman dan Pengkayaan Jenis dalam
rangka Pemulihan Ekosistem Daratan Pada Kawasan Suaka Alam dan
Kawasan Pelesarian Alam

1. Studi Literatur

Studi literatur digunakan untuk menghimpun data sekunder, berupa


dasar teori dan data lainnya yang terkait dengan kegiatan.

Page | 28
2. Survey Pendahuluan (Obsevasi)

Survey pendahuluan biasa disebut juga dengan survey awal


(observasi) yang dilakukan sebelum melakukan kegiatan. Survey
pendahuluan dilakukan untuk menentukan lokasi kegiatan,
mengetahui kondisi umum lokasi kegiatan, menentukan jalur/transek
dan arah pengamatan serta waktu yang tepat untuk melakukan
pengamatan satwa dan tumbuhan.

3. Wawancara

Menggali informasi kepada masyarakat (tokoh adat, aparat desa dan


warga) sekitar lokasi kegiatan terkait dengan obyek kegiatan yaitu
tentang aspek sosial, ekonomi dan budaya.

4. Kajian / Studi

Kajian dilakukan terhadap aspek biofisik dan aspek sosial ekonomi dan
budaya masyarakat. Hasil kajian merupakan dasar pertimbangan utama
dalam penyusunan Rencana Pemulihan Ekosistem, sekaligus sebagai
baseline dalam penilaian keberhasilan program pemulihan ekosistem.

a. Identifikasi sejarah, kebijakan serta program pemulihan


ekosistem

Sejarah kawasan berisi runtutan perubahan status dan/atau


peruntukan kawasan sejak dikelola beserta kebijakan
pengelolaannya. Sejarah kawasan ini penting dalam menentukan
tipe ekosistem dan kondisi biofisik awal sebagai acuan dalam

Page | 29
kegiatan pemulihan eksistem. Kondisi umum kawasan terutama
berisi posisi lokasi secara administrasi, luas dan posisi koordinat,
topografi, ketinggian tempat, tipe iklim, curah hujan, temperatur,
jenis tanah, dll.

Kebijakan dan program pemulihan ekosistem yang telah dilakukan


sebelumnya bermanfaat sebagai bahan pertimbangan dalam
menentukan kebijakan dan program pemulihan yang akan
dilaksanakan.

b. Inventarisasi dan identifikasi klasifikasi tipe kerusakan


vegetasi

Kajian kerusakan ekosistem dilakukan dengan interpretasi citra


penginderaan jauh (remote sensing) dan/atau ground check.
Interpretasi citra penginderaan jauh dilakukan untuk mengetahui
perubahan tutupan vegetasi dari waktu ke waktu terkait luas, sebaran
dan intensitas kerusakan, sementara ground check dilakukan untuk
mengidentifikasi dan memastikan tipe dan tingkat kerusakan yang
terjadi beserta penyebab kerusakannya.

Kawasan yang akan dipulihkan dibuat tipologi berdasarkan tingkat


kerusakannya. Kerusakan yang terjadi dapat diklasifikasikan
berdasarkan: (1) tutupan vegetasi, (2) kerapatan pohon, (3) tingkat
kesulitan dalam pemulihan ekosistem (Tabel 5).

Page | 30
Tabel 5. Klasifikasi Tipologi Kerusakan Kawasan
Tingkat
No Tipologi
Kerusakan
1. Rusak Berat Kawasan dengan tutupan vegetasi dan kerapatan
pohon yang rendah serta sulit dipulihkan, yang
dicirikan: sebagian besar biodiversitas, struktur,
biomassa dan produktivitas hilang dan memerlukan
waktu yang lama tergantung pada seberapa cepat
jenis-jenis yang tersisa mampu mengkolonisasi
tapak. Pemulihan dapat dilakukan dengan restorasi.
2. Rusak Sedang Kawasan dengan tutupan vegetasi dan kerapatan
pohon yang sedang dan memerlukan intervensi
dalam percepatan pemulihan, yang dicirikan: hutan
masih diokupasi jenis kayu yang mampu pulih
setelah gangguan, walaupun didominasi jenis pionir.
Tipologi ini dapat pulih lebih cepat dari tipologi 1.
Percepatan suksesi dapat dilakukan melalui
rehabilitasi dengan jenis asli
3. Rusak Ringan Kawasan dengan tutupan vegetasi dan kerapatan
pohon yang tinggi, yang dicirikan: hutan telah
berkurang dalam hal biomassa dan struktur tetapi
meninggalkan regenerasi yang cukup, sehingga
dapat pulih dengan mekanisme alam, tetapi dapat
dipercepat dengan memberikan ruang tumbuh yang
cukup bagi regenerasi alam (assisted/ accelerated
natural regeneration; ANR)
Sumber: Perdirjen KSDAE Nomor: P.12/KSDAE-Set/2015

Penentuan pola pemulihan ekosistem dilakukan berdasarkan satu


atau kombinasi beberapa pendekatan meliputi jenis penutupan
lahan, kerapatan vegetasi, jumlah pohon induk per hektar, jumlah
anakan per hektar (angka kecukupan permudaan alam), dan jarak
areal terdegradasi dengan ekosistem utuh sebagai sumber
kolonisasi (seed dispersal).

Dalam pelaksanaan tahapan ini, metode inventarisasi yang


digunakan adalah Metode Jalur Berpetak yang diletakkan secara
sistematis. Pengambilan titik sampling dilakukan secara purposive
sampling. Untuk menentukan intensitas samplingnya, digunakan IS
5%, karena Menurut Boon dan Tideman (1950) yang dikutip oleh
Soerianegara dan Indrawan (1978), untuk kelompok hutan yang
luasnya 1.000 ha atau lebih intensitas sampling yang digunakan

Page | 31
sebaiknya 2%, sementara itu jika kurang dari 1.000 ha maka
intensitas sampling sebaiknya digunakan 5 % - 10 %. Berdasarkan
ketentuan di atas maka digunakan intensitas sampling 5 %
dikarenakan luas dari lokasi kajian pemulihan ekosistem di Desa
Tabanalou ditaksir hanya seluas ± 35 ha (<1.000 ha).

c. Karakteristik kondisi tapak terdegradasi

Karakteristik kondisi tapak terdegradasi tergantung pada kondisi awal,


jenis dan intensitas gangguan serta pengaruh faktor eksternal.
Karakteristik kondisi tapak menentukan perlakuan yang diperlukan
dalam pemulihan ekosistem. Untuk mengetahui karakteristik kondisi
tapak terdegradasi, beberapa jenis data yang perlu dikumpulkan di
antaranya (1) Jenis, sifat, fisik, kimia dan biologi tanah, (2) Topografi,
(3) Iklim, dan (4) Hidrologi (sumber air)

d. Pemetaan petak tanaman

Hasil klasifikasi kerusakan ekosistem dijabarkan dalam peta petak


tanaman yang memberikan informasi lokasi, luas, tipologi
kerusakan dan teknik pemulihan ekosistem yang direncanakan.
Berdasarkan hal tersebut, areal terdegradasi dipetakan menjadi
empat petak yaitu (1) petak suksesi alam; (2) petak suksesi alam
yang dibantu; (3) petak pengkayaan jenis dan (4) petak tanaman
total (Tabel 6).

Page | 32
Tabel 6. Klasifikasi Teknik Pemulihan Ekosistem

Teknik
Tingkat
No Tipologi Kerusakan Pemulihan
Kerusakan
Ekosistem
a. Rusak Ringan Jumlah permudaan alam jenis
Suksesi Alam
klimaks ≥ 1000/Ha
Jumlah permudaan alam jenis
Suksesi Alam yang
klimaks ≥ 1000/Ha; Menyebar
dibantu
merata, kompetisi tinggi
b. Rusak Sedang Permudaan alam jenis klimaks
< 1000 anakan/Ha; tutupan Pengkayaan
lahan didominasi jenis pioner, Tanaman
jenis klimaks terbatas
c. Rusak Berat Tutupan lahan rendah (terbuka
Penanaman total
semak), potensi anakan rendah
Tutupan lahan rendah (terbuka Penanaman total
semak), potensi anakan dengan tanaman
rendah, struktur tanah berubah prakondisi
(rekontruksi)
Sumber: Perdirjen KSDAE Nomor: P.12/KSDAE-Set/2015

e. Identifikasi ekosistem referensi

Dalam menentukan jenis tanaman, ekosistem referensi dapat menjadi


acuan atau contoh (template). Ekosistem referensi tidak hanya berupa
ekosistem contoh di dekat areal yang akan dipulihkan, tetapi juga dapat
berupa referensi tertulis, peta, foto udara atau citra penginderaan jauh
yang diambil sebelum areal tersebut mengalami kerusakan.

1) Identifikasi tipe ekosistem dan habitat satwa utama

Ekosistem yang digunakan sebagai referensi adalah tipe


ekosistem utuh yang sama dengan tipe yang mengalami
kerusakan yang berada di dalam kawasan yang sama.

Page | 33
2) Analisis vegetasi

Analisis vegetasi dilakukan untuk mengetahui informasi struktur


dan komposisi vegetasi. Metode yang digunakan menyesuaikan
dengan kondisi tapak dan tujuan. Jenis dan ukuran petak dapat
mengikuti kondisi lapangan dengan jumlah ulangan yang
mewakili setiap tipe hutan/degradasi yang ada.

3) Identifikasi pohon induk dan potensi anakan alam

Bersamaan dengan analisis vegetasi, setiap jenis pohon asli


yang potensial sebagai pohon induk sebagai sumber benih, baik
biji maupun anakan alam, dicatat nama jenis dan posisi GPS-
nya (titik koordinat) untuk kemudian dipetakan atau di-overlay-
kan dengan peta petak tanaman. Jumlah anakan alam jenis-
jenis pohon asli yang potensial sebagai sumber bibit dari
cabutan anakan alam juga dicatat dan diperkirakan jumlahnya.

4) Inventarisasi jenis satwa

Inventarisasi jenis satwa sangat penting dalam kegiatan


pemulihan ekosistem kawasan konservasi. Jenis-jenis satwa yang
ada merupakan faktor kunci dalam menentukan jenis pohon yang
akan ditanam untuk memperbaiki fungsi habitatnya, sehingga
dapat meningkatkan populasinya.

Kegiatan inventarisasi satwa harus dilakukan dalam tahap


perencanaan dan sekurang-kurangnya mencatat jenis-jenis
satwa dari kelas: mamalia, burung (aves), reptilia, amfibia dan
serangga, sebagai data dasar.

Page | 34
Inventarisasi satwa liar dapat dilakukan dengan menggunakan
metode Transek Jalur (Line Transect) dan observasi secara acak
(random walk) pada daerah sekitarnya. Metode line transect dapat
digunakan untuk sensus berbagai jenis satwa liar, seperti burung
(Bibby 1992), primata dan herbivora besar (Alikodra, 1993).

Inventarisasi satwa liar juga dapat dilakukan melalui


pengamatan langsung baik melalui tanda-tanda (sarang,
pakan, jejak kaki, bekas cakaran, suara dan keberadaan
satwa liar) dan keterangan dari masyarakat sekitar serta studi
pustaka untuk mengetahui keadaan sebelum terdegradasi.

5) Pemetaan wilayah jelajah satwa utama

Pemetaan wilayah jelajah satwa utama yang menjadi target


konservasi dilakukan untuk mengetahui (1) kebutuhan ruang bagi
satwa tersebut agar dapat bertahan hidup dengan normal dan
berkembang biak, dan (2) tumpang tindih penggunaan ruang oleh
satwa dan oleh manusia, khususnya di areal-areal yang
terdegradasi akibat perambahan. Informasi tentang luas wilayah
jelajah satwa liar menjadi dasar dalam penentuan luas areal
pemulihan atau perbaikan habitat yang perlu dilakukan untuk
menyelamatkan satwa tersebut.

f. Pemilihan jenis tumbuhan

Pemilihan jenis tumbuhan merupakan jenis asli yang ditemukan pada


ekosistem referensi dan memiliki sifat yang sesuai dengan tapak yang

Page | 35
akan dipulihkan. Jika tapaknya terbuka, maka jenis intoleran yang harus
dipilih, tetapi jika terdapat naungan, maka jenis toleran dan semi-toleran
yang harus dipilih.

1) Jenis-jenis tumbuhan kunci

Untuk menjamin keberhasilan pemulihan ekosistem, maka jenis


tumbuhan kunci untuk penanaman dan pengkayaan harus
ditentukan dan disesuaikan dengan tujuan pemulihan dan
pengelolaan, yaitu: (1) pemulihan dan pembinaan habitat, (2)
pemulihan fungsi konservasi tanah dan air, serta (3) dapat
mendukung sosial ekonomi masyarakat sekitar. Jenis
tumbuhan kunci merupakan pilihan jenis yang disesuaikan
dengan jenis yang ditemukan pada ekosistem referensi, serta
berdasarkan tujuan dari pemulihan ekosistem.

2) Fenologi jenis-jenis asli terpilih

Studi fenologi sangat penting dalam menyediakan data dan


informasi tentang musim berbunga dan berbuah suatu jenis
tumbuhan, dengan demikian dinamika regenerasi suatu jenis
dapat diketahui. Berdasarkan data dan informasi ini, waktu
pengumpulan benih atau bibit cabutan dapat diketahui lebih
pasti yang berguna dalam membuat perencanaan persemaian,
baik dari segi waktu, kuantitas maupun kualitas pembibitan.

Studi Fenologi harus dilakukan secara kontinyu dalam jangka


waktu yang relatif lama, serta mencakup daerah sebaran yang
mewakili karena tingkat umur (kedewasaan), lingkungan tempat

Page | 36
(tanah dan iklim), dan genetik mempengaruhi fisiologi setiap
individu tumbuhan yang berimplikasi pada variasi pola berbunga.

Jalur pengamatan fenologi dibuat memotong formasi hutan


agar semua tipe hutan yang ada pada kawasan yang dikelola
terwakili. Jenis-jenis pohon asli yang sudah mampu
beregenerasi ditandai, diberi label dan dicatat jenis, ukuran
dan posisi geografisnya (titik koordinat). Pengamatan
berbunga-berbuah dilakukan terhadap semua jenis berlabel
secara reguler dan berkesinambungan.

g. Identifikasi potensi gangguan dan ancaman

Segala bentuk gangguan dan ancaman yang potensial terhadap


keberhasilan pemulihan ekosistem agar dapat diidentifikasi secara baik
dan dievaluasi untuk menentukan upaya antisipasi dan pencegahan
agar tidak menyebabkan kegagalan yang menimbulkan kerugian.
Gangguan dan ancaman ini dapat disebabkan oleh perbuatan manusia,
ternak, kebakaran, daya-daya alam, hama dan penyakit.

Secara umum sumber potensi gangguan dan ancaman terhadap


upaya pemulihan ekosistem dapat dikelompokkan ke dalam 3 (tiga)
bagian yaitu: (1) faktor fisik, (2) faktor biologis, dan (3) faktor sosial.
Faktor fisik meliputi hal-hal yang disebabkan oleh daya-daya alam
seperti kekeringan, banjir, api (kebakaran), angin, petir, vulkanisme
dan sebagainya. Faktor biologis meliputi segala bentuk pengaruh
terhadap ekosistem yang disebabkan oleh jasad-jasad hidup seperti
hama dan penyakit, binatang, tumbuh-tumbuhan (invasive alien

Page | 37
species). Faktor sosial, dimana pengaruh kehidupan masyarakat
yang memicu munculnya gangguan dan ancaman berupa
perambahan, illegal logging, perburuan tumbuhan dan satwa,
perladangan, pembakaran, penggembalaan liar dan lain-lain.

Potensi gangguan dan ancaman juga dibedakan menjadi (1)


gangguan eksternal dan (2) gangguan internal. Gangguan eksternal
berhubungan dengan perkembangan lingkungan eksternal di sekitar
kawasan, baik menyangkut perubahan penggunaan dan konversi
lahan, dan dinamika kebijakan/politik. Gangguan internal yang dapat
mengancam kegiatan pemulihan ekosistem meliputi aspek
kemantapan kawasan, dan pengelolaan kawasan yang belum optimal.

h. Survey sosial ekonomi masyarakat sekitar

Survey sosial ekonomi masyarakat sekitar penting dilakukan,


terutama untuk mengetahui permasalahan sosial-ekonomi dan
budaya terhadap upaya konservasi hutan dan mendapatkan
alternatif solusi untuk memecahkan masalah tersebut. Keberhasilan
upaya pemulihan ekosistem sangat dipengaruhi oleh dukungan dan
keterlibatan masyarakat sekitar.

Metode survey yang dilakukan terdiri dari beberapa kegiatan, yaitu


pengumpulan dan analisis data, peninjauan lapangan, wawancara
dengan masyarakat, survey dengan kuisioner, dan lain-lain. Hal-hal
yang perlu disurvey meliputi: (1) Penyebab degradasi, (2)
ketergantungan masyarakat terhadap kawasan, (3) kearifan lokal
untuk pengelolaan kawasan hutan, (4) pengetahuan masyarakat
terhadap fungsi Taman Nasional dan aturan pengelolaannya, (5)

Page | 38
Pengetahuan masyarakat tentang keberadaan jenis tumbuhan
lokal, dan (6) Tingkat ekonomi masyarakat.

E. Analisa Data

Analisa data yang digunakan dalam kegiatan ini meliputi deskriptif


kualitatif dan kuantitatif. Deksriptif kualitatif digunakan untuk
menjelaskan kondisi aktual dan faktual yang dijumpai selama
pelaksanaan kegiatan di lapangan. Sedangkan analisis kuanitatif dalam
hal ini digunakan untuk menghitung nilai penting tumbuhan yang
meliputi Kerapatan Jenis (K), Kerapatan Relatif (KR), Frekuensi Jenis
(F), Frekuensi Relatif (FR), Dominansi Jenis (D), Dominansi Relatif
(DR), dan Indeks Nilai Penting (INP).

1. Kerapatan Jenis (K) dan Kerapatan Relatif (KR)

Kerapatan Jenis (K) dan Kerapatan Relatif (KR) dihitung menggunakan


formula sebagai berikut:

𝑱𝒖𝒎𝒍𝒂𝒉 𝑰𝒏𝒅𝒊𝒗𝒊𝒅𝒖 𝑱𝒆𝒏𝒊𝒔 𝒌𝒆 − 𝒊


𝑲=
𝑳𝒖𝒂𝒔 𝑻𝒐𝒕𝒂𝒍 𝑷𝒆𝒕𝒂𝒌 𝑼𝒌𝒖𝒓

𝑲𝒆𝒓𝒂𝒑𝒂𝒕𝒂𝒏 𝑱𝒆𝒏𝒊𝒔 𝒌𝒆 − 𝒊
𝑲𝑹 = × 𝟏𝟎𝟎
𝑲𝒆𝒓𝒂𝒑𝒂𝒕𝒂𝒏 𝑺𝒆𝒍𝒖𝒓𝒖𝒉 𝑱𝒆𝒏𝒊𝒔

2. Frekuensi Jenis (F) dan Frekuensi Relatif (FR)

Frekuensi Jenis (K) dan Frekuensi Relatif (KR) dihitung menggunakan


formula sebagai berikut:

Page | 39
𝑱𝒖𝒎𝒍𝒂𝒉 𝑷𝒆𝒕𝒂𝒌 𝑷𝒆𝒏𝒆𝒎𝒖𝒂𝒏 𝑱𝒆𝒏𝒊𝒔 𝒌𝒆 − 𝒊
𝑭=
𝑱𝒖𝒎𝒍𝒂𝒉 𝑻𝒐𝒕𝒂𝒍 𝑷𝒆𝒕𝒂𝒌

𝑭𝒓𝒆𝒌𝒖𝒆𝒏𝒔𝒊 𝑱𝒆𝒏𝒊𝒔 𝒌𝒆 − 𝒊
𝑭𝑹 = × 𝟏𝟎𝟎
𝑭𝒓𝒆𝒌𝒖𝒆𝒏𝒔𝒊 𝑺𝒆𝒍𝒖𝒓𝒖𝒉 𝑱𝒆𝒏𝒊𝒔

3. Dominansi Jenis (D) dan Dominasi Relatif (DR)

Dominansi Jenis (D) dan Dominansi Relatif (DR) dihitung menggunakan


formula sebagai berikut:

𝑳𝒖𝒂𝒔 𝑩𝒊𝒅𝒂𝒏𝒈 𝑫𝒂𝒔𝒂𝒓 𝑱𝒆𝒏𝒊𝒔 𝒌𝒆 − 𝒊


𝑫=
𝑳𝒖𝒂𝒔 𝑻𝒐𝒕𝒂𝒍 𝑷𝒆𝒕𝒂𝒌 𝑼𝒌𝒖𝒓

𝑫𝒐𝒎𝒊𝒏𝒂𝒏𝒔𝒊 𝑱𝒆𝒏𝒊𝒔 𝒌𝒆 − 𝒊
𝑫𝑹 = × 𝟏𝟎𝟎
𝑫𝒐𝒎𝒊𝒏𝒂𝒏𝒔𝒊 𝑺𝒆𝒍𝒖𝒓𝒖𝒉 𝑱𝒆𝒏𝒊𝒔

4. Indeks Nilai Penting

Indeks Nilai Penting dihitung menggunakan formula sebagai berikut:

𝑰𝑵𝑷 = 𝑲𝑹 + 𝑭𝑹 + 𝑫𝑹

Page | 40
BAB V. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Kondisi Lahan Terbuka di Desa Tabanalou

Berdasarkan penafsiran citra satelit SPOT 7 yang selanjutnya diolah


menjadi peta klasifikasi tutupan lahan (Gambar 5), serta didukung hasil
pengamatan langsung di lapangan, dijumpai lahan terbuka berupa lahan
perkebunan dan lahan dengan kerapatan rendah. Fakta kondisi lahan
terbuka di Desa Tabanalou diuraikan sebagai berikut:

Gambar 5. Peta Klasifikasi Penutupan Lahan di Lokasi Kegiatan

1. Lahan Perkebunan

Lahan perkebunan ini ditanami tanaman kelapa, pala dan cokelat. Selain
itu, dijumpai juga jalan tani sebagai akses masuk ke lokasi ini. Pohon
kelapa yang telah tumbuh menjulang tinggi diperkirakan telah berumur
25 hingga 30 Tahun. Hal ini mengindikasikan bahwa kebun masyarakat
tersebut sudah dikelola sejak lama (Gambar 6).

Page | 41
Gambar 6. Kondisi Lahan Perkebunan di Desa Tabanalou

Selama pelaksanaan kegiatan ini, belum diperoleh informasi terkait


status kepemilikan lahan perkebunan tersebut. Informasi yang
bersumber dari Sekretaris Desa Tabanalou hanya sebatas kapan
perkebunan tersebut mulai dikelola. Berdasarkan penuturannya, Kebun
Kelapa tersebut mulai dikelola pada Tahun 1984. Namun ada juga
kebun yang baru dikelola di belakang Desa Tabanalou dan
kepemilikannya berasal dari Desa Tomares.

Gambar 7. Kebun Warga Yang Diduga Baru Dikelola

Page | 42
Lebih lanjut pada beberapa titik lokasi juga dijumpai banyak tunggak
pohon bekas tebangan yang telah diselimuti semak belukar. Selain itu
dijumpai juga bekas tunggak pohon habis terbakar (Gambar 8).

Gambar 8. Kondisi Bekas Tunggak Pohon Yang Dijumpai

Perjumpaan bekas tunggak pohon habis terbakar ini mengindikasikan


bahwa dimungkinkan pernah terjadinya kebakaran pada lokasi ini.
Lebih lanjut, perjumpaan tunggak pohon bekas tebangan juga
mengindikasikan pernah terjadinya aktivitas penebangan liar pada
lokasi ini sudah sejak lama. Dalam pandangan tim pelaksana, aktivitas
penebangan liar kemungkinan dilakukan oleh oknum dari Desa
Tomares. Hal ini juga didukung oleh penuturan Sekretaris Desa
Tabanalou yang menceritakan peristiwa ditutupnya jalan tani Desa
Tabanalou oleh warga Desa Tabanalou dikarenakan adanya oknum
dari Desa Tomares yang keluar masuk menggunakan Truck
bermuatan kayu sehingga berpotensi merusaki jalan tani yang sedang
dibangun Pemerintah Desa Tabanalou menjadi setapak.

Page | 43
Gambar 9. Rumah Kebun di Lahan Terbuka Desa Tabanalou

Perambahan hutan dan penebangan untuk lahan perkebunan yang


dilakukan oleh warga setempat pada lokasi ini telah menyebabkan
degradasi dan deforestasi. Oldeman (1992) menjelaskan bahwa
degradasi adalah suatu proses dimana terjadi penurunan kapasitas
baik saat ini maupun masa mendatang dalam memberikan hasil
(product). Penebangan hutan yang semena-mena merupakan
degradasi lahan. Selain itu tidak terkendali dan tidak terencananya
penebangan hutan secara baik merupakan bahaya ekologis yang
paling besar. Lebih lanjut dijelaskan Nawir et al (2008) bahwa
deforestasi adalah hilangnya tutupan hutan secara permanen ataupun
sementara. Secara sederhana, deforestasi adalah istilah untuk
menyebutkan perubahan tutupan suatu wilayah dari berhutan menjadi
tidak berhutan, artinya dari suatu wilayah yang sebelumnya
berpenutupan tajuk berupa hutan (vegetasi pohon dengan kerapatan
tertentu) menjadi bukan hutan.

Namun pada kondisi ini, warga tidak sepenuhnya dapat disalahkan.


Mengingat kebun tersebut telah dikelola sejak tahun 1984. Sementara
TN Aketajawe Lolobata baru ditunjuk pada tahun 2004 dan ditetapkan

Page | 44
pada tahun 2014 (Kelompok Hutan Aketajawe). Perambahan hutan
dan penebangan untuk lahan perkebunan semata-mata dilakukan
karena desakan kebutuhan ekonomi. Hal ini sejalan dengan pendapat
Tryono (2010), bahwa salah satu penyebab langsung degradasi hutan
adalah ulah penduduk setempat yang terpaksa mengeksploitasi hutan
secara berlebihan karena desakan kebutuhan.

2. Lahan dengan Kerapatan Rendah

Lahan dengan kerapatan rendah ini juga dijumpai pada lokasi kegiatan.
Umumnya merupakan semak belukar hingga tumbuhan perdu, walau
masih dijumpai tegakan pohon jenis Binuang (Duabanga moluccana),
Gofasa (Vitex cofassus), dan Samama (Anthocephalus spp). Selama
pelaksanaan kegiatan ini, identifikasi dan inventarisasi jenis tumbuhan
tingkat bawah tidak dilakukan karena ruang lingkup kegiatan ini hanya
terbatas pada jenis tumbuhan dengan wujud tegakan pohon dan
permudaannya. Namun kondisi ini tetap didokumentasikan guna
mendeskripsikan lahan terbuka yang berada di lokasi kajian (Gambar 10).

Gambar 10. Tumbuhan Tingkat Bawah (Semak Belukar dan Perdu)

Page | 45
Tak jarang dijumpai lahan dengan kerapatan rendah ini merupakan
lokasi bekas tebangan pohon maupun bekas kebakaran. Dalam
pandangan tim pelaksana, lahan dengan penutupan rendah ini
merupakan ekosistem suksesi sekunder yang berkembang setelah
ekosistem alami mengalami gangguan. Kondisi ini yang memungkinkan
berdasarkan penafsiran citra satelit teranalisa sebagai lahan terbuka.

B. Tipologi Kerusakan Kawasan

Pada kegiatan ini, kajian kerusakan ekosistem dilakukan dengan interpretasi


citra penginderaan jauh (remote sensing) untuk mengetahui perubahan
tutupan vegetasi dari waktu ke waktu terkait luas, sebaran dan intensitas
kerusakan, sementara ground check dilakukan untuk mengidentifikasi dan
memastikan tipe dan tingkat kerusakan yang terjadi beserta penyebab
kerusakannya (Perdirjen KSDAE Nomor 12 Tahun 2015).

Kawasan yang akan dipulihkan dibuat tipologi berdasarkan tingkat


kerusakannya. Kerusakan yang terjadi dapat diklasifikasikan
berdasarkan: (1) tutupan vegetasi, (2) kerapatan pohon, (3) tingkat
kesulitan dalam pemulihan ekosistem. Lebih lanjut Penentuan pola
pemulihan ekosistem dilakukan berdasarkan satu atau kombinasi
beberapa pendekatan meliputi jenis penutupan lahan, kerapatan
vegetasi, jumlah pohon induk per hektar, jumlah anakan per hektar
(angka kecukupan permudaan alam), dan jarak areal terdegradasi
dengan ekosistem utuh sebagai sumber kolonisasi (seed dispersal)
(Perdirjen KSDAE Nomor 12 Tahun 2015).

Page | 46
Dalam pelaksanaan tahapan ini, metode inventarisasi yang digunakan
adalah Metode Jalur Berpetak yang diletakkan secara sistematis.
Pengambilan titik sampling dilakukan secara purposive sampling
dengan intensitas sampling yang digunakan 5%. Lebih lanjut,
diketahui luas lokasi kajian pemulihan ekosistem di Desa Tabanalou
sebesar 35 ha, maka intensitas sampling dengan persentase 5% adalah
43 Petak Ukur ukuran 20 x 20 m. Namun dengan mempertimbangkan
situasi dan keterbatasan tenaga, selama pelaksanaan kegiatan ini,
pengambilan data hanya dilakukan pada 40 petak ukur. Sebaran titik
sampling dapat dilihat pada Gambar 11.

Gambar 11. Peta Sebaran Titik Sampling di Lokasi Kegiatan

Berdasarkan hasil pengambilan data tegakan pohon dan


permudaannya diperoleh 14 jenis tumbuhan yang meliputi Toro
(Ficus spp), Binuang (Duabanga moluccana), Buah Rau
(Dracontomelon dao), Coklat (Theobroma cacao), Gofasa (Vitex
cofassus), Gosale (Dillenia spp), Kelapa (Cocos nucifera), Kenari
(Canarium spp), Linggua (Peterocarpus spp), Matoa (Pometia
pinata), Nyatoh (Palaquium obtusifolium), Pala (Myristica spp),

Page | 47
Samama (Anthocephalus sp), dan Palem Woka (Corypha spp). Hasil
pengambilan data tersebut lalu dianalisis nilai penting tumbuhannya
(Lampiran 2).

Hasil analisis nilai penting tumbuhan selanjutnya rekapitulasi dengan


pendekatan tegakan per hektar untuk menentukan tipologi
kerusakan kawasan dan teknik pemulihan ekosistemnya (Perdirjen
KSDAE Nomor 12 Tahun 2015). Hasil rekapitulasi jenis tumbuhan
berdasarkan tegakan per hektar dapat dilihat pada Tabel 7.

Tabel 7. Rekapitulasi Tegakan per Hektar.

Luas Total
Jumlah
No Kategori Petak Ukur Ind/Ha
Individu
(Ha)
1 Pohon 223 1.60 139.38
2 Tiang 49 0.40 122.50
3 Pancang 0 0.10 0.00
4 Semai 0 0.02 0.00

Berdasarkan Tabel 7 di atas maka dapat dikatakan bahwa lokasi kajian


pemulihan ekosistem ini termasuk dalam kriteria “Rusak Berat” dengan
teknik pemulihan ekosistem yang direkomendasikan adalah “Penanaman
Total”. Hal ini sesuai dengan kriteria dalam klasifikasi teknik pemulihan
ekosistem dalam Perdirjen KSDAE Nomor 12 Tahun 2015 dimana
kawasan dengan tipologi tutupan lahan rendah (terbuka semak) dan
potensi anakan rendah tergolong dalam kawasan dengan tingkat
kerusakan “Rusak Berat”. Dengan demikian teknik pemulihan ekosistem
yang direkomendasikan adalah “Penanaman Total”.

Kawasan dengan tipologi “Rusak Berat” memiliki tutupan vegetasi


dan kerapatan pohon yang rendah serta sulit dipulihkan, yang
dicirikan: sebagian besar biodiversitas, struktur, biomassa dan

Page | 48
produktivitas hilang dan memerlukan waktu yang lama tergantung
pada seberapa cepat jenis-jenis yang tersisa mampu
mengkolonisasi tapak. Pemulihan dapat dilakukan dengan restorasi
(Perdirjen KSDAE Nomor 12 Tahun 2015).

C. Karakteristik Kondisi Tapak

1. Jenis dan Kesuburan Tanah

Faktor edafis (tanah) merupakan kondisi tapak yang harus


dipertimbangkan dalam pemulihan ekosistem, baik fisik, kimia maupun
biologi tanah. Sifat fisik tanah menentukan jenis tumbuhan yang dipilih
dan tingkat kesulitan pengolahan tanah yang akan berimbas pada biaya
penanaman. Kimia tanah juga penting dalam penentuan perlakuan
silvikultur dalam hal penambahan nutrisi yang diperlukan tanaman untuk
tumbuh optimal, demikian juga dengan biologi tanah yang berguna
dalam penentuan perlu tidaknya penambahan mikroba pengurai mikoriza
(Perdirjen KSDAE Nomor 12 Tahun 2015).

Berdasarkan ciri fisiknya, jenis tanah yang dijumpai pada lokasi kajian
pemulihan ekosistem di Desa Tabanalou umumnya didominasi oleh jenis
Organosol dan Litosol. Jenis tanah organosol dicirikan dengan tekstur
tanahnya yang lempung sampai lempung berpasir dengan tingkat
kesuburan cukup. Sedangkan jenis tanah litosol dicirikan dengan tekstur
tanahnya yang memiliki butiran kerikil hasil dari pelapukan batuan beku
dan sedimen. Jenis tanah litosol tergolong kurang subur, namun cocok
ditanami tanaman-tanaman besar di hutan.

Page | 49
Penentuan jenis dan kesuburan tanah pada lokasi kegiatan ini belum
sepenuhnya valid. Hal ini dikarenakan untuk menentukan suatu jenis
tanah tidak hanya didasarkan pada ciri fisiknya saja, namun tekstur,
kandungan air hingga unsur haranya juga perlu ditaksir untuk
menentukan kesuburannya.

2. Topografi

Topografi merupakan kondisi tapak yang harus dipertimbangkan dalam


penyiapan lahan. Pada tapak dengan topografi berat, sistem terasering
dan pembukaan jalur tanam searah kontur dan/atau cemplongan akan
lebih sesuai dan dapat menghindari erosi, sebaiknya tapak dengan
topografi ringan dapat menggunakan semua model penyiapan lahan
(Perdirjen KSDAE Nomor 12 Tahun 2015).

Berdasarkan hasil pengukuran kelas kelerengan lahan pada lokasi


kegiatan, dijumpai lahan yang memiliki kelerengan datar hingga curam.
Adapun, ketinggiannya berada diantara 51–300 mdpl. Data kondisi
kelas topografi di lokasi kegiatan dapat dilihat pada Tabel 8. Sedangkan
layout petanya dapat diihat pada Gambar 12 dan 13.

Tabel 8. Data Kelas Topografi


Ketinggian
No. Tipologi Kelas Lereng Luas (Ha)
(Mdpl)
1. Datar 0-8% 10.27
2. Landai 8 - 15 % 4.97
3. Agak curam 15 - 25 % 19.15 51 - 300
4. Curam 25 - 40 % 0.82
Jumlah 35.21

Page | 50
Gambar 12. Peta Kelas Kelerengan di Lokasi Kegiatan

Gambar 13. Peta Kelas Ketinggian di Lokasi Kegiatan

3. Hidrologi

Dalam perencanaan pemulihan ekosistem, sumber air merupakan kondisi


tapak yang penting, terutama dalam menentukan lokasi persemaian dan

Page | 51
pondok kerja (Perdirjen KSDAE Nomor 12 Tahun 2015). Selama
pelaksanaan kegiatan, tim menjumpai 1 anakan sungai yang terletak
dekat dengan lokasi sampling. Secara geografis, anakan sungai ini
terletak di titik koordinat N 0.751644 E 127.766615 (Gambar 14).
Keberadaan sungai ini tentu akan menunjang kegiatan pemulihan
ekosistem kedepannya, terutama berkaitan dengan lokasi persemaian
dan pondok kerja.

Gambar 14. Peta Letak Anakan Sungai di Lokasi Kegiatan

Gambar 15. Tampak Anakan Sungai di Lokasi Kegiatan

Page | 52
D. Ekosistem Referensi

Dalam menentukan jenis tanaman, ekosistem referensi dapat


menjadi acuan atau contoh ( template ). Ekosistem referensi tidak
hanya berupa ekosistem contoh di dekat areal yang akan dipulihkan,
tetapi juga dapat berupa referensi tertulis, peta, foto udara atau
citra penginderaan jauh yang diambil sebelum areal tersebut
mengalami kerusakan (Perdirjen KSDAE Nomor 12 Tahun 2015).

Selama pelaksanaan kegiatan, tim pelaksana tidak melakukan


identifikasi ekosistem referensi secara langsung. Dengan
mempertimbangkan situasi dan tenaga, serta belum ditemukannya
ekosistem yang masih utuh di dekat lokasi sampling, tim pelaksana
memutuskan untuk menempuh opsi dalam Perdirjen KSDAE Nomor
12 Tahun 2015 terkait penentuan ekosistem referensi melalui studi
pustaka dan wawancara dengan masyarakat setempat terkait jenis
tumbuhan lokal, namun dengan tetap mempertimbangkan jenis asli
kategori tegakan klimaks yang masih dijumpai selama pengambilan
data di lokasi sampling. Adapun jenis asli kategori tegakan klimaks
meliputi Toro ( Ficus spp), Binuang (Duabanga moluccana ), Gofasa
(Vitex cofassus ), Linggua (Peterocarpus spp), dan Samama
(Anthocephalus spp). Kelima jenis tumbuhan ini dapat
dipertimbangkan sebagai jenis terpilih, khususnya untuk rencana
pemulihan ekosistem pada lokasi ini.

E. Jenis Satwa Utama dan Wilayah Jelajahnya

Potensi satwa liar utama di kawasan Taman Nasional Aketajawe


Lolobata adalah satwa burung. Banyak dijumpai jenis burung khas

Page | 53
wallacea. Salah satu kelompok jenis burung yaitu burung paruh
bengkok diantaranya Kakatua putih (Cacatua alba), Kasturi ternate
(Lorius garrulus), dan Nuri bayan (Eclectus roratus).

Satwa burung mempunyai ruang jelajah yang sangat luas. Dengan


adanya sayap, burung dapat dengan mudah berpindah dari satu
tempat ke tempat lainnya. Areal inti jelajah burung terletak pada lokasi
sarang. Pada lokasi sarang, burung sangat intensif dan agresif dalam
melakukan perlindungan terhadap gangguan dan ancaman yang
menyerang lokasi sarangnya.

Burung kakatua putih (Cacatua alba) merupakan satwa prioritas Taman


Nasional Aketajawe Lolobata. Di lokasi kajian pemulihan ekosistem,
sesekali dijumpai jenis burung Kakatua putih (Cacatua alba) terbang
melintas, namun oleh tim pelaksana tidak dijumpai lokasi sarangnya.
Lebih lanjut, selama pelaksanaan kegiatan, burung bidadari halmahera
(Semioptera wallacii) yang merupakan flagship spesies Taman Nasional
Aketajawe Lolobata, tidak dijumpai pada lokasi kajian pemulihan
ekosistem ini (Lampiran 3).

F. Sosial Ekonomi dan Budaya Masyarakat

Desa Tabanalou merupakan salah satu desa penyangga Taman Nasional


Aketajawe Lolobata yang secara administratif pemerintahan, termasuk
dalam wilayah Kecamatan Wasile Selatan, Kabupaten Halmahera Timur.
Desa yang secara geografis terletak di titik koordinat N 0.774910 E
127.778837 ini merupakan desa yang termasuk dalam wilayah kerja
Resort Ake Jawi, SPTN Wilayah III Subaim. Desa Tabanalou sendiri

Page | 54
berbatasan langsung dengan Teluk Kao (arah utara), Hutan Produksi (arah
selatan), Desa Tomares (arah barat), dan Desa Ake Jawi (arah selatan).

Gambar 16. Peta Kecamatan Wasile Selatan (Sumber: BPS Haltim)

1. Sejarah, Pemukiman, dan Tata Guna Lahan

Nama Desa Tabanalou diambil dari bahasa makian yang artinya “Makian
Jauh” karena mayoritas penduduknya berasal dari Makian. Motivasi
suku makian untuk berpindah ke daratan Halmahera Timur karena
wilayah ini sangat menjanjikan untuk berkebun. Bermula pada tahun
1980, 20 Kepala Keluarga asal Desa Siko dan Desa Gafi Kecamatan
Kayoa Kabupaten Maluku Utara yang hijrah ke wilayah Desa Ekor,
tepatnya diantara Desa Pintatu dan Desa Ekor, mulai meniti kehidupan
baru dengan aktivitasnya sehari-hari melakukan penanaman umbi-
umbian untuk menafkahi kehidupan sehari-hari. Pada tahun 1981, atas
persetujuan Kepala Desa Ekor, wilayah Tabanalou akhirnya menjadi RT
09 di Desa Ekor (RPJMDes Tabanalou 2020-2024).

Page | 55
Seiring dengan bergantinya nama Desa Ekor menjadi Desa Nusa Jaya dan
didaulat sebagai ibu kota Kecamatan Wasile Selatan pada tahun 1982, tiga
belas tahun berselang, tepatnya pada tahun 1995, RT 09 (wilayah
Tabanalou) diangkat menjadi dusun Tabanalou dengan kepala dusunnya
bernama Lutfi Abd. Samad. Akhirnya pada awal bulan Desember 2006,
ditandai dengan pemilihan pertama Kepala Desa Tabanalou, Dusun
Tabanalou akhirnya diangkat menjadi desa definitif dengan Kepala Desa
pertamanya adalah Muhammad A. Gani yang memimpin selama dua
periode. Untuk periode 2019-2025 sekarang, Kepala Desa Tabanalou
dijabat oleh Hi. Latif Ismail (RPJMDes Tabanalou 2020-2024).

Pemukiman masyarakat Desa Tabanalou umumnya berada di dataran


rendah (ketinggian 51-150 Mdpl). Lahan datar menjadi pilihan
masyarakat untuk membangun rumah. Rumah masyarakat di Desa
Tabanalou tersebut umumnya didominasi oleh rumah berbahan batu
bata. Namun ada juga beberapa rumah yang berbahan kayu.

Aksesbilitas menuju Desa Tabanalou sudah cukup baik, dengan adanya


jalan aspal sebagai jalan utama. Kendaraan (R2 dan R4) cukup mudah
melalui jalan di Desa Tabanalou ini. Jika berangkat dari Kantor Seksi SPTN
III Wilayah Subaim, dapat ditempuh dalam waktu kurang lebih 2.5 Jam.
Sedangkan dari Ibu Kota Provinsi Maluku Utara, Sofifi dapat ditempuh
dalam waktu 1 Jam 30 Menit untuk sampai ke Desa Tabanalou.

Berdasarkan hasil pengamatan langsung, umumnya penggunaan lahan


di Desa Tabanalou ini diperuntukan untuk pemukiman dan sarana
prasarana lainnya. Namun ada pula penggunaan lahan yang
diperuntukan untuk tanaman hortikultura seperti sayur, cabai, tomat
hingga perkebunan kelapa.

Page | 56
2. Sistem dan Struktur Masyarakat

Masyarakat di Desa Tabanalou umumnya merupakan masyarakat


Transmigrasi Lokal (Makian). Desa Tabanalou terdiri dari 101 KK yang
jumlah penduduknya sebanyak 472 jiwa. Berdasarkan jenis kelamin,
penduduk Desa Tabanalou terdiri dari 243 laki-laki dan 229 perempuan.
Jumlah penduduk Desa Tabanalou secara detail dapat dilihat pada Tabel 9.

Tabel 9. Jumlah Penduduk Desa Tabanalou

Lokasi Kepala Jiwa Jumlah


No
Keluarga Jiwa/RT
Dusun RT Laki-Laki Perempuan
01 26 55 48 103
1 Dusun I
02 25 75 66 141
03 27 60 61 121
2 Dusun II
04 23 53 54 107
Jumlah 101 243 229 472
Sumber: RPJMDes Tabanalou 2020-2024

Tingkat pendidikan masyarakat Desa Tabanalou tergolong cukup baik.


Hal ini terlihat dari sebaran tingkat pendidikan di Desa Tabanalou yang
sebagian besar telah menempuh pendidikan di tingkat SD, SMP, SMA,
dan Perguruan Tinggi. Bahkan tercatat telah ada masyarakat yang telah
menyandang gelar Diploma, Sarjana, dan Magister. Tingkat pendidikan
di Desa Tabanalou dapat dilihat pada Tabel 10.

Tabel 10. Tingkat Pendidikan di Desa Tabanalou


No Tingkat Pendidikan Jumlah Keterangan
1 Akademik/Perguruan Tinggi 62 S2 (2), S1 (48), D3/D2 (12)
2 Mahasiswa 31 Proses
3 Tamatan SMA 49 Tidak Lanjut
4 Belum Tamat SMA 39 Proses
5 Tamatan SMP 25 Tidak Lanjut
6 Belum Tamat SMP 32 Proses
7 Tamatan SD 113 Tidak Lanjut
8 Belum Tamat SD 79 Proses
9 TK/PAUD 7 Proses
10 Belum Sekolah 34 Balita
11 Buta Huruf 1 Tidak Sekolah
Sumber: RPJMDes Tabanalou 2020-2024

Page | 57
Masyarakat Desa Tabanalou secara kepemerintahan, dipimpin oleh satu
kepala desa. Dalam menjalankan kepemerintahannya, kepala desa
dibantu oleh satu sekertaris desa. Kepala desa dipilih secara demokratis
selama periode 5 tahun sekali.

3. Kondisi Sosial Ekonomi dan Budaya Masyarakat

Secara umum kondisi perekonomian masyarakat Desa Tabanalou


tergolong cukup baik. Mayoritas masyarakatnya bermata pencaharian
sebagai petani. Terdapat juga masyarakat yang bekerja sebagai Pegawai
Negeri Sipil dan Karyawan Swasta. Secara detail, jumlah penduduk Desa
Tabanalou berdasarkan pekerjaan dapat dilihat pada Tabel 11.

Tabel 11. Sebaran Penduduk Desa Tabanalou Berdasarkan Pekerjaan


No Pekerjaan Laki-Laki Perempuan Jumlah
1 Petani 80 11 91
2 Karyawan Swasta 9 0 9
3 Pengusaha/Pedagang 1 0 1
4 Pegawai Negeri Sipil 12 13 25
5 Pensiunan PNS/TNI/Polri 2 0 2
6 Pegawai Honorer 4 8 12
7 Tukang Kayu/Bata 1 0 1
8 Ibu Rumah Tangga 0 77 77
9 Belum Bekerja 30 33 63
Sumber: RPJMDes Tabanalou 2020-2024

Untuk sarana perekonomian di Desa Tabanalou, terdapat 1 unit pasar


desa, 2 buah kios kecil dan 1 buah toko sedang. Sedangkan sarana dan
prasarana sekolah hanya tersedia TK/PAUD hingga SMP, tetapi ada
kesadaran mayarakat untuk melanjutkan sekolah anaknya ke desa,
kecamatan, kabupaten hingga kota lainnya. Lebih lanjut, sarana
kesehatan di desa Tabanalou sudah cukup baik yaitu dengan adanya 1
buah Puskesdes. Hal ini mengindikasikan pelayanan kesehatan sudah
dapat terlaksana. Sementara sarana sosial kemasyarakatan lainnya

Page | 58
berupa rumah ibadah untuk masyarakat desa Lolobata yang beragama
Islam berupa masjid telah ada sebanyak 1 buah.

G. Potensi Gangguan dan Ancaman

Secara umum sumber potensi gangguan dan ancaman terhadap upaya


pemulihan ekosistem dapat dikelompokkan ke dalam 3 (tiga) bagian
yaitu: (1) faktor fisik, (2) faktor biologis, dan (3) faktor sosial. Faktor
fisik meliputi hal-hal yang disebabkan oleh daya-daya alam seperti
kekeringan, banjir, api (kebakaran), angin, petir, vulkanisme dan
sebagainya. Faktor biologis meliputi segala bentuk pengaruh terhadap
ekosistem yang disebabkan oleh jasad-jasad hidup seperti hama dan
penyakit, binatang, tumbuh-tumbuhan (invasive alien species). Faktor
sosial, dimana pengaruh kehidupan masyarakat yang memicu
munculnya gangguan dan ancaman berupa perambahan, illegal
logging, perburuan tumbuhan dan satwa, perladangan, pembakaran,
penggembalaan liar dan lain-lain.

Potensi gangguan dan ancaman juga dibedakan menjadi (1) gangguan


eksternal dan (2) gangguan internal. Gangguan eksternal berhubungan
dengan perkembangan lingkungan eksternal di sekitar kawasan, baik
menyangkut perubahan penggunaan dan konversi lahan, dan dinamika
kebijakan/politik. Gangguan internal yang dapat mengancam kegiatan
pemulihan ekosistem meliputi aspek kemantapan kawasan, dan
pengelolaan kawasan yang belum optimal.

Page | 59
Selama pelaksanaan kegiatan, tim pelaksana melakukan identifkasi potensi
gangguan dan ancaman di lokasi kajian pemulihan ekosistem. Hasil
identifkasi potensi gangguan dan ancaman diuraikan sebagai berikut:

1. Faktor Fisik

Dijumpainya bekas tunggak pohon habis terbakar pada beberapa titik


lokasi sampling, mengindikasikan bahwa pernah terjadinya kebakaran
pada lokasi tersebut. Hal ini juga didukung oleh pernyataan salah satu
warga Desa Tabanalou yang dijumpai saat beraktivitas di kebunnya yang
berada di luar kawasan TN Aketajawe Lolobata. Beliau menuurkan
bahwa kebun palanya pernah mengalami kebakaran akibat faktor alam.
Atas dasar inilah, tim pelaksana menyimpulkan bahwa salah satu potensi
gangguan dan ancaman terhadap keberhasilan pemulihan ekosistem
kedepannya berasal dari faktor fisik berupa kebakaran.

2. Faktor Sosial

Salah satu potensi ancaman dan gangguan yang cukup besar berasal
dari faktor sosial. Ditemukannya tunggak pohon bekas tebangan dan
lahan perkebunan yang telah dikelola sejak lama membuktikan bahwa
telah terjadi proses perambahan dan illegal logging pada lokasi ini.
Kedepannya, keberhasilan pemulihan ekosistem dihadapkan pada
tantangan bagaimana merubah mindset masyarakat setempat untuk
tidak merusak hutan dan dapat berpartisipasi aktif dalam menjaga
kawasan TN Aketajawe Lolobata.

Potensi ancaman dan gangguan terhadap keberhasilan pemulihan


ekosistem di Desa Tabanalou yang berasal dari faktor sosial sangatlah
kompleks. Hal ini dikarenakan juga melibatkan warga Desa Pintatu dan

Page | 60
Tomares yang secara sepihak mengklaim kawasan hutannya hingga ke
belakang Desa Tabanalou. Lokasi ini dianggap sebagai hutan adat desa
yang secara turun temurun telah dikelola oleh masyarakat dari kedua
desa tersebut. Sampai saat ini masih terjadi konflik tenurial antara Balai
TN Aketajawe Lolobata dengan Desa Pntatu dan Tomares, sehingga
kedepannya hal ini akan menjadi tantangan tersendiri terhadap
keberhasilan kegiatan pemulihan ekosistem.

Salah satu syarat yang harus dipenuhi dalam kegiatan pemulihan


ekosistem adalah lokasi tapak yang akan dipulihkan harus bersifat clean
and clear. Oleh karena itu, untuk menyikapi kondisi ini, penting untuk
melakukan rekonsiliasi terhadap Desa Pintatu dan Tomares guna
mengoptimalkan kesiapan tapak dan kelembagaan terkait rencana
pemulihan ekosistem di lokasi Desa Tabanalou.

H. Hambatan Dalam Pelaksanaan Kegiatan

Selama pelaksanaan kegiatan kajian pemulihan ekosistem di Desa


Tabanalou, tim pelaksana menjumpai beberapa hambatan, diantaranya:
(1) penolakan warga Desa Tomares terhadap kegiatan kajian pemulihan
ekosistem, dan (2) minimnya informasi yang diterima terkait kepemilikan
lahan di lokasi kajian pemulihan ekosistem. Mengingat masih adanya
konflik tenurial yang belum berakhir, segala bentuk kegiatan oleh pihak
TN Aketajawe Lolobata masih ditolak. Imbasnya adalah ketika tim
membutuhkan informasi penting berkaitan dengan kepemilikan lahan,
informasi yang diterima sangat minim dan terkesan tertutup. Padahal
informasi tersebut cukup penting untuk menunjang kesiapan tapak
dalam rangka pemulihan ekosistem.

Page | 61
I. Rekomendasi Sebagai Pertimbangan Dalam Perumusan
Kebijakan Program Pemulihan Ekosistem

Berdasarkan hasil dan pembahasan yang telah diuraikan di atas, maka


tim pelaksana mencoba merumuskan rekomendasi terkait rencana
pemulihan ekosistem di Desa Tabanalou dengan turut
mempertimbangkan tipologi kerusakan kawasan beserta kompleksitas
faktor sosialnya.

Hasil kajian yang memperoleh tipologi kerusakan kawasan di lokasi


kegiatan termasuk dalam kategori “Rusak Berat”, mengharuskan
pemulihan ekosistem dilakukan dengan cara “Penanaman Total”. Namun
mempertimbangkan kompleksitas faktor sosial yang juga melibatkan
Desa Pintatu dan Tomares, maka perlu dilakukannya rekonsiliasi terlebih
dahulu demi mengoptimalkan kesiapan tapak dan kelembagaannya
dalam rangka rencana pemulihan ekosistem di Desa Tabanalou.

Dalam pandangan tim pelaksana, opsi rekonsiliasi cukup memakan


waktu, biaya, dan tenaga dikarenakan konflik tenurial antara pihak TN
Aketajawe Lolobata dengan kedua desa tersebut belum berakhir,
sehingga menyebabkan segala bentuk kegiatan dari pihak TN Aketajawe
Lolobata masih ditolak hingga sekarang. Oleh karena itu, tim pelaksana
mencoba merekomendasikan beberapa hal yang perlu dipertimbangkan
dalam perumusan kebijakan program pemulihan ekosistem, diantaranya:

1. Lahan terbuka di Desa Tabanalou layak dijadikan lokasi Rencana


Pemulihan Ekosistem. Model pemulihan ekosistem yang perlu
dilakukan adalah kombinasi Penanaman Total (Reboisasi Murni) dan
Pengkayaan Jenis. Penanaman Total (Reboisasi Murni) diperuntukkan
bagi lahan dengan kerapatan rendah. Sementara Pengkayaan Jenis
diperuntukkan bagi lahan-lahan perkebunan (Model Tumpang Sari).

Page | 62
2. Hasil kajian memperoleh jenis tanaman penghasil kayu sebagai jenis
terpilih meliputi Toro (Ficus spp), Binuang ( Duabanga
moluccana ), Gofasa (Vitex cofassus ), Linggua (Peterocarpus
spp), dan Samama (Anthocephalus spp ). Selain kelima jenis
tersebut, jenis kayu besi/ulin juga dapat dipertimbangkan
sebagai tambahan jenis terpilih. Lebih lanjut, Multi Purpose Tree
Species (MPTS) juga dapat menjadi jenis tanaman alternatif
yang dapat dinegoisasikan kepada masyarakat selama proses
rekonsiliasi berjalan.

Dalam pemilihan MPTS, perlu mempertimbangkan fungsinya dalam


mengembalikan kesuburan tanah, jenis lokal yang sesuai dengan
habitatnya, serta jenis unggulan setempat. Atas dasar ini, tim
pelaksana merekomendasikan jenis Pala, Sukun, dan Kenari.
Pemilihan jenis ini dikarenakan memiliki nilai ekonomi yang akan
bermanfaat bagi masyarakat kedepannya. Hal ini juga sejalan dengan
kriteria dalam Perdirjen KSDAE Nomor 12 Tahun 2015 terkait jenis
tumbuhan kunci, yang mana dalam menjamin keberhasilan
pemulihan ekosistem, jenis tumbuhan kunci untuk penanaman dan
pengkayaan harus ditentukan dan disesuaikan dengan tujuan
pemulihan dan pengelolaan, yaitu: (1) pemulihan dan pembinaan
habitat, (2) pemulihan fungsi konservasi tanah dan air, serta (3)
dapat mendukung sosial ekonomi masyarakat sekitar.

Berdasarkan kondisi tapak dan faktor sosial, maka jenis MPTS yang
perlu ditanam memiliki persentase sebesar 70%. Sedangkan jenis
tanaman penghasil kayu yang perlu ditanam memiliki persentase
sebesar 30%.

Page | 63
3. Dalam hal apabila rekonsiliasi tidak mencapai kesepakatan, serta
kebijakan program pemulihan ekosistem tetap akan dijalankan
pada lokasi ini, maka selama pelaksanaan kegiatan nanti,
diharapkan adanya dukungan pengamanan dari TNI/Polri
setempat untuk mengawal kontiunitas program pemulihan
ekosistem di Desa Tabanalou.

4. Menyikapi arahan Direktur Jenderal KSDAE terkait 10 cara (baru)


kelola kawasan konservasi (1 Maret 2018), maka seyogyanya
pemangku kawasan perlu mempertimbangkan unsur “penghargaan
terhadap Hak Asasi Manusia”. Lahan perkebunan di Desa Tabanalou
yang telah dikelola sejak tahun 1984 tersebut, sejatinya telah
terakomodir dalam zona tradisional. Namun hingga kini, legalitas
pengelolaan kawasan dalam wujud perjanjian kerja sama masih
belum terealisasikan. Oleh karena itu, dalam proses rekonsiliasi
kedepannya, opsi perjanjian kerja sama perlu dinegoisasikan kembali
sebagai wujud resolusi konflik tenurial.

5. Menyikapi temuan di lapangan bahwa terdapat juga sebagian kebun


masyarakat yang terletak di zona rimba, maka perlu dilakukan
perubahan zonasi, mengingat kondisi konflik yang belum selesai dan
kebutuhan pengelolaan lainnya.

Page | 64
BAB VI. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil dan pembahasan di atas, maka dapat ditarik


beberapa kesimpulan sebagai berikut:

1. Tipologi kerusakan kawasan di lokasi kajian pemulihan


ekosistem termasuk dalam kriteria “Rusak Berat” dengan
teknik pemulihan ekosistem yang direkomendasikan adalah
“Penanaman Total”. Namun mengingat salah satu syarat
berlangsungnya kegiatan pemulihan ekosistem adalah lahan
yang akan dipulihkan harus bersifat clean and clear, maka perlu
adanya pertimbangan khusus terkait kompleksitas potensi
gangguan dan ancaman yang berasal dari faktor sosial untuk
menentukan opsi terbaik dalam upaya pemulihan ekosistem di
lokasi Desa Tabanalou kedepannya. Dalam hal ini tim pelaksana
merekomendasikan model Penanaman Total (Reboisasi Murini)
dan Pengkayaan Jenis (Model Tumpang Sari).

2. Tipologi kerusakan kawasan di lokasi kajian pemulihan


ekosistem yang termasuk dalam kriteria “Rusak Berat” ini,
dicirikan dengan dijumpainya lahan perkebunan kelapa milik
masyarakat, serta lahan dengan kerapatan rendah yang
umumnya didominasi oleh tumbuhan tingkat bawah berupa
semak belukar dan perdu.

3. Penentuan jenis yang akan ditanam meliputi Toro ( Ficus


spp), Binuang (Duabanga moluccana ), Gofasa (Vitex
cofassus ), Linggua (Peterocarpus spp ), dan Samama
(Anthocephalus spp). Selain kelima jenis tersebut, jenis

Page | 65
kayu besi/ulin juga dapat dipertimbangkan sebagai
tambahan jenis terpilih. Lebih lanjut, Multi Purpose Tree
Species (MPTS) juga dapat menjadi jenis tanaman alternatif
yang dapat dinegoisasikan kepada masyarakat selama
proses rekonsiliasi berjalan. Jenis tanaman MPTS berupa
Pala, Sukun, dan Kenari.

B. Saran

Saran dari kami selaku tim pelaksana diuraikan sebagai berikut:

1. Perlu dilakukan upaya pemulihan ekosistem di Desa Tabanalou.


Namun dalam penyusunan rencana pemulihan ekosistem, perlu
adanya pertimbangan khusus terkait kompleksitas faktor sosial di
lokasi ini, sehingga pengambilan kebijakan kedepannya bersifat
win win solution bagi pihak TN Aketajawe Lolobata maupun pihak
masyarakat yang dalam hal ini bukan hanya berasal dari Desa
Tabanalou saja, namun juga Desa Pintatu dan Tomares.

2. Perlu adanya rekonsiliasi dengan Desa Pintatu dan Tomares


guna mengoptimalkan kesiapan tapak dan kelembagaan terkait
rencana pemulihan ekosistem di lokasi Desa Tabanalou.

3. Keterbatasan tim pelaksana dalam memperoleh data valid iklim


sebagai salah satu faktor pendukung kesiapan tapak, maka perlu
ditindaklanjuti dengan adanya administrasi pendukung dari Balai
Taman Nasional Aketajawe Lolobata sebagai dasar untuk
memperoleh data tersebut di BMKG Ternate. Data Iklim ini akan
digunakan pada saat penyusunan Dokumen Rencana Pemulihan
Ekosistem periode 2020-2024.

Page | 66
DAFTAR PUSTAKA

Adirahmanta, Sadtata Noor; Raduan; As Asri Wahyu U.; M. Arif Setiawan


dan Puji Waluyo. 2016. Rencana Pengelolaan Jangka Panjang Taman
Nasional Aketajawe Lolobata 2016-2025. Balai Taman Nasional
Aketajawe Lolobata, Maluku Utara.

Amliana, R., Prasetyo, Y., Sukmono, A. 2016 Analisis Perbandingan Nilai


NDVI Landsat 7 dan Landsat 8 pada Kelas Tutupan Tajuk di Kota
Semarang. Jurnal Online. Diakses pada 27 Februari 2020.

Arief, A. 2001.Hutan dan Kehutanan. Jakarta. Kanisius.

Barnes, B. V., Donald, R.Z., Shirley, R.D., and Stephen, H. S. 1997. Forest
Ecology. 4th Edition. John Wiley and Sons Inc. New York.

Daniel, T.W., J.A. Helms, F.S. Baker. 1992. Prinsip-Prinsip Silvinatural.


Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Gunawan, 2015. Suksesi Sekunder Hutan Terganggu Bekas Perambahan di


Taman Nasional Gunung Ciremai, Jawa Barat. Pros SemNas Masy
Biodiv Indonesia.Volume 1 No. 7.

Hamilton, L.S dan HLM. N. King. 1988. Daerah Aliran Sungai Hutan Tropika.
Diterjemahkan oleh Krisnawati Suryanata. UGM Press. Yogyakarta.

Heddy, S., S.B. Soemitro, & S. Soekartomo. 1986. Pengantar Ekologi.


Rajawali. Jakarta.

Indriyanto. 2006. Ekologi Hutan. Jakarta: PT Bumi Aksara

Irwan, Z.D. 2003. Prinsip-prinsip Ekologi dan Organisasi Ekosistem


Komonitas dan Lingkungan. Jakarta: PT Bumi Aksara.

Kusuma, C. 1997. Metode Survey Vegetasi. PT. Penerbit Institut Pertanian


Bogor. Bogor.

Page | 67
Lamb, D. 1994. Reforestation of Degraded Tropical Forest Lands in the Asia-
Pasific Region. Journal of Tropical Forest Science.

Miyakawa, Hideki dkk. 2014. Pedoman Tata Cara Restorasi di Kawasan


Konservasi. Direktorat Kawasan Konservasi dan Bina Hutan Lindung.
Direktorat Jendral Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam. Jakarta.

Nawir, A.A., Muniarti dan Lukas Rumboko. 2008. Rehabilitasi Hutan di


Indonesia. CIFOR. Bogor.

Odum, E. 1993.Dasar-Dasar Ekologi. Yogyakarta: UGM Press.

Oldeman, L.R. 1992. The Global Extent of Soil Degradation. In Greenland, D.J.
and Szobolcs, I. (Ed). Soil Resilience and Sustainable Land Use. CAB
International.

Peraturan Menteri Kehutanan No. P.48/Menhut-ll/2014 Tentang Tata Cara


Pelaksanaan Pemulihan Ekosistem Pada Kawasan Suaka Alam (KSA)
dan Kawasan Pelestarian Alam (KPA).

Peraturan Direktur Jenderal KSDAE Nomor: P.12/KSDAE-Set/2015 tentang


Pedoman Tata Cara Penanaman dan Pengkayaan Jenis dalam rangka
Pemulihan Ekosistem Daratan Pada Kawasan Suaka Alam dan
Kawasan Pelesarian Alam.

Rohman, Fatchur, Sumberartha I W. 2001. Petunjuk Praktikum Ekologi


Tumbuhan. JICA: Malang.

Setiadi, Y. 1983. Pengertian Dasar Tentang Konsep Ekosistem. Penerbit


Fakultas Kehutanan IPB. Bogor.

Shukla, R.S. and P.S. Chandel. (1982). Plant Ecology. S. Chand & Company
LTD., Ram Nagar, New Delhi.

Tjitrosoepomo, G. 2002. Taksonomi Tumbuhan (spermatopyta).


Yogyakarta: Gajah Mada University Press

Undang-Undang Republik Indonesia No. 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan.

Page | 68
Wahyudi, M; Puji Waluyo, Gunawan GTP Simanjuntak, Santa Wijaya, Aries
Rafli, Agung Setiya Nugraha, Nadiya Fasha Fawzi. 2019. Rencana
Pemulihan Ekosistem Taman Nasional Aketajawe Lolobata 2019-2021.
Balai Taman Nasional Aketajawe Lolobata, Maluku Utara.

Wiratno. 2018. Sepuluh Cara Baru Kelola Kawasan Konservasi di Indonesia:


Membangun “Organisasi Pembelajar”. Direktorat Jenderal Konservasi
Sumber Daya Alam dan Ekosistem. Jakarta.

Page | 69
LAMPIRAN-LAMPIRAN

Page | 70
Lampiran 1. Surat Tugas Kepala Balai

Page | 71
Page | 72
Lampiran 2.a. Analisis Nilai Penting Tumbuhan (Pohon)

No Nama Ilmiah K (Ind/Ha) KR (%) F FR (%) D DR (%) INP


1 Anthocephalus sp 12.50 8.97 0.28 16.42 0.71 12.72 38.11
2 Canarium sp 1.25 0.90 0.05 2.99 0.04 0.78 4.66
3 Cocos nucifera 86.88 62.33 0.40 23.88 2.87 51.63 137.84
4 Corypha sp 2.50 1.79 0.05 2.99 0.15 2.73 7.51
5 Dillenia sp 0.63 0.45 0.03 1.49 0.04 0.69 2.63
6 Dracontomelon dao 0.63 0.45 0.03 1.49 0.02 0.39 2.33
7 Duabanga moluccana 10.00 7.17 0.30 17.91 0.54 9.80 34.89
8 Ficus sp 3.75 2.69 0.08 4.48 0.17 3.15 10.32
9 Myristica sp 7.50 5.38 0.05 2.99 0.24 4.24 12.61
10 Palaquium obtusifolium 1.25 0.90 0.05 2.99 0.09 1.55 5.43
11 Peterocarpus sp 1.25 0.90 0.03 1.49 0.09 1.63 4.02
12 Pometia Pinata 1.25 0.90 0.05 2.99 0.08 1.44 5.32
13 Vitex cofassus 10.00 7.17 0.30 17.91 0.51 9.25 34.34
Total 139.38 100.00 1.68 100.00 5.56 100.00 300.00

Page | 73
Lampiran 2.b. Analisis Nilai Penting Tumbuhan (Tiang)

No Nama Ilmiah K (Ind/Ha) KR (%) F FR (%) D DR (%) INP


1 Ficus sp 5.00 4.08 0.05 12.50 0.11 4.01 20.59
2 Myristica sp 95.00 77.55 0.18 43.75 2.24 79.08 200.38
3 Peterocarpus sp 5.00 4.08 0.05 12.50 0.12 4.06 20.65
4 Theobroma cacao 12.50 10.20 0.08 18.75 0.22 7.84 36.79
5 Vitex cofassus 5.00 4.08 0.05 12.50 0.14 5.01 21.59
Total 122.50 100.00 0.40 100.00 2.83 100.00 300.00

Page | 74
Lampiran 3. Hasil Inventarisasi Jenis Satwa

No Nama Indonesia Nama ilmiah Jumlah


Burung
1 Perling Maluku Aplonis mysolensis 6
2 Julang Irian Rhyticeros plicatus 4
3 Kakatua Putih Cacatua alba 3
4 Gosong Kelam Megapodius freycinet 2
5 Cekakak Biru Putih Halcyon diops 2
6 Paok Halmahera Pitta Maxima 2
7 Udang Merah Kerdil Ceyx lepidus 1
8 Uncal Ambon Macropygia amboinensis 2
9 Bubuth Goliath Centropus goliath 1
10 Cendrawasih Gagak Lycocorax pyrrhopterus 1
11 Srigunting Lencana Dicrurus bracteatus 2
12 Pergam Boke Ducula basilica 2
13 Cabai Dada Merah Dicaeum erythrothorax 1
14 Kepudang Sungu-Kartula Coracina papuensis 1
15 Burung Madu Hitam Nectarinia aspasia 3
16 Uncal Besar Reinwardtoena reinwardtii 1
17 Nuri Pipi Merah Geoffroyus geoffroyi 2
18 Brinji Emas Ixos affinis 4
Mamalia
19 Rusa Cervus timorensis 3
20 Babi - 1
Herpetofauna (Reptil)
21 Ular Hijau Coklat - 1

Page | 75
Lampiran 4 . Dokumentasi Kegiatan

Tim Pelaksana saat bersiap-siap menuju lokasi bersama personil pengamanan

Tim Pelaksana saat melakukan wawancara bersama Sekdes Tabanalou

Page | 76
Tim Pelaksana saat melakukan briefing sebelum tracking menuju lokasi

Tim Pelaksana saat tracking menuju lokasi

Page | 77
Tim Pelaksana saat mengecek posisi (telah masuk dalam lokasi kegiatan)

Tim Pelaksana saat mencatat data di Tally Sheet

Page | 78
Tim Pelaksana saat mencatat Tally Sheet dan Pengambilan Titik Koordinat

Tim Pelaksana saat mengamati perjumpaan satwa burung

Tim Pelaksana saat menjumpai lahan perkebunan (kelapa)

Page | 79
Tampak rumah kebun milik masyarakat dalam kawasan TNAL

Kebun Baru dan Jalan Tani yang dijumpai di lokasi kegiatan

Page | 80
Tampak pohon kelapa yang berada dalam lokasi kegiatan

Tampak Pohon Pala (Myristica spp) dan Toro (Ficus spp) di Lokasi Kegiatan

Page | 81
Tampak pohon samama (Anthocephalus spp) di Lokasi Kegiatan

Tampak Kebun Kelapa dan Tumbuhan Perdu yang dijumpai di lokasi kegiatan

Page | 82
Tim Pelaksana saat menjumpai papan bekas hasil olahan di lokasi kegiatan

Kondisi Vegetasi di Lokasi Sampling

Page | 83
Page | 84
Page | 85
Page | 86

Anda mungkin juga menyukai