Anda di halaman 1dari 176

POLITIK HUKUM PEMERINTAH TERHADAP KEBIJAKAN PASAR

KERJA FLEKSIBEL DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN


2003 TENTANG KETENAGAKERJAAN

SKRIPSI
Oleh:
Fauzi Nugraha
E1A014142

KEMENTRIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN


UNIVERSITAS JENDRAL SOEDIRMAN
FAKULTAS HUKUM
PURWOKERTO
2020
LEMBAR PENGESAHAN SKRIPSI
Politik Hukum Pemerintah Terhadap Kebijakan Pasar Kerja Fleksibel
Dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan

Oleh :
FAUZI NUGRAHA
E1A014142

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana (S1)


Pada Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman

Diterima dan Disahkan

Pada tanggal,

Pembimbing I Pembimbing II Penguji III

Dr. Siti Kunarti. S.H.,M.H. Dr. Tedi Sudrajat ,S.H.,M.H. H.Supriyanto ,S.H.,M.H.

NIP.196707191992032001 NIP.198004032006041003 NIP. 195812011986011001

Mengetahui
Dekan Fakultas Hukum
Universitas Jenderal Soedirman

Prof. Dr. Ade Maman Suherman, S.H., M.Sc.


NIP. 1967071119951221001
SURAT PERNYATAAN
Saya yang bertandatangan dibawah ini :
NAMA : Fauzi Nugraha
NIM : E1A014142
Judul Skripsi : Politik Hukum Pemerintah Terhadap Kebijakan Pasar Kerja
Fleksibel Dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan.

Menyatakan bahwa skripsi yang saya buat ini adalah betul-betul hasil
karya sendiri dan tidak menjiplak hasil karya orang lain dan semua sumber data
serta informasi yang digunakan telah dinyatakan secara jelas dan dapat diperiksa
kebenarannya.
Apabila dikemudian hari saya terbukti melakukan pelanggaran
sebagaimana dimaksud diatas, maka saya bersedia untuk diberikan sanksi oleh
fakultas.

Purwokerto , November 2020

Fauzi Nugraha
E1A014142
KATA PENGANTAR

Bismillahhirrohmanirrohim
Puji syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT, karena berkat rahmat
serta hidayah-nya saya masih diberikan nikmat sehat, panjang umur, serta nikmat-
nikmat lainnya. Tak lupa kita haturkan sholawat serta salam kepada junjungan
besar Nabi Muhammad SAW, berkat dakwah beliau memberikan perubahan pada
manusia kearah kehidupan yang lebih baik lagi.
Saya tidaklah cakap dan giat mengerjakan skripsi, sehingga mungkin saja
Allah SWT mengintervensi saya dengan segala bantuan dan cobaan yang telah
diberikan, sehingga menjadi cambukan terhadap diri saya untuk segera
menyelesaikan skripsi. Meskipun saya sendiri sadar dengan segala noda dan dosa
tidaklah merasa pantas mendapatkan bantuan dari Allah SWT, akan tetapi saya
merasa sangat dan harus untuk tetap mengucap syukur Alhamdullilah pada-nya.
Penulis akui bahwa skripsi ini masih jauh daripada sempurna, sehingga
memungkinkan untuk diteliti lebih dalam terkait dengan permasalahan yang
penulis angkat pada skripsi ini. Proses pembuatan skripsi ini pun penuh dengan
jasa orangorang disekitar penulis, untuk itulah penulis ingin menyebutkan
beberapa orang yang memiliki andil baik langsung maupun tidak langsung dalam
penyusunan skripsi ini:

1. Prof. Dr. Ade Maman Suherman, S.H., M.Sc, selaku Dekan Fakultas
Hukum Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto beserta
jajarannya;
2. Dr. Siti Kunarti. S.H., M.H selaku dosen pembimbing 1 “Terimakasih
atas kesempatan serta kepercayaan yang telah diberikan kepada saya,
dan terimakasih juga telah berkenan membimbing, memberikan arahan
dan masukan dalam penyusunan skripsi ini”;
3. Dr. Tedi Sudrajat, S.H., M.H., selaku Dosen Pembimbing II. “Sebuah
kebanggan dapat dibimbing oleh bapak, sehingga saya dapat
menyelasaikan skripsi ini”;
4. H. Supriyanto, S.H., M.H., selaku dosen penguji. “Terimakasih atas
kesediaan bapak menjadi dosen penguji saya, kebaikan dan kesabaran
bapak semoga dibalas oleh Allah SWT.”
5. Haedah Faradz S.H., M.H selaku dosen pembimbing akademik.
“Terimakasih atas motivasi, nasehat, dan kesabaran dalam
membimbing saya selama ini”;
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI...........................................................................................i
PENDAHULUAN....................................................................................1
A. Latar Belakang..................................................................................1
B. Perumusan Masalah.........................................................................12
C. Kerangka Teori...............................................................................13
1. Politik Hukum...................................................................................................13
2. Teori Hukum Ketenagakerjaan......................................................................14
3. Teori Fleksibilitas Pasar Kerja.......................................................................17
D. Tujuan Penelitian.............................................................................18
E. Kegunaan Penelitian........................................................................20
BAB II.................................................................................................21
TINJAUAN PUSTAKA...........................................................................21
A. Politik Hukum.................................................................................21
1. Pengertian Politik Hukum...............................................................................21
2. Tujuan Politik Hukum.....................................................................................24
3. Politik Hukum Nasional...................................................................................27
B. Hukum ketenagakerjaan...................................................................30
1. Hukum Ketenagakerjaan................................................................................30
2. Sejarah Hukum Ketenagakerjaan..................................................................44
3. Hubungan Industrial........................................................................................52
4. Pihak-Pihak dan Sarana Dalam Hubungan Industrial................................56
a. Pihak-Pihak didalam Hubungan Industrial...........................................56
b. Sarana Pendukung Hubungan Industrial..............................................60
C. Era Industri 4.0...............................................................................66
1. Era Industri 4.0.................................................................................................66
2. Kebijakan Pasar Kerja Fleksibel....................................................................70
3. Prinsip Pasar Kerja Fleksibel..........................................................................81
4. Tujuan Pasar Kerja Fleksibel.........................................................................84
BAB III................................................................................................91
METODE PENELITIAN.........................................................................91
A. Metode Pendekatan..........................................................................91
B. Pendekatan Masalah.........................................................................91
C. Spesifikasi Penelitian........................................................................92
D. Sumber Bahan Hukum.....................................................................93
E. Metode Pengumpulan Bahan Hukum...................................................94
F. Metode Penyajian Bahan Hukum........................................................94
G. Metode Analisis Bahan Hukum...........................................................95
BAB IV...............................................................................................97
Hasil Penelitian dan Pembahasan..............................................................97
A. Fleksibilitas Pasar Kerja dalam Peraturan Perundang-Undangan
Ketenagakerjaan.............................................................................97
B. Politik Hukum Kebijakan Fleksibilitas Pasar Kerja dalam Peraturan
Perundang-undangan tentang Ketenagakerjaan....................................135
BAB V...............................................................................................163
PENUTUP..........................................................................................163
A. Kesimpulan...................................................................................163
B. Saran...........................................................................................165
DAFTAR PUSTAKA............................................................................166
Buku.................................................................................................166
Jurnal................................................................................................167
Website..............................................................................................168
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Negara hukum merupakan suatu konsep kenegaraan yang hadir

didalam perkembangan masyarakat yunani kuno. Konsep negara hukum

secara embrionik pertama kali dicetuskan oleh Plato dalam bukunya yaitu

nomoi. Dalam nomoi Plato mengemukakan bahwa penyelenggaraan negara

yang baik ialah yang didasarkan pada pengaturan(hukum) yang baik. 1

Pendapat tersebut kemudian dikembangkan oleh muridnya, yaitu Aristoteles.

Aristoteles berpendapat bahwa suatu negara yang baik ialah negara yang

diperintahkan dengan konstitusi dan berkedaulatan hukum.2

Aristoteles mengungkapkan pula ada tiga unsur pemerintahan yang

berkonstitusi, yaitu pertama pemerintahan dilaksanakan untuk kepentingan

umum; kedua pemerintahan dilaksanakan menurut hukum yang berdasarkan

pada ketentuan-ketentuan umum, bukan hukum yang dibuat secara sewenang-

wenang yang menyampingkan konvensi dan konstitusi; ketiga pemerintahan

berkonstitusi berarti pemerintahanan yang dilaksanakan atas kehendak rakyat,

bukan berupa paksaan-tekanan yang dilaksanakan pemerintahan despotik.

Aristoteles mengatakan bahwa konstitusi merupakan penyusunan jabatan

dalam suatu negara dan menentukan apa yang dimaksudkan dengan badan

pemerintahan dan apa akibat dari setiap masyarakat. Selain itu, konstitusi

1
Ridwan HR., Hukum Administrasi Negara, Rajawali Pers , Jakarta, 2014, hlm 2
2
Loc.Cit.
2

merupakan aturan-aturan dan penguasa harus mengatur negara menurut

aturan-aturan tersebut. 3

Konsep negara hukum tersebut jelas masih samar-samar dan

tenggelam dalam waktu yang sangat lama. Pada abad ke-19 secara ekplisit

konsep negara hukum muncul kembali. Konsep tersebut dikemukakan oleh

Frederick Julius Stahl. Menurut Stahl, unsur-unsur negara hukum(rechstaat)

adalah:

1. Perlindungan Hak Asasi Manusia;


2. Pemisahan atau pembagian kekuasaan untuk menjamin hak – hak itu;
3. Pemerintahan berdasarkan peraturan perundang – undangan;
4. Peradilan administrasi dalam perselisihan.4

Indonesia sendiri mengakui secara konstitusional sebagai negara

hukum. Hal ini disebutkan dalam Pasal 1 ayat(3), yang artinya segala

peraturan maupun kebijakan yang dikeluarkan pemerintah haruslah

berdasarkan peraturan perundang-undangan. Dalam Pasal 7 Undang-Undang

Republik Indonesia Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan

Perundang-undang jo Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 15 tahun

2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12

tahun 2011 menyebutkan bahwa tata urutan peraturan perundang-undangan

adalah :

1. Undang-Undang Dasar 1945


2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat
3. Undang-Undang atau Peraturan Pengganti Undang-Undang
4. Peraturan Pemerintah
5. Peraturan Presiden
6. Peraturan Daerah Provinsi
7. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
3
Ibid. hlm 3
4
Loc.Cit
3

Tata urutan tersebut menjelaskan bahwa Undang-Undang Dasar adalah

sebagai Legal Policy atau garis kebijakan resmi tentang hukum yang dianut

oleh Pemerintah Indonesia. Artinya Pemerintah dalam menetapkan suatu

peraturan maupun kebijakan harus sesuai dengan Undang-Undang Dasar.

Berhubungan dengan Perlindungan Hak Asasi Manusia sebagaimana Stahl

mengungkapkan didalam konsep negara hukum, dalam Undang-Undang Dasar

sendiri mengatur mengenai hak bekerja dan mendapatkan penghidupan yang

layak, dimana hak tersebut tercantum didalam pasal 27 ayat(2) Undang-

Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, “ Tiap-tiap warga

negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi

kemanusiaan.

Hak tersebut kemudian dikenal sebagai Hak Konstitusional warga

negara Indonesia, yang seharusnya tidak ada diskriminasi dalam

menjalankannya. Hak konstitusional ini selanjutnya diatur dalam peraturan

perundang-undangan turunan lainnya, seperti UU No 13 Tahun 2003 Tentang

Ketenagakerjaan, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 15 Tahun

2007 tentang Tata Cara Memperoleh Informasi Ketenagakerjaan dan

Penyusunan Serta Pelaksanaan Perencanaan Tenaga Kerja dan peraturan

organik yang bersifat teknis lainnya.

Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 lahir dikarenakan dampak

krisis moneter yang dialami oleh Indonesia dimulai pada tahun 1997 hingga

puncaknya pada tahun 1998 telah menarik perhatian dunia, bahkan organisasi

Internasional semacam International Monetery Fund (IMF) menilai ini


4

masalah serius bagi Indonesia. Dampak yang dirasakan sangat luas, salah

satunya adalah mengenai ketenagakerjaan. Hal ini ditandai dengan

meningkatnya jumlah pengangguran pada tahun 1998 karena banyaknya

Pemutusan Hubungan Kerja yang dilakukan sepihak oleh perusahaan yang

mengalami kebangkrutan akibat adanya krisis moneter.5

Kondisi pasar kerja di Indonesia yang mengalami surplus di sektor

informal di perkotaan juga sangat mempunyai peran yang signifikan. Namun

perlindungan hukum bagi pekerja di sektor informal ini sangat minim. Pada

dasarnya pasar kerja di sektor informal yang ada di perkotaan ini diisi oleh

para migran yang bukan berdomisili berasal dari perkotaan. Mereka bekerja

di Industri kecil yang harus bersaing dengan industri besar yang pada

umumnya berada dalam sektor formal. Industri kecil yang dimaksud biasanya

terjadi di dalam Perusahaan–perusahaan yang belum bisa memberikan upah

sesuai dengan Upah Minimun di perkotaan. Hal tersebut berdampak pada arah

kebijakan pengaturan mengenai Pasar kerja yang menghambat produktivas

Industri dalam menopang kebutuhan pembangungan.

Penjelasan diatas menunjukan perlu adanya hukum yang mengatur

mengenai ketenagakerjaan dalam pembuatannya berdasarkan dengan

Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

yang mana hal ini terwujud dengan adanya Undang-Undang yang mengatur

ketenagakerjaan (Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003) yang mengatur

hubungan antara pekerja/buruh dengan pengusaha/majikan dalam prosesnya

5
Zatermans Rajagukguk, Fleksibilitas Pasar Kerja Versus Perlindungan Tenaga Kerja
Indonesia, Vol. V, No.2, 2010, Pada 09 Maret 2019 Pukul 05.20 WIB
5

menjalankan peran dalam hubungan industrial serta sebagai pelaku dalam

proses pembangunan nasional yang sesuai dengan tujuan Negara yang

tercantum dalam pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945.

Tujuan negara selain tercantum didalam pembukaan Undang-Undang

Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, juga dapat tercantum didalam

Politik hukum nasional yang dipengaruhi oleh beberapa faktor. Salah satunya

mengenai konfigurasi politik hukum yang saling mempengaruhi antara

lembaga eksekutif dan legislatif sebagai reperensentatif dari masyarakat.

Dalam hukum ketenagakerjaan politik hukum pasca dibuatnya Undang-

Undang ketenagakerjaan, ada didalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang

Nasional(RPJPN) yang mempunyai program perencanaan selama 20 tahun

dimulai pada tahun 2005 sampai 2025. Kemudian RPJPN dikhususkan

kembali menjadi Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional(RPJMN)

yang hingga kini mempunyai 4(empat) tahapan.

Lembaga keuangan internasional atau lebih dikenal International

Monetery Fund (IMF) menilai bahwa Indonesia harus menerapkan konsep

Pasar Kerja Fleksibel sebagai solusi akibat terjadinya krisis moneter yang

menyebabkan banyaknya pengangguran yang mengakibatkan macetnya

perputaran modal di Indonesia. International Monetery Fund (IMF) juga

menilai bahwa sistem pasar kerja di Indonesia terlalu kaku dan kebanyakan

Pekerja berada didalam Sektor kerja informal atau sektor tradisional.


6

Fleksibilitas Pasar Kerja adalah sebuah konsep yang dibuat untuk

mengakomodir kebutuhan perpindahan surplus pasar kerja dari sektor

Informal kepada sektor Formal di tataran negara dunia ketiga. Terutama

Indonesia yang mempunyai tenaga kerja yang memiliki jumlah dengan skala

besar.

Fleksibilitas Pasar Kerja merupakan suatu konsep turunan diadakannya

pasar bebas. Konsep tersebut juga bisa dikatakan lahir akibat adanya krisis

moneter yang diakibatkan oleh macetnya perputaran modal. Bank dunia

menilai bahwa pasar kerja fleksibel merupakan solusi dari kakunya sistem

pasar kerja. Kakunya pasar kerja menyebabkan beberapa negara mengalami

krisis moneter yang berkepanjangan, salah satunya Indonesia.

Pasar kerja fleksibel di Indonesia mulai diakomodasikan secara legal

dalam Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2005 Tentang Rencana

Pembangunan Jangka Mengenah Nasional Tahun 2005 – 2009 Bab 23 tentang

Perbaikan Iklim Ketenagakerjaan yang berisi menciptakan fleksibiltas pasar

kerja dengan memperbaiki aturan main ketenagakerjaan yang berkaitan

dengan rekruitment, outsourcing, pengupahan, PHK serta memperbaiki aturan

main yang mengakibatkan perlindungan yang berlebihan. Namun jauh dari itu

pasar kerja fleksibel sudah diterapkan dalam Undang-Undang Nomor 13

Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan. Sebagaimana diketahui bahwa undang-

undang tersebut adalah solusi pasca terjadinya krisis moneter yang dialami

oleh Indonesia.
7

Krisis moneter tersebut memperlihatkan bahwa kondisi pasar kerja di

Indonesia yang tidak stabil. Kondisi tersebut ditandai dengan tidak adanya

penyesuaian pasar kerja pasca krisis moneter hingga terbentuknya Undang –

Undang tentang ketenagakerjaan. Kebutuhan Tenaga Kerja akan lapangan

pekerjaan dengan pengusaha yang membutuhkan tenaga kerja harus di

sesuaikan dengan prinsip supply and demand, dimana pencari kerja/tenaga

kerja dan pemberi kerja/pengusaha berada dalam posisi sejajar, hal ini dapat

dikatakan kedua subjek tersebut dapat menjadi supply and demand. Hal

tersebut jelas merugikan para pencari kerja/tenaga kerja, karena angka serapan

yang sangat minim dikarekan kondisi pasar kerja yang belum stabil akibat

terjadinya krisis moneter.

Angka serapan tenaga kerja yang minim di dalam negeri

mengakibatkan tenaga kerja mencari pekerjaan ke luar negeri karena keadaan

pasar kerja di Indonesia yang tidak seimbang antara supply and demand.

Masalah tersebut jelas menjadi hambatan yang timbul di tengah pembangunan

nasional, karena posisi tenaga kerja sebagai pelaku dan tujuan pembangunan

dalam pembangunan nasional, terkhususnya di bidang pengembangan

ekonomi dan juga sumber daya manusia.

Angka serapan tenaga kerja di Indonesia akan semakin timpang jika

tidak adanya penyesuaian lapangan pekerjaan terhadap tenaga kerja yang terus

bertambah. Bertambahnya tenaga kerja ditandai dengan adanya data dari

Badan Pusat Statistik mengenai perkiraan Bonus Demografi yang akan terjadi

pada tahun 2030 – 2040 yakni jumlah penduduk usia produktif (berusia 15-64
8

tahun) lebih besar dibandingkan penduduk usia tidak produktif (berusia di

bawah 15 tahun dan di atas 64 tahun). Pada periode tersebut, penduduk usia

produktif diprediksi mencapai 64 persen dari total jumlah penduduk yang

diproyeksikan sebesar 297 juta jiwa. Agar Indonesia dapat memetik manfaat

maksimal dari bonus demografi, ketersediaan sumber daya manusia usia

produktif yang melimpah harus diimbangi dengan peningkatan kualitas dari

sisi pendidikan dan keterampilan, termasuk kaitannya dalam menghadapi

keterbukaan pasar tenaga kerja.6

Kondisi tersebut akan berdampak buruk jika pemerintah sebagai

Policy makers tidak membuat aturan yang mempercepat terbentuknya

lapangan pekerjaan yang mengedepankan prinsip Fleksibilitas Pasar Kerja

yang dimana memposisikan para pencari kerja atau tenaga kerja serta pemberi

berada dalam posisi yang sama pada pasar kerja.

Badan pusat statistik mengakatan angka penggangguran pada 2019

akan mengalami penurunan jumlah dari 5.81% pada tahun 2018 menjadi

4.67% pada 2019 hal ini dapat dikatakan kemajuan yang cukup signifikan,

karena dalam 5 tahun terakhir angka pengangguran semakin berkurang. 7 Data

tersebut adalah dampak dari pelaksanaan program perjanjian kerja waktu

tertentu dan juga tumbuhnya pekerja yang bekerja di sektor Informal. Namun

disatu sisi Perjanjian Kerja Waktu Tertentu memiliki rentan waktu maksimal 2

tahun tergantung ada atau tidaknya produksi baru, kegiatan baru atau produk

6
https://www.bappenas.go.id/files/9215/0397/6050/Siaran-Pers-Peer-Learning-and-
Knowledge-Sharing-Workshop.pdf Pada tanggal 22 Mei 2017
7
Data Bps : Masih Ada 7 Juta Orang Nganggur di Indonesia diakses dari
https://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/d-4288074/data--bps-masih-ada-7-juta-
orang-nganggur-di-indonesia, Pada tanggal 05 November 2018 pukul 13.30 WIB
9

tambahan dari perusahaan. Data tersebut tidak serta merta melindungi para

pekerja dalam posisi yang sejajar dengan pengusaha yang ada Indonesia

sebagaimana diatur dalam Undang Undang Republik Indonesia Nomor 13

Tahun 2013. Pada kenyataan Hubungan Kerja tidak bisa dikatakan sebagai

posisi yang sejajar, karena pada dasarnya hubungan antara pekerja dan

pengusaha memiliki unsur Perintah, sehingga hubungan kerja dapat dikatakan

sebagai hubungan yang sub–ordinatif. Masalah tersebut mempertegas

pandangan bahwa tidak seimbangnya kedudukan antara Pekerja/Buruh dan

Pengusaha/Perusahaan.

Kondisi pasar kerja di Indonesia yang mengalami surplus di sektor

informal di perkotaan juga sangat mempunyai peran yang signifikan. Namun

perlindungan hukum bagi pekerja di sektor informal ini sangat minim. Pada

dasarnya pasar kerja di sektor informal yang ada di perkotaan ini diisi oleh

para migran yang bukan berdomisili berasal dari perkotaan. Mereka bekerja

di Industri kecil yang harus bersaing dengan industri besar yang pada

umumnya berada dalam Sektor Formal. Industri Kecil yang dimaksud

biasanya terjadi di dalam Perusahaan – Perusahaan yang belum bisa

memberikan upah sesuai dengan Upah Minimun di perkotaan. Hal tersebut

berdampak pada arah kebijakan pengaturan mengenai Pasar kerja yang

menghambat produktivas Industri dalam menopang kebutuhan

pembangungan.

Penjelasan diatas menunjukan perlu adanya hukum yang mengatur

mengenai ketenagakerjaan dalam pembuatannya berdasarkan dengan


10

Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

yang mana hal ini terwujud dengan adanya Undang-Undang yang mengatur

ketenagakerjaan (Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003) yang mengatur

hubungan antara pekerja/buruh dengan pengusaha/majikan dalam prosesnya

menjalankan peran dalam hubungan industrial serta sebagai pelaku dalam

proses pembangunan nasional yang sesuai dengan tujuan Negara yang

tercantum dalam pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945.

Tujuan negara selain tercantum didalam pembukaan Undang-Undang

Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, juga dapat tercantum didalam

Politik hukum nasional yang dipengaruhi oleh beberapa faktor. Salah satunya

mengenai konfigurasi politik hukum yang saling mempengaruhi antara

lembaga eksekutif dan legislatif sebagai reperensentatif dari masyarakat.

Dalam hukum ketenagakerjaan politik hukum pasca dibuatnya Undang-

Undang ketenagakerjaan, ada didalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang

Nasional(RPJPN) yang mempunyai program perencanaan selama 20 tahun

dimulai pada tahun 2005 sampai 2025. Kemudian RPJPN dikhususkan

kembali menjadi Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional(RPJMN)

yang hingga kini mempunyai 4(empat) tahapan.

Politik hukum pemerintah dalam membentuk suatu peraturan

Perundang – Undangan merupakan kajian yang dapat menganalisis bagaimana

arah kebijakan pemerintah dalam membentuk peraturan perundang –

undangan, baik yang sudah ada maupun yang sedang direncanakan 8. Politik
8
Moh. Mahfud MD, 2011, Politik Hukum di Indonesia, Jakarta, Rajawali Pers, hlm 1.
11

hukum juga harus menyesuaikan kebutuhan masyarakat, karena sifat hukum

itu sendiri yang dinamis mengikuti perkembangan masyarakat. Pada akhirnya

Politik hukum merupakan nilai di dalam suatu tujuan negara, yang dapat di

jadikan arah kebijakan pemerintah yang dapat diuji kebenarannya baik secara

materill maupun formil.

Politik hukum ketenagakerjaan apabila diamati lebih lanjut berada di

dalam pengaturan mengenai perencaan tenaga kerja serta hubungan industrial.

Perencanaan tenaga kerja adalah proses penyusunan rencana ketenagakerjaan

secara sistematis yang dijadikan dasar dan acuan dalam penyusunan

kebijakan, strategi, dan pelaksanaan program pembangunan ketenagakerjaan

yang berkesinambungan, sedangkan hubungan industrial dalam Pasal 1 angka

16 Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 adalah suatu sistem hubungan

yang terbentuk antara para pelaku dalam proses produksi barang dan/atau jasa

yang terdiri dari unsur pengusaha, pekerja/buruh, dan pemerintah yang

didasarkan pada nilai-nilai Pancasila dan Undang- Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945.

Hubungan Industrial (industrial relations) sebagaimana dimaksud

diatas merupakan perkembangan dari istilah hubungan perburuhan (labor

relations). Istilah hubungan perburuhan memberikan kesan yang sempit

seolah –olah. hanya mencangkup hubungan antara pengusaha dan pekerja.

Pada kenyataanya hubungan industrial mencangkup aspek yang sangat luas

yaitu aspek sosial budaya, pisikologi, ekonomi, politik, hukum dan hankamnas
12

sehingga hubungan industrial tidak hanya meliputi pengusaha dan pekerja

saja, namun melibatkan pemerintah dan masyarakat dalam arti luas.9

Negara sebagai policy maker haruslah mengambil titik tengah antara

permasalahan diatas. Karena pada prinsipnya hukum dalam suatu negara harus

memiliki arah kebijakan atau legal policy yang telah disepakati baik secara

internasional maupun nasional. Secara Internasional arah kebijakan dalam

ketenagakerjaan tentu saja melihat program yang di buat oleh World Bank,

International Labour Organitation, dan International Monetery Fund

mengenai Fleksibilitas Pasar Kerja. Secara Nasional arah kebijakan

ketenagakerjaan di Indonesia yang di dalam konstitusi adalah Negara Hukum

harus sesuai dengan peraturan perundang – undangan yang ada, baik di dalam

Undang – Undang, Peraturan Pemerintah, maupun Rencana Pembangunan

yang di buat oleh Pemerintah mengenai ketenagakerjaan, dimana negara

dapat menciptakan pasar kerja yang fleksibel.

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas maka

penulis tertarik meneliti “ POLITIK HUKUM PEMERINTAH

TERHADAP KEBIJAKAN FLEKSIBILITAS PASAR KERJA DALAM

UNDANG – UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2003 TENTANG

KETENAGAKERJAAN ”

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang sebagaimana telah dijabarkan diatas, maka

rumusan masalah yang hendak diteliti adalah :


9
D.Koeshartono dan M.F. Shellyana Junaedi, 2005, Hubungan Industrial Kajian Konsep dan
Permasalahan,penerbitan universitas atma jaya yogyakarta, Cetakan pertama, Yogyakarta,
hlm 2.
13

a. Bagaimana kebijakan Pasar Kerja Fleksibel dalam Peraturan

Perundang-undangan Ketenakerjaan di Indonesia?

b. Bagaimana Politik Hukum Pasar Kerja Fleksibel dalam Peraturan

Perundang-Undangan tentang Ketenagakerjaan?

C. Kerangka Teori

1. Politik Hukum

Politik Hukum menurut Mahfud MD adalah legal policy atau garis

(kebijakan) resmi tentang hukum yang akan diberlakukan baik dengan

pembuatan hukum baru maupun dengan penggantian hukum lama, dalam

rangka mencapai tujuan negara10.

Menurut Satjipto Rahardjo mendefinisikan politik hukum sebagai

aktivitas memilih dan cara yang hendak dipakai untuk mencapai suatu tujuan

sosial dengan hukum tertentu di dalam masyarakat yang cakupannya meliputi

jawaban atas beberapa pertanyaan mendasar yaitu :

a. Tujuan apa yang hendak dicapai melalui sistem yang ada;


b. Cara – cara apa dan yang mana yang dirasa paling baik untuk dipakai
dalam mencapai tujuan tersebut;
c. Kapan waktunya dan melalui cara bagaimana hukum itu perlu diubah
d. Dapatkah suatu pola yang baku dan mapan dirumuskan untuk membantu
dalam memutuskan proses pemilihan tujuan serta cara – cara untuk
mencapai tujuan tersebut dengan baik.11

Politik Hukum itu ada yang bersifat permanen yang di atur dalam

konstitusi seperti pemberlakuan prinsip pengujian yudisial, ekonomi

kerakyatan, keseimbangan antara peninggalan hukum kolonial dengan hukum

nasional, penguasaan sumber daya alam oleh negara, kemerdekaan kekuasaan

10
Moh. Mahfud MD, Loc,Cit
11
Ibid.
14

kehakiman, dan sebagainya atau jangka panjang dan yang bersifat Periodik

yang di sesuaikan dengan perkembangan periode tertentu sebagaimana yang di

cantumkan dalam Program Legislasi Nasional (Proglegnas).12

2. Teori Hukum Ketenagakerjaan

Hukum Ketenagakerjaan atau Labour Law merupakan perkembangan

dari Hukum Perburuhan atau dalam bahasa Belanda disebut arbeidrecht.

Hukum perburuhan atau ketenagakerjaan (Labour Law) adalah bagian dari

hukum yang berkenaan dengan pengaturan hubungan perburuhan baik bersifat

perseorangan maupun kolektif. Secara tradisional, hukum perburuhan terfokus

pada mereka (buruh) yang melakukan pekerjaan dalam suatu hubungan

subordinatif (dengan pengusaha/majikan).

Disiplin hukum ini mencakup persoalan-persoalan seperti pengaturan

hukum atau kesepakatan kerja, hak dan kewajiban bertimbal-balik dari

buruh/pekerja dan majikan, penetapan upah, jaminan kerja, kesehatan dan

keamanan kerja dalam lingkungan kerja, non-diskriminasi, kesepakatan kerja

bersama/kolektif, peran-serta pekerja, hak mogok, jaminan

pendapatan/penghasilan dan penyelenggaraan jaminan kesejahteraan bagi

pekerja dan keluarga mereka.13 Hal tersebut menjelaskan bahwa sebenarnya

Hukum Ketenagakerjaan bukan hanya masuk dalam lingkup hukum perdata

saja, namun Hukum Ketenagakerjaan juga masuk dalam lingkup Hukum

Administrasi Negara.

12
Ibid, hlm 3.
13
Budi Santoso, Pengaturan Mogok Kerja dalam Perspektif Hukum Indonesia dan Malaysia,
jurnal pandectaVolume 6. Nomor 1. Januari 2011
15

Hukum ketenagakerjaan menurut Abdul Khakim adalah peraturan

hukum yang mengatur mengenai hubungan kerja antara pekerja/buruh dan

pengusaha/majikan dengan segala konsekuensinya.14

Sedangkan menurut Soepomo yang dikutip oleh Abdul KhakimHukum

Perburuhan adalah himpunan peraturan – peraturan, baik secara tertulis

maupun tidak tertulis, yang berkeenan dengan kejadian di mana seseorang

bekerja pada orang lain dengan menerima upah15.

Berdasarkan uraian tersebut jika dicermati, hukum ketenagakerjaan

memiliki unsusr – unsur :

a. Serangkaian peraturan yang berbentuk tertulis dan tidak tertulis.


b. Mengatur tentang kejadian hubungan kerja antara pekerja dan
pengusaha/majikan.
c. Adanya orang bekerja pada dan di bawaha orang lain, dengan
mendapat upah sebagai balas jasa.
d. Mengatur perlindungan pekerja/buruh, meliputi masalah keadaan sakit,
haid, hamil, melahirkan, keberadaan organisasi pekerja/buruh, dan
sebagainya.16

Berdasarkan hal tersebut maka dapat disimpulkan bahwa hukum

perburuhan merupakan salah satu komponen hukum yang dirancang dalam

upaya untuk menciptakan hubungan yang harmonis antara buruh dengan

majikan/pengusaha yang pengaturannya harus mengikuti aturan yang dibuat

oleh Pemerintah salah satunya adalah Undang – Undang No 13 Tahun 2003

Tentang Ketenagakerjaan.

Hukum ketenagakerjaan lebih lanjut berbicara mengenai hubungan

industrial. Hubungan Industrial (industrial Relasions) merupakan

14
Abdul Khakim , Dasar – dasar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, Citra aditya Bakti,
cetakan ke-4 edisi revisi, 2014. hlm 5
15
Ibid, hlm 6
16
Ibid
16

perkembangan dari istilah hubungan perburuhan (labor relations). Istilah

hubungan perburuhan memberikan kesan yang sempit seolah –olah. hanya

mencangkup hubungan antara pengusaha dan pekerja. Pada kenyataanya

hubungan industrial mencangkup aspek yang sangat luas yaitu aspek sosial

budaya, pisikologi, ekonomi, politik, hukum dan hankamnas sehingga

hubungan industrial tidak hanya meliputi pengusaha dan pekerja saja, namun

melibatkan pemerintah dan masyarakat dalam arti luas.17

Hubungan industrial adalah suatu sistem hubungan yang terbentuk antara

para pelaku dalam proses produksi barang dan/jasa yang terdiri dari unsur

pengusaha, pekerja/buruh dan pemerintah yang didasarkan pada nilai-nilai

Pancasila dan UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (UUD

N RI 1945). Dari definisi hubungan industrial tampaknya ada tiga pihak, yakni

pekerja/buruh, pengusaha, pemerintah, ini menunjukkan adanya pemerintah

campur tangan dalam hubungan pekerja dan pengusaha. Negara dalam hal ini

diwakili oleh pemerintah yang mempunyai kekuasaan untuk mengatur

hubungan antar masyarakat . Menurut pandangan Soeharto, bahwa negara

berwenang untuk menjaga keselarasan dan keseimbangan antar hak asasi dan

kewajiban asasi. Landasan konstitusi Pasal 28-D ayat (1) yang menyatakan

“setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan perlindungan dan kepastian

hukum yang adil serta pengakuan yang sama di hadapan hukum” dan dalam

Pasal 28-D ayat (2) menyatakan : “setiap orang berhak untuk bekerja serta

17
D.Koeshartono dan M.F. Shellyana Junaedi, Hubungan Industrial Kajian Konsep dan
Permasalahan,penerbitan universitas atma jaya yogyakarta, Cetakan pertama, Yogyakarta,
2005, hlm.2
17

mendapatkan imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan

kerja.”18

3. Teori Fleksibilitas Pasar Kerja

Kondisi Pasar kerja di Indonesia terdiri dari 2 sektor yaitu sektor

Formal (Modern) dan Sektor Informal (Tradisional) dan Pasar Kerja

Pedesaan , dalam kondisi pasar kerja tersebut pasar kerja dibedakan atas

dasar kondisi Perjanjian kerja, upah, dan perlindungan pekerja.

Fleksibilitas Pasar Kerja adalah sebuah institusi dimana pengguna

tenaga kerja (employer) dan pekerja serta pencari kerja bertemu pada

suatu tingkat upah tertentu dimana kedua belah pihak memiliki

keleluasaan masing terhadap perubahan perubahan yang terjadi di dalam

lingkungannya. Di dalam pasar tenaga kerja, interaksi yang bebas di antara

pengguna tenaga kerja (employer) dengan tenaga kerja (pekerja atau

pencari kerja) dipandang sebagai kondisi yang perlu (necessary condition)

bagi pertumbuhan ekonomi. Pengguna tenaga kerja bebas mencari tenaga

kerja sesuai dengan kebutuhan rasional pengguna, sedangkan tenaga kerja

bebas memilih pengguna tenaga kerja yang sesuai dengan kebutuhan

rasional tenaga kerja. Kebutuhan rasional pengguna ditentukan oleh jenis

dan kapasitas produksi yang dibutuhkan sesuai dengan persaingan yang

dihadapinya dalam pasar komoditas. Kebutuhan rasional tenaga kerja

18
Dewa Ayu Febryana Putra Nuryanti dan Putu Gede Arya Sumertayasa, Peran dan Fungsi
Pemerintah dalam Hubungan Imdustrial, Jurnal Hukum Bisnis Fakultas Hukum Universitas
Udayana, hlm. 3
18

ditentukan oleh seberapa jauh pendapatan yang diberikan oleh pengguna

tenaga kerja dapat memenuhi kebutuhan hidupnya19.

Menurut Atkitson Tenaga Kerja Fleksibel (Labour Market

Flexibility) mempunyai 5 jenis yaitu :

a. Fleksibel eksternal, yang merujuk kepada penyesuaian penggunaan


pekerja, atau jumlah pekerja dari pasar ekstemal. Hal ini dapat
dicapai dengan mempekerjakan pekerja pada pekerjaan temporer
atau kontrak kerja waktu tertentu, atau melalui peraturan rekrutmen
dan PHK yang longgar. Dengan kata lain, melonggarkan peraturan
perlindungan pekerja, dimana pengusaha dapat merekrut dan
melakukan PHK agar tetap sesuai dengan kebutuhan perusahaan.
b. Fleksibilitas internal, kadang-kadang disebut juga sebagai jam
kerja fteksibel atau temporal flexibility. Fleksibilitas ini dicapai
dengan menyesuaikan jam kerja atau jadqal pekerja di perusahaan.
Fleksibilitas ini dapat dicapai dengan memperbolehkan pengusaha
menerapkan sistem kerja penggal waktu, shift, dan lembur.
c. Fleksibilitas fungsional, disebut juga fleksibilitas organisasional, di
mana pekerja dapat dipindahkan ke pekerjaan lain di dalam
perusahaan. Termasuk dalam hal ini adalah menggunakan pekerja
outsourcing.
d. Fleksibilitas finansial atau upah, di mana tingkat upah tidak
ditentukan secara kolektif, dan harus ada perbedaan upah
antarpekerja. Hal ini perlu agar segala pengeluaran untuk pekerja
merefleksikan kondisi supply-demand yang sesungguhnya di pasar
kerja. Hal ini dapat dilakukan dengan rate-for-the-job systems, atau
assessment based pay system, atau individual performance wages.
e. Fleksibiltas Lokasi Kerja dimana dapat digunakan untuk
meningkatkan kemampuan perusahaan beradaptasi dengan pasar.20

D. Tujuan Penelitian

Rumusan masalah yang sudah dirumuskan sebelumnya menjadi dasar

dalam penentuan tujuan penelitian ini, maka penelitian ini mempunyai tujuan;

19
Hari Nugroho dan Indrasari Tjandraningsih, Kertas Posisi Fleksibilitas Pasar Kerja dan
Tanggung Jawab Negara, https://media.neliti.com/media/publications/448-ID-fleksibilitas-
pasar-kerja-dan-tanggung-jawab-negara.pdf, di Unduh pada 09 Maret 2019
20
Zatermans Rajagukguk, Fleksibilitas Pasar Kerja Versus Perlindungan Tenaga Kerja
Indonesia, Vol. V, No.2, 2010 di unduh Pada 09 Maret 2019 Pukul 05.20 WIB
19

a. Untuk menjelaskan arah kebijakan dalam penerapan kebijakan

fleksibilitas pasar kerja dalam Undang – Undang Nomor 13 Tahun

2003 tentang Ketenagakerjaan.

b. Untuk menganalisis tentang politik hukum pemerintah dalam

penerapan kebijakan Fleksibilitas Pasar Kerja dalam Undang – Undang

Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.


20

E. Kegunaan Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memiliki manfaat teoritis dan praktis

sebagai berikut :

a. Manfaat Teoritik

Hasil penelitian ini diharapkan mampu memperluas sudut

peneliti serta pembaca pada umumnya, dan penelitian ini diharapkan

akan menambah khazanah di dalam disiplin ilmu hukum

ketenagakerjaan serta pengetahuan terkait dengan Politik Hukum

Ketenagakerjaan dalam era Fleksibilitas Pasar Kerja.

b. Manfaat Praktis

Secara Praktis, penelitian ini diharapkan dapat menjadi tolak

ukur pemerintah dalam melakukan evaluasi terkait dengan politik

hukum peraturan perundang – undangan ketenagakerjaan di era

Fleksibilitas Pasar Kerja.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Politik Hukum

1. Pengertian Politik Hukum

Politik Hukum Pemerintahan merupakan suatu kajian di dalam ilmu

hukum yang terdiri dari dua disiplin ilmu, yaitu ilmu hukum dan ilmu politik,

yang pada akhirnya mengarahkan studi ini untuk menganalisa bagaimana arah

kebijakan pemerintah dalam membentuk peraturan perundang–undangan, baik

yang sudah ada maupun yang sedang di rencanakan. Kebijakan pemerintah di

dalam hal ini merupakan suatu kebijakan publik yang memiliki kaitan dengan

kepentingan masyarakat luas dalam rangka mencapai suatu tujuan sosial

maupun tujuan negara itu sendiri.

Politik Hukum menurut Mahfud MD adalah legal policy atau garis

(kebijakan) resmi tentang hukum yang akan diberlakukan baik dengan

pembuatan hukum baru maupun dengan penggantian hukum lama dalam

rangka mencapai tujuan negara.21 Pada akhirnya dapat disimpulkan bahwa

politik hukum merupakan suatu garis kebijakan hukum yang akan diterapkan

pada suatu negara.22 Dengan demikian politik Hukum menurut Mahfud M.D

memiliki cakupan sekurang – kurangnya memikili tiga hal yaitu :

a. Kebijakan negara (garis resmi) tentang hukum yang akan dicita–


citakan;

21
Moh. Mahfud MD, , Politik Hukum di Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta, 2011, hlm.1
22
Moh. Mahfud MD, Membangun Politik Hukum, Menegakan Konstitusi, Rajawali Pers,
Jakarta, 2011, hlm 4
22

b. Latar belakang politik, ekonomi, sosial, budaya atas lahirnya


politik hukum;
c. Penegakan Hukum di dalam kenyataan.23
Kemudian Pendapat lain tentang Politik Hukum dijelaskan oleh Padmo

Wahjono, yang mengatakan bahwa politik hukum ialah kebijakan dasar yang

menentukan arah, bentuk, maupun isi hukum yang akan di bentuk. 24 Dalam

tulisannya yang lain Padmo Wahjono memperjelas definisi tersebut dengan

mengatakan bahwa politik hukum adalah kebijakan penyelenggara negara

tentang apa yang dijadikan kriteria untuk menghukumkan sesuatu yang di

dalamnya mencakup pembentukan, penerapan, dan penegakan hukum.25

Menurut Satjipto Rahardjo mendefinisikan politik hukum sebagai

aktivitas memilih dan cara yang hendak dipakai untuk mencapai suatu tujuan

sosial dengan hukum tertentu di dalam masyarakat. Cakupannya meliputi

jawaban atas beberapa pertanyaan mendasar yaitu :

a. Tujuan apa yang hendak dicapai melalui sistem yang ada;


b. Cara – cara apa dan yang mana yang dirasa paling baik untuk
dipakai dalam mencapai tujuan tersebut;
c. Kapan waktunya dan melalui cara bagaimana hukum itu perlu
diubah;
d. Dapatkah suatu pola yang baku dan mapan dirumuskan untuk
membantu dalam memutuskan proses pemilihan tujuan serta cara –
cara untuk mencapai tujuan tersebut dengan baik.26
Bellefroid memberikan definisi Politik hukum yakni ilmu yang

menyelidiki perubahan–perubahan apakah yang harus diadakan pada hukum

yang ada sekarang, supaya dapat memenuhi syarat–syarat baru dari hidup

kemasyarakat. Ia melanjutkan perkembangan tertib hukum, dengan mencoba


23
Ibid, hlm 5
24
Padmo Wahjono, Indonesia Negara Berdasarkan Atas Hukum, Ghalia Indonesia, Cetakan
ke II, Jakarta, hlm 60
25
Padmo Wahjono, Menyelisik Proses Terbentuknya Peraturan Perundang –undangan,
26
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti, Cetakan ke V, Bandung, 2000, hlm 352.
23

menjadikan ius constitutum yang diperkembangkan dari stelsel – stelsel

hukum yang lama, menjadi ius contituendum atau hukum untuk masa yang

akan datang.27

Bernard L. Tanya menyatakan bahwa politik hukum hadir di titik

perjumpaan antara realisme hidup dengan tuntutan idealisme. Politik hukum

berbicara tentang apa yang seharusnya yang tidak selamanya identik dengan

apa yang ada. Politik hukum tidak bersikap pasif terhadap apa yang ada,

melainkan aktif mencari tentang apa yang seharusnya. Dengan kata lain,

politik hukum tidak boleh terikat pada apa yang ada, tetapi harus mencari jalan

keluar kepada apa yang seharusnya. Oleh karena itu, keberadaan politik

hukum ditandai oleh tuntutan untuk memilih dan mengambil tindakan. Karena

poltik hukum adalah menyangkut cita-cita/harapan, maka harus ada visi

terlebih dahulu. Visi hukum, tentu harus ditetapkan terlebih dahulu, dan dalam

jalur visi itulah bentuk dan isi hukum dirancang-bangun untuk mewujudkan

visi tersebut. Jadi titik tolak politik hukum adalah visi hukum. Berdasarkan

visi atau mimpi itulah, format bentuk dan isi hukum yang dianggap capable

untuk mewujudkan visi tersebut.28

Politik Hukum itu ada yang bersifat permanen yang di atur dalam

konstitusi seperti pemberlakuan prinsip pengujian yudisial, ekonomi

kerakyatan, keseimbangan antara peninggalan hukum kolonial dengan hukum

nasional, penguasaan sumber daya alam oleh negara, kemerdekaan kekuasaan

27
Abdul Latif dan Hasbi Ali, Politik Hukum, Sinar Grafika, Cetakan pertama, Jakarta, 2010,
hlm 6.
28
Bernard L. Tanya, Politik Hukum: Agenda Kepentingan Bersama, Genta Publishing,
Yogyakarta, hlm. 3.
24

kehakiman, dan sebagainya atau jangka panjang dan yang bersifat Periodik

yang di sesuaikan dengan perkembangan periode tertentu sebagaimana yang di

cantumkan dalam Program Legislasi Nasional (Proglegnas).29

Pada akhirnya pendapat pendapat tersebut mempunyai inti bahwa

politik hukum adalah arah resmi peraturan perundang – undangan yang

dilahirkan dari kontelasi politik yang melatarbelakangin, budaya hukum apa

yang melingkupi, dan prolema penegakan hukum apa yang akan dihadapi.

2. Tujuan Politik Hukum

Politik hukum pada masa sekarang ini sudah menjadi suatu kajian ilmu

yang dapat dijadikan suatu pendekatan atau tool of analysis yang secara

sinergis bekerja secara sistemik dan komprehensif untuk dapat menggali dan

menjelaskan apa sesungguhnya hukum itu dan bagaimana proses – proses

pembentukan hukum itu dapat dijelaskan secara baik.

Mahfud M.D berpendapat mengenai politik hukum adalah legal

policy atau kebijakan tentang arah hukum yang akan diberlakukan oleh negara

untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan, yang dapat mengambil bentuk

sebagai pembuatan hukum baru dan sebagai pengganti hukum yang lama yang

meliputi:

a. Pembangunan Hukum yang berintikan pembuatan dan pembaruan


terhadap materi – materi hukum agar dapat sesuai dengan
kebutuhan;
b. Pelaksanaan ketentuan hukum yang telah ada termasuk penegasan
fungsi lembaga dan pembinaan para penegak hukum.30

29
Moh. Mahfud MD, Op.Cit. hlm 3.
30
Moh. Mahfud MD, Membangun Politik Hukum, Menegakan Konstitusi, ...Op.cit, hlm 16.
25

Pernyataan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa politik hukum

mencakup proses pembuatan dan pelaksanaan hukum yang dapat menunjukan

sifat dan ke arah mana hukum akan dibangun, karena asumsi dasar yang

dibangun adalah hukum sebagai produk politik sehingga karakter isi setiap

produk hukum akan sangat ditentukan atau diwarnai oleh keseimbangan

kekuatan atau konfigurasi politik yang melahirkannya.

Konfigurasi politik adalah susunan atau tata letak atau konstelasi

kehidupan politik yang terdapat pada suatu masa, yang menggambarkan suatu

keadaan politik pada masa, yang menggambarkan suatu keadaan politik pada

masa tersebut serta keterkaitan, relevansi, pengaruh atau arti perntingnya

untuk memhami atau menjelaskan hukum.31

Konfigurasi politik dalam disiplin ilmu politik hukum dibedakan

menjadi dua jenis sistem politik yang ada. Kosfigurasi pertama adalah

konfigurasi politik demokratis yang pada dasarnya mengedepankan

pembuatan kebijakan yang membuka kesempatan (peluang) bagi rakyat

berpatisipasi secara aktif dan penuh dalam menentukan kebijaksanaan hukum.

Partisipasi yang dimaksud adalah pemilihan secara berkala wakil – wakil

rakyat yang didasarkan atas prinsip kesamaan politik, dan diselenggarakan

dalam suasana terjadinya kebebasan politik. Sehingga dalam konfigurasi

politik demokratis menghasilkan kebijakan yang bersifat responsif atau

populis.

Konfigurasi selanjutnya adalah konfigurasi politik otoriter, konfigurasi

otoriter pada dasarnya adalah susunan sistem politik menitik beratkan kepada
31
King Faisal Sulaiman, Politik Hukum Indonesia, Thala Media, Yogyakarta, 2017, hlm 54.
26

peran pemerintah yang sangat besar, atau berperan sangat aktif, serta

mengambil hampir seluruh inisiatif dalam pembuatan kebijaksanaan negara.

Konfigurasi ini ditandai oleh dorongan kekuasaan untuk memaksakan

persatuan, penghapusan oposisi terbuka, dominasi pimpinan negara untuk

menentukan kebijaksaan negara dan dominasi kekuasaan politik yang kekal,

serta dibalik semua itu ada satu doktrin yang membenarkan kekuasaan.

Pengaruh konfigurasi politik dalam menentukan arah suatu kebijakan

tidak selalu absolut, hal ini dikemukakan oleh Mahfud M.D. Menurut Mahfud

M.D selain variabel konfigurasi politik ada variabel lain dalam membentuk

suatu kebijakan. Variabel tersebut ditemukan dalam faktor hubungan

kekuasaan(gezagverhouding).32 Mahfud M.D menemukan adanya intervening

variabel (bisa disebut juga sebagai perantara atau mediator) diantara

independent variabel (konfigurasi politik) dan dependent variabel (karakter

produk hukum).33

Suparman Marzuki menyebutkan bahwa pembuatan produk hukum

tidak pernah bersifat steril, melainkan sarat dengan kepentingan –kepentingan

kelompok, atau kekuatan–kekuatan potensial dalam suatu negara yang

menginginkan kepentingan–kepentingannya dilegalisasi atau diproteksi. 34

Suparman Marzuki juga memiliki kritik atas teori konfigurasi politik ini.

Menurutnya, aktor–aktor yang berkepentingan terhadap undang-undang tidak

hamya aktor negara, tetapi juga non-negara, antara lain pemilik modal. Faktor

32
Moh. Mahfud MD, ...Op.Cit. hlm 27-28.
33
Ibid, hlm 31.
34
Suparman Marzuki, Tragedi Politik Hukum HAM, Pustaka Pelajar,Yogyakarta, 2011, hlm
182.
27

Ekonomi acapkali memainkan peran penting dalam perubahan sosial,

ekonomi, politik, dan hukum.35

Faktor Ekonomi sebagaimana disampaikan Suparman Marzuki,

singkatnya perlu ditempatkan sebagai anasir yang turut dilibatkan ke dalam

relasi antara konfigurasi dengan karakter produk hukum. Dalam kondisi ini

peranan Intervening variable yang dikemukakan oleh Mahfud M.D sangat

penting. Kepentingan ekonomi dari klas-klas yang ada dapat menjadi

intervening variable yang turut memperngaruhi karakter produk hukum,

disamping dari konfigurasi politik hukum.36

Pendapat mengenai politik hukum diatas dapat disimpulkan bahwa,

politik hukum juga dapat mengkritisi produk-produk hukum yang telah

dibentuk, dengan demikian politik hukum menganut prinsip double movement,

yaitu sebagai kerangka pikir merumuskan kebijakan dalam bidang hukum

(legal policy) oleh lembaga negara yang berwenang, dan untuk mengkritisi

produk-produk hukum yang telah diundangkan.

3. Politik Hukum Nasional

Politik hukum nasional sebenarnya tidak lepas dari perdebatan antara

hukum dan politik, dalam praktiknya kebijakan yang dikeluarkan atau hukum

yang dibangun tidak terlepas dari kontelasi politik yang hadir secara nasional.

Hal ini di pengaruhi oleh konfigurasi politik yang ada didalam kontelasi

politik nasional.

35
Ibid, hlm 153
36
Moh. Mahfud MD,...Op.Cit, hlm 40
28

Hukum dikatakan sebagai produk politik adalah benar apabila hukum

didasarkan sebagai das sein sebagai undang – undang. Asumsi dasar hukum

sebagai produk politik dikarenakan pandangan bahwa hukum dipandang

sebagai dependent variable (variabel terpengaruh) dan politik diletakkan

sebagai independent variable (variabel berpengaruh). Peletakan posisi tersebut

mudah dipahami apabila melihat realitas, bahwa pada kenyataannya hukum

dalam artian peraturan yang abstrak (pasal – pasal yang imperatif) merupakan

kristalisasi dari kehendak – kehendak politik yang saling berinteraksi dan

bersaingan.37

Menurut Mahfud M.D dalam hubungan tolak – tarik antara hukum dan

politik, maka hukumlah yang terpengaruh oleh politik, karena subsistem

politik memiliki konsentrasi energi yang lebih besar dibandingkan hukum. 38

Namun pada penelitian lebih lanjut Mahfud M.D menemukan adanya

intervening variabel (bisa disebut juga sebagai perantara atau mediator)

diantara independent variabel (konfigurasi politik) dan dependent variabel

(karakter produk hukum).

Bagan 1. Variabel politik hukum

Variabel bebas Variabel Variabel


(Independent Perantara terpengaruh(dep
Variablei) (Intervening endent variable)
variable)
Perkembangan politik hukum nasional dapat dilihat dari segi

konfigurasi politik di Indonesia mengalami tolak-tarik antara demokratis dan

37
Moh. Mahfud MD, Membangun Politik Hukum, Menegakan Konstitusi,... Op.Cit, hlm 8
38
Ibid, hlm 3.
29

otoriter, hal ini juga berpengaruh terhadap karakter produk hukum yang lahir

akibat konfigurasi politik. Konfigurasi politik demokratis memiliki

keterbukaan partisipasi rakyat dalam menentukan arah kebijakan melalui

wakil – wakilnya yang didasarkan atas prinsip – prinsip kesamaan politik yang

diselenggarakan, sehingga menimbulkan persepektif adanya kebebasan politik

dan karakter produk hukum yang responsif atau populis. Sedangkan dalam

konfigurasi politik otoriter berlaku kebalikannya yaitu peran pemerintah

sangat signifikan sehingga kekusaan politik di kuasai secara kekal dan

kekuasaan terkonsentrasi secara masive oleh pemerintah, dan hal ini

menimbulkan perspektif bahwa tidak adanya kebebasan politik dalam suatu

negara, produk hukum yang lahir pun bersifat konservatif atau ortodok atau

elitis. 39

Politik hukum nasional yang ada di Indonesia sendiri, pada dasarnya

dilandasi oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945.

Namun pada praktiknya politik hukum nasional di Indonesia sangat

dipengaruhi oleh konfigurasi politik. Sejarah mencatat konfigurasi politik

yang hadir di Indonesia secara nasional, terus mengalami tolak-tarik antar

masing-masing faktor kepentingan yang ada di Indonesia, baik itu secara

sosial, ekonomi, politik maupun kebudayaan hukum adat yang dianut oleh

sebagian rakyat Indonesia. Tapi secara umum konfigurasi politik hukum

nasional dibagi menjadi empat tahap. Yaitu pada masa revolusi fisik rezim

Soekarno, kemudian masa orde lama, dilanjutkan masa orde baru pada rezim

Soeharto yang sangat kental dengan kebijakan-kebijakan pro-investasi yang


39
Bernard L. Tanya Op.Cit., hlm. 22
30

didukung oleh kekuasaan penuh atas peraturan perundang-undangan,

kemudian yang terakhir adalah pada masa pasca reformasi, yang sarat akan

banyaknya kebijakan yang bertujuan untuk memperbaiki iklim investasi.

B. Hukum ketenagakerjaan

1. Hukum Ketenagakerjaan

Ketenagakerjaan merupakan suatu konsep kerja yang berkembang

seiring berkembangannya masyarakat. Sistem ketenagakerjaan dapat dilihat

dari bagaimana manusia menguasai manusia lainnya. Sistem ini dimulai pada

peralihan antara zaman Komunal Primitif ke arah zaman Perbudakan. Pada

masa komunal primitif sistem ketenagakerjaan tidak memproduksi apapun

untuk dijual maupun dijadikan komoditas utama di masyarakat, hal ini

ditengarai karena masyarakat komunal primitif memproduksi barang hanya

untuk kelompok ataupun komunal mereka sendiri yang bercorak berburu dan

meramu bahan produksi.

Pada peralihan perkembangan corak masyarakat selanjutnya di tandai

dengan adanya perbudakan. Budak pada masa itu adalah mereka yang

mengalami kekalahan perang dengan komunal lainnya. Dan dimana ini pula

terjadi adanya Pembetukan Strata sosial di masyarakat antara Budak dan

Pemilik Budak. Pemilik budak pada masa itu adalah orang – orang yang

memiliki modal yang lebih banyak dibandingkan masyarakat lainnya. Mereka

pula dapat memproduksi barang untuk dijual kepada masyarakat lainnya atau

membangun monumen untuk mereka sendiri.


31

Hukum perburuhan muncul pertama kali di Eropa sebagai reaksi atas

perubahan – perubahan yang dimunculkan dengan adanya Revolusi Industri

serta penemuan mesin tenaga uap di Inggris sekitar 1750, dimana penemuan

mesin tenaga uap tersebut membuka peluang produksi barang/jasa dalam skala

yang lebih besar dibanding sebelum ditemukannya mesin uap. Hal ini pun

menjadi tonggak kebudayaan industri feodal yang bercorak agrikultur, pada

masa itu pekerja/buruh tani memproduksi barang maupun jasa mereka kepada

bangsawan atau tuan tanah maupun ke era Industri Kapital.

Hukum Ketenagakerjaan atau Labour Law merupakan perkembangan

dari Hukum Perburuhan atau dalam bahasa Belanda disebut arbeidrecht.

Hukum perburuhan atau ketenagakerjaan (Labour Law) adalah bagian dari

hukum yang berkenaan dengan pengaturan hubungan perburuhan baik bersifat

perseorangan maupun kolektif. Secara tradisional, hukum perburuhan terfokus

pada mereka (tenaga kerja) yang melakukan pekerjaan dalam suatu hubungan

subordinatif (dengan pengusaha/majikan).40

Disiplin hukum ini mencakup persoalan-persoalan seperti pengaturan

hukum atau kesepakatan kerja, hak dan kewajiban bertimbal-balik dari

buruh/pekerja dan majikan, penetapan upah, jaminan kerja, kesehatan dan

keamanan kerja dalam lingkungan kerja, non-diskriminasi, kesepakatan kerja

bersama/kolektif, peran-serta pekerja, hak mogok, jaminan

pendapatan/penghasilan dan penyelenggaraan jaminan kesejahteraan bagi

pekerja dan keluarga mereka.

40
R. Joni Bambang, Hukum Ketenagakerjaan, Pustaka Setia, 2013 hlm. 46
32

Hukum ketenagakerjaan menurut Abdul Khakim adalah peraturan

hukum yang mengatur mengenai hubungan kerja antara pekerja/buruh dan

pengusaha/majikan dengan segala konsekuensinya.41 Sedangkan menurut

Soepomo yang dikutip oleh Abdul Khakim Hukum Perburuhan adalah

himpunan peraturan – peraturan, baik secara tertulis maupun tidak tertulis,

yang berkenaan dengan kejadian di mana seseorang bekerja pada orang lain

dengan menerima upah42.

Berdasarkan uraian tersebut jika dicermati, hukum ketenagakerjaan

memiliki unsur – unsur :

a. Serangkaian peraturan yang berbentuk tertulis dan tidak tertulis.


b. Mengatur tentang kejadian hubungan kerja antara pekerja dan
pengusaha/majikan.
c. Adanya orang bekerja pada dan di bawah orang lain, dengan
mendapat upah sebagai balas jasa.
d. Mengatur perlindungan pekerja/buruh, meliputi masalah keadaan
sakit, haid, hamil, melahirkan, keberadaan organisasi
pekerja/buruh, dan sebagainya.43
Berdasarkan hal tersebut maka dapat disimpulkan bahwa hukum

ketenagakerjaan merupakan salah satu komponen hukum yang dirancang

dalam upaya untuk menciptakan hubungan yang harmonis antara pekerja

dengan majikan/pengusaha yang pengaturannya harus mengikuti aturan yang

dibuat oleh Pemerintah salah satunya adalah Undang – Undang No 13 Tahun

2003 Tentang Ketenagakerjaan.

Problematika hukum ketenagakerjaan di Indonesia terjadi karena

adanya ketidak harmonisan hubungan antara Pekerja – Perusahaan/Pengusaha

41
Abdul Khakim , Dasar – dasar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, Citra aditya Bakti,
cetakan ke-4 edisi revisi, 2014. hlm. 4
42
Ibid, hlm 5
43
Ibid, hlm 6
33

dan Negara. Hubungan tersebut kemudian dikenal dengan hubungan industrial

(industrial Relasions) yang merupakan perkembangan dari istilah hubungan

perburuhan (labor relations). Istilah hubungan kerja memberikan kesan yang

sempit seolah–olah hanya mencangkup hubungan antara pengusaha dan

pekerja. Pada kenyataanya hubungan antara pekerja dan pengusaha tidak

hanya sampai ditahap hubungan kerja saja, namun lebih jauh dari itu

hubungan kerja mencangkup aspek yang sangat luas yaitu aspek sosial

budaya, pisikologi, ekonomi, politik, hukum dan hankamnas sehingga

hubungan industrial tidak hanya meliputi pengusaha dan pekerja saja, namun

melibatkan pemerintah dan masyarakat dalam arti luas.44

Sumber Hukum adalah segara sesuatu yang menimbulkan aturan –

aturan yang mengikat dan memaksa, sehingga apabila aturan – aturan itu

dilanggar akan menimbulkan sanksi yang tegas dan nyata bagi pelanggarnya. 45

Sumber hukum menurut hans kelsen bukan hanya istilah yang dipergunakan

untuk menyebut metode – metode pembentukan hukum (kebiasaan dan

undang – undang yang dibuat oleh tindakan – tindakan yudikatif dan

administratif serta transaksi – transaksi hukum), tetapi juga digunakan untuk

menetapkan landasan nagi validitas hukum dan khususnya landasan validitas

undang – undang.46

Dalam Sistem peraturan perundang – undangan di Indonesia

penjelasan mengenai sumber hukum tertuang dalam Ketetapan Majelis


44
D.Koeshartono dan M.F. Shellyana Junaedi, Hubungan Industrial Kajian Konsep dan
Permaslahan,penerbitan universitas atma jaya yogyakarta, Cetakan pertama, Yogyakarta,
2005, hlm 2
45
R. Soeroso, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta, Sinar grafika, 2009, hlm. 117.
46
Hans Kelsen, General Theory of Law and State, New York, Russel and Russel, 1971, hlm
188
34

Permusyarawatan Rakyat Republik Indonesia Nomor III/MPR/2000 Tahun

2000 Tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang –

Undangan Pasal 1 menyebutkan.

a. Sumber hukum adalah sumber yang dijadikan bahan untuk


penyusunan peraturan perundang-undangan.
b. Sumber hukum terdiri atas sumber hukum tertulis dan tidak
tertulis.
c. Sumber hukum dasar nasional adalah Pancasila sebagaimana yang
tertulis dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, yaitu
Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab,
Persatuan Indonesia, dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta dengan
mewujudkan suatu Keadilan sosial bagi seluruh Rakyat Indonesia,
dan batang tubuh Undang-Undang Dasar 1945.

Kemudian mengenai sumber hukum dalam peraturan perundang –

undangan tertuang di dalam Undang – Undang Nomor 12 Tahun 2011 jo

Undang – Undang Nomor 15 Tahun 2019 tentang Pembentukan Peraturan

Perundang – undangan Pasal 2 “ Pancasila merupakan sumber dari segala

sumber hukum” dan Pasal 3 ayat (1) “ Undang – Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945 merupakan hukum dasar dalam Peraturan

Perundang-undangan.

Sumber hukum ketenagakerjaan menurut para ahli dibagi menjadi

dua, yaitu sumber hukum materiil dan sumber hukum formil. Sumber hukum

ketenagakerjaan dalam arti materiil adalah sumber hukum yang menentukan

isi hukum(perasaan/keyakinan individu dan pendapat umum yang membentuk

dan menentukan isi hukum).47

47
Asri Wijayanti. 2005 Hukum Ketenagakerjaan Pasca Reformasi, Jakarta Sinar Grafika, 2009
hlm. 25
35

Sumber hukum ketenagakerjaan dalam arti formil (tempat atau sumber

asal suatu peraturan memperoleh kekuatan hukum). Menurut Soedikno

Mertokusumo Sumber hukum formil merupakan tempat atau sumber suatu

peraturan memperoleh kekuatan hukum.48 Adapun dari macam sumber hukum

formil adalah :

a. Peraturan perundang – undangan

Peraturan Perundang–undang yang menjadi sumber hukum

ketenagakerjaan di Indonesia pasca kemerdekaan sesuai dengan

hierarki peraturan perundang-undangan pasal 7 Undang-Undang

Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-

Undangan jo Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 Tentang

Perubahan Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan

Peraturan Perundang-Undangan adalah :

1. Undang – Undang Dasar 1945


2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
3. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang;
4. Peraturan Pemerintah;
5. Peraturan Presiden;
6. Peraturan Daerah Provinsi;
7. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota

b. Kebiasaan

Kebiasaan adalah perbuatan manusia yang dilakukan berulang

– ulang dan diterima oleh masyarakat, sehingga tindakan yang

berlawanan dengan kebiasaan tersebut dianggap pelanggaran hukum. 49

48
Ibid, hlm. 26
49
Loc.Cit
36

Berkembangannya hukum kebiasaan dalam bidang ketenagakerjaan

disebabkan beberapa hal berikut :

1. Perkembangan permasalahan ketenagakerjaan jauh lebih


cepat dari perundang – undangan yang ada;
2. Banyak peraturan yang dibuat zaman Hindia Belanda
contohnya adalah Kitab Undang – Undang Hukum Perdata
yang tidak lagi sesuai dengan keadaan ketenagakerjaan
sesudah Indonesia Merdeka.50
c. Yurisprudensi

Yurisprudensi dalam sumber hukum ketenagakerjaan adalah

putusan yang dikeluarkan oleh sebuah panitia penyelesaian sengketa

ketenagakerjaan yaitu :

1. Putusan P4P (Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Pusat) ;

2. Putusan P4D (Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan

Daerah).

Serta putusan yang dikeluarkan dalam perundingan penyelesaian

perselisihan hubungan industrial dapat dilakukan melalui jalur yuridis

(ligitasi) dan nonyuridis (nonligitasi), seperti bipartit, arbitrase, konsiliasi

dan mediasi serta pengadilan hubungan industrial.51

d. Perjanjian

Istilah Perjanjian tidak dikenal dalam KUH Perdata, istilah

verbitenis apabila diterjemahkan mempunyai arti Perikatan yang diatur

dalam Pasal 1233, kemudian Pasal 1212 diinterpretasikan dengan

persetujuan atau overeenkomst.52 Perjanjian yang di maksud adalah

perjanjian kerja dan perjanjian kerja bersama dimana pada prinsipnya


50
R. Joni Bambang. Op.Cit, hlm.77
51
Ibid, hlm 78.
52
Ibid.
37

pernjanjian mempunyai kekuatan hukum mengikat seperti undang –

undang.53

Perjanjian dalam hukum Ketenagakerjaan salah satunya adalah

perjanjian kerja. Perjanjian kerja dalam KUH Perdata Pasal 1601 (a)

memiliki penjelasan ialah suatu perjanjian di mana seseorang mengikatkan

diri untuk bekerja pada orang lain dengan menerima imbalan berupa upah

sesuai dengan syarat – syarat yang dijanjikan atau disetujui bersama.54

Sedangkan menurut Pasal 1 angka 14 Undang – Undang Nomor 13

Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan bahwa “Perjanjian kerja adalah

perjanjian antara pekerja/buruh dengan pengusaha atau pemberi kerja yang

memuat syarat – syarat yang dijanjian atau disetujui bersama”.

Undang – Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan

menegaskan bahwa suatu perjanjian kerja harus memenuhi empat (4)

syarat sebagai berikut :

1. Kesepakatan kedua belah pihak;


2. Kemampuan atau kecakapan melakukan perbuatan hukum;
3. Adanya pekerjaan yanng diperjanjikan;
4. Pekerjaan yang diperjanjikan tidak bertentangan dengan
ketertiban umum, kesusilaan, dan peraturan perundang –
undangan lainnya.55
Perjanjian kerja antara pekerja/buruh dengan pengusaha

didalamnya memuat Perjanjian Kerja Waktu Tertentu(PKWT) dan

Perjanjian kerja Waktu Tidak Tentu (PKWTT). 56 Perjanjian lainnya di

dalam Hukum

53
Asri Wijayanti, Op.Cit hlm 26
54
Ibid.
55
Ibid hlm 27.
56
Ibid hlm 30.
38

Ketenagakerjaan adalah Perjanjian Kerja Bersama, berdasarkan

pasal 1 angka 21 UU ketenagakerjaan, perjanjian kerja bersama adalah

perjanjian yang merupakan hasil perundingan antara serikat pekerja/serikat

buruh atau beberapa serikat pekerja/serikat buruh yang tercatat pada

instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan dengan

pengusaha, atau beberapa pengusaha atau perkumpulan pengusaha yang

memuat syarat – syarat kerja, hak dan kewajiban kedua pihak.

e. Traktat

Sumber Hukum selanjutnya adalah traktat. Traktat adalah

kesepakatan Internasional baik bilateral maupun multilateral yang

melahirkan kaidah – kaidah hukum bagi suatu negara membuat peraturan

perundang – undangan di bidang ketenagakerjaan. Adapun traktat tersebut

diantaranya :

1. Konvensi International Labour Organitation Nomor 100 mengenai

pengupahan yang sama antara pekerja pria dan wanita tanpa

membedakan gender. Yang kemudian diratifikasi oleh Pemerintah

Republik Indonesia melalui Undang-undang Nomor 8 tahun 1957.

2. Konvensi International Labour Organitation Nomor 120

tentang hygie dalam industri perniagaan dan perkantoran yang

selanjutnya juga diratifikasi oleh Pemerintah republik Indonesia

melalui Undang-undang Nomor 3 tahun 1969.

3. Konvensi International Labour Organitation Nomor 155 tahun

1981 tentang kewajiban dalam penyelenggaraan program K3.57


57
R. Joni Bambang, Op.Cit. hlm.79
39

f. Doktrin

Secara umum adalah suatu ajaran dari seorang ahli hukum.

Seorang ahli, yakni seorang yang oleh dunia internasional sudah diakui

keahliannya dalam lapangan hukum. Biasanya ahli itu menjadi terkenal

karena buah pemikirannya bermutu tinggi. Menurut R. Soeroso, doktrin

adalah pendapat para sarjana hukum terkemuka yang besar pengaruhnya

terhadap hakim, dalam pengambilan keputusannya.58 Sudikno

Mertokusumo juga menjelaskan bahwa doktrin adalah pendapat para

sarjana hukum yang menjadi sumber hukum, tempat hakim dalam

menemukan hukumnya.59 Seringkali terjadi bahwa hakim dalam

memutuskan perkara yang diperiksanya menyebutkan doktrin atau

pendapat para sarjana hukum tertentu sebagai dasar pertimbangannya.

Doktrin yang belum digunakan hakim dalam mempertimbangkan

keputusannya belum merupakan sumber hukum formil. Jadi, untuk dapat

menjadi sumber hukum formil doktrin harus memenuhi syarat tertentu

ialah doktrin yang telah menjelma menjadi putusan hakim.

Berikut ini adalah beberapa contoh doktrin yang dijadikan sumber

hukum di dunia :

1. Doktrin mazhab sejarah dan kebudayaan

Dokrin yang dipelopori oleh Friedrich Karl von Savigny (1779-

1861), seorang Jerman yang berpendapat bahwa hukum merupakan

58
Soeroso, Pengantar Ilmu Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2014, hlm. 36
59
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Liberti, Yogyakarta, 2005, hlm.
47
40

perwujudan dari kesadaran hukum masyarakat (volksgeit). Semua

hukum berasal dari adat istiadat dan kepercayaan dan bukan berasal

dari pembentukan undang-undang.

2. Doktrin aliran utilitarianisme

Doktrin yang dipelopori oleh Jeremy Bentham (1748-1832),

berpendapat bahwa manusia bertindak untuk memperbanyak

kebahagiaan dan mengurangi penderitaan. Setiap kejahatan harus

disertai dengan hukuman yang sesuai dengan kejahatan tersebut dan

hendaknya penderitaan yang dijatuhkan tidak lebih dari apa yang

diperlukan untuk mencegah terjadinya kejahatan. Pembentuk hukum

harus membentuk hukum yang adil bagi segenap warga masyarakat

secara individual.

3. Doktrin aliran sosiologikal yurisprudensi

Doktrin yang dipelopori oleh Eugen Ehrlich (1826-1922),

Ehrlich berpendapat bahwa hukum positif hanya akan efektif apabila

selaras dengan hukum yang hidup dalam masyarakat. Pusat

perkembangan dari hukum bukanlah terletak pada badan legislative,

keputusan badan yudikatif ataupun ilmu hukum, tetapi justru terletak

dalam masyarakat itu sendiri.

4. Doktrin aliran realisme hukum

Doktrin yang diprakarsai oleh Karl Llewellyn (1893-1962),

Jerome Frank (1889-1957), Justice Oliver Wendell Holmes (1841-


41

1935), ketiga orang tersebut berpendapat bahwa para hakim tidak

hanya menemukan hukum, tetapi bahkan membentuk hukum.60

Pembangunan nasional dilaksanakan dalam rangka pembangunan

manusia seutuhnya yang bertujuan untuk menyejahterakan baik materil

maupun spirituil. Pembangunan tersebut juga didorong dengan pemberdayaan

dan pendayagunaan tenaga kerja yang maksimal.

Pemberdayaan dan pendayagunaan tenaga kerja dimaksudkan untuk

dapat memberikan kesempatan kerja seluas – luasnya bagi tenaga kerja

Indonesia. Selanjutnya, tenaga kerja indonesia diharapkan dapat berpartisipasi

secara optimal dalam pembangunan nasional, tetapi dengan tetap menjunjung

tinggi nilai – nilai kemanusiaan. Dengan demikian, tujuan pembangunan

ketenagakerjaan adalah menjadikan tenaga kerja Indonesia sebagai subjek

pembangunan, bukan menjadikan tenaga kerja Indonesia menjadi objek

pembangunan.

Hukum Ketenagakerjaan pada awalnya adalah sarana pemberdayaan,

pemberdayagunaan, perlindungan serta penyejahteraan bagi tenaga kerja

dalam hubungan kerja. Karena dalam hubungan kerja tersebut ada hubungan

yang secara sifat memiliki hubungan yang sub – ordinatif antara pengusaha

dan pekerja. Meskipun pada asasnya hubungan antara pekerja dan pengusaha

memiliki kedudukan yang sama.

Pasal 3 Undang- Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang

Ketenagakerjaan menegaskan bahwa pembangunan ketenagakerjaan

diselenggarakan atas asas keterpaduan melalui koordinasi fungsional lintas


60
Soeroso, Op.Cit. hlm. 37
42

sektoral pusat dan daerah. Asas pembangunan ketenagakerjaan pada dasarnya

sesuai dengan asas pembangunan nasional, khususnya asas demokrasi, asas

adil, dan merata. Hal ini dilakukan karena pembangunan ketenagakerjaan

menyangkut multidimensi dan terkait dengan berbagai pihak, yaitu antara

pemerintah, pengusaha, dan pekerja atau buruh. Oleh karena itu,

pembangunan ketenagakerjaan dilakukan secara terpadu dalam bentuk kerja

sama yang saling mendukung.

Berdasarkan Undang – Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang

ketenagakerjaan Pasal 4 menyebutkan bahwa pembangunan ketenagakerjaan

bertujuan :

a. Memberdayakan dan mendayagunakan tenaga kerja secara optimal dan


manusiawi;
b. Mewujudkan pemerataan kerja dan penyediaan tenaga kerja yang
sesuai dengan kebutuhan pembangunan nasional dan daerah;
c. Memberikan perlindungan kepada tenaga kerja dalam mewujudkan
kesejahteraan; dan
d. Meningkatkan kesejahteraan tenaga kerja dan keluarganya.

Dokrin mengenai tujuan hukum ketenagakerjaan salah satunya

menurut Manulang. Manulang berpendapat tujuan hukum ketenagakerjaan

ialah:

a. untuk mencapai atau melaksanakan keadilan sosial dalam bidang


ketenagakerjaan;
b. untuk melindungi tenaga kerja terhadap kekuasaan yang tidak
terbatas dari pengusaha.
Butir (a) lebih menunjukkan bahwa hukum ketenagakerjaan harus

menjaga ketertiban, keamanan, dan keadilan bagi pihak-pihak yang terkait

dalam proses produksi, untuk dapat mencapai ketenangan bekerja dan

kelangsungan berusaha. Adapun butir (b) dilatarbelakangi adanya pengalaman


43

selama ini yang sering kali terjadi kesewenang-wenangan pengusaha terhadap

pekerja atau buruh. Untuk itu diperlukan suatu perlindungan hukum secara

komprehensif dan konkret dari pemerintah.61

Dari penjelasan di atas hukum ketenagakerjaan adalah pengaturan

mengenai hubungan antara buruh/pekerja dengan pengusaha yang didasari

atas adanya hubungan kerja, dan dipengaruhi oleh hubungan industrial yang

didalamnya mengatur mengenai hubungan antara buruh/pekerja,

pengusaha/majikan serta negara dalam hal ini pemerintah.

Pada akhirnya dapat diambil kesimpulan bahwa tujuan hukum

ketenagakerjaan adalah untuk melindungi tenaga kerja dalam menghadapi

pembangunan nasional khususnya pembangunan ketenagakerjaan. Dalam

penyelenggaraannya pembangunan ketenagakerjaan dilandasi atas asas

keterpaduan melalui koordinasi fungsional dan lintas sektoral pusat dan

daerah. Serta tujuan hukum ketenagakerjaan tidak luput dari

pemberdayaan dan pendayagunaan tenaga kerja yang bertujuan untuk

menyejahterakan tenaga kerja dan keluarganya.

2. Sejarah Hukum Ketenagakerjaan

Ketenagakerjaan merupakan suatu konsep yang berkembang seiring

berkembangannya masyarakat. Hal ini dibuktikan dengan sejarah bekerjanya

manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari. Manusia bekerja

untuk memenuhi kebutuhannya berada di masa Komunal Primitif atau dikenal

61
Eko Wahyudi, Hukum Ketenagakerjaan, Cetakan Pertama, Sinar Grafika, Jakarta, 2016,
hlm 4-5.
44

sebagai corak bekerja berburu dan meramu. Pada masa itu belum dikenal

adanya bercocok tanam sehingga manusia masih melakukan hidup secara

berpindah-pindah, atau dikenal sebagai konsep hidup yang no-maden.

Kerja pada masa itu dilakukan secara berkelompok, hal ini

dikarenakan manusia harus menutupi kekurangannya yang tidak bisa hidup

menyendiri. Secara tidak langsung manusia pada masa itu bekerja tidak

menggunakan sistem relasi kuasa yang dikenal pada masa sekarang. Pola

tersebut berkembang hingga adanya perubahan masa penundukan kelompok

satu sama lain.

Penundukan yang terjadi terhadap komunal lain mengakibatkan

terjadinya relasi kuasa yang timbul hingga sekarang. Namun perbedaan corak

relasi kuasa dimasa sekarang dengan masa yang lalu adalah corak hubungan

kerjanya. Corak pada masa lalu dikenal dengan corak Perbudakan.

Budak pada masa itu dapat diperjual-belikan, baik sebagai tenaga yang

dapat dipekerjakan maupun untuk memenuhi kebutuhan biologis manusia.

Karena pada masa perbudakan, budak dipergunakan untuk melakukan

pekerjaan-pekerjaan yang dinilai tidak sesuai dengan pekerjaan manusia atau

sipemilik budak. Dalam perkembangannya zaman perbudakan dimulai sejak

peralihan zaman dari komunal primitif ke arah zaman perbudakan. Bahkan

banyaknya filsuf yang lahir di Eropa pada masa itu karena pekerjaan kasar

dilakukan oleh budak, sehingga para pemilik budak dapat berfikir selain

pemenuhan hidup mereka.


45

Perbudakan yang terjadi di Indonesia maupun didunia memiliki konsep

yang sama secara ekonomi. Budak pada masa itu dikenal tergantung dimana

budak itu bekerja. Dalam sektor pertanian kita kenal dengan tani hamba,

sektor jasa dalam kerajaan dikenal sebagai abdi raja dan sebagainya.

Perbudakan secara teoritis dikenal dengan Lembaga Perhambaan

(pandelingschap) dan peruluran (horigheid, perkhorigheid)62.

Imam Soepomo menjelaskan lembaga perhambaan terjadi apabila ada

hubungan pinjam-meminjam uang atau apabila terjadi perjanjian utang-

piutang. Orang yang berutang sampai saat jatuh tempo pelunasan belum bisa

membayar utangnya, pada saat itu pula orang yang berutang(debitur)

menyerahkan dirinya atau orang lain kepada si berpiutang(kreditur) sebagai

jaminan yang dianggap sebagas bungan dari utang. Selanjutnya orang yang

diserahkan atau yang menyerahkan diri diharuskan bekerja kepada orang yang

memberi utang sampai batas waktu si debitur dapat melunasi utangnya.

Penyerahan diri atau orang lain itu dimaksudkan untuk membayar bungan dari

utang tersebut. Keadaan tersebut pada dasarnya sama dengan perbudakan.63

Lembaga Peruluran (horigheid, perkhorigheid) terjadi setalah Jan

Pieterszoon Coen menguasai Pulau Banda pada tahun 1621. Semua orang di

pulau itu dibunuh atau diangkut ke luar negeri sebagai budak. Kemudian tanah

yang dimiliki masyarakat Pulau Banda diberikan kepada bekas pegawai

Company. Orang yang diberikan kebun dinamakan perk(ulur).64

62
Asri Wijayanti, Op.Cit. hal 19
63
Loc.Cit
64
Ibid. hlm 20
46

Lembaga Perhambaan dinilai oleh Pemerintah Hindia-Belanda pada

masa itu tidak sesuai dengan perikemanusiaan. Dengan berkuasanya Inggris di

Hindia-Belanda dibawah kekuasaan Thomas Stamford Raffles. Beliau

mendirikan The Java Benevolent Institution sebagai langkah awal

penghapusan sistem perbudakan. Cita-cita itu belum sampai terlaksana karena

kemudian Inggris ditarik mundur.

Pendudukan Belanda pada masa itu pernah melarang pengiriman

budak ke pulau jawa dengan landasan hukum Staatsblad 1817 Nomor

42Pemerintah Hindia-Belanda menggantikan Lembaga Perhambaan dengan

rodi atau kerja paksa pasca ditarik mundurnya Inggris dari Hindia Belanda.

Rodi dibagi menjadi tiga yaitu rodi gobernemen (rodi untuk kepentingan

gobernemen dan pegawai), rodi perorangan (untuk kepentingan kepala dan

pembesar Hindia-Belanda) dan rodi pedesaan (untuk kepentingan desa).

Convention no. 29 Concerning forced or compulsory labour (kerja

paksa atau kerja wajib yang diratigikasi pemerintah Hindia-Belanda tahun

1933) merupakan salah satu peraturan perundangan yang mengatur bagaimana

konsep rodi ini dilakukan. Selanjutnya Koeli Ordonantie(1880) serta

agrarisch wet(1870) diterapkan kepada buruh di perkebunan dan juga

dipertanian. Dalam hal ini poenali sanctie diterapkan kepada buruh untuk

mengikat mereka sehingga tidak melarikan diri setelah melakukan kontrak

kerja.

Rhemvrev melaporkan diluar poenali sanctie buruh mendapatkan

pukulan dan tendangan sesuai kehendak majikan kulit putih guna


47

menanamkan disiplin kepada buruh kulit berwana. Mencambuk kuli kontrak

yang membangkang dan kadang-kadang sampai mati atau mengikat kuli

perempuan di bungalo tuan kebun dan menggosok kemaluannya dengan lada

yang ditumbuk halus, yang terjadi tidak hanya di Deli Serdang, Sumatera

Utara. Poenali Sanctie berakhir dengan dicabutnya Koeli Ordonantie 1931-

1936 dengan diberlakukannya Staatsblad 1941 No. 1954 yang berlaku mulai

tanggal 1 Januari 1942.

Maret tanggal 12 tahun 1942, pendudukan militer Jepang dimulai

dengan menduduki Jawa, Madura dan Sumatera. Dengan dalih mengumpulkan

tenaga sukarela sebanyak 100.000 jiwa yang didatangkan dari Riau,

pemerintah militer jepang memiliki keuntungan yang sangat besar. Karena hal

tersebut adalah dalih guna mendapatkan tenaga kerja dan kekuatan militer

yang besar guna kepentingan perang Asia Timur Raya. Sistem kerja pada

masa pendudukan jepang dikenal dengan romusya. Romusha lokal yang

dipekerjakan dengan jangka waktu pendek disebut dengan Kinrohosyi.

Pendudukan militer Jepang berakhir setelah adanya Revolusi Fisik

pada tanggal 17 Agustus 1945 yang ditandai dengan klaim wilayah baru yang

berdiri dengan nama negara Indonesia yang diproklamirkan oleh Soekarno-

Hatta di rumah Laksamada Muda Maeda. Hal ini membuat politik hukum

ketenagakerjaan berubah drastis. Karena pada masa kepemimpinan Soekarno

hukum perburuhan belum terlalu dilirik dalam membuat suatu arah kebijakan.

Karena pada masa ini pemerintah masih terfokus kepada pertahanan wilayah

yang masih di klaim oleh Belanda bahwa Indonesia itu masih negara koloni
48

Belanda atau kita kenal dengan Hindia – Belanda. Namun pada masa

pemerintahan ini peraturan yang dibuat oleh rezim Soekarno memiliki

penerapan teori perundang – undangan yang baik, sehingga hukum yang

dibuat memiliki pandangan hingga 40(empat puluh) sampai 50(lima puluh)

tahun kedepan.65

Kebijakan yang dibuat pada masa Soekarno cenderung memberi

jaminan sosial dan perlindungan kepada buruh. Beberapa peraturan

perburuhan pada masa itu adalah :

a. Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 1948


tentang Kerja;
b. Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 1947
tentang Kecelakaan Kerja;
c. Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1948
tentang Pengawasan Perburuhan;
d. Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 1954
tentang Perjanjian Perburuhan antara Serikat buruh dan Majikan
e. Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 1957
tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial;
f. Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 1956
tentang Persetujuan Konvensi Organisasi Perburuhan Internasional
(International Labour Organization) Nomor 98 mengenai Dasar –
dasar dari Hak untk berorganisasi dan Berunding Bersama;
g. Peraturan Menteri Tenagakerja Nomor 90 Tahun 1955 tentang
Pendaftaran Serikat Buruh.66
Pemerintahan Soekarno berlanjut pada masa Orde Lama yang dimulai

dari tahun 1959 hingga 1966. Pada masa ini kondisi perburuhan dapat

dikatakan kurang diuntungkan dengan sistem yang ada.

a. Buruh dikendalikan oleh tentara antara lain dengan dibentuknya

Dewan Perusahaan berbagai perusahaan yang diambil alih dari

65
Ibid, hlm 21
66
R. Joni Bambang, Op.Cit hlm 59
49

Belanda atau kita kenal dengan peristilahan “Nasionalisasi Pabrik”,

guna mencegah pengambilalihan pabrik oleh buruh;

b. Gerak politis dan ekonomis buruh juga ditandai dengan

dikeluarkannya Peraturan Penguasa Perang Tertinggi No. 4 tahun

1960 tentang Pencegahan Pemogokan dan/atau Penutupan (lock

out) di berbagai perusahaan, jawatan, dan badan vital;

c. Perbaikan nasib buruh terjadi karena ada gerakan buruh yang

gencar melalui serikat buruh, sperti PERBUM,

SBSKK,SBPI,SBRI, SARBUFIS, SBIMM, SBIRBA.67

Pemerintahan Soerharto pada masa Orde Baru (1966-1998) ditekankan

pada pembangunan ekonomi. Kesejahteraan nasional akan cepat terwujud

apabila pembangunan ekonomi berjalan dengan baik. Pada masa itu kita kenal

dengan program berjangka yang diatur di dalam Garis Besar Haluan Negara 68.

seperti :

- Repelita I (1969–1974) bertujuan memenuhi kebutuhan dasar dan


infrastruktur dengan penekanan pada bidang pertanian;
- Repelita II (1974–1979) bertujuan meningkatkan pembangunan di
pulau-pulau selain Jawa, Madura dan Bali, diantaranya
melaluitransmigrasi.
- Repelita III (1979–1984) menekankan bidang industri padat karya
untuk meningkatkan ekspor;
- Repelita IV (1984–1989) bertujuan menciptakan lapangan kerja baru
dan industri;
- Repelita V (1989–1994) menekankan bidang transportasi, komunikasi
dan pendidikan;
- Repelita VI (1994-1999) adalah terwujudnya keterkaitan dan
kesepadanan yang lebih baik antara pendidikan dan dunia kerja;

67
R. Joni Bambang, Ibid
68
Ibid, hlm. 77
50

Dalam Repelita diatas sebenarnya didasari pada krisis ekonomi dunia

yang berdampak pada perekonomian nasional yang belum mampu secara

sumber daya manusia untuk bersaing di bidang Pendidikan, Industri dan

Pertanian, ketiga hal tersebut jelas diperuntukan menopang pembangunan

ekonomi.

Mengundurkan dirinya Soeharto sebagai Presiden berdampak pula

pada arah kebijakan yang dibuat. Pada masa ini Pembangunan

Ketenagakerjaan di awali dengan adanya krisis moneter yang dialami

Indonesia pada tahun 1997-1998. Dimana daya beli masyarakat berkurang

karena banyaknya Pabrik yang tutup sehingga banyak masyarakat yang

tadinya bekerja sebagai buruh menjadi Pengangguran. Masa pasca reformasi

ini di awali dengan Pemerintahan Baharudin Jusuf Habibie, kemudian

Abdurahman Wahid, Megawati Soekarno Putri, Susilo Bambang Yudhoyono,

dan Masa Sekarang yaitu Joko Widodo.

a. Pada Masa Baharudin Jusuf Habibie.


Pada Masa ini Politik hukum yang berjalan adalah
Mengembalikan Kepercayaan Internasional yang berkurang akibat
Krisis Moneter yang terjadi. Cara mengembalikan kepercayaan itu
dengan Instrumen Hak Asasi Manusia dengan meratifikasi secara
terpaksa Convention No. 182 Concerning the Immediate Action to
Abolish and to Eliminate the Worst Forms of Child Labour. Ratifikasi
tersebut di atur dalam Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 1
Tahun 2000 tentang PENGESAHAN ILO CONVENTION NO. 182
CONCERNING THE PROHIBITION AND IMMEDIATE ACTION
FOR THE ELIMINATION OF THE WORST FORMS OF CHILD
LABOUR (KONVENSI ILO N0. 182 MENGENAI PELARANGAN
DAN TINDAKAN SEGERA PENGHAPUSAN BENTUK-BENTUK
PEKERJAAN TERBURUK UNTUK ANAK). Kemudian
KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA (KEPPRES)
NOMOR 83 TAHUN 1998 (83/1998) TENTANG PENGESAHAN
CONVENTION (NUMBER 87) CONCERNING FREEDOM OF
ASSOCIATION AND PROTECTION OF THE RIGHT TO ORGANISE
51

(KONVENSI NOMOR 87 tentang KEBEBASAN BERSERIKAT


DAN PERLINDUNGAN HAK UNTUK BERORGANISASI).
b. Pada Masa Pemerintahan Abdurahman Wahid
Politik Hukum ketenagakerjaan pada masa ini masih mengikuti
atau meneruskan kebijakan BJ Habibie dengan penerapan demokrasi
dengan adanya Undang – Undang nomor 21 tahun 2000 tentang
Serikat Pekerja. Namun pada masa ini antar serikat pekerja seringkali
berkonflik karena saking banyaknya, permasalahan ini tentu saja
menjadi memperburuk Hubungan Industrial.
c. Pada Masa Pemerintahan Megawati Soekarno Putri
Pemerintah Megawati Soekarno Putri membuat peraturan yang
menjadi Payung Hukum Ketenagakerjaa yaitu Undang – Undang
Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan Undang – Undang
Nomor 2 tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan
Industrial dan Undang – Undang Nomor 39 tahun 2004 tentang
Perlindungan dan Penempatan Tenaga Kerja Indonesia di Luar
Negeri. Politik hukum pemerintahan Megawati pada masa itu di
pengaruhi oleh adanya Bom Bali yang mengakibatkan Produk Hukum
yang dibuat mengacu pada Pemulihan Sektor Pariwisata dalam
meningkat sektor perekonomian.
d. Pada Masa Pemerintahan Soesilo Bambang Yudhoyono
Politik Hukum ketenagakerjaan pada masa ini fokus terhadap
perbaikan Investasi, dengan mengeluarkan Instruksi Presiden nomor 3
tahun 2006 tentang Perbaikaan Iklim Investasi dan dengan adanya
pembukaan Investasi secara besar – besaran pada Tahun 2008 ketika
Amerika mengalami Krisis Ekonomi dikarekanakan Penumpukal
Modal (Over – Kapital). Sehingga terjadi beberapa pemangkasan
Kesejahteraan baik di Pekerja karakter Produk Hukum pada masa
pemerintahan Soesilo Bambang Yudhoyono lebih cenderung memihak
kepada Investor.69 Kemudian dengan pengalihan jam kerja ke hari
Sabtu dan Minggu demi efisiensi pasokan listrik, dan juga mengenai
Penetapan Kenaikan Upah yang disesuaikan dengan laju inflasi dan
pertumbuhan ekonomi.
e. Pada Masa Pemerintahan Joko Widodo
Politik Hukum ketenagakerjaan pada masa ini pun tidak begitu
banyak perubahan, hal ini dikarekan Paket Kebijakan Ekonomi berjilid
yang dikeluarkan oleh Pemerintahan Jokowi sangat di pengaruhi oleh
Master Plan Percepatan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI).
Pada masa pemerintahan JokoWidodo ini lahir Peraturan Pemerintah
Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan yang dimana Penetapan
Kenaikan Upah ditinjau 5 tahun sekali dan juga menghilangkan fungsi
maupun Lembaga Pengupahan Daerah.
3. Hubungan Industrial

69
Asri Wijayanti. Op.Cit. hlm 25
52

Hubungan Industrial (industrial Relasions) merupakan perkembangan

dari istilah hubungan perburuhan (labor relations). Istilah hubungan

perburuhan memberikan kesan yang sempit seolah –olah. hanya mencangkup

hubungan antara pengusaha dan pekerja. Pada kenyataanya hubungan

industrial mencangkup aspek yang sangat luas yaitu aspek sosial budaya,

pisikologi, ekonomi, politik, hukum dan hankamnas sehingga hubungan

industrial tidak hanya meliputi pengusaha dan pekerja saja, namun

melibatkan pemerintah dan masyarakat dalam arti luas. 70 Hubungan Industrial

lahir karena adanya saling keterkaitan antara proses produksi yang ada

didalam masyarakat. Hal ini ditandai dengan adanya peran pemerintah dan

masyarakat dalam mendukung hubungan industrial. Dari definisi hubungan

industrial tampaknya ada empat pihak, yakni pekerja/buruh, pengusaha,

pemerintah, serta masyarakat.

Hubungan industrial adalah suatu sistem hubungan yang terbentuk

antara para pelaku dalam proses produksi barang dan/jasa yang terdiri dari

unsur pengusaha, pekerja/buruh dan pemerintah yang didasarkan pada nilai-

nilai Pancasila dan UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia 1945

(UUD N RI 1945). Dari definisi hubungan industrial tampaknya ada tiga

pihak, yakni pekerja/buruh, pengusaha, pemerintah, ini menunjukkan adanya

pemerintah campur tangan dalam hubungan pekerja dan pengusaha. Negara

dalam hal ini diwakili oleh pemerintah yang mempunyai kekuasaan untuk

mengatur hubungan antar masyarakat . Menurut pandangan Soeharto, bahwa


70
D.Koeshartono dan M.F. Shellyana Junaedi, Hubungan Industrial Kajian Konsep dan
Permasalahan, Penerbitan Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Cetakan pertama, Yogyakarta,
2005, hlm.2
53

negara berwenang untuk menjaga keselarasan dan keseimbangan antar hak

asasi dan kewajiban asasi. Landasan konstitusi Pasal 28-D ayat (1) yang

menyatakan : “setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan perlindungan dan

kepastian hukum yang adil serta pengakuan yang sama di hadapan hukum.”

Dan dalam Pasal 28-D ayat (2) menyatakan : “setiap orang berhak untuk

bekerja serta mendapatkan imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam

hubungan kerja.”71

Adapun ciri-ciri hubungan industrial di Indonesia menurut Yunus

Shamad sebagai berikut :

a. Mengakui dan meyakini bahwa bekerja bukan sekedar mencari nafkah


saja, melainkan juga sebagai pengabdian manusia kepada Tuhannya,
sesama manusia, masyarakat, bangsa dan negara;
b. Menganggap pekerja bukan hanya sekedar faktor produksi belaka
melainkan juga sebagai manusia pribadi dengan segala harkat dan
martabatnya;
c. Melihat antara pekerja dan pengusaha bukan mempunyai kepentingan
yang bertentangan, melainkan mempunyai kepentingan yang sama
untuk kemajuan perusahaan;
d. Setiap perbedaan pendapat antara pekerja dan pengusaha harus
diselesaikan dengan jalan musyawarah untuk mencapai mufakat dan
dilakukan secara kekeluargaan;
e. Adanya keseimbangan antara hak dan kewajiban untuk kedua belah
pihak, atas dasar rasa keadilan dan kepatutan.72

Menurut Simanjutaak dalam hubungan industrial memliki beberapa

prinsip dasar yang terkandung di dalamnya. Prinsip tersebut dibagi menjadi

tiga aspek penting yaitu :

a. Fungsi utama hubungan industrial

71
Dewa Ayu Febryana Putra Nuryanti dan Putu Gede Arya Sumertayasa, Peran dan Fungsi
Pemerintah dalam Hubungan Imdustrial, Jurnal Hukum Bisnis Fakultas Hukum Universitas
Udayana, hlm. 3
72
Yunus Shamad, Hubungan Industrial di Indonesia, PT Bina Sumberdaya Manusia, Jakarta,
1995 hlm 12-13.
54

Fungsi hubungan industrial di interpretasikan mempunyai


empat fungsi yaitu : pertama, untuk menjaga kelancaran atau
peningkatan produksi; kedua, untuk memelihara dan menciptakan
ketenangan kerja (industrial peace); ketiga, untuk mencegah dan
menghindari adanya pemogokan; keempat, untuk ikut menciptakan
serta memelihara stabilitas sosial.

b. Hubungan Industrial memiliki sasaran yang jelas.

Sasaran dalam hubungan industrial adalah hubungan antara


pekerja/serikat pekerja dan pengusaha/asosiasi pengusaha, serta
masyarakat yang ikut andil didalam proses produksi hasil industri dari
hulu ke hilir. Hubungan indutrial mengikat seluruh sasaran sehingga
dalam hubungan industrial tidak memiliki lagi hubungan yang
subordinasi dan superordinasi serta untuk memastikan seluruh sasaran
tersebut melakukan hak dan kewajibannya dengan baik.

c. Ketiga, hubungan industrial memerlukan sarana.

Lembaga kerja sama (LKS) bipartit, Lembaga kerja sama


(LKS) tripartit, serikat pekerja, peraturan perusahaan atau perjanjian
kerja bersama, lembaga penyelesaian perselisihan, yang didukung oleh
sejumlah peraturan perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan.
Dengan demikian, hubungan industrial merupakan faktor yang sangat
penting di dalam menganalisa "varitas kapitalisme", seperti
neokorporatisme ( atau korporatisme ), sosial demokrasi, dan
neoliberalisme (atau liberalisme ).73

Hubungan industrial di sini meliputi aspek dan permasalahan ekonomi,

sosial, politik, budaya yang secara langsung maupun tidak langsung berkaitan

dengan hubungan antara pekerja, pengusaha, pemerintah dan masyarakat.

Aspek permasalahan hubungan industrial ini antara lain :

a. Pengupahan;
b. Jam kerja;
c. Jaminan sosial;
d. Keselamatan dan Kesehatan kerja;
e. Organisasi serikat pekerja;
f. Penyelesaian perselisihan perburuhan;
g. Peraturan kerja;
h. Kesepatan kerja bersama;
i. Tenaga kerja anak dan wanita;
73
Ibid, hlm 6
55

j. Tenaga kerja asing;


k. Tenaga kerja yang dikirim ke luar negeri;
l. Undang – undang ketenagakerjaan;
m. Perencanaan tenagakerja;
n. Penempatan tenaga kerja dan lain sebagainya.74

Fungsi utama hubungan industrial dalam hubungan ketenagakerjaan di

indonesia mempunyai empat fungsi dasar yaitu :

a. Untuk menjaga kelancaran produksi atau peningkatan produksi;


b. Untuk memelihara dan menciptakan ketenangan kerja (industrial
peace);
c. Untuk mencegah dan menghindari adanya pemogokan;
d. Untuk ikut menciptakan serta memelihara stabilitas sosial.75

Hubungan industrial disetiap negara mempunyai sistem yang berbeda

di tiap-tiap negara, hal ini dipengaruhi oleh ideologi yang dianut atau garis

politik hukum yang di percayai oleh tiap-tiap negara, sistem hubungan

industrial juga terpengaruhi oleh bagaimana negara mengatur hukum

ketenagakerjaannya tergantung motif ekonomi yang dianut oleh negara

tersebut, sistem hubungan industrial tersebut di bagi berdasarkan :

a. Hubungan industrial berdasarkan utility-system

Suatu sistem hubungan industrial di mana utilitas dari kaum


buruh dapat digunakan sepenuhnya. Sistem ini tidak melihat faktor-
faktor lainnya. Jadi sistem ini menggunakan kebijaksanaan full
employment of manpower, yaitu buruh diberi gaji dan jaminan yang
tinggi asal tenaganya dapat digunakan untuk mencapai produksi
sebesar-sebesarnya.
b. Hubungan industrial berdasarkan demokrasi

Suatu sistem hubungan industrial yang mengutamakan


terjadinya konsultasi dan musyawarah antara pengusaha dan buruh.
Tujuan pengusaha untuk mempertinggi produksi namun perlu
dilakukan usaha kerja sama yang baik antar pengusaha dan buruh
dengan perjanjian kerja, mendirikan serikat pekerja, memberikan
jaminan hari tua, pengobatan, dan sebagainya.
74
Ibid, hlm 5
75
Ibid, hlm 3-4
56

c. Hubungan industrial berdasarkan kemanusiaan

Suatu sistem hubungan industrial antara pengusaha dan pekerja


yang hanya berdasarkan atas “manusia dengan manusia lainnya”.
Sistem ini tidak memperhitungkan masalah produktivitas dan efisiensi.
Hubungan tersebut hanya berdasarkan perikemanusiaan saja.

d. Hubungan industrial berdasarkan komitmen seumur hidup

Suatu sistem hubungan industrial yang menekankan bahwa di


satu pihak pekerja mempunyai kecendrungan untuk tetap setia bekerja
pada suatu perusahaan sampai akhir hidupnya baik perusahaan itu
mengalami untung atau rugi. Di pihak lain pimpinan perusahaan
memperlakukan pekerjanya seperti keluarga sendiri yang selalu
mendapat per lindungan dan perlakuan adil dari pimpinan perusahaan.
Pengusaha memberi fasilitas rumah, kesehatan, pendidikan, rekreasi,
dan sebagainya. Sistem ini menjadi kunci sukses hubungan industrial
di Jepang.

e. Hubungan industrial berdasar perjuangan klas

Suatu sistem hubungan industrial atas dasar teori perjuangan klas


(class-strugle). Teori Karl Marx ini ternyata telah menimbulkan
pertentangan kelas dalam masyarakat, yaitu kelas yang mempunyai
industri besar sseperti kelas borjuasi dengan kelas proletariat yang miskin
yang mengharapkan belas kasihan dari pemilik industri.76

4. Pihak-Pihak dan Sarana Dalam Hubungan Industrial

a. Pihak-Pihak didalam Hubungan Industrial


Hubungan Industrial merupakan perkembangan hukum perburuhan

dalam konteks Kapitalisme modern. Hubungan Industrial merupakan suatu

perkembangan dunia kapitalisme, karena dalam teori kapitalisme kuno,

Karl Marx mengatakan bahwa didalam industri, hukum ketenagakerjaan

hanyalah hubungan antara Pekerja/buruh dengan Pemilik Modal, atau

bahkan lebih jauh lagi Adam Smith mengatakan dalam hubungan kerja

maupun pasar, negara hanya menjadi “anjing penjaga malam”. Hubungan

76
Ibid, hlm 7
57

tersebut menurut Marx merupakan konflik yang tidak akan terselesaikan,

karena didalam hubungan kerja kepentingan antara kedua belah pihak

tidak dapat menemukan kesepakatan yang saling menguntungkan. Bahkan

menurut Marx hubungan antara Pemilik Modal dengan Buruh merupakan

hubungan yang saling menghisap dan menindas antara klas yang lebih

lemah/rendah dengan klas yang lebih kuat/tinggi.

Hubungan Industrial pada nyatanya mencakup aspek yang sangat

luas, hubungan industrial melingkupi permasalahan ekonomi, sosial,

politik dan budaya yang secara langsung bukan hanya merupakan

hubungan pekerja/buruh dengan pengusaha saja, melainkan hubungan

yang didalamnya mengcakup antara hubungan Pekerja/buruh, Pengusaha,

dan Pemerintah. Para pihak tersebut dalam Hubungan Industrial tidak

dapat dipisahkan, hal ini sebagai mana dimaksud dalam Pasal 1 Angka

(16) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan

yang berbunyi “Hubungan industrial adalah suatu sistem hubungan yang

terbentuk antara para pelakudalam proses produksi barang dan/atau jasa

yang terdiri dari unsur pengusaha,pekerja/buruh, dan pemerintah yang

didasarkan pada nilai-nilai Pancasila dan Undang-Undang Dasar

Negara Republik Indonesia Tahun 1945”. Penjelasan mengenai para pihak

lebih lanjut dijelaskan sebagai berikut :

1. Pekerja/Buruh

Pekerja/buruh merupakan suatu entitas yang berada di

dalam lingkup tenaga kerja, tenaga kerja yang terikat didalam


58

hubungan kerja itulah yang dinamakan pekerja/buruh. Dalam

undang-undang no 13 tahun 2003 Pasal 1 angka (3) menyebutkan

bahwa Pekerja/buruh adalah orang yang bekerja dengan menerima

upah atau imbalan dalam bentuk lain. Tanpa adanya pemenuhan

hak berupa upah maupun imbalan dalam bentuk lain, maka dapat

dikatakan orang yang bekerja tidak bisa dikatakan sebagai tenaga

kerja.

Pekerja dalam hubungan industrial dalam menjalankan

fungsinya sebagai pekerja tentu saja tidak bisa melakukannya

secara individu, dalam hubungan industrial harus mendirikan,

masuk kedalam serikat ataupun bekerja sama dengan serikat

pekerja/serikat buruh, pekerja/buruh dan serikat pekerja/serikat

buruh adalah mereka yang menjalankan kewajibannya demi

kelangsungan produksi, menyalurkan aspirasi secara demokratis,

mengembangkan keterampilan dan keahliannya,sertaikut

memajukan perusahaan dan memperjuangkan kesejahteraan

anggota beserta keluarganya.77

2. Pengusaha

Pengusaha merupakan orang atau badan hukum privat yang

mempunyai kapital dalam bentuk uang, pengusaha juga dalam

pasar kerja dikatakan sebagai Pencari tenaga kerja. Dalam Undang-

Undang 13 tahun 2003 definisi Pengusaha adalah orang


77
59

perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang menjalankan

suatu perusahaan milik sendiri maupun menjalankan perusahaan

bukan miliknya ataupun perusahaan yang berada di Indonesia

mewakili perusahaan yang kedudukannya di luar wilayah

Indonesia.

Pengusaha juga harus bekerja sama dengan organisasi

pengusaha untuk menciptakan kemitraan,mengebangkan

usaha,meperluas lapangan kerja,dan memberikan kesejahteraan

pekerja/buruh secara terbuka, demokratis dan berkeadilan.78

3. Pemerintah

Fungsi Pemerintah dalam hubungan industrial sebagaimana

di maksud dalam Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 antara

lain menetapkan kebijakan, memberikan perencanaan

ketenagakerjaan, memberikan pelayanan, melaksanakan

pengawasan,dan memberikan sanksi adminitratif kepada pelanggar

Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan.79

b. Sarana Pendukung Hubungan Industrial

Hubungan industrial dalam pelaksanaannya tentu saja harus

menyesuaikan dengan prinsip-prinsip yang ada di dalam hubungan

industrial. Baik pekerja, pengusaha, maupun pemerintah harus

mempunyai sikap mental dan sikap sosial, sehingga didalam hubungan

78
D.Koeshartono dan M.F. Shellyana Junaedi, Hubungan Industrial Kajian Konsep dan
Permasalahan, Penerbitan Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Cetakan pertama, Yogyakarta,
2005, hlm.
79
ibid
60

industrial tidak menjadi ajang penindasan dan penghisapan antara

pihak yang kedudukannya lebih lemah oleh pihak yang kedudukannya

lebih kuat. Dalam falsafah hubungan industrial yang berada dalam

hubungan kerja sehari-hari secara mutlak tentu saja harus mempunyai

suasana yang kondusif dalam lingkungan kerja.

Terciptanya suasana tersebut dapat terwujud bila didukung

sarana-sarana yang terdapat dalam Pasal 103 Undang-Undang Nomor

13 Tahun 2003 antara lain :

a. Serikat Pekerja
Serikat Pekerja adalah organisasi yang dibentuk dari, oleh
dan untuk pekerja, baik didalam perusahaan yang sama maupun
pekerjadi beberapa perusahaan, serikat pekerja bersifat demokratis,
bebas terbuka, mandiri dan bertangung jawab guna
memperjuangkan, membela,serta melindungi hak dan kepentingan
pekerja/buruh, serta meningkatkan kesejahteraan pekerja/buruh dan
keluarganya.80
Serikat Pekerja merupakan organisasi yang bersifat
permanen dan dibentuk secara sukarela untuk memberikan
perlindungan kepada anggotanya dalam pekerjaan dan untuk
memperbaiki syarat-syarat kerja mereka, dengan jalan perundingan
kolektif, dan untuk memperbaiki keadaan penghidupan mereka,
serta sebagai alat untuk menyatakan pandangan, pendapat dan
pikiran para pekerja berhubungan dengan masalah-masalah
ketenagakerjaan yang timbul dalam masyarakat.
Tugas dari serikat pekerja dalam rangka pembinaan dan
pengendalian hubungan industrial di Indonesia sebagai organisasi
profesi harus melaksanakan tugas dan kegiatannya sebagai berikut :
1. Meningkatkan mekanisme kerja disiplin organisisasi
supaya setiap kebijaksanaan dan komitmen yang sudah
dibuat oleh organisasi dapat terlakasana secara
konsisten di lapangan;
2. Mengadakan pembinaan dan penyuluhan pendidikan
yang terencana dengan baik bagi para anggotanya
supaya dapat memahami fungsi dan peranannya dalam
organisasi dan pembangunan;
3. Menitikberatkan kegiatan serikat pekerja pada usaha-
usaha memupuk rasa kekeluargaan dan
80
Abdul Khakim, Op.Cit, hlm 83
61

kegotongroyongan serta suasana musyawarah


untukmufakat di dalam perusahaan;
4. Pembinaan terhadap para pengurus serikat pekerja
supaya memahami dan terampil dalam mengani
organisasi untuk meningkatkan pasrtisipasi pekerja dan
kerjasama dengan pengusaha.81

Posisi pekerja di Indonesia dalam hubungan Industrial

dinilai masih berada dalam posisi lemah, baik dalam

kedudukannya, kondisi sosial, maupun ekonominya. Hal tersebut

jelas tidak akan berubah bila para pekerja melakukan perubahan

terhadap kondisi mereka secara perseorangan. Perubahan kondisi

tersebut dapat terlaksana jika para pekerja mengorganisir dirinya

dalam serikat pekerja. Serikat pekerja pun sebenarnya dapat

bermanfaat bagi pengusaha, terutama mengenai penyelesaian

masalah yang dirasakan secara kolektif oleh para pekerja/buruh.

Berikut adalah fungsi serikat pekerja/serikat buruh terhadap

pekerja/buruh dan pengusaha :

1. Serikat pekerja berfungsi sebagai kanalisasi, yaitu


melaksanakan peran menyalurkan aspirasi,pandangan,
keluhan bahkan tuntutan setiap pekerja kepada
pengusaha,demikian juga sebaliknya. Serikat Pekerja
berperan sebagai saluran informasi yang lebih efektif
dari pengusaha kepada para pekerja terutama bila
jumlah karyawan relatif besar;
2. Dengan memanfaatkan jalur dan mekanisme Serikat
Pekerja, pengusaha dapat menghemat waktu yang
cukup banyak untuk menangani masalah
ketenagakerjaan, dalam mengakomodasi saran-saran
pekerja, serta untuk membina para pekerja atau dalam
memberikan perintah daripada melakukannya secara
individu terhadap setiap pekerja;
3. Penyampaian saran dari pekerja kepada pimpinan
perusahaaan dan perintah dari pimpinan kepada pekerja
81
Ibid. hlm 84
62

akan lebih efektif melalui serikat pekerja karena pekerja


dapat menyampaikan saran dan harapannya kepada
pengusaha melalui wakil yang mereka pilih dan percaya
untuk memperjuangkan kepentingannya;
4. Dalam manajemen modern yang menekankan
pendekatan hubungan antara manusi (human relation
approach), diakui bahwa hubungan non formaldan semi
formal lebih efektif dan sangat diperlukan untuk
mendukung hubungan formal. Dalam hal ini serikat
perkerja dapat berperan sebagai mitra pengusaha dalam
mengembangkan hubungan semi formal;
5. Sebagai Mitra Pengusaha Serikat Pekerja dapat
memobilisasi seluruh pekerja sebagai anggotanya untuk
bekerja secara disiplin, bertanggung jawab dan penuh
semangat serta membantu dalam pelaksanaan kegiatan
sosial dan kekeluargaan seperti olahraga, rekreasi,
kunjungan dan sebagainya;
6. Serikat Pekerja yang berfungsi dan berperan dengan
baik akan menjaga ketentraman dan keamanan kerja
diperusahaan dan menghindari anasir diluar luar yang
ingin mengganggu perusahaan baik untuk mencari
keuntungan pribadi maupun untuk persaingan;
7. Kehadiran Serikat Pekerja sebagai wakil pekerja dapat
berperan dalam menyelesaikan masalah perselisihan
industrial melalui lembaga bipartit, Pegawai Perantara
dan Panitia Penyelesaian Perburuhan Daerah (P4D)
maupun Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan
Pusat (P4P). Penyelesaian seperti itu tidak akan
menyebabkan pemaksaan tuntutan melalui mogok
kerja;
8. Kepentingan karyawan dan keluarganya lebih mudah
diperjuangkan melalui badan atau lembaga
pertimbangan perumus kebijaksanaan dan lembaga
legislatif seperti Dewan Peniliti Pengupahan, Dewan
Kelesamatan Kerja, Dewan Produktifitas, Dewan
Latihan Kerja, Dewan Produktifitas, Dewan Latihan
Kerja, Lembaga Kerjasama Tripartit dan sebagainya.82

b. Organisasi Pengusaha
Organisasi Pekerja adalah organisasi yang dibentuk oleh
pengusaha Indonesia yang bersifat demokratis, bebas, mandiri,dan
bertanggung jawab, yang secara khusus menangani bidang
hubungan industrial dan keteanagakerjaan dalam pelaksanaan
hubungan industrial untuk meningkatkan kualitas sumber daya

82
D.Koeshartono , Op.cit
63

manusia sebagai salah satu sarana utama terwujudnya


kesejahteraan sosialdan ekonomi dalam dunia usaha.83
Pasal 102 angka(3) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan menjelaskan bahwa “ Dalam
melaksanakan hubungan Industrial, Pengusaha dan organisasi
pengusahanya, mempunyai fungsi menciptakan kemitraan,
mengembangkan usahanya, memperluas lapangan pekerjaan, dan
memberikan kesejahteraan buruh/pekerja secara terbuka,
demokratis dan berkeadilan.84
c. Lembaga Kerja sama bipartit
Lembaga kerja sama bipartit atau disingkat LKS bipartit
adalah forum komunikasi dan konsultasi mengenai hal-hal yang
berkaitan dengan hubungan industrial di satu perusahaan,yang
anggotanya teridiri atas pengusaha dan serikat pekerja/serikat
buruh yang sudah tercatat instansi yang bertanggung jawab di
bidang ketenagakerjaan atau unsur pekerja/buruh.85
d. Lembaga kerja sama tripartit
Lembaga kerja sama tripartit atau disingkat LKS tripartit
adalah forum komunikasi,konsultasi,dan musyawarah tentang
masalah ketenagakerjaan,yang anggotanya terdiri atas unsut
organisasi pengusaha, serikat pekerja/serikat buruh, dan
pemerintah. LKS tripartit termuat didalam Peraturan Pemerintah
Nomor 8 tahun 2005 tentang Tata Kerja dan Susunan Organisasi
Kerja Sama Tripartit jo. Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun
206 dab Peraturan Bersama Menteri Tenaga kerja dan Transmigrasi
Nomor Per.04/Men/II/2010 dan Menteri Dalam Negeri Nomor 17
Tahun 2010 tentang Pembentukan dan Peningkatan Peran Lembaga
Kerja Sama Tripartit Kabupaten/Kota.86
e. Peraturan perusahaan
Peraturan perusahaan adalah Peraturan yang dibuat secara
tertulis oleh pengusaha yang memuat syarat-syarat kerja dan tata
tertib perusahaan. Teknis pembuatan peraturan perusahaan di muat
didalam Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor
16 Tahun 2011 tentang Tata Cara Pembuatan dan Pengesahan
Peraturan Perusahaan serta Pembuatan dan Pendaftaran Perjanjian
Kerja Bersama.87
f. Perjanjian Kerja Bersama

83
Ibid. hlm 85
84
Abdul Khakim, Dasar – dasar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, Citra aditya Bakti,
cetakan ke-4 edisi revisi, 2014. Hlm 82
85
Loc.Cit
86
Ibid. hlm 83
87
Loc.Cit
64

Perjanjian Kerja Bersama adalah perjanjian yang


merupakan hasil perundingan antara serikat pekerja/serikat buruh
atau beberpa serikat pekerja/serikat buruh yang tercatat pada
instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan dengan
pengusaha, atau beberapa pengusaha, atau perkumpulan pengusaha
yang memuat syarat-syarat kerja, hak, dan kewajiban kedua belah
pihak.88
Perjanjian kerja bersama sebagai sarana pendukung yang
sangat penting dalammewujudkan hubungan industrial,
melestarikan, dan mengebangkan keserasian hubungan kerja karena
PKB merupakan wahana partisipasi antara pekerja/buruh dan
pengusaha. Teknis pembuatan PKB di muat didalam Peraturan
Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 16 Tahun 2011
tentang Tata Cara Pembuatan dan Pengesahan Peraturan
Perusahaan serta Pembuatan dan Pendaftaran Perjanjian Kerja
Bersama.
g. Peraturan Perundang-undangan Ketenagakerjaan
Peraturan Perundang-Undangan ketenagakerjaan,
merupakan prinsip kesetaraan dan keadilan,yang dibuat secara
partisipatif melibatkan para pemangku kepentingan, khususnya
serikat pekerja/serikat buruh dengan organisasi pengusaha dan
pemerintah terkait.
h. Lembaga Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial
Persilisihan hubungan industrial adalah perselisihan antara
pengusaha atau gabungan pengusaha dengan pekerja atau serikat
pekerja atau gabungan serikat pekerja karena tidak adanya
penyesuaian paham mengenai pelaksanaan syarat-syarat kerja,
pelaksanaan norma kerja, hubungan kerja dan/atau kondisi kerja di
perusahaan.
Perselisihan juga bisa terjadi karena tidak adanya kesusaian
Hak (Rechtsgeschillen) dan Kepentingan (Belangengeschillen).
Sedangkan menurut Widodo dan Judiantoro, sifat perselisihan
dibagi menjadi dua macam yaitu :
1. Perselisihan Perburuhan secara kolektif
2. Perselisihann Perburuhan Perseorangan.
Perselisihan Hubungan Industrial dalam Undang-
Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian
Persilisihan Hubungan Industrial dibagi menjadi 4
macam atau jenis yaitu :

a. Perselisihan Hak, perselihan yang timbul karena


tidak dipenuhinya hak, dimana hal ini timbul
88
Ibid
65

karena perbedaan pelaksanaan atau perbedaan


penafsiran terhadap ketentuan Undang-Undang,
Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan atau
Perjanjian Kerja Bersama;
b. Perselisihan Kepentingan, perselisihan yang timbul
karena tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai
pembuatan dan/atau perubahan syarat kerja dalam
Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan atau
Perjanjian Kerja Bersama;
c. Perselisihan Pemutusan Hubungan Kerja, adalah
perselisihan yang timbul karena tidak adanya
penyesuaain pendapat mengenai pengakhiran
hubungan kerja yang dilakukan salah satu pihak;
d. Perselisihan Antara serikat pekerja/buruh hanya
dalam satu perusahaan, perselihan yang timbul
akibat tidak adanya kesesuaian paham mengenai
keanggotaan, pelaksanaan hak dan kewajiban
keserikatan.89

Perselisihan Hubungan Industrial diatas dapat diselesaikan


melalui lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial.
Lembaga penyelesaian perselihan hubungan industrial mempunyai
mekanisme penyelesaian perselihan diluar pengadilan melalui
perundingan bipartit dan konsiliasi, arbitrase atau mediasi, dan
penyelesaian perselisihan melalui pengadilan hubungan industrial.
Hal tersebut sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor
2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Persilisihan Hubungan
Industrial.

C. Era Industri 4.0


1. Era Industri 4.0

Era industri merupakan suatu istilah seiring berkembangnya

teknologi yang mendukung berkembangannya industri. Era Industri telah

berkembang pesat dikarekanan adanya penemuan-penemuan mesin yang

menunjang maupun mendorong produksi. Mesin uap adalah mesin

pertama yang menandai terjadinya revolusi industri pertama (era industri

1.0) pada tahun 1750. Pada tahun-tahun tersebut terjadi perpindahan


89
R. Joni Bambang, Hukum Ketenagakerjaan, Pustaka Setia, 2013 hlm. 309
66

komoditas maupun produksi dari pertanian ke arah manufaktur,

pertambangan, transportasi, hingga teknologi.

Perkembangan era industri secara signifikan berbuah hasil pada

akhir abad ke 19, hal ini ditandai sebagai Revolusi Industri atau Era

Industri 2.0. Pada era industri 2.0 penunjang utama dari Industri adalah

mesin yang sudah berbasis pada listrik, penggunaan mesin listrik pada

masa itu digunakan kepada produksi yang jumlahnya besar. Jumlah

Produksi yang sangat besar pada saat itu menjadi sebuah boomerang bagi

negara-negara di Eropa pasalnya dengan jumlah penduduk yang tidak

terlalu banyak mengakibatkan menumpuknya barang produksi. Masalah

tersebut kemudian menjadi akar permasalahan terjadinya Perang dunia Ke

1 dan Perang Dunia ke 2.

Era Industri 2.0 yang berbasis pada listrik kemudian berkembang

ditengah terjadinya perang dingin antara Amerika dengan USSR (Union of

Soviet Socialist Republics), Era industri ini dinamakan sebagai Era industri

3.0 dimana penggabungan antara kedua revolusi industri itu terjadi. Para

ilmuwan yang mengebangkan alat produksi pada tahun 1970 menciptakan

alat produksi guna menunjang kebutuhan produksi yang setiap tahunnya

meningkat.

Era Industri 3.0 juga mengubah pola komunikasi masyarakat dan

juga corak produksi yang terjadi didalam Industri itu sendiri. Corak

industri 3.0 memanfaatkan teknologi sebagai tenaga produksi, hal ini

dikarenakan cost terhadap pemeliharaan alat produksi tidak begitu besar,


67

dibandingkan dengan upah yang dikeluarkan terhadap tenaga kerja.

perkembangan yang pesat dari teknologi sensor, interkoneksi, dan analisis

data memunculkan gagasan untuk mengintegrasikan seluruh teknologi

tersebut ke dalam berbagai bidang industri.90 Gagasan inilah yang

diprediksi akan menjadi era industri 4.0.

Era Industri 4.0 merupakan suatu gagasan yang dimulai pada tahun

2011 di Hannover Fair Jerman. Pada saat itu Jerman memiliki

kepentingan yang sangat besar dalam terbentuknya era Industri 4.0, salah

satunya terkait kebijakan rencana pembangunannya yang disebut Hight

Tech Strategy 2020, dalam kebijakan tersebut Jerman menargetkan dalam

tahun 2020 sebagai negara manufaktur nomor pertama di dunia. Angela

merkel seorang kanselir Jerman berpendapat bahwa Era Industri 4.0 adalah

transformasi komprehensif dari keseluruhan aspek produksi di industri

melalui penggabungan teknologi digital dan internet dengan industri

konvensional.

Schlechtendahl berpendapat bahwa definisi mengenai era industri

4.0 adalah penekanan kepada unsur kecepatan dari ketersediaan informasi,

yaitu sebuah lingkungan industri di mana seluruh entitasnya selalu

terhubung dan mampu berbagi informasi satu dengan yang lain. 91

Kagerman berpendapat bahwa Industri 4.0 adalah integrasi dari Cyber

Physical System (CPS) dan Internet of Things and Services (IoT dan IoS)

90
Hoedi Prasetyo, Industri 4.0 : Telaah Klasifikasi Aspek dan Arah Perkembangan Riset , Vol.
13, No. 1, Januari 2018, diunduh pada Kamis 12 Maret 2020
91
Loc.cit.
68

ke dalam proses industri meliputi manufaktur dan logistik serta proses

lainnya.92

CPS adalah teknologi untuk menggabungkan antara dunia nyata

dengan dunia maya. Penggabungan ini dapat terwujud melalui integrasi

antara proses fisik dan komputasi sedangkan IoT dan IoS adalah semua

aplikasi layanan yang dapat dimanfaatkan oleh setiap pemangku

kepentingan baik secara internal maupun antar organisasi. Era Industri 4.0

memiliki 6 prinsip yaitu :

a. interoperability
b. virtualisasi
c. desentralisasi
d. real time processing
e. service oriented
f. modular system

Era Industri 4.0 dapat diartikan sebagai era industri di mana

seluruh entitas yang ada di dalamnya dapat saling berkomunikasi secara

real time kapan saja dengan berlandaskan pemanfaatan teknologi internet

dan CPS guna mencapai tujuan tercapainya kreasi nilai baru ataupun

optimasi nilai yang sudah ada dari setiap proses di industri.

Indonesia dalam menghadapi era indsutri 4.0 telah menyiapkan

strategi transfomasi bagi industri dalam menghadapi revolusi industri 4.0

yakni industry transformation strategy, future jobs, dan manpower

planning. Dengan adanya perubahan jenis pekerjaan, keterampilan yang

dibutuhkan ikut berubah, sehingga butuh pemetaan apa saja keterampilan

yang dibutuhkan dan tidak. Strategi tersebut yaitu meningkatkan link and

92
Ibid, hlm 20
69

match antara supply and demand Sumber Daya Manusia (SDM),

masifikasi pelatihan kerja dan sertifikasi profesi serta pemagangan

berbasis jabatan.93

Kementerian Perindustrian (Kemenperin) akan meluncurkan

program Making Indonesia 4.0 yang merupakan peta jalan (roadmap)

terintegrasi dan kampanye untuk mengimplementasikan strategi

menghadapi era revolusi industri ke-4 (Industry 4.0). Roadmap tersebut

akan diluncurkan pada 4 April 2018.

Sebagai langkah awal dalam menjalankan Making Indonesia

4.0, terdapat lima industri yang menjadi fokus implementasi industri 4.0 di

Indonesia, yaitu:

a. Makanan dan minuman


b. Tekstil
c. Otomotif
d. Elektronik
e. Kimia
Lima industri ini merupakan tulang punggung, dan diharapkan

membawa pengaruh yang besar dalam hal daya saing dan kontribusinya

terhadap ekonomi Indonesia menuju 10 besar ekonomi dunia di 2030.

Kelima sektor inilah yang akan menjadi contoh bagi penerapan industri

4.0, penciptaan lapangan kerja baru dan investasi baru berbasis teknologi.94

Kondisi tersebut belum dapat diterapkan di Indonesia karena

banyaknya Industri menengah yang belum berbasis pada mesin, banyak

93
www.hukumonline.com, Regulasi Ketenagakerjaan Mesti Adopsi Perkembangan Revolusi
Industri 4.0, Diakses pada tanggal 11 Maret 2020 pukul 09.15 WIB
94
PERAN PEMERINTAH DALAM REVOLUSI INDUSTRI 4.0, Inspektoral Jenderal, 2019,
https://kkp.go.id/itjen/page/1724-peran-pemerintah-dalam-revolusi-industri-4-0/ diakses pada
13 Maret 2020
70

produksi di industri rumahan masih menggunakan tenaga manusia, hal ini

justru sangat berkebalikan dengan prinsip Era industri 4.0 maupun pasar

kerja fleksibel. Namun untuk mencari pasar maupun memasarkan produksi

yang mempunyai produsen maupun perusahaan intesitas kecil hingga

menengah dan juga produsen yang berada dipedesaan era industri 4.0

sangat diperlukan karena dapat memutus rantai ketimpangan antara

Produsen – Penadah – Pasar – Konsumen. Dalam era industri 4.0

pemangkasan terjadi apabila Produsen bisa langsung memasarkan

Produksinya. Dan juga dapat dikatakan bahwa Usaha Mikro Kecil

Menengah (UMKM) dapat bersaing langsung dengan Industri besar.

Dengan memakai jasa E-Commerce,UMKM dapat bersaing.

2. Kebijakan Pasar Kerja Fleksibel

Pasar tenaga kerja memegang peranan penting dan faktor penentu

terhadap kinerja perekonomian negara. Secara teoritis pasar kerja akan

menentukan skema penawaran agregat. Jika dilihat dari skema permintaan

agregat akan menentukan besarnya pendapatan nasional dan dapat

mempengaruhi harga umum dalam kondisi keseimbangan. Dalam

prakteknya pada satu sisi kondisi di pasar kerja akan menentukan minat

para investor, sedangkan pada kondisi lain juga menentukan jumlah

serapan tenaga kerja, sekaligus mempengaruhi angka pengangguran.

Secara akumulasi kondisi pasar kerja akan menentukan tingkat pendapatan

masyarakat perekonomian Indonesia yang saat ini dalam masa

pembangunan seharusnya penyerapan tenaga kerja meningkat seiring


71

dengan investasi. Kemampuan perekonomian nasional dan daerah untuk

menyerap tenaga kerja belum sepenuhnya tercapai. Kenyataan ini

dipengaruhi oleh berbagai faktor internal dan eksternal termasuk

peningkatan arus tenaga kerja ke luar negeri.95

Secara kumulatif pasar kerja Indonesia kurang fleksibel. Hal ini

disebabkan oleh terlalu kakunya pasar kerja di Indonesia, yang sangat

melindungi hak-hak pekerja dalam jaminan kesejahteraan yang di

implementasikan dalam Undang-Undang No.13 tahun 2003 tentang

ketenagakerjaan. Ada beberapa elemen sebagai kebijakan yang melindungi

hak-hak pekerja. Tapi dalam tahapan implementasi, undang-undang

ketenagakerjaan dianggap menghambat peningkatan minat dalam

berinvestasi. Keadaan ini juga menyebabkan keengganan para investor

untuk melakukan perluasan investasi. Dan salah satu solusi yang dapat

dijalankan mengenai ketenagakerjaan dalam menghadapi hal tersebut

adalah mengubah pasar kerja yang kaku menjadi fleksibel.

Pasar kerja fleksibel dalam Peraturan Presiden Republik Indonesia

Nomor 7 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah

Tahun 2004-2009 BAB 23 tentang Perbaikan Iklim Ketenagakerjaan

merupakan suatu solusi akan permasalahan yang ada dalam

ketenagakerjaan pada saat itu antara lain :

a. Meningkatnya jumlah pengangguran terbuka selama 5 tahun


terakhir(2000-2005)
b. Menciutnya lapangan kerja formal di perkotaan dan pedesaan
dalam kurun waktu 2001-2003
95
Sri Hartati Samhadi. Revisi UU Ketenagakerjaan, Siapa Diuntungkan? Kompas Sabtu 8 April
2006, hal 3.
72

c. Pekerja bekerja di lapangan kerja yang kurang produktif


d. Perbedaan upah yang signifikan antara pekerja sektor formal
dan sektor informal.
e. Adanya indikasi menurunnya produktivitas di industri
pengolahan.
f. Meningkatnya tingkat pengangguran terbuka usia muda (15-
19)

Pemerintah pada saat itu akhirnya memberikan solusi akan

hadirnya permasalahan tersebut sehingga lahirlah arah kebijakan terkait

perbaikan iklim ketenagakerjaan yang diperkirakan tidak akan mengalami

perubahan yang signifikan sampai tahun 2025. Kebijakan yang ditempuh

untuk menciptakan lapangan kerja formal dan meningkatkan produktivitas

pekerja dilaksanakan dengan:

1. Menciptakan fleksibilitas pasar kerja dengan memperbaiki


aturan main ketenagakerjaan yang berkaitan dengan rekrutmen,
outsourcing, pengupahan, PHK, serta memperbaiki aturan main
yang mengakibatkan perlindungan yang berlebihan.
2. Menciptakan kesempatan kerja melalui investasi. Dalam hal ini
Pemerintah akan menciptakan iklim usaha yang kondusif
dengan peningkatan investasi. Iklim usaha yang kondusif
memerlukan stabilitas ekonomi, politik dan keamanan, biaya
produksi yang rendah, kepastian hukum serta peningkatan
ketersediaan infrastruktur.
3. Meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia yang dilakukan
antara lain dengan memperbaiki pelayanan pendidikan,
pelatihan serta memperbaiki pelayanan kesehatan.
4. Memperbarui program-program perluasan kesempatan kerja
yang dilakukan oleh pemerintah, antara lain adalah program
pekerjaan umum, kredit mikro, pengembangan UKM, serta
programprogram pengentasan kemiskinan.
5. Memperbaiki berbagai kebijakan yang berkaitan dengan dengan
migrasi tenaga kerja, baik itu migrasi tenaga kerja internal
maupun eksternal.
6. Menyempurnakan kebijakan program pendukung pasar kerja
dengan mendorong terbentuknya informasi pasar kerja serta
membentuk bursa kerja.
73

Disamping itu dilakukan penyempurnaan berbagai pelaksanaan

program pendukung pasar kerja. Kegiatan ini sangat membantu

berjalannya pasar kerja dengan mendorong bertemunya pencari kerja dan

pemberi kerja melalui ketersediaan informasi pasar kerja yang tepat, cepat,

dan akurat. Ketersediaan informasi pasar kerja sangat dibutuhkan oleh

pencari kerja dan pemberi kerja. Informasi ini mencakup lowongan kerja

yang tersedia, jenis dan mutu lembaga pelatihan, kualifikasi dari pencari

pekerja, termasuk melakukan bimbingan karier. Kegiatan ini diharapkan

dapat mengurangi kekakuan (rigidity) pasar kerja. Kegiatan pokok yang

dilakukan dalam arah kebijakan di atas akan difokuskan antara lain pada:

1. Penyempurnaan peraturan dan kebijakan ketenagakerjaan agar


tercipta pasar kerja yang fleksibel. Beberapa hal penting untuk
disempurnakan agar tidak mengurangi fleksibilitas pasar kerja
adalah:
a. Aturan main yang berkaitan dengan pembatasan pekerja
kontrak. Dalam keadaan dimana jumlah penganggur terbuka
sangat tinggi maka salah satu upaya menguranginya adalah
dengan mempermudah perusahaan untuk melakukan
rekrutmen tanpa membatasi jenis pekerjaan bagi pekerja
kontrak.
b. Aturan main yang berkaitan dengan pengupahan serta
mendorong penentuan upah secara bipartit.
c. Aturan main yang berkaitan dengan PHK. Uang pesangon,
uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak
yang harus disediakan oleh pemberi kerja bila terjadi PHK
dirasakan memberatkan. Selain itu masih ada ketentuan
mengenai uang penggantian hak dan uang pisah bagi
mereka yang melakukan kesalahan berat atau
mengundurkan diri. Penurunan tingkat pesangon seperti
tingkat pesangon di negara ASEAN harus secepatnya
dilaksanakan.
d. Aturan main yang dikaitkan dengan perlindungan tenaga
kerja. Perlindungan pekerja yang berlebihan, seperti cuti
panjang setelah 6 tahun bekerja dan pembayaran gaji
kepada pekerja yang sakit sampai satu tahun akan
dipertimbangkan kembali. Perlindungan berlebihan yang
74

diberikan kepada pekerja wanita seperti larangan kerja


malam bagi wanita usia kerja yang berusia kurang dari 18
tahun serta aturan yang berkaitan dengan cuti haid bila
dilaksanakan secara kaku dapat mengurangi fleksibilitas
pasar kerja. Pemerintah mendorong berbagai perlindungan
melalui perundingan antara pekerja dan pemberi kerja yang
kemudian disepakati dalam perjanjian kerja bersama.
2. Penyusunan berbagai aturan pelaksanaan dari Undang-Undang
Nomor 39 Tahun 2004 Tentang Penempatan dan perlindungan
Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri.
3. Pemantauan dinamika pasar kerja dan berbagai tindakan agar
penciptaan lapangan kerja formal dapat terlaksana.
4. Penyempurnaan berbagai program perluasan lapangan kerja
yang dilakukan oleh Pemerintah.
5. Koordinasi penyusunan rencana tenaga kerja dan informasi
pasar kerja.
6. Pengembangan infrastruktur pelayanaan umum dalam rangka
kegiatan pendukung pasar kerja.
Peningkatan kerjasama antara lembaga bursa kerja dengan

industri/perusahaan hadirnya ketidak seimbangan jumlah pekerja yang

berada di Sektor Formal dan Sektor Informal. Pekerja yang berada di

sektor informal merupakan pekerja yang tidak memiliki status tetap

sebagai pekerja, karena hubungan kerja yang di bangun tidak berdasarkan

perjanjian kerja, melainkan hubungan antara majikan-pekerja di dasarkan

pada hubungan pribadi maupun hubungan sosial.

Pasar Kerja fleksibel adalah turunan dari konsep kebijakan pasar

bebas yang dianut oleh negara yang bercorak ekonomi neo-liberalisme.

Doktrin neoliberal itu sendiri dicetuskan pada rentan waktu 1960-an,

neoliberal sering kali disebut sebagai Konsensus Washington. Konsensus

Washington adalah arahan ekonomi yang digagas oleh John Willianson,

Jhon Willianson dalam Konsensus Washington ada 10 poin yang harus

dicermati, 10 poin tersebut adalah :


75

1. Disiplin fiscal dan pengekangan defisit anggaran;


2. Pengurangan belanja publik khususnya militer dan administrasi
publik;
3. Reformasi pajak dengan cara memberi kelonggaran pada
pengusaha untuk kemudahan membayar pajak;
4. Liberalisasi finansial berupa kebijakan bunga bank yang
ditentukan mekanisme pasar;
5. Nilai tukar uang yang kompetitif, berupa kebijakan bunga bank
uang ditentukan oleh mekanisme pasar;
6. Trade Liberalisation Barrier, yaitu kebijakan yang
menyingkirkan segenap penghalang system pasar bebas, seperti
pengurangan bea tarif dan lisensi perdagangan;
7. Foreign Direct Investmen, yaitu kebijakan untuk menyingkirkan
segenap aturan pemerintah yang menghambat investasi modal
asing;
8. Privatisasi, yaitu kebijakan untuk memberikan hak pengelolaan
perusahaan negara kepada pihak swasta;
9. Deregulasi Kompetensi;
Perlindungan Intelectual Property Rights atau hak kekayaan

intelektual.96

Doktrin neo-liberalisme adalah suatu doktrin yang banyak dipakai

oleh mayoritas negara di dunia. Hal ini dikarekan doktrin neo-liberalisme

berpandangan bahwa negara sudah tidak mampu lagi untuk memimpin

pembangunan nasional. Susan George menerangkan sejumlah doktrin

neoliberal yang harus dianut dalam suatu negara adalah :

1. Pasar harus diberi kebebasan untuk membuat keputusan sosial


dan politik yang penting;
2. Negara harus secara sukarela mengurangi intervensinya dan
peranannya di bidang ekonomi;
3. Perusahaan harus diberi kebebasan total;
4. Serikat buruh harus diawasi dan diberangus;
5. Proteksi dan subsidi sosial bagi warga negara harus dikurangi97
Penerapan doktrin neo-liberalisme di Indonesia didorong akibat

terjadinya krisis moneter pada tahun 1997-1998. Pada krisis moneter

96
Loc.Cit
97
Noer Fauzi Rachman, MP3EI : Master Plan Percepatan dan Perluasan Krisis Sosial-
Ekologis Indonesia, Yogyakarta, 2014, Tanah Air Beta, hlm 59
76

pertama pemerintah Indonesia meminta bantuan kepada Internasional

Monetery Fund (IMF) untuk membantu mencari jalan keluar menghadapi

krisis. Bantuan tersebut berupa kesepakatan pinjaman atau lebih dikenal

dengan Special Drawing Rights yang bernilai 7,338 milyar dollar

Singapura kepada pemerintah Indonesia pada 5 November 1997.

Pencairan pertama senilai SDR 2.200 juta atau sekitar 3.040 dolar AS,

kesepakatan Letter of Intens pertama tersebut tidak memberikan dampak

yang signifikan hal ini dikarenakan kondisi keuangan Indonesia masih

belum pulih.98

Pemerintah lalu melanjutkan kesepakatan kedua dengan IMF

karena dalam Implementasinya tidak semua saran yang diberikan oleh

IMF diimplementasikan. Hal ini berdampak pada pemaksaan Condenssus

yang di tandatangani oleh Presiden Soeharto pada 15 Januari 1998. Letter

of Intens antara pemerintah Indonesia dan IMF memiliki 50 butir langkah

yang harus dijalankan oleh pemerintah Indonesia untuk serius menghadapi

Krisis Moneter dan melaksanakan Reformasi. Program tersebut juga

mensyaratkan sejumlah reformasi yang diarahkan untuk memperkuat

kerangka institusional dalam rangka menjamin transparansi, persaingan

yang sehat, serta kerangka hukum dan regulasi yang lebih kuat. Termasuk

dalam langkah tersebut adalah reformasi untuk menata ulang sistem

kepailitan, serta pendirian Pengadilan Niaga. Inisiatif lainnya adalah

98
Dewi Nurlita, 20 Tahun Reformasi: Resep Imf, Obat Krisis 1997-1998
https://bisnis.tempo.co/read/1088662/20-tahun-reformasi-resep-imf-obat-krisis-1997-
1998/full&view=ok diakses pada 18 Juli 2019
77

penerbitan UU tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha

Tidak Sehat (hukum persaingan) pada Maret 1999, serta pemberian status

independen Bank Indonesia yang diamanatkan melalui UU No 23/1999

tentang Bank Indonesiauntuk industri yang tidak layak ekonomi. Letter of

Intens berakhur Pemerintah membentuk tim antar-

lembaga yang menyusun exit strategy yang mempertimbangkan hal-hal

seperti financing gap, yang terkait dengan kebutuhan pembiayaan

pemerintah, dan credibility gap, yang terkait dengan dampak negatif dari

sentimen pasar, ketika program IMF berakhir. Sebagai persiapan

berakhirnya program bantuan IMF, pada 15 September 2003 pemerintah

menerbitkan ‘Paket Kebijakan Ekonomi Pra dan Pasca terjadinya

perjanjian denganIMF’, yang juga dikenal sebagai “White Paper”. Hal ini

diatur dalam Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2003

tentang Paket Kebijakan Ekonomi Menjelang dan Sesudah Berakhirnya

Program Kerjasama dengan International Monetary Fund. Dalam Instruksi

Presiden ini memuat 3 Paket kebijakan antara lain.

1. Program Stabilisasi Ekonomi Makro


2. Program Restrukrisasi dan Reformasi Sektor Keuangan
3. Meningkatkan investasi, ekspor, dan penyerapan tenaga kerja.99

White Paper menandakan berakhirnya program bantuan IMF,

Indonesia menyetujui pemantauan pascaprogram (Post Program Dialogue)

dengan IMF, di mana tim IMF akan datang dua kali setahun untuk

memantau perkembangan reformasi ekonomi yang dicanangkan dalam


99
Haryo Aswicahyono David Christian Perjalanan Reformasi Ekonomi Indonesia 1997-
2016, CSIC Working Paper Series, Jurnal Working Paper Volume 2 Nomor 4, 2017, Hlm
4
78

White Paper tahun 2002. Tidak hanya IMF, usaha pemantauan reformasi

ekonomi juga pernah dilakukan oleh Kadin Indonesia, yang membentuk

tim pemantauan independen, yang bekerja sama dengan beberapa kamar

dagang asing di Indonesia dan ekonom independen.100

Letter of Intens antara pemerintah dengan IMF juga melahirkan

salah satu point yang menilai Indonesia dalam perlindungan tenaga

kerjanya tidak cukup baik untuk menghadapi fleksibilitas pasar kerja. Hal

ini dkarenakan perlindungan hukum terhadap tenaga kerja di Indonesia

terlalu memberikan perlindungan hukum yang berlebihan. Sebagaimana

diketahui bahwa untuk menyambut fleksibilitas pasar kerja dalam suatu

negara terkait perlindungan hukum tenaga kerja harus tidak kaku, atau

tidak terlalu memberikan perlindungan kepada tenaga kerjanya

Konsep pasar kerja ini memiliki kondisi interaksi pasar tenaga

kerja antara pencari kerja, pekerja, dan Pemberi Kerja dalam posisi yang

setara di dalam pasar tenaga kerja. Interaksi yang bebas di antara

pengguna tenaga kerja (employer) dengan tenaga kerja (pekerja atau

pencari kerja) dipandang sebagai kondisi yang perlu (necessary condition)

bagi pertumbuhan ekonomi. Pengguna tenaga kerja bebas mencari tenaga

kerja sesuai dengan kebutuhan rasional pengguna, sedangkan tenaga kerja

bebas memilih pengguna tenaga kerja yang sesuai dengan kebutuhan

rasional tenaga kerja. Kebutuhan rasional pengguna ditentukan oleh jenis

dan kapasitas produksi yang dibutuhkan sesuai dengan persaingan yang


100
Ibid Hlm 5
79

dihadapinya dalam pasar komoditas. Kebutuhan rasional tenaga kerja

ditentukan oleh seberapa jauh pendapatan yang diberikan oleh pengguna

tenaga kerja dapat memenuhi kebutuhan hidupnya.101

Hary O’hara Deveraux dan Robert Johansen, melihat fenomena

fleksibilitas pasar kerja selama kurun waktu 30 tahun terakhir untuk

konteks pasar kerja Amerika Serikat. Fleksibilitas pasar kerja dipahami

sebagai semakin beragamnya status pekerjaan dari tenaga kerja dengan

kelompok unpaid family worker pada traditional sector, self employed,

part time and multiple job. Dari fenomena tersebut mereka menyimpulkan

bahwa besarnya komposisi angkatan kerja yang bekerja di luar dari status

traditional work force. Dengan demikian dapat dipahami bahwa

fleksibilitas pasar kerja dapat dilihat dari komposisi status pasar kerja. Dan

status pasar kerja yang fleksibel terjadi saat semakin besar pertumbuhan

penyerapan pada pekerjaan di luar sektor tradisional.102

Menurut Atkitson Tenaga Kerja Fleksibel (Labour Market


Flexibility) mempunyai 5 jenis yaitu :
a. Fleksibel eksternal, yang merujuk kepada penyesuaian penggunaan

pekerja, atau jumlah pekerja dari pasar ekstemal. Hal ini dapat

dicapai dengan mempekerjakan pekerja pada pekerjaan temporer

atau kontrak kerja waktu tertentu, atau melalui peraturan rekrutmen

dan PHK yang longgar. Dengan kata lain, melonggarkan peraturan

101
Hari Nugroho dan Indrasari Tjandraningsih, Kertas Posisi Fleksibilitas Pasar Kerja dan
Tanggung Jawab Negara, https://media.neliti.com/media/publications/448-ID-fleksibilitas-
pasar-kerja-dan-tanggung-jawab-negara.pdf, di Unduh pada 09 Maret 2019
102
Nurlina, Pasar kerja dan Ketenagakerjaan, Vol.1 2014, di unduh pada 29 Januari 2020
Pukul 08.30
80

perlindungan pekerja, dimana pengusaha dapat merekrut dan

melakukan PHK agar tetap sesuai dengan kebutuhan perusahaan.

b. Fleksibilitas internal, kadang-kadang disebut juga sebagai jam

kerja fteksibel atau temporal flexibility. Fleksibilitas ini dicapai

dengan menyesuaikan jam kerja atau jadqal pekerja di perusahaan.

Fleksibilitas ini dapat dicapai dengan memperbolehkan pengusaha

menerapkan sistem kerja penggal waktu, shift, dan lembur.

c. Fleksibilitas fungsional, disebut juga fleksibilitas organisasional, di

mana pekerja dapat dipindahkan ke pekerjaan lain di dalam

perusahaan. Termasuk dalam hal ini adalah menggunakan pekerja

outsourcing.

d. Fleksibilitas finansial atau upah, di mana tingkat upah tidak

ditentukan secara kolektif, dan harus ada perbedaan upah

antarpekerja. Hal ini perlu agar segala pengeluaran untuk pekerja

merefleksikan kondisi supply-demand yang sesungguhnya di pasar

kerja. Hal ini dapat dilakukan dengan rate-for-the-job systems, atau

assessment based pay system, atau individual performance wages.

e. Fleksibilitas Lokasi Kerja dimana dapat digunakan untuk

meningkatkan kemampuan perusahaan beradaptasi dengan pasar.103

Pasar kerja fleksibel sendiri dapat diartikan sebagai konsep pasar

kerja yang memiliki sifat luwes. Hal ini dikarenakan pasar kerja fleksibel

adalah suatu konsep pasar dengan mengedepankan kesetaraan para pihak

103
Zatermans Rajagukguk, Fleksibilitas Pasar Kerja Versus Perlindungan Tenaga Kerja
Indonesia, Vol. V, No.2, 2010 di unduh Pada 09 Maret 2019 Pukul 05.20 WIB
81

yang mempunyai kepentingan dalam pasar kerja. Pertemuan antar

kepentingan dalam pasar kerja fleksibel adalah mencari pekerjaan serta

mencari tenaga kerja untuk dipekerjakan.

3. Prinsip Pasar Kerja Fleksibel

Pasar kerja fleksibel merupakan suatu konsep pasar tenaga kerja

dengan mengedepankan fleksibilitas para pihak di dalam pasar kerja. Baik

tenaga kerja maupun pemberi pekerjaan mempunyai kedudukan yang sama.

Karena dalam pasar kerja fleksibel hubungan yang terjadi tergantung dari

penawaran dan permintaan pekerjaan maupun tenaga kerja.

Tanggung jawab negara dalam membuka akses pasar kerja yang

fleksibel ditentukan bagaimana kondisi pasar kerja itu sendiri, hal ini pun

dipengaruhi oleh bentuk tanggung jawab negara dan bagaimana perlindungan

tenaga kerja oleh negara. Berikut adalah penggambaran bagaimana perbedaan

antara pasar kerja yang diatur/kaku dan pasar kerja yang tidak diatur/fleksibel

Tabel 1. Perbandingan Pasar Kerja

KAKU/DIATUR FLEKSIBEL/ TIDAK DIATUR


Standar Rekruitmen pekerja di Tidak ada strandar rekruitmen
atur pekerja
Hak Pengusaha melakukan PHK Hak Pengusaha utk melakukan
dibatasi PHK tidak dibatasi
Harus ada pemberitahuan bila Tidak perlu ada pemberitahuan bila
PHK PHK
Substansi persyaratan PHK sangat
Persyaratan PHK sangat ketat
longgar
Hubungan kerja waktu tertentu di Hubungan waktu kerja tertentu
batasi tidak dibatasi
Pekerja temporer di batasi Pekerja temporer tidak dibatasi
PHK kolektif sangat dibatasi PHK kolektif tidak dibatasi
82

Konsep pasar kerja fleksibel dalam implementasinya memiliki tiga

prinsip keleluasaan yaitu :

a. Keleluasaan transaksi jual-beli tenaga kerja yang diasumsikan berjalan

secara alamiah yang mempertemukan antara pembeli dan penjual

tenaga kerja. Prinsip ini mengandaikan kekuatan tawar yang seimbang

antara penjual dan pembeli tenaga kerja. Diasumsikan bahwa pembeli

tenaga kerja bebas mencari tenaga kerja sesuai dengan kebutuhan

rasional pembeli, sedangkan tenaga kerja bebas memilih pembeli

tenaga kerja yang sesuai dengan kebutuhan rasional tenaga kerja.

b. Keleluasaan untuk mempekerjakan dan melepas tenaga kerja sesuai

dengan kebutuhan tanpa campur tangan pemerintah dalam bentuk

regulasi yang melindungi pekerja. Prinsip ini menghendaki

dihapuskannya berbagai peraturan pemerintah yang melindungi tenaga

kerja agar beban biaya tenaga kerja dapat dikurangi dan agar

perusahaan dapat dengan lincah mengambil tindakan ketika terjadi

guncangan ekonomi.

c. Keleluasaan untuk menerapkan hubungan dan syarat kerja tanpa

gangguan dari serikat buruh. Prinsip ketiga ini melihat bahwa serikat

buruh merupakan sebuah entitas kolektif yang menimbulkan biaya

tinggi dalam urusan hubungan kerja dan mengurangi kelincahan

perusahaan dalam mengambil langkah-langkah yang diperlukan dalam


83

menghadapi guncangan ekonomi, dalam hal ini dalam kaitannya

dengan fleksibilitas dalam penggunaan jumlah pekerja.104

Pasar kerja fleksibel sendiri dinilai sebagai solusi untuk efisiensi

produksi, maksimalisasi keuntungan, sekaligus pemerataan kesempatan kerja,

pengurangan tingkat pengangguran dan perbaikan tingkat pendapatan.

Kebebasan ini dipandang membuka peluang bagi para penganggur dan pekerja

di sektor informal untuk mudah berpindah ke sektor formal yang dinilai lebih

aman, adil, dan menyejahterakan. Namun apabila di terapkan di Indonesia

nampaknya sangat sulit karena pasar kerja di Indonesia mengandung ciri

dualisme pasar kerja dengan over supply tenaga kerja tidak terampil. Kondisi

ini membantah logika kesetaraan kebebasan antara pencari dan pengguna

kerja. Mayoritas pekerja berada dalam posisi yang lemah. Di tingkat pasar

tenaga kerja internal, dualisme pasar kerja menciptakan fragmentasi pekerja

berdasarkan keterampilan, status hubungan kerja dan upah. Kelebihan

penawaran tenaga tidak terampil, melemahkan posisi tawar pekerja dan

membatasi peluang untuk meningkatkan pendapatan.105

4. Tujuan Pasar Kerja Fleksibel

Konsep pasar kerja fleksibel di Indonesia diakomodasikan dalam

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) tahap pertama

di masa pemerintahan presiden Susilo Bambang Yodhoyono. yang dimana

104
Akatiga, Pasar Kerja Fleksibel dan keadilan bagi kaum buruh,
https://www.akatiga.org/language/id/portfolio-item/pasar-kerja-fleksibel-dan-keadilan-bagi-
kaum-pekerja-2
105
Hari Nugroho dan Indrasari Tjandraningsih, Loc.Cit.
84

menjadi rangkaian Rencana Pembangunan Jangka Panjang dua puluh tahunan

dari tahun 2005 hingga 2025.

Pasar kerja fleksibel adalah suatu solusi yang hadir di kala Indonesia

mengalami krisis pada tahun 1997 – 1998, yang mengakibatkan banyaknya

pekerja yang berada di sektor formal berpindah kepada sektor yang

tradisional. Meskipun sektor tradisional ini dapat menyelamatkan pekerja

Indonesia ketidaksediaan lapangan kerja pada masa itu. Namun hal ini justru

merugikan bagi pekerja, karena di dalam sektor kerja tradisional, pekerja tidak

memiliki perlindungan baik secara upah maupun kontrak kerja.

Sektor kerja tradisional atau dikenal dengan sektor kerja Informal

adalah sektor kerja yang memberikan kemudahan bagi pekerja untuk

mendapatkan pekerjaan, namun tidak mempunyai kepastian mengenai upah

maupun kepastian kontrak kerja, sektor kerja informal ini sering kali

menimbulkan hubungan kerja yang ekploitatif atau kontrak “hobbesian” yang

dimana pekerja memperbudak dirinya sendiri, akibat adanya kepercayaan

bahwa majikan atau pengusaha mempunyai kekuatan absolut.106

Sektor kerja informal pada dasarnya tidak memiliki kontrak kerja

ataupun perjanjian kerja baik antara pekerja dengan pengusaha dan perjanjian

kerja bersama pengusaha dengan serikat pekerja. Karena sektor kerja informal

adalah sektor kerja yang terdiri dari unit usaha berskala kecil yang

memproduksi, mendistribusi barang dan jasa dengan tujuan pokok

menciptakan kesempatan kerja dan pendapatan bagi dirinya masing-masing

serta dalam usahanya itu sangat dibatasi oleh modal dan keterampilan.
106
Ibid, hlm 4
85

Mayoritas perusahaan yang berada di dalam sektor kerja informal kebanyakan

tidak terorganisasi, tidak teratur dan kebanyakan legal namun tidak

terdaftar.107

Sektor kerja informal kebanyakan di isi oleh tenaga kerja yang tidak

terdidik dan tidak memiliki skill, hal ini karena banyaknya tenaga kerja

memiliki tingkat pendidikan yang rendah dan tidak mempunyai skill bekerja.

Tahun 2019 jumlah pekerja di sektor informal jumlah pekerja di tahun yang

sama sejumlah 74.093.224 orang atau meningkat 0,16 persen dari tahun

sebelumnya. Sementara pekerja di sektor formal sebanyak 55.272.968 pekerja

atau meningkat 4,1 persen dari tahun sebelumnya sebanyak 53.094.391

pekerja.108

Tren delapan tahun terakhir pertumbuhan sektor formal cenderung

lebih tinggi ketimbang pekerja sektor informal. Meski demikian, pekerja

Indonesia masih didominasi pekerja informal 57,27 persen dibanding pekerja

informal 42,73 persen pada 2019.109 Tidak menutup kemungkinan juga bahwa

sektor kerja formal memiliki pekerja yang berpendidikan rendah, hal ini

dibuktikan bahwa sektor kerja formal yang bergerak di industri yang tidak

memiliki keahlian khusus sangat diminati di Indonesia.

Kurangnya pengetahuan mengenai peraturan ketenagakerjaan

khususnya mengenai hubungan industrial dan juga mengenai hak dan

kewajibannya, sering kali menjadikan pekerja berada pada posisi yang

107
Ibid hlm 5
108
Ahmad Ansori, Jumlah Pekerja Formal dan Informal,
https://lokadata.beritagar.id/chart/preview/jumlah-pekerja-formal-dan-informal-2012-2019
diunduh pada 29 Januari 2020 Pukul 22.00 WIB
109
Loc.Cit.
86

dirugikan. Kondisi ini di perparah dengan “celah” yang dipahami oleh

pengusaha mengenai perjanjian kerja waktu tertentu yang menyebabkan

semakin rendahnya keinginan dari dunia pemakai tenaga kerja untuk

mengembangkan stok tenaga kerja.

Baik mengembangkannya melalui training maupun membiayai

pendidikan pekerja untuk menjadi tenaga kerja terdidik. Tapi resiko dari

tenaga kerja yang sudah terdidik, selain mengetahui hak dan kewajibannya

sebagai pekerja memiliki posisi yang setara dengan pengusaha juga akan

semakin mudah untuk pindah pekerjaan sesuai dengan pilihan yang mereka

inginkan. Dengan demikian dalam jangka panjang pengembalian sosial dari

training untuk perusahaan semakin kecil. Secara agregat dalam jangka

panjang rendahnya keinginan untuk mengembangkan training menyebabkan

persoalan tersendiri. Sebagai reaksi dari dampak labor turn over maka

outsourcing merupakan pilihan yang berkembang. Pasar kerja outsourcing

akan menyebabkan harga tenaga kerja yang berkualitas semakin meningkat.

Diprediksi kestabilan pada tingkat mikro, perusahaan akan terganggu. Untuk

menentukan strategi ketenagakerjaan ke depan perlu diakomodasi, agar pasar

kerja fleksibel dengan penjabaran sebagai berikut ini :

a. Fleksibilitas pasar kerja bukan hanya formal. Jika fleksibilitas

pasar kerja yang dipahami sepanjang pasar kerja formal maka

peraturan ketenagakerjaan akan terjebak ke dalam konteks

pengaturan ketenagakerjaan saja. Pasar kerja Indonesia didominiasi

oleh pasar kerja non formal, artinya entry dan exit yang terjadi
87

seharusnya mendorong proses entry dan exit yang semakin

berkualitas pada sektor bukan formal. Sudah saatnya difikirkan

intervensi agar pasar kerja non formal memiliki kualitas dan daya

serap yang semakin diperhitungkan. Dalam hal ini mekanisme

pemerintah sangat penting dari pusat sampai ke daerah.

b. Fleksibilitas pasar kerja bersifat new entrants. Dalam hal ini pasar

kerja lebih fokus lagi kepada pilihan antara keinginan dari

penganggur dengan lapangan kerja yang diinginkan. Hanya 27%

dari penganggur pernah punya pengalaman kerja sementara sisanya

sebagai pencari kerja baru. Upaya untuk mempersiapkan stok

penganggur muda sebagai entry point merupakan salah satu

kebijakan fleksibilitas dari sisi penawaran.

c. Fleksibilitasnya juga dirancang untuk wanita tapi kelihatannya

belum terakomodasi dalam RPJM pusat sampai ke daerah. Sejarah

menunjukkan Amerika Serikat maju perekonomiannya sejak tahun

1920-2000 dijelaskan oleh fenomena women economics

(Economist, April 2006), yaitu perekonomian dimana peranan

wanita semakin besar dari tahun ketahun. Fleksibilitas pasar kerja

perlu dirancang secara compatible antara gender dan saatnya

program pembangunan ketenagakerjaan mengakamodasi persiapan

wanita pada pasar kerja.

d. Fleksibilitas juga untuk produk pendidikan. Cara yang ditempuh

oleh dunia pendidikan perlu memiliki jenjang dan jenis pendidikan


88

yang akan diutamakan. Ciri dari produk pendidikan menghasilkan

mereka yang sensitif terhadap lingkungan pengetahuan yang

menjadikan seseorang mampu mengambil keputusan untuk

menghadapi persoalan masing-masing. Artinya man power

planning salah satu upaya awal untuk memetakan kebutuhan skill

dan level pendidikan yang dihasilkan untuk pasar kerja. Namun

dalam implementasinya man plower planning dilengkapi dengan

gugatan keilmuwan dan keterampilan agar angkatan kerja semakin

fleksibilitas dalam menetapkan pilihan.

e. Fleksibilitas juga dirancang untuk proses training yang diperlukan

karena kurangnya keterampilan, wawasan dan emosional sampai

kepada spritual angkatan kerja. Fleksibilitas dari training harus

mencapai dan mengakomodasi keempat tujuan diatas. Jika training

untuk melengkapi melengkapi keterampilan peserta training, maka

unsur keterampilan saja tidak cukup menggerakkan individu dalam

organisasi sukses untuk melaksanakan kegiatannya. Sehingga

justru pengembangan emosional dimana setiap orang akan bekerja

sesuai dengan prinsip ibadah yang benaran. Jika ini yang

diakomodasikan maka angkatan kerja yang mendapat tambahan

kualifikasi siap dipekerjakan dimana saja lini pekerjaan yang

membutuhkannya.110

Penjelasan mengenai pasar kerja fleksibel diatas dapat diambil

inti dari tujuan pasar kerja fleksibel adalah untuk mendistribusikan tenaga
110
Nurlina,...Op.Cit. hlm 7.
89

kerja yang berada di sektor informal/tradisional berpidah kepada sektor

formal/modern. Serta pasar kerja fleksibel juga mempunyai tujuan untuk

melemahkan perlindungan pekerja yang terlalu kaku karena membatasi

hak preogratif pengusaha dalam menentukan arah kebijakan internal

perusahaan.
91

BAB III
METODE PENELITIAN

A. Metode Pendekatan

Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan ini adalah yuridis

normatif atau penelitian hukum yang hanya meneliti bahan pustaka sehingga

disebut juga penilitian hukum kepustakaan. Penelitian dengan pendekatan

yuridis normatif ada dua unsur yaitu unsur ideal dan unsur riel, unsur ideal

mencakup susila dan rasio manusia, rasio susila menghasilkan

pengertian/pokok/dasar dalam hukum seperti masyarakat hukum, peristiwa

hukum, subjek hukum, hak dan kewajiban dan hubungan hukum, sehingga

unsur ideal menghasilkan kaidah-kaidah hukum.111

B. Pendekatan Masalah

Metode pendekatan masalah yang digunakan dalam penelitian ini yaitu

metode pendekatan perundang-undangan (Statute Approach) yang merupakan

suatu pendekatan dengan memahami hierarki dan asas-asas dalam peraturan

perundang-undangan. Dalam pendekatan ini penulis meneliti hierarki dan

asas-asas dalam pembetukan peraturan perundangan-undangan dengan

menelaah pula materi muatannya, dasar ontologis lahirnya Undang-Undang,

landasan filosofis Undang-Undang, dan ratio legis dari ketentuan Undang-

Undang yang berhubungan dengan politik hukum kebijakan pasar kerja

fleksibel dalam hukum ketenagakerjaan.

111
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Jakarta, PT Raja Grafindo
Persada, 2007, hlm 14.
92

Metode pendekatan masalah yang dipakai selanjutnya adalah metode

pendekatan konseptual (Conceptual Approach), yaitu metode pendekatan

dengan mempelajari pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin yang

berkembang di dalam ilmu hukum.112 Penelitian ini mengkaji mengenai

konsep kebijakan pasar kerja fleksibel dalam Hukum ketenagakerjaan yang

mana akan dibenturkan dengan doktrin Politik hukum khususnya mengenai

teori konfigurasi politik menurut Mahfud M.D dalam pembentukan kebijakan

konsep pasar kerja fleksibel.

Metode ketiga yang dipakai dalam penelitian ini adalah metode

pendekatan analisis (analitical approach), metode pendekan analisis adalah

pendekatan dengan menganalisis bahan hukum untuk mengetahui makna yang

dikandung pada istilah-istilah dalam aturan perundang – undangan secara

konsepsional.113 Istilah-istilah yang dianalis maknanya dalam penelitian ini

adalah mengenai pasar kerja fleksibel dalam hukum ketenagakerjaan.

C. Spesifikasi Penelitian

Spesifikasi penelitian dalam penelitian ini menggunakan spesifikasi

penelitian preskriptif, yaitu suatu penelitian mempelajari tujuan hukum, nilai-

nilai keadilan, validitas aturan hukum, konsep-konsep hukum dan norma-

norma hukum, sebagai ilmu terapan ilmu hukum menetapkan standar,

prosedur, ketentuan-ketentuan, rambu-rambu dalam melaksanakan aturan

hukum.114

112
Peter Mahmud Marzuki,Penelitian Hukum Edisi Revisi, Jakarta, Kencana Prenada Media
Group, 2014, hlm 135.
113
Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Bayumedia, Malang,
2007, hlm 310.
114
Peter Mahmud Marzuki, Op.cit hlm 22.
93

D. Sumber Bahan Hukum

Sumber data dalam penelitian ini menggunakan data sekunder dari

bahan hukum meliputi:

1. Bahan Hukum Primer yaitu bahan hukum yang bersifat autoratatif

artinya mempunyai otoritas. Bahan hukum primer terdiri dari seperti :

a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;


b. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan;
c. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011
Tentang Pembentukan Peraturan Perudang-Undangan;
d. Undang-Undang Republik Indoneisa Nomor 12 Tahun 2011
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 15
Tahun 2019 Tentang Pembentukan Peraturan Perudang-Undangan;
e. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2007
tentang Rencana Pembangunan Jangka Nasional;
f. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2005
Tentang Rencana Pembangunan Jangka Mengenah Nasional Tahun
2005 – 2009.
g. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2010
Tentang Rencana Pembangunan Jangka Mengenah Nasional Tahun
2010 – 2014.
h. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2015
Tentang Rencana Pembangunan Jangka Mengenah Nasional Tahun
2005 – 2019.
i. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2020
Tentang Rencana Pembangunan Jangka Mengenah Nasional Tahun
2020 – 2025.
2. Bahan Hukum Sekunder (Kepustakaan)115 , yaitu bahan hukum yang

berupa semua publikasi tentang hukum yang bukan merupakan

dokumen dokumen resmi. Publikasi hukum meliputi buku-buku teks,

skripsi, tesis, disertasi, kamus-kamus hukum, jurnal-jurnal hukum, dan

komentar komentar atas putusan pengadilan,116 serta tidak luput dari

bahan penelitian hukum, laporan hukum, dan media cetak.


115
Bambang Sunggono, 2013, Metode Penelitian Hukum, RajaGrafindo Persada, Jakarta, hlm.
113
116
Ibid, hlm 141.
94

3. Bahan hukum tersier Non Hukum, bahan-bahan non-hukum

merupakan penunjang bahan hukum yang berupa karya-karya filsafat,

ekonomi politik dan ekonomi pembangunan yang relevan dengan

penelitian.

E. Metode Pengumpulan Bahan Hukum

Metode pengumpulan data yang akan digunakan oleh peneliti studi

kepustakaan dan dokumentasi. Yaitu dengan mempelajari dan mencatat bahan

hukum dan non hukum yang ada, seperti peraturan – peraturan yang ada, teori

teori yang berkesinambungan dengan objek penelitian serta hasil – hasil

penelitian. Data Sekunder yang diperoleh dengan inventarisasi terhadap

peraturan perundang-undangan, dokumen resmi dan litelatur yang berkaitan

dengan pokok permasalahan untuk kemudian dikaji sebagai pedoman

penyusunan data yang relevan dengan masalah yang diteliti kemudian

diindentifikasi dan dipelajari sebagai satu kesatuan yang utuh.

F. Metode Penyajian Bahan Hukum

Bahan hukum yang diperoleh disajikan secara teks deskriptif naratif

yang disusun secara sistematis, logis, dan rasional, yang didahului dengan

pendahuluan yang berisi latar belakang masalah, tujuan penelitian, tinjauan

pustaka, metode penelitian dan diteruskan dengan analisis bahan hukum dan

hasil pembahasan serta diakhiri dengan simpulan.

Keseluruhan bahan hukum yang diperoleh akan dihubungkan satu

dengan lainnya disesuaikan dengan pokok permasalahan yang diteliti. Bahan

hukum yang disajikan dalam penulisan ini berisi tentang teori-teori yang
95

relevan dengan konfigurasi politik dalam politik hukum, Hukum

Kenagakerjaan, dan mengenai Pasar kerja Fleksibel dengan melihat

koherensitas antara peraturan perundang-undangan yang ada. Bahan hukum

tersebut selanjutnya dijadikandasar dalam membahas permasalahan sampai

pada kesimpulan yang menjadi jawaban atas permasalahan.

G. Metode Analisis Bahan Hukum


Data yang diperoleh akan di analisa secara kualitatif, yaitu analisis

yang dilakukan dengan cara memahami dan merangkai bahan hukum yang

telah dikumpulkan dan disusun sistematis. Interpretasi yang digunakan dalam

penelitian ini menggunakan interpretasi gramatikal dan interpretasi sistematis.

Interpretasi gramatikal yaitu metode penafsiran hukum pada makna

teks yang di dalam kaidah hukum dinyatakan. Penafsiran dengan cara

demikian bertitik tolak pada makna menueut pemakaian bahasa sehari-hari

atau makan teknis-yuridis yang lazim atau dianggap sudah baku. 117

Interpretasi yang digunakan adalah interpretasi sistematis, yaitu menafsirkan

dengan memperhatikan naskah-naskah hukum yang berhubungan dengan

Politik Hukum kebijakan Pasar Kerja Fleksibel dalam Hukum

Ketenagakerjaan.

Penafsiran yang dilakukan tidak terlepas dari bahan hukum yang sudah

didokumentasikan. Dalam penafsiran ini mencari ketentuan-ketentuan yang

ada didalam bahan hukum yang didokumentasikan, dan mencari

keterhubungan sekaligus apakah hubungan tersebut menentukan makna

selanjutnya. Dalam hubungan tatanan hukum yang tidak terkodifikasi,


117
Jimly Asshiddiqie, Teori & Aliran Penafsiran Hukum Tata Negara, Ind. Hill.Co, Jakarta,
1997 hlm 17.
96

merujuk pada sistem dimungkinkan sepanjang karakter sistematis dapat

diasumsikan (diandaikan). Kemudian data yang telah dikumpulkan akan

diuraikan dengan secara bermutu dalam kalimat yang teratur, runtut, dan logis.
97

BAB IV

Hasil Penelitian dan Pembahasan


A. Fleksibilitas Pasar Kerja dalam Peraturan Perundang-Undangan
Ketenagakerjaan

Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan

merupakan jawaban atas political will pemerintah dalam lapangan hukum

ketenagakerjaan pasca reformasi yang mempunyai tujuan luhur bagi

perlindungan hukum terhadap tenaga kerja, hal ini atur dalam Pasal 4 Undang-

Undang Ketenagakerjaan yang berbunyi:

1. Memberdayakan dan mendayagunakan tenaga kerja secara optimal


dan manusiawi.
2. Mewujudkan pemerataan kesempatan kerja dan penyediaan tenaga
kerja yang sesuai dengan kebutuhan pembangunan nasional dan
daerah.
3. Memberikan perlindungan kepada tenaga kerja dalam mewujudkan
kesejahteraan.
4. Meningkatkan kesejahteraan tenaga kerja dan keluarganya.118

Keempat tujuan tersebut merupakan suatu antitesa dari permasalahan

yang berkembang dari hubungan kerja dalam suatu konsep ketenagakerjaan.

Ketenagakerjaan merupakan suatu konsep kerja yang berkembang seiring

berkembangannya masyarakat. Konsep tersebut merupakan suatu hubungan

yang bersifat timbal balik antara pekerja dan pengusaha. Hal ini dikarenakan

bahwa setiap pihak mempunyai hak dan kewajibannya masing-masing.

Pekerja berkewajiban untuk bekerja dan menjalankan proses produksi,

sedangkan hak yang didapat adalah perlindungan upah, jaminan kesejahteraan,

118
Abdul Khakim, Dasar – dasar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, Citra aditya Bakti,
cetakan ke-4 edisi revisi, 2014. Hlm 12
98

jaminan hari tua, dan hak untuk berserikat dan berkumpul sebagaimana

dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang

Ketenagakerjaan. Pengusaha mempunyai kewajiban untuk memberikan upah

dan memberikan jaminan kesejahteraan bagi pekerja beserta keluarganya

dengan jaminan Hak yang didapatkan adalah hasil dari pekerjaan

karyawannya, memerintah/mengatur karyawan, memberhentikan pekerja

sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Oesman berpendapat bahwa hukum ketenagakerjaan terbagi menjadi

tiga kelompok, yaitu yang mengatur masa sebelum bekerja (pre-employment),

masa selama bekerja (during employment), dan masa setelah bekerja (post-

emlpoyment).119 Mengenai masa sebelum bekerja yang berkaitan dengan

pengaturan lowongan kerja, pengerahan dan penempatan tenaga kerja untuk

menjamin pemenuhan tenaga kerja. Permasalahan mengenai masa sebelum

bekerja diatur dalam beberapa peraturan perundang-undangan antara lain 120:

1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1981 tentang wajib lapor


Ketenagakerjaan Indonesia.
2. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
3. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 Tentang Pelindungan
Pekerja Migran Indonesia.
4. Keputusan Presiden Nomor 4 Tahun 1980 tentang Wajib Lapor
Lowongan Pekerjaan.
5. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor
Kep.228/MEN/2003 tentang Tata Cara Pengesahan Penggunaan
Tenaga Kerja Asing.
6. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor
PER.02/MEN/III/2008 tentang Tata Cara Penggunaan Tenaga
Kerja Asing.
119
Abdul Khakim, Dasar – dasar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, Citra aditya Bakti,
cetakan ke-4 edisi revisi, 2014. Hlm 12
120
99

7. Peraturan Menteri Ketenagakerjaan dan Transmigrasi Republik


Indonesia Nomor PER.16/MEN/XI/2010 tentang Perencanaan
Tenaga Kerja Makro
8. Peraturan Menteri Ketenagakerjaan dan Transmigrasi Republik
Indonesia Nomor PER.17/MEN/XI/2010 tentang Perencanaan
Tenaga Kerja Mikro
9. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 50 Tahun 2010 tentang
Pedoman Pemantauan Tenaga Kerja Asing di Daerah.

Peraturan-peraturan diatas sebenarnya dapat dikatakan sebagai

perlindungan hak pada angkatan kerja yang berada dalam status Pengangguran

maupun Pengangguran terbuka, dan persamaan hak bekerja untuk tenaga kerja

lintas daerah maupun lintas negara. Dalam kata lain pre-employment juga

berkaitan dengan Pasar Kerja.

Pasar kerja merupakan tempat bertemunya pencari kerja dan pencari

tenaga kerja yang pada Prinsipnya mempunyai kedudukan yang setara. Dalam

pasar kerja yang dimaksud dengan kedudukan yang setara adalah sebagaimana

dimaksud dalam pasar bebas itu sendiri, artinya setiap orang berhak untuk

menawarkan pekerjaan dan memilih pekerjaan tanpa ada diskriminasi dari

pencari pekerjaan.

Payaman J. Simandjutak berpendapat bahwa Pasar kerja merupakan

salah satu proses terjadinya penempatan atau hubungan kerja melalui

penyediaan dan permintaan tenaga kerja. Sedangkan menurut Rachmawati

Pasar kerja adalah seluruh kegiatan yang mempertemukan pencari kerja dan

lowongan kerja, yaitu pengusaha atau produsen, pencari kerja, perantara atau
100

pihak ketiga dimana terdapat kemudahan bagi kedua pihak untuk saling

berhubungan.121

Pasar kerja sendiri memiliki perbedaan disetiap negara, tergantung

doktrin apa yang berkembang dalam suatu negara. Hal ini dikarekan dari pola

hubungan industrial yang terjadi dalam suatu negara tergantung ideologi dan

doktrin apa yang berkembang, maka dari itu pasar kerja dibagi menjadi 3 jenis

yaitu :

2. Pasar Bersaing Sempurna; "Banyak Perusahaan dengan Banyak


Buruh/Pekerja"

Pasar bersaing sempurna dicirikan oleh dua hal yaitu :


a. Keseimbangan kekuatan antara sisi permintaan dengan
sisi penawaran
b. Kesempurnaan informasi.122
Pasar bersaing sempurna (pasar kompetitif) dicirikan oleh
jumlah pencari kerja dan jumlah perusahaan yang membutuhkan
tenaga kerja yang sama banyaknya. Sama-sama banyak disini tidak
hanya mengacu kepada jumlah fisik, melainkan lebih kepada
tingkat independensinya, baik diantara tenaga kerja maupun juga
diantara perusahaan. Mengingat diantara tenaga kerja maupun
diantara perusahaan memiliki independensi (kemandirian/tidak ada
ketergantungan), maka kedua belah pihak secara individual tidak
memiliki kekuatan nyata untuk menentukan tingkat upah. Dalam
situasi ini upah ditentukan berdasarkan keseimbangan kekuatan
antara penawaran dan permintaan tenaga kerja.123

3. Pasar Monopsoni; "Satu Perusahaan dengan Banyak


Buruh/Pekerja"
Pasar monopsoni digambarkan sebagai sebuah pasar yang
hanya memiliki satu pembeli dan banyak penjual. Dalam pasar
tenaga kerja, hal ini bermakna hanya satu perusahaan yang

121
Payaman Simanjutak, Masalah Upah dan Jaminan Sosial, Jurnal Ekonomi dan
Pembangunan, Volume X Nomor 1, Hlm 32
122
Markus Sidauruk. Kebijakan Pengupahan di Indonesia: Tinjauan Kritis dan Panduan
Menuju Upah Layak. Jakarta: PT. Bumi Intitama Sejahtera, 2011. Hlm 87
123
Loc.Cit
101

membutuhkan jasa pekerja, akan tetapi ada banyak sekali tenaga


kerja yang membutuhkan pekerjaan.124
Pengertian "satu perusahaan" bukan berarti secara fisik,
tetapi perusahaan-perusahaan tergabung dalam "satu asosiasi
perusahaan" yang membuat perilaku seragam diantara anggotanya.
Dengan demikian "perusahaan monopsoni" (satu perusahaan tadi)
memiliki kekuatan nyata dalam pasar untuk menentukan tingkat
upah. Dalam situasi ini upah buruh/pekerja sering berada dibawah
tingkat produktivitasnya atau dengan kata lain terjadi eksploitasi
tenaga kerja.125

Keseimbangan pasar tenaga kerja yang monopsonistik,


buruh dibayar lebih rendah dibandingkan produktivitasnya. Selisih
antara produktivitas buruh dengan upah yang diterima ini sering
disebut sebagai eksploitasi.126

4. Pasar Monopoli; "Banyak perusahaan dengan Satu Buruh"


Pasar monopoli secara sederhana digambarkan terdapat
banyak perusahaan yang membutuhkan tenaga kerja tetapi hanya
ada satu pencari kerja.127
Pengertian "satu pencari kerja" bukan berarti secara fisik,
tetapi satu serikat buruh/pekerja yang sangat kuat sehingga
membentuk keseragaman perilaku tenaga kerja. Dengan demikian
satu Serikat Buruh memiliki kekuatan untuk menentukan tingkat
upah dalam pasar tenaga kerja. Dalam situasi ini upah pekerja
adalah upah maksimum dan kenaikan upah mendorong
peningkatan pengangguran. 128

Indonesia sendiri dalam penyelenggaraaan pasar kerja masih

didominasi dengan ketimpangan supply and demand antara permintaan

pekerja dengan permintaan lapangan pekerjaan. Hal ini ditandai dengan masih

surplus tenaga kerja yang tidak bekerja (penggangguran) sebesar 5,28% atau

7,05 juta jiwa, 8,13 juta jiwa setengah menganggur, dan 28,41 juta jiwa

124
Ibid. Hlm 88
125
Loc.Cit
126
Ibid. Hlm 90
127
Loc.Cit
128
Ibid. Hlm 91
102

bekerja paruh waktu129. Sehingga dapat disimpulkan bahwa karakteristik pasar

kerja di Indonesia termasuk kedalam jenis pasa kerja monopsoni.

Penyelenggaraan pasar tenaga kerja di Indonesia ditangani oleh

Kementrian Ketenagakerjaan. Perusahaan yang membutuhkan tenaga kerja

dapat menyampaikan jumlah dan kualifikasi tenaga kerja yang dibutuhkan

beserta persyaratannya ke Kementrian Ketenagakerjaan. Kemudian kemnaker

akan mengumumkan kepada masyarakat umum tentang adanya permintaan

tenaga kerja tersebut.

Lembaga-lembaga yang ada di dalam pasar kerja tidak boleh

menghalangi fungsi pasar kerja, atau mendistorsi supply pekerja, atau merusak

fungsi equilibrium mekanisme pasar kerja, sehingga membuat pasar kerja

atraktif untuk melakukan fungsinya, antara lain dalam merekrut pekerja untuk

mengurangi tingkat pengangguran.

Secara sosiologis kedudukan antara pencari kerja dan pencari tenaga

kerja tidak mempunyai kedudukan yang seimbang, karena pencari kerja hanya

mengandalkan tenaga yang melekat pada dirinya untuk melaksanakan

pekerjaan, selain itu pencari tenaga kerja atau pemberi kerja sering

menganggap tenaga kerja merupakan objek dalam hubungan kerja. Pekerja

dipandang sebagai objek adalah Pekerja dipandang oleh para pengusaha

sebagai faktor ekstern yang berkedudukan sama dengan pelanggan pemasok

atau pelanggan pembeli yang berfungsi menunjang keberlangsungan

129
Badan Pusat Statistik, Agustus 2019 : Tingkat Pengganguran Terbuka Sebesar 5,28%,
https://www.bps.go.id/pressrelease/2019/11/05/1565/agustus-2019--tingkat-
pengangguran-terbuka--tpt--sebesar-5-28-persen.html Diakses pada Rabu 09 September
2020 Pukul 02.30
103

perusahaan dan bukan faktor intern sebagai bagian yang tidak terpisahkan atau

unsur konsumtif yang menjadikan perusahaan.130

Pasar tenaga kerja era industri 4.0 di Indonesia sendiri tidak terlepas

dari rangkaian persoalan tentang produktivitas pekerja dan kesenjangan

tingkat upah sehingga menghambat kemampuan pasar kerja menyediakan

lapangan pekerjaan. Hal ini dikarenakan supply dan demand yang sangat

kontras antara Pencari Pekerjaan (tenaga kerja) dan lapangan pekerjaan.

Sebagaimana diketahui bahwa pasar tenaga kerja era industri 4.0 harus

memiliki keseimbangan antara supply dan demand Pencari Pekerjaan dan

Lapangan Pekerjaan. Hal ini berkaitan dengan kesetaraan bargaining position

antara pekerja, pencari kerja, dan pemberi pekerjaan dalam pasar kerja.

Pasar kerja fleksibel sendiri dinilai sebagai solusi untuk efisiensi

produksi, maksimalisasi keuntungan, sekaligus pemerataan kesempatan kerja,

pengurangan tingkat pengangguran dan perbaikan tingkat pendapatan.

Kebebasan ini dipandang membuka peluang bagi para penganggur dan pekerja

di sektor informal untuk mudah berpindah ke sektor formal yang dinilai lebih

aman, adil, dan menyejahterakan. Sementara itu, keterkaitan fleksibilitas pasar

tenaga kerja dengan kesempatan kerja masih merupakan perdebatan. Beberapa

studi yang dilakukan International Labour Organization (ILO), misalnya,

menunjukkan bahwa peningkatan upah minimum pada tingkat yang moderat

130
D.Koeshartono dan M.F. Shellyana Junaedi, Hubungan Industrial Kajian Konsep dan
Permasalahan, Penerbitan Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Cetakan pertama,
Yogyakarta, 2005, Hlm 21
104

di Indonesia dan beberapa negara lainnya tidak terbukti mengurangi

kesempatan kerja

Faisal Basri menyatakan bahwa sektor formal adalah basis untuk

mempercepat terbentuknya lapisan kelas menengah yang kokoh. 131 Alih-alih

menciptakan lapisan menengah yang kokoh, fleksibilisasi pasar dan hubungan

kerja di sektor formal kini justru menciptakan barisan pekerja yang yang

semakin rentan dan suram masa depannya.132 Masyarakat miskin dengan

keterbatasan modal dan kurangnya keterampilan maupun pengetahuan, hanya

memiliki sedikit pilihan pekerjaan yang layak dan terbatasnya peluang untuk

mengembangkan usaha. Terbatasnya lapangan pekerjaan yang tersedia saat ini

seringkali menyebabkan mereka terpaksa melakukan pekerjaan yang beresiko

tinggi dengan imbalan yang kurang memadai dan tidak ada kepastian akan

keberlanjutannya.

Fleksibilitas Pasar Kerja merupakan salah satu instrument dalam

arahan kebijakan Pemerintah dalam RPMJN pertama pada Tahun 2005-2009

tentang Perbaikan Iklim Ketenagakerjaan yang diatur dalam Peraturan

Presiden Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2005 tentang Rencana

Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2004—2009.

Dalam arahan kebijakan tersebut menekankan kepada menciptakan fleksibiltas

pasar kerja dengan memperbaiki aturan main ketenagakerjaan yang berkaitan

dengan rekruitment, outsourcing, pengupahan, PHK serta memperbaiki aturan


131
Faisal Basri, Membangun Indutri yang tangguh, Juni 2014
https://faisalbasri.com/2014/06/07/membangun-industri-yang-tangguh/ Diakses pada 13
Juni 2020
132
Loc.Cit
105

main yang mengakibatkan perlindungan yang berlebihan, guna mendorong

hubungan industrial yang harmonis dan produktivitas yang tinggi, seiring

dengan peningkatan jumlah penyerapan tenaga kerja.

tersebut disebutkan rekomendasi evaluasi paruh waktu Rencana

Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2015 -2019 yang

berbarengan dengan perbaikan kebijakan impor bahan baku dari hulu ke hilir

dalam meningkatkan efisiensi dan daya asing, dengan berbagai kendala dan

tantangan yang dihadapi dalam dua tahun pertama pelaksanaan RPJMN 2015-

2019 perlu ditangani dengan cara:

1. Memperbaiki regulasi ketenagakerjaan, sehingga cukup fleksibel


dan mampu mendorong hubungan industrial yang harmonis dan
produktivitas yang tinggi, seiring dengan peningkatan jumlah
penyerapan tenaga kerja;
2. Memperbaiki kebijakan perdagangan terkait impor bahan baku
dengan mempertimbangkan kepentingan industri hulu, antara, dan
hilir dalam rangka meningkatkan efisiensi dan daya saing
keseluruhan rantai pasok.

Penerapan kebijakan yang hadir akibat adanya konsep Pasar Kerja

Fleksibel akhirnya akan berfokus kepada penerapan dalam peraturan yang

akan dibuat dalam revisi undang-undang ketenagakerjaan yang baru, hal

tersebut akan berfokus kepada :

a. Penggunaan tenaga kerja yang temporer atau pekerjaan yang tidak


bersifat tetap, yang akhirnya berimbas kepada adanya Perjanjian
Kerja Waktu Tertentu.
b. Penerapan rekruitmen pekerja.
c. Menciptakan Lapangan Pekerjaan berskala besar dengan berbasis
pada Investasi.
d. Mengubah aturan yang dianggap kaku mengenai perlindungan
pekerja yang menghambat perputaran rekruitment dalam pasar
kerja.
e. Mengubah aturan tentang Pemutusan Hubungan Kerja.
106

f. Meningkatkan kualitas pekerja dengan menambah pelatihan-


pelatihan yang berkaitan dengan kebutuhan industri yang berada
dalam sektor pasar kerja formal
g. Memperbaharui aturan terkait outsourching guna memudahkan
perpindahan pekerja yang berada dipekerjaan temporer.
h. Membuat aturan mengenai rekruitmen pekerja yang bertujuan
untuk menyamakan kedudukan pekerja, pencari kerja dan pemberi
pekerjaan, tanpa adanya campur tangan pemerintah
i. Memperbaharui aturan main terkait hubungan industrial agar
memudahkan penyelesaian perselisihan hubungan industrial.
j. Mengubah aturan pendidikan yang akan berpengaruh terhadap
penyediaan tenaga kerja yang terampil dalam proses new entry
employment. Artinya man power planning salah satu upaya awal
untuk memetakan kebutuhan skill dan level pendidikan yang
dihasilkan untuk pasar kerja. Namun dalam implementasinya man
plower planning dilengkapi dengan gugatan keilmuwan dan
keterampilan agar angkatan kerja semakin fleksibilitas dalam
menetapkan pilihan.
Pasar Kerja Fleksibel dalam penjelasan menurut Atkitson,

sebagaimana diketahui memiliki 4 jenis fleksibilitas, salah satunya adalah

fleksibilitas eksternal, dimana pekerjaan yang dilakukan bersifat temporer atau

kontrak kerja waktu tertentu, atau melalui peraturan rekrutmen dan PHK yang

longgar. Dengan kata lain, melonggarkan peraturan perlindungan pekerja,

dimana pengusaha dapat merekrut dan melakukan PHK agar tetap sesuai

dengan kebutuhan perusahaan. Hal ini adalah suatu antitesa dari permasalahan

banyaknya pengangguran yang terjadi akibat masa kerja yang tetap atau

bahkan mengenai Pemutusan Hubungan Kerja yang dianggap masih terlalu

sulit. Fleksibilitas eksternal dapat dikatakan suatu cara untuk memperbaiki

iklim ketenagakerjaan, yang masih didominasi pasar kerja yang bersifat

monopsoni.

Pasar kerja monopsoni sebagaimana dijelaskan diatas mempunyai

permasalahan perbandingan pekerja dan perusahaan yang timpang.


107

Ketimpangan tersebut dikarenakan masih banyaknya tenaga kerja yang

membutuhkan Pekerjaan, sedangkan Lapangan Pekerjaan sangat minim. Hal

tersebut bisa berdampak pada posisi tawar pekerja. Posisi tawar pekerja dalam

hal ini mengenai politik upah murah yang dihasilkan dari kesepakatan antara

pemerintah dan para pengusaha, untuk menjaga ketimpangan Iklim

Ketenagakerjaan yang tidak seimbang. Hal terserbut pernah terjadi di

Indonesia ketika mengalami Krisis Moneter pada tahun 1997-1998 yang

berimbas kepada Iklim Ketenagakerjaan yang tidak sehat.

Ketimpangan tersebut jelas merugikan Pekerja, hal inilah yang

akhirnya menimbulkan gagasan untuk dibuatnya undang-undang baru

mengenai ketenagakerjaan. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang

Ketenagakerjaan sudah dianggap oleh asosiasi pengusaha Indonesia (Apindo)

kurang fleksibel dalam menyambut pasar kerja di era ekonomi industri 4.0.

Namun apabila dikaitkan dengan penjelasan Atkitson mengenai jenis

fleksibilitas pasar kerja, Undang-undang ketenagakerjaan memiliki beberapa

elemen yang sebagai kebijakan melindungi hak-hak pekerja. Tapi dalam

implementasinya sebagai penghambat terhadap peningkatan minat dalam

berinvestasi. Keadaan ini juga menyebabkan ketidak inginan para investor

untuk melakukan perluasan investasi. Hal ini juga perlu mendapat perhatian

yaitu kemampuan pekerja Indonesia untuk beradaptasi dengan berbagai

perubahan.133 Sebagaimana diketahui dalam Rencana Pembangunan Jangka

Menengah tahun 2005-2009 Pasar kerja Fleksibel dapat diterapkan dengan

133
Nurlina, Pasar kerja dan Ketenagakerjaan,…Op.Cit Hlm 4
108

menciptakan fleksibiltas pasar kerja dengan memperbaiki aturan main

ketenagakerjaan yang berkaitan dengan rekruitment, outsourcing, pengupahan,

PHK serta memperbaiki aturan main yang mengakibatkan perlindungan yang

berlebihan. Jauh sebelum RPJMN tersebut keluar Fleksibilitas Pasar kerja

telah di Implementasikan kedalam Undang-Undang Ketenagakerjaan, hal

tersebut akan dijabarkan sebagai berikut :

1. Fleksibilitas External

Fleksibilitas eksternal dalam pelaksanaannya mempunyai

kriteria penggunaan tenaga kerja secara temporer atau dengan

waktu tertentu. Penggunaan tenaga kerja tersebut dipengaruhi oleh

persaingan ketat mengenai kemajuan industri yang terus

berinnovasi menyesuaikan kebutuhan pasar bebas. Persaingan

industri dalam pasar bebas tidak serta merta membutuhkan produk

yang sama hingga bertahun-tahun, hal itu berkembang bersamaan

dengan budaya konsumerisme yang berkembang di tengah

masyarakat post-modern.

Penyelesaian masalah tersebut di Indonesia diatur dalam

hubungan kerja dengan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu(PKWT),

dan mengenai Peraturan Rekruitment dan Pemutusan Hubungan

Kerja(PHK). Hal ini akan dijabarkan sebagai berikut :

a. Perjanjian Kerja dengan Waktu Tertentu

PKWT adalah Perjanjian kerja yang di buat antara

Pekerja dan Pemberi kerja untuk pekerjaan yang jenis dan


109

sifatnya tertentu dan dapat diselesaikan dalam waktu

tertentu. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang

Ketenagakerjaan menyebutkan bentuk Perjanjian Kerja

Waktu Tertentu sebagai berikut :

(1) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu hanya dapat


dibuat untuk pekerjaan tertentu yang menurut
jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya akan
selesai dalam waktu tertentu, yaitu:
a. pekerjaan yang sekali selesai atau yang
sementara sifatnya;
b. pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya
dalam waktu yang tidak terlalu lama dan
paling lama 3 (tiga) tahun;
c. pekerjaan yang bersifat musiman; atau
d. pekerjaan yang berhubungan dengan produk
baru, kegiatan baru, atau produk tambahan
yang masih dalam percobaan atau
penjajakan.
(2) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu tidak dapat
diadakan untuk pekerjaan yang bersifat tetap.
(3) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu dapat
diperpanjang atau diperbaharui.
(4) Perjanjian kerja waktu tertentu yang didasarkan
atas jangka waktu tertentu dapat diadakan untuk
paling lama 2 (dua) tahun dan hanya boleh
diperpanjang 1 (satu) kali untuk jangka waktu
paling lama 1 (satu) tahun.
(5) Pengusaha yang bermaksud memperpanjang
perjanjian kerja waktu tertentu tersebut, paling
lama 7 (tujuh) hari sebelum perjanjian kerja
waktu tertentu berakhir telah memberitahukan
maksudnya secara tertulis kepada pekerja/buruh
yang bersangkutan.
(6) Pembaruan perjanjian kerja waktu tertentu hanya
dapat diadakan setelah melebihi masa tenggang
waktu 30 (tiga puluh) hari berakhirnya perjanjian
kerja waktu tertentu yang lama, pembaruan
perjanjian kerja waktu tertentu ini hanya boleh
dilakukan 1 (satu) kali dan paling lama 2 (dua)
tahun.
(7) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu yang tidak
memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud
110

dalam ayat (1), ayat (2), ayat (4), ayat (5), dan
ayat (6) maka demi hukum menjadi perjanjian
kerja waktu tidak tertentu.
(8) Hal-hal lain yang belum diatur dalam Pasal ini
akan diatur lebih lanjut dengan Keputusan
Menteri.

Dalam Keputusan Menteri Ketenakerjaan dan

Transmigrasi Republik Indonesia Nomor :

KEP.100/MEN/VI/2004 Tentang Ketentuan Pelaksanaan

Perjanjian Kerja Waktu Tertentu atau dikenal dengan

PKWT. PKWT dapat menjadi Perjanjian Kerja Waktu

Tidak Tentu Apabila tidak memenuhi syarat sebagaimana

diatur dalam Pasal 15 yang berbunyi :

(1) PKWT yang tidak dibuat dalam bahasa Indonesia


dan huruf latin berubah menjadi PKWTT sejak
adanya hubungan kerja.
(2) Dalam hal PKWT dibuat tidak memenuhi
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4
ayat (2), atau Pasal 5 ayat (2), maka PKWT
berubah menjadi PKWTT sejak adanya hubungan
kerja.
(3) Dalam hal PKWT dilakukan untuk pekerjaan
yang berhubungan dengan produk baru
menyimpang dari ketentuan Pasal 8 ayat (2) dan
ayat (3), maka PKWT berubah menjadi PKWTT
sejak dilakukan penyimpangan.
(4) Dalam hal pembaharuan PKWT tidak melalui
masa tenggang waktu 30 (tiga puluh) hari setelah
berakhirnya perpanjangan PKWT dan tidak
diperjanjikan lain sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3, maka PKWT berubah menjadi PKWTT
sejak tidak terpenuhinya syarat PKWT tersebut.
(5) Dalam hal pengusaha mengakhiri hubungan kerja
terhadap pekerja/buruh dengan hubungan kerja
PKWT sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),
ayat (2), ayat (3) dan ayat (4), maka hak-hak
pekerja/buruh dan prosedur penyelesaian
111

dilakukan sesuai ketentuan peraturan perundang-


undangan bagi PKWTT.

Fleksibilitas eksternal juga dapat dikatakan memuat

mengenai Pekerja Harian Lepas, karena sifatnya yang

temporer hal ini dikarekan Sifat dari fleksibilitas eksternal

itu tidak memberikan Pekerjaan yang sifatnya tetap. Hal ini

dinilai bahwa pekerjaan yang sifatnya tetap, dapat

menghambat iklim usaha apabila terjadi bencana yang

berdampak pada sektor ekonomi.

b. Peraturan rekruitment

Rekruitment pekerja dalam praktiknya dikategorikan

sebagai fleksibilitas eksternal apabila dilihat dari teori yang

dikemukakan oleh Atkitson, hal ini ditandai dengan

memberikan keleluasaan dalam pelaksanaan rekruitment

serta PHK. Secara ekonomi-politik konsep ini berkembang

dinegara yang mempunyai basic penyelenggaraan keuangan

dan pembangunan negara yang bersifat neo-liberal.

Permasalahan tersebut muncul karena pandangan ahli

ekonomi yang berpendapat bahwa negara harus mengurangi

tanggung jawabnya dalam menyediakan akses tenaga

kerjadan lapangan pekerjaan. Artinya mekanisme

rekruitment dan PHK diserahkan kepada pasar itu sendiri,

atau lebih jelasnya aturan mengenai aturan rekruitment dan

PHK diserahkan kepada masing masing perusahaan.


112

Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang

Ketenagakerjaan menjelaskan kebutuhan mengenai tenaga

kerja diatur dalam Pasal 35 ayat (1) “Pemberi kerja yang

memerlukan tenaga kerja dapat merekrut sendiri tenaga

kerja yang dibutuhkan atau melalui pelaksanan penempatan

tenaga kerja”.

Pasal 35 ayat (1) memberikan keleluasaan bagi

pengusaha atau pemberi kerja berkedudukan atau

berdomisili di Indonesia merekrut tenaga kerjanya sendiri,

sesuai dengan kriteria yang dibutuhkan oleh perusahaan

tersebut. Hal ini mempunyai arti bahwa dalam perekrutan

tenaga kerja pemerintah tidak boleh mengintervensi

perusahaan kriteria apa yang dipakai oleh perusahaan untuk

merekrut tenaga kerja.

Kriteria yang dipakai dalam suatu perusahaan

tergantung apa produksi yang akan dilakukan oleh

perusahaan tersebut, hal ini jelas mempersempit peluang

tenaga kerja kurang terampil untuk bersaing dengan tenaga

kerja terampil, bahkan sering kali perusahaan memakai

tenaga kerja kurang terampil untuk melaksanakan politik

upah murah. Karena ketimpangan yang terjadi antara

permintaan lapangan pekerjaan dengan permintaan tenaga


113

kerja yang sesuai dengan jenis pekerjaan yang dibutuhkan

pemberi kerja atau perusahaan itu sendiri.

Masalah tersebut jelas menimbulkan permasalahan

baru dengan adanya pengangguran terbuka maupun tenaga

kerja tidak terampil. Maka dari itu dalam pembahasan

fleksibilitas pasar kerja membahas juga mengenai pelatihan

tenaga kerja dalam perencanaan penyediaan tenaga kerja.

c. Pemutusan Hubungan Kerja(PHK)

Fleksibilitas pasar kerja eksternal selanjutnya

mengenai pelonggaran aturan main terhadap Pemutusan

Hubungan Kerja atau selanjutnya disebut PHK.

Pelonggaran aturan main mengenai PHK ini terkait dengan

perlindungan pekerja dalam hal hubungan kerja yang

temporer. Hal ini sangat dibutuhkan oleh perusahaan

apabila bicara mengenai efisiensi produksi perusahaan serta

mengenai pengurangan cost produksi yang dilakukan

perusahaan.

Pemutusan Hubungan Kerja atau selanjutnya disebut

PHK adalah pengakhiran hubungan kerja karena suatu hal

tertentuyang mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban

antara pekerja/buruh dan pengusaha. PHK yang dilakukan

oleh Perusahaan dapat dilakukan dengan adanya

permohonan secara tertulis terlebih dahulu kepada lembaga


114

penyelesaian perselisihan hubungan industrial sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 152 yang menyebutkan bahwa :

(1) Permohonan penetapan pemutusan hubungan kerja


diajukan secara tertulis kepada lembaga
penyelesaian perselisihan hubungan industrial
disertai alasan yang menjadi dasarnya.
(2) Permohonan penetapan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) dapat diterima oleh lembaga
penyelesaian perselisihan hubungan industrial
apabila telah diundangkan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 151 ayat (2).
(3) Penetapan atas permohonan pemutusan hubungan
kerja hanya dapat diberikan oleh lembaga
penyelesaian perselisihan hubungan industrial jika
ternyata maksud untuk memutuskan hubungan kerja
telah dirundingkan, tetapi perundingan tersebut tidak
menghasilkan kesepakatan.

Pada dasarnya dalam Undang-Undang Nomor 13

Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, sangat tidak

menganjurkan terjadinya PHK. Solusi tersebut timbul

karena adanya krisis moneter yang mengakibatkan

membludaknya pengangguran yang terjadi pada tahun 1997

hingga 2003. Hal ini disebutkan dalam Pasal 151 ayat (1)

yang berbunyi “Pengusaha, pekerja/buruh, serikat

pekerja/serikat buruh, dan pemerintah, dengan segala upaya

harus mengusahakan agar jangan terjadi pemutusan

hubungan kerja.” Begitupun dalam Pasal 6 Keputusan

Menteri Tenaga Kerja Republik Indonesia Nomor : Kep-

150/Men/2000 tentang Penyelesaian Pemutusan Hubungan

Kerja dan Penetapan Uang Pesangon, Uang Penghargaan


115

Masa Kerja dan Ganti Kerugian di Perusahaan yang

berbunyi “Pengusaha dengan segala daya upaya harus

mengusahakan agar jangan terjadi pemutusan hubungan

kerja dengan melakukan pembinaan terhadap pekerja yang

bersangkutan atau dengan memperbaiki kondisi perusahaan

dengan melakukan langkah - langkah efisiensi untuk

penyelematan perusahaan”.

Pemutusan Hubungan Kerja dapat dilakukan apabila

pekerja melakukan apa yang dilarang dalam Pasal 158 ayat

(1) Undang-Undang ketenagakerjaan. Dalam Pasal 158 ayat

(1) ini perusahaan dapat melakukan PHK apabila

melakukan kesalahan berat. Kesalahan berat yang dimaksud

adalah :

a. melakukan penipuan, pencurian dan penggelapan


baranag dan/atau uang milik perusahaan;
b. memberikan keterangan palsu atau yang dipalsukan
sehingga merugikan perusahaan;
c. mabuk, meminum minuman keras yang
memabukkan, memakai dan/atau mengedarkan
narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya
dilingkungan kerja;
d. melakukan perbuatan asusila atau perjudian
dilingkungan kerja;
e. menyerang, menganiaya, mengancam, atau
mengintimidasi teman sekerja atau pengusaha di
lingkungan kerja;
f. membujuk teman sekerja atau pengusaha untuk
mekukan perbuatan yang bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan;
g. dengan ceroboh atau sengaja merusak atau
membiarkan dalam keadaan bahaya barang milik
116

perusahaan yang menimbulkan kerugian bagi


perusahaan;
h. dengan ceroboh atau sengaja membiarkan teman
sekerja atau pengusaha dalam keadaan bahaya di
tempat kerja;
i. membongkar atau membocorkan rahasia
perusahaan yang seharusnya dirahasiakan kecuali
untuk kepentingan negara; atau
j. melakukan perbuatan lainnya di lingkungan
perusahaan yang diancam pidana penjara 5 (lima)
tahun atau lebih.

Pasal 158 ayat (2) menyebutkan hal itu didukung

dengan bukti, pekerja tertangkap tangan, adanya pengakuan

yang pekerja yang bersangkutan, dan bukti lain berupa

laporan yang dibuat oleh pihak yang berwenang di

perusahaan yang bersangkutan. Pasal ini tidak menegaskan

harus adanya putusan pengadilan independen dan imparsial

yang memutus pekerja yang melakukan kesalahan berat

bersalah, melainkan cukup hanya dengan keputusan

pengusaha yang didukung oleh bukti-bukti yang tidak perlu

diuji keabsahannya menurut hukum acara yang berlaku.

PHK karena kesalahan berat memiliki perbedaan

pemenuhan hak apabila membandingkan Pasal 158 ayat (1)

dengan Pasal 160 ayat (1), pemenuhan hak tersebut

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 156 ayat (4). Hal ini

jelas bersifat diskriminatif karena bertentangan dengan

Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia

yang berbunyi “Negara Indonesia adalah Negara Hukum”.


117

Pasal 163 dan 164 Undang-undang ketengakerjaan,

PHK secara individual maupun massal dapat dilakukan

apabila suatu hubungan kerja mengalami masalah seperti :

1. mengenai perubahan status.


2. penggabungan.
3. peleburan, atau perubahan kepemilikan
perusahaan, dan.
4. pekerja/buruh tidak bersedia melanjutkan
hubungan kerja.
5. kerugian secara terus menerus selama 2 tahun.
6. force majour, dan efiesiensi dan efektifitas
produksi.

Perusahaan yang melakukan PHK sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 163 dan Pasal 164 merupakan suatu

implementasi konsep fleksibilitas eksternal yang dimaksud

oleh Atkitson. Fleksibilitas eksternal muncul dikarenakan

pola kebutuhan pekerja disesuaikan dengan pola kebutuhan

produksi yang menekankan biaya rendah. Karena pada

prinsipnya fleksibilitas eksternal merupakan suatu konsep

yang menekankan pada penyesuaian pada kebutuhan

penggunaan tenaga kerja dalam suatu perusahaan, agar

tidak ada pembengkakan didalam pembiayaan khususnya

upah.

2. Fleksibilitas Internal

Fleksibilitas Internal sendiri merupakan suatu kegiatan

kerja yang disesuaikan dengan jam kerja atau kegiatan pekerja

dengan waktu produksi yang dilakukan oleh perusahaan. Kegiatan


118

produksi yang terus menerus dilakukan perusahaan dalam

menghadapai kompetisi dan persaingan global sering kali tidak

melihat batasan jam kerja maupun hari libur. Hal ini timbul karena

tidak adanya pengaturan mengenai batasan kewajiban perusahaan

dalam melakukan produksi dalam rentan waktu mulai hingga

berhentinya produksi dan hari. Dalam Undang-undang

ketenagakerjaan tidak disebutkan hari apa saja dapat melakukan

kegiatan produksi, namun hanya dibatasi hari kerjanya saja

menyesuaikan batasan waktu kerja selama 40 jam seminggu,

dengan penjabaran 6 hari kerja untuk pekerja dengan waktu kerja

perhari 7 jam, dan 5 hari kerja untuk pekerja denga waktu kerja

perhari 8 jam.

Penjelasan diatas merupakan satu bentuk fleksibilitas

temporer pasar kerja, dimana waktu kerja disesuaikan dengan

kegiatan produksi dalam satu perusahaan. Kegiatan produksi

perusahaan dalam berbentuk kegiatan yang terus menerus sehingga

menimbulkan pekerja dengan sistem paruh waktu, system kerja

shift atau bergilir dan sistem kerja lembur tergantung kebutuhan

produksi di suatu perusahaan.

a. Sistem Kerja Paruh Waktu

Sistem kerja paruh waktu merupakan sistem kerja


yang berkembang seiring berjalannya kebutuhan efisiensi
biaya produksi. Efisiensi biaya produksi ini timbul karena
adanya penyesuaian jam kerja dengan jadwal pekerja.
Secara logika pengusaha lebih diuntungkan dalam
penerapan system kerja paruh waktu. Hal ini karena jam
119

kerja yang seharusnya dilakukan oleh seorang buruh, dapat


dilakukan 2 atau lebih pekerja dengan jumlah jam kerja
yang sama dengan pembagian upah secara merata
disesuaikan dengan jam kerja yang diambil oleh pekerja
paruh waktu. Jam kerja selama seminggu 40 Jam sesuai
dengan Pasar 77 ayat (2) huruf (a) dan (b) Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 2003.

b. Sistem kerja bergilir (Shift)

Sistem kerja bergilir merupakan suatu pergeseran


makna karena tidak adanya pengaturan menganai batasan
dimulai hingga berakhirnya waktu kerja dalam Undang-
undang ketenagakerjaan. Sistem kerja bergilir juga lahir
akibat tejadinya produksi secara terus menerus yang
dilakukan oleh suatu perusahaan.
Sistem kerja bergilir pada umumnya dilakukan
dengan 2 jenis yaitu pembagian per 8 (delapan) jam kerja
dalam produksi sehari suatu perusahaan, atau kerja bergilir
panjang yang membagi jam kerja per 12 (dua belas) jam
kerja dalam sehari. Untuk kerja bergilir panjang biasanya
diterapkan diperusahaan yang melakukan pelayanan publik
seperti supir bis yang tidak bias menyelesaikan
pekerjaannya dalam 8(delapan) jam perhari.

c. Sistem Kerja Lembur

Sistem kerja lembur adalah sebuah kebutuhan


proses produksi sistem ekonomi kapitalisme. Hal ini
dikarekan dalam hubungan kerja memiliki batasan waktu
kerja. Indonesia batasan waktu kerja atau jam kerja dibatasi
maksimal 40 jam dalam seminggu dengan perincian perhari
7(tujuh) jam untuk 6(enam) hari kerja dan 8(delapan) jam
untuk 5 hari kerja. Dengan batasan seperti itu banyak
perusahaan yang tidak dapat memenuhi target produksi.
Maka dari itu lahir suatu solusi terkait permasalahan
tersebut dengan dihadirkannya sistem kerja lembur.
Perlindungan hukum yang dimaksud diatur dalam Undang-
Undang 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan
Dalam Pasal 77 ayat (2), dan aturan yang bersifat teknis
seperti Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi
Republik Indonesia Nomor KEP.102/MEN/VI/2004
Tentang Waktu Kerja Lembur dan Upah Kerja Lembur.
Lembur adalah waktu kerja yang dilakukan
melebihi batas waktu kerja. Negara dalam hal ini
120

pemerintah memberikan perlindungan hukum bagi pekerja


yang melakukan kerja lembur dalam Undang-undang 13
tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan Dalam Pasal 77
ayat (2) huruf (a) dan (b) dengan maksimal 7(tujuh) atau
8(delapan) jam kerja perhari dan 40(empat puluh) jam
perminggu.
Kemudian hal ini diatur lebih lanjut dalam Pasal 3
Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi
Republik Indonesia Nomor KEP.102/MEN/VI/2004
Tentang Waktu Kerja Lembur dan Upah Kerja Lembur
Lembur dilakukan dengan waktu kerja maksimal 3 jam
kerja dalam 1(satu) hari dan 14(empat belas) jam kerja
dalam 1(satu) minggu dan dilakukan atas persetujuan
pekerja/buruh yang bersangkutan, dan perusahaan..
Pekerja yang melakukan kerja lembur adalah
mereka yang mendapatkan perintah tertulis dari pengusaha
dan persetujuan tertulis dari pekerja/buruh yang
bersangkutan. Pengusaha dapat melakukan kerja lembur
apabila telah membuat daftar pekerja yang telah sepakat
untuk melaksanakan kerja lembur hal ini diatur
sebagaimana Pasal 6 Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan
Transmigrasi Republik Indonesia Nomor
KEP.102/MEN/VI/2004 Tentang Waktu Kerja Lembur dan
Upah Kerja Lembur yang berbunyi :
1. Untuk melakukan kerja lembur harus ada
perintah tertulis dari pengusaha dan persetujuan
tertulis dari pekerja/buruh yang bersangkutan.
2. Perintah tertulis dan persetujuan tertulis
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat
dibuat dalam bentuk daftar pekerja/buruh yang
bersedia bekerja lembur yang ditandatangani
oleh pekerja/buruh yang bersangkutan dan
pengusaha.
3. Pengusaha sebagaimana dimaksud dalam ayat
(2) harus membuat daftar pelaksanaan kerja
lembur yang memuat nama pekerja/buruh yang
bekerja lembur dan lamanya waktu kerja
lembur.
Perusahaan yang melaksanakan kerja lembur
diwajibkan untuk membayar upah lembur, memberikan
istirahat yang cukup, dan menjaga asupan gizi bagi pekerja
dengan memberikan makanan dan minuman sekurang-
kurangnya 1.400 kalori apabila pekerjaan lembur dilakukan
lebih dari 3(tiga) jam kerja. Hal ini diatur dalam Pasal 7
Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi
121

Republik Indonesia Nomor KEP.102/MEN/VI/2004


Tentang Waktu Kerja Lembur dan Upah Kerja Lembur
Pekerja yang melaksanakan Kerja Lembur
sebagaimana dimaksud diatas harus mendapatkan upah
dengan cara perhitungan dalam Pasal 11 Keputusan
Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik
Indonesia Nomor KEP.102/MEN/VI/2004 Tentang Waktu
Kerja Lembur dan Upah Kerja Lembur sebagai berikut:
1. Apabila kerja lembur dilakukan pada hari kerja:
a. untuk jam kerja lembur pertama harus
dibayar upah sebesar 1,5 (satu setengah)
kali upah sejam;
b. untuk setiap jam kerja lembur berikutnya
harus dibayar upah sebesar 2 (dua) kali
upah sejam.
2. Apabila kerja lembur dilakukan pada hari
istirahat mingguan dan/atau hari libur resmi
untuk waktu kerja 6 (enam) hari kerja 40 (empat
puluh) jam seminggu maka:
a. perhitungan upah kerja lembur untuk 7
(tujuh) jam pertama dibayar 2 (dua) kali
upah sejam, dan jam kedelapan dibayar 3
(tiga) kali upah sejam dan jam lembur
kesembilan dan kesepuluh 4 (empat) kali
upah sejam;
b. apabila hari libur resmi jatuh pada hari
kerja terpendek perhitungan upah lembur 5
(lima) jam pertama dibayar 2 (dua) kali
upah sejam, jam keenam 3 (tiga) kali upah
sejam dan jam lembur ketujuh dan
kedelapan 4 (empat) kali upah sejam.
3. Apabila kerja lembur dilakukan pada hari
istirahat mingguan dan/atau hari libur resmi
untuk waktu kerja 5 (lima) hari kerja dan 40
(empat puluh) jam seminggu, maka perhitungan
upah kerja lembur untuk 8 (delapan) jam
pertama dibayar 2 (dua) kali upah sejam, jam
kesembilan dibayar 3 (tiga) kali upah sejam dan
jam kesepuluh dan kesebelas 4 (empat) kali
upah sejam.
Aturan diatas jelas bertentangan dengan keinginan
pasar dalam hal melonggarkan perlindungan hukum
terhadap pekerja dan aturan tersebut dianggap merugikan
122

perusahaan, dan berdampak pada keengganan Investor


menanam modal di Indonesia.
3. Fleksibilitas Fungsional

Fleksibiliktas fungsional atau fleksibilitas organisasional

adalah suatu kondisi kerja yang memfleksibelkan pekerja dalam

suatu pekerjaan dapat dipindahkan ke pekerjaan lain dalam satu

perusahaan sesuai dengan kebutuhan perusahaan. Fleksibilitas

fungsional ini juga dapat mengurangi biaya tenaga kerja tetap dan

tenaga kerja kontrak sebesar 40% dalam satu perusahaan dan juga

dapat mengurangi margin upah sebesar 25% untuk pekerjaan dan

perintah kerja yang sama. Hal ini dapat dikatakan sebagai suatu

efisiensi dan efektivitas biaya produksi dalam suatu perusahaan.

Fleksibilitas fungsional pada praktinya di Indonesia

merupakan bentuk sistem kerja outsourching, hal ini karena konsep

kerja fleksibilitas fungsional dan system kerja outsourching

memiliki tujuan yang sama yaitu mengefisiensikan biaya produksi

pada produksi yang sama dengan pekerja yang memiliki upah

dibawah tenaga kerja tetap dan tenaga kerja kontrak.

Outsourcing atau selanjutnya disebut dengan konsep alih

daya merupakan solusi yang lahir akibat adanya perubahan besar di

dalam arus perekonomian global yang mengalami kesulitan karena

kurangnya persiapan akibat manajemen struktur yang bengkak.

Dalam persaingan yang sangat kompetitif, tidak ada perusahaan

yang mampu merangsang tingkat investasi yang dibutuhkan untuk


123

menjadikan semua operasinya lebih efisien. Melalui alih daya,

perusahaan mengatasi dilema tersebut dengan memfokus pada

sumber daya internal mereka atau aktivitas yang memberikannya

suatu keunggulan kompetitif yang unik. Hal ini dikarenakan

outsourching merupakan bagian didalam hubungan indutrial yang

lahir akibat adanya pasar bebas. Dapat dikatakan konsep alih daya

ini lahir sejalan dengan revolusi industri. Hal ini dikarenakan

perusahaan berusaha menemukan terobosan-terobosan baru dalam

memenangkan persaingan.

Pada dasarnya tujuan konsep outsourching memiliki 2

kriteria selain solusi yang hadir akibat adanya pembekakan

manajement produksi dalam suatu perusahaan antara lain :

a. Untuk mengembangkan kemitraan usaha, sehingga satu


perusahaan tidak akan menguasai suatu kegiatan
industri dari hulu ke hilir. Dengan kemitraan tersebut
diharapkan akan terjadi pemerataan kesejahteraan
masyarakat terutama di daerah urban.
b. Mendorong terjadinya pendidikan dan alih teknologi
dalam bidang industri dan manajemen pengelolaan
pabrik. Dalam jangka panjang hal ini diharapkan
mampu mengurangi pemusatan kegiatan industri
diperkotaan menjadi lebih merata ke daerah-daerah.134

Konsep outsourcing dalam praktiknya mempunyai

pengertian dasar outsourcing adalah pengalihan sebagian atau

seluruh pekerjaan dan atau wewenang kepada pihak lain guna

mendukung strategi pemakai jasa outsourcing baik pribadi,

134
Sehat Damanik, OutSourching dan Perjanjian Kerja Menurut UU 13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan Sebagai Penuntun untuk Merencanakan, Melaksanakan Bisnis
Outsourching dan Perjanjian Kerja, DSS Publicing, Jakarta, 2006, Hlm 46
124

perusahaan, divisi ataupun sebuah unit dalam perusahaan. 135

Kemudian dapat diartikan bahwa outsourcing itu tergantung dadri

strategi masing-masing pemakai jasa outsourcing, baik itu

individu, perusahaan atau divisi maupun unit yang bersangkutan.

Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang

Ketenagakerjaan dalam Pasal 64 menyebutkan yang dimaksud

dalam konsep alih daya adalah Perusahaan dapat menyerahkan

sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lainnnya

melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyedia jasa

pekerja/buruh yang dibuat secara tertulis. Ketentuan Outsourcing

tersebut bukanlah sesuatu yang diwajibkan, melainkan ketentuan

tersebut lebih merupakan pilihan bebas, karena itu dalam

pelaksanaannya pemanfaatan outsourcing diserahkan pada

perhitungan untung rugi dari perusahaan.

Teknis mengenai outsourching secara umum diatur dalam

Pasal 65 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang

Ketenagakerjaan yang berbunyi :

(1) Penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada


perusahaan lain dilaksanakan melalui perjanjian
pemborongan pekerjaan yang dibuat secara tertulis.
(2) Pekerjaan yang dapat diserahkan kepada perusahaan
lain sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus
memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
(a) dilakukan secara terpisah dari kegiatan utama;
(b) dilakukan dengan perintah langsung atau tidak
langsung dari pemberi pekerjaan;
135
D.Koeshartono dan M.F. Shellyana Junaedi, Hubungan Industrial Kajian Konsep dan
Permasalahan, Penerbitan Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Cetakan pertama,
Yogyakarta, 2005, Hlm. 80
125

(c) merupakan kegiatan penunjang perusahaan secara


keseluruhan; dan
(d) tidak menghambat proses produksi secara
langsung.
(3) Perusahaan lain sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
harus berbentuk badan hukum.
(4) Perlindungan kerja dan syarat-syarat kerja bagi
pekerja/buruh pada perusahaan lain sebagaimana
dimaksud dalam ayat (2) sekurang-kurangnya sama
dengan perlindungan kerja dan syarat-syarat kerja pada
perusahaan pemberi pekerjaan atau sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(5) Perubahan dan/atau penambahan syarat-syarat
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diatur lebih
lanjut dengan Keputusan Menteri.
(6) Hubungan kerja dalam pelaksanaan pekerjaan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dalam
perjanjian kerja secara tertulis antara perusahaan lain
dan pekerja/buruh yang dipekerjakannya.
(7) Hubungan kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (6)
dapat didasarkan atau perjanjian kerja waktu tidak
tertentu atau perjanjian kerja waktu tertentu apabila
memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 59.
(8) Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(2) dan ayat (3) tidak terpenuhi, maka demi hukum
status hubungan kerja pekerja/buruh dengan perusahaan
penerima pemborongan beralih menjadi hubungan kerja
pekerj/buruh dengan perusahaan pemberi pekerjaan.
(9) Dalam hal hubungan kerja beralih ke perusahaan
pemberi pekerjaan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(8), maka hubungan kerja pekerja/buruh dengan
pemberi pekerjaan sesuai dengan hubungan kerja
sebagaimana dimaksud dalam ayat (7).

Pasal 64 hingga 65 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003

tentang Ketenagakerjaan maka dapat dikatakan bahwa dalam

sistem kerja outsourching memiliki unsur antara lain :

a. Penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan oleh


perusahaan.
b. Kepada Perusahaan lainnya;dan
c. Melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau
perjanjian penyedia jasapekerja/buruh.
126

Ketiga unsur tersebut menghasilkan sebuah pola penerapan

yang meringankan biaya produksi khususnya mengenai biaya yang

bersifat continue atau berkelanjutan. Hal ini berdampak pemakaian

biaya yang lebih rendah dibandingkan dengan penggunaan pekerja

tetap. Serta praktik ini lebih menekankan efisiensi pencarian tenaga

kerja.

Hubungan kerja yang terbangun dalam sistem kerja

outsourcing harus lah memenuhi unsur perlindungan hukum

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 Peraturan Menteri

Ketenagakerjaan Republik Indonesia Nomor 11 tahun 2019 Tentang

Perubahan Atas Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi

Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2012 Tentang Syarat – Syarat

Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan Sebagian Pelaksanaan

Pekerjaan Kepada Perusahaan Lain. Yang berbunyi :

1. Hubungan kerja antara perusahaan penyedia jasa


pekerja/buruh dengan pekerja/buruhnya sebagaimana
dimaksud dalam pasal 28 dapat didasarkan atas perjanjian
kerja waktu tidak tertentu atau perjanjian kerja waktu
tertentu.
2. Dalam hal hubungan kerja didasarkan atas perjanjian kerja
waktu tertentu yang objek kerjanya tetap ada sebalaimana
dimaksud pada ayat (1), sekurang-kurangnya harus
memuat:
a. Jaminan kelangsungan bekerja;
b. Jaminan terpenuhi hak-hak pekerja/buruh sesuai
dengan peraturan perundangundangan dan yang
diperjanjikan; dan'
c. Jaminan perhitungin masa kerja apabila terjadi
pergantian perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh
untuk menetapkan upah.
127

3. Hak-hak pekerja/buruh sebagaimana dimaksud pada ayat


(2) huruf b meliputi:
a. hak atas cuti apabila telah memenuhi syarat masa
kerja;
b. hak atas jaminan sosial;
c. hak atas tunjangan hari raya;
d. hak istirahui puiing singkat I (satu) hari dalam 1 (satu)
minggu;
e. hak menerima ganti rugi hal hubungan kerja diakhiri
oleh perusahaan penyedia jasa pekerjal/buruh sebelum
perjanjian kerja waktu tertentu berakhir bukan karena
kesalahan pekerja;
f. hak atas penyesuaian upah yang diperhitungkan dari
akumulasi masa kerja yang telah dilalui; dan
g. hak-hak lain yang telah diatug dalam peraturan
perundang-undangan dan/atau perjanjian kerja
sebelumnya.

Outsourching dewasa ini diasumsikan lahir secara alamiah,

hal ini karena kebutuhan pasar tenaga kerja yang meningkat namun

dengan kriteria tenaga kerja yang tidak sesuai kebutuhan produksi

di suatu perusahaan. Ketua Komite Regional Federasi Serikat

Pekerja Mandiri Bali I Wayan Sudarsa mengatakan bahwa sebagian

besar perusahaan diberbagai sektor mengontrak perusahaan

outsource dengan pertimbangan atau bertujuan untuk efisien dan

produktivitas. Bagi kalangan pengusaha outsourching merupakan

dewa penyelamat karena dianggap bisa menekan anggaran

perusahaan.136

Thomas L.Wheelen dan J. David Hunger menjelaskan

bahwa Outsourcing is a process resources are purchase from

136
D.Koeshartono dan M.F. Shellyana Junaedi, Hubungan Industrial Kajian Konsep dan
Permasalahan, Penerbitan Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Cetakan pertama,
Yogyakarta, 2005, hlm.
128

others throughling-term contracts instead of being made with the

company (for example, Hewlett Packard buys its laser engines from

canon for HP’s laser jet printers), to strategic alliances, in which

partnerships. (Outsourcing adalah suatu proses yang mana seluruh

barang diadakan dari pihak lain melalui kontrak-kontrak jangka

panjang yang dilakukan perusahaan (misalnya Perusahaan Packard

membeli mesin laser dari Perusahaan Canon untuk HP printer laser

jet).

Widjaja Tunggal mengatakan bahwa usaha mendapatkan

tenaga ahli serta mengurangi beban dan biaya perusahaan dalam

meningkatkan kinerja perusahaan agar dapat terus kompetitif dalam

menghadapi perkembangan ekonomi dan teknologi global dengan

menyerahkan kegiatan perusahaan kepada pihak lain yang tertuang

dalam kontrak termasuk kedalam outsourching.137

4. Fleksibilitas Finansial

Fleksibilitas finansial yang berfokus pada pengaturan

sistem upah dijalankan sesuai dengan tingkatan upah yang tidak

ditentukan secara kelompok, melainkan secara individu dan harus

membedakan besaran upah yang diterima oleh indvidu. Kondisi

tersebut merupakan faktor pendukung yang penting dalam

fleksibilitas pasar kerja, karena dapat menunjang kebutuhan supply

and demand terjadi dalam pasar kerja.


137
Loc.Cit
129

Upah merupakan suatu bentuk pembayaran yang dilakukan

atas jasa pekerja kepada pengusaha dalam menggunakan tenaganya

untuk membuat suatu produk yang di rencanakan oleh perusahaan.

Upah tidak hanya berbentuk pembayaran uang, melainkan hal lain

seperti pemberian hasil produksi(hasil panen) maupun hal lain

yang terintegrasi dalam hubungan produksi.

Upah berkembang dalam hubungan kerja yang mempunyai

ketimpangan kepemilikan alat produksi. Upah disesuaikan dengan

tenaga yang keluarkan oleh pekerja, hal ini berkembang dalam

masyarakat dengan ketimpangan kepimilikan alat produksi

tradisional. Pada perkembangannya upah disesuaikan dengan

kebutuhan hidup layak rata-rata di suatu daerah.

Pengupahan setiap individu kadang kala di sesuaikan

dengan curah kerja yang dikeluarkan oleh pekerja. Hal ini

dianggap berkembang secara alamiah oleh dalam konsep

ketenagakerjaan. Namun pada kenyataannya hal tersebut

merupakan suatu konstruksi sebuah konsep fleksibilitas finansial

dalam konsep fleksibilitas pasar kerja. Implementasi kebijakan

pengupahan untuk individu pekerja dinilai dengan rate for the job

systems, atau assessment based pay system, atau individual

performance wages.

Koeshartono menyebutkan bahwa adalah 7 faktor yang

mempengaruhi pengupahan, faktor-faktor tersebut adalah :


130

a. Permintaan dan Penawaran tenaga kerja, karena


perusahaan perlu tenaga kerja maka perusahaan harus
membayar harga yang akan menimbulkan penawaran
tenaga kerja. Penawaran ini dapat dikuasai oleh para
pekerja individual dari kelompok buruh yang tergabung
dalam serikat pekerja yang kuat.
b. Serikat pekerja dapat mempengaruhi kompensasi,
karena dapat mengusahakan closed shopyang berarti
perusahaan hanya boleh menerima tenaga kerja yang
menjadi anggota serikat pekerja tertentu.
c. Kemampuan membayar perusahaan, artinya serikat
pekerja yang seringkali menuntut kenaikan upah
beranggapan bahwa perusahaan memperoleh
keuntungan besar dan mampu membayar upah tinggi.
Namun pada dasarnya penentu tingkat upah bagi
perusahaan individual adalah permintaan dan penawaran
tenaga kerja. Jadi meskipun perusahaan mampu
membayar tinggi, tetapi karena tidak ada keuntungan
makan perusahaan tidak akan membayar pekerja
melebihi tingkat upah yang berlaku.
d. Salah satu faktor yang menyebabkan naik turunnya
produktivitas adalah tenaga kerja. Oleh karena itu
banyak pendapat bahwa tingkat upah harus didasarkan
pada produktivitas. Tetapi dalam praktiknya penentuan
upah mengalami banyak kesulitan karena :
1. Tidak adanya produktivitas yang tepatdan
dapat diterima dengan baik oleh pengusaha
maupun pekerja;
2. Persentase kenaikan produktivitas yang
diukur umumnya adalah kenaikan jangka
panjang dan kenaikan ini belum tentu sama
setiap tahunnya;
3. Tidak semua industri mengalami kenaikan
produktivitas yang sama.
e. Biaya hidup. Kebanyakan orang berpendapat bahwa
upah harus cukup untuk menghidupi pekerja dan
keluarganya maka upah harus disesuaikan dengan biaya
hidup. Namun penggunaan biaya hidup sebagai dasr
penetapan upah belum dapat memecahkan kesulitan yang
ada karena :
1. Biaya hidup tak menunjukan berapa
seharusnya upah pokok tetapi hanya
menunjukan bahwa tingkat upah harus
dinaikkan bila biaya hidup naik.
2. Menghubungkan upah pada biaya hidup
memang akan memberikan penghasilan
131

nominal tetapi akan memberikan


penghasilan nyata.
f. Pemerintah melindungi pekerja terhadap tindakan
sewenang-wenang para majikan, misalnya dengan
menetapkan upah minimun dan penetapan jumlah
jam kerja seminggu.

Pendapat penerimaan upah adil tidaknya tergantung

pendapat si penerima upah sendiri, meskipun upah yang berlaku

dalam masyarakat, tetapi itu lebih dari yang diterima teman

sekerjanya yang berpangkat lebih rendah maka si penerima upah

akan menganggap bahwa ia diperlakukakn tidak adil, dan biasanya

menuntut kenaikan upah.

Pasal 1 ayat(30) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003

tentang Ketenagakerjaan mennyebutkan bahwa yang di maksud

upah adalah Upah adalah hak pekerja/buruh yang diterima dan

dinyatakan dalam bentuk uang sebagai imbalan dari pengusaha

atau pemberi kerja kepada pekerja/buruh yang ditetapkan dan

dibayarkan menurut suatu perjanjian kerja, kesepakatan, atau

peraturan perundangundangan, termasuk tunjangan bagi

pekerja/buruh dan keluarganya atas suatu pekerjaan dan/atau jasa

yang telah atau akan dilakukan.

Penghidupan yang layak atau kebutuhan hidup layak

merupakan standar kebutuhan seorang Pekerja/Buruh lajang untuk

dapat hidup layak secara fisik untuk kebutuhan 1 (satu) bulan.

Dalam kebutuhan hidup layak terdiri atas beberapa komponen


132

Pengupahan yang berkembang dimasyarakat pada masa

fleksibilitas pasar kerja, disesuaikan dengan supply and demand

yang sebenarnya dalam pasar kerja. Pengupahan setiap individu

kadang kala di sesuaikan dengan curah kerja yang dikeluarkan oleh

pekerja. Hal ini dianggap berkembang secara alamiah oleh dalam

konsep ketenagakerjaan. Namun pada kenyataannya hal tersebut

merupakan suatu konstruksi sebuah konsep fleksibilitas finansial

dalam konsep fleksibilitas pasar kerja. Implementasi kebijakan

pengupahan untuk individu pekerja dinilai dengan rate for the job

systems, atau assessment based pay system, atau individual

performance wages. Hal ini diatur dalam Peraturan Pemerintah

Republik Indonesia Nomor 78 Tahun 2015 Tentang Pengupahan

Pasal 11 yang berbunyi “Setiap Pekerja/Buruh berhak memperoleh

Upah yang sama untuk pekerjaan yang sama nilainya”.

Logika yang berkembang dari konklusi tersebut adalah

semakin tinggi upahnya maka semakin tinggi kualitas produksinya,

sedangkan semakin tinggi kuantitas produksi semakin rendah pula

upah yang didapatkan oleh pekerja. Hal tersebut didasari pada

semakin tinggi upah pekerja maka akan memaksa pengusaha

memanfaatkan tenaga kerja yang disewakan secara ekonomis dan

seefisien mungkin. Sedangkan apabila kuantitas produksi tinggi

maka ongkos produksi pekerja per unit semakin rendah.


133

Upah juga dapat mendorong stabilitas dan pertumbuhan

ekonomi, hal ini sebagai akibat adanya alokasi dan penggunaan

sumber tenaga kerja secara efisien maka sistem pengupahan

diharapkan dapat mendorong dan dapat mempertahankan stabilitas

dan pertumbuhan ekonomi.

Pemerintah dalam masalah upah dan jaminan sosial juga

mempunyai kepentingan untuk menetapkan kebijaksanaan untuk

tetap dapat menjamin standard kehidupan yang layak bagi pekerja

dan kehidupannya, meningkatkan produktivitas dan meningkatkan

daya beli masyarakat. Kebijakan pemerintah terhadap pengupahan

juga memiliki tujuan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dan

perluasan kesempatan kerja serta dapat menahan laju inflasi.

Undang – Undang Nomor 13 Tahun 2003 menyebutkan

beberapa jenis Upah dalam Pasal 88 ayat (3) yang berbunyi

Kebijakan pengupahan yang melindungi pekerja/buruh

sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) meliputi:

a. upah minimum;
b. upah kerja lembur;
c. upah tidak masuk kerja karena berhalangan;
d. upah tidak masuk kerja karena melakukan kegiatan lain
di luar pekerjaannya;
e. upah karena menjalankan hak waktu istirahat kerjanya;
f. bentuk dan cara pembayaran upah;
g. denda dan potongan upah;
h. hal-hal yang dapat diperhitungkan dengan upah;
i. struktur dan skala pengupahan yang proporsional;
j. upah untuk pembayaran pesangon; dan
k. upah untuk perhitungan pajak penghasilan.
134

Penetapan upah kemudian diatur dalam Peraturan

Pemerintah Republik Indonesia Nomor 78 Tahun 2015 Tentang

Pengupahan dalam Pasal 12 menyebutkan bahwa Upah ditetapkan

berdasarkan :

1. Satuan Waktu; dan/atau


2. Satuan hasil

Penerapan kebijakan mengenai penyusunan dan penerapan

skala upah diatur dalam Pasal 14 Peraturan Pemerintah Republik

Indonesia Nomor 78 Tahun 2015 Tentang Pengupahan diberikan

kepada masing-masing peraturan kerja bersama antara pengusaha,

pekerja dan serikat pekerja dalam suatu perusahaan. Penerapan

skala upah tidak boleh ada dibawah Upah minimun yang ditetapkan

oleh pemerintah. Hal ini diatur dalam Pasal 88 ayat (4)

“Pemerintah menetapkan upah minimum sebagaimana dimaksud

dalam ayat (3) huruf a berdasarkan kebutuhan hidup layak dan

dengan memperhatikan produktivitas dan pertumbuhan ekonomi.”

Penetapan Upah minimum ditetapkan oleh Gubernur

masing-masing provinsi dengan didasarkan pada kebutuhan hidup

layak dan dengan memperhatikan tingkat produktivitas dan

pertumbuhan ekonomi, hal tersebut diatur dalam pasal 89 ayat (3)

Undang-Undang Republik Indonesia tentang Ketenagakerjaan dan

Pasal 43 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 78

Tahun 2015 Tentang Pengupahan.


135
136

B. Politik Hukum Kebijakan Fleksibilitas Pasar Kerja dalam Peraturan

Perundang-undangan tentang Ketenagakerjaan

Politik hukum fleksibilitas pasar kerja dalam Undang-Undang Nomor

13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan artinya melihat arah kebijakan

penerapan konsep kebijakan Fleksibilitas Pasar Kerja dalam Undang-Undang

13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Pengkajian Politik Hukum mengenai

fleksibilitas pasar kerja dalam Undang-Undang 13 Tahun 2003 tentang

Ketenagakerjaan dapat di uraikan bagaimana karakter produk hukum yang

lahir. Karakteristik produk hukum dilihat melalui pandangan hukum sebagai

produk politik. Sehingga melahirkan konsep fleksibilitas pasar kerja dalam

Undang-Undang Ketenagakerjaan.

Produk hukum yang lahir tersebut dapat dikatakan lahir dari konstelasi

politik yang ada didalam negeri. Dalam studi tentang hukum banyak

diidentifikasi yang dapat diberikan sebagai sifat atau karakter hukum seperti

memaksa, tidak berlaku surut dan umum. Dalam berbagai studi tentang hukum

dikemukakan misalnya, hukum mempunyai sifat umum sehingga peraturan

hukum tidak ditujukan kepada seseorang dan tidak akan kehilangan

kekuasaannya jika telah berlaku terhadap peristiwa konkret. Peraturan hukum

juga mempunyai sifat abstrak, yakni mengatur hal-hal yang belum terkait

dengan kasus-kasus konkrret. Selain itu ada yang mengidentifikasi sifat

hukum ke dalam sifat imperatif dan fakultatif. 138

138
Moh. Mahfud MD, , Politik Hukum di Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta, 2011, hlm.26
137

Studi mengenai produk hukum dapat memfokuskan pada sifat atau

karakter produk hukum yang secara dikotomis dibedakan atas hukum otonom

dan hukum menindas seperti yang dikemukan Nonet dan Selznick, serta

hukum responsif dan hukum ortodoks yang dikemukakan Marryman.

Berdasarkan pilihan fokus tersebut maka kerangka teoritis tentang karakter

produk hukum berikut ini dikhususkan pada dikotomi antara hukum otonom

dan hukum menindas serta hukum responsif dan hukum ortodoks. Kemudian

kedua dikotomi tersebut dikelompokkan menjadi satu dikotomi, yaitu hukum

resposif/populis dan hukum ortodoks/konservatif/elitis.

Karakteristik produk hukum yang lahir dalam suatu konstelasi politik

mempunyai 2 jenis yaitu, produk hukum yang bersifat responsif atau populis

dan konservatif/ortodoks/elitis.Produk hukum responsif adalah produk hukum

yang mencerminkan rasa keadilan dan memenuhi harapan masyarakat yang

dituju dalam Undang-undang yang akan dibuat, dan dalam proses

pembuatannya memberikan peranan besar dan partisipasi kelompok-kelompok

sosial atau individu dalam masyarakat, yang pada akhirnya memberikan

respon terhadap tuntutan-tuntutan kelompok sosial dan individu dalam

masyarakat.139

Karakteristik selanjutnya adalah produk hukum yang bersifat

konservatif/ortodoks/elitis. Produk hukum jenis ini lebih mencerminkan visi

sosial elite poltik, keinginan pemerintan, bersifat positivis-

instrumentalis(hukum adalah alat pelaksanaan ideologi dan program negara.

Produk hukum ini dalam proses pembuatannya dinilai lebih tertutup terhadap
139
Ibid. Hlm32
138

tuntutan atau aspirasi dari kelompok maupun individu dalam masyarakat, yang

artinya produk hukum ini memberikan ruang bagi masyarakat sangat kecil

atau tidak sama sekali.140 Mahfud M.D membagi 3(tiga) indikator untuk

mengkualifikasi apakah suatu produk hukum produk hukum itu bersifat

responsif atau konservatif. Indikator yang dipakai adalah proses pembuatan

hukum, sifat fungsi hukum dan kemungkinan penafsiran atas sebuah produk

hukum. Penjabaran mengenai karakter produk hukum kebijakan fleksibilitas

pasar kerja dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang

Ketenagakerjaan akan dijelaskan sebagai berikut :

a. Proses pembuatan hukum


Proses pembuatan hukum sebagaimana Mahfud M.D

menjelaskan mempunyai 2 jenis yang berbeda yaitu :

1) Responsif, dalam proses pembuatannya bersifat partisifatif,


artinya dalam proses pembuatannya mengundang sebanyak
banyaknya pihak yang berkepentingan dalam produk hukum
yang akan dibuat.
2) Konservatif, dalam prosesnya bersifat sentralistik dimana
proses pembuatan suatu produk hukum lebih didominasi oleh
Lembaga negara terutama eksekutif dan legislatif yang tidak
merepresentasikan tuntutan dari kelompok sosial maupun
masyarakat yang dituju dalam produk hukum tersebut.141

Proses pembuatan Undang-Undang Ketenagakerjaan

terdapat beberapa kali penolakan dalam tahapan perencanaan

proses pembuatannya. Penolakan tersebut dilakukan oleh Serikat

Buruh, penolakan yang dilakukan oleh serikat buruh lebih

ditujukan pada isu-isu yang berkaitan dengan arah fleksibilitas pasa

r kerja, yang memuat sistem kerja kontrak, longgarnya aturan recru


140
Loc.Cit
141
Loc.Cit
139

itment dan pemutusan hubungan kerja, sistem pengupahan berdasar

kan rate for the system jobs, dan outsourcing.

Serikat buruh berpendapat bahwa draft ruu ketenagakerjaan

ini sangat merepresentasikan apa yang diinginkan Lembaga keuang

an Internasional dalam Letter of Intens sebagaimana penandatangan

Pemerintah Indonesia dengan Internasional Monetery Fund. Hal ini

sejalan dalil-dalil yang diperkarakan dalam Perkara Nomor

012/PUU-I/2003 atas Pengujian Undang-Undang Nomor 13 Tahun

2003 tentang Ketenagakerjaan Terhadap Undang-Undang Dasar

Republik Indonesia Tahun 1945.

Serikat buruh yang berjumlah 37(tiga puluh tujuh) diwakili

oleh pemimpin dan aktivis organisasi serikat buruh/pekerja yang

tumbuh dan berkembang secara swadaya atas kehendak dan

keinginan sendiri, menilai bahwa pemerintah tidak cukup

mempertimbangkan dampak negatif yang akan diterima para buruh,

serikat buruh juga menilai bahwa pemerintah lebih mengadopsi

kepentingan pemilik modal.142

Pemerintah berpendapat bahwa Undang-Undang

ketenagakerja telah disesuaikan dengan arah pembangunan pasca

terjadinya krisis. Arah pembangunan pasca terjadinya krisis

menurut Bonnie Setiawan secara umum merekam tiga bentuk

proyek intervensi neoliberal di masa akhir Orde Baru dan awal

142
Risalah Pembacaan Putusan Perkara 012/PUU-I/2003, Pengujian Undang-undang Nomor
13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan Kamis 28 Oktober 2004
140

masa Reformasi yang dilakukan Indonesia, tiga bentuk proyek

tersebut terdiri dari:

1) Paket kebijakan penyesuaian struktural yang terdiri dari


beberapa hal berikut :
a. Liberalisasi impor dan pelaksanaan aliran uang yang
bebas;
b. Devaluasi
c. Kebijakan moneter dan fiscal dalam bentuk :
Pembatasan kredit, peningkatan suku bunga kredit,
penghapusan subsidi, peningkatan pajak, kenaikan
harga public utilities, dan penekanan untuk tidak
menaikan upah dan gaji.
(2) Paket kebijakan deregulasi yaitu:
a. Intervensi pemerintah harus dihilangkan atau
diminimumkan karena mendistorsi pasaar;
b. Privatisasi yang seluasnya utamanya untuk bidang-
bidang ekonomi yang ini dikuasai oleh negara;
c. Liberalisasi seluruh kegiatan ekonomi termasuk
penghapusa segala jenis proteksi;
d. Memperbesar dan memperlancar arus masuk
investasi asing dengan fasilitas-fasilitas yang lebih
luas dan longgar.
(3) Paket kebijakan yang juga direkomendasikan kepada
beberapa negara Asia dalam menghadapi krisis ekonomi
akibat menurunnya nilai tukar mata uang terhadap dolar
AS, yang merupakan gabungan dari dua paket diatas
dengan beberapa tuntutan spesifik.143

Ketiga bentuk proyek intervensi diatas akhirnya membuat

beberapa kebijakan di Indonesia mengikuti arahan yang ditetapkan

oleh IMF dan World Bank. Hal ini sangat berpengaruh terhadap

kebijakan yang berhubungan dengan orientasi pembangunan baik

secara infrastruktur fisik maupun sosial setelah terjadinya krisis

moneter tahun 1998. Termasuk Undang-Undang Ketenagakerjaan.

143
Noer Fauzi Rachman, MP3EI : Master Plan Percepatan dan Perluasan Krisis Sosial-
Ekologis Indonesia, Yogyakarta, 2014, Tanah Air Beta, hlm 59
141

GSBI yang berjumlah 33 serikat buruh pernah melakukan

Judicial Review terhadap Pasal 64-66 Undang Undang Nomor 13 T

ahun 2003, pasal tersebut mengatur mengenai system kerja outsour

ching. Para serikat buruh berpendapat bahwa sistem kerja outsourc

hing inkonstitusional karena dianggap sebagai bentuk pelanggaran

atas hak konstitusional buruh sebagai warga negara Indonesia atas

kepastian kerja yang dijamin dalam UUD 1945.

Uraian diatas dapat diambil kesimpulan bahwa Undang-

Undang Ketenagakerjaan tidak melibatkan salah satu pihak yang

berkepentingan yaitu serikat buruh yang menolak pemberlakuan

sistem kerja kontrak longgarnya aturan recruitment dan pemutusan

hubungan kerja, sistem pengupahan berdasarkan rate for the syste

m jobs, dan outsourcing.

b. Sifat fungsi Hukum

Sifat fungsi hukum merupakan hasil kristalisasi kepentingan

para pihak yang berada dalam proses pembuatan suatu produk

hukum. Mahfud M.D kemudaian membagi 2(dua) jenis sifat fungsi

hukum yaitu :

1. Responsif, dalam fungsi hukum ini karaktek produk


hukum yang lahir harus bersifat aspiratif, yakni memuat
aspirasi dari masyarakat yang berpentingan atau
kehendak masyarakat yang dituju. Sehingga prosedur
hukum yang lahir adalah hasil dari kristalisasi dan
kehendak masyarakat.
2. Konservatif, bersifat positivis-instrumentalis,artinya
memuat materi yang lebih merefleksikan visi sosial dan
142

politik pemegang kekuasaan atau materi yang lebih


merupakan alat untuk mewujudkan kehendak dan
kepentingan program pemerintah.

Sifat fungsi hukum dapat dilihat dari materi muatan produk

hukum yang dibuat apakah memuat aspirasi masyarakat yang

berkepentingan atau memuat materi yang lebih mereflesikan visi

sosial dan politik pemegang kekuasaan. Serta dilihat bagaimana

hubungan antara cita-cita yang diimplementasikan dalam tujuan

dengan materi muatan yang ada dalam undang-undang tersebut.

Perbedaan materi muatan yang memuat aspirasi masyarakat

yang berkepentingan dan visi sosial dan politik pemegang

kekuasaan dalam Undang-Undang Ketengakerjaan dapat dilihat

dari proses pembuatan dan juga dari tujuan yang terkandung dalam

konsideran.

Serikat buruh yang tergabung dalam GSBI pada proses

pembentukan Undang-Undang Ketenagakerjaan menolak adanya si

stem kerja kontrak, longgarnya aturan recruitment dan pemutusan h

ubungan kerja, sistem pengupahan berdasarkan rate for the system

jobs, dan outsourcing. GSBI menilai bahwa 4 point tersebut merup

akan hasil dari Intervensi Lembaga keuangan Internasional seperti I

MF dan World Bank. Keempat point tersebut memang termasuk ke

dalam pasar kerja fleksibel, dimana 4 point tersebut merupakan imp


143

lementasi dari, fleksibilitas internal, fleksibilitas eksternal, fleksibil

itas fungsional dan fleksibilitas finansial.

Kemudian setelah dilakukan pengesahan pada Undang-Und

ang ketenagakerjaan, gabungan serikat buruh yang berjumlah 33 ini

akhirnya melakukan uji materi terhadap pasal 64-66 yang merupak

an pengaturan sistem kerja outsourching. Kemudian serikat buruh j

uga menilai bahwa lahirnya undang-undang ini tidak semata-mata k

arena kebutuhan perlindungan hukum tenaga kerja, melainkan suat

u produk politik yang bersifat memaksa karena telah adanya Letter

of Intens yang merupakan perjanjian antara Pemerintah Indonesia d

engan IMF. Perjanjian ini dimulai pertama pada akhir Oktober

1997, yang berlanjut hingga Desember 2003. Hal ini terjadi karena

pada saat masih dalam tahapan pembentukan Undang-Undang Kete

nagakerjaan, pemerintah Indonesia membangun Opini ingin menye

lesaikan LoI dengan IMF pada pertengahan tahun 2002.

Pemerintah membentuk tim antar-lembaga yang menyusun

exit strategy yang mempertimbangkan hal-hal seperti financing

gap, yang terkait dengan kebutuhan pembiayaan pemerintah, dan

credibility gap, yang terkait dengan dampak negatif dari sentimen

pasar, ketika program IMF berakhir. Sebagai persiapan berakhirnya

program bantuan IMF, pada 15 September 2003 pemerintah

menerbitkan ‘Paket Kebijakan Ekonomi Pra dan Pasca terjadinya


144

perjanjian dengan IMF’, yang juga dikenal sebagai “White Paper”.

Hal ini diatur dalam Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor

5 Tahun 2003 tentang Paket Kebijakan Ekonomi Menjelang dan

Sesudah Berakhirnya Program Kerjasama dengan International

Monetary Fund. Dalam Instruksi Presiden ini memuat 3 Paket

kebijakan antara lain:

4. Program Stabilisasi Ekonomi Makro


5. Program Restrukrisasi dan Reformasi Sektor Keuangan
6. Meningkatkan investasi, ekspor, dan penyerapan tenaga
kerja.144

White Paper menandakan berakhirnya program bantuan

IMF, Indonesia menyetujui pemantauan pascaprogram (Post

Program Dialogue) dengan IMF, di mana tim IMF akan datang dua

kali setahun untuk memantau perkembangan reformasi ekonomi

yang dicanangkan dalam White Paper tahun 2002. Tidak hanya

IMF, usaha pemantauan reformasi ekonomi juga pernah dilakukan

oleh Kadin Indonesia, yang membentuk tim pemantauan

independen, yang bekerja sama dengan beberapa kamar dagang

asing di Indonesia dan ekonom independen.145

Letter of Intens antara pemerintah dengan IMF juga

melahirkan salah satu point yang menilai Indonesia dalam

144
Haryo Aswicahyono David Christian Perjalanan Reformasi Ekonomi Indonesia 1997-
2016, CSIC Working Paper Series, Jurnal Working Paper Volume 2 Nomor 4, 2017, Hlm
4
145
Ibid Hlm 5
145

perlindungan tenaga kerjanya tidak cukup baik untuk menghadapi

fleksibilitas pasar kerja. Hal ini dkarenakan perlindungan hukum

terhadap tenaga kerja di Indonesia terlalu memberikan

perlindungan hukum yang berlebihan. Sebagaimana diketahui

bahwa untuk menyambut fleksibilitas pasar kerja dalam suatu

negara terkait perlindungan hukum tenaga kerja harus tidak kaku,

atau tidak terlalu memberikan perlindungan kepada tenaga

kerjanya.

Undang-undang ketenagakerjaan memiliki tujuan yang

dapat dilihat dalam konsideran menimbang huruf a, b, c, dan d

yaitu :

a. bahwa pembangunan nasional dilaksanakan dalam


rangka pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan
pembangunan masyarakat Indonesia seluruhnya untuk
mewujudkan masyarakat yang sejahtera, adil dan
makmur yang merata, baik meteriil maupun spiritual
berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar
Republik Indonesia tahun 1945;
b. bahwa dalam pelaksanaan pembangunan nasional, tenaga
kerja mampunyai peranan dan kedudukan yang sangat
penting sebagai pelaku dan tujuan pembangunan;
c. bahwa sesuai dengan peranan dan kedudukan tenaga
kerja, diperlukan pembangunan ketenagakerjaan untuk
meningkatkan kualitas tenaga kerja dan peran sertanya
dalam pembangunan serta peningkatan perlindungan
tenaga kerja kerja dan keluarganya sesuai dengan harkat
dan martabat kemanusiaan;
d. bahwa perlindungan terhadap tenaga kerja dimaksudkan
untuk menjamin hak-hak dasar pekerja/buruh dan
menjamin kesamaan kesempatan serta perlakuan tanpa
diskriminasi atas dasar apapun untuk mewujudkan
kesejahteraan pekerja/buruh dan keluarganya dengan
146

tetap memperhatikan perkembangan kemajuan dunia


usaha;

Dasar filosofis tersebut mengarahkan kepada tujuan

pembentukan Undang-Undang Ketenagakerjaan kepada

perlindungan hukum terhadap tenagakerja dalam pembangunan

nasional yang dilaksanakan dalam rangka pembangunan manusia

Indonesia seutuhnya dan pembangunan masyarakat Indonesia

seluruhnya.

Pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan

pembangunan masyarakat Indonesia seluruhnya yang

diimplementasikan ke dalam pembangunan ketenagakerjaan.

Pembangunan ketenagakerjaan diatur dalam Pasal 4 Undang-

Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan

bertujuan :

a. memberdayakan dan mendayagunakan tenaga kerja


secara optimal dan manusiawi;
b. mewujudkan pemerataan kesempatan kerja dan
penyediaan tenaga kerja yang sesuai dengan kebutuhan
pembangunan nasional dan daerah;
c. memberikan perlindungan kepada tenaga kerja dalam
mewujudkan kesejahteraan; dan
d. meningkatkan kesejahteraan tenaga kerja dan
keluarganya.

Pasal tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa tujuan

hukum ketenagakerjaan adalah untuk memberdayakan dan

mendayagunakan tenagakerja secara optimal guna memenuhi

kebutuhan pasar kerja dan memberikan perlindungan serta

kesejahteraan bagi tenaga kerja dan keluarganya. Hal ini sesuai


147

dengan program pemerintah pasca krisis moneter yang diatur dalam

white paper.

Beberapa uraian diatas menyimpulkan bahwa Undang-

undang ketenagakerjaan mempunya sifat fungsi hukum yang

konservatif. Hal ini ditandai dengan tidak adanya materi muatan

yang sesuai dengan aspirasi serikat buruh yang menolak beberapa

point yang sebenarnya adalah Point titipan dari IMF mengenai

Pasar kerja fleksibel.

Undang-Undang Ketenagakerjaan merupakan produk

hukum yang bersifat positivis-instrumentalis, artinya memuat

materi yang lebih merefleksikan visi sosial dan politik pemegang

kekuasaan atau materi yang lebih merupakan alat untuk

mewujudkan kehendak dan kepentingan program pemerintah.

Kehendak dan program pemerintah dalam undang-undang

ketenagakerjaan itu mengarah ke penstabilan ekonomi pasca

terjadinya krisis moneter yang terjadi pada tahun 1997-1998.

c. Kemungkinan penafsiran atas sebuah produk hukum

Kemungkinan penafsiran atas sebuah produk hukum

dimaksudkan kepada pembuatan peraturan teknis dibawah produk

hukum yang akan dibuat. Karena produk hokum pada praktiknya

tidak memungkiri adanya penafsiran sendiri pemerintah, namun

dalam penafsiran sendiri oleh pemerintah tergantung materi yang


148

ada dalam peraturan pelaksana yang akan dibuat, hal ini kemudian

dibagi membagi 2(dua) jenis seperti :

a. Responsif, biasanya memberi peluang untuk


menafsirkan sendiri suatu produk hukum dalam bentuk
peraturan pelaksaan dan peluang yang sempit itu pun
hanya berlaku untuk hal-hal yang betul-betul bersifat
teknis. Produk hukum yang bersifat responsif biasanya
memuat hal-hal penting secara cukup rinci, sehingga
sulit bagi pemerintah untuk membuat penafsiran
sendiri.
b. Ortodoks, biasanya memberikan peluang untuk
membuat berbagai interpretasi dengan berbagai
peraturan lanjutan yang bersifat teknis berdasarkan visi
sepihak dari pemerintah dan tidak sekedar masalah
teknis. Produk hukum jenis ini biasanya cenderung
memuat materi singkat dan pokok-pokoknya saja
untuk kemudian memberi peluang yang luas bagi
pemerintah untuk mengatur berdasarkan visi dan
kekuatan politiknya.146

Frasa mengenai hal-hal lain yang belum diatur dalam suatu

produk hukum akan diatur lebih lanjut dengan keputusan menteri,

peraturan pelaksana maupun peraturan yang terintegrasi kedalam

produk hukum tersebut adalah suatu frasa yang mengindikasikan

bahwa suatu produk hukum tersebut belum mengatur secara rigit

mengenai hal-hal penting yang bersifat umum. Karena dalam frasa

tersebut memberikan keleluasaan peluang untuk pemerintah

menafsirkan suatu produk hukum menjadi sebuah peraturan teknis

dibawah produk hukum tersebut. Hal ini memang merupakan suatu

karakter produk hukum yang bersifat umum-abstrak sehingga perlu

peraturan lanjutan yang bersifat teknis. Namun peraturan lanjutan

146
Moh Mahfud Md, Politik Hukum Indonesia, Loc.cit
149

tersebut apakah suatu produk hukum lanjutan yang berisi mengenai

penafsiran visi sepihak dari pemerintah atau merupakan penafsiran

yang lahir dari aspirasi masyarakat yang dituju dalam suatu produk

hukum yang dibuat.

Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang

Ketenagakerjaan memiliki 17 Bab dan 193 Pasal, dalam bagian

penjelasan dapat dikatakan tidak semua pasal didalam Undang-

undang ketenagakerjaan dijelaskan langsung dalam Undang-

Undang tersebut. Hal ini jelas memberikan peluang penafsiran

tersendiri bagi pemerintah untuk membuat peraturan lanjutan

mengenai hal-hal umum yang tidak memiliki penjelasan. Peluang

tersebut jelas memberikan pandangan yang buruk bagi pemerintah

apabila dilihat dari perspektif buruh yang notabenne adalah orang

maupun sekolompok masyarakat yang dituju dalam Undang-

Undang Ketenagakerjaan.

Berikut adalah beberapa penafsiran sendiri dari pemerintah

yang lahir dari Undang-Undang Ketenagakerjaan menurut Ujang

Charda :

a. Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi


Republik Indonesia Nomor: Kep-21/MEN/III/2004
tentang Penggunaan Tenaga Kerja Asing.
b. Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi
Republik Indonesia Nomor: Kep-67/MEN/IV/2004
150

tentang Pelaksanaan Jaminan Sosial Bagi Tenaga Kerja


Asing
c. Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi
Republik Indonesia Nomor: Kep-68/MEN/IV/2004
tentang Pencegahan dan Penanggulangan HIV/AIDS di
Tempat Kerja.
d. Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi
Republik Indonesia Nomor: Kep-69/MEN/ IV/2004
tentang Perubahan Lampiran Keputusan
Kepmenakertrans Nomor: Kep.227/MEN/2003 tentang
Tata Cara Penetapan Standar Kompetensi Kerja
Nasional.147
Lima peraturan lanjutan tersebut menurut Ujang Charda

merupakan hasil Interpretasi sendiri oleh pemerintah guna

melaksanakan visi sepihak dari pemerintah yang sedang

menjalankan misi memajukan perekonomian nasional guna

menarik Investor untuk datang dan menanam modal di Indonesia.

Ujang Chandra juga menjelaskan secara kuantitas Pasal

yang dijelaskan dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan tidak

sampai setengahnya memiliki penjelesan, hanya 77 pasal yang

memiliki penjelasan dari 193 keseluruhan pasal yang ada di dalam

Undang-Undang Ketenagakerjaan.148 Sisanya menurut Ujang

Charda merupakan peluang yang luas untuk menafsirkan visi

sepihak kepentingan pemerintah guna mencapai tujuannya. 149

Besarnya peluang pemerintah untuk menafsirkan visi sepihak

tersebut dapat diindasikan bahwa Undang-Undang ketenakerjaan


147
Ujang S. Chandra, Karakteristik Undang-Undang Ketenagakerjaan dalam Perlindungan
Tenaga Kerja, Jurnal Wawasan Hukum, Volume 32, nomor 1. Februari 2015 diunduh
Pada 20 Juli 2020 hlm, 15
148
Ibid. Hlm 18
149
Loc.Cit
151

merupakan produk hukum yang elitis, karena suatu produk hukum

merupakan hasil dari konstelasi politik yang kuat antar lembaga

pemerintah juga pihak yang ingin mengambil keuntungan besar

didalam celah penafsiran produk hukum tersebut.

Ketiga indikator karakter produk hukum diatas

mengarahkan kesimpulan bahwa Undang-undang Nomor 13 Tahun

2003 memiliki karakter hukum yang konservatif/ortodoks/elitis.

Mahfud M.D berpendapat bahwa karakter produk hukum yang

konservatif mempunyai peranan penting elit pemerintah dan

parlemen sangat dominan dalam menentukan arah perkembangan

hukum. Hukum yang konservatif memandang bahwa hukum

merupakan perwujudan nyata visi sepihak pemegang kekuasaan

negara.

Penerapan Konsep kebijakan fleksibilitas pasar kerja dalam Undang-

Undang ketenagakerjaan terjadi akibat adanya krisis moneter yang

berkepanjangan diawali tahun 1997 sampai 1998. Krisis moneter 1997-1998

mendorong tumbangnya rejim Orde Baru pada Mei 1998. Menurut Krugman,

model perekonomian Orde Baru yang bertumpu pada pemerintah dengan

kroni-kroninya mengakibatkan sumber daya mengalir ke dalam kegiatan-

kegiatan ekonomi yang tidak produktif. Soeharto beserta keluarganya

memanfaatkan posisi pemerintah untuk menjalankan.150

150
Mansour Fakih, Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globasisasi, Insist , Yogyakarta,
2009, hlm 49.
152

Krisis moneter ini akhirnya mengarahkan Indonesia menjadi suatu

negara yang mengalami pemanduan kebijakan pembangunan. Hal itu terjadi se

jak ditandatanganinya kesepakatan LoI (Letter of Intens) pertama pada 31

Oktober 1997 antara pemerintah Indonesia dengan IMF sebagai wujud

kesepakatan IMF untuk membantu memulihkan Indonesia. Kesepakatan itu

berujung keputusan IMF untuk memberikan bantuan senilai Special Drawing

Rights atau SDR 7.338 juta kepada pemerintah Indonesia pada 5 November

1997. Pencairan pertama senilai SDR 2.200 juta atau sekitar 3.040 dolar AS,

kesepakatan LoI pertama tersebut tidak memberikan dampak yang signifikan

hal ini dikarenakan kondisi keuangan Indonesia masih belum pulih. 151

Pemerintah lalu melanjutkan kesepakatan kedua dengan IMF yang ditanda

tangani oleh Presiden Soeharto pada 15 Januari 1998.

Program penyesuaian struktural ini salah satunya mengenai

pembangunan infrastruktur fisik maupun infrastruktur sosial. Orientasi

pembangunan ini akhirnya mengarahkan pembangunan dari state led

developmentalism menjadi market led developmentalism.

State led developmentalism atau negara sebagai pemimpin

pembangunan adalah gagasan yang mempunyai pandangan bahwa negara

memegang peran kunci dalam pembangunan.152 Gagasan ini menghasilkan

sebuah teori yaitu development state atau teori pembangunan negara yang

membahas relasi antara negara terhadap kegiatan pembangunan di negaranya,


151
Dewi Nurlita, 20 Tahun Reformasi: Resep Imf, Obat Krisis 1997-1998
https://bisnis.tempo.co/read/1088662/20-tahun-reformasi-resep-imf-obat-krisis-1997-
1998/full&view=ok diakses pada 18 Juli 2019
152
Eve Warburton, A New Developmentalism in Indonesia, Journal of Souteast Asian
Economies Volume 35 No 3 hlm 356
153

dengan menempatkan aktor utama dalam memdorong pembangunan tersebut

dengan prioritas pada aktivitas pembangunan. Dalam menjalankan State led

developmentalism Negara diharuskan cukup kuat dan memiliki kemampuan

dalam mengontrol wilayah serta sumber daya yang dimiliki. Cara ini semata-

mata dilakukan untuk mencapai target pembangunan. Adapun prinsip utama s

tate led development atau teori developmental state yang diungkapkan Chalm

ers Johnson, meliputi :

1. Pembangunan ekonomi, meliputi pertumbuhan, produktivitas dan k


ompetisi, merupakan prioritas utama negara.
2. Developmental state bukan negara sosialis sehingga terdapat komit
men pada pasar dan kepemilikan individu. Hanya saja, pasar dikont
rol pemerintah melalui formulasi kebijakan strategis industrialisasi
guna mempromosikan pembangunan yang tetap dalam konsep keny
amanan pasar.
3. Birokrasi negara menjadi pemandu utama dalam memainkan peran
penting untuk memformulasikan kebijakan strategis dan implement
asinya153
Johnson juga membuat sebuah Johnson’s Formulation yang mengung

kapkan mengenai karakteristik developmental state. Menurut Johnson, karakte

ristik Developmetal State mencakup beberapa hal berikut :

1. Memprioritaskan pertumbuhan ekonomi dan produksi, bukan kons


umsi dan distribusi, sebagai tujuan fundamental kegiatan negara.
2. Merekrut aparat birokrasi ekonomi dengan talenta tinggi, kohesif, d
an disiplin yang berbasis merit (kepantasan).
3. Mengkonsentrasikan talenta birokrasi dalam lembaga sentral (seper
ti MITI di Jepang) yang bertanggung jawab pada tugas transformas
i industrial.

153
Poppy S. Winanty, Development State dan Tantangan Globalisasi, Jurnal Ilmu Sosial
dan Ilmu Politik Fisipol UGM, Volume 7 Nomor 2, 2003, Hlm 134
154

4. Melembagakan hubungan antar-birokrasi dengan elit bisnis sebagai


upaya pertukaran informasi serta mendorong kerjasama dalam kepu
tusan-keputusan penting berdasarkan atas pembuatan kebijakan yan
g efektif.
5. Melindungi jaringan pengambil kebijakan dari tekanan kepentingan
dan tuntutan yang lain.
6. Mengimplementasikan kebijakan pembangunan dengan memanfaat
kan kombinasi jaringan kerja pemerintah serta dunia industrial dan
kontrol publik atas berbagai sumber daya yang dimiliki, seperti keu
angan.154
Dalam teori ini dijelaskan bahwa strategi pembangunan negara utaman

ya dititikberatkan pada industrialisasi yang berorientasi ekspor, seperti industri

manufaktur berteknologi tinggi. Industri jenis ini dinilai dapat berkontribusi le

bih besar dalam mendorong percepatan pertumbuhan ekonomi negara. Untuk

menentukan apakah suatu negara termasuk dalam teori developmental state, d

apat dilihat dari karakteristik khusus yang dimilikinya. Fritz dan Menocal send

iri juga memiliki pandangan tentang karakteristik developmental state, yang di

jabarkannya dalam beberapa aspek, meliputi:

1. Aspek utama: menekankan pada kapasitas negara dan otonominya


2. Rezim politik: tidak memiliki komitmen normatif apapun terhadap
berbagai rezim politik.
3. Legitimasi negara: diperoleh dari prestasi dan performa negara.
4. Arah politik: mengutamakan kepentingan nasional, dan mengutama
kan komitmen kepemimpinan.
5. Peran negara: aktif dalam membantu perkembangan ekonomi, tapi
menghindari kepentingan grup tertentu.155
Runtuhnya rejim orde baru akibat desakan sosial maupun ekonomi me

mberikan keleluasaan Organisasi Keuangan Internasional seperti IMF dan Wo


154
Loc.Cit.
155
Laura Routley, Developmental State: A Review of the Literature. ESID, Manchester
2012, Hlm 38
155

rld Bank untuk mengintervensi kebijakan-kebijakan mengenai pembangunan i

nfrastruktur fisik maupun sosial yang akan dibuat oleh Pemerintah Indonesia.

Pasca reformasi Indonesia sudah menjadi negara yang memberikan pasar kelel

uasaan untuk memandu pembangunan yang terjadi di Indonesia, atau lebih dik

enal dengan Market Led Development(Pembangunan yang dipimpin pasar).156

Pembangunan yang dipimpin pasar dikembangkan diatas tiga prinsip dasar

yang menjadi prasyarat yaitu :

a. Insentif kebijakan pembangunan yang tepat,


b. Keikut sertaan modal swasta atau aset privat dalam agenda
pembangunan
c. Lingkungan makro-ekonomi yang stabil.157

Market Led Development adalah suatu kondisi dimana pembangunan

fisik maupun sosial dipandu oleh Pasar. Menurut Danny Quash dalam Market

Led Development lahir dalam paradigma bahwa Pembangunan adalah proses

memberdayakan manusia untuk memberi mereka kapasitas dalam mengejar

tujuan untuk meningkatkan kesejahteraan, lingkungan, dan nasib mereka.

Pemberdayaan manusia membutuhkan penyatuan modal dan tenaga kerja

untuk menciptakan produk yang menambah nilai.158

Perkembangan yang dipimpin pasar berarti memanfaatkan ini dan

memengaruhi bagaimana faktor-faktor produktif menumpuk. Insentif

kebijakan sangat penting agar kekuatan pasar dapat beroperasi dengan baik.

Hak kekayaan intelektual dan stabilitas ekonomi makro juga penting karena
156
Mansour Fakih, Op.Cit, hlm 39
157
Thomson, Grahame. Economic Dynamism in The Asia Pasific: The Growth of
Integration and Competitiveness. London, Routledge, 1998. Hlm 58
158
Diakses dari https://www.tutor2u.net/economics/reference/market-led-versus-state-led-
developmen// Pada 07 Juli 2020
156

tanpa adamya perlindungan Haki dan stabilitas ekonomi makro hasil yang

dijanjikan tidak akan terwujud.159

Market led Developmentalism dapat dikatakan lahir dari adanya

doktrin ekonomi neo-liberal yang pada umumnya diadopsi sebagai paradigma

ekonomi di sebagian besar negara di dunia. Susan George menerangkan

sejumlah doktrin neoliberal yang harus dianut dalam suatu negara adalah :

6. Pasar harus diberi kebebasan untuk membuat keputusan sosial dan


politik yang penting;
7. Negara harus secara sukarela mengurangi intervensinya dan
peranannya di bidang ekonomi;
8. Perusahaan harus diberi kebebasan total;
9. Serikat buruh harus diawasi dan diberangus;
10. Proteksi dan subsidi sosial bagi warga negara harus dikurangi160
Doktrin neoliberal itu sendiri dicetuskan pada rentan waktu 1960-an,

neoliberal sering kali disebut sebagai Konsensus Washington. Konsensus

Washington adalah arahan ekonomi yang digagas oleh John Willianson, Jhon

Willianson dalam Konsensus Washington ada 10 poin yang harus dicermati,

10 poin tersebut adalah :

10. Disiplin fiscal dan pengekangan defisit anggaran;


11. Pengurangan belanja publik khususnya militer dan administrasi
publik;
12. Reformasi pajak dengan cara memberi kelonggaran pada
pengusaha untuk kemudahan membayar pajak;
13. Liberalisasi finansial berupa kebijakan bunga bank yang ditentukan
mekanisme pasar;
14. Nilai tukar uang yang kompetitif, berupa kebijakan bunga bank
uang ditentukan oleh mekanisme pasar;
15. Trade Liberalisation Barrier, yaitu kebijakan yang menyingkirkan
segenap penghalang system pasar bebas, seperti pengurangan bea
tarif dan lisensi perdagangan;

159
Loc.Cit
160
Noer Fauzi Rachman, MP3EI : Master Plan Percepatan dan Perluasan Krisis Sosial-
Ekologis Indonesia, Yogyakarta, 2014, Tanah Air Beta, hlm 59
157

16. Foreign Direct Investmen, yaitu kebijakan untuk menyingkitkan


segenap aturan pemerintah yang menghambat investasi modal
asing;
17. Privatisasi, yaitu kebijakan untuk memberikan hak pengelolaan
perusahaan negara kepada pihak swasta;
18. Deregulasi Kompetensi;
19. Perlindungan Intelectual Property Rights atau hak kekayaan
intelektual.161

Uraian berikut akan menjelaskan bagaimana penerapan kebijakan

fleksibilitas pasar kerja yang terjadi di Indonesia dilakukan atas dasar

perubahan struktural pembangunannya dari state led developmentalis menjadi

market led developmentalism.

Fleksibilitas Pasar Kerja merupakan program yang dilaksanakan guna

menyambut persaingan pasar bebas, hal ini karena para ahli yang sepakat

mengenai Fleksibilitas Pasar kerja berpendapat bahwa konsep ini

memindahkan Pekerja yang berada di sektor informal dapat berpindah ke

sektor formal. Perpindahan tersebut dikarenakan kebutuhan pasar yang sedang

mengalami krisis akibat terjadinya krisis moneter yang melanda dunia pada

rentan tahun 1960-an.

Tujuan dari konsep fleksibilitas pasar kerja sebenarnya merupakan

perluasan makna dari teori perubahan struktural yang dikeluarkan oleh Arthur

Lewis. Arthur Lewis berpendapat dalam model perubahan strukturalnya

menjelaskan bahwa pertumbuhan terjadi ketika sektor manufaktur modern

dibentuk untuk mengeksploitasi surplus tenaga kerja dari sektor tradisional.162

161
Loc.Cit
162
Timotius Priyanto, Mencari Equilibrium Ekonomi Baru Negara atau Pasar yang
Memimpin, diakses dari https://www.kompasiana.com/timapriyanto/mencari-equilibrium-
ekonomi-baru-negara-atau-pasar-yang-memimpin/page-3 pada 29 juni 2020 pukul 21.05
158

Surplus tenaga kerja yang terjadi di Indonesia dikarenakan adanya

ketimpangan akses pendidikan yang tidak merata. Hal ini berdampak pada

kualitas tenaga kerja di Indonesia. Kualitas tenaga kerja pada saat itu masih

didominasi oleh tenaga kerja tidak terampil. Tenaga kerja tidak terampil ini

mendominasi pasar kerja yang berada dalam sektor kerja informal.

Pandangan diatas tersebut akhirnya membuat suatu kesimpulan bahwa

peran pasar dan campur tangan negara maupun antara pembangunan ekonomi

dengan pendekatan pasar dan normatif (konstitusional) harus saling melengka

pi, dikarenakan menjalankan pembangunan ekonomi dalam kevakuman politik

adalah hal yang mustahil, karena:

1. Peran pasar sangat penting dalam rangka perusahaan memaksimalka


n keuntungan dan individu serta masyarakat memaksimalkan kesejah
teraan, namun peran pemerintah penting juga dalam melakukan kore
ksi terhadap kegagalan pasar.
2. Peran konstitusi dan aturan main dalam pembuatan kebijakan ekono
mi sangat penting untuk memastikan kebijakan ekonomi yang baik d
alam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat untuk jangka p
anjang.
3. Kebijakan ekonomi dalam mengejar pertumbuhan maupun pemerata
an hasil sangat berkaitan dengan proses politik yang berlangsung ter
us menerus. Kebijakan ekonomi tidak berjalan dalam kevakuman pol
itik, karena secara praktis pendekatan normatif atau konstitusional da
pat memberikan arahan yang jelas bagi pembangunan ekonomi deng
an saling melengkapi.163
Peran Pasar dalam Undang-Undang ketenagakerjaan salah satunya

terkait penerapan kebijakan fleksibilitas pasar kerja. Fleksibilitas pasar kerja

yang dianggap sebagai solusi untuk melepaskan Indonesia dari krisis moneter

yang melanda pada tahun 1997-1998. Krisis moneter 1997-1998 pada

163
Agusmidah, Dilematika Hukum Ketenagakerjaan Tinjauan Politik Hukum, Sofmedia, M
edan, 2011, hlm. 10.
159

akhirnya memuluskan program penyesuaian struktural yang dipandu oleh

lembaga-lembaga keuangan Internasional seperti International Monetery

Found (IMF) dan World Bank.nyatanya mengalami penolakan dari berbagai

unsur yang tergabung dalam Gerakan Serikat Buruh Indonesia. GSBI menilai

bahwa penerapan kebijakan fleksibilitas tersebut mencabut secara perlahan

tanggung jawab pemerintah terhadap perlindungan tenaga kerja yang

mengalami hubungan kerja yang ter-sub-ordinasi dengan pemilik modal.

Penerapan kebijakan fleksibilitas pasar kerja dianggap terlalu

mencerminkan visi sepihak dari pemerintah, karena tidak melihat kondisi

perekonomian pasca terjadinya krisis moneter. Sebagaimana dijelaskan bahwa

gagalnya perencanaan perbaikan stabilitas ekonomi makro dan penguatan

rupiah pasca krisis ekonomi tahun 1997 mengakibatkan masuknya intervensi

IMF melalui Letter of Intens.164 Dalam Letter of Intens tersebut tidak hanya

memuat perjanjian utang-piutang antara Indonesia dengan IMF, melainkan

berisi juga mengenai arah pembangunan nasional yang dipandu oleh IMF,

sehingga timbulah kebijakan Fleksibilitas Pasar Kerja dalam Undang-Undang

Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan mengenai, sistem kerja

kontrak, sistem pengupahan berdasarkan rate by job, pelonggaran aturan main

mengenai Rekruitment dan Pemutusan hubungan Kerja(entry and out

process), serta penerapan sistem kerja Outsourching.

164
Suhendra, Ketika Indonesia Bertekuk Lutut Kepada IMF Diakses dari tirto.id
https://tirto.id/ketika-indonesia-bertekuk-lutut-kepada-imf-czic Pada 14 September 2020
Pukul 22.30
160

Fleksibilitas tenaga kerja dalam prinsipnya menekankan bahwa

kebutuhan pasar tenaga kerja disesuaikan dengan supply and demand

kebutuhan perusahaan terhadap tenaga kerja. Hal ini sebenarnya dapat

mengakibatkan timbulnya pasar kerja monopsonu sehingga perusahaan dapat

melakukan politik upah murah yang dijalankan oleh pemilik modal. Politik

upah murah lahir karena adanya ketimpangan kepimilikan alat produksi dalam

suatu hubungan produksi dan mengenai kualifikasi tenaga kerja yang masih

didominasi oleh tenaga kerja tidak terampil. Dalam hubungan produksi jelas

yang lebih diuntungkan kedudukannya adalah pemilik modal, karena pemilik

modal mempunyai alat produksi baik itu berbentuk modal maupun alat yang

dipakai dalam produksi itu sendiri. Sedangkan tenaga kerja hanya memiliki

tenaga maupun kemampuan yang dikuasai saja untuk ditukar dengan gaji

maupun upah.

Karakter Produk Hukum Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003

tentang Ketenagakerjaan ternyata apabila dibedah secara sederhana

mengarahkan kepada kesimpulan bahwa produk hukum Undang-Undang

Ketenakerjaan merupakan karakter produk hukum yang bersifat konservatif,

yang tidak akomodatif terhadap aspirasi masyarakat khususnya tenaga kerja.

Karakter produk hukum yang demikian tidak menyediakan akses khusus bagi

masyarakat bisa memberikan aspirasi dalam pembuatan produk hukum.

Tenaga kerja dalam praktiknya seringkali menjadi pihak yang

dirugikan dalam hubungan kerja, hal ini dikarekan kedudukan yang tidak

seimbang antara penanam modal dan pekerja. Kerugian dalam hubungan kerja
161

tersebut juga diperparah dengan karakter produk hukum ketenagakerjaan yang

bersifat konservatif, karena membuat peraturan pelaksana berdasarkan visi dan

kekuatan politik pemerintah, yang masih menjalankan pembangunan

infrastruktur fisik maupun sosial berdasarkan penanaman modal asing.

Pembangunan Nasional berlandaskan penanaman modal asing

memiliki orientasi pertumbuhan ekonomi sebagai tujuan utama, dan sering

kali pertumbuhan ekonomi yang berlandaskan modal asing tidak

memperdulikan kepentingan individu bahkan masyarakat yang dinilai

menghambat laju pertumbuhan ekonomi. Padahal dalam pembangunan

nasional, tenaga kerja mempunyai peran penting didalam pembangunan

nasional.

Tenaga kerja mempunyai peranan meningkatan kualitas sumber daya

manusia dalam pelaksanaan pembangunan nasional, baik sebagai pelaku

pembangunan maupun sebagai tujuan pembangunan. Pembangunan tenaga

kerja berperan meningkatkan produktivitas nasional dan kesejahteraan

masyarakat. Hal ini sebenarnya mengharuskan pemerintah melibatkan pekerja

yang diwakili oleh serikat buruh harus selalu diajak berpartisipasi dalam

pengambilan keputusan yang berhubungan dengan kepentingannya.

Kepentingan tenagakerja salah satunya mengenai peningkatan

kesejahteraan bagi pekerja maupun keluarganya. Peningkatan kesejahteraan

tersebut merupakan suatu pemenuhan kebutuhan dan/atau keperluan yang

bersifat jasmaniah dan rohaniah, baik di dalam maupun di luar hubungan


162

kerja, yang secara langsung atau tidak langsung dapat mempertinggi

produktivitas kerja dalam lingkungan kerja yang aman dan sehat upah yang

layak untuk menghidupi kebutuhan dasar bagi pekerja maupun keluarganya.

Fleksibilitas pasar kerja menekankan bahwa mengenai sistem upah

harus disesuaikan dengan rate by job, didukung dengan adanya pemberlakuan

sistem outsourching, dengan menggunakan sistem kerja kontrak yang berbasis

pada rekruitment dan pemutusan hubungan kerja yang diserahkan pada

kebutuhan perusahaan membuat peningkatan kesejahteraan bagi pekerja

sangat kecil. Hal ini didasari pada kepastian perlindungan kepentingan

mengenai kesejahteraan pekerja secara tidak langsung tergantung pada

perusahaan sebagai pemilik modal. Perusahaan yang mempunyai kepimilikan

modal sekaligus kepimilikan alat produksi dapat menekan kebebasan

demokrasi bagi pekerja, apabila upah yang diterima untuk tidak bisa

memenuhi kebutuhan hidupnya.

Fleksibilitas pasar kerja mempunyai tujuan untuk menyeimbangkan

posisi tawar pekerja dalam hubungan kerja. Hal ini didasari pada penjelasan

diatas bahwa dalam melaksanakan hubungan kerja harus ada unsur yang

terpenuhi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (15) Undang-Undang

Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Pasal 1 ayat (15) diatas

menyebutkan bahwa unsur dalam suatu hubungan kerja adalah adanya

pekerjaan, upah, dan perintah. Hal ini jelas membuktikan bahwa adanya

ketimpangan kedudukan antara pekerja-pemberi kerja. Ketimpangan tersebut


163

selalu menjadi masalah karena tidak memberikan keleluasaan bagi oekerja

dalam melakukan penuntutan kesejahteraan.

Pembangunan nasional yang didasari pada market led

developmentalism, tekhususnya mengenai ketenagakerjaan yang didasari

flekbisilitas pasar kerja di Indonesia, belum dapat dikatakan sebagai solusi

terjadinya krisis moneter yang mengakibatkan banyaknya perusahaan yang

pailit sehingga melahirkan penggangguran. Hal ini didasari pada orientasi

pembangunan berdasarkan visi sepihak dari pemerintah untuk membuka

investasi seluas-seluasnya mengakibatkan penghisapan nilai lebih oleh

perusahaan kepada pekerja atas dasar persaingan dalam pasar bebas.


163

BAB V

PENUTUP
A. Kesimpulan

1. Fleksibilitas pasar kerja merupakan suatu konsep pasar kerja guna

menyambut era industri 4.0 yang bertujuan untuk memindahkan

pekerja yang berada dalam sektor pasar kerja informal kearah sektor

pasar kerja formal. Pemindahan tersebut memiliki tujuan untuk

memberikan perlindungan hukum terhadap pekerja di Indonesia.

Kebijakan fleksibilitas pasar kerja dalam undang-undang Nomor 13

Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang diterapkan hanya sebagian

dan hal itu mencakup mengenai pengupahan, rekrutmen pekerja dan

phk yang diberikan kewenangannya terhadap kebutuhan perusahaan,

kemudian sistem kontrak atau sistem kerja dengan Perjanjian Kerja

Waktu Tertentu dan sistem kerja outsourching yang melahirkan sistem

kerjaparuh waktu, sistem kerja bergilir dan sistem kerja

lembur.Pengaturan mengenai pasar kerja fleksibel sebagaimana

dimaksud diatas diatur dalam Pasal 88 yang mengatur mengenai sistem

pengupahan, Pasal 35 ayat (1) tentang rekrutmen tenaga kerja

berdasarkan kebutuhan perusahaan, kemudian mengenai Pemutusan

Hubungan Kerja yang diatur dalam BAB XII lebih khusus diatur

dalam Pasal 163, Pasal 164, Pasal 165 dan Pasal 167, pengaturan PHK

tersebut merupakan PHK yang dilakukan oleh perusahaan, PHK

163
164

tersebut didasarkan pada suatu hal baik sesuai dengan Pasal 158 ayat

(1) maupun suatu hal selain dalam Pasal 153 ayat(1). Pasal selanjutnya

yang mengatur mengenai fleksibilitas pasar kerja dalam Undang-

Undang 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan mengatur mengenai

Sistem kerja kontrak atau lebih dikenal dengan sistem kerja dengan

Perjanjian Kerja Waktu Tertentu. Sistem kerja dengan Perjanjian Kerja

Waktu tertentu diatur dalam Pasal 56, Pasal 57, Pasal 58 dan Pasal 59.

Dalam Pasal tersebut menjelaskan jenis kerja yang dapat dijalankan

dengan Perjanjian Kerja Waktu tertentu serta perlindungan hukumnya.

Kemudian pengaturan mengenai penerapan fleksibilitas pasar kerja

mengatur mengenai sistem kerja outsourching. Pengaturan

outsourching diatur dalam Pasal 64, Pasal 65 dan Pasal 66.

2. Penerapan kebijakan pasar kerja dalam Undang-Undang Nomor 13

Tahun 2003 tentang Ketenakerjaan masih belum mengatur keseluruhan

kebutuhan untuk menyambut pasar kerja yang didasari pada Era

Industri 4.0 secara menyeluruh. Hal ini dikarenakan pemerintah terlalu

terburu-buru dalam menerapkan kebijakan fleksibilitas pasar kerja

yang hanya kebutuhan investasi guna pembangunan nasional tanpa

mempertimbangkan kondisi pasar kerja di Indonesia. Sehingga

penerapan kebijakan fleksibilitas pasar kerja belum dapat dikatakan

melindungi tenaga kerja dalam menyambut era industri 4.0.


165

B. Saran
Pemerintah hendaknya membuat produk hukum yang mengatur

fleksibilitas pasar kerja secara menyeluruh baik dari tahapan perencanaan

tenaga kerja makro maupun perencanaan tenaga kerja mikro serta membuat

pemberdayaan seluas-luasnya guna memperbanyak pekerja yang mempunyai

di bidang Industri yang dibutuhkan oleh pembangunan nasional dan dapat

mengakomodir saran yang diberikan oleh seluruh pihak yang ada dalam

hubungan industrial. Hal ini guna memberikan kesetaraan kedudukan antara

tenaga kerja dan pencari tenaga kerja dalam pasar kerja dan memberikan

perlindungan hukum bagi tenaga kerja serta kepastian hukum bagi pekerja

yang sedang bekerja dalam era indutri 4.0.


DAFTAR PUSTAKA

Buku

Asshiddiqie, Jimly. (1997). Teori & Aliran Penafsiran Hukum Tata Negara.
Jakarta: Ind. Hill.Co.
Bambang, R. Joni. (2013). Hukum Ketenagakerjaan. Bandung: Pustaka Setia
Fakih, Mansour. (2009). Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi.
Yogyakarta: Insist.
HR, Ridwan. (2014). Hukum Administrasi Negara. Jakarta: Rajawali Pers.
Junaedi, Koeshartono D. (2005). Hubungan Industrial Kajian Konsep dan
Permasalahan. Yogyakarta: Penerbitan universitas atma jaya yogyakarta.
Kelsen, Hans. (1971). General Theory of Law and State. New York: Russel and
Russel.
Khakim, Abdul. (2014). Dasar – dasar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia (Vol.
4). Bandung: Citra aditya Bakti.
Latief, Abdul, & Hasbi, Ali. (2010). Politik Hukum,. Jakarta: Sinar Grafika.
Marzuki, Peter Mahmoud. (2014). Penelitian Hukum Edisi Revisi. Jakarta:
Kencana Prenada Media Group.
MD, Moh. Mahfud. (2011). Membangun Politik Hukum, Menegakan Konstitusi.
Jakarta: Rajawali Pers.
MD, Moh. Mahfud. (2011). Politik Hukum di Indonesia. Jakarta: Rajawali Pers.
Mertokusumo, Sudikno. (2005). Mengenal Hukum Suatu Pengantar. Yogyakarta:
Liberti,.
Midah, Agus. (2011). Dilematika Hukum Ketenagakerjaan Tinjauan Politik
Hukum. Medan: Sofmedia.
Rahardjo, Satjipto. (2000). Ilmu Hukum. Bandung: Citra Aditya Bakti.
Shamad, Yunus. (1995). Hubungan Industrial di Indonesia1995. Jakarta: Bina
Sumberdaya Manusia
Soekanto, Sarjono, & Mamudji, Sri. (2007). Penelitian Hukum Normatif,. Jakarta:
Raja Grafindo Persada.
Soeroso, R. (2009). Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: Sinar Grafika.

166
167

Sulaiman, King Faisal. (2017). Politik Hukum Indonesia. Yogyakarta: Thala


Media.
Marzuki, Suparman. (2011). Tragedi Politik Hukum HAM, . Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Rachman, Noer. F. (2014). MP3EI : Master Plan Percepatan dan perluasan
Krisis Sosial-Ekologis Indonesia. Yogyakarta: Tanah Air Beta.
Sunggono, Bambang. (2013). Metode Penelitian Hukum. Jakarta: Raja Grafindo
Persada.
Tanya, Bernard. L. (2011). Politik Hukum: Agenda Kepentingan Bersama.
Yogyakarta: Genta Publishing.
Thompson, George. (1998). Economic Dynamism in The Asia Pasific: The
Growth of Integration and Competitiveness. London: Routledge.
Wahjono, Padmo. (1983). Indonesia Negara Berdasarkan Atas Hukum (Vol. II).
Jakarta: Ghalia Indonesia.
Wahjono, Padmo. (1991). Menyelisik Proses Terbentuknya Peraturan Perundang
–undangan. Forum Keadilan.
Warburton, Eve. (2018). A New Developmentalism in Indonesia. Journal of
Souteast Asian Economies, XXXV, 355-368.
Wijayanti, Asri. (2009). Hukum Ketenagakerjaan Pasca Reformasi. Jakarta: Sinar
Grafika.

Jurnal

Chandra, Ujang. S. (2015). Karakteristik Undang-Undang Ketenagakerjaan dalam


Perlindungan Tenaga Kerja. Jurnal Wawasan Hukum, 50-72.
Nurlina. (2014). Pasar kerja dan Ketenagakerjaan. Pasar Kerja,Volume I
Prasetyo, Hima. (2018, , Januari ). Industri 4.0 : Telaah Klasifikasi Aspek dan
Arah Perkembangan Riset. Industri 4.0, XIII
Rajaguguk, Zantermans. (2010, Juni 06). Jurnal Kependudukan Indonesia.
Fleksibilitas Pasar Kerja Versus Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia,
V(2), 132-166. Retrieved Maret 18, 2019, from
https://ejurnal.kependudukan.lipi.go.id/index.php/jki/article/view/132/166
Santoso, Budi. (2011). Pengaturan Mogok Kerja dalam Perspektif Hukum
Indonesia dan Malaysia. Jurnal pandecta Volume 6.
168

Sumertayasa, Putu Gede. A., & Nuryanti, Dewa Ayu. F. (2016). Peran dan Fungsi
Pemerintah dalam Hubungan Imdustrial. Jurnal Hukum Bisnis Fakultas
Hukum Universitas Udayana.
Tjandraningsih, Hari Nugroho. (2013). Kertas Posisi Fleksibilitas Pasar Kerja
dan Tanggung Jawab Negara: Media Neliti. Retrieved from Media neliti:
http://media.neliti.com
Winanty, Poppy. S. (2003). Development State dan Tantangan Globalisasi,.
Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Fisipol UGM, VII, 130-141.

Website

Agustina, Sinta. (2019, Oktober 12). PERAN PEMERINTAH DALAM REVOLUSI


INDUSTRI 4.0: Inspektoral Jenderal Kementrian Kelautan dan
Perikanan. Retrieved from Inspektoral Jenderal Kementrian Kelautan dan
Perikanan: https://kkp.go.id/itjen/page/1724-peran-pemerintah-dalam-
revolusi-industri-4-0/
Akatiga. (2015, Maret 14). Pasar Kerja Fleksibel dan keadilan bagi kaum buruh :
Akatiga. Retrieved from Akatiga: Akatiga, Pasar Kerja Fleksibel dan
keadilan bagi kaum buruh, https://www.akatiga.org/language/id/portfolio-
item/pasar-kerja-fleksibel-dan-keadilan-bagi-kaum-pekerja-2
Ansori, Ahmad. (2020, Januari 13). Jumlah Pekerja Formal dan Informal;
Lokadata beritagar. Retrieved from Lokadata beritagar:
https://lokadata.beritagar.id/chart/preview/jumlah-pekerja-formal-dan-
informal-2012-2019
DA, Ady Thea. (2019, Februari 20). Regulasi Ketenagakerjaan Mesti Adopsi
Perkembangan Revolusi Industri 4.0: Hukum Online. Retrieved from
Hukum Online:
http://hukumonline.comberita/baca/lt5c6c17ad21d53/regulasi-
ketenagakerjaan-mesti-adopsi-perkembangan-revolusi-industri-40?
r=0&q=Regulasi%20Ketenagakerjaan%20Mesti%20Adopsi
%20Perkembangan%20Revolusi%20Industri%204.0&rs=1847&re=2020
Nurlita, Dewi. (2019). 20 Tahun Reformasi: Resep Imf, Obat Krisis 1997-1998:
Bisnis Tempo. Retrieved from Bisnis Tempo:
https://bisnis.tempo.co/read/1088662/20-tahun-reformasi-resep-imf-obat-
krisis-1997-1998/full&view=ok
Priyanto, Timotius. (2020). Mencari Equilibrium Ekonomi Baru Negara atau
Pasar yang Memimpin: Kompasiana. Retrieved from Kompasiana:
https://www.kompasiana.com/timapriyanto/mencari-equilibrium-ekonomi-
baru-negara-atau-pasar-yang-memimpin/page-3
169

Routley, Laura. (2012). Developmental State: A Review of the Literature.


Manchester : ESID.
Samhadi, Sri Hartati. (2020.). Revisi UU Ketenagakerjaan, Siapa Diuntungkan?:
Kompas. Retrieved from Kompas: http://www.kompas.com
Thornburg, James. (2014, August 14). Econonomics Reference Market Led vs
State Led Development: Tutor2U. Retrieved from Tutor2u:
https://www.tutor2u.net/economics/reference/market-led-versus-state-led-
development

Anda mungkin juga menyukai