Anda di halaman 1dari 6

INTEGRASI ISLAM

RESUME

Disusun dan diajukan guna memenuhi tugas

Mata Kuliah: Filsafat Ilmu

Dosen Pembimbing: Anwar Ma’rufi, S.Hi. M.Ud.

Disusun oleh:

Muhammad Ulil Abror

PROGAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA ARAB

JURUSAN TARBIYAH DAN DAKWAH

INSTITUT AGAMA ISLAM AN-NAWAWI PURWOREJO

2023
PENDAHULUAN
Latar Belakang 1
Dalam Islam, ilmu merupakan salah satu perantara untuk memperkuat
keimanan. Iman hanya akan bertambah dan menguat, jika disertai ilmu pengetahuan.
Seorang ilmuan besar, Albert Einsten mengatakan bahwa “science without religion is
blind and religion without science is lame”, ilmu tanpa agama buta, dan agama tanpa
ilmu adalah lumpuh. Ajaran Islam tidak pernah melakukan dikotomi antar ilmu satu
dengan yang lain. Karena dalam pandangan Islam, ilmu agama dan umum sama saja
berasal dari Allah. Islam juga menganjurkan kepada seluruh umatnya untuk
bersungguh-sungguh dalam mempelajari setiap ilmu pengetahuan. hal ini dikarenakan
Al-Qur’an merupakan sumber dan rujukan utama, ajaran-Nya memuat semua inti
ilmu pengetahuan, baik yang menyangkut ilmu umum maupun ilmu agama.
Pemikiran tentang integrasi atau islamisasi ilmu pengetahuan dewasa ini
dilakukan oleh kalangan intelektual muslim. Secara totalitas, hal ini dilakukan di
tengah ramainya dunia global yang sarat dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi. Dengan sebuah konsep bahwa umat Islam akan maju dapat menyusul dan
menyamai orang-orang Barat apabila mampu mentransformasikan dan menyerap
secara aktual terhadap ilmu pengetahuan. Di samping itu terdapat asumsi bahwa ilmu
pengetahuan yang berasal dari negara-negara Barat dianggap sebagai sekuler, oleh
karenanya ilmu tersebut harus ditolak, atau minimal ilmu tersebut harus dimaknai dan
diterjemahkan dengan pemahaman secara islami.

PEMBAHASAN
Pengertian Integrasi Islam (ilmu-ilmu islam)
Setelah umat Islam mengalami kemunduran sekitar abad 13-20 M, pihak Barat
memanfaatkan kesempatan tersebut untuk mengembangkan ilmu pengetahuan
yang telah dipelajarinya dari Islam, sehingga ia mencapai masa renaissance.
Ilmu pengetahuan umum (sains) berkembang pesat di Barat, sedangkan ilmu
pengetahuan Islam mengalami kemunduran, yang pada akhirnya muncullah
dikotomi antara dua bidang ilmu tersebut.Tidak hanya sampai di sini, tetapi
muncul pula sekularisasi ilmu pengetahuan di Barat yang mendapat tantangan
dari kaum Gereja. Galileo (L.1564 M) yang dipandang sebagai pahlawan

1
M. Amin. Abdullah. Islamic Studies Di Perguruan Tinggi: Pendekatan Integratif-Interkonektif, Cet.
ke-1. Yogyakarta: Penerbit Pustaka Pelajar, 2006. hal 24-25.
sekularisasi ilmu pengetahuan mendapat hukuman mati pada tahun 1633 M,
karena mengeluarkan pendapat yang bertentangan dengan pandangan Gereja.
Galileo memperkokoh pandangan Copernicus bahwa matahari adalah pusat jagat
raya berdasarkan fakta empiris melalui observasi dan eksperimen. Sedangkan
Gereja memandang bahwa bumi adalah pusat jagat raya (Geosentrisme) yang
didasarkan pada informasi Bibel2.
Kondisi inilah yang memotivasi para cendekiawan muslim berusaha
keras dalam mengintegrasikan kembali ilmu dan agama. Upaya yang pertama
kali diusulkan adalah islamisasi ilmu pengetahuan. Upaya “Islamisasi ilmu”
bagi kalangan muslim yang telah lama tertinggal jauh dalam peradaban dunia
moderen memiliki dilema tersendiri. Dilema tersebut adalah apakah akan
membungkus sains Barat dengan label “Islami” atau “Islam”? Ataukah berupaya
keras menstransformasikan normativitas agama, melalui rujukan utamanya alQur’an
dan Hadis ke dalam realitas kesejarahannya secara empirik?. Keduaduanya sama-
sama sulit jika usahanya tidak dilandasi dengan berangkat dari dasar kritik
epistemologis3.
Pendekatan integratif-interkonektif merupakan usaha untuk menjadikan
sebuah keterhubungan antara keilmuan agama dan keilmuan umum. Muara dari
pendekatan integratif-interkonektif menjadikan keilmuan mengalami proses
obyektivikasi dimana keilmuan tersebut dirasakan oleh orang nonIslam sebagai
sesuatu yang natural (sewajarnya), tidak sebagai perbuatan keagamaan. Sekalipun
demikian, dari sisi yang mempunyai perbuatan, bisa tetap menganggapnya
sebagai perbuatan keagamaan, termasuk amal, sehingga Islam dapat menjadi
rahmat bagi semua orang. Perbedaan pendekatan integrasi-interkoneksi dengan
Islamisasi ilmu adalah dalam hal hubungan antara keilmuan umum dengan
keilmuan agama. Kalau menggunakan pendekatan islamisasi ilmu, maka
terjadi pemilahan, peleburan dan pelumatan antara ilmu umum dengan ilmu
agama. Sedangkan pendekatan integrasi interkoneksi lebih bersifat menghargai
keilmuan umum yang sudah ada, karena keilmuan umum juga telah memiliki
basis epistemologi, ontologi dan aksiologi yang mapan,1 sambil mencari letak
persamaan, baik metode pendekatan (approach) atau metode berpikir
(procedure) antar keilmuan dan memasukkan nilai-nilai Islam, yaitu tauhid, akhlakul

2
Kuntowijoyo. Islam Sebagai Ilmu, Cet. Ke-2. Jakarta: Penerbit Teraju. 2005. hal 13.
3
M. Quraish. Shihab. Membumikan Alquran, Cet. Ke-1. Bandung: Penerbit Mizan. 1992. hal 45.
karimah dan prinsip rahmatan lil alamin ke dalamnya, sehingga keilmuan umum dan
agama dapat saling bekerja sama tanpa saling mengalahkan4.
Perspektif Amin Abdullah Tentang Integrasi Islam 5
Paradigma integrasi-interkonektif ini terlihat sangat dipengaruhi oleh
Muhammad Âbid al-Jâbirî yang membagi epistemologi Islam menjadi tiga, yakni
epistemologi bayânî, epistemologi burhânî, dan epistemologi ‘irfânî. Berbeda dengan
al-Jâbirî yang melihat epistemologi ‘irfânî tidak penting dalam perkembangan
pemikiran Islam, bagi Amin Abdullah ketiga epistemologi seharusnya bisa berdialog
dan berjalan beriringan. Selama ini epistemologi bayânî lebih banyak mendominasi
dan bersifat hegemonik sehingga sulit untuk berdialog dengan tradisi epistemologi
‘irfânî dan burhânî, pola pikir bayânî ini akan bekembang jika melakukan dialog,
mampu memahami dan mengambil manfaat sisi-sisi fundamental yang dimiliki oleh
pola pikir „irfânî dan burhânî.
Karenanya hubungan yang baik antara ketiga epistemologi ini tidak dalam
bentuk pararel ataupun linear, tetapi dalam bentuk sirkular. Bentuk pararel akan
melahirkan corak epistemologi yang berjalan sendiri-sendiri tanpa adanya hubungan
dan persentuhan antara satu dengan yang lain. Sedangkan bentuk linear akan
berasumsi bahwa salah satu dari ketiga epistemologi menjadi “primadona”, sehingga
sangat tergantung pada latar belakang, kecenderungandan kepentingan pribadi atau
kelompok, sedangkan dengan bentuk sirkular diharapkan masingmasing corak
epistemologi keilmuan dalam Islam akan memahami kekurangan dan kelebihan
masing-masing sehingga dapat mengambil manfaat dari temuan-temuan yang
ditawarkan oleh tradisi keilmuan lain dalam rangka memperbaiki kekurangan yang
ada.
Apa yang ditawarkan oleh Amin Abdullah dengan paradigma integrasi-
interkoneksi secara konseptual memang sangat relevan bagi perkembangan keilmuan
islam (Islamic Studies), di mana dialog antardisiplin ilmu akan semakin memperkuat
keilmuan islam dalam menghadapi tantangan zaman dengan segala kompleksitas yang
ada. Begitu pula dengan terobosan pemikiran Amin Abdullah tentang
historisitas dan normativitas dalam pendekatan studi agama yang selalu relevan baik
dalam konsep maupun aplikasinya hingga saat ini, apalagi dalam konteks Indonesia

4
Azyumardi. Azra. Reintegrasi Ilmu-Ilmu, Integrasi Ilmu dan Agama, Interprestasi dan Aksi. Bandung:
Mizan. 2005. hal 98.
5
Jurnal Tasawuf dan Pemikiran Islam Volume 3 Nomor 2 Desember 2013, hal 386-387.
saat ini, di mana banyak muncul kelompokkelompok Islam tekstualis-skripturalis di
mana aspek historisitas dan normativitas seringkali sulit dibedakan atau bahkan aspek
historisitas sengaja dilupakan.
Perspektif Mulyadhi Kartanegara Tentang Integrasi Islam 6
Selama ini epistemologi atau “teori ilmu pengetahuan” Islam merupakan
bidang yang diabaikan untuk tidak mengatakan tidak diperhitungkan, artinya kajian
epistemologi dalam artian yang sesungguhnya kurang mendapat apresiasi yang
wajar35, jadi wajar kalau sampai detik ini ruang epistemologi Islam masih “sepi” dari
wacana pemikiran keislaman. Penting kemudian epistemologi dijadikan jalan untuk
menjelaskan bagaimana mistiko-filosofis memberi jawaban dari perspektif
epistemologi Islam. Sebuah cara untuk menemukan realitas sejati tanpa
mengesampingkan nilai-nilai filosofinya.
Aktivitas jiwa manusia yang serba ingin tahu tentang hal-hal di luar dirinya
semakin mengukuhkan adanya kehidupan mistik, sejak masa primitif sampai masa
modern ini kenyataannya mistik tetap digunakan sekalipun dalam kondisi tertutup.36
Sebagaimana dikutip oleh Ahmad Tafsir, tokoh-tokoh mistik kebanyakan sufi-sufi
besar Ibnu Khaldun (Muqaddimah 1981: 66-694) dan Sihristany (al-Milal wa al-
Nihal, tt 260-262) mengakui dunia mistik yang menggunakan kekuatan rohaniah
selalu muncul dari orang-orang sufi yang selalu mengulah kekuatan spiritual37 untuk
sampai pada Realitas yang sebenarnya. Memasuki abad komtemporer, epistemologi
Islam ditantang untuk mampu merumuskan visi epistemologi Islam yang jelas dan
bersumber dari pandangan fundamental Islam. Setidaknya mampu mencakup
aspekaspek ruang lingkup dan klasifikasi ilmu, sumber, serta metodologi ilmu yang
mampuni, maka epistemologi Islam ini menjadi penting.
Sejak dua ribu tahun yang lalu epistemologi Islam memang belum ada yang
membahas Nazhariah al-Ma’rifah atau Teori pengetahuan38, akan tetapi sebagian
besar persoalan-persoalan yang menyangkut epistemologi ditulis secara terpisah
dalam berbagai pembahasan yang berkenaan dengan ilmu, pengetahuan, rasio, logika
dan berbagai bentuk pemikiran lainnya. Ciri menonjol dari epistemologi Islam adalah
bukan hanya pengalaman indera saja yang dipandang sebagai “riil atau nyata” tetapi
juga pengalaman akal dan intuisi sebagai bagian yang tak terpisahkan dari instrumen
untuk mendapatkan pengetahuan.

6
Journal of Islam and Plurality -- Volume 3, Nomor 2, Desember 2018, hal 187-188.
Karenanya, masing-masing pengalaman itu patut mendapat perhatian dalam
visi epistemologi Islam. Benar apa yang dipertanyakan oleh Sari Nuseibeh bahwa
dalam pengertian apakah pengetahuan manusia berbeda dengan pengetahuan? Apakah
peran manusia yang berpengetahuan?40 Dengan dua pertanyaan di atas barangkali
menjadi acuan untuk memahami kemampuan Tuhan di samping Kuasa juga
mengetahui, dan untuk mengetahui pengetahuan yang benar dapat dicapai dengan
bantuan Ilahi atau melalui rahasia semesta, karena Islam meyakini Tuhan merupakan
penyebab pertama dan terakhir dan Tuhan mengetahui tatanan yang paling terkecil
pun dalam tataran ontologis. Maka dapat dikatakan bahwa sifat dari Tuhan adalah
pengetahuanNya dan umat Islam meyakini bahwa pengetahuan sejati adalah
pengetahuan tentang Tuhan.

PENUTUP
Simpulan
Islam adalah agama yang mengajarkan bahwa ilmu pengetahuan dan agama
merupakan sesuatu yang saling berkaitan dan saling melengkapi. Agama merupakan
sumber ilmu pengetahuan dan ilmu pengetahuan merupakan sarana untuk
mengaplikasikan segala sesuatu yang tertuang dalam ajaran agama. Islam
menyamakan dirinya dengan ilmu pengetahuan. Islam menjadikan ilmu pengetahuan
sebagai syarat ibadah. Islam sangat memuji orang yang tekun mencari pengetahuan,
karena dalam Islam ilmu disebut sebagai cahaya kebenaran dan diyakini sebagai
kunci kesuksesan dunia dan akhirat.
Pemikiran tentang integrasi atau islamisasi ilmu pengetahuan dewasa ini
dilakukan oleh kalangan intelektual muslim. Secara totalitas, hal ini dilakukan di
tengah ramainya dunia global yang sarat dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi. Dengan sebuah konsep bahwa umat Islam akan maju dapat menyusul dan
menyamai orang-orang Barat apabila mampu mentransformasikan dan menyerap
secara aktual terhadap ilmu pengetahuan. Di samping itu terdapat asumsi bahwa ilmu
pengetahuan yang berasal dari negara-negara Barat dianggap sebagai sekuler, oleh
karenanya ilmu tersebut harus ditolak, atau minimal ilmu tersebut harus dimaknai dan
diterjemahkan dengan pemahaman secara islami.

Anda mungkin juga menyukai