Anda di halaman 1dari 6

REMEDIAL SEJARAH

Diajukan untuk memenuhi tugas remedial


Mata pelajaran sejarah
Tahun Pelajaran 2022/2023
Semester 2

Disusun oleh:

Dzikra Rafasha (10 A)

SMA PESANTREN TERPADU HAYATAN


THAYYIBAH
JL. KARAMAT NO.123, KARAMATGUNUNG PUYUH,
KOTA SUKABUMI JAWA BARAT 431222
Biografi Imam Syafi’i

Abū ʿAbdullāh Muhammad bin Idrīs al-Syafiʿī atau Muhammad bin Idris asy-
Syafi`i atau Imam Syafi’i adalah seorang mufti besar Sunni Islam dan juga pendiri
madzhab Syafi’i. Beliau lahir pada tahun 150 H di Gaza, Palestina, pada tahun
yang sama wafat Imam Abu Hanifah, seorang ulama besar Sunni Islam dan beliau
wafat pada malam Jum’at menjelang subuh pada hari terakhir bulan Rajab tahun
204 H atau tahun 809 M pada usia 52 tahun

Beliau dinamai ayahnya, Idris bin Abbas ketika mengetahui bahwa istrinya,
Fatimah al-Azdiyyah sedang mengandung. Idris bin Abbas berkata, “Jika engkau
melahirkan seorang putra, maka akan aku namakan Muhammad, dan akan aku
panggil dengan nama salah seorang kakeknya yaitu Syafi’i bin Asy-Syaib”.

Ayah Imam Syafi’i meninggal setelah dua tahun kelahirannya, lalu ibunya
membawanya ke Makkah, tanah air nenek moyang. Sejak kecil beliau cepat
menghafal syair, pandai bahasa Arab dan sastra sampai-sampai al-Ashma’i
berkata, “Saya mentashih syair-syair bani Hudzail dari seorang pemuda dari
Quraisy yang disebut Muhammad bin Idris, ia adalah imam bahasa Arab”.

Perjalanan pendidikan di Makkah, beliau berguru kepada Muslim bin Khalid Az


Zanji, Abdurrahman bin Abi Bakr Al-Mulaiki, Sa’id bin Salim, Fudhail bin Al-
Ayyad dan beberapa ulama lainnya pada bidang fikih.

Saat usia 20 tahun, beliau pergi ke Madinah dan berguru kepada Imam Malik bin
Anas pada bidang fikih. Ia mengaji kitab Muwattha’ kepada Imam Malik dan
menghafalnya dalam 9 malam. Beliau sangat mengagumi Imam Malik di Al-
Madinah dan Imam Sufyan bin Uyainah di Makkah. Hal itu terlihat ketika menjadi
Imam, beliau pernah menyatakan, “Seandainya tidak ada Malik bin Anas dan
Sufyan bin Uyainah, niscaya akan hilanglah ilmu dari Hijaz.”

Selain kepada Imam Malik, beliau juga belajar kepada beberapa ulama besar
lainnya di Madinah seperti Ibrahim bin Sa’ad, Isma’il bin Ja’far, Atthaf bin Khalid,
Abdul Aziz Ad-Darawardi.

Setelah belajar di Madinah, beliau melanjutkan perjalanan ke Yaman dan belajar


kepada Mutharrif bin Mazin, Hisyam bin Yusuf Al-Qadli dan banyak lagi yang
lainnya. Kemudian beliau melanjutkan belajarnya kepada Muhammad bin Al-
Hasan, seorang ahli fiqih, Isma’il bin Ulaiyyah dan Abdul Wahhab Ats-Tsaqafi di
negeri Irak.
Setelah itu beliau bertemu dengan Ahmad bin Hanbal di Makkah tahun 187 H dan
di Baghdad tahun 195 H. Darinya, beliau menimba ilmu fikihnya, ushul
maẓhabnya, penjelasan nasikh dan mansukhnya. Di Baghdad, Imam Syafi’i
menulis perkataan lamanya (Qaul Qadim) dan di Mesir pada tahun 200 H beliau
menuliskan perkataan baru (Qaul Jadid).

Kisah Imam Syafi’i Yang Perlu Diteladani

 Tidak sewenang-wenang meskipun kepada murid

Suatu hari Imam Syafi’i yang saat itu berada di Mesir memanggil seorang
muridnya yang bernama Rabi’ bin Sulaiman. Imam Syafi’i berkata, “Wahai Rabi’,
Ini Surahku. Pergilah dan sampaikan Surah ini kepada Abu Abdillah (Imam
Ahmad bin Hanbal). Sesampai di sana kamu tunggu jawabannya dan sampaikan
padaku”.

Setelah Rabi’ menyampaikannya kemudian Imam Ahmad mencopot salah satu


baju gamis yang menempel di tubuhnya dan memberikannya kepada Rabi’. Rabi’
pun kembali ke Mesir dan segera menemui Imam Syafi’i dan memberikan Surah
balasan dari Imam Ahmad.

Setelah itu Imam Syafi’i bertanya, “Apa yang diberikannya padamu?” Rabi’
menjawab, “Ia memberikan baju gamisnya.” Kemudian Imam Syafi’i
berkata, “Aku bukan hendak menyusahkanmu dengan memintamu memberikan
baju itu padaku. Namun basuhlah baju itu kemudian berikan air basuhannya
padaku agar aku bisa bertabarruk dengannya.”

Imam Rabi’ menjelaskan bila Imam Syafi’i menyimpan air tersebut dan
menggunakannya untuk cuci muka setiap hari. Hal ini menunjukkan bahwa
hubungan guru dan murid ini tak menghalangi untuk bertabarruk sebagai bentuk
pengakuan akan kesalehan dan keilmuan seseorang.

 Mendamaikan perselisihan
Suatu ketika Ar-Rabi’ sebagai murid memberikan informasi kepada gurunya,
Imam Syafi’i bahwa kondisi di Mesir saat itu terbagi menjadi dua kelompok yang
kukuh pada pendapatnya yaitu kelompok penganut Maẓhab Maliki dan kelompok
penganut Maẓhab Hanafi. Imam al-Syafi’i pun memiliki niat untuk mendamaikan
dua kelompok tersebut.

Perselisihan kedua kelompok itu terjadi karena cara pandang dalam menggali
hukum yang berbeda. Kelompok Maẓhab Maliki berpendapat bahwa jika suatu
persoalan hukum tidak ditemukan dalam al-Quran maka selanjutnya adalah
mencari pada hadis Rasulullah Saw baik mutawatir atau pun ahad. Sedangkan
kelompok Maẓhab Hanafi berpendapat bahwa setelah al-Qur`an, hadis
mutawatir saja yang dapat dijadikan landasan, bila tidak ditemukan maka
selanjutnya dengan melakukan ijtihad dengan akal.

Sebagai contoh dalam menentukan bilangan shalat witir. Kelompok Maẓhab


Hanafi berpendapat bilangan witir adalah tiga rakaat dengan satu kali salam.
Dalam hal ini ia lebih memilih menggunakan qiyas karena sesuatu yang memiliki
persamaan maka hukumnya sama. Menurutnya, shalat maghrib adalah witir siang
dengan tiga rakaat, maka shalat witir malam pun disamakan dengan jumlah rakaat
yang sama, yakni 3 rakaat dengan 1 salam.

Sedangkan kelompok Maẓhab Maliki mengatakan shalat witir harus tersusun dari
dua dan satu rakaat. Pendapat ini berbeda dengan kelompok Maẓhab Hanafi yang
mendasarkan argumennya pada sebuah hadis yang menyebutkan ganjilnya rakaat
shalat witir. Menurut kelompok Maẓhab Maliki, bagaimana bisa diganjilkan jika
tidak didahului oleh salat genap (salat dua rakaat) terlebih dahulu.

Imam al-Syafi’i menengahi kedua pendapat tersebut dengan mengatakan bahwa


Rasul salat witir dengan satu rakaat. Oleh karena itu, bilangan rakaat witir adalah
cukup satu rakaat.
 Perjalanan Imam Syafi'i Menuntut Ilmu

Ketika berguru di kota Mekah Imam Syafi’i di perintahkan oleh gurunya, "wahai
Muhammad pergilah engkau ke Madinah untuk berguru lagi, karena sesungguhnya
ilmuku sudah habis, semuanya sudah kuajarkan padamu". Imam syafi’i pun
menuruti perintah sang guru dan beliau segera berpamitan dengan sang ibu.
Berkatalah sang Ibu, "pergilah engkau menuntut ilmu di jalan Allah, kita akan
bertemu nanti di akhirat." Maka Imam Syafi'i Pun berangkat ke Madinah mencari
guru untuk mengajarkannya ilmu.

Di Madinah beliau berguru kepada Imam Malik. Tak butuh waktu lama, Imam
Syafi'i langsung menyerap ilmu yang diajarkan Imam Malik sehingga semua orang
terkagum-kagum dibuatnya. Termasuk sang guru yang pada saat itu merupakan
ulama tertinggi di Madinah, Imam Syafi'i Pun menjadi murid kesayangan Imam
Malik.

Imam Syafii kemudian mengembara ke Iraq dan menimba ilmu di sana, beliau
berguru kepada murid-muridnya Imam Abu Hanifah atau Imam Hanafi. Meski
sudah banyak menyerap ilmu di Irak, imam Syafi'i belum ingin pulang karena
belum ada panggilan dari ibundanya. Di Irak Imam Syafi'i berkembang menjadi
murid yang terkenal sangat pintar dan tercerdas. Sehingga dalam waktu singkat ia
sudah diminta untuk mengajar. Tak butuh waktu lama, ribuan murid pun
berbondong-bondong datang untuk berguru padanya. Hingga ia pun menjadi ulama
besar yang terkenal ke seluruh penjuru Irak hingga Hijaz.

Ibundanya imam syafi’i pada setiap tahunnya juga melakukan ibadah haji, pada
kesempatan tahun itupun sang ibu melaksanakan ibadah haji. Pada saat itu sang ibu
mengikuti kajian dari salah seorang ulama yang mana sang ulama tersebut sering
mengucapkan nama imam Syafi'i. Mendengar ulama tersebut sering mengucapkan
nama sang anak, setelah pengajian sang ibu pun menjumpai ulama tersebut. Sang
ibu bertanya kepada sang ulama Wahai syekh siapakah itu Muhammad bin Idris
Asy Syafi’i? sang ulama pun menjawab bahwa imam syafi’i adalah gurunya di
irak.

Kemudian sang ibu dengan penasaran menanyakan lagi kepada sang ulama bahwa
Muhammad bin Idris Asy Syafi'i yang manakah yang maksud? ulama tersebut pun
menjawab bahwa ia merupakan ulama besar yang berasal dari kota mekah. Sang
Ibu pun Terkejut mengetahui bahwa guru ulama tersebut merupakan anaknya.
Kemudian sang ulama menyampaikan kepada ibunya imam syafi’i bahwa ia ingin
berpesan apa kepada sang anak? Sang ibu pun menjawab bahwa ia telah
memperbolehkan sang anak untuk pulang ke rumahnya.

Sesampainya sang ulama tersebut di Irak ia langsung menyampaikan pesan


tersebut kepada sang guru. Imam syafi'i yang mendengar kabar tersebut langsung
bergegas untuk pulang ke mekah. Mendengar kabar sang imam ingin pulang
penduduk irak sangat sedih, namun mereka tidak bisa berbuat apa-apa. Ketika sang
imam ingin pulang, masyarakat serta sang murid pun telah menyiapkan bekal
kepada sang imam. Karena sang imam telah menjadi ulama besar di irak ia pun
menerima bekal yang sangat banyak, ratusan ekor unta telah diterimanya dari
masyarakat dan muridnya disana.

Sesampainya sang imam di pinggir kota mekah, ia pun memerintahkan sang murid
untuk me memberitahukan sang ibu bahwa anaknya telah berada di pinggir kota
mekah. Sang ibu bertanya apakah yang ia bawa? sang murid pun menjawab dengan
bangga bahwa sang imam membawa ratusan ekor unta dan harta lainnya.
Mendengar itu sang ibu pun sangat marah dan ia tidak memperbolehkan sang anak
untuk pulang.

Dengan rasa bersalahnya sang murid kembali menjumpai sang guru dan
menyampaikan bahwa sang ibu marah dan tidak memperbolehkannya pulang.
Mendengar berita itu sang imam sangat ketakutan dan menyuruh sang murid untuk
mengumpulkan seluruh orang-orang miskin di kota mekah, kemudian ia
memberikan seluruh harta yang ia bawa hingga yang tersisa hanya kitab-kitab dan
ilmunya. Kemudian sang imam memerintahkan sang murid untuk memberitahu
sang ibu tentang hal ini, setelah mendengar kabar tersebut sang ibu pun
memperbolehkan sang imam untuk pulang.

Anda mungkin juga menyukai