Anda di halaman 1dari 32

STRATEGI MERANCANG PRODUK DAGING FUNGSIONAL

OLEH :

Ida Ayu Okarini

PROGRAM PASCASA RJA NA FAKULTAS PETERNAKAN

UNIVERSITAS U DAYA NA

DENPASAR

2017

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadapan Tuhan Yang M aha K uasa atas karuniaNya, pada kesempatan ini

dapat dipersiapkan materi/bahan kuliah yang bersumber dari beberapa jurnal atau buku, untuk

disampaikan pada mahasiswa semester VI, mata kuliah wajib Teknologi Hasil Ternak Program

Studi Peternakan dan matakuliah Teknologi Pasca Panen Hasil Ternak, Program Pascasarjana,

Fakultas Peternakan Universitas Udayana.

M ateri ini sebagian besar diambil dari jurnal: Arihara, K. 2006a. Strategies for Designing

Novel Functional M eat Products, Meat Sci.,74: 219 – 229;Arihara, K. 2006b. Functional

Properties of Bioactive Peptides Derived From M eat Proteins. Chapter 10.In Advanced

Technologies for Meat Processing. Boca Raton, Fla: CRC Press, pp.245-273;Arihara, K. and

Ohata, M . 2008. Bioactive compounds in me at. In F. Toldrá (Ed.) M eat Biotechnology,Spinger

Science +Business M edia,LLC, London pp. 231-249.Arihara, K. and Ohata, M . 2010.

Functional M eat Products. Chapter 24. In Handbook of Meat Processing. Wiley-Blackwell,

pp. 423-440.Erdman, K., Cheung, B.W.Y. and Schro¨der, H. 2008. The Possible Roles of

Food-derived Peptides in Reducing in The Risk of Cardiovascular Disease, J. Nutr.Biochem.19:

643 – 654. Fernandez-Gines, J. M ., Fernandez-Lopez, J., Sayas-Barbera, E. and Perez-

Alvarez, J. A. 2005. Meat Products As Functional Foods: A Review, J. Food Sci.70, R37 –

R43.Hartmann, R, and M iesel, H. 2007. Food-derived Peptides with Biological Activity: From

Research to Food Applications, Curr. Opin.Biotechnol.18:163-169. Bahan materi tambahan ini

tentang fermentasi daging tradisional yang telah dikembangkan di Bali.

Semoga bermanfaat bagi para pembaca terkait dengan informasi pengembangan strategi

dalam merancang produk hasil ternak sebagai bahan pangan fungsional yang dapat memenuhi

ii
permintaan konsumen maupun produsen. Pada kesempatan ini penyusun menyampaikan ucapan

terimakasih kepada Yth Validator Fakultas maupun Validator Universitas , penyusunan ini untuk

melengkapi beban kerja dosen. Selanjutnya terimakasih untuk para pembaca yang memberikan

masukan sebagai acuan untuk kelengkapan materi kuliah hasil ternak sebagai bahan pangan.

Denpasar, 25 Oktober 2017

Penyusun

Ida Ayu Okarini

iii
DAFTAR ISI

Halaman Judul ............................................................................................................... i

Kata Pengantar .............................................................................................................. ii

Daftar Isi… … … … …… … …… … … …… … …… … …… … …… … …… … …... ............. iii

Pendahuluan .................................................................................................................. 1

Tinjauan Pustaka ........................................................................................................... 5

Strategi merancang fungsional produk daging ................................................................ 9

Senyawa Bioaktif Berbasis Daging ................................................................................ 13

Asam linoleat terkonjugasi ............................................................................................. 14

Pemanfaatan Bioaktif Peptida Protein Daging ................................................................ 16

Perkembangan produk daging probiotik ......................................................................... 21

Kesimpulan… … … … … … …… … …… … …… … …… … …… … …… … …… . ............... 25

Daftar Pustaka ............................................................................................................... 26

iv
PENDAHULUAN

Dalam beberapa tahun terakhir perhatian konsumen terhadap kesehatan meningkat secara

signifikan terutama di Negara – Negara maju, dan juga mempengaruhi minat para peneliti untuk

mempelajari peran komponen bioaktif dalam makanan yang dikenal sebagai antikarsinogenik,

antimutagenik, aktivitas antioksidan dan antipenuaan. Fungsi tersier senyawa -senyawa bioaktif

ini memodulasi dan meningkatkan system/fungsi fisiologis seperti yang dilaporkan Arihara

(2006) dan Erdmann et al.(2008). Selanjutnya Arihara (2006) juga mencatat bahwa komponen

bioaktif telah dipelajari dan digunakan untuk mengembangkan produk baru yang disebut

makanan fungsional.Vass, Czegledi dan Javor (2008) melaporkan bahwa ditahun terakhir ada

sesuatu yang menarik konsumen dalam aspek kesehatan yang berkaitan dengan penambahan

komponen aktif secara fisiologis dalam pengolahan makanan fungsional.Sementara informasi

hasil penelitian (Arihara dan Ohata, 2008) tentang turunan peptida bioaktif dari protein -protein

daging masih terbatas, terutama yang memiliki aktivitas antioksidan.

Semakin meningkat perhatian baru-baru ini (Iwaniak dan Dziuba, 2009) telah dibayarkan

untuk penggunaan bioaktif peptida sebagai fisiologis aktif bahan makanan yang merupakan

elemen penting dalam pencegahan dan pengobatan penyakit pada berbagai gaya hidup.

Selanjutnya dikatakan pula ada permintaan jenis makanan yang mengandung peptida bioaktif

yang berkembang diseluruh dunia memungkinkan studi penelitian tentang protein terhidrolisa

dan peptida masih terus berlangsung. Daging dan produk daging diperuntukkan sebagai bahan

pangan fungsional tidak hanya diketahui dari kandungan nutrisi dan sifat sensoris. Tetapi peran

fisiologis aktif dalam daging dan produk daging yang saat ini mendapat perhatian oleh para

peneliti di negara-negara maju. Sementara penelitian tentang komponen bioaktif dalam daging

dan produk daging telah banyak dilakukan terkait dengan peran fisiologis aktif yang dikenal

sebagai antikarsinogenik, antimutagenik, antihipertensi, dan antioksidan.Hal ini mempengaruhi

1
minat para peneliti untuk mempelajari kompone n-komponen bioaktif terutama dalam daging dan

produk-produknya.

Konstituen gizi dan non-gizi daging diyakini sebagai sumber bioaktif peptida dari hasil

hidrolisis enzimatis atau fermentasi, meskipun konsumen sering mengasosiasikan daging ayam

dengan kesan negatif terkait kandungan lemak jenuh dan kolesterol yang mempengaruhi kondisi

kesehatan konsumen. M akanan yang berasal dari hewan mengandung beberapa komponen aktif

yang berpotensi dalam promosi kesehatan seperti asam lemak omega 3, asam l inoleat konjugasi,

turunan peptida bioaktif dalam daging (Arihara 2006, Vass, Czegledi dan Javor, 2008). Sejak

konsumen menyadari akan kesehatan, membuat tren makanan fungsional terkemuka diindustri

makanan, upaya telah dilakukan dibanyak Negara untuk mengembangkan mak anan fungsional

baru dan menetapkan regulasi makanan fungsional tersebut (Arihara dan O hata, 2008).

Sementara Arihara (2006); Arihara dan O hata (2008) mencatat bahwa beberapa senyawa bioaktif

yang penting dalam daging antara lain: asam linoleat konjugasi, karnosin, anserine L,-karnitin

(saat ini mendapat perhatian), gluthation, taurin, koenzim Q10, keratin dan seterusnya yang mana

salah satu pendekatan terfokus pada aktivitas fisiologis senyawa ini memiliki potensi untuk

digunakan dalam merancang daging dan produk daging sehat.

M enurut Arihara (2006) melaporkan bahwa penggunaan bioaktif peptida yang

diperoleh dari protein daging seperti asam linoleat terkonjugasi memiliki aktivitas

antikarsinogenik, antioksidatif dan immunomodulatif; L -karnitin berfungsi m embantu

menurunkan level kolesterol, membantu dalam produksi energi dan penyerapan kalsium,

mempertahankan stamina serta pemulihan kelelahan; dan dipeptida histidil seperti karnosin dan

anserine yang paling berlim pah sebagai antioksidatif dalam daging memiliki fungsi sebagai

penyembuhan luka, pemulihan kelelahan dan aktivitas antistres. Selanjutnya dilaporkan juga

2
bahwa saat ini sedang gencarnya penelitian tentang peran bioaktif peptida yang diperoleh dari

proten makanan tertuju pada aktivitas antihipertensi (banyak informasi) dan aktivitas

antioksidatif (informasi terbatas).

Hasil penelitian Arihara et al.(2005) yang disitasi oleh Arihara (2006) telah

mengidentifikasi peptida antioksidatif dari hasil hidrolisa daging babi dengan enzim papain

menemukan sekuen dalam protein aktin; Asp-Leu-Tyr-A la, Ser-Leu-Tyr-Ala, Val-Trp, yang

mana hasil sintesis A sp-Leu-Tyr-Ala menujukkan aktivitas kuat sebagai anti-fatigue dan anti-

stress.Selanjutnya dikatakan pula bahwa aktivitas antioksidatif ditentukan menggunakan s istem

hypoxanthin-xantine oxidase sebagai sumber superoxide anion.Diantara bioaktif peptida dari

protein daging, peptida inhibitor ACE secara ekstensif banyak dipelajari oleh Vercruysse et

al.(2005) dan seperti yang dilaporkan oleh Arihara et al.(2001) yan g disitasi oleh Arihara (2006)

telah mengidentifikasi inhibitor peptida ACE dalam protein daging babi yang dihidrolisa dengan

enzim termolisin menghasilkan sekuen M et-Asn-Pro-Pro-Lys, Ile-Thr-Thr-Asn-Pro, yang mana

kedua sekuen ini ditemukan dalam myosin rantai ringan dan kedua peptida ini menujukkan

aktivitas antihipertensi ketika diberikan secara oral pada tikus. Selanjutnya Saiga et al. (2006)

mengisolasi peptida inhibitor ACE dari ekstrak otot dada ayam dan diperoleh sekuen asam

amino: Hyp-Gly-Leu-Hyp-Gly-Phe memperlihatkan aktivitas yang lebih kuat dari P4 peptida

(Gly-Phe-Hyp-Gly-Thr-Hyp-Gly-Leu-Hyp-Gly-Phe) terhadap aktivitas hipertensi untuk tikus.

Berdasarkan beberapa informasi di atas tentang komponen bioaktif dari protein daging

yang memiliki fun gsi fisiologis seperti peran antioksidatif dan antihipertensi, terutama

komponen turunan peptida bioaktif dari hasil hidrolisa protein yang menggunakan enzim -enzim

tertentu masih terbatas, sehingga perlu dilakukan penel usuran hasil penelitian untuk

memudahkan dalam memilih metode analisis sampel. Tujuan penyajian materi kuliah, bahan

3
diskusi kelas, acuan untuk merancang kebaruan penelitian dalam meng eksplorasi, mempelajari

dan mengetahui adanya komponen bioaktif yang memiliki multifungsi untuk memenuhi

kesehatan tubuh.

4
TINJAU AN PUSTAKA

Arihara (2006); Arihara dan Ohata (2008); Iwaniak dan Dziuba (2009) melaporkan bahwa

komponen protein daging ayam sebagai prekursor bioaktif peptida. Selanjutnya Agyei dan

Danquah (2011) melaporkan bahwa protein makanan seperti protein otot (myosin, kolagen)

dapat menjadi sumber bioaktif peptida, yang mana dari peptida ini dienkripsi tetap tidak aktif

dalam urutan protein aslinya dan untuk menjadi aktif dapat dirilis/dilepaskan oleh enzim

proteolitikgastrointestinal, perlakuan pemeraman dan penyimpanan, melalui proses fermentasi

serta pemanfaatan proteinase dari berbagai sumber (Arihara,2006); (Arihara dan Ohata, 2008) .

Salah satu sumber proteinaseyang murah dan mudah caramemperolehnya yaitu protease dari

bakteri asam laktat (BAL), secara luas digunakan untuk memproduksi bioaktif peptida. Peptida

alami dari BAL berpotensi kesehatan, terutama aman dari racun, spektrum yang luas pada

tindakan terapi, dan kurangnya efek samping, bila dibandingkan dengan obat sintetik dan baik

diserap dalam saluran usus (Agyei dan Danquah 2011).

Fermentasi daging telah menjadi subjek penelitian intensif selama dekade terakhir, dimana

konsekuensi dari aktivitas enzimproteolitik menyebabkan adanya perubahan-perubahanfisiko-

kimia, mikrobioogis dan biokimia (Casaburi, Aristoy, Cavella, D i M onaco, Ercolini, Toldrá dan

Villani, 2007)pada konformasi molekul dari protein aslinya yang dapat memproduksi senyawa

bioaktif sebagai produk fungsional (Adebiyi, Adebiyi, Yamashita, Ogawa dan M uramoto,

2008).Pengembangan produk daging fungsional masih terbatas, namun penemuan kembali

produk daging fermentasi tradisional berpeluang bagi industri pengolahan daging, yang mana

sejumlah kompo nen bioaktif ditemukan pada produk daging fermentasi tradisional (Arihara,

2006; Arihara dan Ohata, 2010).Selama proses fermentasi dan penyimpanan, protein -protein

daging mengalami degradasi menjadi peptida -peptida oleh enzim -enzim endogenous (katepsin B,

5
D, H dan L) seperti yang dilaporkan oleh Arihara dan Ohata (2008; 2010). Bioaktif peptida

dilepaskan dari beberapa protein otot seperti myosin, kolagen melalui hidrolisis enzimatik (in

vitro) selama pengolahan dry cure ham, sosis fermentasi (Arihara, 2006;2006a; Arihara dan

Ohata, 2008; 2010) dan pada proses pematangan keju atau fermentasi susu (Hartman dan M iesel

2007). Beberapa faktor yang berpengaruh pada mikro -ekosistem fermentasi seperti variasi dalam

formulasi (jenis dan jumlah bahan), kondisi fermentasi atau pengeringan yang diperpanjang dan

parameter higienis yang mengarah pada keragaman mikroorganismeseperti BAL, gram -positif

katalase-positif kokki, ragi dan kapang (Paramithiotis, Drosinos, Sofos dan Nychas, 2010).Pada

suhu tinggi selama pengeringan, fermentasi, pemeraman akan meningkatkan hidrolisis enzimatis

protein dari produk-produk daging oleh protease otot dan protease mikroba yang memberikan

suatu kombinasi aktivitas dalam meningkatkan kesehatan (Arihara, 2006; Arihara dan Ohata,

2010; Udenigwe dan Aluko, 2012).Beberapa peneliti telah mempelajari dan mempublikasikan

keragaman mikroorganisme daging fermentasi tradisional dengan menggunakan peralatan

molekuler, khususnya pada reaksi polymerase berantai, Polymerase Chain Reaction (PCR).

Teknik yang paling sering digunakan dan diandalkan dengan urutan gen 16S rRNA untuk

mengidentifikasi mikroorganisme sosis fermentasi (Paramithiotis et al., 2010).

Produk daging fermentasi tradisional Bali disebut U rutan (menggunakan usus babi

sebagai casing), umumnya menggunakan bahan baku daging dan lemak babi dengan pelengkap

bumbu-bumbu yang dikeringkan di bawah sinar matahari selama 2 – 5 hari dan telah

diidentifikasi menggunakan analisis sekuensing 16S rDNA (A ntara, Sujaya, Yokota, Asano,

Aryantadan Tomita (2002). Hartawan (2002) juga melaporkan bahwa telah mengisolasi BAL

dari bebontot (menggunakan pembungkus, upih = pelepah bunga pinang kering) daging babi

dengan perbedaan formulasi dan daerah produksi.Umumnya produk daging fermentasi

6
tradisional Bali saat ini masih berbasis daging dan lemak babi, yang mana hanya dapat dinikm ati

oleh masyarakat tertentu, sehingga perlu dicoba dengan menggunakan daging ayam sebagai

pengganti daging babi yang dapat diterima oleh semua lapisan masyarakat.

Fermentasi Daging di Bali

Produk-produk daging terfermentasi secara tradisional di daerah Bali seperti yang

tercantum dalam lontar “Darmacaruban”, telah lama berkembang dimasing -masing kabupaten

dengan ciri-ciri perbedaan formulasi (jenis daging, ramuan bum bu, jenis pembungk us,cara

pengeringan/fermentasi yang dikondisikan sesuai dengan lokasi produksi. Bila produk dibungkus

atau dimasukkan dalam usus hewan atau menggunakan casing sintetis, disebut “urutan” dengan

flavor spesifik yang bervariasi. Produk ini tersedia banyak di pasar-pasar tradisional maupun

swalayan. Namun di kalangan masyarakat pedesaan sering menggunakan pembungkus dari kulit

jagung atau pelepah daun pinang yang kering (upih), disertai ramuan bumbu sesuai selera,

dikenal dengan nama bebontot, buntilan.

Bebontot merupakan salah satu produk olahan daging sejenis sosis lokal Bali, dibuat dari

campuran daging dan lemak babi (rasio 3: 1 atau 5: 1) yang dipotong dengan bentuk kubus

(panjang sisi antara 1,5 cm atau 2 cm), kemudian dicampur bumbu dan sebagai pe mbungkus

(selongsong) menggunakan kelopak pelepah daun pinang kering ( upih, bahasa Bali), kedua

ujungnya diikat dengan tali dan selanjutnya dikeringkan/ proses fermentasi alami (Arihantana,

1981; Sulandra dan Jamasuta, 2000). Hartawan (2002) melaporkan bahwa variasi formula

pembuatan bebontot daging babi pada beberapa kabupaten di Bali yang dibuat secara tradisional,

dijemur langsung di bawah sinar matahari selama 96 jam menghasilkan mutu produk bebontot

yang bervariasi terhadap kandungan asam -asam organik (peningkatan dari konsentrasi tinggi ke

rendah yaitu asam propionat, asam laktat, asam asetat dan asam oksalat), dibandingkan dengan

7
bebontot tanpa penambahan starter BAL. Namun penambahan gula dan

kultur/starterLactobaccillus plantarum , menghasilkan bebontot yang lebih baik dengan nilai

tertinggi terhadap kesukaan aroma, citarasa dan kadar asam laktat, daripada perlakuan tanpa

penambahan gula maupun starter BAL.Putra, Ina dan N oviantari, (1999) melaporkan bahwa

dalam proses pembuatan bebontot dengan penambahan cairan pikel, dihasilkan bebontot yang

paling baik dengan kadar air 43,5%, total BAL 3,2x10 8 cfu/g dan total asam 1,11%. Putra dkk.

(1999) melaporkan bahwa penambahan glukosa sampai 10g/kg daging pada adonan “takilan

celeng”, cenderung meningkatkan total BAL.

Pengeringan dapat pula dilakukan dengan menempatkan bebontot mentah tersebut di atas

tungku memasak dengan bahan bakar kayu atau digantung pada tempat tertentu, yang secara

langsung kena panas sinar matahari dan proses ini diakhiri setelah timbul aroma spesifik

bebontot (Sulandra dan Jamasuta, 2000). Selanjutnya Sulandra dan Jamasuta (2000) melaporkan

bahwa pada proses pengeringan/fermentasi bebontot dengan cara menempatkan bebontot mentah

tersebut dalam peti kayu atau kotak pemeraman yang dilengkapi dengan bola lampu listrik,

ternyata dapat mempersingkat waktu fermentasi dari 5 hari menjadi 3 hari dengan citarasa

bebontot lebih baik dan produk lebih stabil dengan total BAL lebih tinggi yaitu 4,3x10 8 cfu/g

dibandingkan dengan produk bebontot yang dikeringkan langsung dibawah sinar matahari

selama 5 hari, dimana diperoleh total BA L 2,3 x 10 8 cfu/g.

8
Strategi merancang produk daging fungsional

Daging mengandung banyak protein dengan nilai biologis tinggi, daging dikatagorikan

dengan ikan dan telur sebagai kelompok makanan protein dalam panduan makanan diet

(Lachance and Fisher 2005). Dengan kata lain, dalam hal nutrisi, daging merupakan sumber diet

yang sangat baik untu k asam amino esensial. Daging juga memainkan peran penting dalam

memasok makanan kita dengan m ineral dan vitamin, seperti zat besi, seng, selenium, dan

vitamin B (M ulvihill 2004; Biesalski 2005). Serta komponen nutrisi dasar ini, penelitian telah

mengungkapkan bahwa daging mengandung beberapa senyawa bioaktif, seperti asam linoleat

terkonjugasi, carnosine, dan L-carnitine (Williams 2007; Arihara dan Ohata 2008). Namun,

konsumen sering mengasosiasikan produk daging dan daging dengan citra kesehatan negatif.

Gambaran daging yang disesalkan ini terutama disebabkan oleh kandungan lemak, asam lemak

jenuh, dan kolesterol, dan asosiasinya dengan penyakit kronis, seperti penyakit kardiovaskular,

beberapa jenis kanker, dan obesitas (Chan 2004; Ovesen 2004a , 2004b; F ernández-Ginés et al

2005; Valsta et al 2005). Juga, asupan natrium klorida dari produk daging telah dikaitkan dengan

hipertensi (Ruusunen dan Puolanne 2005). Pandangan sepihak seperti itu menyangkut kita,

karena mengabaikan peran penting daging dalam peme liharaan kesehatan manusia. Selain

akumulasi bukti ilm iah, ada kebutuhan untuk memberi tahu konsumen tentang nilai gizi daging

dan produk daging yang tepat. Faktor yang paling penting untuk evaluasi makanan adalah fungsi

"utama" mereka (yaitu peran mereka dalam menyediakan nutrisi standar). Fungsi makanan

"sekunder", yang didefinisikan dalam bentuk sifat sensoris seperti rasa, rasa, penampilan, dan

tekstur, juga penting bagi konsumen dan industri makanan. Selain fungsi dasar makanan ini,

fungsi makanan "tersier" telah menarik banyak perhatian karena meningkatnya kekhawatiran

tentang kesehatan di negara maju (Heasman dan M ellentin 2001; Dentali 2002; Sloan 2008).

9
Fungsi tersier adalah peran komponen makanan dalam mencegah penyakit dengan memodulasi

sistem physiological. Contoh sifat fungsional tersier adalah aktivitas antioksidan, antihipertensi,

antikarsinogenik, immuno-modulasi, dan antipenuaan. M akanan yang memanfaatkan atau

menekankan fungsi tersier tersebut dianggap sebagai "makanan fungsional". M eskipun telah ada

penelitian dan pengembangan makanan fungsional yang beragam pada industri susu (Chandan

2007; Chandan dan Shah 2007), sedikit perhatian telah diberikan pada produk daging fungsional

sampai saat ini. Namun, upaya telah diarahkan dalam beberapa tah un terakhir untuk meneliti

produk daging fungsional (Jiménez-Colmenero et al 2001, 2006; Arihara 2004, 2006a, b;

Fernández-Ginés et al., 2005; Jiménez-Colmenero 2007a, b; Arihara dan Ohata 2008). Karena

produk daging penting dalam makanan, pengembangan pro duk daging segar yang lebih sehat

akan berkontribusi terhadap kesehatan manusia. Perkembangan produk daging fungsional baru

juga dibahas.

Sekilas Produk Daging Fungsional

M akanan fungsional, meskipun tidak ada definisi universal tentang "makanan fungsional,"

definisi tipikal dan sederhana adalah "makanan olahan yang memiliki manfaat pencegahan dan /

atau manfaat kesehatan selain nilai gizi mereka" (Arihara 2004). Istilah makanan fungsional

diciptakan di Jepang pada awal tahun 1980an (Arihara 2006b). Jepang juga merupakan negara

pertama yang telah merumuskan proses persetujuan peraturan khusus untuk makanan fungsional.

Pada tahun 1991, penggunaan konsep makanan untuk kesehatan tertentu (FOSHU) didirikan oleh

Kementerian Kesehatan dan Kesejahteraan Jepang. FOSHU adalah makanan yang, berdasarkan

pengetahuan tentang hubungan antara makanan atau komponen makanan dan kesehatan,

diharapkan memiliki manfaat kesehatan tertentu dan telah diberi lisensi untuk memberi label

yang mengklaim bahwa seseorang menggunakannya, mungkin berharap untuk mendapatkan

10
bahwa memberikan kesehatan melalui konsum si makanan ini. M ayoritas produk FOSH U

memanfaatkan bahan-bahan fungsional untuk menjaga kesehatan tubuh manusia. Sampai

Agustus 2009, 894 produk FOSHU telah disetujui di Jepang. Skala pasar FOSHU di Jepang pada

tahun 2007 adalah sekitar tujuh miliar US $. Peraturan untuk makanan fungsional belum

ditetapkan di banyak negara. Pertimbangan internasional tentang makanan fungsional dikaji oleh

Fitzpatrick (2007). Juga, sebuah buku baru-baru ini (Bagchi, 2008) menyediakan peraturan

makanan fungsional di banyak negara, termasuk Amerika Serikat, Uni Eropa, Australia, dan

Jepang.

Produk Daging Fungsional

Banyak produk daging rendah lemak atau bebas lemak telah dikembangkan di banyak

negara, dengan Amerika Serikat berada pada daftar teratas (Jiménez-Colmenero et al 2006).

Baru-baru ini, produk daging bebas gula, seperti roast ham dan sosis, telah dikembangk an di

Jepang.

Bahan makanan representatif digunakan untuk produk FOSH U

Kesehatan mengklaim … … … … Bahan makanan fungsional

Gangguan usus (Oligosakarida: Xylo-oligosakarida, Frukto-oligosakarida, Galakto-

oligosakarida, Lactulose, Raffinose); (Serat makanan: Dextrin yang tidak dapat dicerna, tepung

yang tidak penting, Sodium alginat, serat jagung); (Strain bakteri Lactobacillus sp.,

Bifidobacterium sp., Propionibacterium sp., Bacillus subtilis).

Tingkat kolesterol Vegetable sterol, Vegetable steroid ether, protein kedelai, Sodium alginat,

Chitosan, Katekin.

Tingkat tekanan darah Peptida Peptida Casein dodeca, Sardine peptide, tirosin isoleucyl, asam 4 -

Aminobutyric.

11
Tingkat M ineral (Ca / Fe) Paseinphospho peptida, Calcium citrate malate, Heme iron .

Kerapatan tulang Kedelai isoflavon, protein dasar susu, vitamin K2, asam poliglutamat .

Karies gigi X ylitol, M altitosa, Palatinose, Teh polifenol.

Kadar gula darah, Dekstrin yang tidak dapat dicerna, Arabinose, Wheat albumin

Tingkat lemak netral darah, Diacylglycerl, Globin hydrolysate, Catechin.

Produk daging dengan tambahan hubungan fungsional fisiologis telah diperkenalkan di beberapa

negara. Bahan fungsional semacam itu, termasuk protein vegetable, serat (misalnya, gandum, bit

gula, kacang kedelai, apel, kacang polong), antioksidan, dan probiotik (Lactobacillus dan

Bifidobacterium), telah digunakan untuk produk daging (Jiménez -Colmenero 2007a; Fernández-

Ginés et al 2005; Jiménez-Colmenero et al 2006). Artikel penelitian tentang produk daging dan

daging dengan ramuan fungsional telah dirangkum oleh Fernández -Ginés et al. (2005). Bahan

makanan fungsional lainnya juga telah ditinjau (Playne et al 2003, Chandan dan Shah 2007;

Jackson dan Paliyath 2007). Serat makanan dan protein kedelai telah digunakan sebagai bahan

fungsional dalam produk daging FOSH U di Jepang (Arihara 2004). Sebagai contoh, produk sosis

babi mengandung dextrin yang tidak dapat dicerna, serat makanan larut dalam air yang dibuat

dari kentang, diklaim sebagai Produk daging bebas alergen "Apilight" (Nippon M eat Packers,

Inc., Jepang). Berbagai strategi yang memungkinkan untuk mengembangkan produk daging dan

daging yang lebih sehat antara lain: (1) M odifikasi Komposisi Karkas (2)M anipulasi Bahan Baku

Daging (3) Reformulasi Produk Daging Pengurangan kandungan (mis., Lemak), M odifikasi

komponen (mis., Asam lemak), Penambahan bahan fungsional.

Seperti yang dijelaskan kemudian, melalui modifikasi pakan ternak, komposisinya (misalnya,

asam linoleat terkonjugasi) dari produk hewani dapat ditingkatkan. Selain itu, karakteristik

fungsional produk daging dapat diubah dengan memperkenalkan bahan makanan yang dianggap

12
bermanfaat bagi kesehatan atau dengan menghilangkan kom ponen yang dianggap berbahaya.

Kemungkinan pendekatan untuk modifikasi fungsional pada produk daging yang disarankan oleh

Fernández-Ginés et al. (2005), Jiménez-Colmenero dkk. (2006), dan Jiménez-Colmenero

(2007a). Kemungkinan pendekatan untuk modifikasi fungsional pada produk daging: kontrol dan

pengurangan (Natrium klorida, Lemak, Kolesterol, Alergen (protein nabati & telur), Amina

biogenic, M odifikasi A sam lemak (seleksi breed), n -6: n-3 PUFA (pakan biji rami). Bahan

Tambahan (seperti: M inyak sayur, M inyak ikan, Asam linoleat terkonjugasi, Protein nabati

(protein kedelai), Ekstrak alami, Vitamin C & E, M ineral (Ca, Se, Fe, M g, M n), Sterol tanaman,

Phytate, Bakteri asam laktat probiotik, Serat makanan, Oligosakarida, dan L -karnitin.

Senyawa Bioaktif Berbasis Daging

M emanfaatkan atau menekankan aktivitas fisiologis yan g berasal dari daging adalah

pendekatan yang menjanjikan untuk mengembangkan produk daging fungsional. Zat bioaktif

berbasis daging yang menarik telah dipelajari untuk sifat fisiologisnya. Zat tersebut meliputi

asam linoleat terkonjugasi (CLA), histidyl dipeptides (carnosine dan anserine), L -carnitine,

glutathione, taurine, coenzyme Q10, dan creatine. Bobot bioaktif dalam daging ini baru saja

ditinjau oleh Arihara dan Ohata (2008). Karena penelitian telah menunjukkan bahwa kondisi

pemberian makan hewan mempengaruhi kandungan CLA dan L-karnitin dalam daging

(Krajcovicova-Kudlackova et al., 2000; M ir et al., 2004), daging dan produk daging yang lebih

sehat dapat diciptakan melalui modifikasi pakan ternak. Sebagai senyawa bioaktif berbasis

daging, CLA dan histidyl dipeptides dijelaskan di sini.

13
Asam linoleat terkonjugasi

Asam linoleat konjugasi (CLA) telah menarik banyak perhatian sebagai senyawa

nutraceutical yang ditemukan dalam makanan. CLA pada awalnya ditemukan pada daging sapi

yang dimasak oleh Pariza et al. (1983). Kemudian, mereka ditemukan d alam daging dan susu

ruminansia (Gnadig et al., 2000; Watkins dan Yong 2001; Nagao dan Yanagita 2005). CLA

paling banyak terdapat pada lemak hewan ruminansia, seperti sapi dan domba, karena CLA

diubah dari asam linoleat oleh isomerase bakteri rumen. CLA yang diproduksi di rumen diangkut

ke otot dan jaringan hewan binatang. M isalnya, lemak sapi mengandung 3,1 sampai 8,5 mg CLA

per g lemak (Hasler 1988). CLA terdiri dari sekelompo k isomer posisional dan geometrik asam

oktadekadienoat. Isomer CLA yang paling umum ditemukan pada daging sapi adalah okta deka-

c9, t11- asam dienoat. Banyak perhatian telah diberikan pada isomer CLA ini karena aktivitas

anticarcinogenic nya. Cairan yang te rsedia secara komersial yang digunakan untuk banyak

penelitian biasanya merupakan campuran beberapa isomer CLA (mis., C9, t11: 41%; t10, c12:

44%; t9, t11 / t10, t12: 7%). Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa isomer t10, c12

(Gambar 24.3, bagian bawah) menunjukkan aktivitas fisiologis yang lebih kuat daripada isomer

c9, t11. Namun, kebanyakan produk hewani seperti daging sapi dan susu sapi hanya

mengandung sejumlah kecil isomer CLA t10, c12. Kandungan CLA dari produk hewani diubah

oleh beberapa faktor, seperti bangsa, umur, dan komposisi pakan (Dhiman et al., 2005).

Kandungan CLA pada produk hewani yang diberi makan rumput lebih dari tiga kali lebih besar

daripada produk dari hewan yang diberi pakan 50 % jerami dan silase dengan 50% biji-bijian.

Kandungan CLA juga dilaporkan lebih tinggi pada daging sapi dari sapi yang diberi makanan

yang mengandung minyak kedelai (Lorenzen et al 2007). Kandungan makanan CLA meningkat

dengan perlakuan panas, seperti mema sak dan pengolahan (Herzallah et al., 2005). Selain itu,

14
bakteri asam laktat meningkatkan pembentukan CLA. Pengaruh bakteri asam laktat terhadap

pembentukan CLA pada media dan produk susu fermentasi telah dipelajari (A lonso et al., 2003;

Coakley et al., 2003; Sieber et al., 2004; Xu et al., 2005). Konversi bakteri tersebut diharapkan

terjadi pada produk daging fermentasi.

Studi epidemiologi telah menyarankan bahwa asupan makanan olahan susu berlemak tinggi

dan CLA dapat mengurangi risiko kanker kolorektal (Larsson et al., 2005). Selain aktivitas

anticarcinogenic, CLA memiliki antiartheriosclerotic, antioxidative, dan aktivitas immunom odu

latif (Azain 2003). CLA juga dapat berperan dalam mengendalikan obesitas, mengurangi risiko

diabetes, dan modulasi metabolisme tulang.

Histidil Dipeptida Berbagai antioksidan endogen, termasuk tocopherols, ubiquinone, cartenoids,

asam askorbat, glutathione, asam lipoat, asam urat, sperma, carnosine, dan anserine, telah

ditemukan pada otot rangka (Decker et al., 2000). Kedua carnosine (β -alanyl-L-histidine) dan

anserine (N-β-alanyl-1-methyl-L-histidine) adalah antioksidan histidil dipeptides (Gambar 24.4)

dan merupakan antioxidan yang paling banyak ditemukan pada daging. K onsumsi makanan kaya

antioksidan mencegah keru sakan oksidatif dalam tubuh kita (Lindsay 2000). Tindakan ini

dilakukan untuk menetralkan dan mengurangi pelepasan radikal bebas oleh antioksidan

(Langseth 2000). Aktivitas antioksidan carnosine dan anserine dapat dihasilkan dari kemampuan

mereka untuk mengkelat logam transisi seperti tembaga (Brown 1981). Konsentrasi carnosine

dan anserine bervariasi tergantung pada spesies hewan dan bagian dagingnya. Konsentrasi

carnosine pada daging berkisar antara 500 mg / kg paha ayam sampai 2.700 mg / kg pada bahu

babi. Anserine sangat melimpah H O H O H2N H2N N O H N OH O O N N HN N otot ayam

(mis., 980 mg / kg pada otot rangka). Gambar 24.4. Struktur carnosine (kiri) dan anserine

(kanan). Peptida ini telah dilaporkan berperan dalam penyembuhan luka, pemulihan dari

15
kelelahan, dan pencegahan penyakit yang berkaitan dengan stres oksidatif. Karena anserine lebih

resisten terhadap pencernaan daripada carnosine, fungsi fisiologikal anserine akan lebih efektif

daripada carnosine dalam tubuh manusia. Untuk alasan ini, bahan makanan fungsional dengan

konsentrasi tinggi anserine (sekitar 98%) yang dimurnikan dari ekstrak ikan telah dikembangkan

di Jepang. Park et al. (2005) menunjukkan ketersediaan / bioavailability carnosine dengan

menentukan konsentrasinya dalam plasma manusia setelah konsumsi daging sapi. Selain itu,

meningkatkan perhatian pada senyawa bioaktif berbasis daging ini telah menghasilkan

pengembangan prosedur kepekaan baru untuk menentukan kadar ini (M ora et al 2007).

Pemanfaatan Bioaktif Peptida Protein Daging

Bioaktif peptida yang dihasilkan dari protein makanan seperti carnosine dan anserine

merupakan peptida bioaktif yang menarik dalam daging seperti dijelaskan di atas. Selain peptida

ini, peptida yang diturunkan dari protein daging adalah kelom pok k omponen bioakatif daging

lainnya (Arihara 2006a; Arihara dan Ohata 2008). Telah dilaporkan bahwa banyak peptida

bioaktif berasal dari protein makanan, seperti protein susu, kedelai, ikan, dan daging (Korhonen

dan Pihlanto 2003, 2007; Pihlanto dan Korhonen 2003; M ine and Shahidi 2005; Gobbetti et al.

2007 ). Bioaktifitas representatif dari peptida tersebut dirangkum dalam Tabel 24.4. Dari peptida

bioaktif tersebut, peptide penghambat angiotensin I-converting enzyme (ACE) telah dipelajari

secara ekstensif (Vermeirssen et al., 2004; M eisel et al., 2005). Karena beberapa dari peptida ini

memiliki efek antihipertensi dengan pemberian oral, obat ini telah digunakan untuk obat-obatan

dan makanan fungsional (Arihara 2004, 2006a). Tabel 24.4. Fungsi representatif peptida

bioakatif berasal dari protein makanan Sistem tubuh (kardiovaskular): peptida bioaktif

(penghambat ACE, antihipertensi, Antioksidan Antitrombotik Hiperkolesterolemia ). Sistem

16
tubuh (pencernaan); bioaktif peptide (antimikroba, pengikatan mineral, prebiotik). Imun:

Immuneomodulatory, Cytomodulatory. Namun, sampai saat ini, produk daging fungsional

dengan peptida bioaktif, termasuk peptida penghambat ACE, belum dikembangkan.

Turunan /generasi peptida dari protein daging

Sebagian besar protein makanan, termasuk protein daging, mengandung urutan bioaktif.

Namun, urutan bioaktif tersebut tidak aktif dalam protein induknya. Peptida dengan bioaktivitas

masing-masing dihasilkan dari protein asli oleh pencernaan proteolitik. Proses pencernaan

protein untuk pembuatan peptida dari protein daging meliputi penggalian gastrointestinal,

penuaan, fermentasi, dan pengolahan protease. Protein daging diserang oleh enzim proteolitik

(mis., Pepsin, tripsin, chymotripsin, elastase, dan carboxypeptidase) selama pen cernaan

gastrointestinal (Pihlanto dan K orhonen 2003). M eskipun belum ada bukti nyata bahwa peptida

bioaktif dihasilkan dari protein daging di saluran pencernaan manusia, generasinya telah

ditunjukkan dalam beberapa penelitian in vitro. M isalnya, beberapa enzim pencernaan

gastrointestinal menghasilkan ACE protein daging babi (myosin, actin, tropomyosin, dan

troponin) dengan perlakuan protease pankreas (Katayama et al., 2003a). Karena daging

mengandung berbagai protease endogen otot, protein daging dihidrolisis oleh enzim ini selama

penuaan (Etherington 1984; Koohmaraie 1994; Toldrá 2007). Dengan demikian, kandungan

asam amino dan peptida meningkat pada daging yg diperam (Nishimura et al 1988; M ikami et al

1995). M eskipun hidrolisis enzimatik protein daging selama penuaan/pemeraman menghasilkan

perbaikan sifat sensorik, belum ada laporan tentang pembuatan peptida bioaktif pada daging

selama penuaan atau penyimpanan. Studi diharapkan untuk mengungkapkan makna novel

penuaan/pemeraman daging untuk meningkatkan b ioaktivitasnya. Protein daging dihidrolisis

17
selama fermentasi dan pemasakan sosis kering. Kedua enzim endogen dan enzim proteolitik

mikroorganisme terlibat dalam fermentasi produk daging dan berkontribusi pada pengembangan

sifat sensorik produk daging ferm entasi (Hierro et al, 1999; Hammes et al., 2003; Toldrá 2004).

Aktivitas penghambatan ACE dan antihipertensi dihasilkan dari protein otot rangka porcine oleh

bakteri asam laktat (Arihara et al., 2004). Karena peptida kecil telah diidentifikasi dalam ham yg

dikyiuring kering (Sentandreu et al., 2003), beberapa peptida semacam itu yang dihasilkan dari

protein daging dapat memiliki bioaktivitas. Selain itu, Sentandreu dan Toldrá (2007a, b)

mengemukakan bahwa tindakan proteolitik dipeptidyl peptidase otot babi selama periode

pematangan ham kering dapat memberi kontribusi pada membuat turunan peptida penghambat

ACE. Prosedur yang paling umum untuk memproduksi peptida bioaktif pada skala industri

adalah perlakuan enzimatik. Berbagai protease yang tersedia secara k omersil telah digunakan

untuk produksi peptida dari protein makanan (Pihlanto dan Korhonen 2003). Selain itu, banyak

peptida bioaktif telah disiapkan secara eksperimental dengan menggunakan protease komersial

(Korhonen dan Pihlanto 2003, 2007). Proteolitik enzim telah digunakan untuk tenderisasi daging

dalam industri daging (Dransfield dan Etherington 1981). M eskipun peptida memiliki

bioaktifitas dapat diproduksi pada daging yang di perlakukan dengan pengempukan enzimatis,

upaya belum diarahkan pada penelitian semacam itu. Karena efek protease komersial pada

pemecahan protein daging dan sifat sensoris sosis fermentasi telah ditunjukkan (Bruna et al.,

2000), perlakuan semacam itu dapat digunakan untuk mengembangkan produk daging

fungsional yang mengandung peptida bioaktif. Hidrolisat protein daging (peptida) juga bisa

menjadi bahan makanan, karena memiliki bioaktivasi untuk makanan fungsional.

18
Peptida Bioaktif Protein Daging

M eskipun banyak peptida bioaktif telah diisolasi dari berbagai protein makana n seperti

dijelaskan di atas, informasi tentang peptida yang berasal dari daging masih terbatas. Sedangkan

untuk protein makanan lainnya, peptida inhibitor ACE telah dipelajari secara luas di antara

peptida bioaktif yang berasal dari protein daging (Vercru ysse et al., 2005; Arihara dan Ohata

2006a, 2008). Beberapa peptida penghambat ACE yang dihasilkan dari protein daging

menunjukkan aktivitas antihipertensi saat diadministrasikan secara lisan ke tikus hipertensi

spontan dengan baik (Arihara et al 2005a; F ujita et al., 2000; Nakashima et al., 2002). Sebagai

contoh, dua peptida penghambat ACE (M et-A sn-Pro-Pro dan Ile-Thr-Thr-Asn -Pro) yang

ditemukan dalam urutan rantai berat myosin menunjukkan aktivitas antihipertensi (Nakashima et

al., 2002). Beberapa peptida antioksidan telah diidentifikasi dalam enzimatis hidrolisat protein

daging (Saiga et al., 2003b; Arihara et al., 2005b). Hidrolisat dari protein myofi -brillar babi yang

dihasilkan oleh papain atau aktin-ase E menunjukkan tingkat antioksidan yang tinggi. aktivitas

(Saiga et al 2003b). Asp-Ala-G ln-G lu-Lys-Leu-G lu, yang ditemukan dalam urutan aktin,

menunjukkan tingkat aktivitas tertinggi di antara lima peptida yang diidentifikasi. Dalam studi

lain, tiga peptida antioksidan (Asp-Leu-Tyr-A la, Ser-Leu-Tyr-Ala, dan Val-Trp) diisolasi dari

hidrolisat enzimatik otot rangka porcine (Arihara et al., 2005b). Peptida ini memiliki efek

antifatigue saat diberikan secara oral pada tikus dalam percobaan menggunakan treadmill. Selain

peptida bioaktif yang dijelaskan di ata s, peptida prebiotik (Arihara et al. 2006) dan

hipokolesterolemia (M orimatsu et al. 1996) telah dipelajari. Terlepas dari bioaktivitas, pep tida

yang berasal dari protein daging juga berkontribusi pada sifat organoleptik daging (Nishimura

dan Kato 1988; Nishimura et al 1988). Peptida yang dihasilkan dari protein daging memiliki

potensi untuk menghasilkan bahan fungsional baru dengan sifat organoleptik yang baik.

19
Peptida bioaktif berasal dari protein daging dan protein yang berhubungan dengan daging

Sumber Bioaktif Protein Sequencea Referensi Antihipertensi (otot ayam ACE IKW Fujita et al.,

2000 penghambatan) Otak otot kreatin kinase LKA Fujita et al., 2000 O tot ayam aldolase LKP

Fujita dkk., 2 000 Otot ayam LAP Fujita et al., 2000 Tokoh otot porselen VWI Arihara dkk.,

2005a Porcine myosin ITTNP Nakashima et al., 2002 Porcine myosin M NPPK Nakashima et al.,

2002 O tot ayam myosin FQKPKR Fujita et al., 2000 Otot bovine VLAQYK Jang & Lee, 2005

Otak ayam kreatin kinase FKGRY YP Fujita et al., 2000 Babi fermentasi myosin VFPM NPPK

Arihara et al., 2004 Otot otot ayam IVGRPRHQG Fujita et al., 2000 Porcine muscle troponin C

RM LGQTPTK Katayama et al., 2003b; 2004 Kolagen otot ayam GFXGTXG LXGF Saiga et al.,

2003a Antioksidan Porcine muscle VW Arihara dkk., 2005b Otot tulang belakang DLY A

Arihara dkk., 2005b Otot servikal SLYA Arihara dkk., 2005b Porcine muscle actin DLQEK LE

Saiga et al., 2003b Virus hemoglobin darah babi Opioid VVYPWTQRF Zhao, et al., 1997

Bovine blood hemoglobin LVV YPWTQRF Zhao, et al., 1997 Rasa gurih yang meningkatkan

rasa Sapi diperlakukan dengan papain KG DEESLA Hau, et al., 1997 Sourness -suppressing

Daging babi panggang APPPPAEVHEV Okumura et al., 2004 Kode asam amino satu huruf

digunakan.

Peptida bioaktif yang dihasilkan dari protein makanan, seperti protein susu dan kedelai, telah

digunakan untuk bahan fungsional. Sebagai contoh, beberapa produk makanan yang

mengandung peptida penghambat AC E telah dipasarkan untuk obat hipertensi (Arihara 200 6b).

M eskipun peptida bioaktif belum digunakan dalam industri daging, peptida semacam itu adalah

kandidat prom untuk bahan makanan daging fungsional. Juga, peptida bioaktif yang berasal dari

protein daging dapat dikembangkan sebagai bahan makanan fungsiona l baru.

20
Perkembangan Produk Daging Prob iotik

Penemuan kembali produk daging fermentasi tradisional sebagai makanan fungsional

merupakan arah yang menarik. Dalam industri susu, produk susu fermentasi tradisional telah

dilarang dan terlahir kembali sebagai makanan fungsional (Farnw orth 2003). Baru -baru ini,

Ansorena dan Astiasarán (2007) menggambarkan kemungkinan pengembangan sosis fermentasi

kering segar yang dapat meminimalkan fitur negatif dari daging. Untuk memproduksi sosis

fermentasi kering tersebut, mereka menyebutkan hal-hal berikut: (1) modifikasi kandungan

mineral, (2) modifikasi lemak, (3) penggabungan serat ke dalam formulasi, dan pemanfaatan

bakteri probiotik. Bagian ini berfokus pada pemanfaatan bakteri probiotik un tuk pengembangan

produk daging fungsional. Seiring dengan probiotik, prebiotik dan sinbiotik akan dibahas di sini.

Probiotik

Probiotik didefinisikan sebagai "mikroorganisme hidup , jika diberikan dalam jum lah yang

memadai (sebagai bagian dari makanan), m emberi manfaat kesehatan pada tuan rumah" (Stanton

et al., 2003). Dengan demikian, makanan probiotik dianggap fungsional, jika terbukti secara

memuaskan mempengaruhi target fungsi fisiologis di tubuh kita, di luar efek nutrisi yang

memadai, dengan cara yang sesuai dengan keadaan kesehatan dan kesejahteraan yang membaik

atau pengurangannya dari risiko penyakit. Bakteri probiotik, terutama Lactobacillus dan

Bifidobacterium intestinal, menunjukkan berbagai fungsi fisiologis, seperti modulasi flora usus,

pencegahan diare, peningkatan konstipasi, aktivitas enzim fa ecal rendah, menurunkan kadar

kolesterol darah, modulasi respon imun, pencegahan alergi makanan., pencegahan kanker, dan

adjuvan dalam pengobatan Helicobacter pylori (Stanton et al 2003; Agrawal 2005). Sifat yang

diinginkan dari strain probiotik (Brassart dan Schiffrin 2000) adalah: asal manusia , ketahanan

terhadap toksisitas asam dan empedu, kepatuhan terhadap sel-sel usus manusia, kolonisasi usus

21
manusia, antagonisme melawan bakteri pathogen, produksi zat antim ikroba, sifat memodulasi

system kekebalan, sejarah penggunaan yang aman pada manusia .

Probiotik dan Fermentasi D agin g

M eskipun konsep probiotik belum dikenal dengan baik dalam industri daging, kemungkinan

produk daging probiotik telah dibahas dalam beberapa tahun terakhir (Hammes et al 2003;

Työppönen et al., 2003; Arihara 2004, 2006b; Kröckel 2006; Ammor dan M ayo 2007; A nsorena

dan Astiasarán 2007; Cocconcelli dan Fontana 2008; De Vuyst et al 2008.; Leroy et al 2008.

2008). M enargetkan produk daging dengan bakteri probiotik terutama sosis kering, karena

diproses tanpa perlakuan panas. M eski pasar produk daging probiotik m asih sangat terbatas,

beberapa produk daging probiotik telah dipasarkan di Jerman dan Jepang (Arihara 2006b). Pada

tahun 1998, produsen Jerman mengembangkan produk salami yang mengandung bakteri

(Lactobacillus casei, Lactobacillus casei, Bifidobacterium spp.). Pada tahun yang sama, produsen

Jepang juga meluncurkan produk daging (yang difermentasi dengan lactobacillus usus L.

rhamnosus FERM P-15120). L. rhamno-sus FERM P-15120 telah disekrining dari koleksi

lactobacillus usus manusia (Sameshima et al 1998) . Arihara dkk. (1998) telah menunjukkan

bahwa L. gasseri JCM 1131 berlaku untuk fermentasi daging sebagai strain probiotik potensial.

Erkkiläet al. (2000, 2001a, b) menguji penerapan strain probiotik L. rhamnosus GG, LC -705 dan

VTT-97800 untuk sosis kering terfermentasi. M ereka menemukan strain itu dan E -97800 cocok

digunakan sebagai biakan starter probiotik dalam fermentasi sosis kering. Selanjutnya, beberapa

penelitian menunjukkan kemungkinan penggunaan strain probiotik bakteri asam laktat dan

bifidobakteri untuk produk daging (Leroy et al 2006; Pennacchia et al., 2004, 2006; Klingberg et

al., 2005; Klingberg and Budde 2006; Rebucci et al 2007; Ruiz -M oyano dkk. 2008). Produk

sampingan daging fermentasi "Breadton," memanfaatkan lactobacillus intestinal (Prim a M eat

22
Packers, Ltd., Jepang). M uthukumarasamy dan Holly (2006, 2007) mempelajari efektivitas

teknik mikroenkapsulasi untuk melindungi bakteri prob iotik selama pengolahan sosis. Sebagian

besar penelitian tentang pemanfaatan strain probiotik untuk fermentas i daging telah berfokus

pada pertumbuhan bakteri dalam daging dan pengaruhnya terhadap sifat sensorik dan inaktivasi

bakteri patogen. Bunte et al. (2000) dan Jahreis dkk. (2002) melakukan penelitian tentang

pemanfaatan laktobacilli probiotik untuk jenis so sis yang lembab. Studi mereka menggunakan

sukarelawan yang sehat menunjukkan bahwa konsumsi produk tersebut yang difermentasi

dengan strain probiotik L. paracasei LTH2579 memiliki beberapa efek fisiologis yang

menguntungkan.Sel CD4 T meningkat dan indeks fagositosis meningkat pula setelah konsumsi

produk. Penilaian lebih lanjut mengenai hubungan antara konsumsi produk daging dengan

bakteri probiotik dan kesehatan manusia dibutuhkan dari berbagai sudut pandang.

Prebiotik dan Sinbiotik

Selain probiotik, banyak perhatian telah diberikan pada prebiotik pada industri makanan.

Prebiotik pada awalnya didefinisikan sebagai "bahan makanan yang tidak mudah dicerna yang

menguntungkan hospes dengan cara mempengaruhi selektifitas stimulasi pertum buhan dan /

atau aktivitas satu atau sejumlah bakteri di usus besar dan dengan demikian meningkatkan

kesehatan host" (Gibson dan Roberfroid 1995 ). Kemudian, definisi ini diperbarui sebagai

"bahan fermentasi selektif yang memungkinkan perubahan spesifik, b aik dalam komposisi dan /

atau aktivitas dalam mikroflora gastrointestinal yang memberi manfaat" (Gibson et al., 2004).

Sebagai zat prebiotik yang representatif, oligosakarida dan serat makanan telah digunakan untuk

meningkatkan pertum buhan bakteri probiotik (Holzapfel dan Schillinger 2002; Tanaka dan Sako

2003; Roberfroid 2008). Selain oligosacharides dan serat makanan, kehadiran peptida prebiotik

telah dilaporkan (Liepke et al 2002; Arihara 2006a). Arihara dkk. (2006) menemukan bahwa

23
hidrolisat protein otot rangka babi meningkatkan pertumbuhan strain Bifidobacterium. Salah satu

peptida prebiotik dicatat yang telah diidentifikasi sebagai G lu-Leu-M et.

Perubahan mikroflora usus setelah mengkonsumsi prebiotik memiliki dampak efektif terhadap

status kesehatan (Tanaka dan Sako 2003): penindasan bakteri berbahaya ; pengurangan zat-zat

yang bersifat peka ; pengurangan zat karsinogenik; stimulasi buang air besar; optimalisasi respon

imun; peningkatan penyerapan mineral; aktivasi colonocytes; pengasaman isi caecal dan fecal;

peningkatan metabolisme lipid. Atribut yang diinginkan dari prebiotik yang ditingkatkan secara

fungsional yang telah terdaftar oleh Rastall (2000) adalah: (1) menargetkan probiotik spesifik

(Lactobacillus dan / atau Bifidobacterium), (2) aktif pada dosis rendah tanpa efek samping, (3)

kegigihan melalui usus besar, (4) proteksi terhadap kanker usus besar, (5) peningkatan efek

penghalang terhadap patogen, dan (6) penghambatan adhesi patogen. Gibson dan Roberfroid

(1995) juga mengemukakan konsep synbiotics pada mikroflora usus: penghambatan patogen,

modulasi kekebalan, penyerapan mineral, dll., yang merupakan campuran antara probiotik

(Lactobacillus Bifidobacterium) dan prebiotik (Oligosaccharides, Dietary fibers).

Synbiotics adalah makanan yang mengandung bakteri probiotik dan zat prebiotik untuk memberi

makanan bakteri probiotik di mana pertumbuhan ditingkatkan oleh prebiotik, sehingga

meningkatkan bakteri probiotik yang terbentuk di usus dan memberikan manfaat kesehatan

(Ziemer dan Gibson 1998). Seiring dengan probiotik, konsep prebiotik dan sinbiotik diharapkan

dapat dimanfaatkan untuk pengembangan produk daging baru.

24
KESIMPULAN

Peningkatan perhatian telah diberikan pada fungsi fisiologis daging dan produk daging

tradisional dalam beberapa tahun terakhir (Jiménez -Colmenero et al 2001, 2006; Arihara 2004,

2006a, b; Fernández-G inés et al., 2005; Jiménez-Colmenero 2007a , b; Arihara dan Ohata 2008).

Daging dan produk daging penting dalam makanan di sebagian besar negara maju, karena daging

dan produk daging yang lebih sehat akan berkontribusi untuk kesehatan manusia. M eskipun

pengembangan produk daging fungsional baru masih terbatas, informasi ilmiah untuk merancang

produk daging fungsional telah terakumulasi, dan secara teknis memungkinkan menghasilkan

berbagai produk daging. Pemanfaatan suplemen bioaktif berbasis daging, termasuk peptida

bioaktif, adalah pendekatan yang mungkin untuk pengembangan produk tersebut. Selain itu,

probiotik dan prebiotics merupakan bahan makanan yang menjanjikan untuk produk daging

fungsional dari daging fermentasi. Produk daging baru tersebut akan membuka pasar baru dalam

industri daging.

25
DAFTAR PUSTAKA

Adebiyi, A.P.; Adebiyi, A.O.; Yamashita, J., Ogawa, T., and M uramoto, K., 2008.Purification

and Characterization of Antioxidative Peptides From Unfractionated Rice Bran Protein

Hydrolysates, Int. J. Food Sci. Technol. 43: 35 – 43.

Aguirrezábal, M .; J. M ateo; M . Domínguez, and J. Zumalacárregui., 2000. The Effect of Paprika,

Garlic and Salt on Rancidity in Dry Sausages, Meat Sci. 54: 77 – 81.

Agyei, D., and Danquah, K., 2011. Industrial-scale M anufacturing ofPharmaceutical-grade

Bioactive Peptides, Biotechnol.Adv.29: 272 –277.

Arihantana, M .B., 1981. Production and Stability of Bebontot.M .App.Sc Thesis Department of

Food Science and Technology, Universty of New South Wales, Sydney.

Arihara, K., 2006. Strategies for Designing Novel Functional M eat Pro ducts, Meat Sci.,74: 219 -

229.

Arihara, K., 2006a. Functional Properties of Bioactive Peptides Derived From M eat Proteins.

Chapter 10.In Advanced Technologies for Meat Processing. Boca Raton, Fla: CRC

Press, pp.245-273.

Arihara, K., and Ohata, M ., 2008. Bioactive compounds in meat. In F. Toldrá (Ed.) M eat

Biotechnology,Spinger Science +Business M edia,LLC, London pp. 231 -249.

Arihara, K. and Ohata,M . 2010. Functional M eat Products.Chapter 24. In Handbookof Meat

Processing. Wiley-Blackwell, pp. 423-440.

Ansorena, D., and I. Astiasaran., 2007. Functional M eat Products.Chapter 24.In Handbook of

Fermented Meat and Poultry. Hoboken, N.J.: Wiley-Blackwell. pp. 257 - 266.

Antara, N.S.; I.N. Sujaya; A. Yokota; K. Asano; W.R. Aryanta and F. Tomita, 2002.

Identification and S uccession of Lactic Acid Bacteria D uring Fermentation of “Urutan”,

26
a Balinese Indigenous Fermented Sausage, World J. Microbiol., and Biotechnol.,18:

255-262.

Dziuba J. and Iwaniak A., 2006. Database of protein and bioactive peptide sequences. In:

Nutraceutical proteins and peptides in health and disease. Eds Y. M ine, F. Shahidi. CRC

Press, Taylor & Francis, Boca Raton, 543-564.

Dziuba, J.; M inkiewicz, P., and Plitnik, K., 1996.Chicken M eat Protein AsPotential Precursors of

Bioactive Peptides.Polish J. Nutr. Sci., 5(4): 85-96. ISSN 1230-0322.

Erdman, K., Cheung, B.W.Y. and Schro¨der, H.2008. The Possible Roles of Food -derived

Peptides in Reducing in The Risk of Cardiovascular Disease, J. Nutr.Biochem.19: 643 –

654.

Fernandez-Gines, J. M ., Fernandez-Lopez, J., Sayas-Barbera, E. and Perez-Alvarez, J. A.

2005. M eat Products As Functional Foods: A Review, J. Food Sci.70, R37 –

R43.

Hartawan, M . 2002. Identifikasi Bakteri Asam Laktat, Perubahan Mikrobiologis dan Biokim ia wi

Selam a Fermentasi Bebontot. Thesis.Program Pascasarjana Program Study

Bioteknologi Pertanian Universitas Udayana Denpasar Bali.

Hartmann, R., and M iesel, H., 2007. Food-derived Peptides w ith Biological Activity: From

Research to Food Applications, Curr. Opin.Biotechnol.18:163-169.

Iwaniak A. and Bartlomiej Dziuba, 2009.M otif with potential physiological activity in food

proteins-biopep database. Acta Sci. Pol., Technol. Aliment. 8(3), 59 -85

Okarini, I. A., 2010. Functional of lactic acid bacteria on broiler breast meat.International

SeminarOn Prospects nd Challenges Of Animal Production In Developing Countries in

27
the 21 st Century, Faculty of Animal Husbandry, U niversity of Brawijaya, M alang, 23 –

25 M arch 2010.

Sulandra, I.K., dan I.G.P. Jamasuta., 2000. M empelajari karakteristik bebontot yang diberikan

berbagai perlakuan pada akhir proses, M akalah dipresentasikan pada Seminar Nasional

M akanan Tradisional. Universitas Brawijaya, M alang.

Toldrá, F., 2004. M eat: Fermented Meats. In: JS Smith,Y.H. Hui, eds. Food Processing.

Principles and Applications. Ames, Iowa: Blackwell Publishing,pp. 399–415.

Toldrá, F., 2010.Innovation for Healthier Processed Meats.International Conference On Food

Innovation – Foodinnova 2010, Valencia (Spain), 25 – 29 October 2010.

Udenigwe, C.C., and Aluko, R.E., 2012. Food Protein-derived Bioactive Peptides: Production,

Processing, and Potential Health Benefits, J. Food Sci.71(1):R11-R24.

28

Anda mungkin juga menyukai