Strateg I M Erancang Pro Duk Dag Ing Fung Sio Nal
Strateg I M Erancang Pro Duk Dag Ing Fung Sio Nal
OLEH :
UNIVERSITAS U DAYA NA
DENPASAR
2017
i
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadapan Tuhan Yang M aha K uasa atas karuniaNya, pada kesempatan ini
dapat dipersiapkan materi/bahan kuliah yang bersumber dari beberapa jurnal atau buku, untuk
disampaikan pada mahasiswa semester VI, mata kuliah wajib Teknologi Hasil Ternak Program
Studi Peternakan dan matakuliah Teknologi Pasca Panen Hasil Ternak, Program Pascasarjana,
M ateri ini sebagian besar diambil dari jurnal: Arihara, K. 2006a. Strategies for Designing
Novel Functional M eat Products, Meat Sci.,74: 219 – 229;Arihara, K. 2006b. Functional
Properties of Bioactive Peptides Derived From M eat Proteins. Chapter 10.In Advanced
Technologies for Meat Processing. Boca Raton, Fla: CRC Press, pp.245-273;Arihara, K. and
pp. 423-440.Erdman, K., Cheung, B.W.Y. and Schro¨der, H. 2008. The Possible Roles of
Alvarez, J. A. 2005. Meat Products As Functional Foods: A Review, J. Food Sci.70, R37 –
R43.Hartmann, R, and M iesel, H. 2007. Food-derived Peptides with Biological Activity: From
Semoga bermanfaat bagi para pembaca terkait dengan informasi pengembangan strategi
dalam merancang produk hasil ternak sebagai bahan pangan fungsional yang dapat memenuhi
ii
permintaan konsumen maupun produsen. Pada kesempatan ini penyusun menyampaikan ucapan
terimakasih kepada Yth Validator Fakultas maupun Validator Universitas , penyusunan ini untuk
melengkapi beban kerja dosen. Selanjutnya terimakasih untuk para pembaca yang memberikan
masukan sebagai acuan untuk kelengkapan materi kuliah hasil ternak sebagai bahan pangan.
Penyusun
iii
DAFTAR ISI
Pendahuluan .................................................................................................................. 1
Kesimpulan… … … … … … …… … …… … …… … …… … …… … …… … …… . ............... 25
iv
PENDAHULUAN
Dalam beberapa tahun terakhir perhatian konsumen terhadap kesehatan meningkat secara
signifikan terutama di Negara – Negara maju, dan juga mempengaruhi minat para peneliti untuk
mempelajari peran komponen bioaktif dalam makanan yang dikenal sebagai antikarsinogenik,
antimutagenik, aktivitas antioksidan dan antipenuaan. Fungsi tersier senyawa -senyawa bioaktif
ini memodulasi dan meningkatkan system/fungsi fisiologis seperti yang dilaporkan Arihara
(2006) dan Erdmann et al.(2008). Selanjutnya Arihara (2006) juga mencatat bahwa komponen
bioaktif telah dipelajari dan digunakan untuk mengembangkan produk baru yang disebut
makanan fungsional.Vass, Czegledi dan Javor (2008) melaporkan bahwa ditahun terakhir ada
sesuatu yang menarik konsumen dalam aspek kesehatan yang berkaitan dengan penambahan
hasil penelitian (Arihara dan Ohata, 2008) tentang turunan peptida bioaktif dari protein -protein
Semakin meningkat perhatian baru-baru ini (Iwaniak dan Dziuba, 2009) telah dibayarkan
untuk penggunaan bioaktif peptida sebagai fisiologis aktif bahan makanan yang merupakan
elemen penting dalam pencegahan dan pengobatan penyakit pada berbagai gaya hidup.
Selanjutnya dikatakan pula ada permintaan jenis makanan yang mengandung peptida bioaktif
yang berkembang diseluruh dunia memungkinkan studi penelitian tentang protein terhidrolisa
dan peptida masih terus berlangsung. Daging dan produk daging diperuntukkan sebagai bahan
pangan fungsional tidak hanya diketahui dari kandungan nutrisi dan sifat sensoris. Tetapi peran
fisiologis aktif dalam daging dan produk daging yang saat ini mendapat perhatian oleh para
peneliti di negara-negara maju. Sementara penelitian tentang komponen bioaktif dalam daging
dan produk daging telah banyak dilakukan terkait dengan peran fisiologis aktif yang dikenal
1
minat para peneliti untuk mempelajari kompone n-komponen bioaktif terutama dalam daging dan
produk-produknya.
Konstituen gizi dan non-gizi daging diyakini sebagai sumber bioaktif peptida dari hasil
hidrolisis enzimatis atau fermentasi, meskipun konsumen sering mengasosiasikan daging ayam
dengan kesan negatif terkait kandungan lemak jenuh dan kolesterol yang mempengaruhi kondisi
kesehatan konsumen. M akanan yang berasal dari hewan mengandung beberapa komponen aktif
yang berpotensi dalam promosi kesehatan seperti asam lemak omega 3, asam l inoleat konjugasi,
turunan peptida bioaktif dalam daging (Arihara 2006, Vass, Czegledi dan Javor, 2008). Sejak
konsumen menyadari akan kesehatan, membuat tren makanan fungsional terkemuka diindustri
makanan, upaya telah dilakukan dibanyak Negara untuk mengembangkan mak anan fungsional
baru dan menetapkan regulasi makanan fungsional tersebut (Arihara dan O hata, 2008).
Sementara Arihara (2006); Arihara dan O hata (2008) mencatat bahwa beberapa senyawa bioaktif
yang penting dalam daging antara lain: asam linoleat konjugasi, karnosin, anserine L,-karnitin
(saat ini mendapat perhatian), gluthation, taurin, koenzim Q10, keratin dan seterusnya yang mana
salah satu pendekatan terfokus pada aktivitas fisiologis senyawa ini memiliki potensi untuk
diperoleh dari protein daging seperti asam linoleat terkonjugasi memiliki aktivitas
menurunkan level kolesterol, membantu dalam produksi energi dan penyerapan kalsium,
mempertahankan stamina serta pemulihan kelelahan; dan dipeptida histidil seperti karnosin dan
anserine yang paling berlim pah sebagai antioksidatif dalam daging memiliki fungsi sebagai
penyembuhan luka, pemulihan kelelahan dan aktivitas antistres. Selanjutnya dilaporkan juga
2
bahwa saat ini sedang gencarnya penelitian tentang peran bioaktif peptida yang diperoleh dari
proten makanan tertuju pada aktivitas antihipertensi (banyak informasi) dan aktivitas
Hasil penelitian Arihara et al.(2005) yang disitasi oleh Arihara (2006) telah
mengidentifikasi peptida antioksidatif dari hasil hidrolisa daging babi dengan enzim papain
menemukan sekuen dalam protein aktin; Asp-Leu-Tyr-A la, Ser-Leu-Tyr-Ala, Val-Trp, yang
mana hasil sintesis A sp-Leu-Tyr-Ala menujukkan aktivitas kuat sebagai anti-fatigue dan anti-
protein daging, peptida inhibitor ACE secara ekstensif banyak dipelajari oleh Vercruysse et
al.(2005) dan seperti yang dilaporkan oleh Arihara et al.(2001) yan g disitasi oleh Arihara (2006)
telah mengidentifikasi inhibitor peptida ACE dalam protein daging babi yang dihidrolisa dengan
kedua sekuen ini ditemukan dalam myosin rantai ringan dan kedua peptida ini menujukkan
aktivitas antihipertensi ketika diberikan secara oral pada tikus. Selanjutnya Saiga et al. (2006)
mengisolasi peptida inhibitor ACE dari ekstrak otot dada ayam dan diperoleh sekuen asam
Berdasarkan beberapa informasi di atas tentang komponen bioaktif dari protein daging
yang memiliki fun gsi fisiologis seperti peran antioksidatif dan antihipertensi, terutama
komponen turunan peptida bioaktif dari hasil hidrolisa protein yang menggunakan enzim -enzim
tertentu masih terbatas, sehingga perlu dilakukan penel usuran hasil penelitian untuk
memudahkan dalam memilih metode analisis sampel. Tujuan penyajian materi kuliah, bahan
3
diskusi kelas, acuan untuk merancang kebaruan penelitian dalam meng eksplorasi, mempelajari
dan mengetahui adanya komponen bioaktif yang memiliki multifungsi untuk memenuhi
kesehatan tubuh.
4
TINJAU AN PUSTAKA
Arihara (2006); Arihara dan Ohata (2008); Iwaniak dan Dziuba (2009) melaporkan bahwa
komponen protein daging ayam sebagai prekursor bioaktif peptida. Selanjutnya Agyei dan
Danquah (2011) melaporkan bahwa protein makanan seperti protein otot (myosin, kolagen)
dapat menjadi sumber bioaktif peptida, yang mana dari peptida ini dienkripsi tetap tidak aktif
dalam urutan protein aslinya dan untuk menjadi aktif dapat dirilis/dilepaskan oleh enzim
serta pemanfaatan proteinase dari berbagai sumber (Arihara,2006); (Arihara dan Ohata, 2008) .
Salah satu sumber proteinaseyang murah dan mudah caramemperolehnya yaitu protease dari
bakteri asam laktat (BAL), secara luas digunakan untuk memproduksi bioaktif peptida. Peptida
alami dari BAL berpotensi kesehatan, terutama aman dari racun, spektrum yang luas pada
tindakan terapi, dan kurangnya efek samping, bila dibandingkan dengan obat sintetik dan baik
Fermentasi daging telah menjadi subjek penelitian intensif selama dekade terakhir, dimana
kimia, mikrobioogis dan biokimia (Casaburi, Aristoy, Cavella, D i M onaco, Ercolini, Toldrá dan
Villani, 2007)pada konformasi molekul dari protein aslinya yang dapat memproduksi senyawa
bioaktif sebagai produk fungsional (Adebiyi, Adebiyi, Yamashita, Ogawa dan M uramoto,
produk daging fermentasi tradisional berpeluang bagi industri pengolahan daging, yang mana
sejumlah kompo nen bioaktif ditemukan pada produk daging fermentasi tradisional (Arihara,
2006; Arihara dan Ohata, 2010).Selama proses fermentasi dan penyimpanan, protein -protein
daging mengalami degradasi menjadi peptida -peptida oleh enzim -enzim endogenous (katepsin B,
5
D, H dan L) seperti yang dilaporkan oleh Arihara dan Ohata (2008; 2010). Bioaktif peptida
dilepaskan dari beberapa protein otot seperti myosin, kolagen melalui hidrolisis enzimatik (in
vitro) selama pengolahan dry cure ham, sosis fermentasi (Arihara, 2006;2006a; Arihara dan
Ohata, 2008; 2010) dan pada proses pematangan keju atau fermentasi susu (Hartman dan M iesel
2007). Beberapa faktor yang berpengaruh pada mikro -ekosistem fermentasi seperti variasi dalam
formulasi (jenis dan jumlah bahan), kondisi fermentasi atau pengeringan yang diperpanjang dan
parameter higienis yang mengarah pada keragaman mikroorganismeseperti BAL, gram -positif
katalase-positif kokki, ragi dan kapang (Paramithiotis, Drosinos, Sofos dan Nychas, 2010).Pada
suhu tinggi selama pengeringan, fermentasi, pemeraman akan meningkatkan hidrolisis enzimatis
protein dari produk-produk daging oleh protease otot dan protease mikroba yang memberikan
suatu kombinasi aktivitas dalam meningkatkan kesehatan (Arihara, 2006; Arihara dan Ohata,
2010; Udenigwe dan Aluko, 2012).Beberapa peneliti telah mempelajari dan mempublikasikan
molekuler, khususnya pada reaksi polymerase berantai, Polymerase Chain Reaction (PCR).
Teknik yang paling sering digunakan dan diandalkan dengan urutan gen 16S rRNA untuk
Produk daging fermentasi tradisional Bali disebut U rutan (menggunakan usus babi
sebagai casing), umumnya menggunakan bahan baku daging dan lemak babi dengan pelengkap
bumbu-bumbu yang dikeringkan di bawah sinar matahari selama 2 – 5 hari dan telah
diidentifikasi menggunakan analisis sekuensing 16S rDNA (A ntara, Sujaya, Yokota, Asano,
Aryantadan Tomita (2002). Hartawan (2002) juga melaporkan bahwa telah mengisolasi BAL
dari bebontot (menggunakan pembungkus, upih = pelepah bunga pinang kering) daging babi
6
tradisional Bali saat ini masih berbasis daging dan lemak babi, yang mana hanya dapat dinikm ati
oleh masyarakat tertentu, sehingga perlu dicoba dengan menggunakan daging ayam sebagai
pengganti daging babi yang dapat diterima oleh semua lapisan masyarakat.
tercantum dalam lontar “Darmacaruban”, telah lama berkembang dimasing -masing kabupaten
dengan ciri-ciri perbedaan formulasi (jenis daging, ramuan bum bu, jenis pembungk us,cara
pengeringan/fermentasi yang dikondisikan sesuai dengan lokasi produksi. Bila produk dibungkus
atau dimasukkan dalam usus hewan atau menggunakan casing sintetis, disebut “urutan” dengan
flavor spesifik yang bervariasi. Produk ini tersedia banyak di pasar-pasar tradisional maupun
swalayan. Namun di kalangan masyarakat pedesaan sering menggunakan pembungkus dari kulit
jagung atau pelepah daun pinang yang kering (upih), disertai ramuan bumbu sesuai selera,
Bebontot merupakan salah satu produk olahan daging sejenis sosis lokal Bali, dibuat dari
campuran daging dan lemak babi (rasio 3: 1 atau 5: 1) yang dipotong dengan bentuk kubus
(panjang sisi antara 1,5 cm atau 2 cm), kemudian dicampur bumbu dan sebagai pe mbungkus
(selongsong) menggunakan kelopak pelepah daun pinang kering ( upih, bahasa Bali), kedua
ujungnya diikat dengan tali dan selanjutnya dikeringkan/ proses fermentasi alami (Arihantana,
1981; Sulandra dan Jamasuta, 2000). Hartawan (2002) melaporkan bahwa variasi formula
pembuatan bebontot daging babi pada beberapa kabupaten di Bali yang dibuat secara tradisional,
dijemur langsung di bawah sinar matahari selama 96 jam menghasilkan mutu produk bebontot
yang bervariasi terhadap kandungan asam -asam organik (peningkatan dari konsentrasi tinggi ke
rendah yaitu asam propionat, asam laktat, asam asetat dan asam oksalat), dibandingkan dengan
7
bebontot tanpa penambahan starter BAL. Namun penambahan gula dan
tertinggi terhadap kesukaan aroma, citarasa dan kadar asam laktat, daripada perlakuan tanpa
penambahan gula maupun starter BAL.Putra, Ina dan N oviantari, (1999) melaporkan bahwa
dalam proses pembuatan bebontot dengan penambahan cairan pikel, dihasilkan bebontot yang
paling baik dengan kadar air 43,5%, total BAL 3,2x10 8 cfu/g dan total asam 1,11%. Putra dkk.
(1999) melaporkan bahwa penambahan glukosa sampai 10g/kg daging pada adonan “takilan
Pengeringan dapat pula dilakukan dengan menempatkan bebontot mentah tersebut di atas
tungku memasak dengan bahan bakar kayu atau digantung pada tempat tertentu, yang secara
langsung kena panas sinar matahari dan proses ini diakhiri setelah timbul aroma spesifik
bebontot (Sulandra dan Jamasuta, 2000). Selanjutnya Sulandra dan Jamasuta (2000) melaporkan
bahwa pada proses pengeringan/fermentasi bebontot dengan cara menempatkan bebontot mentah
tersebut dalam peti kayu atau kotak pemeraman yang dilengkapi dengan bola lampu listrik,
ternyata dapat mempersingkat waktu fermentasi dari 5 hari menjadi 3 hari dengan citarasa
bebontot lebih baik dan produk lebih stabil dengan total BAL lebih tinggi yaitu 4,3x10 8 cfu/g
dibandingkan dengan produk bebontot yang dikeringkan langsung dibawah sinar matahari
8
Strategi merancang produk daging fungsional
Daging mengandung banyak protein dengan nilai biologis tinggi, daging dikatagorikan
dengan ikan dan telur sebagai kelompok makanan protein dalam panduan makanan diet
(Lachance and Fisher 2005). Dengan kata lain, dalam hal nutrisi, daging merupakan sumber diet
yang sangat baik untu k asam amino esensial. Daging juga memainkan peran penting dalam
memasok makanan kita dengan m ineral dan vitamin, seperti zat besi, seng, selenium, dan
vitamin B (M ulvihill 2004; Biesalski 2005). Serta komponen nutrisi dasar ini, penelitian telah
mengungkapkan bahwa daging mengandung beberapa senyawa bioaktif, seperti asam linoleat
terkonjugasi, carnosine, dan L-carnitine (Williams 2007; Arihara dan Ohata 2008). Namun,
konsumen sering mengasosiasikan produk daging dan daging dengan citra kesehatan negatif.
Gambaran daging yang disesalkan ini terutama disebabkan oleh kandungan lemak, asam lemak
jenuh, dan kolesterol, dan asosiasinya dengan penyakit kronis, seperti penyakit kardiovaskular,
beberapa jenis kanker, dan obesitas (Chan 2004; Ovesen 2004a , 2004b; F ernández-Ginés et al
2005; Valsta et al 2005). Juga, asupan natrium klorida dari produk daging telah dikaitkan dengan
hipertensi (Ruusunen dan Puolanne 2005). Pandangan sepihak seperti itu menyangkut kita,
karena mengabaikan peran penting daging dalam peme liharaan kesehatan manusia. Selain
akumulasi bukti ilm iah, ada kebutuhan untuk memberi tahu konsumen tentang nilai gizi daging
dan produk daging yang tepat. Faktor yang paling penting untuk evaluasi makanan adalah fungsi
"utama" mereka (yaitu peran mereka dalam menyediakan nutrisi standar). Fungsi makanan
"sekunder", yang didefinisikan dalam bentuk sifat sensoris seperti rasa, rasa, penampilan, dan
tekstur, juga penting bagi konsumen dan industri makanan. Selain fungsi dasar makanan ini,
fungsi makanan "tersier" telah menarik banyak perhatian karena meningkatnya kekhawatiran
tentang kesehatan di negara maju (Heasman dan M ellentin 2001; Dentali 2002; Sloan 2008).
9
Fungsi tersier adalah peran komponen makanan dalam mencegah penyakit dengan memodulasi
sistem physiological. Contoh sifat fungsional tersier adalah aktivitas antioksidan, antihipertensi,
menekankan fungsi tersier tersebut dianggap sebagai "makanan fungsional". M eskipun telah ada
penelitian dan pengembangan makanan fungsional yang beragam pada industri susu (Chandan
2007; Chandan dan Shah 2007), sedikit perhatian telah diberikan pada produk daging fungsional
sampai saat ini. Namun, upaya telah diarahkan dalam beberapa tah un terakhir untuk meneliti
Fernández-Ginés et al., 2005; Jiménez-Colmenero 2007a, b; Arihara dan Ohata 2008). Karena
produk daging penting dalam makanan, pengembangan pro duk daging segar yang lebih sehat
akan berkontribusi terhadap kesehatan manusia. Perkembangan produk daging fungsional baru
juga dibahas.
M akanan fungsional, meskipun tidak ada definisi universal tentang "makanan fungsional,"
definisi tipikal dan sederhana adalah "makanan olahan yang memiliki manfaat pencegahan dan /
atau manfaat kesehatan selain nilai gizi mereka" (Arihara 2004). Istilah makanan fungsional
diciptakan di Jepang pada awal tahun 1980an (Arihara 2006b). Jepang juga merupakan negara
pertama yang telah merumuskan proses persetujuan peraturan khusus untuk makanan fungsional.
Pada tahun 1991, penggunaan konsep makanan untuk kesehatan tertentu (FOSHU) didirikan oleh
Kementerian Kesehatan dan Kesejahteraan Jepang. FOSHU adalah makanan yang, berdasarkan
pengetahuan tentang hubungan antara makanan atau komponen makanan dan kesehatan,
diharapkan memiliki manfaat kesehatan tertentu dan telah diberi lisensi untuk memberi label
10
bahwa memberikan kesehatan melalui konsum si makanan ini. M ayoritas produk FOSH U
Agustus 2009, 894 produk FOSHU telah disetujui di Jepang. Skala pasar FOSHU di Jepang pada
tahun 2007 adalah sekitar tujuh miliar US $. Peraturan untuk makanan fungsional belum
ditetapkan di banyak negara. Pertimbangan internasional tentang makanan fungsional dikaji oleh
Fitzpatrick (2007). Juga, sebuah buku baru-baru ini (Bagchi, 2008) menyediakan peraturan
makanan fungsional di banyak negara, termasuk Amerika Serikat, Uni Eropa, Australia, dan
Jepang.
Banyak produk daging rendah lemak atau bebas lemak telah dikembangkan di banyak
negara, dengan Amerika Serikat berada pada daftar teratas (Jiménez-Colmenero et al 2006).
Baru-baru ini, produk daging bebas gula, seperti roast ham dan sosis, telah dikembangk an di
Jepang.
oligosakarida, Lactulose, Raffinose); (Serat makanan: Dextrin yang tidak dapat dicerna, tepung
yang tidak penting, Sodium alginat, serat jagung); (Strain bakteri Lactobacillus sp.,
Tingkat kolesterol Vegetable sterol, Vegetable steroid ether, protein kedelai, Sodium alginat,
Chitosan, Katekin.
Tingkat tekanan darah Peptida Peptida Casein dodeca, Sardine peptide, tirosin isoleucyl, asam 4 -
Aminobutyric.
11
Tingkat M ineral (Ca / Fe) Paseinphospho peptida, Calcium citrate malate, Heme iron .
Kerapatan tulang Kedelai isoflavon, protein dasar susu, vitamin K2, asam poliglutamat .
Kadar gula darah, Dekstrin yang tidak dapat dicerna, Arabinose, Wheat albumin
Produk daging dengan tambahan hubungan fungsional fisiologis telah diperkenalkan di beberapa
negara. Bahan fungsional semacam itu, termasuk protein vegetable, serat (misalnya, gandum, bit
gula, kacang kedelai, apel, kacang polong), antioksidan, dan probiotik (Lactobacillus dan
Bifidobacterium), telah digunakan untuk produk daging (Jiménez -Colmenero 2007a; Fernández-
Ginés et al 2005; Jiménez-Colmenero et al 2006). Artikel penelitian tentang produk daging dan
daging dengan ramuan fungsional telah dirangkum oleh Fernández -Ginés et al. (2005). Bahan
makanan fungsional lainnya juga telah ditinjau (Playne et al 2003, Chandan dan Shah 2007;
Jackson dan Paliyath 2007). Serat makanan dan protein kedelai telah digunakan sebagai bahan
fungsional dalam produk daging FOSH U di Jepang (Arihara 2004). Sebagai contoh, produk sosis
babi mengandung dextrin yang tidak dapat dicerna, serat makanan larut dalam air yang dibuat
dari kentang, diklaim sebagai Produk daging bebas alergen "Apilight" (Nippon M eat Packers,
Inc., Jepang). Berbagai strategi yang memungkinkan untuk mengembangkan produk daging dan
daging yang lebih sehat antara lain: (1) M odifikasi Komposisi Karkas (2)M anipulasi Bahan Baku
Daging (3) Reformulasi Produk Daging Pengurangan kandungan (mis., Lemak), M odifikasi
Seperti yang dijelaskan kemudian, melalui modifikasi pakan ternak, komposisinya (misalnya,
asam linoleat terkonjugasi) dari produk hewani dapat ditingkatkan. Selain itu, karakteristik
fungsional produk daging dapat diubah dengan memperkenalkan bahan makanan yang dianggap
12
bermanfaat bagi kesehatan atau dengan menghilangkan kom ponen yang dianggap berbahaya.
Kemungkinan pendekatan untuk modifikasi fungsional pada produk daging yang disarankan oleh
(2007a). Kemungkinan pendekatan untuk modifikasi fungsional pada produk daging: kontrol dan
pengurangan (Natrium klorida, Lemak, Kolesterol, Alergen (protein nabati & telur), Amina
biogenic, M odifikasi A sam lemak (seleksi breed), n -6: n-3 PUFA (pakan biji rami). Bahan
Tambahan (seperti: M inyak sayur, M inyak ikan, Asam linoleat terkonjugasi, Protein nabati
(protein kedelai), Ekstrak alami, Vitamin C & E, M ineral (Ca, Se, Fe, M g, M n), Sterol tanaman,
Phytate, Bakteri asam laktat probiotik, Serat makanan, Oligosakarida, dan L -karnitin.
M emanfaatkan atau menekankan aktivitas fisiologis yan g berasal dari daging adalah
pendekatan yang menjanjikan untuk mengembangkan produk daging fungsional. Zat bioaktif
berbasis daging yang menarik telah dipelajari untuk sifat fisiologisnya. Zat tersebut meliputi
asam linoleat terkonjugasi (CLA), histidyl dipeptides (carnosine dan anserine), L -carnitine,
glutathione, taurine, coenzyme Q10, dan creatine. Bobot bioaktif dalam daging ini baru saja
ditinjau oleh Arihara dan Ohata (2008). Karena penelitian telah menunjukkan bahwa kondisi
pemberian makan hewan mempengaruhi kandungan CLA dan L-karnitin dalam daging
(Krajcovicova-Kudlackova et al., 2000; M ir et al., 2004), daging dan produk daging yang lebih
sehat dapat diciptakan melalui modifikasi pakan ternak. Sebagai senyawa bioaktif berbasis
13
Asam linoleat terkonjugasi
Asam linoleat konjugasi (CLA) telah menarik banyak perhatian sebagai senyawa
nutraceutical yang ditemukan dalam makanan. CLA pada awalnya ditemukan pada daging sapi
yang dimasak oleh Pariza et al. (1983). Kemudian, mereka ditemukan d alam daging dan susu
ruminansia (Gnadig et al., 2000; Watkins dan Yong 2001; Nagao dan Yanagita 2005). CLA
paling banyak terdapat pada lemak hewan ruminansia, seperti sapi dan domba, karena CLA
diubah dari asam linoleat oleh isomerase bakteri rumen. CLA yang diproduksi di rumen diangkut
ke otot dan jaringan hewan binatang. M isalnya, lemak sapi mengandung 3,1 sampai 8,5 mg CLA
per g lemak (Hasler 1988). CLA terdiri dari sekelompo k isomer posisional dan geometrik asam
oktadekadienoat. Isomer CLA yang paling umum ditemukan pada daging sapi adalah okta deka-
c9, t11- asam dienoat. Banyak perhatian telah diberikan pada isomer CLA ini karena aktivitas
anticarcinogenic nya. Cairan yang te rsedia secara komersial yang digunakan untuk banyak
penelitian biasanya merupakan campuran beberapa isomer CLA (mis., C9, t11: 41%; t10, c12:
44%; t9, t11 / t10, t12: 7%). Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa isomer t10, c12
(Gambar 24.3, bagian bawah) menunjukkan aktivitas fisiologis yang lebih kuat daripada isomer
c9, t11. Namun, kebanyakan produk hewani seperti daging sapi dan susu sapi hanya
mengandung sejumlah kecil isomer CLA t10, c12. Kandungan CLA dari produk hewani diubah
oleh beberapa faktor, seperti bangsa, umur, dan komposisi pakan (Dhiman et al., 2005).
Kandungan CLA pada produk hewani yang diberi makan rumput lebih dari tiga kali lebih besar
daripada produk dari hewan yang diberi pakan 50 % jerami dan silase dengan 50% biji-bijian.
Kandungan CLA juga dilaporkan lebih tinggi pada daging sapi dari sapi yang diberi makanan
yang mengandung minyak kedelai (Lorenzen et al 2007). Kandungan makanan CLA meningkat
dengan perlakuan panas, seperti mema sak dan pengolahan (Herzallah et al., 2005). Selain itu,
14
bakteri asam laktat meningkatkan pembentukan CLA. Pengaruh bakteri asam laktat terhadap
pembentukan CLA pada media dan produk susu fermentasi telah dipelajari (A lonso et al., 2003;
Coakley et al., 2003; Sieber et al., 2004; Xu et al., 2005). Konversi bakteri tersebut diharapkan
Studi epidemiologi telah menyarankan bahwa asupan makanan olahan susu berlemak tinggi
dan CLA dapat mengurangi risiko kanker kolorektal (Larsson et al., 2005). Selain aktivitas
latif (Azain 2003). CLA juga dapat berperan dalam mengendalikan obesitas, mengurangi risiko
asam askorbat, glutathione, asam lipoat, asam urat, sperma, carnosine, dan anserine, telah
ditemukan pada otot rangka (Decker et al., 2000). Kedua carnosine (β -alanyl-L-histidine) dan
dan merupakan antioxidan yang paling banyak ditemukan pada daging. K onsumsi makanan kaya
antioksidan mencegah keru sakan oksidatif dalam tubuh kita (Lindsay 2000). Tindakan ini
dilakukan untuk menetralkan dan mengurangi pelepasan radikal bebas oleh antioksidan
(Langseth 2000). Aktivitas antioksidan carnosine dan anserine dapat dihasilkan dari kemampuan
mereka untuk mengkelat logam transisi seperti tembaga (Brown 1981). Konsentrasi carnosine
dan anserine bervariasi tergantung pada spesies hewan dan bagian dagingnya. Konsentrasi
carnosine pada daging berkisar antara 500 mg / kg paha ayam sampai 2.700 mg / kg pada bahu
(mis., 980 mg / kg pada otot rangka). Gambar 24.4. Struktur carnosine (kiri) dan anserine
(kanan). Peptida ini telah dilaporkan berperan dalam penyembuhan luka, pemulihan dari
15
kelelahan, dan pencegahan penyakit yang berkaitan dengan stres oksidatif. Karena anserine lebih
resisten terhadap pencernaan daripada carnosine, fungsi fisiologikal anserine akan lebih efektif
daripada carnosine dalam tubuh manusia. Untuk alasan ini, bahan makanan fungsional dengan
konsentrasi tinggi anserine (sekitar 98%) yang dimurnikan dari ekstrak ikan telah dikembangkan
menentukan konsentrasinya dalam plasma manusia setelah konsumsi daging sapi. Selain itu,
meningkatkan perhatian pada senyawa bioaktif berbasis daging ini telah menghasilkan
pengembangan prosedur kepekaan baru untuk menentukan kadar ini (M ora et al 2007).
Bioaktif peptida yang dihasilkan dari protein makanan seperti carnosine dan anserine
merupakan peptida bioaktif yang menarik dalam daging seperti dijelaskan di atas. Selain peptida
ini, peptida yang diturunkan dari protein daging adalah kelom pok k omponen bioakatif daging
lainnya (Arihara 2006a; Arihara dan Ohata 2008). Telah dilaporkan bahwa banyak peptida
bioaktif berasal dari protein makanan, seperti protein susu, kedelai, ikan, dan daging (Korhonen
dan Pihlanto 2003, 2007; Pihlanto dan Korhonen 2003; M ine and Shahidi 2005; Gobbetti et al.
2007 ). Bioaktifitas representatif dari peptida tersebut dirangkum dalam Tabel 24.4. Dari peptida
bioaktif tersebut, peptide penghambat angiotensin I-converting enzyme (ACE) telah dipelajari
secara ekstensif (Vermeirssen et al., 2004; M eisel et al., 2005). Karena beberapa dari peptida ini
memiliki efek antihipertensi dengan pemberian oral, obat ini telah digunakan untuk obat-obatan
dan makanan fungsional (Arihara 2004, 2006a). Tabel 24.4. Fungsi representatif peptida
bioakatif berasal dari protein makanan Sistem tubuh (kardiovaskular): peptida bioaktif
16
tubuh (pencernaan); bioaktif peptide (antimikroba, pengikatan mineral, prebiotik). Imun:
Sebagian besar protein makanan, termasuk protein daging, mengandung urutan bioaktif.
Namun, urutan bioaktif tersebut tidak aktif dalam protein induknya. Peptida dengan bioaktivitas
masing-masing dihasilkan dari protein asli oleh pencernaan proteolitik. Proses pencernaan
protein untuk pembuatan peptida dari protein daging meliputi penggalian gastrointestinal,
penuaan, fermentasi, dan pengolahan protease. Protein daging diserang oleh enzim proteolitik
(mis., Pepsin, tripsin, chymotripsin, elastase, dan carboxypeptidase) selama pen cernaan
gastrointestinal (Pihlanto dan K orhonen 2003). M eskipun belum ada bukti nyata bahwa peptida
bioaktif dihasilkan dari protein daging di saluran pencernaan manusia, generasinya telah
gastrointestinal menghasilkan ACE protein daging babi (myosin, actin, tropomyosin, dan
troponin) dengan perlakuan protease pankreas (Katayama et al., 2003a). Karena daging
mengandung berbagai protease endogen otot, protein daging dihidrolisis oleh enzim ini selama
penuaan (Etherington 1984; Koohmaraie 1994; Toldrá 2007). Dengan demikian, kandungan
asam amino dan peptida meningkat pada daging yg diperam (Nishimura et al 1988; M ikami et al
perbaikan sifat sensorik, belum ada laporan tentang pembuatan peptida bioaktif pada daging
selama penuaan atau penyimpanan. Studi diharapkan untuk mengungkapkan makna novel
17
selama fermentasi dan pemasakan sosis kering. Kedua enzim endogen dan enzim proteolitik
mikroorganisme terlibat dalam fermentasi produk daging dan berkontribusi pada pengembangan
sifat sensorik produk daging ferm entasi (Hierro et al, 1999; Hammes et al., 2003; Toldrá 2004).
Aktivitas penghambatan ACE dan antihipertensi dihasilkan dari protein otot rangka porcine oleh
bakteri asam laktat (Arihara et al., 2004). Karena peptida kecil telah diidentifikasi dalam ham yg
dikyiuring kering (Sentandreu et al., 2003), beberapa peptida semacam itu yang dihasilkan dari
protein daging dapat memiliki bioaktivitas. Selain itu, Sentandreu dan Toldrá (2007a, b)
mengemukakan bahwa tindakan proteolitik dipeptidyl peptidase otot babi selama periode
pematangan ham kering dapat memberi kontribusi pada membuat turunan peptida penghambat
ACE. Prosedur yang paling umum untuk memproduksi peptida bioaktif pada skala industri
adalah perlakuan enzimatik. Berbagai protease yang tersedia secara k omersil telah digunakan
untuk produksi peptida dari protein makanan (Pihlanto dan Korhonen 2003). Selain itu, banyak
peptida bioaktif telah disiapkan secara eksperimental dengan menggunakan protease komersial
(Korhonen dan Pihlanto 2003, 2007). Proteolitik enzim telah digunakan untuk tenderisasi daging
dalam industri daging (Dransfield dan Etherington 1981). M eskipun peptida memiliki
bioaktifitas dapat diproduksi pada daging yang di perlakukan dengan pengempukan enzimatis,
upaya belum diarahkan pada penelitian semacam itu. Karena efek protease komersial pada
pemecahan protein daging dan sifat sensoris sosis fermentasi telah ditunjukkan (Bruna et al.,
2000), perlakuan semacam itu dapat digunakan untuk mengembangkan produk daging
fungsional yang mengandung peptida bioaktif. Hidrolisat protein daging (peptida) juga bisa
18
Peptida Bioaktif Protein Daging
M eskipun banyak peptida bioaktif telah diisolasi dari berbagai protein makana n seperti
dijelaskan di atas, informasi tentang peptida yang berasal dari daging masih terbatas. Sedangkan
untuk protein makanan lainnya, peptida inhibitor ACE telah dipelajari secara luas di antara
peptida bioaktif yang berasal dari protein daging (Vercru ysse et al., 2005; Arihara dan Ohata
2006a, 2008). Beberapa peptida penghambat ACE yang dihasilkan dari protein daging
spontan dengan baik (Arihara et al 2005a; F ujita et al., 2000; Nakashima et al., 2002). Sebagai
contoh, dua peptida penghambat ACE (M et-A sn-Pro-Pro dan Ile-Thr-Thr-Asn -Pro) yang
ditemukan dalam urutan rantai berat myosin menunjukkan aktivitas antihipertensi (Nakashima et
al., 2002). Beberapa peptida antioksidan telah diidentifikasi dalam enzimatis hidrolisat protein
daging (Saiga et al., 2003b; Arihara et al., 2005b). Hidrolisat dari protein myofi -brillar babi yang
dihasilkan oleh papain atau aktin-ase E menunjukkan tingkat antioksidan yang tinggi. aktivitas
(Saiga et al 2003b). Asp-Ala-G ln-G lu-Lys-Leu-G lu, yang ditemukan dalam urutan aktin,
menunjukkan tingkat aktivitas tertinggi di antara lima peptida yang diidentifikasi. Dalam studi
lain, tiga peptida antioksidan (Asp-Leu-Tyr-A la, Ser-Leu-Tyr-Ala, dan Val-Trp) diisolasi dari
hidrolisat enzimatik otot rangka porcine (Arihara et al., 2005b). Peptida ini memiliki efek
antifatigue saat diberikan secara oral pada tikus dalam percobaan menggunakan treadmill. Selain
peptida bioaktif yang dijelaskan di ata s, peptida prebiotik (Arihara et al. 2006) dan
hipokolesterolemia (M orimatsu et al. 1996) telah dipelajari. Terlepas dari bioaktivitas, pep tida
yang berasal dari protein daging juga berkontribusi pada sifat organoleptik daging (Nishimura
dan Kato 1988; Nishimura et al 1988). Peptida yang dihasilkan dari protein daging memiliki
potensi untuk menghasilkan bahan fungsional baru dengan sifat organoleptik yang baik.
19
Peptida bioaktif berasal dari protein daging dan protein yang berhubungan dengan daging
Sumber Bioaktif Protein Sequencea Referensi Antihipertensi (otot ayam ACE IKW Fujita et al.,
2000 penghambatan) Otak otot kreatin kinase LKA Fujita et al., 2000 O tot ayam aldolase LKP
Fujita dkk., 2 000 Otot ayam LAP Fujita et al., 2000 Tokoh otot porselen VWI Arihara dkk.,
2005a Porcine myosin ITTNP Nakashima et al., 2002 Porcine myosin M NPPK Nakashima et al.,
2002 O tot ayam myosin FQKPKR Fujita et al., 2000 Otot bovine VLAQYK Jang & Lee, 2005
Otak ayam kreatin kinase FKGRY YP Fujita et al., 2000 Babi fermentasi myosin VFPM NPPK
Arihara et al., 2004 Otot otot ayam IVGRPRHQG Fujita et al., 2000 Porcine muscle troponin C
RM LGQTPTK Katayama et al., 2003b; 2004 Kolagen otot ayam GFXGTXG LXGF Saiga et al.,
2003a Antioksidan Porcine muscle VW Arihara dkk., 2005b Otot tulang belakang DLY A
Arihara dkk., 2005b Otot servikal SLYA Arihara dkk., 2005b Porcine muscle actin DLQEK LE
Saiga et al., 2003b Virus hemoglobin darah babi Opioid VVYPWTQRF Zhao, et al., 1997
Bovine blood hemoglobin LVV YPWTQRF Zhao, et al., 1997 Rasa gurih yang meningkatkan
rasa Sapi diperlakukan dengan papain KG DEESLA Hau, et al., 1997 Sourness -suppressing
Daging babi panggang APPPPAEVHEV Okumura et al., 2004 Kode asam amino satu huruf
digunakan.
Peptida bioaktif yang dihasilkan dari protein makanan, seperti protein susu dan kedelai, telah
digunakan untuk bahan fungsional. Sebagai contoh, beberapa produk makanan yang
mengandung peptida penghambat AC E telah dipasarkan untuk obat hipertensi (Arihara 200 6b).
M eskipun peptida bioaktif belum digunakan dalam industri daging, peptida semacam itu adalah
kandidat prom untuk bahan makanan daging fungsional. Juga, peptida bioaktif yang berasal dari
20
Perkembangan Produk Daging Prob iotik
merupakan arah yang menarik. Dalam industri susu, produk susu fermentasi tradisional telah
dilarang dan terlahir kembali sebagai makanan fungsional (Farnw orth 2003). Baru -baru ini,
kering segar yang dapat meminimalkan fitur negatif dari daging. Untuk memproduksi sosis
fermentasi kering tersebut, mereka menyebutkan hal-hal berikut: (1) modifikasi kandungan
mineral, (2) modifikasi lemak, (3) penggabungan serat ke dalam formulasi, dan pemanfaatan
bakteri probiotik. Bagian ini berfokus pada pemanfaatan bakteri probiotik un tuk pengembangan
produk daging fungsional. Seiring dengan probiotik, prebiotik dan sinbiotik akan dibahas di sini.
Probiotik
Probiotik didefinisikan sebagai "mikroorganisme hidup , jika diberikan dalam jum lah yang
memadai (sebagai bagian dari makanan), m emberi manfaat kesehatan pada tuan rumah" (Stanton
et al., 2003). Dengan demikian, makanan probiotik dianggap fungsional, jika terbukti secara
memuaskan mempengaruhi target fungsi fisiologis di tubuh kita, di luar efek nutrisi yang
memadai, dengan cara yang sesuai dengan keadaan kesehatan dan kesejahteraan yang membaik
atau pengurangannya dari risiko penyakit. Bakteri probiotik, terutama Lactobacillus dan
Bifidobacterium intestinal, menunjukkan berbagai fungsi fisiologis, seperti modulasi flora usus,
pencegahan diare, peningkatan konstipasi, aktivitas enzim fa ecal rendah, menurunkan kadar
kolesterol darah, modulasi respon imun, pencegahan alergi makanan., pencegahan kanker, dan
adjuvan dalam pengobatan Helicobacter pylori (Stanton et al 2003; Agrawal 2005). Sifat yang
diinginkan dari strain probiotik (Brassart dan Schiffrin 2000) adalah: asal manusia , ketahanan
terhadap toksisitas asam dan empedu, kepatuhan terhadap sel-sel usus manusia, kolonisasi usus
21
manusia, antagonisme melawan bakteri pathogen, produksi zat antim ikroba, sifat memodulasi
M eskipun konsep probiotik belum dikenal dengan baik dalam industri daging, kemungkinan
produk daging probiotik telah dibahas dalam beberapa tahun terakhir (Hammes et al 2003;
Työppönen et al., 2003; Arihara 2004, 2006b; Kröckel 2006; Ammor dan M ayo 2007; A nsorena
dan Astiasarán 2007; Cocconcelli dan Fontana 2008; De Vuyst et al 2008.; Leroy et al 2008.
2008). M enargetkan produk daging dengan bakteri probiotik terutama sosis kering, karena
diproses tanpa perlakuan panas. M eski pasar produk daging probiotik m asih sangat terbatas,
beberapa produk daging probiotik telah dipasarkan di Jerman dan Jepang (Arihara 2006b). Pada
tahun 1998, produsen Jerman mengembangkan produk salami yang mengandung bakteri
(Lactobacillus casei, Lactobacillus casei, Bifidobacterium spp.). Pada tahun yang sama, produsen
Jepang juga meluncurkan produk daging (yang difermentasi dengan lactobacillus usus L.
rhamnosus FERM P-15120). L. rhamno-sus FERM P-15120 telah disekrining dari koleksi
lactobacillus usus manusia (Sameshima et al 1998) . Arihara dkk. (1998) telah menunjukkan
bahwa L. gasseri JCM 1131 berlaku untuk fermentasi daging sebagai strain probiotik potensial.
Erkkiläet al. (2000, 2001a, b) menguji penerapan strain probiotik L. rhamnosus GG, LC -705 dan
VTT-97800 untuk sosis kering terfermentasi. M ereka menemukan strain itu dan E -97800 cocok
digunakan sebagai biakan starter probiotik dalam fermentasi sosis kering. Selanjutnya, beberapa
penelitian menunjukkan kemungkinan penggunaan strain probiotik bakteri asam laktat dan
bifidobakteri untuk produk daging (Leroy et al 2006; Pennacchia et al., 2004, 2006; Klingberg et
al., 2005; Klingberg and Budde 2006; Rebucci et al 2007; Ruiz -M oyano dkk. 2008). Produk
22
Packers, Ltd., Jepang). M uthukumarasamy dan Holly (2006, 2007) mempelajari efektivitas
teknik mikroenkapsulasi untuk melindungi bakteri prob iotik selama pengolahan sosis. Sebagian
besar penelitian tentang pemanfaatan strain probiotik untuk fermentas i daging telah berfokus
pada pertumbuhan bakteri dalam daging dan pengaruhnya terhadap sifat sensorik dan inaktivasi
bakteri patogen. Bunte et al. (2000) dan Jahreis dkk. (2002) melakukan penelitian tentang
pemanfaatan laktobacilli probiotik untuk jenis so sis yang lembab. Studi mereka menggunakan
sukarelawan yang sehat menunjukkan bahwa konsumsi produk tersebut yang difermentasi
dengan strain probiotik L. paracasei LTH2579 memiliki beberapa efek fisiologis yang
menguntungkan.Sel CD4 T meningkat dan indeks fagositosis meningkat pula setelah konsumsi
produk. Penilaian lebih lanjut mengenai hubungan antara konsumsi produk daging dengan
bakteri probiotik dan kesehatan manusia dibutuhkan dari berbagai sudut pandang.
Selain probiotik, banyak perhatian telah diberikan pada prebiotik pada industri makanan.
Prebiotik pada awalnya didefinisikan sebagai "bahan makanan yang tidak mudah dicerna yang
menguntungkan hospes dengan cara mempengaruhi selektifitas stimulasi pertum buhan dan /
atau aktivitas satu atau sejumlah bakteri di usus besar dan dengan demikian meningkatkan
kesehatan host" (Gibson dan Roberfroid 1995 ). Kemudian, definisi ini diperbarui sebagai
"bahan fermentasi selektif yang memungkinkan perubahan spesifik, b aik dalam komposisi dan /
atau aktivitas dalam mikroflora gastrointestinal yang memberi manfaat" (Gibson et al., 2004).
Sebagai zat prebiotik yang representatif, oligosakarida dan serat makanan telah digunakan untuk
meningkatkan pertum buhan bakteri probiotik (Holzapfel dan Schillinger 2002; Tanaka dan Sako
2003; Roberfroid 2008). Selain oligosacharides dan serat makanan, kehadiran peptida prebiotik
telah dilaporkan (Liepke et al 2002; Arihara 2006a). Arihara dkk. (2006) menemukan bahwa
23
hidrolisat protein otot rangka babi meningkatkan pertumbuhan strain Bifidobacterium. Salah satu
Perubahan mikroflora usus setelah mengkonsumsi prebiotik memiliki dampak efektif terhadap
status kesehatan (Tanaka dan Sako 2003): penindasan bakteri berbahaya ; pengurangan zat-zat
yang bersifat peka ; pengurangan zat karsinogenik; stimulasi buang air besar; optimalisasi respon
imun; peningkatan penyerapan mineral; aktivasi colonocytes; pengasaman isi caecal dan fecal;
peningkatan metabolisme lipid. Atribut yang diinginkan dari prebiotik yang ditingkatkan secara
fungsional yang telah terdaftar oleh Rastall (2000) adalah: (1) menargetkan probiotik spesifik
(Lactobacillus dan / atau Bifidobacterium), (2) aktif pada dosis rendah tanpa efek samping, (3)
kegigihan melalui usus besar, (4) proteksi terhadap kanker usus besar, (5) peningkatan efek
penghalang terhadap patogen, dan (6) penghambatan adhesi patogen. Gibson dan Roberfroid
(1995) juga mengemukakan konsep synbiotics pada mikroflora usus: penghambatan patogen,
modulasi kekebalan, penyerapan mineral, dll., yang merupakan campuran antara probiotik
Synbiotics adalah makanan yang mengandung bakteri probiotik dan zat prebiotik untuk memberi
meningkatkan bakteri probiotik yang terbentuk di usus dan memberikan manfaat kesehatan
(Ziemer dan Gibson 1998). Seiring dengan probiotik, konsep prebiotik dan sinbiotik diharapkan
24
KESIMPULAN
Peningkatan perhatian telah diberikan pada fungsi fisiologis daging dan produk daging
tradisional dalam beberapa tahun terakhir (Jiménez -Colmenero et al 2001, 2006; Arihara 2004,
2006a, b; Fernández-G inés et al., 2005; Jiménez-Colmenero 2007a , b; Arihara dan Ohata 2008).
Daging dan produk daging penting dalam makanan di sebagian besar negara maju, karena daging
dan produk daging yang lebih sehat akan berkontribusi untuk kesehatan manusia. M eskipun
pengembangan produk daging fungsional baru masih terbatas, informasi ilmiah untuk merancang
produk daging fungsional telah terakumulasi, dan secara teknis memungkinkan menghasilkan
berbagai produk daging. Pemanfaatan suplemen bioaktif berbasis daging, termasuk peptida
bioaktif, adalah pendekatan yang mungkin untuk pengembangan produk tersebut. Selain itu,
probiotik dan prebiotics merupakan bahan makanan yang menjanjikan untuk produk daging
fungsional dari daging fermentasi. Produk daging baru tersebut akan membuka pasar baru dalam
industri daging.
25
DAFTAR PUSTAKA
Adebiyi, A.P.; Adebiyi, A.O.; Yamashita, J., Ogawa, T., and M uramoto, K., 2008.Purification
Garlic and Salt on Rancidity in Dry Sausages, Meat Sci. 54: 77 – 81.
Arihantana, M .B., 1981. Production and Stability of Bebontot.M .App.Sc Thesis Department of
Arihara, K., 2006. Strategies for Designing Novel Functional M eat Pro ducts, Meat Sci.,74: 219 -
229.
Arihara, K., 2006a. Functional Properties of Bioactive Peptides Derived From M eat Proteins.
Chapter 10.In Advanced Technologies for Meat Processing. Boca Raton, Fla: CRC
Press, pp.245-273.
Arihara, K., and Ohata, M ., 2008. Bioactive compounds in meat. In F. Toldrá (Ed.) M eat
Arihara, K. and Ohata,M . 2010. Functional M eat Products.Chapter 24. In Handbookof Meat
Ansorena, D., and I. Astiasaran., 2007. Functional M eat Products.Chapter 24.In Handbook of
Fermented Meat and Poultry. Hoboken, N.J.: Wiley-Blackwell. pp. 257 - 266.
Antara, N.S.; I.N. Sujaya; A. Yokota; K. Asano; W.R. Aryanta and F. Tomita, 2002.
26
a Balinese Indigenous Fermented Sausage, World J. Microbiol., and Biotechnol.,18:
255-262.
Dziuba J. and Iwaniak A., 2006. Database of protein and bioactive peptide sequences. In:
Nutraceutical proteins and peptides in health and disease. Eds Y. M ine, F. Shahidi. CRC
Dziuba, J.; M inkiewicz, P., and Plitnik, K., 1996.Chicken M eat Protein AsPotential Precursors of
Erdman, K., Cheung, B.W.Y. and Schro¨der, H.2008. The Possible Roles of Food -derived
654.
R43.
Hartawan, M . 2002. Identifikasi Bakteri Asam Laktat, Perubahan Mikrobiologis dan Biokim ia wi
Hartmann, R., and M iesel, H., 2007. Food-derived Peptides w ith Biological Activity: From
Iwaniak A. and Bartlomiej Dziuba, 2009.M otif with potential physiological activity in food
Okarini, I. A., 2010. Functional of lactic acid bacteria on broiler breast meat.International
27
the 21 st Century, Faculty of Animal Husbandry, U niversity of Brawijaya, M alang, 23 –
25 M arch 2010.
Sulandra, I.K., dan I.G.P. Jamasuta., 2000. M empelajari karakteristik bebontot yang diberikan
berbagai perlakuan pada akhir proses, M akalah dipresentasikan pada Seminar Nasional
Toldrá, F., 2004. M eat: Fermented Meats. In: JS Smith,Y.H. Hui, eds. Food Processing.
Udenigwe, C.C., and Aluko, R.E., 2012. Food Protein-derived Bioactive Peptides: Production,
28