Anda di halaman 1dari 23

MAKALAH

ASBABUN NUZUL, MUNASABAH,

DAN SIYAQ

Dosen Pengampu :

Galih Prayogo, S.Ag.,M.Pd

Disusun Oleh :

Zakie MS. Wijaya (2022101022)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA

ISLAM SEKOLAH TINGGI ILMU TARBIYAH

DARUL HUDA MUARADUA

2023/2024
KATA PENGANTAR

Bersyukur pada Allah SWT yang telah mencurahkan iman, islam dan ilmu pada penulis
buku ini “Praktik Observasi Sekolah”. Sholawat beserta salam tercurah pada junjungan Nabi
besar Muhammad SAW yang telah membimbing penulis. Buku ini merupakan hasil dari
kajian literatur diperuntukkan bagi para pembaca untuk menambah wawasan tentang
bagaimana menyusun sebuah instrumen untuk melengkapi data penelitian di berbagai bidang.

Penyusunan buku ini ada berbagai pihak membantu baik berupa material maupun moral.
Terima kasih pada segenap yang berkontribusi dalam penulisan makalah ini. Harapannya
makalah ini ada manfaatnya bagi semua pembaca. Sarana yang sifatnya membangun sangat
diperlukan untuk kesempurnaan buku ini.

Muaradua,24 Oktober 2023

Penyusun

I
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.........................................................................................I

DAFTAR ISI.......................................................................................................II

BAB I PENDAHULUAN....................................................................................1

A. Latar Belakang............................................................................................1
B. Rumusan Masalah…..................................................................................2

BAB II PEMBAHASAN.....................................................................................3

A. Asbabun Nuzul...........................................................................................3
B. Munasabah..................................................................................................7
C. Siyaq.........................................................................................................12

BAB III PENUTUP...........................................................................................18

A. Kesimpulan...............................................................................................18

DAFTAR PUSTAKA........................................................................................20

I
BAB I

PENDAHULUA

A. Latar Belakang
Dua puluh tahun dua bulan dua puluh dua hari lamanya ayat-ayat Al-Quran
silih berganti turun, dan selama itu pula Nabi Muhammad SAW. dan para sahabatnya
tekun mengajarkan Al-Quran dan membimbing ummatnya. Sehingga pada akhirnya
mereka berhasil membangun masyarakat yang di dalamnya terpadu ilmu dan iman,
nur
dan hidayah, keadilan dan kemakmuran di bawah lindungan ridha dan ampunan Ilahi.
Boleh jadi kita pernah mempertanyakan, “Mengapa dua puluh tahun lebih baru selesai
dan berhasil?” Boleh jadi jawabannya dapat kita simak dalam temuan guru besar dari
Harvard University di atas.
Meskipun Al-Quran merupakan satu kesatuan paket yang ayat-ayatnya tak
dapat pisahkan satu sama lain, namun proses turunnya wahyu yang memakan waktu
dua puluh tahun lebih tersebut menunjukkan adanya hubungan yang sangat erat antara
Al-Quran dan realitas kehidupan (yaitu; antara teks, penerima pertama yaitu Nabi
SAW. dan objek realitas) dan tidak dapat disepelekan terlebih diabaikan begitu saja.
Hubungan erat yang dimaksud tersebut dalam istilah Qasim Mathar, dalam beberapa
forum, digambarkan bahwa wahyu yang diturunkan oleh Tuhan tersebut bukan
bertujuan untuk menghapus budaya yang ada, tetapi ia datang untuk
mempersuntingnya, lalu mendudukkannya pada posisi yang lebih terhormat dari
keadaan sebelumnya.
Karena hubungan kuat tersebut, mengabaikan salah satu di antaranya berarti
sama halnya membuka peluang yang besar untuk berbuat kesalahan dalam memahami
dan menemukan makna kandungan Al-Quran. Olehnya itu, pengetahuan di seputar
teks
dan realitas yang menjadi bagian yang tak terpisahkan dari Al-Quran sangatlah
penting.

1
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian dari asbabun nuzul.?
2. Apa pengertian dari munasabah.?
3. Apa pengertian dari siyaq.?

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Asbabun Nuzul
a. Pengertian Asbabun Nuzul
Asbabun nuzul adalah idhafah yang terdiri dari kata asbab jamak dari kata
sabab (sebab, alasan atau „illat) dan nuzul bermakna al-su‟ud (turun).
Sehingga
asbabun nuzul secara literal bermakna sebab turunnya satu atau beberapa ayat
Al-Quran.
Muhammad Abdul Halim al- Zarqani, asbabun nuzul adalah suatu kejadian
yang menyebabkan turunnya satu atau beberapa ayat, atau suatu peristiwa
yang dapat dijadikan petunjuk hukum berkenaan dengan turunnya suatu
ayat.Manna‟ al-Qaththan, asbabun nuzul adalah suatu yang karenanya
Al- Quran diturunkan, sebagai penjelas terhadap apa yang terjadi, baik berupa
peristiwa maupun pertanyaan.
Shubhi Shalih, asbabun nuzul adalah sesuatu yang menjadi sebab turunnya
suatu ayat atau beberapa ayat, atau suatu pertanyaan yang menjadi sebab
turunnya ayat sebagai jawaban, atau sebagai penjelasan terjadinya suatu
peristiwa.
Dari defenisi di atas, maka dapat dipahami bahwa keadaan yang menjadi
sebab turunnya suatu ayat adakalanya berbentuk sebagai berikut:
1.) Sikap permusuhan.
2.) Terjadinya kekeliruan akibat perbuatan suatu dosa. Misalnya QS. Al-Nisa‟
43.

3
Terjemahan :
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam
keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, (jangan
pula hampiri mesjid) sedang kamu dalam keadaan junub, terkecuali sekedar
berlalu saja, hingga kamu mandi. dan jika kamu sakit atau sedang dalam
musafir atau datang dari tempat buang air atau kamu Telah menyentuh
perempuan, Kemudian kamu tidak mendapat air, Maka bertayamumlah kamu
dengan tanah yang baik (suci); sapulah mukamu dan tanganmu. Sesungguhnya
Allah Maha Pema'af lagi Maha Pengampun.” (QS. Al-Nisa‟: 43)

Dalam suatu riwayat disebutkan bahwa Abdurrahman bin Auf mengundang


makan Ali dan kawan-kawannya. Kemudian dihidangkan minuman khamar,
sehingga terganggulah otak mereka. Ketika tiba waktu shalat, orang-orang
menyuruh Ali untuk menjadi imam, dan pada waktu itu beliau membaca
dengan
keliru: “Qul ya ayyuha al-kafirun, la a‟budu ma ta‟budun, wa nahnu na‟budu ma
ta‟budun.” Maka turunlah ayat di atas sebagai larangan untuk shalat di waktu
mabuk.
3.) Pertanyaan tentang suatu peristiwa yang terjadi pada masa lampau, yang
sedang terjadi dan yang akan datang. Misalnya QS. Al-Kahfi: 83, al-Nazi‟at:
42 al-Isra‟: 45. Di samping itu, terdapat pula ayat-ayat yang diturunkan oleh
Allah SWT. Untuk menjawab pertanyaan yang masih akan diajukan kepada
Rasul SAW., tetapi belum dipertanyakan. Misalnya QS. Thaha: 105.
Sehingga dalam wilayah keadaan tersebut, maka ketika menelaah dan
menganalisis sebab turunnya suatu ayat; kasus atau peristiwa, pelaku
peristiwa, tempat peristiwa dan adanya waktu peristiwa adalah sesuatu yang
tak bisa luput dan lepas dari perhatian. Namun yang perlu diingat, meski
menempati posisi yang sangat urgen, hubungan antara teks dan realitas dalam
kajian asbabun nuzul di sini bukanlah dimaksudkan sebagai hubungan sebab-
akibat (kausalitas).

4
Hal ini tercermin dalam pendapat al-Zarqani yang mengelompokkkan asbabun
nuzul ke dalam dua bagian,
yaitu:
1.) Ayat yang diturunkan tanpa ada peristiwa yang terjadi, ibtida‟i. Ketika
diturunkan
oleh Allah, ia semata-mata merupakan bentuk petunjuk bagi manusia.
Misalnya
QS. Al-„Alaq: 1-5, al-Fatihah dll.
2.) Ayat yang diturunkan berkaitan dengan sebab khusus atau peristiwa
tertentu, nuzul
bi sabab. Misalnya; QS. Al-Nisa‟ (wanita), al-Anfal (perang), al-Thalaq (talak)
dll.
b. Cara Mengetahui Asbabun Nuzul
Membincang di seputar asbabun nuzul berarti berusaha memahami keadaan
yang sebenarnya menyangkut peristiwa yang meliputi ayat al-Quran ketika
diturunkan kepada Nabi SAW. Sehingga untuk memahaminya, tidak ada jalan
lain kecuali menelaahnya secara historis lewat pendekatan riwayat yang
sampai di hadapan kita, yang tersebar luas dalam berbagai kitab hasil karya
para ulama. Melalui periwayatan dari para sahabat yang menyaksikan
langsung peristiwa yang berhubungan dengan ayat-ayat tertentu atau para ahli
yang telah melakukan penelitian secara cermat dari kalangan tabiin dan para
ulama yang dapat dipercaya.
Ketika dalam melakukan pencarian dan penelitian terhadap riwayat
asbabun nuzul suatu ayat, kita terkadang akan diperhadapkan pada beberapa
riwayat yang beragam, baik dari aspek kualitas sanad dan matan. Tidak semua
riwayat asbabun nuzul itu sanadnya sampai dari Nabi SAW. dan shahih,
melainkan juga mursal dan dha‟if. Sehingga bila menjumpai hal
yang demikian, maka terdapat langkah-langkah penyelesaian yang dapat kita
tempuh menyangkut perbedaan riwayat yang beragam tersebut, yaitu:

5
1.) Apabila terdiri dari riwayat yang tegas dan tidak tegas, maka yang diambi
adalah riwayat yang tegas.
2.) Apabila terdiri dari riwayat yang shahih dan dha‟if, maka riwayat shahih
yang dipilih.
3.) Apabila terdiri dari riwayat yang sama-sama kualitas keshahihannya, maka
harus dilakukan penelitian lebih lanjut.
4.) Apabila terdiri dari riwayat yang sama-sama kualitas keshahihannya dan
memiliki jarak waktu yang berdekatan, maka para mufassir menyatakan
bahwa keduanya adalah sebab turunnya ayat itu, karena keduanya
memungkinan untuk
dikompromikan.
5.) Apabila terdiri dari riwayat yang sama-sama kualitas keshahihannya dan
namun memiliki jarak waktu yang berjauhan sehingga tidak dapat
dikompromikan, maka para mufassir berpendapat bahwa ayat tersebut turun
dua kali.
c. Manfaat Mengetahui Asbabun Nuzul
Pengetahuan tentang asbabun nuzul mempunyai banyak manfaat di
antaranya mampu mengantarkan seorang mufassir pada pemahaman yang
benar dengan memahamai kandungan teks dan keadaan yang menyertai
peristiwa yang terjadi ketika Al-Quran diturunkan. Namun manfaat yang
terpenting di antaranya adalah:
1.) Mengetahui hikmah pemberlakuan suatu hukum.
2.) Memberi batasan hukum yang diturunkan dengan sebab yang terjadi, bila
hukum tersebut dinyatakan dalam bentuk umum.
3.) Apabila lafazh yang diturunkan bersifat umum dan ada dalil yang
menunjukkan pengkhususannya, maka adanya asbabun nuzul akan membatasi
takhshish itu hanya terhadap yang selain bentuk sebab.
4.) Mengetahui sebab turunnya ayat adalah cara terbaik untuk memahami Al-
Quran dan menyingkap kesamaran yang tersembunyi dalam ayat-ayat yang
tidak dapat ditafsirkan tanpa pengetahuan sebab turunnya.

6
5.) Sebab turunnya ayat dapat menerangkan tentang kepada siapa ayat itu
diturunkan sehingga ayat tersebut tidak diterapkan kepada orang lain karena
dorongan permusuhan dan perselisihan.

B. Munasabah
a. Pengertian Munasabah
Munasabah secara etimologi, menurut as-suyuthi berarti al musyakalah
(keserupaan) dan al- muqorobah (kedekatan). Istilah munasabah digunakan dalam
„illat dalam bab qiyas, dan berati al-wasf al-mmukarrib li al-hukm (gambaran yang
berhubungan dengan hukum). Istilah munasabah diungkapkan pula dengan kata rabth
(pertalian). Menurut pengertian terminology munasabah dapat di definisikan sebagai
berikut : Menurut az-zarkasi: Munasabah adalah suatu hal yang dapat dipahami.
Tatkala dihadapkan terhadap akal, pasti akal itu akan menerimanya. Menurut
mana‟ al-qatan: Munasabah adalah sisi keterikatan antara beberapa ungkapan d idalam
satu ayat, atau antara ayat pada beberapa ayat, atau antara surat (di dalam al-
qur‟an) Menurut Ibnu Al-Arabi: Munasabah adalah keterikatan ayat-ayat al-qur‟an
sehingga seolah-olah merupakan satu ungkapan yang mempunyai kesatuan makna
dan keteraturan redaksi. Munasabah merupakan ilmu yang sangat agung. Menurut Al-
Biqa‟i: Munasabah adalah suatu ilmu yang mencoba mengetahui alasan-
alasan dibaliik susunan atau urutan bagian-bagian al-qur‟an, baik ayat dengan
ayat, atau surat dengan surat. Jadi dalam konteks ulum al-qur‟an, munasabah berarti
menjelaska nkorelasi makna antara ayat atau antar surat, baik korelasi itu bersifat
umum atau khusus; ( rasional atau aqli), persepsi ( hadist), atau imajinatif ( khayali);
atau korelasi berupa sebab akibat, „illat dan ma‟lul, perbandingan, dan perlawanan.
b. Macam – Macam Munasabah
Dalam Al-qur‟an sekurang-kurangnya terdapat 8 macam munasabah yaitu:
a) Munasabah antar surat dengan surat sebelumnya As-syuyuti menyimpulkan bahwa
munasabah antarsatu surat dengan surat sebelumnya berfungsi menerangkan atau
menyempurnakan ungkapan pada surat sebelumnya. Sebagai contoh, dalam surat Al-
fatihah ayat 1 ada ungkapan alhamdulillah. Ungkapan itu berkorelasi dengan surat
Al- baqarah ayat 152 dan 186;

7
Artinya : “karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku akan ingat
kepadamu, dan bersyukurlah kepadaKu, dan janganlah kamu mengingkari
nikmatKu” (Qs. Al-Baqarah: 152)
Artinya : “dan apabila hamba-hambaKu bertanya kepadamu tentang Aku,
maka (jawablah) bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan
permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, maka
hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah)Ku dan hendaklah mereka
beriman kepada-Ku agar mereka selalu berada dalam kebenaran. (Qs. Al-
Baqarah: 186) Berkaitan dengan ilmu munasabah ini Nasr Abu Zaid
menjelaskan bahwa hubungan khusus surat Al-Fatihah dengan surat al-
Baqarah merupakan hubungan stilistika kebahasaan. Sementara hubungan-
hubungan umum lebih berkaitan dengan isi dan kandungan.9 b) Munasabah
antar nama surat dan tujuan turunnya Setiap surat mempunyai tema
pembicaraan yang menonjol, dan itu tercermin pada namanya masing-
masing.10 Keserasian serupa itu merupakan pembahasan surat serta
penjelasan menyangkut tujuan surat tersebut. Sebagaimana diketahui surat
kedua dalam Al-Qur‟an diberi nama alBaqarah yang berarti lembu betina.
Cerita tentang lembu betina yang terdapat dalam surat itu pada hakikatnya
menunjukkan kekuasaan Tuhan dalam membangkitkan orang yang telah mati
(tercantum dalam surat al-Baqarah) sehingga dengan demikian, tujuan dari al-
baqarah adalah menyangkut kekuasaan Tuhan kepada hari kemudian.
c) Munasabah antar bagian suatu ayat
Munasabah antar bagian suatu surat sering berbentuk korelasi Al-
tadhadadh (perlawanan) seperti yang terlihat pada surat Al-Hadid ayat 4 :
Artinya : “Dialah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa;
kemudian Dia bersemayam diatas „Arsy, Dia mengetahui apa yang masuk ke
dalam bumi dan apa yang keluar darinya dan apa yang turun dari langit dan
apa yang naik kepadanya. Dia bersdama kamu dimana saja kamu berada dan
Allah maha melihat apa yang kamu kerjakan. (al Hadid:4) Antara kata “yaliju”
(masuk) dengan kata “yakhruju” (keluar), serta kata “yanzilu” (turun) dengan
kata “ya‟ruju” (naik) terdapat korelasi perlawanan.

8
Kata “bersemayam diatas „Arsy ialah satu sifat yang wajib kita imani sesuai
dengan kebesaran Allah dan kesucianNya. Dan yang dimaksud dengan “yang
naik kepadanya” antara lain adalah amal-amal dan do‟a-do‟a hamba.
d) Munasabah antar ayat yang letaknya berdampingan
Munasabah antarayat yang letaknya berdampingan sering terlihat dengan
jelas, tetapi sering pula tida jelas. Munasabah antarayat yang terlihat dengan
jelas umumnya menggunakan pola ta‟kid (penguat), tafsir (penjelas), i‟tiradh
(bantahan), dan tasydid (penegasan). Munasabah antarayat yang menggunakan
ta‟kid yaitu apabila salah satu ayat atau bagian ayat memperkuat makna ayat
atau bagian ayat yang terletak disampingnya.
Artinya : “dengan menyebut nama Allah yang Maha Pemurah lagi Maha
Penyayang. Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam” (Qs Alfatihah 1-2)
Ungkapan “rabb al-alamin” pada ayat kedua memperkuat kata “al-rahman”
dan “ar-rahim”dari ayat pertama. Munasabah antarayat menggunakan pola
tafsir apabila satu ayat atau bagian ayat tertentu ditafsirkan maknanya oleh
ayat atau bagian ayat disampingnya. Contoh dalam surat Al-Baqarah ayat 2-3
Artinya : “kitab Al-Qur‟an ini tidak ada keraguan padanya, petunjuk bagi
mereka yang bertakwa yaitu mereka yang beriman kepada yang gaib yang
mendirikan sebagian rizqy yang Kami anugerahkan kepada mereka”
(Qs.Albaqarah 2-3) Makna “muttaqin” pada ayat kedua ditafsirkan oleh ayat
ketiga. Dengan demikian orang yang bertakwa adalah orang yang mengimani
hal-hal yang gaib, mengerjakan shalat, dan seterusnya. Munasabah antar ayat
yang menggunakan pola tasydid apabila satu ayat atau bagian ayat
mempertegas arti ayat yang terletak disampingnya. Contoh dalam surat
Alfatihah ayat 6-7 Ungkapan “Ash-shiratal Al-mustaqin” pada ayat 6
dipertegas oleh ungkapan “shiratalladzina...” . antara kedua ungkapan yang
saling memperkuat itu terkadang ditandai dengan huruf athaf (langsung).
Munasabah antara ayat yang menggunakan pola i‟tiradh apabila terletak satu
kalimat atau lebih tidak ada kedudukannya dalam i‟rab (struktur kalimat), baik
dipertengahan kalimat atau diantara dua kalimat yang berhubungan maknanya.

9
Contoh pada surat An-nahl ayat 57 : Kata “subhanahu” pada ayat diatas
merupakan bentuk i‟tiradh dari dua ayat yang mengantarinya. Kata
itu merupakan bantahan bagi klaim orangorang kafir yang menetapkan anak
peremouan bagi Allah.
e) Munasabah antar suatu kelompok ayat dan kelompok ayat disampingnya
Sebagai contoh dalam surat Al-Baqarah ayat 1 sampai 20, Allah memulai
penjelasannya tentang kebenaran dan fungsi Al-Qur‟an bagi orangorang yang
bertaqwa. Dalam kelompok berikutnya dibicarakan tentang tiga kelompok
manusia dan sifat-mereka yang berbeda-beda yaitu mukmin, kafir dan
munafik.
f) Munasabah antarfashilah (pemisah) dan isi ayat Munasabah
ini mengandung tujuan-tujuan tertentu diantaranya yaitu tamkin
(menguatkan) makna yang terkandung dalam suatu ayat. Misalnya dalam surat
Al-Ahzab ayat 25 : Artinya : “dan Allah menghalau orang-orang kafir itu yang
keadaan mereka penuh kejengkelan, (lagi) mereka tidak memperoleh
keuntungan apapun. Dan Allah menghindarkan orang-orang mukmin dari
peperangan. Dan adalah Allah Maha Kuat lagi Maha Perkasa” Dalam ayat ini
Allah menghindarkan orang-orang mukmin dari peperangan bukan karena
lemah melainkan karena Allah Maha Kuat lagi Maha Perkasa. Tujuan dari
fashilah adalah memberi penjelasan tambahan meskipun tanpa fashilah
sebenarnya makna ayat sudah jelas.14
g) Munasabah antar awal surat dengan akhir surat yang sama
Munasabah ini arti bahwa awal suatu surah menjelaskan pokok pikiran
tertentu, lalu pokok pikiran ini dikuatkan kembali di akhir surah.15 Misalnya
terdapat pada surah Al-Hasyr. Munasabh ini terletak dari sisi kesamaan
kondisi yaitu segala yang ada baik dilangit maupun dibumi menyucikan Allah
sang pencipta keduanya. Artinya : “telah bertasybih kepada Allah apa yang
ada dilangit dan bumi. Dan dialah yang Maha perkasa lagi Maha Bijaksana.
(Qs Al Hasyr : 1) Artinya : “dialah Allah yang menciptakan, yang
mengadakan, yang membentuk rupa, yang mempunyai Al-Asma Al-husna.
Bertashbih kepadanya apa yang dilangit dan bumi, dan dialah yang Maha
Perkasa lagi Maha Bijaksana. (Qs. Al Hasyr : 24)

1
h) Munasabah antar penutup satu surat dengan awal surat berikutnya
Persesuaian antara permulaan surah dengan penutupan surah sebelumnya
sebab, semua permulaan surah erat sekali kaitannya dengan akhiran surah
sebelumnya, sekalipun sudah dipisah dengan basmalah.16 Jika diperhatikan
pada setiap pembukaan surat, akan dijumpai munasabah dengan akhir surat
sebelumnya, sekalipun tidak mudah untuk mencarinya. Misalnya pada
permulaan surat Al-Hadid dimulai dengan tasbih: Artinya : “semua yang
berada dilangit dan yang berada dibumi bertashbih kepada Allah (menyatakan
kebesaran Allah). Dan Dialah yang MahaKuasa atas segala sesuatu” (Qs Al-
Hadid:1) Ayat ini bermunasabah dengan akhir surat sebelumnya, Al-Waqiah
yang memerintahkan bertashbih. Artinya : “maka bertashbihlah dengan
(menyebut) nama Tuhanmu yang MahaBesar”.
c. Cara Mengetahui Munasabah Dan Fungsinya
Para ulama menjelaskan bahwa pengetahuan tentang munasabah bersifat
ijtihadi. Artinya, pengetahuan tentangnya ditetapkan berdasarkan ijtihad
karena tidak ditemukan riwayat, baik dari Nabi maupun dari sahabatnya. Oleh
karena itu, tidak ada keharusan mencari munasabah pada setiap ayat.
Alasannya, Al-Qur‟an diturunkan secara berangsur-angsur mengikuti berbagai
kejadian dan peristiwa yang ada. Menurut Syekh Izzudin bin Abdus Salam
bahwa seseorang mufassir terkadang seorang musafir menemukan keterkaitan
suatu ayat dengan yang lainnya dan terkadang tidak menemukan. Jika tidak
menemukan keterkaitan keterkaitan, mufassir tidak diperkenankan
memaksakan diri, karena jika memaksakan berarti mengadaadakan apa yang
tidak dikuasainya. Jadi dalam hal ini dibutuhkan ketelitian dan pemikiran yang
mendalam. Kalaupun itu terjadi, ia mengaitkannya hanya dengan ikatan-ikatan
lemah yang pembicaraan yang baik saja pasti terhindar darinya, apalagi kalam
yang terbaik. 17 Untuk meneliti keserasian susunan ayat dalam surah
(munasabah) dalam Al-Qur‟an diperlukan ketelitian dan pemikiran yang
mendalam. As-Suyuthi menjelaskan ada beberapa langkah yang perlu
diperhatikan untuk menemukan munasabah ini, yaitu :

1
a. Harus diperhatikan tujuan pembahasan suatu surat yang menjadi
obyek pencarian.
b. Memperhatikan uraian ayat-ayat yang sesuai dengan tujuan yang
dibahas dalam surat.
c. Menentukan tingkatan uraian-uraian itu, apakah ada hubungannya
atau tidak.
d. Dalam mengambil kesimpulannya hendaknya memperhatikan
ungkapanungkapan bahasanya dengan benar dan tidak
berlebihan.

C. SIYAQ
a. Pengertian Siyaq

Siyaq secara etimologis merupakan bentuk macdar dari kata


sāqa-yasūqu yang berarti menggiring. Sedangkan kata Insāqat berarti
beriringan. Lalu kata Sīqah artinya ternak yang digiring. Sūq artinya pasar, hal
ini karena banyak barang yang digiring ke tempat tersebut. Kemudian mahar
disebut sawq atau siyāq karena orang Arab ketika mengadakan pernikahan
menggiring onta dan kambing sebagai mahar. Hal ini senada yang disebutkan
oleh ar-Raghib alAshfahani: “Saqa: kalimat Sauqul Ibili artinya menggiring
unta. Dikatakan dalam kalimat Suqtuhu artinya aku menggiringnya. Kata as-
Sayyaqah artinya binatang yang digiringkan, dan kalimat Suqtul Mahra ilal
Mar-ah, artinya aku menggiring maharku kepada perempuan, hal ini
dikarenakan maharnya adalah seekor unta.”

Siyaq walaupun banyak dibicarakan dalam berbagai disiplin ilmu,


namun bila diperhatikan dalam kitab-kitab klasik tidak dijumpai pembahasan
yang secara khusus memberikan definisi tentang siyāq. Ibnu Daqiq al-„Id
(w.702 H) menyebutkan siyaq ketika dia membahas tentang takhshish
(Pengkhususan) dengan asbabun Nuzul. Ia mengatakan, “…siyāq adalah hal
yang menunjukkan maksud pembicaraan seseorang”5 . Dalam pembahasan
yang berbeda, Al-Bannani (w.1198 H) menjelaskan pengertian siyāq sebagai
“…hal yang menunjukkan maksud pembicara, baik berupa kalimat yang
sebelumnya atau sesudahnya …”

12
Sedangkan al-„Attar dalam pembahasan yang lain pula
mendefinisikan Siyaq sebagai “…hal yang menjadi maksud disusunnya suatu
kalimat” . Kemudian M. Quraish Shihab, mengemukakan bahwa Siyaq adalah
indikator yang digunakan untuk menetapkan makna yang dimaksud oleh
pembicara/ susunan kata. Ia adalah bingkai yang terhimpun di dalamnya
unsur-unsur teks dan kesatuan kebahasaannya yang berfungsi
menghubungkan, bukan saja kata demi kata, tetapi juga antar rangkaian
kalimat serta situasi dan kondisi yang menyertainya, lalu dari himpunan
seluruh unsur tersebut ditemukan oleh pembaca/pendengar teks, makna ide
yang dimaksud oleh teks.

Berdasarkan penjelasan beberapa ulama di atas, siyāq dapat


didefinisikan sebagai rangkaian dan koherensi kalimat atau situasi
pembicaraan yang dapat menunjukkan atau memperjelas maksud
pembicara. Siyāq yang didasarkan pada rangkaian kalimat disebut siyāq
lughawī atau konteks bahasa. Sedangkan siyāq yang didasarkan pada situasi
pembicaraan disebut konteks situasi.

b. Macam – Macam Siyaq


M. Quraish Shihab di dalam membicarakan tentang siyaq mengatakan
bahwa berdasarkan fungsi siyaq sebagai indikator maka siyaq terbagi dua
bagian pokok, yaitu : Pertama, Siyaq Lughawi/ Maqaliy, yaitu yang
berlandaskan pada indikator-indikator kebahasaan yang digunakan untuk
menetapkan makna teks. Kedua, Siyaq Ghairu Lughawiy, yaitu indikator yang
tidak berdasarkan dengan bahasa, tetapi berdasarkan sekian banyak indikator
guna untuk menetapkan maksud sebenarnya. Indikator-indikator tersebut
cukup banyak. Ada yang berkaitan dengan pengucap teks dan mitra bicara,
ada juga yang berkaitan dengan kondisi dan situasi yang menyertai
pembicaraan, dan lain-lain. Dengan demikian Siyaq tidak lagi terbatas pada
pengertian kosakata dan susunannya. Apalagi satu susunan kata, dapat saja
mengandung berbagai makna sehingga dibutuhkan indikator selain indikator
kebahasaan untuk dapat memahami maknanya secara benar.

1
Hakikat Siyaq seperti yang dijelaskan di atas, diakui oleh para pakar,
walaupun rumusan mereka tentang Siyaq dan cakupannya berbeda-beda.9
Berkaitan dengan ayat-ayat al-Qur„an dan dari sisi keumuman dan
kekhususannya, sebagian pakar mengemukakan tiga macam Siyaq, yaitu :
Pertama,berkaitan dengan satu surah. Dalam bagian ini, Siyaq menjadikan satu
surah berhubungan sejak awal surah hingga akhirnya. Ini terbagi dua bagian :
a. Siyaq yang terdiri dari beberapa pokok pembicaraan, tetapi semuanya
mengarah ke satu arah. b. Siyaq yang tidak terdiri dari beberapa pokok
pembicaraan. Ia tidak mempunyai bagian-bagian yang berbeda-beda atau
rincian yang memisahkan satu dari yang lain, sehingga hubungannya dapat
diketahui dengan jelas. Untuk mengetahui Siyaq yang berkaitan dengan satu
surah, diperlukan pengamatan yang teliti terhadap uraian setiap kelompok ayat
serta membutuhkan analisis yang tajam terhadap rincian-rinciannya, karena
jika tidak, maka akan menduga bahwa al-Qur„an atau satu surah memiliki
uraian yang rancu, sebagaimana yang dituduhkan oleh sebagian orientalis,
padahal bagi mereka yang benar-benar mempelajari Siyaq, tentu akan
menemukan titik temu yang menghubungkan satu topik pembicaraan dengan
topik yang lain sekaligus akan mempertemukan semua topik itu dalam satu
arah yang sama.
Kedua, berkaitan dengan penggalan-penggalan pembicaraan dalam satu
surah. Berkaitan dengan hal ini, M. Quraisy Shihab, mengemukakan bahwa
Imam asy Syatibi yang merupakan salah seorang ulama yang mencurahkan
perhatian yang besar dalam masalah ini. Imam asy-Syatibi menyarankan:
“Hendaklah memperhatikan kepada penggalan secara keseluruhan, tidak
hanya awalnya dengan mengabaikan akhirnya, dan tidak pula sebaliknya
mengamati akhirnya dan mengabaikan awalnya. Ini karena penggalan satu
surah, meskipun memiliki aneka susunan kalimat/ ayat, namun satu dengan
yang lainnya saling berkaitan. Karena itu, tidak ada cara lain bagi yang hendak
memahaminya kecuali mengembalikan akhir penggalan ayat ke awal
penggalannya, demikian pula sebaliknya. Sehingga seseorang akan dapat
memahami maksud pembicaraan, dengan tidak memisah-misahkan bagian
penggalanpenggalannya karena jika pemisahan itu dilakukan maka tidak akan
dapat mengantar seseorang itu kepada tujuan yang dimaksud oleh pembicara.”
Siyaq macam kedua ini juga terbagi kepada dua bagian, yaitu:

1
a. Satu penggalan yang ditemukan dalam satu surah. Seperti, surah al-
Kautsar, atau surah al-Lahab. Hubungan antar ayat-ayatnya cukup jelas.
b. Beberapa penggalan dalam satu surah. Misalnya, surah al-Baqarah, di
dalamnya terdapat pembicaraan tentang berbagai persoalan : puasa, haji,
qishash, peperangan, dan lain-lain. Ada yang diuraikan dengan uraian yang
panjang, namun ada pula yang hanya sepintas saja.
Ketiga, Siyaq ayat. Ayat merupakan bagian dari penggalan surah.
Sebagaimana penggalan surah tidak terpisah dari keseluruhan ayat-ayat surah,
maka demikian juga halnya dengan ayat, tidak terpisah dari penggalan surah,
sehingga pada akhirnya setiap ayat mengarah kepada uraian surah. Siyaq ayat
ini juga terbagi dua, yaitu :
a. Satu ayat yang berdiri sendiri dan dapat dipahami maksudnya seperti : ayat
alKursy (QS. Al-Baqarah, 2: 255).
b. Ayat yang tidak dapat dipahami secara baik dan benar kecuali dengan
memperhatikan ayat-ayat yang menyertainya. Untuk menetapkan Siyaq
banyak indikator yang dapat digunakan, di antaranya yang terpenting yaitu
riwayat yang shohih yang sampai rentetan perawinya kepada Rasulullah saw,
atau sahabat-sahabat yang dikenal pakar dalam bidang al-Quran, yaitu riwayat
yang menjelaskan kedudukan dan makna ayat, atau indikator kebahasaan yang
memang digunakan dalam al-Qur„an, atau nalar dan kenyataan, serta suasana
“kebatinan” ayat. Dari uraian di atas, dapat dipahami bahwa para ulama dalam
memberikan rumusan dan macam-macam Siyaq itu berbeda-beda, ada yang
merumuskannya secara luas yang mencakup banyak macam, namun ada pula
yang merumuskannya secara singkat dan terbatas yang hanya berkaitan
dengan satu atau beberapa ayat, namun mereka sepakat untuk menjadikan
Siyaq sebagai salah satu faktor penting dalam menetapkan makna.

1
c. Urgensi Dan Fungsi Siyaq
Siyaq dinilai sangat urgen karena itu para ulama bersepakat untuk
menjadikannya sebagai salah satu faktor penting dalam menentukan makna.
Siyaq yang merupakan rangkaian dan koherensi kalimat atau situasi
pembicaraan yang dapat menunjukkan atau memperjelas maksud pembicara.
Konteks sebagai salah satu instrumen tafsir telah menjadi kajian ulama
setidaknya sejak masa al-Syafi‟i. Bahkan praktek penggunaan siyaq (konteks)
dalam tafsir sebenarnya juga telah dilakukan Rasulullah SAW dan para
Sahabat. Ada enam fungsi siyaq sebagai penjelas makna, yaitu memperjelas
hal yang masih global, menetapkan salah satu makna di antara berbagai
kemungkinan makna, menguatkan hal yang sudah jelas, membatasi cakupan
kalimat yang general (takhsis al‟am), membatasi kalimat yang absolut, dan
menganeka-ragamkan makna.
Enam fungsi tersebut kemudian dijabarkan menjadi banyak kaidah tafsir,
diantaranya yaitu suatu penafsiran tidak boleh bertentangan dengan makna
kontekstualnya, konteks dapat membatasi cakupan kalimat general, dan
konteks dapat menentukan kata ganti orang ke tiga.
Menurut M.Quraish Shihab, Siyaq mengantarkan seseorang kepada
pemahaman yang mujmal sehingga menjadi Mubayyan. Siyaq juga sangat
membantu menetapkan satu dari berbagai kemungkinan makna, sebagaimana
membantu menetapkan makna secara umum sehingga menjadikannya khusus,
dan dapat ditemukannya kata/kalimat yang Mahzuf sehingga maknanya
menjadi jelas dan tepat.
Dari fungsi Siyaq yang urgen tersebut, sehingga ditemukan dalam
kitabkitab tafsir dan Hadis, ungkapan yang menyatakan : “Makna ini lebih
sesuai dibandingkan dengan itu berdasarkan Siyaq.” Sebagaimana tidak jarang
pula para ulama menolak satu makna karena bertentangan dengan Siyaq,
meskipun itu bukan berarti diperbolehkan menolak makna kebahasaan yang
sudah lurus dan jelas dengan berdalih Siyaq.
Urgensi Siyaq atau konteks juga ditekankan Al-Zarkashi. Dia mengatakan,
“seyogyanya perhatian seorang mufassir ditujukan pada konteks, kalimat
susunan meskipun berbeda dari makna leksikalnya” Al-Zarkashi juga
mengkritik orang-orang yang menolak eksistensi konteks. Menurutnya,
keberlakuan petunjuk konteks dalam firman Allah adalah hal yang disepakati.

1
Senada dengan al-Zarkashi, AlSuyuthi menyatakan bahwa salah satu syarat
menjadi seorang mufassir adalah, “… memperhatikan susunan dan tujuan
suatu kalimat”. Pada tataran praktis penggunaan konteks kalimat untuk
menentukan makna juga dilakukan para mufassirin. Ibnu Atiyyah, misalnya,
menolak suatu penafsiran dengan alasan tidak sesuai dengan konteks kalimat.

1
BAB III
PENUTU
P

A. Kesimpulan

Pernyataan para ulama di atas menyangkut hikmah penurunan Al-Quran


secara bertahap mencerminkan suatu pengakuan hubungan yang nyata
(meskipun ia bukan hubungan sebab-akibat) bahwa teks Al-Quran ternyata
tidak hanya merespon kondisi penerima wahyu pertama semata, yaitu Rasul
SAW. tetapi lebih dari itu realitas kultural pun masuk dalam cakupan
perhatiannya.

Membincang di seputar asbabun nuzul berarti berusaha memahami keadaan


yang sebenarnya menyangkut peristiwa yang meliputi ayat al-Quran ketika
diturunkan kepada Nabi SAW. Sehingga untuk memahaminya, tidak ada jalan
lain kecuali menelaahnya secara historis lewat pendekatan riwayat yang
sampai di hadapan kita, yang tersebar luas dalam berbagai kitab hasil karya
para ulama
Pengetahuan tentang asbabun nuzul mempunyai banyak manfaat. Secara
umum manfaatnya adalah mampu mengantarkan seorang mufassir pada
pemahaman yang benar dengan memahamai kandungan teks dan keadaan
yang menyertai peristiwa yang terjadi ketika Al-Quran diturunkan.
diwakili oleh Abu Bakar al-Nisabury, Fakhrudin alRazi, Jalaluddin al-
Suyuthiy, ibn al-Arabiy , Izzuddin ibn Abdis Salam, dan yang lainnya.
Golongan ulama yang menolak adanya munasabah dalam al-Quran diwakili
oleh Ma‟ruf Dualibi. Dalam menyikapi munasabah, para ulama terbagi ke
dalam dua golongan. Pertama, golongan yang tertarik dengan munasabah,
Kedua, golongan yang tidak tertarik dan menganggap munasabah tidak perlu
dikaji.
Siyāq merupakan rangkaian dan koherensi kalimat atau situasi
pembicaraan yang dapat menunjukkan atau memperjelas maksud pembicara.
Dengan demikian, Siyaq terbagi dua, yaitu pertama, Siyaq

18
Lughawi/ Maqaliy, yaitu indikator-indikator kebahasaan yang digunakan
untuk menetapkan makna teks. Kedua, Siyaq Ghairu Lughawiy, yaitu
indikator yang tidak berdasarkan dengan bahasa, tetapi berdasarkan sekian
banyak indikator guna untuk menetapkan maksud sebenarnya.

1
DAFTAR PUSTAKA

Munawwir, Ahmad Warson, Al-Munawwir; Kamus Arab-Indonesia, Cet. 14; Surabaya:


Pustaka Progressif, 1997.

Nawawi, Rif’at Syauqi, dan M. Ali Hasan, Pengantar Ilmu Tafsir, Cet. II; Jakarta: PT
Bulan Bintang, 1992.

Qardhawi, Yusuf, Kaifa nata’mal ma’a al-Qur’an. Diterjemahkan oleh Kathur Suhardi
dengan judul, Bagaimana Berinteraksi dengan Al-Quran, Cet. IV; Jakarta: Pustaka
al-Kautsar, 2006.
Muhammad bin Alawi Al-Maliki Al-Husni. 1999. Mutiara Ilmu-IlmuAl-Qur‟an, terj. Ros
Badr, Ad-Din Muhammad bin „Abdullah Az-Zarkasyi. al-Burhan fi Ulum Al-
Qur'an, Jilid Iihon Anwar, Bandung: Pustaka Setia
Burhanuddin Al-Biqa‟i, Nazhm Ad-Durarfi Tanasub Al-Ayat wa As-Suwar, Jilid 1,
Majlis Da‟irah Al-Ma‟arif An-Nu‟maniyah bi Haiderab, India, 1969
, Kaidah Tafsir, M. Quraish Shihab 2013, h. 253. 3
Muhammad bin Mukarrom Abul Fadlal Jamaluddin Ibnu Mandzur, Lisān al-„Arab, Jilid
10 (Beirut: Dār Shaādir, 1414 H), h. 166-168.

Anda mungkin juga menyukai