Anda di halaman 1dari 6

7 HARI BERLAYAR DALAM LAUTAN

Teruntuk F.M., yang membuatku terus berjalan

Teruntuk jiwanya., yang selalu merawat.

SOLILOKUI

JANGAN ADA YANG BEBAS, katanya dalam sebuah pertemuan


singkat. Satu hal yang selalu saja terjadi setelah pertemuan itu. Aku
mengenalnya sedikit setelah aku mengenalnya hampir 2 tahun. Bukan
mengenalnya sebagai seseorang tapi mengenalnya sebagai udara yang selalu
membuatmu bernafas dan mengira bahwa hari selalu saja akan terjadi dan
kita pelajari. Semakin banyak orang-orang yang tak kita kenal membawa
kita kembali, dalam sebuah perjalan singkat hal-hal yang selalu kutanyakan
selalu dijawabnya dengan tegas. Satu hal yang sangat kukenal darinya, Air
mata adalah ketegasan.

Berbekal Laptop midclass dan setelan jawa metal, Dewa namanya,


seorang lelaki duduk di taman kampus. Dikenalnya ia sebagai seorang yang
selalu bepergian, berubah-ubah dan tak pasti, namun kini ia diam dan
membakar rokok kretek sebatang sembari melamun. Tiba-tiba ada seorang
wanita yang lewat dihadapannya,

“Sendirian aja ka dew” katanya, seorang adik tingkat yang katanya populer

“Oh, iya ini nunggu bimbingan” sembari bergegas memasangkan headset di


telinganya.
Belum selesai ia pasangkan headset ditabraklah ia pada satu pertanyaan
lanjutan dengan cepat dan senyuman manisnya,

“mau makan bareng? Laper gak?”

“barusan makan, sebelum kesini”

Di saat yang bersamaan ada chat masuk dari seorang yang lama ia
kenal, onah. “kamu dimana?” Dewa bergegas pergi dan pamit dengan
alasan bimbingan pada kumpulan adik tingkatnya itu. Berjalan ia susuri
lorong kampus dan mencari tempat paling nyaman baginya untuk membalas
pesan dari onah.

“kamu laper gak? ayo makan aku laper” dewa mengirim pesan.

Dibalasnya ia dengan marah “enggak laper”., “kamu kalo dichat mesti


selalu nggak pernah perhatiin”.

Hal ini sering terjadi. Dewa hentikan pesannya dan selalu mencoba
membaca situasi disaat hal yang sama terjadi. Lalu ia tersenyum, “dia
adalah orang yang selalu seperti ini, itu sebabnya aku disini.” batinnya.
Tak kesal sedikitpun, ia pasangkan kembali headsetnya dan mendengarkan
lagu playlist kolaborasinya dengan onah yang hampir tiap hari ia buka dan
ia tunggu lagu baru yang menggambarkan perasaannya pada dewa sewaktu-
waktu moodnya berubah.

Berpindahlah ia di rooftop kampus yang merupakan tempat ternyaman


baginya, tempat yang jarang dikunjungi karena suhunya yang panas, tempat
yang sepi, dan sudut terasing di kampus. Dewa selalu habiskan waktunya
disini, sembari membawa es plastikan bu endang kantin kecintaanya. Buku,
lagu dan kisahnya dengan onah dimulai dari sini.

Kriiingggg!!!! Suara telfon masuk mengganggunya sedang tidur disana.


“Dimane,lu ?” tanya rapip sahabatnya di kampus

“dirumah, kenapa? Mau bimbingan?” dewa menerka dari kebiasaan rapip


menghubunginya di siang hari.

“enggak, suntuk nih, ayok sinilah ke tembalang1 sama Agus ngerjain


bareng”

“sini aja kerumah, dikampus panas” jawabnya memperdalam kebohongan.

Bukan karena malas bertemu sahabatnya, tapi memang ia sering


melakukan ini. Bahkan terhadap banyak orang. Dewa selalu punya
dunianya sendiri dunia asik yang selalu ia buat. Dunia tanpa ikatan, dunia
yang bebas tanpa ketergantungan, Tanpa air mata, dipenuhi rasa cinta yang
bebas. Ia membaginya menjadi 3 hal. Dunianya sendiri, Dunia kota tempat
orang-orang saling merawat, dan dunia tempat orang orang dimakamkan
untuk orang-orang terkenang dalam hidupnya. Masih dengan tempat yang
sama, ia tuangkan kejadian barusan yang dialami dengan onah.

“Kamu selalu mengemasnya seperti itu. Aku


tahu, aku selalu ingin kamu ada di duniaku,
tapi aku tak tahu caranya, aku selalu percaya
pasti ada suatu saat, dan padamu aku percaya
karena itu adalah dirimu dan diriku. Itu
sebabnya kita disini.”

Sambil menerka-nerka tiap pertemuan yang ia alami dengan onah.


Dewa lagi-lagi larut dalam dunianya sendiri, mencoba membayangkan dan
mengingat hal hal apa yang ingin dan telah ia lakukan bersama kekasihnya
itu. “jadi inget ya nah, dulu kita ketemu waktu kita gak punya siapa-siapa
buat ngerti” batinnya tersenyum.
1
Tembalang : Kecamatan di Kota Semarang tempat kampusnya berada
Banyak hal yang ingin ia sampaikan pada kekasihnya itu, tapi entah
mengapa ia selalu terbelenggu oleh dirinya sendiri. Tentang mimpi-
mimpinya bersama onah untuk berjalan menyusuri hutan-hutan, pergi ke
pasar malam dan naik bianglala, beli eskrim dan satunya minum kopi tanpa
gula, susuri kota dan melihat orang-orang dengan membayangkan
keresahannya. “Aku jadi inget, kamu selalu bilang kopi itu rasanya kayak
puyer” atau “kasian ya mereka yang susah cari makan, bahkan untuk
senyum aja harus nangis dulu”.

Mereka begitu berbeda dan sama pula. Mereka selalu menggali hal yang
sama, hanya sebatas kebahagiaan kecil, atau sedikit mimpi yang terkabul
dan merasa cukup untuk disukuri. Tak ingin lebih bahkan untuk melahap
semuanya dalam satu pertemuan.

“Ketika kita bertemu di dalam alam semesta


kita berbicara, namun ketika kita terpisah kita
saling mendengarkan pesan-pesan yang
disampaikan melalui alam semesta”.

---

JALANG

Terjebak dalam rutinitas dan kemonotonan. Sewaktu-waktu ada titik


dimana 3 dunia yang telah dewa ciptakan didalam dirinya itu saling
bercampur dan tidak konsisten. Pertama, Onah yang masih belum masuk
kedalam dunia yang dibuat dewana membuat situasinya semakin rumit,
dewa teringat pada makam-makam itu, dan yang kedua ia merawat orang-
orang sekitarnya termasuk adik tingkat yang tidak disukai onah. Tiga dunia
itu bercampur menjadi satu karena ia sempat tak sadar beberapa waktu, ia
lupa bahwasanya kehadiran onah adalah dunia baru yang secara tak sadar
tidak ia akui. Ia merasa telah gagal menjadi seorang lelaki. Dewa selalu
menghardik dirinya pada tiap malam, betapa bodoh sikapnya selama ini.
Kesadaran yang ia agungkan hanyalah omong kosong belaka.

Hanya Lagu-lagu melankolis yang menemaninya saat ini, ia tak pernah


dengarkan playlist yang ia buat bersama lagi, melankolia- efek rumah kaca
selalu ia dengarkan tiap malam, disusul lagu-lagu milik slank, foto dalam
dompetmu, ku tak bisa, dan bim bim jangan menangis menjadi favoritnya
dalam beberapa waktu.

Hampir tiap hari hubungan mereka dirundung, ia rasa hari esok


hanyalah kesedihan dan amarah. Ia ingin pergi tapi tak tahu kemana ia harus
pergi, ia ingin pulang tapi ia selalu ingat awal mereka bertemu, pulang
dirumah yang sama, yang mereka sebut “kebahagiaan sederhana”. Semua
begitu gelap, dan gelap adalah teman setia bagi mereka.

PESAKITAN

Mereka berdua kebingungan, tak tahu arah dan jalan yang mestinya harus
dituju. Sebab terakhir mereka bertahan.

“Bertahan adalah bentuk cinta yang paling liar”

-senartogok

Dalam suatu rutinitas kemonotonan, pada malam yang biasa mereka


debatkan dan pulang tanpa membawa solusi. Terjadi begitu saja. Lagi dan
lagi. Mereka tetap bertahan. Seakan masalah tak pernah selesai dan hari
berganti seperti tak ada kejadian semalam.

“Aku tu harus gimana biar kamu bisa ngerti” kata onah dengan nada
menuntut
“Aku gatau nah, aku masih buntu,” jawab dewa, dengan memutar kata-
katanya, ia mainkan berbagai kalimat agar keresahanya mereda hingga
harinya segera usai dan waktu sudah pukul 10 malam yang menandakan
mereka harus pulang karena onah dengan keluarganya yang strict.

Seperti biasa, dewa kutuki dirinya sendiri didalam kamar, ia dalam


kebingungan besar harus apa dan ia benar dalam kebuntuan yang
berkepanjangan. Kali ini penyesalannya hanya satu, “masuk dalam
kehidupannya”. Ia teringat bahwa pertamakali ia mengenal onah ia datang
dengan berbagai macam penerimaan yang ia puja, seakan membuat ia
menjadi segalanya dan segalanya bisa terjadi hinga ia sendiri termakan oleh
kelakuan bodohnya.

Hanya maaf yang tiap hari ia lafalkan bak doa yang dapat mengubah hal
buruk dan benar benar pasrah. Tapi dalam kamusnya tak ada perpisahan,
sebab untuk apa ini semua dimulai. Disisi lain ia tak ingin onah sedih
berlarut-larut.

Anda mungkin juga menyukai