Anda di halaman 1dari 17

HUTANG PIUTANG DALAM AL-QUR’AN

Makalah ini diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah:

TAFSIR MU’AMALAH

Dosen pengampu:

Abu Sari, M. Ag.

Disusun oleh:

Assyahrur Rahmatullah Arrizki

NIMKO :

202112134113

JURUSAN USHULUDDIN

PRODI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM AL FITHRAH


SURABAYA

2023-2024
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Dari sekian banyak jenis kegiatan ekonomi yang dikembangkan dan
berlaku di masyarakat, salah satunya hutang piutang. Yang mana berlaku
diberbagai tingkatan masyarakat. Adanya hal tersebut disebabkan oleh
hubungan antar satu orang dengan orang yang lain yang memiliki sosial
yang sangat tinggi.
Di dalam Islam, hutang piutang termasuk akad yang mengandung
nilai tolong menolong. Dengan demikian dapat terhitung sebagai ibadah
sosial dan juga mendapatkan porsi sendiri. Nilai luar biasanya karena
membantu antar sesama yang tidak mampu secara ekonomi atau sedang
membutuhkan.
Kali ini penulis akan membahas tentang apa itu hutang piutang dan
juga landasan dasar dalam al-Qur’an beseta tafsirnya.

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud hutang piutang?
2. Bagaimana hutang piutang dalam al-Qur’an beserta tafsirannya?

1
BAB II

PEMBAHASAN

A. Hutang Piutang
Dalam bahasa arab hutang disebut dengan dayn, yaitu sesuatu yang
berada dalam tanggung jawab orang lain atau juga sesuatu yang harus dilunasi
atau diselesaikan. Hutang secara bahasa bermakna memberikan pinjaman. Al-
dayn mensyaratkan jangka waktu tertentu dalam pengembalian hutang, hal ini
membedakan al-qard yang tidak mensyaratkannya, dayn lebih umum dari
qard.1
Dayn berarti memberi hutang atau berhutang, sedangkan kata qard
memiliki arti yang dibayarkan kepada orang lain dari harta dengan syarat
mengembalikannya sebagai gantinya. Hutang secara terminologi adalah
memberikan harta kepada orang yang akan memanfaatkannya dan
mengembalikan ganti rugi dikemudian hari, sedangkan menurut kompilasi
hukum ekonomi syari’ah, hutang adalah penyediaan dana atau tagihan antar
lembaga keuangan syari’ah dengan pihak peminjam untuk melakukan
pembayaran secara tunai atau cicilan dalam jangka waktu tertentu.2
B. Hutang Piutang dalam al-Qur’an beserta Tafsirannya

Di dalam al-Qur’an penjelasan hutang piutang terdapat pada beberapa


ayat, diantaranya: QS. al-Baqarah : Ayat 280, 282, dan 283.

Bunyi firman Allah QS. Al-Baqarah ayat 280:

َ َ ْ َ ُ ْ ُ ْ ُ َّ َ ُ َّ َ َ ْ َ َْ ٰ ٌ َ َ ْ ُ ُ َ َ ْ
)282:2/‫َواِ ن كان ذ ْو عس َر ٍة فن ِظ َرة ِالى َميس َر ٍةۗ َوان تصدق ْوا خ ْي ٌر لك ْم ِان كنت ْم تعل ُم ْون ( البقرة‬

Jika dia (orang yang berutang itu) dalam kesulitan, berilah tenggang waktu
sampai dia memperoleh kelapangan. Kamu bersedekah (membebaskan utang)

1
Abdul Aziz dan Ramdansyah, “Esensi Utang dalam Konsep Ekonomi Islam” dalam Bisnis (Vol.
4, No. 1, Juni 2016), 125.
2
Abdul Aziz dan Ramdansyah, “Esensi ..., 126.

2
itu lebih baik bagimu apabila kamu mengetahui(-nya). (Al-Baqarah 2: Ayat
280)
Dalam kitab tafsir jalalain menjelaskan:

‫{ َوإِن َكا َن } وقع غرمي { ذُو عُ ْس َرٍة فَ نَ ِظ َرةٌ } له أي عليكم أتخريه { إىل َم ْي َس َرٍة } بفتح‬
‫ص َّدقُواْ } ابلتشديد على إدغام التاء يف األصل يف‬ َ َ‫ أي وقت يسر { َوأَن ت‬، ‫السني وضمها‬
‫تص ّدقوا ] وابلتخفيف على حذفها [ تص ّدقوا ] أي تتصدقوا على املعسر ابإلبراء‬ ّ [ ‫الصاد‬
‫{ َخ ْريٌ لَّ ُك ْم إِن ُكنتُ ْم تَ ْعلَ ُمو َن } أنه خري فافعلوه يف احلديث « من أنظر معسراً أو وضع عنه‬
‫أظله هللا يف ظله يوم ال ظل إال ظله » رواه مسلم‬
(Dan jika dia), yakni orang yang berutang itu (dalam kesulitan, maka
hendaklah diberi tangguh) maksudnya hendaklah kamu undurkan
pembayarannya (sampai dia berkelapangan) dibaca maisarah atau maisurah.
(Dan jika kamu menyedekahkannya), dibaca dengan tasydid, yakni setelah
mengidghamkan ta’ pada asalnya pada shad menjadi tas}s}addaqu>, juga tanpa
tasydid hingga dibaca tas}addaqu>, yakni telah dibuang ta’ sedangkan artinya
ialah mengeluarkan sedekah kepada orang yang sedang dalam kesusahan itu
dengan jalan membebaskannya dari utang, baik sebagian maupun keseluruhan
(itu lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui) bahwa demikian itu baik, maka
kerjakanlah! Dalam sebuah hadis disebutkan, "Barang siapa yang memberi
tangguh orang yang dalam kesusahan atau membebaskannya dari utang, maka
Allah akan melindunginya dalam naungan-Nya, di hari saat tak ada naungan
selain naungan-Nya." (H.R. Muslim)3
Dalam kitab tafsir al-Qurtubi dijelaskan bahwa ayat ini mengandung
sembilan masalah:4
ْ ُ ُ َ َ ْ
1. Firman Allah SWT, ‫“ َواِ ن كان ذ ْو عس َر ٍة‬Dan jika (orang berutang itu) dalam

kesukaran." Setelah Allah SWT menetapkan kepada orang-orang yang


melakukan riba untuk mengambil modal dasar mereka saja dan

3
Jalaluddin al-Mahalli dan Jalaluddin al-Suyuti, Tafsir Jalalain (al-Qahirah: Dar Hadis, 1431 H)
62.
4
Abu Abdillah al-Qurthubi, al-Jami’ li al-Ah{kam al-Qur’an (al-Qahirah: Dar al-Kutub al-Misriyah,
1964 M) Juz 3, 371-375.

3
mengembalikan harta yang mereka hasilkan dari perbuatan riba, jika mereka
masih memiliki harta tersebut, lalu Allah SWT menetapkan bagi orang yang
merasa kesulitan dalam mengembalikannya untuk menunggu hingga
keadaannya membaik.
Ayat ini diturunkan kepada masyarakat Tsaqif ketika mereka
meminta harta mereka yang dipinjamkan kepada bani Mughirah, lalu ketika
bani Mughirah mengeluh bahwa keadaan mereka saat itu sedang dalam
kesusahan, dan mereka juga mengatakan bahwa pada saat itu mereka tidak
memiliki apa-apa untuk dibayarkan. Kemudian mereka meminta waktu
ْ ُ ُ َ َ ْ
hingga saat panen tiba Lalu turunlah ayat ini, ‫" َواِ ن كان ذ ْو عس َر ٍة‬Dan jika

(orang berutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai dia
berkelapangan."
ْ ُ ُ َ َ ْ
2. Firman Allah SWT, ‫ َواِ ن كان ذ ْو عس َر ٍة‬Dan Jika (orang berutang itu) dalam

ُ َ َ
ْ ْ ُ ُ ُ ْ ُ َ ْ ُُْ ْ َ
kesukaran." Dengan firman Allah SWT, ‫“ و ِإن تبتم فلكم رؤس أموا ِلكم‬Dan jika

kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu."


Menunjukkan ketetapan penagihan utang dari pemilik piutang kepada orang
yang berutang. Dan juga pembolehan mengambil harta orang yang berutang
secara paksa. Serta menunjukkan pula bahwa ketika orang yang berutang
menolak melunasi utangnya, padahal ia mampu, maka ia termasuk orang-
ُ َ َ
ْ ْ ُ ُ ُ ْ ُ َ
orang yang dhalim, karena Allah SWT berfirman: ‫" فلكم رؤس أموا ِلكم‬Maka

bagimu pokok hartamu.” Jelas sekali bahwa para pemilik piutang memiliki
hak atas penagihan harta yang dipinjamkannya, dan jika ia memiliki hak
tersebut maka orang yang berutang berkewajiban untuk mengembalikan
harta yang dipinjamnya.
3. Al Mahdawi dan beberapa ulama lainnya berpendapat bahwa ayat ini
sebagai penasakh (ayat yang menghapus hukum) jual beli yang terdapat
pada masa jahiliyah bagi orang yang kesulitan. Diriwayatkan dari Makki

4
bahwa Nabi SAW pernah memerintahkan hal itu pada masa awal
diajarkannya agama Islam.
Mengenai hal ini Ibnu Athiyah mengatakan: Jika memang benar
riwayat dari Nabi SAW tersebut maka benarlah ayat ini sebagai penghapus,
namun jika tidak maka ayat ini bukanlah ayat penghapus. Kemudian, Ath-
Thahawi mengatakan: Dahulu pada masa awal diturunkannya ajaran Islam,
orang yang merdeka juga dapat diperjual belikan jika orang tersebut tidak
memiliki harta sama sekali untuk membayar utangnya. Lalu hal itu dihapus
َْ ٌ َ َ ْ ُ ُ َ ْ
dengan firman Allah SWT, ‫“ َو ِإن كان ذو عس َر ٍة فن ِظ َرة ِإلى َميس َر ٍة‬Dan jika (orang

berutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai dia


berkelapangan.
Kemudian, para ulama yang berpendapat seperti ini berdalil dengan
hadits yang diriwayatkan oleh al-Daraquthni, dari Muslim bin Khalid al-
Zanji, dari Zaid bin Aslam, dari ibnu al-Bailamani, dari Surraq, ia berkata:
Aku pemah berutang kepada seorang laki-laki, lalu ia membawaku
menghadap Rasulullah SAW, namun beliau juga tidak mampu untuk
membantuku, lalu aku pun dijual olehnya. Hadits ini diriwayatkan dari
Bazzar dengan isnad yang lebih panjang lagi. Dua perawi hadits ini, yaitu
Muslim bin Khalid Al-Zanji dan Abdurrahman al-Bailamani tidak dapat
dijadikan hujjah.
Sedangkan jumhur ulama berpendapat bahwa firman Allah SWT,
َْ ٌ َ َ ْ ُ ُ َ ْ
‫“ َو ِإن كان ذو عس َر ٍة فن ِظ َرة ِإلى َميس َر ٍة‬Dan jika (orang berutang itu) dalam

kesukaran, maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan.” Ini adalah


untuk seluruh manusia. Oleh karena itu setiap orang yang sedang kesulitan
ekonomi maka ia berhak untuk diberikan penangguhan. Ini adalah pendapat
dari Abu Hurairah al-Hasan dan ulama lain secara keselunrhan.
An-Nuhas mengatakan: Pendapat yang paling baik mengenai ayat
ini adalah pendapat dari Atha', Adh-Dhahak, Rabi', dan Khaitsam. Yaitu:
setiap orang yang merasa kesulitan berhak untuk ditangguhkan, dalam hal

5
riba ataupun utang. Karena pendapat ini telah menyatukan pendapat-
pendapat lainnya, termasuk juga pendapat yang mengatakan bahwa ayat ini
sebagai pe-naskh yang diturunkan pada hukum riba. Sebab, bacaan dengan
ٌ َ َ
harakat dhammah (pada kata ‫ )فن ِظ َرة‬maknanya adalah, “Jika siapapun dari

kamu merasa kesulitan dalam membayar, dalam hal apapun...”. Namun


apabila ayat ini dikhususkan untuk riba, maka akan lebih tepat jika
َ َ
menggunakan harakat fathah (‫)فن ِظ َرة‬, yang maknanya menjadi, “Jika

seseorang yang melakukan riba merasa kesulitan...”.


Sedangkan Ibnu Abbas dan Syuraih berpendapat bahwa ayat ini
khusus untuk masalah riba, adapun mengenai utang dan transaksi lainnya
itu tidak dapat ditangguhkan, ia harus melmasi kepada yang berhak.
Pendapat ini juga disampaikan oleh Ibrahim. Lalu mereka berdalil dengan
َ َ
ْ َ ْ ُّ َ ُ ْ ْ ُ ُ ُ ْ َ َ َّ َّ
firman Allah SWT, ‫مانات ِإلى أه ِلها‬
ِ ‫“ ِإن اَّلل يأمركم أن تؤدوا الأ‬sesungguhnya

Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kcpada yang berhak


menerimanya." (Qs. An-Nisaa' 4: ayat 58)
Ibnu Athiyah menanggapi: Pendapat ini bisa saja berlalu pada
seseorang yang tidak terlalu miskin namun jika orang tersebut sangat
kesulitan dan tidak memiliki apa-apa untuk membayar, maka secara darurat
ia harus diberikan penangguhan.
4. Barang siapa yang memiliki utang yang sangat banyak, dan para pemilik
piutang menagih harta mereka, maka bagi hakim (pemimpin/yang
memutuskan perkara) untuk menanggalkan seluruh harta milik orang yang
berutang tersebut untuk melunasi utangnya dan meninggalkan apa yang
menjadi kebutuhannya sehari-hari saja.
Bahkan Ibnu Nafi' meriwayatkan dari imam Malik, bahwa orang
tersebut tidak boleh disisakan kecuali hanya pakaian yang dapat menutupi
tubuhnya saat itu saja. Adapun pendapat yang diunggulkan dalam madzhab
Maliki adalah: orang tenebut boleh ditinggali pakaian yang biasanya ia

6
pakai sehari-hari, dan bukan pakaian yang terkesan berlebihan namun jika
pakaian yang dipakainya saat itu agak berlebihan sebaiknya tidak
ditanggalkan. Sedangkan mengenai pakaian istrinya atau penjualan kitab-
kitab jika ia termasuk seorang yang pintar, para ulama madzhab (Maliki)
berbeda pendapat mengenai pengarnbilan atau pembiarannya.
Sedangkan untuk tempat tinggal, pelayan, atau pakaian lainnya,
harus diambil jika belum cukup menutupi keseluruhan utangnya. Namun
jika ada hartanya yang telah disita seperti itu, maka ia haram dipenjara.
َْ ٌ َ َ ْ ُ ُ َ ْ
Dalilnya adalah firman Allah SWT, ‫“ َو ِإن كان ذو عس َر ٍة فن ِظ َرة ِإلى َميس َر ٍة‬Dan

jika (orang berutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai dia
berkelapangan."
Para imam hadits meriwayatkan sebuah hadits dari Abu Sa'id al
Khudri, ia berkata: Ketika Nabi Muhammad SAW masih hidup, ada seorang
laki-laki yang tertimpa musibah kerugian dari hasil panennya, kemudian ia
pun dihimpit oleh utang, lalu Rasulullah SAW berkata: "Bersedekahlah
kepadanya." Lalu orang-orang pun bersedekah kepadanya namun sedekah
tersebut masih tetap tidak dapat menutupi seluruh utangnya, kemudian
Rasulullah SAW berkata kepada para pemilik piutang ,"Ambillah apa yang
dapat kamu ambil, dan janganlah berlebihan." Lafazh hadits ini diambil dari
imam Muslim. Sedangkan riwayat Abu Daud menyebutkan: lalu Rasulullah
SAW hanya memerintahkan kepada para pemilik piutang untuk mengambil
hartanya saja tidak yang lainnya.
Ini adalah dalil yang tidak perlu penjelasan lagi, dimana Rasulullah
SAW tidak memerintahkan untuk menahan (memenjarakan) laki-laki yang
berutang tadi (yakni Muadz bin Jabal seperti yang dikatakan oleh Syuraih),
ataupun menguntitnya. Berbeda dengan pendapat Abu Hanifah yang
mengatakan bahwa orang tersebut harus diikuti kemana ia pergi, karena
mungkin suatu waktu ia akan memiliki harta yang dapat menutupi utangnya
tersebut.

7
5. Jika orang tersebut mengaku bangkrut dan tidak memiliki apa-apa lagl,
menurut pendapat imam Malik, dan juga asy-Syaf i, imam Abu Hanifah
serta ulama lainnya, maka orang tersebut harus ditahan (dipenjara) hingga
terlihat jelas ketiadaannya (kemiskinannya).
Imam Malik berpendapat bahwa orang tersebut tidak harus ditahan
jika ia tidak dituduh menyembunyikan hartanya dan berusaha membayar
semua utangnya. Ia juga tidak harus ditahan jika kesulitannya terlihat
dengan jelas, seperti yang telah kami sebutkan sebelumnya.
6. Jika orang yang bangkrut tadi telah mengumpulkan uang sejumlah
utangnya, kemudian uang itu hilang sebelum ia membayarkannya kepada
pemilik piutang tersebut, maka orang yang bangkrut ini masih menanggung
bebannya, dan piutang yang dimiliki pihak lain pun masih tetap ada. Akan
tetapi jika uang itu telah diserahkan kepada seorang hakim (penengah), lalu
sebelum diserahkan kepada pemilik piutang uang tersebut hilang dari
tangannya, maka orang yang bangkrut tadi telah terlepas dari beban
utangnya. Tanggungjawab telah digantikan kepada hakim atau pemilik
piutang atau keduanya.
Namun Muhammad bin Abdul Hakam berpendapat bahwa beban
utang tersebut masih ditanggung oleh orang yang bangkrut tadi selamanya,
hingga uang tersebut sampai ke tangan pemilik piutang.
ُ ْ ُْ
7. Makna dari kata ‫ العس َرة‬sendiri adalah keadaan yang sulit dalam segi tidak

ُ َّ
memiliki harta. Sedangkan kata ‫ الن ِظ َرة‬maknanya adalah: penundaan atau

ُ َْ ْ
penangguhan. Sementara kata ‫ ال َميس َرة‬adalah bentuk masdar yang bermakna

ُْْ
‫ اليس ِر‬dan artinya adalah kemudahan atau kelapangan.

8
ُ َ َ
Adapun untuk kata ‫ ذو‬dirafa’kan karena didahului oleh kata ‫كان‬. ,

ُ
dan makna dari kata ‫ ذو‬sendiri adalah terjadi atau merasakan. Ini adalah

pendapat dari Sibawaih, Abu Ali, dan ulama bahasa lainnya. Atau boleh
juga dengan menggunakan nashab, seperti yang disebutkan dalam mushaf
َْ ٌ َ َ ْ ُ
Ubai bin Ka' ab ‫ ذا عس َر ٍة فن ِظ َرة ِإلى َميس َر ٍة‬yang maknanya: “Jika orang yang

ditagih itu merasakan kesulitan.”


Lain lagi dengan bacaan al A’masy, ia membaca ayat ini dengan
ٌ َ َ ْ َ َ ْ
bacaan: ‫ َو ِإن كان ُمع ِسرا فن ِظ َرة‬Abu Amru al-Dani meriwayatkan dari Ahmad

bin Musa, ia mengatakan bahwa dalam mushaf Ubai bin Ka'ab juga
menyebutkan bacaan seperti ini.
Kemudian al-Nuhas, Makki, dan An-Nuqasy mengatakan: Jika
dibaca demikian maka lafadh ayat ini dikhususkan untuk orang-orang yang
ُ
melakukan riba saja sedangkan yang membaca dengan menggunakan ‫ذو‬

maka lafazh ayat ini adalah umum untuk semua yang memiliki utang, seperti
yang telah kami terangkan sebelumnya.
Al Mahdawi meriwayatkan: Yang disebutkan dalam mushhaf
ٌ َ َ َ َ ْ
Utsman adalah: ‫ َو ِإن كان ذا فن ِظ َرة‬riwayat ini disebutkan oleh al-Nuhas.

ٌ َ
Sedangkan kata ‫ ن ِظ َرة‬yang dibaca oleh jumhur dengan menggunakan

harakat kasrah pada huruf zha', dibaca oleh Mujahid Abu Raja, dan Hasan,
ٌ ْ َ َ
dengan: ‫( فنظ َرة‬dengan menggunakan sukun pada huruf zha’) Ini adalah

bagian dari bahasa Tamimiyah, contoh lainnya yang dibaca demikian


َ َ ٌ َ
adalah, kata ‫ ك َر ِم‬yang dibaca ‫ ك ْر ٍم‬dan juga kata ‫ كبد‬yang dibaca ‫ك ْبد‬.

9
َْ َ
Sedangkan bacaan jumhur untuk kata ‫"ميس َر ٍة‬ dengan menggunakan

harakat fathah pada huruf sin. Sementara Nafi ' membacanya dengan:
(dengan menggunakan harakat dhammah pada huruf sin).
ُ َ ٌ ْ َ ُ َّ َ َ ْ َ
8. Firman Allah SWT, ‫“ َوأن تصدقوا خير لكم‬Dan menyedekahkan (sebagian atau
ْ

ُ َّ َ َ ْ َ َ
semua utang) itu, lebih baik bagimu." Kalimat ‫ وأن تصدقوا‬menempati posisi

َ
mubtada', sedangkan khabarnya adalah kata ‫خ ْي ٌر‬.

Pada firman ini Allah SWT menyarankan kepada pemilik piutang


untuk bersedekah kepada orang yang berutang yang sedang dalam kesulitan,
dan menjadikan sedekah itu lebih baik daripada menangguhkannya.
Pendapat ini disampaikan oleh al-Suddi, Ibnu Zaid, dan al-Dhahak.
Kemudian Ath-Thabari juga menyampaikan makna lain dari
beberapa ulama lainnya, yaitu: bersedekah kepada orang yang kaya dan
orang miskin itu lebih baik bagimu. Namun tentu saja yang paling benar
adalah makna yang pertama tadi, karena pada ayat ini tidak disebutkan
kalimat orang kaya.
9. Abu Ja'far al-Thahawi meriwayatkan, dari Buraidah bin al Khashib, ia
berkata: Rasulullah SAW pernah bersabda:
ُ َُ َ َ َ
ٌ َ َ َ ْ َْ
"‫َم ْن أنظ َر ُمع ِسرا كان له ِبك ِل َي ْو ٍم صدقة‬
“Barangsiapa yang menangguhkan orang yang kesulitan (dalam membayar
utang) maka ia (akan dilimpahkan) setiap harinya pahala bersedekah."
Kemudian aku berkata: apakah setiap hari ia bersedekah dengan
jumlah (utang) yang sama? Beliau menjawab:
ٌ َ َ َ ْ ْ َ ُ ُ َ َ ْ َ ْ َ ُ َ َ ْ َ َ َ ُ ْ َّ َّ َ ْ َ َ ٌ َ َ َ ْ َ ُ
‫الح ِل فله ِبك ِل يو ٍم ِمث ِل ِه صدقة‬
ِ ‫يحل الدين ف ِإذا أنظره بعد‬
ِ ‫ِبك ِل يو ٍم صدقة ما لم‬
"Setiap harinya ia akan mendapatkan pahala sedekah selama belum tiba
waktu pelunasan, namun jika ia menangguhkannya lagi setelah waktu

10
‫‪pelunasan, maka setiap harinya ia akan mendapatkan pahala sedekah yang‬‬
‫‪sama dengan jumlah utangnya.‬‬
‫‪Lalu imam Muslim meriwayatkan dari Abu Mas'ud, ia berkata:‬‬
‫‪Rasulullah SAW pernah bersabda:‬‬
‫َّ ََّ ُ َ َ ُ َ ُ َّ َ َ َ َ‬ ‫َ‬
‫َ ْ ُ‬ ‫ُ ٌ َّ َ َ َ َ ُ َ َ‬ ‫ُ‬
‫وس َب َرجل ِِم ْن كان ق ْبلك ْم فل ْم ُيوجد له من الخير شي ِإلا أنه كان يخا ِلط الناس وكان‬
‫ح ِ‬
‫َ‬ ‫َ‬ ‫ْ‬
‫َ َ َ َ َّ ُ َ َّ َ َ َّ َ ْ ُ َ ُّ َ َ‬ ‫َ َ َ َ ُ ُ ْ َ َُ ْ َ َ َ َ ُ َ ُْ ْ‬ ‫ُ‬
‫وسرا فكان يأمر ِغلمانه أن يتجاوزوا ع ِن المع ِس ِر قال قال اَّلل عز وجل نحن أحق ِبذ ِلك‬ ‫م ِ‬
‫ْ ُ ََ َ ُ َ ْ ُ‬
‫اوزوا عنه‬ ‫ِمنه تج‬
‫‪“Ada seorang laki-laki dari zaman sebelum kamu yang dihisab (pada hari‬‬
‫‪kiamat), namun tidak satu kebaikanpun didapati darinya, kecuali ia sering‬‬
‫‪bertransaksi dengan orang lain dan ia adalah seorang yang kaya, ia selalu‬‬
‫)‪memerintahkan anak buahnya untuk memaafkan (dan menghapuskan utang‬‬
‫‪kepada orang yang kcsulitan dalam membayar utangnya. Lalu Allah SWT‬‬
‫‪berfirman: Kami lebih berhak untuk memaafkan daripada dia, oleh karena‬‬
‫”‪itu maafkanlah dia (dan hapuskan dosanya).‬‬
‫‪Ayat selanjutnya yang menjelaskan hutang piutang yakni QS. Al-‬‬
‫‪Baqarah ayat 282 dan 283, yang berbunyi:‬‬

‫َ‬ ‫ٰٓ َ َ ُّ َ ًّ َ ْ ُ ُ ْ ُ َ ْ َ ْ ُ ْ َّ ْ َ ُ ْ َ ٌ ْ َ ْ‬ ‫َ ََ ُْ َ‬ ‫َ َ َّ ْ َ ٰ ُ‬
‫ب ِبالعد ِلِۖ َولا‬ ‫يٰٓايُّها ال ِذين ا َمن ْوْٓا ِاذا تد َاينت ْم ِبد ْي ٍن ِالى اج ٍل مسمى فاكتبوهۗ وليكتب بينكم ك ِات ٌۢ‬
‫ْ‬ ‫ْ‬ ‫َّ‬ ‫ْ‬ ‫ْ‬ ‫َ‬ ‫ْ‬ ‫َ‬ ‫ْ‬
‫اَّلل َف ْل َيك ُت ْب َول ُي ْملل الذ ْي َع َل ْيه ال َح ُّق َول َيَّتق ه َ‬
‫اَّلل َرَّب له َو َلا َي ْب َ ْ‬ ‫َيأ َب َكات ٌب ا ْن َّيك ُت َب ك َما َعَّل َم ُه ه ُ‬
‫ِ‬ ‫ِ‬ ‫ِ‬ ‫ِ‬ ‫ِ‬ ‫ْۚ‬ ‫ِ‬
‫ْ‬ ‫ْ‬ ‫َ‬ ‫ُ‬ ‫َّ‬ ‫ْ‬ ‫َ‬ ‫َ َ‬ ‫َ‬ ‫َ‬ ‫َ‬ ‫َ ُّ‬ ‫ْ‬ ‫َ‬ ‫َ‬ ‫َّ‬ ‫َ‬ ‫َ‬ ‫ْ‬ ‫َ‬ ‫ْ ُ َ‬
‫ل‬ ‫َ‬
‫ِمنه ش ْي ًٔـاۗ ف ِان كان ال ِذ ْي عل ْي ِه الحق َس ِف ْيها ا ْو ض ِع ْيفا ا ْو لا ي ْست ِط ْي ُع ان ُّي ِمل ه َو فل ُي ْم ِلل َولِ ُّيه‬
‫َ ٰ َّ َ َ َ‬ ‫َ ُ َ ْ َّ ُ َ ُ َ َ ُ ٌ‬ ‫َ‬ ‫َْ ْ َ ْ َ ْ ُ َ‬
‫استش ِهد ْوا ش ِه ْيد ْي ِن ِم ْن ِرجا ِلك ْمْۚ ف ِان ل ْم يَك ْونا َرجل ْي ِن ف َرجل َّو ْام َرات ِن ِِم ْن ت ْرض ْون ِم َن‬ ‫ِبالعد ِلۗو‬
‫َ َ‬ ‫ُ ُ‬ ‫ُّ َ َۤ َ ْ َ َّ ْ ٰ ُ َ َ ُ َ َ ْ ٰ ُ َ ْ ُ ْ ٰ َ َ َ ْ َ ُّ َ َۤ ُ َ‬
‫اء ِاذا َما دع ْواۗ َولا َ ْس مـ ُم ْوْٓا‬ ‫الشهد ِاء ان ت ِضل ِاحدىهما فتذ ِكر ِاحدىهما الاخرىۗولا يأب الشهد‬
‫َّ َ َ ْ ٰ ََّ َ َ َّ‬ ‫ْ َ ه َْ‬ ‫ٰ ُ َْ ُ‬ ‫ٰٓ َ َ‬ ‫َ َ‬
‫َْ َ ُْ ُْ َ ْ‬
‫اَّلل َواق َو ُم ِللش َهاد ِة َوادن ْٓى الا ت ْرت ُاب ْوْٓا ِالآْ‬ ‫ْ‬
‫ان تكت ُبوه ص ِغيرا ا ْو ك ِبيرا ِالى اج ِلهۗ ذ ِلك ْم اق َسط ِعند ِ‬
‫َ ََ ْ ُ‬ ‫َ َ ُ ُ َ ٌ ََّ َ ْ ُ َ َ ْ ُ‬ ‫َ َْ ُ َ َْ‬ ‫ُ‬ ‫َْ َ ُ ْ َ َ َ َ‬
‫اض َرة ت ِد ْي ُر ْون َها َبينك ْم فلي َ عل ْيك ْم جناح الا تكت ُب ْوهاۗ َواش ِهد ْ ْٓوا ِاذا ََ َايعت ْمِۖ‬ ‫ان تكون ِتجارة ح ِ‬
‫ُ‬ ‫ْ َ ْ َ ُ ْ َ َّ ل ُ ْ ٌ ُ‬ ‫َ َ‬ ‫َ‬ ‫َ‬
‫اَّللۗ َو ه ُ‬
‫اَّلل‬ ‫اَّللۗ َو ُي َعل ُمك ُم ه ُ‬ ‫ق بك ْمۗ َوَّات ُقوا ه َ‬ ‫ۗ َواِ ن تفعلوا ف ِانه ف ُسو ٌِۢ‬
‫ٌ‬
‫ِۖ َولا ُيضاَّۤر ك ِات ٌب َّولا ش ِه ْيد ە‬
‫َ‬
‫ۖ‬
‫ِ‬
‫َ ٌ َ ْ َ‬ ‫ْ‬ ‫َ ٰ‬ ‫َ َ ُ َ‬ ‫َ‬ ‫ْ ُْ َ ٰ‬ ‫ُ‬ ‫َ‬ ‫ُ َ‬
‫ِبك ِل ش ْي ٍء ع ِل ْي ٌم ( البقرة‪َ ۞ )282:2/‬واِ ن كنت ْم على َسف ٍر َّول ْم ِتجد ْوا كا ََِا ف ِره ٌن َّمق ُب ْوضةۗف ِان ا ِم َن‬

‫‪11‬‬
ُ ْ ُ ْ َ َ ‫هَ ل‬ ََّ ْ ‫َ َ َ ل‬ َّ َ ْ َ
‫َ َّ ل‬ َ َ َّ ُْ ْ ُ ُ ْ
ْٓ‫اَّلل َرَّبهۗ َولا تكت ُموا الش َهادةۗ َو َم ْن َّيكت ْم َها ف ِانه‬ ‫َبعضك ْم َبعضا فل ُيؤ ِد ال ِذى اؤت ِم َن ا َمانته َوليت ِق‬
َ َ ُ َْ َ ُ‫ٰ ٌ َ ُْ ل َ ه‬
)282:2/‫اَّلل ِبما تع َمل ْون ع ِل ْي ٌم ࣖ ( البقرة‬‫ا ِثم قلبهۗ و‬

Wahai orang-orang yang beriman, apabila kamu berutang piutang untuk waktu
yang ditentukan, hendaklah kamu mencatatnya. Hendaklah seorang pencatat di
antara kamu menuliskannya dengan benar. Janganlah pencatat menolak untuk
menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajar-kan kepadanya. Hendaklah
dia mencatat(-nya) dan orang yang berutang itu mendiktekan(-nya). Hendaklah
dia bertakwa kepada Allah, Tuhannya, dan janganlah dia menguranginya
sedikit pun. Jika yang berutang itu orang yang kurang akalnya, lemah
(keadaannya), atau tidak mampu mendiktekan sendiri, hendaklah walinya
mendiktekannya dengan benar. Mintalah kesaksian dua orang saksi laki-laki di
antara kamu. Jika tidak ada (saksi) dua orang laki-laki, (boleh) seorang laki-
laki dan dua orang perempuan di antara orang-orang yang kamu sukai dari para
saksi (yang ada) sehingga jika salah seorang (saksi perempuan) lupa, yang lain
mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi itu menolak apabila dipanggil.
Janganlah kamu bosan mencatatnya sampai batas waktunya, baik (utang itu)
kecil maupun besar. Yang demikian itu lebih adil di sisi Allah, lebih dapat
menguatkan kesaksian, dan lebih mendekatkan kamu pada ketidakraguan,
kecuali jika hal itu merupakan perniagaan tunai yang kamu jalankan di antara
kamu. Maka, tidak ada dosa bagi kamu jika kamu tidak mencatatnya. Ambillah
saksi apabila kamu berjual beli dan janganlah pencatat mempersulit (atau
dipersulit), begitu juga saksi. Jika kamu melakukan (yang demikian),
sesungguhnya hal itu suatu kefasikan padamu. Bertakwalah kepada Allah,
Allah memberikan pengajaran kepadamu dan Allah Maha Mengetahui segala
sesuatu. (Al-Baqarah 2: Ayat 282) Jika kamu dalam perjalanan, sedangkan
kamu tidak mendapatkan seorang pencatat, hendaklah ada barang jaminan
yang dipegang. Akan tetapi, jika sebagian kamu memercayai sebagian yang
lain, hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (utangnya) dan
hendaklah dia bertakwa kepada Allah, Tuhannya. Janganlah kamu
menyembunyikan kesaksian karena siapa yang menyembunyikannya,

12
sesungguhnya hatinya berdosa. Allah Maha Mengetahui apa yang kamu
kerjakan. (Al-Baqarah 2: Ayat 283)
Dalam kitab tafsir Fi Dhilal al-Qur’an ayat diatas menjelaskan bahwa
setiap seseorang yang hutang diwajibkan menulisnya tidak ada pilihan untuk
tidak melakukannya. Penulis dari hutang tersebut bukan dari yang sedang
bertransaksi akan tetapi ada pihak ketiga. Hikmahnya agar lebih berhati-hati.
Kemudian imbauan kepada penulis, agar tidak menunda-nunda, enggan, dan
merasa keberatan melaksanakannya, karena hal tersebut sebuah tanggung
jawab dan kewajiban dari Allah SWT.5
Orang yang berutang hendaknya mendiktekan kepada penulisnya,
mengenai hutang yang telah lewat, kecuali yang berhutang itu bodoh.
Kemudian harus ada dua saksi ketika akad dan juga saksi tersebut adil dan
diridhai oleh kedua belah pihak. Seorang saksi wajib mendatangi panggilan
ketika dibutuhkan. “Jangan pernah bosan” mempunyai kesan kejiwaan
manusia ketika ia merasa bahwa beban pekerjaan yang dilakukan itu lebih
besar daripada nilainya.6
Ketika seseorang bermuamalah dan tidak menulisnya maka hal tersebut
merupakan rukshah dan tidak berdosa, tetapi mempersaksikannya wajib. Ada
beberapa riwayat yang mengatakan persaksian itu hanya bersifat anjuran dan
tidak wajib, tetapi pendapat yang terkuat ialah yang wajib. Jangan
dikesampingkan juga hak-hak juru tulis dan saksi, agar terdapat keseimbangan
hak dan kewajiban dengan menunaikan tugas-tugas umum. Hal yang perlu
dihindari kepada saksi dan juru tulis itu kemudharatan-kemudharatan. Ada
keringanan, boleh bertransaksi lisan dengan tidak ditulis, tetapi harus
menyerahkan barang tanggungan kepada yang memberi hutang sebagai
jaminan bagi hutang tersebut.7
Orang yang berutang memegang amanah hutangnya, sedangkan yang
memberikan hutang memegang amanah barang jaminannya, jadi mereka

5
Sayyid Qutub, Tafsir Fi Dhilal al-Quran (Misri: Dar Syuruq, 1968), 335.
6
Sayyid Qutub, Tafsir Fi ...,336.
7
Sayyid Qutub, Tafsir Fi ...,337.

13
berdua sama-sama memegang amanah Allah. Ditujukan kepada saksi-saksi
yang menyembunyikannya maka berdosa hatinya. Tidak ada sesuatupun yang
samar bagi Allah, hal ini menggiring hati untuk takut kepada penguasa langit
dan bumi dengan segala isinya.8
Dalam kitab tafsir Munir, menjelaskan bahwa ketika bertransaksi tidak
secara tunai baik jual beli, akad salam, atau akad hutang-piutang maka hendak
membuat surat tanda bukti atas transaksi tersebut serta dilengkapi dengan
penjelasan tempo waktu pelunasan yang jelas dan pasti. Argumen ini sama
seperti yang dikemukakan Sayyid Qutub akan tetapi contoh aplikatifnya lebih
luas.9
Hal-hal lain yang sama dengan penjelasan Sayyid Qutub seperti halnya
larangan juru tulis untuk enggan atau menolak, juru tulis harus punya
pemahaman yang baik, adil, dan alim, berhak mendikte, juru tulis tidak
diperbolehkan mengurangi atau menambahi, ketika salah satu dari keduanya
lemah akalnya, dua orang saksi, dan hikmah-hikmahnya.10

8
Sayyid Qutub, Tafsir Fi ...,338.
9
Wahbah al Zuhaili, al-Tafsir al-Munir (Damaskus: Dar Fikr, 2009), Juz 2, 119.
10
Wahbah al Zuhaili, al-Tafsir..., 120-127.

14
BAB III

PENUTUP

Hutang adalah memberikan harta kepada orang yang akan


memanfaatkannya dan mengembalikan ganti rugi dikemudian hari. Atau juga bisa
diartikan penyediaan dana atau tagihan antar lembaga keuangan syari’ah dengan
pihak peminjam untuk melakukan pembayaran secara tunai atau cicilan dalam
jangka waktu tertentu.

Hutang piutang dalam al-Qur’an dijelaskan agak rinci, meliputi; anjuran,


cara-cara, prosedur, hingga persyaratannya. Dari tafsirannya tertangkap maksud
nash yang sangat luas dan terperinci.

15
DAFTAR PUSTAKA

Abdul Aziz dan Ramdansyah, “Esensi Utang dalam Konsep Ekonomi Islam” dalam
Bisnis (Vol. 4, No. 1, Juni 2016)

Abu Abdillah al-Qurthubi, al-Jami’ li al-Ah{kam al-Qur’an (al-Qahirah: Dar al-


Kutub al-Misriyah, 1964 M)

Jalaluddin al-Mahalli dan Jalaluddin al-Suyuti, Tafsir Jalalain (al-Qahirah: Dar


Hadis, 1431 H)

Sayyid Qutub, Tafsir Fi Dhilal al-Quran (Misri: Dar Syuruq, 1968)

Wahbah al Zuhaili, al-Tafsir al-Munir (Damaskus: Dar Fikr, 2009)

16

Anda mungkin juga menyukai