Anda di halaman 1dari 9

Fenomena Marginalisasi

Perempuan Dalam Bidang


Pertanahan
LADY DINAYLA IDWANI (010001900318)
MARSA ALIF WIDYADHANA (010001900339)
MARYZKA TIARA HARDY (010001900342)
marginalisasi dapat dikatakan
sebagai mengasingkan atau
membatasi kedudukan sosial
(The American Heritage, 2019)

KELOMPOK
Keberadaan kaum perempuan di Indonesia dipandang sebelah
mata oleh beberapa kalangan, dimana ada diskriminasi terhadap
kaum perempuan. Hal itu sering terjadi pada saat penentuan
kepemilikan suatu barang atau dalam hal yang lebih khusus,
yaitu kepemilikan tanah. Di Indonesia hampir seluruh sertifikat
hak atas tanah dimiliki oleh laki- laki. Hal itu disebabkan banyak
perempuan yang menyerahkan urusan pembuatan sertifikat itu
kepada laki-laki dikarenakan pihak perempuan berfikir
pembuatan sertifikat tanah menyita waktu sehingga
mengganggu aktivitas mereka dalam kegiatan rumah tangga.
Dalam Undang-Undang Pokok Agraria sendiri kesetaraan
gender sudah diatur dalam pasal 9 Ayat (2) yang
berbunyi “Tiap-tiap warga warga negara Indonesia, baik
laki-laki maupun wanita mempunyai kesempatan yang
sama untuk memperoleh sesuatu hak atas tanah serta
untuk mendapat manfaat dan hasilnya, baik bagi diri
Dalam
sendiri maupun keluarganya.” Hal ini membuktikan Pertanahan
negara telah mendukung peremuan dalam memperoleh
keadilan gender dalam perolehan hak atas tanah, dan
sekarang tinggal kemauan dari pribadi masing-masing
untuk mau atau tidak mengimplmentasikannya.
Partisipasi Masyarakat
Dalam rangka melaksanakan percepatan penguatan hak
atas tanah bagi rakyat Indonesia tidak bisa lepas dari
partisipasi masyarakatnya, karena peran serta
masyarakat sangat membantu. Selain menjadi subjek
dalam pendaftaran tanah, masyarakat juga bisa menjadi
pelaksana dalam kegiatan pendaftaran tanah.
Masyarakat disini merupakan sumber daya yang harus
diberdayakan agar terciptanya sinergi antara
masyarakat dan pembuat kebijakan.
Perempuan cenderung lebih rentan dan tidak terjamin mengenai
pertanahan dengan banyaknya tanah waris, harta hibah dan harta
bersama yang dimilikinya seringkali terlepas dari hak perempuan.

Hal ini bermula dari hal sederhana, yaitu keengganan atau


keterbatasan mereka dalam mencantumkan nama diri dalam
sertifikat tanah kepemilikannya.

Perempuan lebih menyerahkan urusan pengadministrasian


tanahnya dilakukan dan diatasnamakan kepada pihak laki-laki,
baik suami, saudaranya ataupun saudara orang tuanya.
Walaupun kesadaran hak-hak mereka atas tanah mulai tumbuh,
namun alasan kultural seperti ini tetap saja membatasi dirinya
dalam program sertifikasi tanah yang digalakkan pemerintah
sekarang ini.
Di Indonesia, konsep
dari ke 11 Undang – Undang
kesetaraan dan keadilan
yang ditetapkan oleh (DPR)
gender yang merujuk pada
bersama dengan Presiden
upaya untuk menghilangkan
berkaitan dengan hak-hak
diskriminasi terhadap
perempuan dalam kerangka
perempuan baru muncul pada
mengakomodasi urgensi
Garis Besar Halauan Negara
kesetaraan dan keadilan
(GBHN) tahun 1993-1998
gender; hanya enam dari
yang menyatakan perempuan LEGAL BASIS BAGI
keseluruhannya yang memiliki
memiliki hak- hak dan PEREMPUAN
manfaat praktis terhadap
kewajiban- kewajiban yang DI INDONESIA
perempuan
sama dengan lelaki lalu
dikeluarkannya Undang-
contohnya, Undang-Undang
Undang Nomor 7 tahun 1984
Nomor 39 Tahun 1999
tentang Pengesahan Konvensi
tentang HAM, Undang-
Penghapusan segala bentuk
Undang Nomor 23 Tahun
diskriminasi terhadap
2004 tentang Penghapusan
perempuan serta Inpres
KDRT
Nomor 9 Tahun 2000
Kelompok perempuan sangat rentan
dalam persoalan kepemilikan tanah.
Banyak tanah waris, harta hibah dan
harta bersama yang dimilikinya
seringkali terlepas saat peristiwa
perceraian terjadi karena kurangnya
pemahaman mereka

Yang dibutuhkan saat ini adalah dasar


hukum yang kuat untuk para
perempuan dan kesetaraan nya dalam
Indonesia terlebih lagi dalam
Pertanahan dan sosialisasi contohnya
seperti mengenai urusan
pengadministrasian
THANK YOU

Anda mungkin juga menyukai