Filsafat Pendidikan Islam
Filsafat Pendidikan Islam
Makalah Ini Disusun Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Filsafat Pendidikan Islam
Dosen Pengampu:
Dr. Mujiburrohman
Disusun Oleh:
1. Nur Arif Noviyanto (2140022036)
2. Kusnul Khotimah (2140022121)
3. Rizqina Anas Tausyiah Qonita Sholehah (2140022223)
4. Endang Sulistiani (2140022152)
5. Afifah Luthfitah (2140022096)
FAKULTAS TARBIYAH
INSTITUT ISLAM MAMBA’UL ‘ULUM SURAKARTA
2022
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum
Syukur alhamdulillah senantiasa kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat dan karunia-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan ini guna memenuhi
tugas kelompok untuk mata kuliah Filsafat Pendidikan Islam, dengan judul “Tantangan Fakultas
Tarbiyah Dalam Menatap Otonomi Daerah”.
Kami menyadari bahwa dalam pembuatan makalah ini tidak lepas dari bantuan banyak
pihak, maka dari itu kami ucapkan banyak terimakasih sehingga makalah ini dapat terselesaikan.
Kami menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna dikarenakan
terbatasnya pengalaman dan pengetahuan yang kami miliki. Oleh karena itu, kami
mengharapkan segala bentuk saran serta masukan bahkan kritik yang membangun dari berbagai
pihak.
Wassalamu’alaikum
Penulis
2
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.......................................................................................................2
DAFTAR ISI.....................................................................................................................3
BAB I PENDAHULUAN.................................................................................................4
A. Latar Belakang.......................................................................................................4
B. Rumusan Masalah..................................................................................................4
C. Tujuan dan Manfaat...............................................................................................4
BAB II PEMBAHASAN...................................................................................................5
A. Pengertian Otonomi Daerah..................................................................................5
B. Pemberdayaan Pendidikan Islam di Era Otonomi Daerah....................................6
C. Problematika Pendidikan Islam di Era Otonomi Daerah.......................................7
D. Kajian Kritis untuk Mencari Jalan Keluarnya.......................................................8
BAB III KESIMPULAN.................................................................................................12
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................................13
3
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah untuk mengatur
dan mengurus rumah tangganya sendiri sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku. Dari pengertian tersebut di atas maka akan tampak bahwa daerah diberi hak
otonom oleh pemerintah pusat untuk mengatur dan mengurus kepentingan sendiri.
Implementasi otonomi daerah telah memasuki era baru setelah pemerintah dan DPR
sepakat untuk mengesahkan UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
dan UU Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat
dan Daerah. Kedua UU otonomi daerah ini merupakan revisi terhadap UU Nomor 22 dan
Nomor 25 Tahun 1999 sehingga kedua UU tersebut kini tidak berlaku lagi.
Sejalan dengan diberlakukannya undang-undang otonomi tersebut memberikan
kewenangan penyelenggaraan pemerintah daerah yang lebih luas, nyata dan bertanggung
jawab. Adanya perimbangan tugas fungsi dan peran antara pemerintah pusat dan
pemerintah daerah tersebut menyebabkan masing-masing daerah harus memiliki
penghasilan yang cukup, daerah harus memiliki sumber pembiayaan yang memadai
untuk memikul tanggung jawab penyelenggaraan pemerintahan daerah. Dengan demikian
diharapkan masing-masing daerah akan dapat lebih maju, mandiri, sejahtera dan
kompetitif di dalam pelaksanaan pemerintahan maupun pembangunan daerahnya masing-
masing.
Memang harapan dan kenyataan tidak lah akan selalu sejalan. Tujuan atau
harapan tentu akan berakhir baik bila pelaksanaan dan pengawasan terhadap pelaksanaan
juga berjalan baik. Namun ketidaktercapaian harapan itu nampak nya mulai terlihat
dalam otonomi daerah yang ada di Indonesia. Masih banyak permasalahan yang
mengiringi berjalannya otonomi daerah di Indonesia. Permasalahan-permasalahan itu
tentu harus dicari penyelesaiannya agar tujuan awal dari otonomi daerah dapat tercapai.
4
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian dari otonomi daerah?
2. Apa saja pemberdayaan yang dilakukan fakultas tarbiyah di era otonomi daerah?
3. Apa problematika fakultas tarbiyah di era otonomi daerah?
4. Bagaimana solusi dari problematika fakultas tarbiyah di era otonomi daerah?
BAB II
PEMBAHASAN
5
sendiri, dan pemerintahan sendiri. S.H. Sarundajang berpendapat bahawa pada
hakikatnya otonomi daerah adalah (1) hak mengurus rumah tangga sendiri bagi suatu
daerah otonom; (2) dalam kebebasan menjalankan hak mengurus dan mengatur rumah
tangga sendiri, daerah tidak dapat menjalankan hak dan wewenang otonominya di luar
batas wilayah daerahnya; (3) daerah tidak boleh mencampuri hak mengatur dan
mengurus rumah tangga daerah lain; dan (4) otonomi tidak membawahi otonomi daerah
lain.
Kebijakan pemerintah yang mengatur Otonomi Daerah tertuang dalam UU No. 22
Tahun 1999, yang selanjutnya direvisi dengan UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah. Pada UU No. 24 Tahun 2004 Pasal 1 ayat (5) dikemukakan bahwa
otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur
dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai
dengan peraturan perundang-undangan. Daerah otonom di sini dimaksudkan adalah
kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang
mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat
menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan
Republik Indonesia.
Dari beberapa konsep di atas, otonomi daerah menunjuk kepada pada
kemandirian daerah, dimana daerah diberikan kewenangan untuk mengatur dan mengrus
rumah tangganya sendiri tanpa atau meminimalisir adanya campur tangan atau intervensi
pihak lain atau pemerintah pusat dan pemerintah di atasnya. Dengan otonomi tersebut,
daerah bebas untuk melakukan improvisasi, mengekspresikan dan mengapresiasikan
kemampuan dan potensi yang dimiliki, mempunyai kebebasan berpikir dan bertindak,
sehingga bisa berkarya sesuai dengan kebebasan yang dimilikinya. Tentu saja kebebasan-
kebebasan tersebut sejauh dalam koridor hukum perundang-undangan yang berlaku di
negara ini.
6
memberikan kepercayaan kepada mereka untuk berpartisipasi aktif dalam
penyelenggaraan pendidikan madrasah.
Kedua, madrasah hendaknya menjadi lembaga inklusif dan universal yang mampu
keluar dari jebakan-jebakan dikotomis yang selama ini melingkupi keilmuan di lembaga
pendidikan ini. Madrasah hendaknya menerima integrasi ilmu-ilmu umum dengan
terbuka, serta memberikan kebebasan kepada para siswa untuk mendalami
pengetahuan/keilmuan sesuai pilihan atau minatnya.
Ketiga, madrasah harus menjadi lembaga yang responsif terhadap berbagai
perubahan dan kebutuhan masyarakatnya, khususnya yang terjadi dalam dunia kerja.
Artinya, bagaimana madrasah mampu menjadi lembaga link and match yang
menyediakan lulusan yang siap kerja dengan berbekal nilai-nilai keagamaan. Tentu untuk
ini, dibutuhkan waktu, sarana dan prasarana yang tidak sedikit. Oleh karena itu,
paradigma efektif dan efesiensi dalam proses pendidikan harus dikedepankan.
Otonomi pendidikan memberikan kemandirian terhadap lembaga pendidikan
madrasah menuju kemandirian dan keberdayaannya dalam bingkai keislaman dan
kemasyarakatan.Tetapi, semua itu mesti menuntut tanggung jawab dari diri sendiri
bersama seluruh masyarakat. Karena, tidak sepantasnyalah kita selalu menyalahkan
birokrasi atau pemerintah sebagai penghambat kemajuan, madrasah.
Bertolak dari arah baru ini maka pemberdayaan madrasah dilaksanakan lewat:
1. Pemberdayaan manajemen, meliputi pemberdayaan SDM, manusia pengelola
pendidikan, kepala sekolah, guru, tenaga administrasi, pengawas, dan lain sebagainya
dan siap memasuki era manajemen berbasis sekolah.
2. Pemberdayaan sistemnya, dan sistem top down ke bottom up, sentralisasi ke
desentralisasi.
3. Pemberdayaan kebijakan, dan kebijakan yang memarjinalkan madrasah kepada
kebijakan yang membawa madrasah ke center.
4. Pemberdayaan masyarakat, melibatkan unsur-unsur masyarakat untuk ikut serta
dalam pemberdayaan madrasah, dengan cara meningkatkan peran serta
stakeholderdan akuntabilitas. Diakui faktor “ideologi” (motivasi keagamaan) dan
dakwah merupakan satu hal yang mendorong madrasah dengan segala
keterbatasannya baik gaji, sarana, dsb, namun masih bisa bertahan. Untuk itu
7
madrasah harus mempunyaipengembangan reformulasi baru sebagai pemain inti
dalam skop yang luas, inklusif, tidak sempit, universal didalam sistem pendidikan
nasional kita. Oleh karena pengembangan madrasah harus selalu dilakukan terus
menerus.
8
6. Partisipasi masyarakat masih rendah.
7. Madrasah tidak mampu mengikuti perubahan yang terjadi di lingkungannya.
Menurut penelitian Simmons dan Alexander bahwa ada tiga faktor untuk
meningkatkan mutu pendidikan, yaitu motivasi guru, buku pelajaran, dan buku
bacaan serta pekerjaan rumah. Dari hasil penelitian ini tampak dengan jelas bahwa
9
akhir penentu dalam meningkatkan mutu pendidikan tidak pada bergantinya
kurikulum, kemampuan manajemen dan kebijakan di tingkat pusat atau pemerintah
daerah, tetapi lebih kepada faktor-faktor internal yang ada di sekolah, yaitu peranan
guru, fasilitas pendidikan dan pemanfaatannya. Kepala Sekolah sebagai top
manajemen harus mampu memberdayakan semua unit yang dimiliki untuk dapat
mengelola semua infrastruktur yang ada demi pencapaian kinerja yang maksimal.
Selain itu, untuk dapat meningkatkan otonomi manajemen sekolah yang mendukung
peningkatan mutu pendidikan, Pimpinan Sekolah harus memiliki kemampuan untuk
melibatkan partisipasi dan komitmen dari orangtua dan anggota masyarakat sekitar
sekolah untuk merumuskan dan mewujudkan visi, misi dan program peningkatan
mutu pendidikan secara bersama-sama; salah satu tujuan UU Nomor 20 Tahun 2003
adalah untuk memberdayakan masyarakat, menumbuhkan prakarsa dan kreativitas,
meningkatkan peran serta masyarakat, termasuk dalam meningkatkan sumber dana
dalam penyelenggaraan pendidikan.
10
pendidikan dapat dipastikan daerah itu akan mengalami stagnasi dan kemandegan
menuju pemberdayaan masyarakat yang well educated dan tidak pernah mendapat
momentum yang baik untuk berkembang. Otonomi pendidikan harus mendapat
dukungan DPRD, karena DPRD-lah yang merupakan penentu kebijakan di tingkat
daerah dalam rangka otonomi tersebut. Di bidang pendidikan, DPRD harus
mempunyai peran yang kuat dalam membangun pradigma dan visi pendidikan di
daerahnya. Oleh karena itu, badan legislatif harus diberdayakan dan memberdayakan
diri agar mampu menjadi mitra yang baik. Kepala pemerintahan daerah, kota
diberikan masukan secara sistematis dan membangun daerah.
4. Membangun Pendidikan Berbasis Masyarakat
Kondisi Sumber Daya yang dimiliki setiap daerah tidak merata untuk seluruh
Indonesia. Untuk itu, pemerintah daerah dapat melibatkan tokohtokoh masyarakat,
ilmuwan, pakar kampus maupun pakar yang dimiliki Pemerintah Daerah Kota
sebagai mitra berpikir untuk turut membangun daerahnya, tidak hanya sebagai
pengamat, pemerhati, pengecam kebijakan daerah. Sebaliknya, lembaga pendidikan
juga harus membuka diri, lebih banyak mendengar opini publik, kinerjanya dan
tentang tanggung jawabnya dalam turut serta memecahkan masalah yang dihadapi
masyarakat.
5. Pengaturan Kebijakan Pendidikan antara Pusat dan Daerah
Pemerintah Pusat tidak diperkenankan mencampuri urusan pendidikan daerah.
Pemerintah Pusat hanya diperbolehkan memberikan kebijakan- kebijakan bersifat
nasional, seperti aspek mutu dan pemerataan. Pemerintah pusat menetapkan standar
mutu. Jadi, pemerintah pusat hanya berperan sebagai fasilitator dan katalisator, bukan
regulator. Otonomi pengelolaan pendidikan berada pada tingkat sekolah, oleh karena
itu lembaga pemerintah harus memberi pelayanan dan mendukung proses pendidikan
agar berjalan efektif dan efisien.
11
BAB III
KESIMPULAN
Dari penjelasan yang sudah diuraikan dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa jika semua yang
dilakukan dalam upaya menghadapi tantangan fakultas tarbiyyah dalam menatap otonomi daerah
. Otonomi daerah menunjuk kepada pada kemandirian daerah, dimana daerah diberikan
kewenangan untuk mengatur dan mengrus rumah tangganya sendiri tanpa atau meminimalisir
adanya campur tangan atau intervensi pihak lain atau pemerintah pusat dan pemerintah di
atasnya, temtu saja kebebasan-kebebasan tersebut sejauh dalam koridor hukum perundang-
undangan yang berlaku di negara ini..
DAFTAR PUSTAKA
12
Koesoemahatmadja, 9.
Wayong J., Asas dan Tujuan Pemerintahan Daerah (Jakarta: Penerbit Djambatan, 1979),
16.
S.H. Sarundajang, Arus Balik Kekuasaan Pusat Ke Daerah, (Jakarta: Pustaka Sinar
Harapan, 2001), 34.
Indra Djati Sidi, Sekolah Sebagai Pemegang Otonomi Pengelolaan Pendidikan dalam
Jurnal Studi Pembangunan, Kemasyarakatan & Lingkungan, Vol. 3, No. 1/2001, 42.
Azyumardi Azra, Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju Millenium Baru
(Jakarta: PT Logos Wacana Ilmu, 1999), 45.
Marihot Manulang, Otonomi Pendidikan dalam http://www.hariansib.com/index. php?
option=com_content&task=view&id=8202&Itemid=9 (diakses tanggal 8 Desember 2010)
Haidar Putra Daulay, Pendidikan Islam Dalam Sistem Pendidikan Nasional Di Indonesia,
(Jakarta : Kencana,2004), h.62.
Fasli Jalal dan Dedi Supriadi, , Reformasi Pendidikan dalam Konteks Otonomi Daerah,
(Yogyakarta : Adicipta Karya Nusa, 1999), 98.
13