Bimbingan Berhari Raya Iedul Fithri
Bimbingan Berhari Raya Iedul Fithri
Oleh
Ustadz Abu Sulaiman Aris Sugiyantoro
1. Mandi.
Pada hari ‘Id, disunnahkan untuk mandi. Karena pada hari tersebut kaum muslimin
akan berkumpul, maka disunnahkan mandi seperti pada hari Jum’at. Namun, apabila
seseorang hanya berwudhu’ saja, maka sah baginya. (Ibnu Qudamah, Al Mughni,
3/257). Dan kaifiyatnya seperti mandi janabat.
Nafi’ menceritakan, dahulu, pada ‘Idul Fithri, Ibnu Umar Radhiyallahu ‘anhuma mandi
sebelum berangkat ke tanah lapang. [Diriwayatkan Imam Malik dalam Al Muwaththa’,
1/177].
Sa’id Ibnul Musayyib rahimahullah berkata,”Sunnah pada hari ‘Idul Fithri ada tiga.
(Yaitu): berjalan kaki menuju tanah lapang, makan sebelum keluar rumah dan mandi.
[Irwa’ul Ghalil, 2/104].
َك اَن َر ُسْو ُل ِهللا َص َّلى ُهللا َع َلْيِه َو َس َّلَم َي ْلَب ُس َي ْو َم اْلِعْيِد ُبْر َد ًة َح ْم َر اَء
“Adalah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, pada hari ‘Id, Beliau mengenakan
burdah warna merah”. [Ash Shahihah, 1.279].
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,”Dahulu, ketika keluar pada shalat dua hari raya,
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenakan pakaian yang terindah. Beliau memiliki
hullah yang dikenakannya untuk dua hari raya dan hari Jum,at. Suatu waktu, Beliau
mengenakan dua pakaian hijau, dan terkadang mengenakan burdah (kain selimut
warna merah).” [Zaadul Ma’ad, 1/426].
Sedangkan bagi kaum wanita, tidak dianjurkan untuk berhias dengan mengenakan
baju yang mewah, atau mengenakan minyak wangi. Dan hendaknya, mereka menjauh
dari kaum lelaki agar tidak menimbulkan fitnah, sebagaimana realita yang kita lihat
pada zaman sekarang.
رواه البخاري.َك اَن َر ُسوُل ِهَّللا َص َّلى ُهَّللا َع َلْيِه َو َس َّلَم اَل َي ْغ ُد و َي ْو َم اْلِفْط ِر َح َّت ى َي ْأُك َل َت َمَر اٍت
“Adalah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak keluar untuk shalat ‘Idul Fithri,
sehingga Beliau makan beberapa kurma”. [HR Al Bukhari].
رواه.َك اَن الَّن ِبُّي َص َّلى ُهَّللا َع َلْيِه َو َس َّلَم اَل َي ْخ ُرُج َي ْو َم اْلِفْط ِر َح َّت ى َي ْط َع َم َو َي ْو َم الَّن ْح ِر اَل َي ْأُك ُل َح َّت ى َي ْر ِج َع َفَي ْأُك ُل ِمْن َن ِس ْي َك ِتِه
الترمذي وابن ماجه
“Adalah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak keluar pada hari ‘Idul Fithri,
sehingga Beliau makan. Dan Beliau tidak makan pada hari ‘Idul Adh-ha, sehingga
Beliau pulang ke rumah, kemudian makan dari daging kurbannya”.[HR At Tirmidzi
dan Ibnu Majah].
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,”Dahulu, sebelum keluar untuk shalat ‘Idul Fithri,
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam makan beberapa kurma, dengan jumlah yang ganjil.
Dan pada hari ‘Idul Adh-ha, Beliau tidak makan sehingga kembali dari tanah lapang,
maka Beliau makan dari daging kurbannya.” [Zaadul Ma’ad, 1/426].
4. Mengambil Jalan Yang Berbeda Ketika Berangkat Dan Pulang Dari Shalat ‘Id.
Disunnahkan untuk menyelisihi jalan, yaitu dengan mengambil satu jalan ketika
berangkat menuju shalat ‘Id, dan melewati jalan yang lain ketika pulang dari tanah
lapang.
Dari Jabir Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata:
رواه البخاري. َك اَن الَّن ِبُّي َص َّلى ُهَّللا َع َلْيِه َو َس َّلَم ِإَذ ا َك اَن َي ْو ُم ِع يٍد َخ اَلَف الَّط ِر يَق
“Adalah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, ketika hari ‘Id, Beliau mengambil jalan
yang berbeda ketika berangkat dan pulang”. [HR Al Bukhari di dalam Bab Al ‘Idain]
Hukum mengambil jalan yang berbeda ini hanya khusus pada dua hari ‘Id. Tidak
disunnahkan untuk amalan lainnya, seperti shalat Jum’ah, sebagaimana disebutkan
Ibnu Dhuwaiyan di dalam kitab Manarus Sabil 1/151. Atau dalam masalah amal shalih
yang lain, Imam An Nawawi menyebutkan di dalam kitab Riyadhush Shalihin, bab
disunnahkannya pergi ke shalat ‘Id, menjenguk orang sakit, pergi haji, perang,
mengiringi jenazah dan yang lainnya dengan mengambil jalan yang berbeda, supaya
memperbanyak tempat-tempat ibadahnya.
Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata: “Hal seperti ini tidak bisa diqiaskan.
Terlebih lagi amalan-amalan tersebut ada pada zaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam. Dan tidak pernah dinukil bahwa Beliau mengambil jalan yang berbeda, kecuali
pada dua hari ‘Id. Kita mempunyai satu kaidah yang penting bagi thalibul ilmi, segala
sesuatu yang ada sebabnya pada zaman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan
Beliau tidak mengerjakannya, maka amalan tersebut tertolak”. Hingga Syaikh Ibnu
Utsaimin berkata: “Maka yang benar, ialah pendapat yang mengatakan, mengambil
jalan yang berbeda, khusus pada dua shalat ‘Id saja, sebagaimana yang zhahir dari
perkataan muallif -Al Hajjawi di dalam Zaadul Mustaqni’- karena ia tidak
menyebutkan pada hari Jum’at, tetapi hanya menyebutkan pada dua hari ‘Id. Hal ini
menunjukkan, bahwa dia memilih pendapat tidak disunnahkannya mengambil jalan
yang berbeda, kecuali pada dua hari ’Id”. [Asy Syarhul Mumti’, 5/173-175].
5. Bertakbir.
Allah Azza wa Jalla berfirman:
185 –َو ِلُتْك ِم ُلوا اْلِع َّدَة َو ِلُتَك ِّبُروا َهللا َع َلى َم ا َه َد اُك ْم َو َلَع َّلُك ْم َت ْشُك ُروَن البقرة
“Dan supaya kalian sempurnakan hitungan Ramadhan dan bertakbirlah karena yang
telah dikaruniakan Allah kepada kalian, semoga kalian bersyukur”. [Al Baqarah/2:185].
Waktu bertakbir dimulai setelah terlihatnya hilal bulan Syawwal, hal ini jika
memungkinkan. Dan jika tidak mungkin, maka dengan datangnya berita, atau ketika
terbenamnya matahari pada tanggal 30 Ramadhan. Kemudian, takbir ini hingga imam
selesai dari khutbah ‘Id. Demikian menurut pendapat yang benar, diantara pendapat
Ahlul Ilmi. Akan tetapi, kita tidak bertakbir ketika mendengarkan khutbah, kecuali jika
mengikuti takbirnya imam. Dan ditekankan untuk bertakbir ketika keluar dari rumah
menuju tanah lapang, atau ketika menunggu imam datang. [Ahkamul ‘Idain, 24].
Adapun sifat (shighat) takbir, dalam hal ini terdapat keluasan. Telah datang satu
riwayat yang shahih dari Ibnu Mas’ud Radhiyallahu ‘anhu, bahwa ia bertakbir pada
hari hari tasyriq dengan genap (dua kali) mengucapkan lafadz Allahu Akbar.
Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah, dan sanadnya shahih, akan tetapi disebutkan di
lafadz yang lain dengan tiga kali.
َو ِهلل اْلَح ْم ُد, ُهللا َأْك َب ُر, ُهللا َأْك َب ُر, َال ِإَلَه ِإَّال هللا, ُهللا َأْك َب ُر, ُهللا َأْك َب ُر, ُهللا َأْك َب ُر
Tidak selayaknya bertakbir secara jama’i, yaitu berkumpul sekelompok orang untuk
melafadzkan dengan satu suara, atau satu orang memberi komando kemudian diikuti
sekelompok orang tersebut. Karena, amalan seperti ini tidak pernah dinukil dari Salaf.
Yang sunnah, setiap orang bertakbir sendiri-sendiri. Seperti ini pula pada setiap dzikir,
atau ketika memanjatkan do’a-do’a yang masyru’ pada setiap waktu. [Ahkamul ‘Idain,
Ath Thayyar, hlm. 30].
Syaikh Al Albani rahimahullah berkata: “Patut untuk diberi peringatan pada saat
sekarang ini, bahwa mengeraskan suara ketika bertakbir tidak disyari’atkan secara
berjama’ah dengan satu suara, sebagaimana yang dikerjakan oleh sebagian orang.
Demikian pula pada setiap dzikir yang dibaca dengan keras atau tidak, maka tidak
disyari’atkan untuk berjama’i. Hendaknya kita waspada terhadap masalah ini” [Silsilah
Al Ahadits Shahihah, 1/121].
HUKUM SHALAT ID
Hukum shalat ‘Id adalah fardhu ‘ain, bagi setiap orang untuk mengerjakannya. Dari
Ummu ‘Athiyyah Radhiyallahu ‘anha, ia berkata:
َأْن ُنْخ ِر َج ِفي اْلِعيَد ْي ِن اْلَع َو اِتَق َو َذ َو اِت اْلُخ ُد وِر َو َأَمَر اْلُح َّيَض َأْن َي ْع َت ِز ْلَن ُم َص َّلى- َت ْع ِني الَّن ِبَّي َص َّلى ُهَّللا َع َلْيِه َو َس َّلَم- َأَمَر َن ا
متفق عليه. اْلُمْس ِلِميَن
“Nabi memerintahkan kepada kami (kaum wanita) untuk keluar mengajak ‘awatiq
(wanita berusia muda) dan gadis yang dipingit. Dan Beliau memerintahkan wanita
haid untuk menjauhi mushalla (tempat shalat) kaum muslimin”. [Muttafaqun ‘alaih].
Pendapat yang mengatakan bahwa shalat ‘Id adalah fardhu ‘ain, merupakan madzhab
Abu Hanifah dan salah satu riwayat dari Imam Ahmad. Begitu pula pendapat yang
dipilih Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Dia mengatakan di dalam Majmu’Fatawa
(23/161), sebagai berikut: “Oleh karena itu, kami merajihkan bahwa hukum shalat ‘Id
adalah wajib ‘ain. Adapun pendapat yang mengatakan tidak wajib, adalah perkataan
yang sangat jauh dari kebenaran, karena shalat ‘Id termasuk syi’ar Islam yang terbesar.
Kaum muslimin yang berkumpul pada hari ini, lebih banyak daripada hari Jum’at.
Demikian pula disyari’atkan pada hari itu untuk bertakbir. Adapun pendapat yang
mengatakan hukumnya fardhu kifayah, tidak tepat”.
Juga disunnahkan untuk mengakhirkan shalat ‘Idul Fithri, agar kaum muslimin
memperoleh kesempatan menunaikan zakat fithri.
Ibnu Qudamah rahimahullah berkata: “Mengerjakan shalat ‘Id di tanah lapang adalah
sunnah, karena dahulu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salalm keluar ke tanah lapang dan
meninggalkan masjidnya. Demikian pula khulafaur rasyidin. Dan ini merupakan
kesepakatan kaum muslimin. Mereka telah sepakat di setiap zaman dan tempat untuk
keluar ke tanah lapang ketika shalat ‘Id”. [Al Mughni, 3/260].
رواه مسلم.َص َّلْي ُت َمَع َر ُسوِل ِهَّللا َص َّلى ُهَّللا َع َلْيِه َو َس َّلَم اْلِعيَد ْي ِن َغ ْي َر َمَّر ٍة َو اَل َمَّر َت ْي ِن ِبَغْي ِر َأَذ اٍن َو اَل ِإَقاَم ٍة
“Saya shalat bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada dua hari raya,
sekali atau dua kali, tanpa adzan dan tanpa iqamat”. [HR Muslim].
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata: “Dahulu, ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
sampai ke tanah lapang, Beliau memulai shalat tanpa adzan dan iqamat ataupun
ucapan “ash shalatu jami’ah”. Dan yang sunnah, untuk tidak dikerjakan semua itu”.
[Zaadul Ma’ad, 1/427].
.عن َع ْم ِر و ْب ِن َع ْو ٍف َع ْن َأِبيِه َع ْن َج ِّد ِه َأَّن َر ُسوَل ِهَّللا َص َّلى ُهَّللا َع َلْيِه َو َس َّلَم َك َّبَر ِفي اْلِعيَد ْي ِن َس ْبًع ا ِفي اُأْلوَلى َو َخ ْم ًس ا ِفي اآْل ِخَر ِة
رواه ابن ماجه
“Dari Amr bin Syu’aib dari bapaknya dari kakeknya, sesungguhnya Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertakbir pada dua shalat ‘Id tujuh kali pada raka’at
pertama, dan lima kali pada raka’at yang kedua”. [HR Ibnu Majah].
رواه أبو داود و. َع ْن َع اِئَش َة َأَّن َر ُسوَل ِهَّللا َص َّلى ُهَّللا َع َلْيِه َو َس َّلَم َك َّبَر ِفي اْلِفْط ِر َو اَأْلْض َح ى َس ْبًع ا َو َخ ْم ًس ا ِس َو ى َت ْك ِبيَر َت ْي الُّر ُك وِع
ابن ماجه
“Dari Aisyah, sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertakbir pada
shalat ‘Idul Fithri dan shalat ‘Idul Adh-ha tujuh kali dan lima kali, selain dua takbir
ruku”. [HR Abu Dawud, Ibnu Majah. Lihat Irwa’ul Ghalil, 639].
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata: “Beliau memulai shalat ‘Id sebelum berkhutbah.
Beliau shalat dua raka’at. Bertakbir pada raka’at yang pertama, tujuh kali takbir yang
beruntun setelah takbir iftitah. Beliau diam sejenak antara dua takbir. Tidak diketahui
dzikir tertentu antara takbir-takbir ini. Akan tetapi (ada) disebutkan bahwa Ibnu
Mas’ud Radhiyallahu ‘anhu memuji Allah, menyanjungNya dan mengucapkan
shalawat kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam (diantara dua takbir tersebut),
sebagaimana disebutkan oleh Al Khallal. Dan Ibnu Umar Radhiyallahu ‘anhuma
merupakan seorang sahabat yang sangat tamassuk (berpegang teguh) dengan Sunnah.
Beliau mengangkat kedua tangannya setiap kali takbir. Dan setelah menyempurnakan
takbirnya, Nabi memulai qira’ah. Beliau membaca Al Fatihah, kemudian membaca
surat Qaaf pada salah satu raka’at. Pada raka’at yang lain, membaca surat Al Qamar.
Terkadang membaca surat Al A’laa dan surat Al Ghasyiyah. Telah sah dari Beliau dua
hal ini, dan tidak sah riwayat yang menyatakan selainnya.
Baca Juga Fatwa MUI Membuka Jalan Penyatuan Hari Raya Segera Terwujud
Ketika selesai membaca, Beliau bertakbir dan ruku’. Kemudian, apabila telah
menyempurnakan raka’at yang pertama, Beliau bangkit dari sujud dan bertakbir lima
kali secara beruntun. Setelah itu Beliau membaca. Maka takbir merupakan pembuka di
dalam dua raka’at, kemudian membaca, dan setelah itu ruku’”. [Zaadul Ma’ad, 1/427].
رواه البخاري.َأَّن الَّن ِبَّي َص ًّلى ُهللا َع َلْيِه َو َس َّلَم َص َّلى َي ْو َم اْلِفْط ِر َر ْك َع َت ْي ِن َلْم ُي َص ِّل َقْب َلَه ا َو َال َب ْع َد َه ا
“Sesungguhnya, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat ‘Idul Fithri dua raka’at, tidak
shalat sebelumnya atau sesudahnya” [HR Al Bukhari].
Imam Ahmad rahimahullah berkata: “Sama sekali tidak ada satu shalat sunnah saat
sebelum atau sesudah ‘Id”. Kemudian dia ditanya: “Bagaimana dengan orang yang
ingin shalat pada waktu itu?” Dia menjawab: “Saya khawatir akan diikuti oleh orang
yang melihatnya. Ya’ni jangan shalat”. [Al Mughni, Ibnu Qudamah 3/283].
Al Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah berkata: “Kesimpulannya, pada shalat ‘Id tidak ada
shalat sunnah sebelum atau sesudahnya, berbeda dari orang yang mengqiyaskan
dengan shalat Jum’ah. Namun, shalat sunnah muthlaqah tidak ada dalil khusus yang
melarangnya, kecuali jika dikerjakan pada waktu yang makruh seperti pada hari yang
lain”. [Fath-hul Bari, 2/476].
Apabila shalat ‘Id dikerjakan di masjid karena adanya udzur, maka diperintahkan
shalat dua raka’at tahiyyatul masjid. Wallahu a’lam.
Kemudian beliau Syaikh Ibnu Utsaimin juga berkata: “Shalat Jum’at juga tidak diqadha.
Tetapi, bagi orang yang tertinggal, (ia) mengganti shalat Jum’at dengan shalat fardhu
pada waktu itu. Yaitu Dhuhur. Pada shalat ‘Id, apabila tertinggal dari jama’ah, maka
tidak diqadha, karena pada waktu itu tidak terdapat shalat fardhu ataupun shalat
sunnah”.
َك اَن َر ُسوُل ِهَّللا َص َّلى ُهَّللا َع َلْيِه َو َس َّلَم َي ْخ ُرُج َي ْو َم اْلِفْط ِر َو اَأْلْض َح ى ِإَلى اْلُم َص َّلى َفَأَّو ُل َش ْي ٍء َي ْبَد ُأ ِبِه الَّص اَل ُة ُث َّم َي ْن َص ِر ُف َفَي ُقوُم
رواه البخاري و مسلم. ُم َقاِبَل الَّن اِس َو الَّن اُس ُج ُلوٌس َع َلى ُص ُفوِفِه ْم َفَيِع ُظ ُهْم َو ُيوِص يِه ْم َو َي ْأُمُرُه ْم
“Adalah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar ke tanah lapang pada ‘Idul Fithri dan
‘Idul Adh-ha. Pertama kali yang Beliau kerjakan ialah shalat, kemudian berpaling dan
berdiri menghadap sahabat, dan mereka tetap duduk di barisan mereka. Kemudian
Beliau memberikan mau’izhah, wasiat dan memerintahkan mereka”. [HR Al Bukhari
dan Muslim].
Dalam masalah khutbah ‘Id ini, seseorang tidak wajib mendengarkannya. Dibolehkan
untuk meninggalkan tanah lapang seusai shalat. Tidak sebagaimana khutbah Jum’ah,
yang wajib bagi kita untuk menghadirinya.
َش ِه ْد ُت َمَع َر ُسوِل ِهَّللا َص َّلى ُهَّللا َع َلْيِه َو َس َّلَم اْلِعيَد َفَلَّما َقَض ى الَّص اَل َة َقاَل ِإَّن ا َن ْخ ُط ُب َفَم ْن َأَح َّب َأْن َي ْج ِلَس ِلْلُخ ْط َبِة َفْلَي ْج ِلْس َو َم ْن
َأَح َّب َأْن َي ْذ َهَب َف ْلَي ْذ َه ْب
“Saya menyaksikan shalat ‘Id bersama Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ketika
selesai, Beliau berkata: “Kami sekarang berkhutbah. Barangsiapa yang mau
mendengarkan, silahkan duduk. Dan barangsiapa yang mau, silahkan pergi”.
[Dikeluarkan oleh Abu Dawud, An Nasa’i, Ibnu Majah. Lihat Irwa’ul Ghalil 3/96]
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam,
Beliau berkata:
رواه أبو داود و ابن ماجه. َقْد اْج َت َمَع ِفي َي ْو ِم ُك ْم َه َذ ا ِع يَد اِن َفَم ْن َش اَء َأْج َز َأُه ِمْن اْلُجُم َع ِة َو ِإَّن ا ُم َج ِّمُعوَن
“Telah berkumpul pada hari kalian ini dua ‘Id. Barangsiapa yang mau, maka shalat ‘Id
telah mencukupi dari Jum’at. Akan tetapi, kami mengerjakan shalat Jum’at”. [HR Abu
Dawud, Ibnu Majah]