Anda di halaman 1dari 41

KONSEP DASAR, PROSES, DAN TEKNIK KONSELING GESTALT

SERTA PENERAPANNYA

MAKALAH
Untuk memenuhi tugas mata kuliah Pendekatan dan Teknik Konseling
yang diampu oleh:
Prof. Dr. Nur Hidayah, M.Pd
Dr. Fitri Wahyuni, M.Pd

Disusun oleh:

Iqbal Khoirul Burhani (230111802443)


Santi Tri Meilina (230111800185)
Mario Martin Taneo (230111818441)

UNIVERSITAS NEGERI MALANG


FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
BIMBINGAN DAN KONSELING
OKTOBER 2023
ii

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah Yang Maha Esa yang telah melimpahkan rahmat-
Nya sehingga kami bisa menyelesaikan makalah tentang “Konsep dasar, proses,
dan teknik konseling gestalt serta penerapannya”. Penulis menyadari bahwa tanpa
adanya bantuan, dukungan, dan kerjasama yang baik dari semua pihak, makalah
ini tidak akan terselesaikan dengan baik. Untuk itu, kami penulis mengucapkan
terimakasih kepada:
1. Prof. Dr. Nur Hidayah, M.Pd selaku dosen pengajar mata kuliah
Pendekatan dan Teknik Konseling yang telah memberi bekal, bimbingan
dan pengarahan selama proses penulisan makalah ini.
2. Dr. Fitri Wahyuni, M.Pd selaku dosen pengampu kedua mata kuliah
Pendekatan dan Teknik Konseling yang juga telah memberi bekal,
bimbingan dan pengarahan selama proses penulisan makalah ini.
3. Orang tua yang selalu memberikan semangat serta dukungan baik secara
materil maupun spiritual.
4. Teman-teman offering A yang telah membantu dalam memeberikan
dukungan serta bantuan selama penulisan makalah ini, serta
5. Semua pihak yang tidak bisa kami sebutkan satu persatu.
Adapun penulis membutuhkan masukan, saran dan dukungan yang
mengembangkan untuk menyempurnakan mkalah ini. Semoga pengalaman
membuat makalah ini dapat menjadi dorongan bagi penulis untuk
mengembangkan karya yang tidak sempurna dan kiranya makalah ini dapat
bermanfaat bagi semua pihak.

Malang, 09 Oktober 2023

Penyusun
iii

DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR............................................................................................ii
DAFTAR ISI.........................................................................................................iii
A. Problem Sensing.................................................................................................1
B. Problem Exploration and Analysis....................................................................3
- Tokoh Teori dan Sejarah Perkembangan.....................................................3
- Hakikat Manusia..........................................................................................5
- Quarter Life Crisis.......................................................................................6
- Struktur Kepribadian...................................................................................7
- Pribadi Sehat dan Tidak Sehat.....................................................................8
- Kelemahan dan Kelebihan...........................................................................8
C. Problem Posing................................................................................................10
D. Problem Solving...............................................................................................11
- Tujuan Konseling Gestalt...........................................................................11
- Peran dan Fungsi Konselor........................................................................12
- Situasi Hubungan.......................................................................................13
- Tahap-tahap Konseling..............................................................................14
- Teknik-teknik Konseling............................................................................17
- Tujuan Setting Kelompok Gestalt..............................................................20
- Peran Pemimpin Kelompok Gestalt...........................................................21
- Peran Anggota Kelompok Gestalt..............................................................22
- Situasi Hubungan Setting Kelompok Gestalt.............................................22
- Tahap-tahap Konseling Kelompok Gestalt................................................23
- Teknik-teknik Konseling Kelompok Gestalt.............................................24
E. Reflection to Process and Result......................................................................25
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................26
1

A. Problem Sensing
Pada dasarnya, kecemasan telah menjadi bagian yang tidak bisa dipisahkan
dalam hidup manusia. Hal tersebut sejalan dengan pendapat Correy yang
menyatakan bahwa kecemasan adalah keadaan tegang yang memotivasi kita untuk
berbuat sesuatu. Artinya, semua pergerakan manusia bersumber dari kecemasan
yang mereka miliki. Manusia akan mudah termotivasi dalam mengerjakan sesuatu
karena mereka memiliki kecemasan dan berjuang untuk mengurangi kecemasan
tersebut. Contoh sederhananya seperti pada saat kita merasa cemas tidak memiliki
uang, maka kita pun akan bergerak untuk mencari pekerjaan agar dapat memenuhi
segala kebutuhan kita dengan penghasilan yang diperoleh dari pekerjaan tersebut.

Kecemasan adalah sesuatu yang menimpa hampir setiap orang pada waktu
tertentu dalam kehidupannya. Kecemasan merupakan reaksi normal terhadap
situasi yang sangat menekan kehidupan seseorang. Kecemasan bisa muncul
sendiri atau bergabung dengan gejala-gejala lain dari berbagai gangguan emosi
(waode,2019). Dalam hal ini posisi kecemasan dalam kehidupan manusia adalah
bagian yang sangat manusiawi. Wajar saja jika setiap individu pasti memiliki
kecemasan yang bisa dipicu oleh berbagai faktor permasalahan yang cukup
kompleks. Freud membedakan kecemasan menjadi tiga tipe, yaitu kecemasan
tentang kenyataan, kecemasan neurotik, dan kecemasan moral. Menurut Freud,
kecemasan adalah suatu keadaan perasaan afektif yang tidak menyenangkan yang
disertai dengan sensasi fisik yang memperingatkan orang terhadap bahaya yang
akan datang. Keadaan yang tidak menyenangkan ini sering kabur dan sulit
menunjuk dengan tepat, tetapi kecemasan itu sendiri selalu dirasakan.

Fenomena kecemasan di usia 20 tahun keatas yang merupakan transisi masa


remaja akhir menuju masa dewasa muda inilah yang biasa kita sebut dengan
istilah quarter life crisis. Quarter-life crisis adalah fenomena yang dialami oleh
sebagian orang pada usia 20-an hingga awal 30-an yang ditandai dengan perasaan
tidak puas, kebingungan, dan kecemasan terhadap masa depan (Shantenu, 2020).
Pendapat lain mengatakan bahwa quarter life crisis adalah perasaan takut individu
terhadap kelanjutan hidup di masa depan, termasuk di dalamnya urusan karier,
relasi dan kehidupan sosial (afnan,2020). Pada sebuah penelitian survei yang
dilakukan diluar negeri oleh Robinson dan Wrig (2013) kepada sebanyak 1023
2

individu dewasa di UK, ditemukan bahwa 70% orang berusia 30 tahun


menyatakan bahwa mereka banyak mengalami krisis di usia 20-an. Hal serupa
juga ditemukan pada kelompok usia di atas 40-an (rizky, 2021). Begitu juga
dengan penelitian di Indonesia yang dilakukan oleh agustinus pada tahun 2021,
didapatkan hasil bahwa sebesar 86% mahasiswa lulusan Unika Musi Charitas
pada periode 2019-2020 mengalami quarter-life crisis dengan presentasi sedang
menuju tinggi mencapai 19,1% hingga 67,0%.

Berdasarkan hasil dari penelitian mengenai quarter life crisis yang merupakan
akibat dari kecemasan yang ada, maka terbukti bahwa presentase permasalahan
quarter life crisis khususnya bagi individu yang memiliki usia 20 tahun hingga
30 tahun cukup tinggi. Adapun permasalahan-permasalahan yang berpotensi
muncul dari adanya quarter life crisis tersebut seperti kesulitan menentukan arah
karir yang tepat, kesulitan menyesuaikan diri dengan peran baru sebagai dewasa
muda, kesulitan menemukan arti hidup dan tujuan hidup, kesulitan dalam
hubungan sosial dan cinta, kesulitan dalam mengambil keputusan besar seperti
menikah atau membeli rumah, kesulitan dalam menghadapi tekanan dari
lingkungan seperti ekspektasi keluarga atau teman-teman.(Shantenu,2020)

Untuk itu, perlu adanya upaya yang dilakukan oleh seorang terapis maupun
konselor dalam mengatasi permasalahan tersebut. Dalam penelitian yang
dilakukan oleh Lia pada tahun 2020 dengan setting konseling kelompok pada
mahasiswa, ditemukan hasil bahwa pendekatan gestalt terbukti mampu untuk
membantu individu dalam mengatasi perasaan quarter life crisis yang
dirasakannya, pendekatan gestalt dengan memandang manusia adalah individu
yang memiliki kesadaran, maka dengan adanya kesadaran tersebut, individu
mampu memahami keadaan dirinya dengan sadar dan mengenal bahwa dirinya
memiliki potensi dan bisa memaknai segala perasaan emosional yang
dirasakannya.
3

B. Problem Exploration and Analysis


a) Tokoh Teori dan Sejarah Perkembangan Teori Gestalt

Sama seperti teori konseling konseling lainnya, seperti halnya


psikoanalisis yang di prakarsai oleh sigmun freud, kemudian konseling Adlerian
yang di kemukakan oleh Alfred Adler, begitu juga dengan konseling Gestalt, yang
mana teori konseling ini dicetuskan oleh Frederick Soloman Perls (Fritz) yang
lahir di Berlin pada tahun 1893 yang mana Fritz lahir dari keluarga Yahudi kelas
bawah. Saat masa kecil dan remajanya, ia termasuk anak yang penuh energi dan
memiliki rasa keingintahuan yang besar. Akan tetapi kehidupan keluarga Fritz
memang kurang harmonis ia selalu mendapat perlakuan yang kurang baik dari
orang tuanya. Ayahnya selalu mengunderestimate, sehingga ia harus melakukan
pembuktian diri agar ia bisa membuktikan kepada ayahnya bahwa apa yang
selama ini ayahnya katakan itu tidak sesuai dengan apa yang ayahnya bayangkan
selama ini. Setelah beberapa tahun meraih prestasi akademis yang kurang
cemerlang karena saat itu dia gagal di kelas tujuh sebanyak dua kali, dia
memfokuskan apa yang ia punya untuk mendapatkan gelar di bidang kedokteran,
menjadi ahli saraf dan psikoanalis yang berbakat (Fall dkk., 2004).

Dalam proses tumbuhnya, ia sering mendapatklan perlakuan kasar dari


ibunya. Kedua orang tuanya sering bertengkar, hidup dalam keluarga yang kurang
harmonis. Ayah Fritz adalah seorang hipokrit, yang mengkothbahkan suatu hal
namun hidup dengan cara yang berbeda dengan yang apa yang di sampaikan
dalam dikothbahkanya. Selama masa pubertas, Perls sering dijadikan kambing
hitam dalam keluarganya. Pengalaman penolakan dan rasa tidak aman
mempengaruhi sikap dan pemikirannya pada kehidupan selanjutnya (Hasanah,
2016).

Awal karir Fritz dimulai saat Perang Dunia I yang mana ia bekerja sebagai
petugas medis. Selain bekerja sebagai petugas medis ia juga bekerja dengan Kurt
Goldstein di Institute Goldstein untuk para prajurit yang mengalami cedera otak.
Kedua karir awal Fritz ini membawa persepsi bagianya untuk menghargai peran
khususnya dalam masalah psikologi dan fisik dan pada saat itu juga karir
profesionalnya mulai menyatu dengan kehidupan pribadinya dengan cara yang
4

sangat berarti. Perls bertemu dengan Lore (Laura) Posner, asisten Goldstein yang
usianya 12 tahun lebih muda darinya. Laura dan perls memliki ketertarikan yang
sama yakni pada bidang psikoanalisis, yang kemudian pada tahun 1930 mereka
resmi menikah (Fall dkk., 2004).

Laura dan Perls bekerja sama pada tahun 1926 yang pada akhirnya
menemukan konseling gestalt. Setelah mereka menikah, pasangan ini mendirikan
lembaga konseling gestalt dan membuat pelatihan-pelatihan. Perls dan Laura
berhasil mendirikan South Africa Institute for Psycoanalysis pada tahun 1935.
Mereka berdua memberikan kontribusi bagi perkembangan konseling gestalt di
Amerika pada tahun 1940 (Mujahidin dkk., 2020). Selama di New York, Fritz
menjajaki pendirian Institute for Gestalt Therapy akan tetapi istri Fritz, Laura
tidak antusias dengan pembentukan Institut tersebut akan tetapi ia menjadi lebih
terlibat ketika minat utama dalam kelompok tersebut berasal dari pasien terapi
kelompoknya sendiri. Kelompok yang mencakup terapis Gestalt seperti Paul
Weiss dan Paul Goodman membantu membentuk Institut pada tahun 1952 sebagai
pusat pelatihan yang dirancang untuk melatih mereka yang tertarik dengan terapi
Gestalt.

Akan tetapi Perls dan istrinya sering berbeda pendapat mengenai arah
terapi Gestalt, hingga menyebabkan ia memiliki kekasih Marty Fromm dan
meneruskan terapi bersamanya. Perls meninggal pada usia 76 tahun, Setelah Fritz
meninggal pada tahun 1970, terapi Gestalt mulai kehilangan wajah publiknya.
Laura Perls semakin menjadi sorotan pada saat itu, namun banyak yang masih
melihat Fritz sebagai pencetus terapi Gestalt. Dalam sebuah wawancaranya
dengan Bernald, Laura mengatakan bahwa kurangnya pengakuan Fritz atas
kontribusinya telah menjadi sumber konflik di antara keduanya, namun dalam
bentuk Gestalt yang sebenarnya, dia berkomentar bahwa setiap urusan yang belum
selesai di antara mereka telah diselesaikan sebelumnya dan hasil karya yang
diterbitkan setelah kematiannya berjudul The Gestalt Approach dan eye Witness
to Theraphy (Hasanah, 2016).

Sebagai interpretasi atas pelatihan psikoanalitik mereka, Fritz dan Laura


Perls mengembangkan teori konseling yang memasukkan unsur psikoanalisis ke
5

dalam terapi eksistensial-humanistik. Landasan filosofis utama Getsalt adalah


penekanan pada perspektif pengalaman fenomenologis yang komprehensif.
Konseling Gestalt didasarkan pada asumsi bahwa makna paling baik diperoleh
dan dipahami dengan mempertimbangkan interpretasi individu terhadap
pengalaman langsung. Perls menekankan pengalaman secara langsung karena
pengalaman yang ada dan dapat disesuaikan serta dipengaruhi. Karena itu,
pengalaman fenomenologis utama ada di sini dan saat ini dan menekankan semua
aspek persepsi pada individu saat ini (Fall dkk., 2004).

b) Hakikat Manusia

Pandangan teori Gestalt tentang manusia adalah individu dapat mengatasi


masalah sendiri dalam hidup dan memikul tanggung jawabnya sebagai pribadi
yang terpadu. Dengan adanya masalah-masalah dalam perkembangannya itu,
individu membentuk berbagai cara menghindari masalah. Oleh karena itu,
masalah membuatnya menemui jalan buntu dalam pertumbuhannya. Gestalt, salah
satu bentuk terapi eksistensial yang didasarkan pada pemikiran bahwa setiap
individu harus menemukan tujuan hidupnya dan bertanggung jawab terhadap
dirinya sendiri jika berharap untuk mencapai kedewasaan. Dengan demikian
Gestalt berfokus pada apa dan bagaimana perilaku dan pengalaman di sini dan
saat ini (here and now) dengan menggabungkan kepribadian yang terbagi dan
tidak diketahui (Aryanto, Suwarjo and Kurniawan, 2022). Perls
(Ahmad & Kerinci, 2020)
menjelaskan hakikat manusia menurut pandangan gestalt antara
lain:

1. Manusia merupakan satu kesatuan, keterpaduan dari berbagai elemen-


elemen seperti pikiran, sensasi, persepsi. Dari berbagai yang ada pada
dirinya tersebut, tidak satupun yang dapat dimengerti tanpa mengaitkan
dengan keseluruhan individu tersebut.
2. Manusia merupakan bagian dari lingkungannya dan ia tidak akan bisa
dimengerti apabila kita melepaskan dari lingkungan itu.
3. Manusia memilih bagaimana caranya merespon terhadap perangsang
internal maupun perangsang eksternal. Manusia itu merupakan aktor
(pelaku) bagi dunianya bukan hanya reaktor (pasif).
6

4. Manusia mempunyai potensi untuk sepenuh-penuhnya menyadari


sensasinya (rasa badanya), pikirannya, emosinya dan perspektifnya.
5. Manusia dapat membuat pilihan-pilihan karena manusia menyadari
sensasinya, pikiranya dan emosinya, dan manusia yang berbahagia adalah
yang menyadari ketiga hal tersebut.
6. Manusia memiliki kemampuan untuk mengurus dirinya sendiri secara
efektif.
7. Manusia tidak dapat mengalami masa lalunya atau masa depannya.
Manusia hanya melalui masa sekarang, dan masa sekarang selalu tidak
akan pernah terulang.
8. Manusia pada dasarnya dikatakan bagus, ya tidak bagus, dikatan jelek, ya
tidak jelek. Dengan demikian jangan menghebat-hebatkan manusia dan
jangan pula menjelek-jelekkan manusia.

c) Quarter Life Crisis

Proses dalam setiap fase perkembangan individu berbeda-beda, begitupula


cara mencapai target perkembangannya pun juga berbeda. Respon yang
diberikan dalam mencapai tugas perkembangannya juga berbeda. Individu
yang sudah paham dan juga mengerti akan proses perkembangan dirinya tidak
akan merasa khawatir dalam mencapai tugas atau aspek perkembangan yang
seharusnya ia capai. Akan tetapi tidak semua individu bisa menerima atau
melewati tantangan-tantangan yang ada khususnya dalam mencapai tugas
perkembangannya. Bagi individu yang kurang paham atau sulit melaksanakan
tugas perkembangannya maka ia akan merasa periode ini adalah masa yang
sulit dan penuh kegelisahan sehingga individu merasa belum bisa mengatasi
tantangan dan perubahan yang terjadi pada saat memasuki masa dewasa awal.

Hal ini sejalan menurut Atwood dan Scholiz dimana adanya quarter life
crisis ini memunculkan respon yang negatif serta krisis emosional yang terjadi
dalam diri individu. Krisis emosional yang terjadi pada individu di usia 20-an
tahun dengan karakteristik perasaan tak berdaya, terisolasi, ragu akan
kemampuan diri sendiri serta takut akan kegagalan.Kondisi ini yang dikenal
7

dengan istilah yaitu quarter life crisis (Afnan dkk., 2020). Hal ini terkadang
membuat individu menjadi merasa kurang percaya diri akan dirinya sehingga
dalam melakukan atau melangkah ia akan menjadi ragu, karena timbulnya rasa
khawatir dalam diri individu dalam mencapai tugas perkembangan menuju
individu dewasa awal.

Istilah quarter-life crisis dicetuskan oleh Robbins & Wilner, dimana


mereka mengatakan bahwa hal ini merupakan kondisi krisis yang dialami
seseorang diusia 20-35 tahun yang merasa tidak stabil, merasa panik,
mencemaskan terkait pekerjaan, pendidikan, finansial, hubungan romantis dan
relasi sosialnya sehingga ia merasa tidak berdaya. Individu yang mengalami
quarter-life crisis cenderung mengorientasikan dirinya ke arah perubahan
dalam hidup guna mencapai masa depan yang diharapkan (Huda, 2023).
Melihat berbagai fenomena yang ada terkait quarter life crisis ini penting bagi
individu untuk memahami tugas perkembangannya terutama saat menuju usia
20-30 tahun-an (individu dewasa awal). Pemahaman akan pentingnya tugas
perkembangan juga harus ditekankan mulai dari individu saat di jenjang SMA
agar ketika individu lulus ia siap untuk menghadapi berbagai macam
fenomena yang ada di lapangan dan menjadi lebih yakin akan kemampuan
yang ia miliki terkait potensi dan juga kelebihan-kelebihan yang ada dalam
diri masing-masing individu.

d) Struktur Kepribadian

Teori gestalt berpandangan bahwa jiwa manusia merupakan suatu


keseluruhan yang terstruktur. Suatu keseluruhan bukan terdiri dari bagian-
bagian atau unsur-unsur. Unsur-unsur itu berada dalam keseluruhan terstruktur
yang telah tertentu dan saling berinteraksi satu sama lain (Azizah, 2022).
Dalam teori gestalt, struktur kepribadian manusia terdiri dari tiga elemen
utama yaitu self, ego, dan id. Self merupakan bagian dari kepribadian yang
berhubungan dengan pengalaman dan perasaan individu. Ego berhubungan
dengan kemampuan individu untuk beradaptasi dengan lingkungan sekitarnya.
Sedangakan id merupakan bagian dari kepribadian yang berhubungan dengan
dorongan-dorongan dasar seperti nafsu dan hasrat. Demikian dari pandangan
8

Gestalt, manusia merupakan individu yang terdiri dari bagian-bagian yang


saling berkaitan seperti tubuh, emosi, pikiran, sensasi dan persepsi (Yusuf,
2016).

e) Pribadi Sehat dan Tidak Sehat

Permasalahan dalam konseling Gestalt yaitu permasalahan yang belum


terselesaikan di masa lalu yang meliputi perasaan yang tidak diungkapkan,
kemarahan, kebencian, sakit hati, kecemasan, rasa bersalah, rasa diabaikan,
dan sebagainya. Meski perasaan tersebut tidak bisa diungkapkan namun bisa
diwujudkan dengan fantasi dan kenangan tertentu.

Dalam pendekatan Gestalt, setiap individu memiliki ciri-ciri kepribadian


tersendiri, baik berkaitan dengan kepribadian yang sehat dan yang tidak sehat
(Abdullah,2017). Pribadi yang sehat berupa; percaya pada kemampuan
sendiri, bertanggung jawab, memiliki kematangan, memiliki keseimbangan
diri. Sedangakan pribadi yang tidak sehat, Passons (George dan Cristiani,
dalam Abdullah,2017) Secara umum, permasalahan manusia dikelompokkan
menjadi enam area yaitu kesenjangan akan kesadaran, kesenjangan akan
tanggung jawab, kehilangan kontak dengan lingkungan, ketidkmampuan
menyelesaikan tugas, tidak memiliki kebutuhan, dan melakukan dikolomi
pribadi.

Mengenai pribadi yang tidak sehat ada beberapa ciri-cirinya yaitu ; mudah
marah dan tersinggung, menunjukkan kekhawatiran dan kecemasan, sering
merasa tertekan (stress atau depresi), ketidakmampuan untuk menghindar dari
perilaku menyimpang meskipun sudah diperingati atau dihukum, kebiasaan
berbohong, hiperaktif, bersikap memusuhi semua bentuk otoritas, kurang
memiliki rasa tanggung jawab, pesimis dalam menghadapi kehidupan, kurang
bergairah (bermuram durja) dalam menjalani kehidupan (Sudrajat, 2008)

f) Kelemahan dan Kelebihan Konseling Gestalt


9

Sebagai salah satu pendekatan dalam konseling, gestalt memiliki


kelebihan dan kekurangan seperti yang dipaparkan dibawah ini
(Bukhari,2020):

1. Kelebihan
a. Ada penelitian empiris untuk mendukung terapi Gestalt dan
Secara khusus, terapi Gestalt sama dengan atau lebih besar dari
terapi lain dalam mengobati berbagai gangguan, terapi Gestalt
memiliki dampak menguntungkan dengan gangguan
kepribadian, dan efek terapinya stabil.
b. Bekerja dengan peristiwa masa lalu dengan membuatnya
relevan hingga saat ini
c. Serbaguna dan fleksibel dalam terapi. Gestalt memiliki banyak
teknik dan dapat diterapkan pada masalah terapeutik yang
berbeda
d. Pendekatan yang konfrontif dan aktif
e. Terapi Gestalt memberikan perhatian terhadap pesan-pesan non
verbal
f. Terapi Gestalt menggairahkan hubungan dan pengungkapan
perasaan-perasaan langsung, dan menghindari intelektualisasi
abstrak tentang masalah-masalah klien
g. Terapi Gestalt meletakkan penekanan pada klien untuk
menemukan makna-maknanya sendiri dan membuat penafsiran
sendiri
2. Kekurangan
a. Agar terapi Gestalt efektif, terapis harus memiliki tingkat
perkembangan pribadi yang tinggi
b. Efektivitas teknik konfrontif dan teatrikal dari terapi Gestalt
terbatas dan belum mapan
c. Bahaya potensial bagi terapis untuk menyalahgunakan kekuatan
yang mereka miliki dengan klien (Corey, 2009).
d. Dianggap sebagai pendekatan yang berpusat pada diri sendiri
yang berkaitan dengan pengembangan individu saja
10

e. Tidak memiliki dasar teori yang kuat


f. Hanya berurusan dengan di sini dan sekarang
g. Tidak menangani diagnosis dan pengujian
h. Terapi Gestalt cenderung antiintelektual dalam arti kurang
memperhatikan factor-faktor kognitif
i. Terapi Gestalt bisa yang nyata bahwa terapis memiliki kekuatan
untuk memanipulasi klien melalui teknik-teknik yang
digunakannya.

C. Problem Possing
Pada hakikatnya setiap individu harus memenuhi tugas perkembangannya
dari masa ke masa agar pertumbuhan yang dijalani dapat berjalan dengan optimal
dan maksimal. Akan tetapi tidak semua individu dapat memenuhi tugas
perkembangannya dengan maksimal sehingga muncul rasa khawatir, cemas, dan
juga ragu dalam hidupnya yang membuat individu menjadi merasa kurang
percaya diri terhadap dirinya. Fenomena yang sering dialami oleh individu dewasa
awal adalah quarter life crisis dimana individu merasa cemas, khawatir, dan juga
kurang percaya diri terhadap kemampuan yang ia miliki.

Dalam hal ini kecemasan yang sering dialami oleh individu dewasa awal
adalah kecemasan terkait pekerjaan dan juga karir yang akan mereka pilih atau
jalani kemudian adanya rasa membanding-bandingkan diri sendiri dengan
pencapaian orang lain sehingga individu merasa kurang percaya diri akan
kemampuan dalam dirinya. Pendekatan Gestalt dalam mengatasi quarter life crisis
pada individu dewasa awal ini menjadi salah satu solusi yang bisa digunakan
dalam bidang bimbingan konseling karena sesuai dengan kaidah konsleing Gestalt
sendiri yang berprinsip hear and now. Pendekatan Gestalt memandang eksistensial
manusia dan fenomenologinya, sehingga dalam pendekatan Gestalt memfokuskan
pemulihan kesadaran dan polaritas serta dikotomi-dikotomi dalam diri sesroang
sehingga ia sadar dapat menerima tanggung jawab pribadi, dan dapat melalui
cara-cara yang menghambat kesadarannya. Pendekatan ini menitikberatkan pada
individu bahwa ia memiliki kesanggupan memikul tanggungjawab pribadi dan
hidup sepenuhnya sebagai pribadi yang terpadu.
11

Maka dari itu dalam penulisan ini penulis ingin mengetahui bagaimana
penerapan pendekatan Gestalt dalam mengatasi masalah quarter life crisis baik
dalam setting individu maupun kelompok. Untuk itu muncul beberapa rumusan
masalah terkait pernyataan diatas, diantaranya adalah:

1. Apa tujuan adanya pendekatan Gestalt?


2. Bagaimana sikap, peran, dan tugas konselor dalam pendekatan konseling
Gestalt?
3. Bagaimana sikap, peran, dan tugas konseli dalam pendekatan konseling
Gestalt?
4. Bagaimana situasi hubungan konseli dan konselor dalam pelaksanaan
pendekatan konseling Gestalt?
5. Bagaimana tahap-tahap dalam pelaksanaan konseling Gestalt?
6. Teknik-teknik apa saja yang digunakan dalam pendekatan konseling
Gestalt?
7. Apa tujuan konseling Gestalt dalam setting layanan konseling kelompok?
8. Bagaimana sikap, peran, dan tugas pemimpin kelompok dalam konseling
Gestalt?
9. Bagaimana sikap, peran, dan tugas anggota kelompok dalam konseling
Gestalt?
10. Bagaimana situasi hubungan antara pemimpin kelompok dengan anggota
kelompok dalam pelaksanaan konseling Gestalt?
11. Bagaimana tahap-tahap konseling kelompok Gestalt?
12. Apa saja Teknik-teknik yang digunakan dalam konseling kelompok
Gestalt?
D. Problem Solving
a) Tujuan Konseling Gestalt

Tujuan konseling gestalt adalah menciptakan eksperimen dengan


konseli untuk membantu konseli :

- Mencapai kesadaran atas apa yang mereka lakukan dan bagaimana


mereka melakukannya. Kesadaran itu termasuk di dalamnya,
12

insight, penerimaan diri, pengetahuan tentang lingkungan,


tanggung jawab terhadap pilihannya.
- Kemampuan untuk melakukan kontak dengan orang lain.
- Memiliki kemampuan mengenali, menerima, mengekspresikan
perasaan, pikiran, dan keyakinan dirinya.
Tujuan konseling Gestalt juga dikemukakan oleh Prayitno, 1998 (dalam
Bukhari, 2020) adalah sebagai berikut :

- Membangun integrasi kepribadian.


- Mengentaskan individu dari kondisinya yang tergantung pada
pertimbangan orang lain ke mengatur diri sendiri (to be true to
himself).
- Integrasi tidak pernah sempurna, kematangan tidak pernah penuh.
Dan hal itu adalah proses yang berlangsung terus, dan tidak pernah
berhenti.
- Meningkatkan kesadaran individual: individu dapat bertingkah
laku menurut prinsip - prinsip Gestalt, semua situasi bermasalah
yang muncul dan selalu akan muncul dapat diatasi dengan baik.
b) Peran dan Fungsi Konselor dalam Konseling Gestalt
Penekanan penting dari terapi Gestalt adalah konselor tidak
bertujuan untuk mengubah klien mereka. Peran konselor adalah membantu
konseli dalam mengembangkan kesadaran diri mereka sendiri tentang
bagaimana mereka saat ini. Oleh karena itu, ini akan memungkinkan
mereka untuk memperbaiki masalah yang mempengaruhi hidupnya.
Pekerjaan Konselor adalah mengajak konseli ke dalam kemitraan aktif di
mana mereka dapat belajar tentang diri mereka sendiri dengan mengadopsi
sikap pengalaman terhadap kehidupan di mana mereka mencoba perilaku
baru dan memperhatikan apa yang terjadi (Corey, 2009).
Dalam proses konseling gestalt, konselor memiliki peran yang unik, yaitu :
- Konselor memfokuskan pada perasaan, kesadaran, bahasa tubuh,
hambatan energi, dan hambatan untuk mencapai kesadaranyang
ada pada konseli.
13

- Konselor adalah “artistic partisipant” yang memiliki peranan dalam


menciptakan hidup baru konseli. Sama halnya dengan para
seniman yang perlu mempunyai hubungan dengan apa yang
dilukisnya, terapis adalah partisipan artistik dalam penciptaan suatu
hidup baru. (Corey, 2009)
- Konselor berperan sebagai projection screen. Konseli
menggunakan terapis / konselor sebagai layar proyeksi dan
memandang terapis sebagai pemberi apa-apa yang hilang darinya.
- Konselor harus dapat membaca dan menginterpretasi bentuk-
bentuk bahasa yang dilontarkan konseli. Isyarat-isyarat baik verbal
dan noverbal menghasilkan informasi yang kaya bagi konselor,
sebab isyarat-isyarat itu sering menghianati perasaan-perasaan
klien, yang klien sendiri tidak menyadarinya.

c) Situasi Hubungan
Hubungan antara konselor dan konseli adalah aspek yang paling
penting dalam konseling. Hubungan terapeutik terapi gestalt menekankan
pada empat karakteristik dialog, yaitu:
1. Inklusi (inclution)
Inklusi adalah menempatkan individu sepenuhnya dalam pengalaman
orang lain tanpa menilai, menganalisis, dan menginterpretasi selagi secara
simultan mempertahankan perasaan individu, kemandirian individu.
Pendekatan ini adalah aplikasi eksistensial dan interpersonal dari
fenomenologi. Inklusi mempersiapkan lingkungan yang aman untuk
konseli dan dengan komunikasi yang penuh pemahaman terhadap
pengalaman konseli sehingga membantu mempertajam kesadaran konseli.
2. Kehadiran (presence)
Konselor yang menggunakan pendekatan gestalt mengekspresikan
dirinya kepada konseli. Pada umumnya, konselor memperlihatkan
perasaan dan pengalaman pribadi, serta pemikiran dalam proses konseling
untuk membantu konseli belajar tentang kepercayaan dan menggunakan
pengalaman untuk meningkatkan kesadarannya.
14

3. Komitmen untuk dialog (commitment to dialogue)


Komitmen untuk dialog didapatkan melalui kontak. Kontak bukan
sekedar hubungan dengan dua orang, tetapi kontak adalah segala sesuatu
yang terjadi dua orang-konselor dan konseli. Konselor gestalt menciptakan
kontak yang egaliter antara konselor dan konseli, bukan memanipulasi
kliennya dengan mengontrol tujuan konseling.
4. Dialog yang hidup (dialogue is lived)
Dialog adalah segala sesuatu yang dilakukan, bukan sekedar
dibicarakan. Lived menekankan pada kesenangan dan kepentingan dari
melakukan eksperimen. Jenis dialog dapat berupa tarian, lagu, kata-kata
atau berbagai bentuk yang dapat mengekspresikan dan menggerakkan
energi konseli.

Jadi, konselor di sini fungsinya adalah sebagai fasilitator, pembimbing,


dan pendamping klien dalam perannya membantu klien mengatasi
masalah-masalah yang sedang dihadapinya, sehingga klien dapat secara
sadar dan mandiri mengembangkan atau meningkatkan potensi-potensi
yang dimilikinya.

d) Tahap – Tahap Konseling Gestalt

Teori konseling Gestalt merupakan proses treatmen yang memandang


bahwa individu memiliki kesanggupan memikul tanggung jawab pribadi
dan hidup sepenuhnya sebagai pribadi yang terpadu, dan sasaran konseling
Gestalt adalah pemulihan kesadaran serta pada pemaduan polaritas-
polaritas dan dikotomi-dikotomi dalam diri sehingga self achievement
konseli dapat ditingkatkan dan diterapkan dalam bidang pribadi, sosial,
belajar dan karir (Paramartha, Dharsana and Suarni, 2017). Proses
konseing gestalt ini memiliki beberapa tahapan dan tujuan tertentu dari
setiap tahapan yang ada untuk membantu konselor dalam
mengorganisasikan proses konseling.
15

1. Tahapan yang pertama (The Beginning Phase), pada tahap ini konselor
dapat menggunakan metode fenomenologi sebagai upaya untuk
meningkatkan kesadaran konseli, menciptakan hubungan yang
komunikatif, mendorong keaktifan konseli sebagai pribadi sehat dan
menstimulasi konseli utuk mengembangan dukungan pribadi (personal
support) dan lingkungan sosialnya. Secara garis besar, proses dalam
konseling gestalt di tahap awal yaitu, (1) menciptakan tempat yang aman
dan nyaman (safe countainer) pada saat proses konseling, (2)
mengembangkan hubungan kolaboratif (working alliance), (3)
mengumpulkan data, pengalaman konseli, dan gambaran karakteristik
epribadian konseli dengan pendekatan fenomenologis, (4) meningkatkan
kesadaran dan tanggung jawab pribadi, (5) membangu sebuah hubungan
yang komunikatif, (6) meningkatkan self support khususnya dengan
konseli yang memiliki keyakinan diri rendah, (7) mengidentifikasi dan
mengklarifikasi kebutuhan-kebutuhan konseli dan tema-tema masalah
yang mucul, (8) membuat prioritas dan kesimpulan diagnosis terhadap
konseli, (9) mempertimbangkan konflik dan isu serta perbedaan antara
konselor dan konseli pada saat proses konseling, (10) konselor
mempersiapkan rencana utuk menghadapi suatu kondisi disaat konseli
berada pada titik rendah (ex: menyakiti diri sendiri, luapan emosi yang
berlebihan, dll), (11) bekerjasama dengan konseli untuk membuat rencana
konseling.
2. Tahap kedua (Clearing The Ground), Pada tahap ini, konseling berlanjut
pada sbeuah strategi yang lebih spesifik. Konseli mengeksplorasi berbagai
sistem pertahanan diri, memodifikasi kontak yang dilakukan dan
unfinished business. Adapun prosesnya yaitu mengeksplorasi introyeksi
dan modifikasi kontak, mengatasi urusan yang tidak terselesaikan
(unfinished business), mendukung konseli dalam proses katarsis,
melakukan eksperimen untuk memperluas pilihan bagi konseli, terlibat
secara terus menerus dalam hubungan yang komunikatif.
3. Tahap ketiga (The Existentian Encounter), Pada tahap ini mulai muncul
aktifitas yang dilakukan oleh konseli dengan mengeksplorasi konflik yang
16

ada dirinya kepada konselor secara mendalam dan membuat perubahan


yang signifikan setelah melakukan konseling dan pendampingan. Tahap
ini merupakan tahap yang dianggap sulit karena konseli mulai menghadapi
kecemasan-kecemasannya sendiri, ketidakpastian dan ketakutan yang
selama ini terpendam dalam diri. Selain itu konseli menghadapi perasaan-
perasaan terancam yang terasa kuat disertai dengan perasaan hilangnya
harapan untuk kehidupan yang nayaman. Pada fase ini diharapkan
konselor dapat memberikan dukungan dan motivasi pebuh sehingga
konseli dapat merasa lebih tenang dan dapat meyakini diri agar tidak
cemas dan ragu yang berlebihan. Pada tahap ini terdapat beberapa langkah
diantaranya: (1) Menghadapi hal-hal yang tidak diketahui dan
mempercayai konseli dalam upaya regulasi diri, (2) memiliki kembali
bagian dari diri konseli yang tadinya hilang dan tidak diakui, (3) memuat
suatu keputusan eksitensial untuk hidup dan terus berjalan, (4) bekerja
secara sistematis dalam mengatasi keyakinan konseli yang negatif dan
cenderung melukai diri sendiri, (5) memilih hidup dengan keberanian
menghadapi ketidakpastian, (6) memahami makna spiritual, (7)
mengalami sebuah hubungan perbaikan yang terus menerus berkembang.
4. Tahap keempat (Integration), pada tahap ini konseli sudah dapat
mengatasi krisis-krisis yang dialami sebelumnya dan mulai menerima
dirinya sendiri, pengalaman dan emosi negatif. Konseli telah mampu
menerima ketidakpastian, kecemasan dan ketakutan atas tanggung jawab
atas dirinya. Tahap ini terdiri dari beberapa langkah diantaranya:
membentuk kembali pola-pola hidup dalam bimbingan pemahaman, fokus
pada pembentukan kontrak relasi yang memuaskan, memiliki hubungan
dengan masyarakat dan komunitas yang luas, menerima ketidakpastian dan
kecemasan yang dapat menghasilkan makna-makna baru, menerima
tanggung jawab terhadap kehidupannya.
5. Tahap kelima (Ending), pada tahap ini konseli memiliki kesiapan untuk
memulai kehidupan secara mandiri. Tahap pengakhiran ditandai dengan:
Berusaha untuk melakukan tindakan antisipasi akibat hubungan konseling
yang telah usai, memberikan proses pembahasan kembali isu-isu yang ada,
17

merayakan yang telah dicapai, menerima apa yang belum dicapai,


melakukan antisipasi dan perencanaan terhadap krisis di masa depan,
membiarkan sesuatu yang telah lalu dan terus melanjutkan kehidupan
untuk masa depan.

e) Teknik – Teknik Konseling Gestalt


Terapi Gestalt menggunakan banyak Teknik atau strategi yang
lebih dari sekumpulan teknik atau permainan-permainan. Apabila
interaksi pribadi antara terapis dengan konseli merupakan inti dari proses
terapeutik, Teknik-teknik bisa berguna sebagai alat membantu konseli
memperoleh kesadaran yang penuh dan teknik-teknik dalam terapi gestalt
digunakan sesuai dengan gaya pribadi terapis. Levitsky dan Perls
(Abdullah,2017) menyajikan suatu uraian ringkas tentang sejumlah
permainan yang bisa digunakan dalam terapi gestalt, diantaranya;
1. Permainan dialog
Salah satu tujuan terapi gestalt adalah mengusahakan fungsi yang
terpadu dan penerimaan atas aspek-aspek kepribadian yang dicoba
dibuang atau diingkari. Terapi gestalt menaruh perhatian yang besar
pada pemisahan antara “top dog” dan “underdog”. Topdog disini
merupakan suatu perasaan amarah bila sesuatu tidak sesuai dengan
nilai dan norma moral, autoritarian dan mengetahui yang terbaik.
Topdog merupakan orang yang menggunakan kekuatannya untuk
menekan dan menakuti orang lain dan bekerja dengan kata “kamu
harus” dan “kamu tidak boleh”. Sedangkan underdog lebih ke
manipulatif dengan menjadi defensif, menggambarkan peran lemah,
merengek dan menangis seperti layaknya tidak mempunyai daya
upaya. Underdog lebih menekankan pada peran “saya mau” atau
“saya sudah bekerja dengan keras).
Teknik ini menggunakan dua kursi kosong untuk membantu
konseli dalam penyelesaian konflik antara peran “yang saya inginkan”
dan “saya seharusnya”. Satu kursi menjadi topdog (yang seharusnya)
18

dan satunya merupakan underdog (yang saya inginkan). Pada teknik


ini konseli diminta berargumen sampai mencapai titik permasalahan
yang sebenarnya.
2. Berkeliling
Suatu Latihan terapi Gestalt dimana konseli diminta untuk
berkeliling ke anggota kelompoknya dan berbicara atau melakukan
sesuatu dengan anggota kelompok. Maksud dari teknik ini adalah
untuk menghadapi, memberanikan, dan menyikapkan diri,
bereksperimen dengan tingkahlaku yang baru, serta tumbuh berubah.
3. Latihan “saya bertanggung jawab atas”
Dalam Latihan ini, meminta konseli untuk membuat suatu
pernyataan dan kemudian menambahkan pada pernyataan itu kalimat
“dan saya bertanggung jawab untuk itu”. Teknik ini memiliki tujuan
untuk membantu konseli dalam upaya menyadari dan
mempersonalisasi perasaan dan tingkah lakunya serta dapat
bertanggung jawab atas perasaan dan tingkah laku tersebut.
Contohnya seperti;
“saya jenuh dan saya bertanggung jawab atas kejenuhan saya itu”
“saya tidak tahu apa yang harus saya katakana sekarang, dan saya
bertanggung jawab atas ketidaktahuan saya itu”.
4. Latihan “saya memiliki suatu rahasia”
Terapis ini meminta konseli untuk berkhayal tentang suatu rahasia
pribadi yang terjaga dengan baik, membayangkan perasaan mereka
membuka rahasia itu. Dalam seting kelompok, konselor meminta
kepada konseli untuk membayangkan diri mereka berdiri berhadapan
dengan sekelompok orang dan membukakan rahasia mereka yang
telah menguras banyak energi dalam menyembunyikannya terhadap
orang lain. Kemudian konseli diminta membayangkan apa yang akan
dikatakan sekelompok orang setelah mengetahui rahasianya.
Teknik ini digunakan sebagai pembentukan kepercayaan dalam
rangka mengeksplorasikan mengapa konseli tidak membuka
rahasianya dan mengeksplorasikan ketakutan-ketakutan dalam
19

menyampaikan hal-hal yang mereka anggap memalukan atau


menimbulkan rasa berdosa.
5. Bermain proyeksi
Terapis ini konseli diminta untuk mengatakan “saya tidak bisa
mempercayaimu” dengan maksud konseli berperan sebagai orang
yang tidak bisa menaruh kepercayaan guna menyingkirkan sejauh
mana ketidakpercayaan itu menjadi konflik dalam dirinya. Dengan
teknik ini konseli diharapkan dapat menemukan tingkat
ketidakpercayaan kepada orang lain sehingga dapat berusaha untuk
mengetahui bagaimana berat dan tingkat ketidakpercayaan tentang
orang lain.
6. Teknik pembalikan
Pada teknik ini individu diajak untuk mengambil resiiko terhadap
sebuah ketakutan, kecemasan pada dirinya serta melakukan kontak
dengan sesuatu yang dihindarinya selama ini. untuk itu konselor
meminta konseli untuk melakukan tingkah laku yang berupa
kebalikan dari apa yang ia katakan. Contohnya yaitu ketika konseli
pemalu dan tidak percaya diri, konselor meminta konseli untuk
melakukan sesuatu penuh dengan percaya diri.
7. Permainan melebih-lebihkan
Teknik ini membantu konseli untuk menjadi lebih sadar pada
gestur tubuh, intonasi, ekspresi wajah yang menjadi sarana
komunikasi yang memiliki makna yang signifikan. pada teknik ini,
konseli diminta untuk mengulang kembali secara berlebihan gerakan
dan bahasa tubuh yang biasa dilakukan seiring dengan tingkah laku
tertentu
8. Tetap dengan perasaan
Pada tekik ini konselor meminta konseli untuk tetap pada perasaan
takut, sakit, cemas dan merasakannya pada saat konseling
berlangsung. Konselor mendorong konseli untuk merasakan dan
melakukan kegiatan yang cenderung dihindarinya. Dengan
menghadapinya, mengkonfrontasi dan mengalami rasa kecewa, sakit,
20

cemas dan takut tersebut akan membuat konseli untuk semakin berani
dan memiliki kebangkitan keinginan untuk menyelesaikan masalah.
9. Pendekatan Gestalt terhadap kerja mimpi
Dalam pendekatan Gestalt, mimpi dipandang sebagai proyeksi
kepribadian pemimpi, diantaranya pada bidang pengalaman. Mimpi
tidak dibicarakan sebagai suatu kejadian yang telah berlalu tetapi
sebagai sesuatu yang terjadi sekarang. Manurut Perls
(Abdullah,2017), mimpi adalah ungkapan yang paling spontan dari
keberadaan manusia. Mimpi mempresentasikan sesuatu yang tidak
tuntas tetapi lebih dari sekedar suatu Hasrat yang tidak terpenuhi.
f) Tujuan Konseling Gestalt dalam setting Kelompok
Seperti yang kita tahu bahwasannya pendekatan konseling Gestalt
berada dibawah payung humanistic dimana pada pendekatan humanistic
ini berfokus pada keadaan konseli disini dan sekarang dan tidak
memperhatikan atau memandang masa lalu. Terapi Gestalt merupakan
salah satu terapi yang bisa digunakan dalam setting konseling kelompok.
Terapi ini dianggap sebagai terapi terbaik dalam setting kelompok.
Dengan mempertimbangkan dasar yang mendasari pendekatan ini, dapat
diketahui bahwasannya pendekatan Gestalt dirancang dari berbagai teori
dan pendapat seperti pendekatan humanis, pendekatan eksistensial, dan
pendekatan fenomenologis. Konsep utama yang dibahas melalui
penerapan Gestalt adalah konsep seperti kesadaran diri, bentuk
komunikasi, dan tanggung jawab pribadi. Terapi gestalt dapat digunakan
secara efektif untuk mengatasi berbagai maca, gangguan seperti gangguan
emosional, gangguan penyesuaian, gangguan kecemasan, gangguan ciri-
ciri kepribadian.
Terapi Gestalt berfokus pada pengalaman dan tindakan langsung.
Pendekatan ini tidak hanya berkonsentrasi pada pembicaraan teoretis
tentang konflik atau perasaan, akan tetapi kekhawatiran apa pun di masa
depan yang dapat menyebabkan kecemasan pada masyarakat dapat
terlihat atau terimplementasikan pada saat ini. Terapi ini membantu
anggota untuk mengetahui lebih banyak tentang penyebab kecemasannya.
21

Para anggota kelompok melakukan perubahan nyata dalam mengambil


tindakan daripada sekedar berbicara. Untuk meningkatkan kesadaran
anggota kelompok, terapi Gestalt mengintensifkan pengalaman mereka
saat ini melalui praktik beberapa intervensi. Selama proses intervensi,
anggota kelompok terapeutik dapat meningkatkan kinerjanya yang
menjadi titik fokus yang hendak dicapai melalui teknik yang telah
disebutkan (Ali & Cekrez, 2020). Dalam permasalahan kecemasan yang
sering terjadi terhadap individu dewasa awal yaitu quarter life crisis
dimana kecemasan yang sering mereka alami adalah kecemasan dalam
permasalahan perkembangan karir, identitas diri, dan juga
membandingkan kelebihan satu individu dengan yang lain yang
menyebkan individu merasa tidak terpenuhi tugas perkembangannya.
Dalam setting kelompok konseling Gestalt bertujuan untuk berfokus pada
masalah saat ini dan anggota kelompok diberikan tanggung jawab aka apa
yang seharusnya ia lakukan dan fokuskan pada usianya. Terapi
pendekatan gestalt diharapkan dapat mengatasi individu-individu yang
sedang mengalami masa-masa quarter life crisis dalam kehidupan mereka,
adanya sharing atau berbagi cerita dan mencarikan solusi secara bersama,
diharapkan keadaan quarter life crisis dapat teratasi dan mereka yang
mengalami fase ini bisa mendapatkan solusi untuk mengatasinya.
g) Sikap, Peran, dan Tugas Pemimpin Kelompok dalam Konseling
Gestalt
Meskipun dalam konseling kelompok Gestalt tugas atau peran
pemimpin kelompok adalah untuk meningkatkan atau mendorong
kesadaran anggota terhadap apa yang anggota rasakan saat ini, pemimpin
kelompok dapat berperan aktif dalam menciptakan suasana atau
memberikan pengalaman berupa eksperimen untuk membantu anggota
memanfaatkan sumber daya yang ada dalam sebuah kelompok (Arip dkk.,
2013).
Selama tahap konseling kelompok, tugas pemimpin adalah
membantu anggota belajar bagaimana mulai mengerjakan masalah yang
membawa mereka ke kelompok. Kewajiban bagi anggota adalah untuk
22

memonitor pikiran, perasaan, reaksi, dan tindakan mereka dan untuk


belajar mengekspresikannya secara lisan. Para pemimpin dapat membantu
anggota mengenali dan menerima ketakutan dan pertahanan mereka,
namun pada saat yang bersamaan, pemimpin kelompok berusaha
menantang anggota untuk mengatasi kecemasan mereka dan keengganan
dari berbagai hal yang mungkin dialami. Pemimpin kelompok perlu
memahami dan menghormati pengalaman anggota yang ketakutan atau
enggan, dan mendorong mereka untuk mengeksplorasi keengganan dan
ketakutan yang mungkin mereka miliki sewaktu berpartisipasi dalam
kelompok (Sukmawati dkk., 2019).
h) Sikap, Peran, dan Tugas Anggota Kelompok dalam Konseling Gestalt
Tugas anggota kelompok dalam konseling Gestalt ini adalah
memperhatikan struktur pengalaman mereka dan menyadari akan apa dan
bagaimana pengalaman yang mereka alami (Coven, 2004). Perlu diingat
bahwasannya tujuan dari pendekatan Gestalt adalah adalah meningkatkan
kesadaran, yang dengan sendirinya dipandang sebagai kuratif atau
menghasilkan pertumbuhan. Kesadaran membutuhkan pengetahuan diri,
tanggung jawab untuk pilihan, kontak dengan lingkungan, perendaman
dalam arus pengalaman, penerimaan diri, dan kemampuan untuk
melakukan kontak. Anggota kelompok diajak untuk memilih dua
alternatif, yang pertama ia akan menolak kenyataan yang ada pada dirinya
atau membuka diri untuk melihat apa yang sebenarnya terjadi pada
dirinya sekarang. Menurut Lumongga, tujuan dari terapi gestalt adalah
membantu klien tidak ketergantungan pada orang lain dan menjadikan
klien dapat menemukan sejak awal bahwa dia bisa melakukan banyak hal,
lebih dari yang mereka ketahui (Syahri, 2021). Anggota kelompok dapat
memanfaatkan kehadirannya dalam kelompok untuk menyalurkan dan
mengungkapkan pikiran, perasaan, dan perilakunya yang selama ini
bermasalah. Secara tidak langsung tugas dan peran dari anggota
kelompok adalah berusaha untuk memuhi tanggung jawabnya sebagai
sebuah pribadi yang utuh dan berusaha untuk melihat peluang yang ada di
23

depan dan merefleksikan apa yang selama ini ia rasakan sehingga ia


memahami akan dapat memahami perasaan-perasaannya.
i) Situasi Hubungan antara Pemimpin Kelompok dengan Anggota
Kelompok
Hubungan dalam proses konseling terutama dalam sebuah
konseling kelompok juga harus diperhatikan, adanya hubungan yang baik
antara pemimpin kelompok da juga anggota kelompok akan membuat
proses konseling berjalan sesuai goals yang di tuju. Dalam konseling
kelompok Gestalt meskipun konseling ini menekankan individu untuk
bertanggung jawab dan juga membuat anggota sadar akan perasaan-
perasaan yang selama ini ia refleksikan, pemimpin kelompok perlu
menciptakan suasana yang mendukung agar anggota kelompok merasa
nyaman dan ia mau merefleksikan akan perasaan-perasaan yang selama
ini ia rasakan dan menyadarkan apa tentang apa yang seharusnya ia
lakukan untuk berfokus ke masa depan dan yakin bahwa anggota
kelompok dalam melakukannya sesuai denga napa yang mereka miliki.
j) Tahap-Tahap Konseling Kelompok
Berikut adalah tahapan-tahapan dalam penerapan konseling
kelompok menggunakan konseling Gestalt (Gading, 2020).

Tahapan Kegiatan
Pembentukan - Pemimpin kelompok mengarahkan anggota
kelompok ke ruangan atau tempat yang telah
disepakati (ruang konseling)
- Konselor atau pemimpin kelompok menerima
kehadiran anggota kelompok dengan ramah
- Konselor menjelaskan kepada anggota
kelompok alasan mereka dikumpulkan
- Konselor menjelaskan tujuan dan tahap
pertemuan
Transisi - Konselor membangun komitmen dengan
anggota kelompok sehingga mereka siap dan
bersedia mengikuti konseling kelompok
24

sampai selesai
- Konselor menjelaskan prinsip-prinsip
konseling kelompok yang harus diperhatikan
dan diterapkan dalam mengikuti konseling
kelompok (prinsip keterbukaan dan
kerahasiaan)
Diskusi - Memilih konseli yang permasalahannya akan
dibicarakan pada pertemuan pertama
- Konseli terpilih menjelaskan permasalahannya,
sedangkan anggota kelompok yang lain dapat
mengajukan pertanyaan yang menyebabkan
permasalahan konseli menjadi lebih jelas
- Kelompok mengeksplorasi ketidaktepatan
peran dan tanggung jawab konseli sehingga
terjadi permasalahan
- Kelompok mendorong konseli untuk
menyadari kesalahan peran dan tanggung
jawabnya sehingga pengentasan permasalahan
diatasi dengan dua teknik : pertama adalah
Teknik "Saya bertanggung jawab" dan kedua
adalah Teknik "dialog topdog-underdog"
- Kelompok mendorong konseli untuk
meningkatkan peran dan tanggung jawabnya
sehingga permasalahan dapat diatasi
- Kelompok mendorong konseli untuk
melaksanakan tanggung jawabnya sehingga
permasalahan konseli dapat teratasi
Kesimpulan - Konselor meminta konseli menyampaikan
pemahaman, kesadaran, dan tanggung jawab
baru yang diperoleh melalui konseling
kelompok
- Konselor merangkum kegiatan yang telah
25

dilakukan
Penghentian - Konselor mengucapkan terima kasih kepada
anggota kelompok
- Konselor meminta maaf jika terjadi hal-hal
yang tidak diinginkan pada saat konseling
sehingga menyebabkan anggota kelompok
tidak senang
- Konselor menutup pertemuan

k) Teknik-Teknik Konseling Kelompok Gestalt


Quarter Life Crisis ini dapat diatasi dengan bantuan setting
layanan Bimbingan dan Konseling yaitu layanan konseling kelompok
dengan menggunakan pendekatan gestalt yang terbukti efektif dalam
membantu mengatasi quarter life crisis pada seseorang yang mengalami
masalah tersebut, teknik yang digunakan untuk membantu mengatasi
quarter life crisis adalah teknik pelatihan saya bertanggung jawab (Agusti
dkk., 2022). Menurut Corey (2010) dimaksudkan untuk membantu klien
agar mengakui dan menerima perasaan-perasaannya dari pada
memproyeksikan perasaannya itu kepada orang lain. Dalam teknik ini
konselor meminta klien untuk membuat suatu pernyataan dan kemudian
klien menambahkan dalam pernyataan itu dengan kalimat : “…dan saya
bertanggung jawab atas hal itu”. Misalnya : “Saya merasa jenuh, dan saya
bertanggung jawab atas kejenuhan itu”, “Saya tidak tahu apa yang harus
saya katakan sekarang, dan saya bertanggung jawab ketidaktahuan itu”.

E. Reflection to Process and Result

Gestalt adalah salah satu ancangan konseling yang digolongkan


kedalam perspektif afektif. Dikatakan berorientasi afektif karena ancangan
ini menganut asumsi-asumsi humanistic sebagaimana eksistensialisme dan
konseling berpusat pada pribadi. Pendekatan gestalt adalah teori
pendekatan yang berfokus pada masa kini dan dibutuhkan kesadaran saat
itu juga dan gestalt juga mengharuskan individu menemukan jalannya
26

sendiri dan menerima tanggung jawab pribadinya. Artinya pendekatan


Gestalt adalah suatu pendekatan yang menekankan kesadaran apa yang
dirasakan saat ini, sebagai pengambilan keputusan untuk yang dilakukan
saat ini juga. Tujuan dari konseling Gestalt adalah membantu konseli agar
berani menghadapi berbagai macam tantangan maupun kenyataan yang
harus dihadapi. Sasaran konseling Gestalt adalah pemulihan kesadaran
serta pada pemaduan polaritas-polaritas dan dikotomi-dikotomi dalam diri
sehingga self achievement dapat ditingkatkan dan diterapkan dalam bidang
pribadi, sosial, belajar dan karir.

Dalam proses konseling gestalt, konselor memiliki peran dan


fungsi yang unik, yaitu, konselor diharapkan fokus terhadap perasaan,
kesadaran, bahasa tubuh, hambatan energi dan hambatan untuk mencapai
kesadaran yang ada pada konseli, konselor memiliki peran dalam
menciptakan kesempatan hidup baru konseli agar dapat mencapai taraf
hidup yang optimal, konselor berperan sebagai projection screen, klien
menggunakan terapis sebagai layar proyeksi dan memandang terapis
sebagai pemberi apa-apa yang hilang darinya dan konselor harus mampu
mengerti, membaca, memahami dan menginterpretasikan bentuk-bentuk
bahasa yang disampaikan konseli.
27
1

Lampiran

HASIL ANALISIS JURNAL YANG BERKAITAN DENGAN KONSELING GESTALT

No
Judul Penelitian Tujuan Metode Penelitian Hasil Penelitian
.
1. The Effects Of Group Penelitian ini bertujuan Jenis penelitian yang Perbedaan signifikan rata-rata antara hasil pretest
Counseling With Gestalt untuk mengeksplorasi efek digunakan saat ini adalah dan posttest depresi pada wanita Yezidi seperti yang
Therapy In Reducing konseling kelompok dengan metode campuran (mixed dihipotesiskan telah diperiksa terlebih dahulu dan
Depression, Anxiety And terapi Gestalt dalam method) yang melibatkan hasilnya dirangkum dan disajikan pada table yang
Stress Among mengurangi gangguan pendekatan penelitian telah dijabarkan. Hasil yang disajikan pada Tabel 2
Traumatized People (Ali psikologis seperti depresi, kualitatif dan kuantitatif menunjukkan bahwa hasil pretest memiliki nilai
& Cerkez, 2020) kecemasan dan stres di (eksperimen dan kuesioner). sebesar 51,33 yang menurut Hamilton ( 1960)
kalangan Wanita Yezidi Wanita Yezidi di Kamp berada pada tingkat sangat tertekan yang
yang melarikan diri dari Bersiv di kota Zakho memerlukan uji klinis. Namun nilai rata-rata posttest
Negara Islam Irak dan diundang untuk (2,73) menunjukkan tingkat depresi normal.
Suriah. Hal ini juga berpartisipasi dalam Terdapat perbedaan yang jelas antara nilai tersebut
bertujuan untuk menyelidiki penelitian ini. Formulir tetapi untuk menguji signifikansinya, nilai
dampak psikoterapi rekrutmen diperiksa untuk perhitungan seperti yang disajikan dalam tabel lebih
kelompok Gestalt dalam mengeluarkan perempuan- besar dari nilai kritis yang berarti terdapat perbedaan
mengurangi kilas balik perempuan yang berada di rata-rata yang signifikan antara kedua sesi. Dengan
peristiwa traumatis pada atas usia yang disyaratkan nilai p (<0,01), kami menerima hipotesis 1 dan
wanita Yezidi yang pernah untuk penelitian. Sampel menyimpulkan bahwa terdapat perbedaan rata-rata
mengalami trauma dan partisipan terdiri dari (15) antara pretest dan posttest mengenai depresi pada
mengalami peristiwa perempuan yang lolos dari wanita.
traumatis yang akan tangan ISIS yang dipilih.
membantu mereka Penelitian ini menggunakan Hasilnya menyimpulkan bahwa perempuan
2

melupakan pengalaman validasi skala Depresi, penyintas Yezidi mengalami depresi, kecemasan dan
masa lalu dan memulai kecemasan, dan stres stres, namun setelah menjalani terapi kelompok
hidup baru. (DASS). Statistik deskriptif selama dua bulan, tingkat ketiga gangguan
digunakan untuk psikologis tersebut pada peserta penelitian
menjelaskan informasi latar berkurang.
belakang peserta. Untuk
menguji keefektifan
pendekatan gestalt pada
kelompok, ditentukan
perbedaan antara pretest dan
posttest untuk masing-
masing depresi, kecemasan
dan stres dengan
menggunakan sampel
independen.T-tes.
2. The Development of a Tujuan dari penelitian ini Metode penelitian yang Hasil penilaian menunjukkan bahwa modul
Group Guidance Module adalah untuk digunakan dalam penelitian bimbingan kelompok mempunyai validitas isi yang
for Student Self- mengembangkan dan ini berdasarkan pendekatan tinggi berdasarkan kesepakatan bulat dan tegas dari
Development Based on memvalidasi modul kuantitatif yang dilakukan seluruh ahli yang terlibat. Oleh karena itu, modul
Gestalt Theory (Arip bimbingan kelompok untuk melalui survei dengan yang memiliki validitas isi yang tinggi dan
Dkk., 2013) pengembangan diri siswa menggunakan dua pengerjaan yang inovatif akan bermanfaat bagi
berdasarkan teori Gestalt. instrumen penelitian yang praktisi dalam menangani pengembangan diri siswa.
Modul ini terdiri dari dikembangkan oleh peneliti.
sembilan sesi dan 12 Metode desain yang
kegiatan yang digunakan dalam penelitian
dikembangkan berdasarkan ini menggunakan
konsep, prinsip, dan teknik pendekatan deskriptif yang
3

teori Gestalt yang dianut melibatkan expert


oleh Fritz Perls, Laura Perls, judgement. Instrumen yang
dan Paul Goodman pada digunakan adalah dua
tahun 1940-an dan 1950-an. angket: pertama untuk
mengetahui validitas isi
modul seperti yang
dianjurkan oleh Rusell
(1974), dan yang kedua
untuk mengetahui
kesesuaian sesi dan kegiatan
modul seperti yang
dianjurkan oleh Mohammad
Aziz Shah (2010). ).
Sampel penelitian
berjumlah enam orang ahli
yang terdiri dari psikolog,
konselor, dan akademisi.
Perangkat lunak statistik
digunakan untuk
menganalisis statistik
deskriptif dari data yang
dikumpulkan yang
menunjukkan hasil yang
menjanjikan.

3. Pendekatan Bimbingan Penelitian ini dilakukan Penelitian ini menggunakan Toleransi beragama siswa di SMA Ibnu ‘Aqil Bogor
4

Dan Konseling Gestalt untuk pendekatan kuantitatif dari hasil penelitian diketahui hasil rata-rata sebesar
Profetik (G-Pro) Untuk menguji pendekatan dengan metode quasi 3,23 untuk toleransi beragama siswa pada kelompok
Meningkatkan Toleransi Bimbingan dan Konseling eksperimen, Desain eksperimen yang mengikuti Pre-Test berada pada
Beragama Siswa Di Sma Gestalt Profetik (G-Pro) penelitian yang digunakan kategori baik, nilai sebesar
Ibnu ‘Aqil (Mujahidin dalam meningkatkan adalah desain pretest- 3,36 untuk toleransi beragama siswa pada kelompok
Dkk., 2020) toleransi beragama siswa. posttest eksperimen yang mengikuti Post-Test berada pada
nonequivalent group. kategori sangat baik. nilai sebesar 2,97 untuk
Populasi penelitian ini toleransi beragama siswa pada kelompok kontrol
sebanyak 110 siswa di yang
Sekolah Menengah Atas mengikuti Pre-Test berada pada kategori baik, dan
(SMA) IBNU ‘AQIL. nilai sebesar 3,08 untuk toleransi beragama siswa
Sampel penelitian diambil pada kelompok kontrol yang mengikuti Post-Test
60 orang dari populasi, berada pada kategori baik.
Kelompok eksperimen
sebanyak 30 siswa dan
kelompok control sebanyak
30 siswa. Teknik
pengambilan sampel
menggunakan teknik
Stratified Random
Sampling. Teknik
pengumpulan data
menggunakan angket,
observasi, dan dokumentasi.
4. Mengatasi Perilaku Penelitian ini bertujuan Jenis Penelitian yang Selama diberikan konseling menggunakan
Agresif Pelaku Bullying untuk mengetahui upaya dilakukan dalam penelitian pendekatan gestalt teknik kursi kosong, terjadi
Melalui Pendekatan keberhasilan dalam ini adalah penelitian penurunan persentase yang diperkuat dengan
5

tindakan dengan
menggunakan dua siklus.
Dimana subjek penelitian
mengatasi perilaku agresif perubahannya kategori pada siklus 1 dan siklus 2.
adalah dua orang konseli
Konseling Gestalt Teknik siswa pelaku bullying Dan setelah diberikan konseling gestalt perilaku
yang sering melalkukan
Kursi Kosong melalui konseling gestalt agredif konseli berada pada kategori rendah. Jadi,
tindakan bullying. Metode
teknik kursi kososng hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terjadi
pengumpulan data yang
*Susanti Dyastuti perubahan prilaku agresif pada diri kedua konseli
digunakan yaitu wawancara
dan berkurangnya tingkat keagresifan pada konseli.
dan observasi dan analisis
data yang digunakan adalah
analisis data kualitatif.
Penggunaan Konseling Tujuan penelitian ini adalah Metode penelitian ini adalah Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa konseling
Gestalt untuk untuk mengetahui deskriptif kualitatif dengan gestalt dapat meningkatkan kesadaran diri siswa, hal
Meningkatkan Self peningkatan self awareness menggunakan studi kasus. ini dibuktikan dengan adanya perubahan ketiga
Awareness Siswa dengan menggunakan Subjek penelitian ini subjek setelah melaksanakan konseling, yaitu: lebih
konseling gestalt sebanyak 3 orang. Teknik memiliki kesadaran akan keadaan fisiknya, sadar
*Nisfhi Laila Sari, pengumpulan data akan kemampuannya, dan tidak bergntung pada
5.
Muswardi Rosra, Shinta menggunakan wawancara orang lain.
Mayasari kepada guru bimbingan dan
konseling tentang siswa
yang memiliki masalah
berkaitan dengan kesadaran
dirinya.
6. Terapi Gestalt untuk Penelitian ini bertujuan Penelitian ini adalah Hasil penelitian menyatakan penerapan teknik-
Meningkatkan Motivasi untuk melihat peningkatan penelitian kualitatif dengan teknik yang ada pada terapi gestalt mampu
Belajar Siswa di SMK motivasi belajar siswa field reseach. Subjek meningkatkan motivasi belajar siswa SMK
Kesehatan Karya Adi dengan terapi gestalt. penelitian ada 10 orang Kesehatan Karya Adi Husada Rakam.
6

Husada Rakam Lombok siswa. Terapi gestalt yang


Timur diberikan sesuai dengan
*Ahmad Salman Alparizi masalah yang melatar
belakangi apa yang menjadi
faktor rendahnya motivasi
belajar siswa.
Hasil penelitian ini dapat di simpulkan bahwa
tanggung jawab belajar siswa sebelum di berikan
Penelitian ini dilakukan
perlakuan konseling Gestal dengan teknik kursi
terhadap siswa kelas XI IIS
kosong dalam layanan konseling kelompok berada di
SMAN 1 Bukit Batu
kategori sedang dengan rata-rata 71,87. Setelah
Efektivitas Konseling Penelitian ini bertujuan Kabupaten Bengkalis tahun
diberikan perlakuan konseling Gestal dengan teknik
Gestalt Dengan Teknik untuk mengetahui ajaran 2019/2020 dengan
kursi kosong dalam layanan konseling kelompok
Kursi Kosong Dalam efektivitas konseling gestalt populasi sebanyak 89 siswa.
mengalami peningkatan yang tinggi yaitu berada
Layanan Konseling dengan teknik kursi kosong Subjek penelitian adalah
pada rata-rata 93,00. Maka dapat dikatakan adanya
Kelompok Untuk dalam layanan konseling sebanyak 8 orang siswa
perbedaan pre test dan post test dan dilihat dari
7. Meningkatkan Tanggung kelompok untuk yang merupakan penelitian
analisis data bahwa thitung>ttabel 9,024>2,00
Jawab Belajar Siswa Di meningkatkan tanggung sampel dengan mengambil
sehingga Ho ditolak. Meningkatnya tanggung jawab
Sekolah Menengah Atas jawab belajar siswa di dari populasi terendah
belajar siswa terjadi setelah subjek penelitian
Negeri 1 Bukit Batu Sekolah Menengah Atas sebagai subjek penelitian.
mengikuti 8 kali kegiatan layanan konseling
Kabupaten Bengkalis Negeri 1 Bukit Batu Uji validitas menggunakan
kelompok dengan teknik kursi kosong. Hal ini
*Surtini Kabupaten Bengkalis SPSS 21.0 for windows.
membuktikan mereka berhasil meningkatkan
Adapun untuk analisis data,
tanggug jawab belajar. Jadi dapat disimpulkan
peneliti menggunakan uji
bahwa konseling Gestalt dengan teknik kursi kosong
non-parametrik Wilcoxon.
efektif untuk meningkatkan tanggung jawab belajar
siswa di SMAN 1 Bukit Batu Kabupaten Bengkalis.
8. Layanan Konseling Tujuan penelitian ini adalah Jenis penelitian ini adalah Temuan penelitian ini mengungkapkan bahwa
7

studi kepustakaan dengan


Kelompok Dengan untuk membantu individu dengan menggunakan pendekatan gestalt dengan
memanfaatkan artikel atau
Pendekatan Gestalt mengatasi quarter life crisis cara konseling kelompok efektif untuk membantu
jurnal yang terkait dengan
Untuk Mengatasi Quarter dengan menggunakan individu-individu yang sedang mengalami quarter
konseling kelompok,
Life Crisis Pada pendekatan yang diberikan life crisis. Salah satu teknik yang digunakan yakni
pendekatan gestalt, dan
Mahasiswa secara berkelompok. latihan saya bertanggung jawab.
quarter life crisis.
9. Mengurangi Kecemasan Tujuan penelitian ini untuk Jenis penelitian ini Hasil penelitian menunjukkan gambaran siswa
Siswa Dalam mengetahui pelaksanaan menggunakan metode Pre sebelum diberikan Konseling Kelompok Gestalt
Menghadapi Ujian konseling kelompok Gestalt Eksperimen dengan pada hasil pre-test kategori tinggi 8 siswa dengan
Semester Melalui dan untuk mengetahui desainOne Group Pre-test presentase (100%) kategoti sedang (0%) dan
Konseling Kelompok tingkat kecemasan siswa and Post-test Design. kategori rendah (0%). Dan pada hasil post-test
Gestalt kelas VIII SMP Negeri 5 Populasi penelitian ini kategori tinggi (0%), kategori sedang 3 siswa dengan
Wangi-wangi adalah siswa SMP Negeri 5 presentase 37% dan kategori rendah 5 siswa dengan
Wangi-wangi yang jumlah presentase 63%. Pada uji wilcoxon di gunakan untuk
123 siswa. Teknik membandingkan perbedaan nilai pre-test dan post-
pengambilan sampel yaitu test pada kelompok eksperimen, sehingga
menggunakan purposive memperoleh nilai signifikansi atau Asymp. Sig (2-
sampling di mana sampel tailed) 0.001< 0.05, maka hipotesis di terima.yang
berjumlah 12 siswa dari berarti dapat Disimpulkan bahwa Konseling
siswa kelas VIII SMP Kelompok Gestalt efektif mengurangi kecemasan
Negeri 5 Wangi-wangi. siswa menghadapi Ujian Semester siswa kelas VIII
Teknik analisis data di SMP Negeri 5 Wangi-wangi. Berdasarkan hasil
lakukan dengan penelitian tersebut maka saran yang dapat
menggunakan analisis uji disampaikan yaitu hendaknya konselor lebih
wilcoxon dari data gain bervariatif dan meningkatkan frekuensi pemberian
menggunakan SPSS versi layanan informasi untuk membantu siswa dalam
16.0 for windows dengan mengurangi Kecemasan siswa menghadapi Ujian
8

melihat perbandingan nilai


signifikansi atau Asymp.
Sig (2-tailed)< 0.05, maka
hipotesis di terima, namun Semester secara tepat.
jika nilai signifikansi atau
Asymp. Sig (2-tailed)> 0.05
maka hipotesis ditolak.
Hasil menunjukkan bahwa terapi bermain gestalt dan
kognitif-perilaku berpengaruh dalam menurunkan
Penelitian ini bertujuan skor diagnosis (F=31/12,
untuk menyelidiki Menggunakan metode P<0/01) dan skor intensitas (F=37/25, P<0/01)
Effectiveness of Gestalt
efektivitas komparatif terapi penelitian kuantitaif dengan mengenai gangguan ditimik. Karena tujuan dari
and Cognitive-
bermain gestalt dan menggunakan instrumen penelitian ini yaitu untuk membandingkan
10. behavioural Play Therapy
kognitif-perilaku. Child Symptoms Inventory efektivitas terapi bermain gestalt dan kognitif-
in Decreasing Dythymic
(CSI-4), formulir untuk perilaku, menggunakan tes LSD menunjukkan
Disorder
guru sebagai post tes. efektivitas yang sama
dari dua pendekatan terapi dalam mengurangi
gangguan ditimik
1

DAFTAR RUJUKAN

Abdullah. 2017. Konseling dan psikoterapi. Surabaya: Jaudar Press

Afnan, A., Fauzia, R., & Tanau, M. U. (2020). HUBUNGAN EFIKASI DIRI
DENGAN STRESS PADA MAHASISWA YANG BERADA DALAM
FASE QUARTER LIFE CRISIS. Jurnal Kognisia, 3(1), Article 1.
https://doi.org/10.20527/jk.v3i1.1569

Agarwal, S., Guntuku, S. C., Robinson, O. C., Dunn, A., & Ungar, L. H. (2020).
Examining the phenomenon of quarter-life crisis through artificial
intelligence and the language of Twitter. Frontiers in Psychology, 11, 341.

Agusti, S., Ifdil, I., & Amalianita, B. (2022). Analysis of final student quarterlife
crisis based on gender. Konselor, 11(2), Article 2.

Ahmad, B., & Kerinci, I. (2020). Pendakatan Gestalt : Konsep Dan Aplikasi
Dalam Proses Konseling. Ijoce : Indonesian Journal Of Counseling And
Education, 1(2), 44–56. Https://Doi.Org/10.32923/Ijoce.V2i2.1975ALI,
N., & CERKEZ, Y. (2020). The Effects of Group Counseling with Gestalt
Therapy in Reducing Depression, Anxiety and Stress among Traumatized
People. 343–359.

Alparizi, A. S. (2021). Terapi Gestalt untuk Meningkatkan Motivasi Belajar Siswa


di SMK Kesehatan Karya Adi Husada Rakam Lombok Timur. AL-INSAN
Vol 2. No 1 , 1-15.

Arip, M. A. S. M., Bakar, R. B. A., Ahmad, A. B., & Jais, S. Md. (2013). The
Development of a Group Guidance Module for Student Self-development
based on Gestalt Theory. Procedia - Social and Behavioral Sciences, 84,
1310–1316. https://doi.org/10.1016/j.sbspro.2013.06.748

Artiningsih, R. A., & Savira, S. I. (2021). hubungan Loneliness dan Quarter life
crisis pada dewasa awal. Character: Jurnal Penelitian Psikologi, 8(5), 1-11.

Aryanto, E.R., Suwarjo, S. and Kurniawan, D.S. (2022) ‘Gestalt Counseling:


Reduces Anxiety After Failed to Move On’, in. International Seminar on
Innovative and Creative Guidance and Counseling Service (ICGCS 2021),
Sleman, Indonesia. Available at:
https://doi.org/10.2991/assehr.k.220405.016.

Azizah, N. (2022). Pendekatan Teori Gestalt Dengan Teknik Kursi Kosong Untuk
Meningkatkan Tanggung Jawab Belajar Peserta Didik. Jieco: Journal Of
Islamic Education Counseling, 2(2).
2

Coven, A. B. (2004). Gestalt Group Dreamwork Demonstrations in Taiwan. The


Journal for Specialists in Group Work, 29(2), 175–184.
https://doi.org/10.1080/01933920490439329

Dyastuti, S. (2012). Mengatasi Perilaku Agresif Pelaku Bullying Melalui


Pendekatan Konseling Gestalt Teknik Kursi Konsong. Indonesian Journal
of Guidance and Counseling: Theory and Application. vol 1. no 1. , 30-35.

Fall, K. A., Holden, J. M., & Marquis, A. (2004). Theoretical models of


counseling and psychotherapy. Brunner-Routledge.

Farahzadi, M., & Masafi, S. (2013). Effectiveness of Gestalt and cognitive-


behavioural play therapy in decreasing dythymic disorder. Procedia-
Social and Behavioral Sciences, 84, 1642-1645.

Gading, I. K. (2020). Group Counseling with The Gestalt Technique to Reduce


Academic Procrastination. International Journal of Emerging
Technologies in Learning (iJET), 15(14), Article 14.
https://doi.org/10.3991/ijet.v15i14.14465

HASANAH, K. (2016). Teori Konseling (Suatu Pendekatan Konseling Gestalt).


Al-Tazkiah: Jurnal Bimbingan Dan Konseling Islam, 5(2), 108–123.

Huda, M. (2023). Kontrol diri dan tawakal terhadap quarter-life crisis pada santri
di pesantren. Journal of Indonesian Psychological Science, 3(1), Article 1.
https://doi.org/10.18860/jips.v3i1.20649

Husniah, W. O., & Ulfa, M. (2019). Mengurangi Kecemasan Siswa Dalam


Menghadapi Ujian Semester Melalui Konseling Kelompok Gestalt.
Psikologi Konseling, 15(2).

Mujahidin, E., Rahman, I. K., & Aqilah, F. N. (2020). PENDEKATAN


BIMBINGAN DAN KONSELING GESTALT PROFETIK (G-PRO)
UNTUK MENINGKATKAN TOLERANSI BERAGAMA SISWA DI
SMA IBNU ‘AQIL. Edukasi Islami: Jurnal Pendidikan Islam, 9(01),
Article 01. https://doi.org/10.30868/ei.v9i01.706

Paramartha, W.E., Dharsana, I.K. and Suarni, N.K. (2017) ‘Gestalt Counseling
with Dialog Game Techniques and Hipno Counseling Techniques for Self
Achievement’, Bisma The Journal of Counseling, 1(1), p. 39. Available at:
https://doi.org/10.23887/128322017.
3

Rahman, I. K. (2020). The development of e-counseling gestalt prophetic to help


students cope with academic procrastination in indonesian islamic higher
education. Islamic Guidance and Counseling Journal, 3(1), 46-53.

Riyanto, A., & Arini, D. P. (2021). Analisis deskriptif quarter-life crisis pada
lulusan perguruan tinggi Universitas Katolik Musi Charitas. Jurnal
Psikologi Malahayati, 3(1), 12-19.

Saadati, H., & Lashani, L. (2013). Effectiveness of gestalt therapy on self-efficacy


of divorced women. Procedia-Social and Behavioral Sciences, 84, 1171-
1174.

Sari, N. L., Rosra, M., & Mayasari, S. (n.d.). Penggunaan Konseling Gestalt untuk
Meningkatkan Self Awareness Siswa. Jurnal FKIP Universitas Lampung .

Sudrajat, A. (2008, Mei 4). Ciri-Ciri Kepribadian yang Sehat dan Tidak Sehat.
Dipetik Mei 4, 2008, dari https://akhmadsudrajat.wordpress.com/

Surtini. (2020). Efektivitas Konseling Gestalt Dengan Teknik Kursi Kosong


Dalam Layanan Konseling Kelompok untuk Meningkatkan
Tanggungjawab Siswa di SMP N 1 Bukit Batu Kabupaten Bengkalis. UIN
Suska Riau .

Sukmawati, I., Neviyarni, N., Karneli, Y., & Netrawati, N. (2019). Penilaian
dalam konseling kelompok Gestalt. JPGI (Jurnal Penelitian Guru
Indonesia), 4, 40. https://doi.org/10.29210/02267jpgi0005

Syahri, L. M. (2021). Group counseling services with a Gestalt approach to


coping with quarter life crisis. Counseling and Humanities Review, 1(2),
Article 2. https://doi.org/10.24036/00614kons2023

Trijayanti, Y. W., Nurihsan, J., & Hafina, A. (2019). Gestalt counseling with
empty chair technique to reduce guilt among adolescents at risk. Islamic
Guidance and Counseling Journal, 2(1), 1-10.

Anda mungkin juga menyukai