Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH

”Studi Tafsir Fii Dzhilalil Qur’an dan Tafsir Surat Al-Fatihah ”


Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Tafsir Muashir
Dosen : H. Adib Samiun Jazuli, M.Pd.I

DISUSUN OLEH :

Sukriadi
Muhammad Suhendar
Umar Hakim U.
Yan Fathur Rahman

ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR


SEKOLAH TINGGI ILMU USHULUDDIN (STIU) DARULHIKMAH

Kp. Cakung RT01/05 Jatiasari Jatiasih, Jl. Wibawa Mukti II, RT.001/RW.005,
Jatisari,Kec. Jatiasih, Kota Bks, Jawa Barat 17426

1
KATA PENGANTAR

Segala puji hanyah milik Allah Subhanahu wa Ta’ala, kita meminta pertolongan,
memohon ampun, dan bertaubat kepada-Nya. Dan kita berlindung kepada-Nya dari segala
keburukan diri kita dan kejelakan amal-amal kita. Maka barang siapa yang diberi petunjuk oleh
Allah tidak ada yang dapat menyesatkannya. Dan siapa yang disesatkan oleh Allah maka tidak ada
yang dapat memberi petunjuk kepadanya. Aku bersaksi tidak ada tuhan selain Allah dan bahwa
Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasalam adalah hamba dan utusan-Nya.

Penulis mengucapkan syukur kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala atas limpahan nikmat
sehat-Nya, baik itu berupa sehat fisik maupun akal pikiran, sehingga penulis mampu untuk
menyelesaikan pembuatan makalah dari mata kuliah Tafsir Muashir dengan judul ”Study Tafsir Fii
Dzhilalil Qur’an dan Tafsir Surah Al-Fatihah” .

Penulis tentu menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna dan masih
banyak terdapat kesalahan serta kekurangan di dalamnya. Untuk itu, penulis mengharapkan kritik
serta saran dari pembaca untuk makalah ini, agar makalah ini nantinya dapat menjadi makalah
yang lebih baik lagi. Demikian, dan apabila terdapat banyak kesalahan pada makalah ini penulis
mohon maaf yang sebesar-besarnya.

Di akhir kami berharap makalah sederhana kami ini dapat dimengerti oleh setiap pihak
yang membaca. Kami pun memohon maaf yang sebesar-besarnya apabila dalam makalah kami
terdapat perkataan yang tidak berkenan di hati.

Bogor, 23 Februari 2023

Penyusun

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ........................................................................................ 2

DAFTAR ISI ....................................................................................................... 3

BAB I ................................................................................................................... 4

PENDAHULUAN ............................................................................................... 4
A. Latar Belakang ..............................................................................................................................4

B. Rumusan Masalah.........................................................................................................................4

C. Tujuan Masalah ............................................................................................................................4

BAB II .................................................................................................................. 5

PEMBAHASAN.................................................................................................. 5
A. Biografi Penulis Tafsir Fii Dzhilalil Qur’an ...............................................................................5

B. Metode penafsiran.........................................................................................................................7

C. Corak Penafsiran ..........................................................................................................................8

D. Contoh Penafsiran Fii Dzhilalil Qur’an......................................................................................8

BAB III .............................................................................................................. 15

PENUTUP ......................................................................................................... 15
A. Kesimpulan ..................................................................................................................................15

B. Saran ............................................................................................................................................16

DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 17

3
BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Al-Qur’an adalah kalamullah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad sebagai petunjuk
hidup kaum muslimin. Al-qur’an mempunyai tanggung jawab moral untuk senantiasa mampu
memecahkan probloematika kehidupan dan persoalan sosial lainnya. Oleh karena itu, Al-Qur’an
butuh penafsiran agar lebih mudah dipahami maksudnya, salah satunya adalah tafsir Fii Dzhilalil
Qur’an ini.

Tafsir Fii Dzhilalil Qur’an adalah kitab tafsir yang sangat berpengaruh, yang ditullis pada
tahun 151-1965 oleh seorang pemimpin pergerakan Ikhwanul Muslimin di Mesir. Yang mana beliau
menulis kitab tersebut sebagian besarnya saat berada di penjara menyusul percobaan pembunuhan
Presiden Mesir Gamal Abdel Nasser pada tahun 1954.

Kitab tafsir Fii Dzhilalil Qur’an merupakan kitab tafsir yang ditulis berdasarkan kajian-kajian
sang penulis yang sangat mendalam yang sumbernya diambil langsung dari Al-Qur’an dan As-
Sunnah , disamping bersumberkan pada kitab-kitab tafsir yang mu’tabar. Kitab ini telah menjadi
sumber rujukan utama para cendikiawan muslim sebagai bahan dasar memahami Al-Qur’an. Oleh
sebab itu, perlu kiranya kita mempelajari dan membahas mengenai tafsif fii dzhilalil qur’an ini
secara lebih rinci, sebagaimana yang akan dibahas dalam makalah ini insyaallah.

B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang akan dibahas adalah :

1. Siapakah penulis Kitab Tafsir Fii Dzhilalil Quran


2. Bagaimana Metode dan corak penulisan Tafsir Fii Dzhilalil Quran
3. Bagaimana Tafsir Surah Al-Fatihah dalam kitab Tafsir Fii Dzhilalil Quran

C. Tujuan Masalah
Adapun tujuan masalah ialah :

1. Untuk mengetahui penulis Tafsir Fii Dzhilalil Quran


2. Untuk mengetahui metode dan corak Tafsir Fii Dzhilalil Quran
3. Untuk mengetahui Tafsir Surah Al-Fatihah Tafsir Fii Dzhilalil Quran

4
BAB II

PEMBAHASAN

A. Biografi Penulis Tafsir Fii Dzhilalil Qur’an


Kitab Tafsir Fii Dzhilalil Quran ditulis oleh seorang ulama yang bernama Sayyid Qutub,
Beliau merupakan salah satu ulama kontemporer yang sangat fokus terhadap penafsiran Al-Quran.
Di dalam tafsirnya ia menggunakan metode pemikiran yang bercorak tahlili, yang artinya
menafsirkan Al-Qur’an ayat demi ayat, surat demi surat, dari juz pertama hingga juz terakhir.

Asy- Syahid Sayyid Qutb dilahirkan pada tahun 1906 masehi di kampung Musyah, Kota
Asyut, Mesir. Ia dibesarkan didalam sebuah keluarga yang menitikberatkan ajaran islam dan
mencintai Al-Quran. Ia telah bergelar Al-Hafizh sebelum berumur sepuluh tahun. Menyadari bakat
anaknya, orang tuanya memindahkan keluarganya ke Halwan, daerah pinggiran Kairo. Ia
memperoleh kesempatan masuk Tajhiziah Darul ‘ulum. Tahun 1929, ia kuliah di Darul ‘Ulum
(nama lama Universitas Kairo, sebuah Universitas terkemuka dalam bidang pengkajian Ilmu Islam
dan Sastra Arab, dan juga tempat Al-Imam Hassan Al- Banna belajar sebelumnya). Ia memperoleh
gelar sarjana muda pendidikan pada tahun 1933.

Ayahnya dipanggil kehadirat Allah yang maha kuasa ketika ia sedang kuliah. Tak lama
kemudian (1941) ibunyapun menyusul kepergian suaminya. Wafatnya dua orang yang dicintainya
itu membuatnya merasa sangat kesepian. Tetapi disisi lain, keadaan ini justru memberikan pengaruh
positif dalam karya tulis dan pikirannya. Sejak dari lulus kuliah hingga tahun 1951, kehidupannya
tampak biasa-biasa saja, sedangkan karya tulisnya menampakkan nilai sasatra yang begitu tinggi dan
bersih, tidak bergelimang dalam kebejatan moral, seperti kebanyakan sastrawan pada masa itu. Pada
akhirnya tulisan-tulisannya lebih condong kepada islam.

Pada tahun yang sama, sewaktu bekerja sebagai pengawas sekolah di Dapartemen
Pendidikan, ia mendapat tugas belajar di Amerika Serikat untuk memperdalam pengetahuannya
dibidang pendidikan selama dua tahun. Ia membagi waktu studinya antara Wilson’s Teacher’s
College di Washington, Greeley College di Corolado, dan Stanford University di California. Ia juga
mengunjugi banyak kota besar di Amerika Serikat serta berkunjung ke Swiss, Inggris dan Italia.
Tidak seperti rekan-rekan seperjalanannya, keberangkatannya ke Amerika itu ternyata memberikan
saham yang besar pada dirinya dalam menumbuhkan kesadaran dan semangat islami yang
sebenarnya, terutama sesudah ia melihat bangsa Amerika berpesta pora atas meninggalnya Al-Imam
Hasan Al-Banna pada awal tahun 1949.

Hasil Studi dan pengalamnnya selama di Amerika Serikat itu meluasakan wawasan dan
pemikirannya mengenai problem-problem sosial kemasyarakatan yang ditimbulkan oleh paham

5
materialisme yang gersang akan pemahaman ketuhanan. Ketika kembali ke Mesir, ia semakin yakin
bahwa Islamlah yang sanggup menyelamatkan manusia dari paham meterialisme sehingga terlepas
dari cengkaraman materi yang tak pernah terpuaskan.

Sayyid Qutb kemudian bergabung dengan gerakan Islam Ikhwanul Muslimin dan menjadi
salah satu seorang tokohnya yang berpengaruh, disamping Hasan al-Hudaibi dan Abdul Qodir Al-
Audah. Sewaktu larangan terhadap Ikhwanul Muslimin dicabut pada tahun 1951, ia terpilih sebagai
anggota panitia pelaksana dan memimpin bagian dakwah. Selama tahun 1953, ia menghadiri
konferensi di Suriah dan Yordania dan ia sering memberikan ceramah tentang pentingnya Akhlaq
sebagai prasyarat kebangkitan Ummat.

Sekitar Mei tahun 1955, Sayyid Qutb termasuk salah seorang pemimpin Ikhwanul Muslimin
yang ditahan oleh Presiden Mesir, yaitu Presiden Naseer setelah organisasi itu dilarang olehnya
dengan tuduhan berkomplot dan untuk menjatuhkan pemerintah. Pada 13 Juli 1955, Pengadilan
Rakyat menjatuhkan hukuman lima belas tahun kerja berat. Ia ditahan dibeberapa penjara di Mesir
hingga pertengahan tahun 1964. Ia dibebaskan pada tahun itu atas permintaan Presiden Irak Abdul
Salam Arif yang mengadakan kunjungan ke Muhibah Mesir.

Baru setahun ia menikmati kebebasan, ia kembali ditangkap bersama tiga orang saudaranya:
Muhammad Qutbh, Hamidah, dan Aminah. Juga ikut ditahan kira-kira 20.000 orang lainnya,
diantaranya 700 orang wanita.

Pada hari senin, 13 Jumadil Awwal 1386 H atau pada Agustus 1966,ia dan dua orang
temannya (Abdul Fatah Ismail dan Muhammad Yusuf Hawwasy) menyambut panggilan Rabb nya
dan Syahid di tali tiang gantungan.

Sayyid Qutb menulis lebih dari dua puluh buah buku, di awal karier penulisannya, ia menulis
dua buku mengenai keindahan dalam Al-Quran At-Tashwir al-fanni fil Quran Cerita keindahan
dalam Al-Quran dan Musyaahidat al- Qiyamah fil- Quran. Pada tahun 1948, ia menerbitkan karya
monumentalnya:, Al-Adaalah al Ijtimaa’iyyah fil Islam ‘keadilan sosial dalam islam, kemudian
disusul Fii Zhilalil Quran ‘Dibawah nauangan Al-quran yang diselesaikannya didalam penjara.

Tetes darah perjuangan dan goresan penanya mengilhami dan meniupkan ruh jihad dihampir
semua gerakan keislaman di dunia ini.

6
B. Metode penafsiran

Tafsir Fi Zhilal Al-Qur’an karangan Sayyid Qutb terdiri atas delapan jilid. Masing-masing
jilidnya diterbitkan oleh Dar Al-Syuruq Mesir dan mencapai ketebalan rata-rata 600 halaman. Apabila
dicermati aspek-aspek metodologisnya, ditemukan bahwa karya ini menggunakan metode tahlili,
dengan menjelaskan kandungan ayat-ayat Al-Qur’an dari seluruh aspeknya secara runtut,
sebagaimana yang tersusun dalam mushaf.

Dalam tafsirnya, diuraikan kolerasi ayat, serta menjelaskan hubungan maksud ayat-ayat tersebut
satu sama lain. Begitu pula, diuraikan latar belakang turunnya ayat (sabab nuzul), dan dalil-dalil yang
berasal dari Al-Qur’an, rasul, atau sahabat, atau para tabiin, yang disertai dengan pemikiran rasional
(ra’yu).

Kerangka metode tahlili yang digunakan Qutb terdiri atas dua tahap dalam menginterpretasikan
ayat-ayat Al-Qur’an. Pertama, mengambil dari Al-Qur’an saja, sama sekali tidak ada peran bagi
rujukan, referensi, dan sumber-sumber lain. Ini adalah tahap dasar, utama, dan langsung.

Tahap kedua, sifatnya sekunder, serta penyempurnaan bagi tahap pertama yang dilakukan Qutb.
Dengan metode yang kedua ini, sebagaimana dikatakan Adnan Zurzur yang dikutip oleh Al-Khalidi
bahwa Qutb dalam menggunakan rujukan sekunder, tidak terpengaruh terlebih dahulu dengan satu
warna pun di antara corak-corak tafsir dan takwil. Sebagaimana hal itu juga menunjukkan tekad ia
untuk tidak keluar dari riwayat-riwayat yang sahih dalam tafsir al-ma’sur.

Dalam upaya memperkaya metode penafsirannya, Sayyid Qutb selalu mengutip penafsiran
ulama lainnya yang sejalan dengan alur pemikiranya. Adapun rujukan utama Sayyid Qutb dalam
mengutip pendapat ulama adalah merujuk pada beberapa karya tafsir ulama yang diklaim sebagai
karya tafsir bi al-ma’sur, kemudian merujuk juga pada karya tafsir bi al-ra’yi. Dari sini dapat
dipahami bahwa metode penafsiran Qutb juga tidak terlepas dari penggunaan metode tafsir muqaran.

Menurut Qutb, ciri khas utama ungkapan Al-Qur’an ialah mengikuti metode tashwir (gambaran)
berbagai makna pikiran dan kondisi kejiwaan, lalu menampilkannya ke dalam gambaran-gambaran
yang dapat diindra. Juga menggunakan metode adegan alam, kejadian masa lalu, kisah yang
diriwayatkan, tamsil yang dikisahkan, adegan hari kiamat, gambaran nikmat dan azab serta tipe-tipe
manusia. Seakan-akan semuanya itu hadir secara nyata dan dapat dirasakan oleh imajinasi perasaan
yang dipenuhi oleh gerakan yang terbayangkan.

7
C. Corak Penafsiran

Tafsir Fi Zhilal Al-Qur’an yang dikarang oleh Sayyid Qutb termasuk salah satu kitab tafsir
yang mempunyai terobosan baru dalam melakukan penafsiran Al-Qur’an. Hal ini karena selain
mengusung pemikiran kelompok yang berorientasi untuk kejayaan Islam, juga mempunyai
metodologi tersendiri dalam menafsirkan Al-Qur’an. Termasuk melakukan pembaharuan dalam
bidang penafsiran dan di satu sisi ia mengesampingkan pembahasan yang dirasa kurang begitu
penting. Salah satu yang menonjol dari corak penafsirannya adalah mengetengahkan segi sastra untuk
melakukan pendekatan dalam menafsirkan Al-Qur’an.

Dapat dikatakan bahwa Tafsir Fi Zhilal Al-Qur’an dapat digolongkan ke dalam tafsir al-
Adabi al-Ijtima’i (satra, budaya, dan kemasyarakatan). Hal ini mengingat background ia yang
merupakan seorang sastrawan hingga ia bisa merasakkan keindahan bahasa serta nilai-nilai yang
dibawa Al-Qur’an yang memang kaya dengan gaya bahasa yang sangat tinggi.

Corak pemikiran Sayyid Qutb dipengaruhi oleh perkembangan pemikiran dalam


kehidupannya. Ketika masih muda ia menjadi sastrawan. Kemudian keilmuannya bertambah luas,
mulai dari baik pemikiran dan amal, aqidah dan perilaku serta wawasan dan jihad. Fase ini mulai dari
sekembalinya dari Amerika sampai ia bersama-sama dengan sahabatnya dimasukkan ke dalam
penjara pada penghujung tahun 1954. Di tahun ini ia berhasil menyelesaikan karyanya dengan judul
Ma’rakatul Islam War Ra’simaiyah as-Salam al-Alami Wal Islam dan Fi Zhilal Al-Qur’an pada juz-
juz pertama edisi pertama.

Menurut Sayyid Qutb, Al-Qur’an merupakan acuan pertama dalam pengambilan hukum
maupun mengatur pola hidup masyarakat karena telah dianggap jalan untuk menuju kepada Allah.
Sehingga apabila manusia menginginkan kesejahteraan, kedamaian, dan keharmonisan dengan hukum
alam dan fitrah di dunia, maka manusia harus kembali pada sistem yang digariskan oleh Allah dalam
kitab suci Al-Qur’an.

D. Contoh Penafsiran Fii Dzhilalil Qur’an

Surah ini memuat akidah islamiah secara global, memuat konsep Islam secara garis besar,
memuat segenap rasa dan arahan, yang nota bene meng- isyaratkan hikmah dipilihnya surah ini
untuk di- ulang-ulang pada setiap rakaat, dan hikmah batalnya shalat yang tidak dibacakan surah ini
di dalamnya. Surah ini dimulai dengan,

‫الرحِ يم‬
َّ ‫ْمن‬
ِ ‫الرح‬
َّ ‫هللا‬
ِ ‫بسم‬
ِ

8
“Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.”

Terdapat perbedaan pendapat seputar basmalah ini, apakah ia merupakan salah satu ayat dari
setiap surah ataukah ia satu ayat tersendiri dalam Al-Qur’an yang dipergunakan untuk memulai
bacaan setiap surah? Namun yang lebih kuat, ia adalah satu ayat dari surah al-Faatihah dan dengannya
Anda dapat bahwa ayat-ayat surah ini terdiri atas tujuh ayat. Dan, terdapat pendapat yang mengatakan
bahwa yang dimaksud dengan firman Allah,

“Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu tujuh ayat yang dibaca berulang-ulang dan Al-
Qur’an yang agung” (al-Hijr: 87)

Adalah surah al-Faatihah karena terdiri atas tujuh ayat “yang diulang-ulang” di dalam shalat.

Dan, memulai sesuatu dengan menyebut nama Allah merupakan adab yang diwahyukan Allah kepada
nabi-Nya shallallahu alaihi wasallam padapermulaan turunnya wahyu Al-Qur’an ini sebagai- mana
telah disepakati, yaitu firman Allah, “Bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu....”

Hal ini sejalan dengan kaidah tashawwur ‘paham, konsepsi, ide’ Islam yang paling besar
bahwa Allah adalah “Yang Pertama dan Yang Terakhir, Yang Maha- nyata dan Maha Tersembunyi”.
Maka, Allah adalah Maujud Yang Mahabenar, yang dari-Nya-lah ter- wujudnya segala yang maujud
yang ada’, dan dari-Nya pula bermulanya segala sesuatu. Kalau begitu, dengan nama-Nyalah segala
sesuatu dimulai, dan dengan nama-Nya pula terjadinya segala gerak dan arah.

Dan, menyebut sifat Allah SWT di dalam memulai sesuatu dengan ar-Rahman ar-Rahim,
mencakup seluruh makna rahmat dan keadaannya. Dan, Dia sendiri sajalah yang khusus menghimpun
kedua sifat ini, seperti halnya Cuma Dia sendiri yang khusus memiliki sifat Ar-Rahman. Maka, boleh
saja seorang hamba di antara hamba-hamba-Nya disifati dengan sifat rahim, tetapi dari sudut iman
tidak boleh seorang pun di antara hamba-hamba-Nya diberi sifat rahman, lebih-lebih melekatkan
kedua sifat itu pada dirinya.

Bagaimanapun terdapat perbedaan mengenai pengertian makna kedua sifat ini, mana yang
lebih jauh dan lebih luas jangkauan rahmatnya, maka per- bedaan pendapat ini tidak menjadi tujuan
kami untuk membicarakannya di dalam Tafsir Azh-Zhilal ini. Kami hanya ingin membatasi bahasan
bahwa kedua sifat ini meliputi semua makna rahmat, keadaan-ke- adaannya, dan lapangan-
lapangannya.

Apabila segala sesuatu dimulai dengan menyebut nama Allah yang mengandung tauhidullah
dan adab terhadap-Nya itu menggambarkan keglobalan per- tama dalam tashawwur Islam, maka
cakupan makna- makna rahmat, keadaan-keadaannya, dan lapangan- lapangannya dalam kedua sifat
“Ar-Rahman Ar-Rahim” itu menggambarkan keglobalan kedua dalam ta- shawwur ini, dan

9
menetapkan hakikat hubungan antara Allah dan hamba-hamba-Nya.Sesudah memulai sesuatu
dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penya- yang, datanglah arah
tujuannya kepada Allah dengan memuji dan menyifati-Nya dengan rububiyyah yang mutlak
terhadap alam semesta,

َ‫ب الْعَالَمِين‬ ِ َّ ِ ُ‫الْ َح ْمد‬


ِ ‫ّلِل َر‬

“Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam.”

”Segala puji bagi Allah”, inilah perasaan yang melimpah masuk ke dalam hati seorang
mukmin, hanya semata-mata ingatnya kepada Allah. Karena, keberadaannya sejak awal adalah
limpahan dari sekian limpahan nikmat Ilahi yang menghimpun pujian dan sanjungan. Dalam setiap
kejapan mata, dalam setiap pandangan, dalam setiap langkah se- nantiasa diiringi dan disertai oleh
nikmat-nikmat Allah, nikmat yang melimpahi semua makhluk-Nya, khususnya manusia ini. Oleh
karena itu, mengucap- kan “Alhamdulillah” di dalam memulai sesuatu dan mengakhirinya merupakan
salah satu kaidah di antara kaidah-kaidah tashawwur Islam secara langsung,

“Dialah Allah, tidak ada tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia, bagi-Nyalah segala pujian di
dunia dan di akhirat....” (al-Qashash: 70)

Di samping itu, sampai dan melimpah pulalah karunia Allah SWT kepada hamba-Nya yang
ber- iman, yaitu apabila dia mengucapkan “Alhamdulillah” maka Allah menulis untuknya satu
hasanah ‘kebajik- an’ yang memberatkan semua timbangan kebajik- annya. Diriwayatkan di dalam
sunnah Ibnu Majah dari Ibnu Umar r.a. bahwa Rasulullah saw. Bercerita kepada mereka,

َ ‫ت الْ َملَ َكي ِْن فَلَ ْم يَد ِْريَا َكي‬


،‫ْف يَ ْكتُبَانَ َها‬ ِ َ‫ضل‬
َ َ‫ فَع‬." َ‫طائِك‬ َ ْ‫ع ظيم سُل‬
َ ‫ب لَكَ الْ َح ْمدُ َك َما يَنْبَغِي ِل َحال ِل َو ْج ِهكَ َو‬ َ ‫أَن‬
ِ ‫ يَا َر‬: ‫عبْدًا م ِْن ِعبَا ِد هللا قَا َل‬
‫عبْدِي ؟‬ َ ‫ َو َما ا َّلذِي قَا َل‬: - ‫عبْدُ ُه‬ َ ‫هللا – َوه َُو أَ ْعلَ ُم ِب َما قَا َل‬ َ ‫عبْدًا قَدْ قَا َل َمقَالَةٌ َال نَد ِْري َكي‬
ُ ‫ قَا َل‬.‫ْف نَ ْكتُ ُب َها‬ ِ ‫ص ِعدَا ِإلَى‬
َ َّ‫ َيا َربَّنَا ِإن‬: ‫هللا فَقَاال‬ َ َ‫ف‬
َ ‫ " ا ْكتُبَاهَا َك َما قَا َل‬: ‫َّللا لَ ُه َما‬
‫عبْدِي َحتَّى‬ َ ْ‫ب َك َما يَنْبَغِي ِل َح َال ِل َو ْج ِهكَ َوعَظِ ي ِْم سُل‬
ُ َّ ‫ فَقَا َل‬." َ‫طانِك‬ ِ ‫ لَكَ الْ َح ْمدُ يَا َر‬: ‫ب ِإنَّ ُه قَا َل‬
ِ ‫ يَا َر‬: ‫قَاال‬
‫يَلْقَانِي َفأ َ ْج ِزيَهُ بِ َها‬

“Bahwasanya salah seorang hamba di antara hamba- hamba Allah mengucapkan, Ya Rabbi, Lakal-
hamdu kamaa yanbaghii li jalaali wajhika wa azhiimi sulthaanika (ya Tuhanku, kepunyaan-Mulah
segala puji sebagaimana yang layak bagi keluhuran-Mu dan keagungan kekuasaan-Mu). ‘Maka,
ucapan ini men- jadikan kedua malaikat bingung sehingga mereka tidak tahu bagaimana yang harus
mereka tulis. Maka, naiklah keduanya kepada Allah, lalu berkata, ‘Ya Tuhankami, sesungguhnya
seorang hamba telah suatu perkataan yang kami tidak tahu bagaimana kamu harus menulisnya.’ Allah
bertanya—padahal Dia Maha Mengetahui apa yang diucapkan oleh hamba-Nya, ‘Apa yang diucapkan
oleh hamba-Ku?’ Mereka menjawab, Ya Tuhan kami, sesungguhnya dia mengucapkan, ‘Lakal-

10
hamdu, ya Rabbi, kamaa yanbaghii lijalaali wajhika wa azhiimi sulthaanika’.’ Kemudian Allah
berfirman kepada mereka, Tulislah sebagaimana yang diucapkan hamba-Ku itu hingga dia bertemu
Aku, maka Aku yang akan membalasnya.””

Menghadap kepada Allah dengan memuji-Nya itu menggambarkan perasaan orang mukmin
ketika dia ingat kepada Allah, sebagaimana kami kemukakan. Adapun bagian ayat yang akhir yang
berbunyi “Rabbil alamin” Tuhan semesta alam’, hal ini juga meng- gambarkan kaidah tashawwur
Islam. Maka, rubu- biyyah yang mutlak dan menyeluruh itu adalah salah satu dari keseluruhan akidah
Islam. Dan, kata” Rabb” berarti Yang Berkuasa, Yang Memberlakukan/Yang Bertindak, dan menurut
bahasa berarti sayyid’tuan’ dan mutasharrif yang bertindak’ untuk memperbaiki dan pemelihara. Dan,
tindakan memperbaiki dan memelihara itu meliputi semesta alam-seluruh makhluk-sedangkan Allah
SWT tidak menciptakan alam semesta lantas membiarkannya sia-sia. Akan tetapi, Dia selalu
memperbaikinya, memeliharanya, dan merawatnya. Dan, seluruh alam dan semua makhluk dipelihara
dan dijaga dengan pemeliharaan Allah Tuhan semesta alam. Maka, hubungan antara al-Khaliq dan
semua makhluk itu senantiasa terjadi dan berlaku setiap waktu dan pada setiap keadaan.

Rububiyyah mutlak ketuhanan yang mutlak’ me- rupakan persimpangan jalan antara
kejelasan tauhid yang sempurna dan lengkap dan kegelapan yang timbul karena tidak adanya
kejelasan hakikat ini dengan gambarannya yang pasti. Banyak orang yang mengakui adanya Allah
dengan sifat-sifat-Nya sebagai satu-satunya yang mengadakan alam semesta ini, tetapi mereka
mengakui banyak tuhan yang mengatur kehidupan ini. Kadang-kadang sikap dan pandangan seperti
ini tampak aneh dan menggelikan, tetapi ia terus ada.

Al-Qur’anul karim telah menceritakan kepada kita tentang sejumlah orang musyrik yang
mengatakan tentang tuhan-tuhan mereka yang bermacam-macam itu,

“Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah
dengan sedekat- dekatnya.”(az-Zumar: 3)Al-Qur’an juga menceritakan kepada kita tentang orang-
orang ahli kitab, “Mereka menjadikan orang-orang alim dan rahib-rahib Mereka sebagai tuhan selain
Allah....”(at-Taubah: 31)

Akidah-akidah jahiliah yang dominan di seluruh permukaan bumi pada waktu Islam datang,
penuh dengan kepercayaan terhadap tuhan-tuhan yang bermacam-macam, yang disifati sebagai tuhan-
tuhan kecil di samping tuhan terbesar sebagaimana anggap an mereka.

Maka, memutlakkan rububiyyah ketuhanan’ di dalam surah ini dan pencakupan rububiyah ini
ter- hadap semesta alam secara keseluruhan, merupa- kan persimpangan jalan antara keteraturan dan
ke- kacauan dalam bidang akidah, supaya seluruh alam ini mengarah kepada Rabb Tuhan’ Yang Satu,
mene- tapkan dan mengakui untuk-Nya saja kekuasaan yang mutlak, meruntuhkan tuhan-tuhan yang
ber- macam-macam dari hadapan-Nya, dan letihlah sudah kebingungan di antara tuhan-tuhan yang

11
beraneka ragam itu. Mantaplah hati nurani alam semesta ini terhadap pemeliharaan Allah yang abadi
dan ketuhanan-Nya yang tegak berdiri.

Dan, peme- liharaan Allah ini selamanya tidak pernah putus, tidak pernah melemah, dan tidak
pernah hilang, bukan seperti gambaran para ahli filsafat semisal Aristoteles yang mengatakan bahwa
Allah telah mengadakan alam semesta ini, kemudian tidak menghiraukannya lagi, karena Allah itu
amat tinggi sehingga tidak perlu memperhatikan apa yang di bawah-Nya. Maka, Ia hanya
memperhatikan Zat-Nya sendiri. Dan, Aristoteles dengan pemikirannya yang demikian ini
menganggap dirinya filsuf terbesar dan pikirannya juga paling hebat.

Islam datang ketika di dunia ini terdapat ber- tumpuk-tumpuk akidah, paham, legenda-
legenda, mitos-mitos, filsafat, dugaan-dugaan, pemikiran- pemikiran yang bercampur aduk antara
kebenaran dan kebatilan, yang sahih dan yang palsu, agama dan khurafat, filsafat dengan mitos. Dan,
hati nurani ma- nusia di bawah tumpukan yang besar ini tertatih-tatih di dalam kegelapan dan dugaan-
dugaan semu, tidak mantap pada suatu keyakinan.

Kesesatan yang tidak ada kemantapan, keyakin- an, dan cahaya padanya inilah yang meliputi
persepsi manusia terhadap Tuhannya, sifat-sifat-Nya, hubung- an-Nya dengan makhluk-Nya, dan
jenis hubungan antara Allah dan manusia secara khusus.

Dan, hati manusia tidak akan dapat mantap ter- hadap urusan alam ini, terhadap urusan
dirinya danjalan hidupnya, sebelum mantap urusan akidahnya dan persepsinya tentang Tuhannya dan
sifat-sifat- Nya, dan sebelum ia sampai pada suatu keyakinan yang jelas dan lurus di tengah-tengah
kebutaan, ke- sesatan, dan timbunan yang berat ini.

Dan, manusia tidak dapat menyadari kemantapan ini sehingga dia mengetahui besarnya
timbunan ini dan menyelidiki kesesatan dalam bidang akidah, paham, mitos, filsafat, anggapan-
anggapan, dan pikir- an-pikiran yang mengotori hati manusia ketika Islam datang, dan apa yang kami
isyaratkan di muka hanya sebagian kecil saja (dan di dalam membicarakan surah-surah Al-Qur’an
nanti akan banyak dibeber- kan masalah ini, yang diatasi oleh Al-Qur’an dengan penyembuhan yang
tepat, lengkap, dan sempurna).

Oleh karena itu, perhatian Islam yang pertama- tama ialah membebaskan urusan akidah dan
mem- batasi persepsi manusia tentang urusan dan sifat-sifat Allah, hubungan-Nya dengan makhluk,
dan hubung- an makhluk dengan-Nya dengan cara yang pasti dan meyakinkan.

Dan, karena itu pula, tauhid yang sempurna, ber- sih, murni, dan menyeluruh, yang tidak
ternodai oleh suatu kotoran pun, baik dari dekat maupun dari jauh, adalah merupakan kaidah
tashawwur konsepsi dan persepsi’ yang dibawa oleh Islam, yang men- jernihkan hati nurani, dan
terselidikilah di dalamnya semua bisikan dan noda seputar hakikat tauhid ini. Sehingga, bersihlah ia

12
dari semua kotoran dan ke- gelapan, dan menjadi kokoh dan kuat yang tidak dapat dimasuki oleh
anggapan-anggapan keliru dalam bentuk apa pun.

Dan, Islam juga menyampaikan kata pasti dan amat jelas mengenai sifat-sifat Allah,
khususnya yang berhubungan dengan rububiyah ketuhanan’ yang mutlak. Maka, kebanyakan
tumpukan kesesatan yang berjalan tanpa petunjuk di dalamnya filsafat- filsafat dan akidah-akidah
serta dugaan-dugaan dan mitos-mitos, adalah yang berkaitan dengan urusan besar yang krusial ini,
yang besar pengaruhnya di dalam hati nurani manusia dan di dalam perjalanan hidupnya.

Orang yang mengulangi usaha panjang sebagai- mana yang telah dilakukan oleh Islam untuk
meman- tapkan kata pasti mengenai Zat Allah, sifat-sifat-Nya, dan hubungan-Nya dengan makhluk-
Nya; mau men- curahkan usaha sebagaimana yang digambarkan dalam nash Al-Qur’an yang
banyak, yang mau meng- ulang usaha panjang ini tanpa mau kembali kepada timbunan beban yang
berat dalam kesesatan yang menyeluruh yang semua manusia kebingungan dantersesat di dalamnya.
Bahkan, kadang-kadang tidak mengetahui sejauh mana keperluannya kepada pen- jelasan yang tegas
dan berulang-ulang, dan sejauh mana kebutuhannya mencermati perjalanan hati. Akan tetapi,
dengan mengungkap kembali timbun- an-timbunan gelap itu akan dapat mengungkapkan sejauh
mana usaha panjang telah dilakukan dan se jauh mana peranannya untuk menegakkan akidah ini
untuk membebaskan dan memerdekakan hati ma- nusia dan melepaskannya dari belenggu yang
berupa tuhan-tuhan yang bermacam-macam, paham-paham, dan mitos-mitos yang beraneka ragam.

Keindahan akidah ini, kesempurnaannya, ke- teraturannya, dan kelapangan hakikat besar
yang digambarkannya. Semua itu tidak akan tampak jelas di dalam hati dan pikiran sebagaimana
akan tampak jelas kalau kita mau mengungkap kembali timbunan kejahiliahan baik yang berkenaan
dengan akidah, pemikiran, mitos-mitos, dan filsafat-filsafat itu, khusus nya berkenaan dengan tema
tentang hakikat Ilahiah dan hubungannya dengan alam semesta. Pada waktu itu akan tampaklah
akidah Islam sebagai rahmat; rahmat yang hakiki bagi hati dan pikiran, rahmat karena kelapangan
dan keindahannya, kejelasan dan keteraturannya, kedekatan dan kondisinya yang me- nenangkan,
dan seiramanya dengan fitrah dan sen- tuhan lang-sungnya yang dalam.

‫الرحِ ِيم‬
َّ ‫الر ْح َم ِن‬
َّ

“Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.”

Sifat ini meliputi semua rahmat dengan semua keadaan dan lapangannya. Kalimat ini diulangi
lagi di sini, di dalam teks surah, dalam ayat tersendiri, untuk menegaskan sifat yang jelas dan terang
di dalam masalah rububiyyah yang meliputi itu, dan untuk memantapkan pilar-pilar hubungan yang
abadi antara Rabb dengan marbub ‘hamba-Nya, antara al- Khaliq dengan makhluk-Nya, bahwa
hubungan itu adalah hubungan rahmat (kasih sayang) dan peme- liharaan yang menghimpun pujian

13
dan sanjungan. Dan, hubungan itu juga merupakan hubungan yang ditegakkan atas ketenangan dan
melimpahkan kasih sayang. Maka, ucapan “alhamdul” merupakan sam- butan fitrah terhadap rahmat
yang besar.

Sesungguhnya, Rabb yang adalah Ilah dalam Islam tidak mengusir hamba-hamba-Nya
sebagai- mana pengusiran pihak lawan dan musuh, seperti Dewa Olympic ketika sedang marah dan
naik pitamyang digambarkan di dalam mitos bangsa Yunani. Dan, tidak melakukan rekayasa
terhadap mereka sebagaimana anggapan dongeng palsu di dalam “Perjanjian Lama” seperti yang
disebutkan di dalam cerita Benteng Babil dalam pasal sebelas Kitab Kejadian.

14
BAB III

PENUTUP
A. Kesimpulan
Kitab Tafsir Fii Dzhilalil Quran ditulis oleh seorang ulama yang bernama Sayyid
Qutub, Beliau merupakan salah satu ulama kontemporer yang sangat fokus terhadap penafsiran Al-
Quran. Di dalam tafsirnya ia menggunakan metode pemikiran yang bercorak tahlili, yang artinya
menafsirkan Al-Qur’an ayat demi ayat, surat demi surat, dari juz pertama hingga juz terakhir.

Asy- Syahid Sayyid Qutb dilahirkan pada tahun 1906 masehi di kampung Musyah, Kota
Asyut, Mesir. Ia dibesarkan didalam sebuah keluarga yang menitikberatkan ajaran islam dan
mencintai Al-Quran. Ia telah bergelar Al-Hafizh sebelum berumur sepuluh tahun. Sayyid Qutb
menulis lebih dari dua puluh buah buku, di awal karier penulisannya, ia menulis dua buku mengenai
keindahan dalam Al-Quran At-Tashwir al-fanni fil Quran Cerita keindahan dalam Al-Quran dan
Musyaahidat al- Qiyamah fil- Quran. Pada tahun 1948, ia menerbitkan karya monumentalnya:, Al-
Adaalah al Ijtimaa’iyyah fil Islam ‘keadilan sosial dalam islam, kemudian disusul Fii Zhilalil Quran
‘Dibawah nauangan Al-quran yang diselesaikannya didalam penjara. Tetes darah perjuangan dan
goresan penanya mengilhami dan meniupkan ruh jihad dihampir semua gerakan keislaman di dunia
ini.

Tafsir Fi Zhilal Al-Qur’an yang dikarang oleh Sayyid Qutb termasuk salah satu kitab tafsir
yang mempunyai terobosan baru dalam melakukan penafsiran Al-Qur’an. Hal ini karena selain
mengusung pemikiran kelompok yang berorientasi untuk kejayaan Islam, juga mempunyai
metodologi tersendiri dalam menafsirkan Al-Qur’an. Dapat dikatakan bahwa Tafsir Fi Zhilal Al-
Qur’an dapat digolongkan ke dalam tafsir al-Adabi al-Ijtima’i (satra, budaya, dan kemasyarakatan).
Hal ini mengingat background ia yang merupakan seorang sastrawan hingga ia bisa merasakkan
keindahan bahasa serta nilai-nilai yang dibawa Al-Qur’an yang memang kaya dengan gaya bahasa
yang sangat tinggi.

Corak pemikiran Sayyid Qutb dipengaruhi oleh perkembangan pemikiran dalam


kehidupannya. Ketika masih muda ia menjadi sastrawan. Kemudian keilmuannya bertambah luas,
mulai dari baik pemikiran dan amal, aqidah dan perilaku serta wawasan dan jihad. Fase ini mulai dari
sekembalinya dari Amerika sampai ia bersama-sama dengan sahabatnya dimasukkan ke dalam
penjara pada penghujung tahun 1954. Di tahun ini ia berhasil menyelesaikan karyanya dengan judul
Ma’rakatul Islam War Ra’simaiyah as-Salam al-Alami Wal Islam dan Fi Zhilal Al-Qur’an pada juz-
juz pertama edisi pertama.

15
B. Saran

Kami berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat untuk masyarakat luas, khususnya bagi
mahasiswa STIU Darul Hikmah Bekasi yang dapat menambah pengetahuan mengenai salah satu kitab
tafsir yakni tafsir fii dzhilalil quran. Penulis berharap setelah membaca makalah ini kita dapat
menambah kecintaan kita terhadap al-quran yang tentu dapat menambah keimanan kita kepada Allah.

16
DAFTAR PUSTAKA

Qutbh,Sayyid.2001. Fii Zhilalil-Quran. Jakarta: Gema Insani

https://www.darus.id/2022/04/tafsir-fi-zhilalil-quran-sayyid-qutb.html

17

Anda mungkin juga menyukai