Anda di halaman 1dari 48

Hari Kamis, 14/12/2007, Menteri Kesehatan RI, Dr. dr. Siti Fadilah Supari, Sp.

JP(K), mengukuhkan anggota Komite Nasional Penanggulangan Gangguan Pendengaran dan Ketulian. Acara pegenalan Komnas PGPKT ini kepada umum dilakukan di Hotel Aston Atrium Senen, Jakarta, segera setelah acara pengukuhan anggota Komnas yang ditetapkan berdasar Keputusan Menteri Kesehatan No. 768/Menkes/SK/VII/2007.Mereka yang akan bekerja dalam Komnas PGPKT adalah Ny. Mufidah Yusuf Kalla sebagai Pembina dan Dr. Damayanti Soetjipto, Sp.THT-KL(K) sebagai Ketua. dr. Edi Suranto, MPH dan dr. Sosialisman, Sp.THT-KL(K) sebagai wakil ketua, Dr. Ratna. D. Restuti, Sp. THT-KL dan dr. Sulastini, Mkes sebagai sekretaris, dr. Semiramis, Sp.THT-KL(K) sebagai bendahara. Selain itu terdapat sepuluh anggota yaitu Prof. Dr. Hendarto Hendarmin, Sp.THT-KL(K), dr. Bambang Hermani, Sp.THT-KL(K), dr. Ronny Suwento, Sp.THT-KL(K), dr. Soekirman Soekin, Sp.THT-KL(K), Dr.Dr. Jenny Bashirudin, Sp.THT-KL(K), Hatta Kasoem, Manfred Stoifel, dr. Stefanus Indradjaya, Iffet Sidharta dan Charles Bonar Sirait. Gangguan pendengaran, seperti juga gangguan pada indera lain, tentu cukup menghambat lancarnya fungsi sehari-hari penderitanya. Dengan anggota dari unsur pemerintah, wakil organisasi profesi, asosiasi, pemerhati, LSM, dunia usaha, swasta dan perorangan yang dianggap memiliki komitmen tinggi, diharapkan Komnas PGPKT dapat melahirkan usaha-usaha kreatif untuk mencegah dan mengatasi gangguan pendengaran dan ketulian. Untuk itu, tugas pokok dan fungsi Komnas PGPKT adalah memberi masukan kepada pemerintah melalui Menkes dalam menyusun kebijakan dan program penanggulangan gangguan pendengaran dan ketulian, membantu memfasilitasi terbentuknya komite PGPKT di propinsi dan kabupaten/kota, mengkoordinasi peningkatan dan pemanfaatan sumber daya untuk kegiatan-kegiatan penanggulangan gangguan pendengaran dan ketulian, serta menjadi mediator/koordinator peningkatan sumber daya yang ada nantinya. Komnas akan merengkuh kerjasama para dokter, perawat, asisten audiologi, audiometris, terapis wicara, pendidik, teknisi dan masyarakat agar usaha mereka didasari oleh visi yang sama. Menteri Kesehatan berharap terbentuknya Komnas PGPKT dapat menguatkan kerjasama pemeritah dan berbagai pihak untuk memobilisasi sumber daya dan menyelaraskan berbagai upaya untuk meningkatkan mutu sumber daya manusia yang bergerak dalam usaha pencegahan dan penanganan gangguan pendengaran dan ketulian. Menkes juga mengharapkan agar Komnas ini dapat menyebarkan informasi tentang gangguan pendengaran dan ketulian sehingga pengetahuan dan partisipasi masyarakt dapat meningkat. Peningkatan kesertaan masyarakat juga dapat digerakkan lewat Pos Kesehatan Desa, Posyandu Balita serta Posyandu bagi Penduduk Usia Lanjut (Usila). Komnas ini akan menggerakkan upaya promotif, preventif, dan tentu saja memberikan pelayanan kesehatan indera pendengaran yang optimal untuk tindakan kuratif dan rehabilitatif. Ke depan, selain dapat membantu mereka yang terkena gangguan pendengaran dan ketulian, Komnas diharapkan juga dapat mengusahakan pencegahan yang lebih efektif. Saat ini, sekitar 4-5 ribu bayi lahir tuli setiap tahunnya. Dari survei kesehatan indera di 7 propinsi pada tahun 1994-1996 lalu saja diketahui bahwa 0,4% penduduk Indonesia menderita ketulian dan 16,8 % penduduk Indonesia menderita gangguan pendengaran. Jadi, diperkirakan setidaknya sekitar 4 juta penduduk Indonesia tak dapat mendengar dengan baik. 3,1% dari mereka,

menderita gangguan karena infeksi telinga tengah (otitia media supuratif kronik/OMSK) yang antara lain juga disebabkan paparan asap rokok pada anak-anak. 0,1% tuli karena obat toksik (ototoksitas) dan 2,6% tuli karena usia lanjut (presbikusis). 0,3% menderita ketulian karena terpapar kebisingan. Makin bisingnya lingkungan karena makin banyaknya kendaraan bermotor, tidak terawatnya mesin dan knalpot kendaraan bermotor tersebut, serta kerapnya penggunaan klakson, tentu akan menambah faktor riiko gangguan pendengaran. Pembangunan gedung-gedung, pengoperasian mesin-mesin pabrik tanpa memenuhi persyaratan kesehatan pendengaran, menambah paparan kebisingan di dunia kerja. Mesin-mesin rumah tangga yang tidak terawat seperti pendingin ruangan, kipas angin, dan peralatan listrik lain juga menyumbang pada kebisingan di dalam rumah, bahkan ke lingkungan tetangga. Gaya hidup kini seperti penggunaan earphone, headphone, bahkan handphone untuk mendengarkan musik, terutama dengan volume yang tinggi, menambah banyaknya faktor risiko ketulian. Dari hasil pertemuan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) kawasan SEARO di Srilanka pada tahun 2002, ditetapkan bahwa ketulian akibat paparan terhadap kebisingan menjadi salah satu prioritas utama masalah gangguan yang harus ditanggulangi, tentu saja selain upaya pencegahan dan penanganan OMSK dan presbikusis. Prioritas juga ditujukan pada upaya penanganan atau penemuan dan inovasi yang dapat membantu para penderita tuli kongenital (tuli saat lahir karena berbagai sebab). Menindak-lanjuti pertemuan di atas, telah dibentuk forum regional Asia Tenggara untuk menanggulangi gangguan pendengaran dan ketulian, di Bangkok, tanggal 4 Oktober 2005. Organisasi ini dengan 11 anggotanya bertujuan menurunkan angka gangguan pendengaran dan ketulian di wilayah Asia tenggara, sebesar 50% di tahun 2015, dan 90% di tahun 2030. Gangguan pendengaran akibat bising adalah Penurunan pendengaran tipe sensorineural, yang pada awalnya tidak disadari, karena belum mengganggu percakapan sehari-hari. Sifat gangguannya adalah tuli sensorineural tipe koklea dan umumnya terjadi pada ke dua telinga. Faktor risiko yang berpengaruh pada derajat parahnya ketulian ialah intensitas bising, frekuensi, lama pajanan perhari, lama masa kerja, kepekaan individu, umur dan faktor lain yang dapat berpengaruh. Berdasarkan hal tersebut dapat dimengerti bahwa jumlah pajanan energi bising yang diterima akan sebanding dengan kerusakan yang didapat. Bising berpengaruh terhadap masyarakat terutama masyarakat pekerja yang terpajan bising, sehingga dapat menimbulkan berbagai gangguan kesehatan secara umum, antara lain gangguan pendengaran, gangguan fisiologi lain serta gangguan psikologi. Gangguan fisiologi dapat berupa peningkatan tekanan darah, percepatan denyut nadi, peningkatan metabolisme basal, vasokonstriksi pembuluh darah, penurunan peristaltik usus serta peningkatan ketegangan otot. Efek fisiologi tersebut disebabkan oleh peningkatan rangsang sistem saraf otonom. Keadaan ini sebenarnya merupakan mekanisme pertahanan tubuh terhadap keadaan bahaya yang terjadi secara spontan. Gangguan psikologi dapat berupa stres tambahan apabila bunyi tersebut tidak diinginkan dan mengganggu, sehingga menimbulkan perasaan tidak menyenangkan dan melelahkan. Hal tersebut diatas dapat menimbulkan gangguan sulit tidur, emosional, gangguan komunikasi dan gangguan konsentrasi yang secara tidak langsung dapat membahayakan keselamatan .

Upaya peningkatan kualitas hidup penderita diterapkan tidak hanya mencoba meningkatkan fungsi pendengaran dengan berbagai cara dan alat serta evaluasinya tetapi juga mencakup peningkatan kemampuan berkomunikasi dengan cara-cara yang lain seperti latihan membaca bibir dan lainnya. Dalam hal ini perlu dilakukan suatu upaya penilaian kemampuan berkomunikasi yang komprehensip. Kemudian penetapan bentuk pelatihan berkomunikasi untuk mengatasi pandangan buruk umum yang dialami oleh penderita gangguan pendengaran serta orientasi penggunaan alat Bantu dengar, pelatihan fungsi pendengaran, latihan membaca bibir dan berkomunikasi melalui alat telekomunikasi seperti telepon. Untuk mengurangi angka terjadinya gangguan pendengaran akibat bising (GPAB / NIHL) diperlukan usaha-usaha penanggulangan NIHL baik secara promotif, preventif, dan rehabilitatif. Dalam mengupayakan usaha tersebut diperlukan kerjasama yang terpadu dari baik masyarakat itu sendiri, Lembaga Swadaya Masyarakat dan Pemerintah dalam hal ini institusi kesehatan.Masyarakat melalui para kader perlu dilibatkan secara aktif dan inovatif terutama pada tingkat promotif. Lini kesehatan terdepan misalnya Puskesmas, Balai Kesehatan, dll memiliki peran yang besar baik di tingkat promotif, serta deteksi dini terjadinya NIHL. Di lain pihak jumlah spesialis THT di Indonesia berjumlah 700 orang. Dibandingkan dengan jumlah penduduk Indonesia yang berjumlah lebih kurang 214,1 juta jiwa, tentu jumlah tersebut masih sangat kurang. Untuk meningkatkan penanggulangan NIHL maka diperlukan pengetahuan, pengenalan, dan pencegahan NIHL oleh masyarakat bersamasama kader dan tenaga kesehatan. Selain itu diperlukan peningkatan pengetahuan dan ketrampilan bagi tenaga kesehatan di lini terdepan untuk mendiagnosis NIHL ANALISIS SITUASI

Epidemiologi

Bising lingkungan kerja merupakan masalah utama pada kesehatan kerja di berbagai negara. Sedikitnya 7 juta orang ( 35 % dari total populasi industri di Amerika dan Eropa ) terpajan bising 85 dB atau lebih. Ketulian yang terjadi dalam industri menempati urutan pertama dalam daftar penyakit akibat kerja di Amerika dan Eropa. Di Amerika lebih dari 5,1 juta pekerja terpajan bising dengan intensitas lebih dari 85 dB. Barrs melaporkan pada 246 orang tenaga kerja yang memeriksakan telinga untuk keperluan ganti rugi asuransi, ditemukan 85 % menderita tuli saraf, dan dari jumlah tersebut 37 % didapatkan gambaran takik pada frekuensi 4000 Hz dan 6000 Hz. Di Polandia diperkirakan 600.000 dari 5 juta pekerja industri mempunyai risiko terpajan bising , dengan perkiraan 25 % dari jumlah yang terpajan terjadi gangguan pendengaran akibat bising. Dari seluruh penyakit akibat kerja dapat diidentifikasi penderita tuli akibat bising lebih dari 36 kasus baru dari 100.000 pekerja setiap tahun.

Di Indonesia penelitian tentang gangguan pendengaran akibat bising telah banyak dilakukan sejak lama. Survai yang dilakukan oleh Hendarmin dalam tahun yang sama pada Manufacturing Plant Pertamina dan dua pabrik es di Jakarta mendapatkan hasil terdapat gangguan pendengaran pada 50% jumlah karyawan disertai peningkatan ambang dengar sementara sebesar 5-10 dB pada karyawan yang telah bekerja terusmenerus selama 5-10 tahun. Penelitian yang dilakukan oleh Hendarmin dan Hadjar tahun 1971, mendapatkan hasil bising jalan raya (Jl.MH.Thamrin, Jakarta) sebesar 95 dB lebih pada jam sibuk. Sundari pada penelitiannya di pabrik peleburan besi baja di Jakarta, mendapatkan 31,55 % pekerja menderita tuli akibat bising, dengan intensitas bising antara 85 105 dB, dengan masa kerja rata-rata 8,99 tahun. Lusianawaty mendapatkan 7 dari 22 pekerja ( 31,8%) di perusahaan kayu lapis Jawa Barat mengalami tuli akibat bising, dengan intensitas bising lingkungan antara 84,9 108,2 dB. Purnama pada penelitian dampak pajanan bising bajaj pada pengemudinya mendapatkan 26 dari 32 pengemudi mengalami tuli akibat bising, 14 pengemudi mengalami tuli akibat bising tahap awal dan 12 pengemudi mengalami tuli akibat bising tahap lanjut. Rerata intensitas bising bajaj pada kelompok kasus tersebut adalah 101,42 dB dengan lama pajanan kerja 12,37 tahun dan 98,5 dB pada kelompok kontrol dengan lama pajanan kerja 8 tahun. Bashiruddin pada penelitian pengaruh bising dan getaran pada fungsi keseimbangan dan pendengaran mendapatkan rerata intensitas bising bajaj pada beberapa frekuensi adalah 90 dB dengan intensitas maksimum 98 dB dan serata akselerasi getar adalah 4,2 m/dt. Hal ini melebihi nilai ambang batas bising dan getaran yang diperkanankan. Kombinasi antara bising alat transportasi dengan sistem suspensi dan gas buang yang buruk seperti bajaj dan bising jalan raya menyebabkan risiko gangguan pendengaran pengemudi kendaraan tersebut menjadi lebih tinggi.

Demografi

Gambaran populasi berdasarkan kelompok umur, kelompok pekerjaan, status sosial, dan status pendidikan. Agar dapat secara efektif mengatasi NIHL, ada beberapa pertanyaan yang harus terlebih dahulu dicari jawabannya, antara lain :
1. Seberapa besar jumlah penderita NIHL di suatu daerah ? 2. Bagaimana proporsi penduduk didaerah tersebut ? 3. Bagaimana dengan tingkat pengetahuan penduduk didaerah tersebut ? 4. Untuk menurunkan prevalensi NIHL, perlu diketahui sarana dan SDM yang tersedia.

Infrastuktur

Sumber Daya:

Jumlah Jumlah Jumlah Jumlah Jumlah

Dokter Spesialis THT Dokter Spesialis Kedokteran Okupasi Dokter Perusahaan (Dokter Kesehatah Kerja) Dokter Umum dan tenaga paramedis terlatih Tenaga Swadaya Masyarakat (kader terlatih)

Sarana dan Fasilitas


Rumah Sakit yang memiliki fasilitas diagnostik fungsi pendengaran (Audiometer) Puskesmas yang memiliki alat diagnostik fungsi pendengaran (Audiometer), corong telinga, otoskop/ senter, garputala). Target

Menurunkan 50% angka gangguan pendengaran akibat bising pada tahun 2010

Indikator o Jumlah Dokter Umum yang dilatih o Jumlah paramedis yang dilatih o Jumlah kader/ guru yang dilatih o Frekuensi kegiatan promosi yang dilakukan dalam periode tertentu o Jumlah pekerja terpajan bising yang diperiksa setiap tahun o Frekuensi pemeriksaan pekerja terpajan bising o Jumlah pekerja terpajan bising yang dideteksi menderita NIHL o Jumlah kasus NIHL yang dilaporkan

ALTERNATIF PENANGGULANGAN Program akan berhasil apabila tersosialisasi dengan baik, sehingga setiap orang yang terkait dengan upaya penanggulangan NIHL (masyarakat, pemerintah setempat, tenaga medis) dapat menjalankan perannya masing-masing setelah mengetahui masalah yang dihadapi serta tujuan yang hendak dicapai.

Melakukan penyuluhan kepada kader, tokoh masyarakat serta masyarakat itu sendiri tentang NIHL mengenai pengertian, gejala, penyebab, dampak dan penatalaksanaan. Advokasi pada pemerintah setempat (PEMDA) untuk memfasilitasi serta menyediakan anggaran untuk memperbaiki maupun melengkapi infrastruktur. Melakukan pendekatan kepada pengusaha serta organisasi swadaya masyarakat untuk saling bekerja sama dalam menanggulangi masalah yang dihadapi pekerja / masyarakat yang terpajan bising.

Melakukan analisis situasi, menetapkan tujuan serta evaluasi berkala. Menyelenggarakan pelatihan bagi petugas kesehatan dan kader untuk melakukan deteksi dini dan rujukan Pelatihan dokter kesehatan kerja untuk meningkatkan upaya deteksi dan intervensi dini.

Presbikusis adalah tuli sensorineural (saraf) pada usia lanjut akibat proses degenerasi (penuaan) organ pendengaran. Proses ini terjadi berangsur angsur, dan simetris ( terjadi pada kedua sisi telinga). Penyebab gangguan pendengaran pada presbikusis umumnya merupakan kombinasi dari beberapa hal sebagai berikut :

Degenerasi elastisitas gendang telinga Degenerasi sel rambut di koklea. Degenerasi fleksibilitas dari membran basilar Berkurangnya neuron pada jalur pendengaran $ Perubahan pada sistem pusat pendengaran dan batang otak Degenerasi jangka pendek dan auditory memory Menurunnya kecepatan proses pada pusat pendengaran di otak (central auditory cortex )

Selain itu pada orang lanjut usia juga terjadi perubahan lain pada organ telinga lainnya walaupun tidak berhubungan dengan presbikusis misalnya degenerasi otot-otot pada telinga tengah dan arthritis tulang-tulang di telinga tengah. Gejala atau perubahan yang dijumpai pada presbikusis secara umum dibedakan menjadi

Berkurangnya kemampuan mendengar Berkurangnya kemampuan mengerti percakapan Fisik dan emosional

Kemampuan mendengar penderita presbikusis akan berkurang secara berangsur, biasanya terjadi bersamaan pada kedua telinga. Telinga menjadi sakit bila lawan bicaranya memperkeras suara. Selain itu penderita presbikusis juga mengalami kesulitan dalam memahami percakapan terutama di lingkungan bising, hal ini disebabkan oleh berkurangnya kemampuan membedakan (diskriminasi) suku kata yang hampir mirip.

Jika tidak dilakukan upaya rehabilitasi pendengaran misalnya dengan memasang alat bantu dengar maka kemampuan untuk memahami percakapan akan makin terganggu. Hal lain yang terjadi pada penderita presbikusis adalah masalah fisik dan emosional antara lain berupa :

Terganggunya hubungan perorangan dengan keluarga Kompensasi tingkah laku akibat gangguan pendengaran : Pemarah dan mudah frustrasi Depresi, menarik diri dari lingkungan (introvert) Merasa kehilangan kontrol pada kehidupannya Waham curiga (paranoid) Self-criticism Berkurangnya aktivitas dengan kelompok sosial Berkurangnya stabilitas emosi.

Upaya rehabilitasi dilakukan dengan pemasangan alat bantu dengar (ABD) yang sesuai dengan kebutuhan. Pemasangan alat bantu dengar bertujuan untuk memperkeras (amplifikasi) bunyi yang ada disekitar pengguna. Kemajuan teknologi ABD saat ini memungkinkan pengguna ABD mendapatkan amplifikasi yang tepat. ABD dengan fasilitas multi channel dapat mengeraskan bunyi yang spesifik pada frekuensi yang mengalami gangguan saja. Selain itu teknologi multi mikrofon dan penyaring (filter) terhadap bising memungkinkan pemahaman percakapan yang lebih baik pada kondisi bising. Hal lain yang cukup penting adalah memilih jenis ABD yang cocok dengan tuntutan gaya hidup dan kemampuan fisik pemakainya. Walaupun telah menggunakan ABD adakalanya masih diperlukan bantuan membaca ujaran bibir (lip reading) namun masalahnya para penderita presbikusis umumnya juga mengalami gangguan penglihatan. Untuk mengurangi angka kesakitan (morbiditas) presbikusis diperlukan usaha-usaha penanggulangan secara promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif. Dalam mengupayakan usaha tersebut diperlukan kerjasama yang terpadu dari masyarakat itu sendiri, Lembaga Swadaya Masyarakat, dan Pemerintah dalam hal ini institusi kesehatan. Masyarakat melalui para kader perlu dilibatkan secara aktif dan inovatif terutama pada tingkat promotif. Lini kesehatan terdepan misalnya Puskesmas, Balai Kesehatan, dll memiliki peran yang besar baik di tingkat promotif, kuratif serta deteksi dini timbulnya komplikasi akibat presbikusis. Kendala dalam penanggulangan presbikusis adalah masih terbatasnya rumah sakit yang memiliki fasilitas pemeriksaan pendengaran untuk kasus presbikusis. Demikian pula dengan fasilitas rehabilitasi belum tersebar secara merata di semua provinsi. Agar usaha penanggulangan dapat mencapai sasaran yaitu menurunnya morbiditas akibat presbikusis, maka diperlukan pengetahuan, pengenalan, dan pencegahan presbikusis oleh masyarakat bersama-sama kader dan tenaga kesehatan. Selain itu diperlukan peningkatan pengetahuan dan ketrampilan bagi tenaga kesehatan di lini terdepan untuk mendiagnosis presbikusis. ANALISIS SITUASI

EPIDEMIOLOGI Secara global prevalensi presbikusis bervariasi, diperkirakan terjadi pada 30-45% orang dengan usia di atas 65 tahun. Menurut WHO pada tahun 2005 akan terdapat 1.2 milyar orang akan berusia lebih dari 60 tahun, dari jumlah tersebut 60 % diantaranya tinggal di negara berkembang. Menurut perkiraan WHO pada tahun 2020 populasi dunia berusia diatas 80 tahun juga akan meningkat sampai 200 %.

Pada Survei Kesehatan Indera Pennglihatan - Pendengaran tahun 1994 -1996 di 7 Propinsi (Sumatra Barat, Sumatra Selatan , Jawa Tengah, NTB, Sulawesi Selatan dan Sulawesi Utara) dengan 19,375 responden didapatkan prevalensi presbikusis sebesar 2.6 % atau sekitar 6.7 % dari seluruh pasien THT yang didiagnosa dengan Presbikusis

Di Indonesia jumlah penduduk berusia lebih dari 60 tahun pada tahun 2005 diperkirakan mencapai 19.9 juta atau 8.48 % dari jumlah populasi. Pada tahun 2025 jumlah tsb akan meningkat menjadi 4 kali lipat dari jumlah tahun 1990, dan merupakan jumlah tertinggi di dunia. Juga terjadi peningkatan usia harapan hidup dari usia 59.8 tahun ( 1990 ) menjadi 71.7 % pada tahun 2020.

DEMOGRAFI Gambaran populasi berdasarkan kelompok umur, kelompok pekerjaan, status sosial, dan status pendidikan. Agar dapat secara efektif mengatasi presbikusis, ada beberapa pertanyaan yang harus terlebih dahulu dicari jawabannya, antara lain : 1. 2. 3. 4. Seberapa besar jumlah penderita presbikusis di suatu daerah ? Bagaimana proporsi penduduk di daerah tersebut ? Bagaimana dengan tingkat pengetahuan penduduk didaerah tersebut ? Untuk menurunkan prevalensi presbikusis, perlu diketahui sarana dan SDM yang tersedia.

INFRASTRUKTUR Perlu diketahui kondisi infrastuktur yang tersedia : 1. Sumber Daya :

Jumlah dokter spesialis THT

Jumlah dokter umum, ahli madya audiologi yang membantu melakukan pemeriksaan Jumlah ahli madya terapi wicara Jumlah kader untuk usila di wilayah tersebut

2. Sarana dan Fasilitas


Rumah Sakit yang memiliki fasilitas pemeriksaan pendengaran. Jumlah Puskesmas yang ada di wilayah tersebut Rumah sakit yang memiliki fasilitas reabilitasi pendengaran Sentra pelayanan alat bantu dengar Otoskop/ senter Garpu tala, minimal 512 Hz

TARGET Meningkatkan penanganan presbikusis (50%) INDIKATOR


Jumlah Dokter Umum yang dilatih Jumlah paramedis yang dilatih Jumlah kader yang dilatih Frekuensi kegiatan promosi yang dilakukan dalam periode tertentu Jumlah kelompok usia lanjut yang diperiksa setiap tahun Frekuensi pemeriksaan usia lanjut Jumlah orang tua yang dideteksi menderita presbikusis Jumlah kasus presbikusis yang dirujuk

ALTERNATIF PENANGGULANGAN Program akan berhasil apabila tersosialisasi dengan baik, sehingga setiap orang yang terkait dengan upaya penanggulangan presbikusis (masyarakat, pemerintah setempat, tenaga medis) dapat menjalankan perannya masing-masing setelah mengetahui masalah yang dihadapi serta tujuan yang hendak dicapai. 1. Melakukan penyuluhan kepada kader, tokoh masyarakat serta masyarakat itu sendiri tentang presbikusis mengenai pengertian, gejala, penyebab, dan dampaknya. 2. Advokasi pada pemerintah setempat (PEMDA) untuk memfasilitasi serta menyediakan anggaran untuk memperbaiki maupun melengkapi infrastruktur. 3. Melakukan pendekatan kepada pengusaha serta organisasi swadaya masyarakat untuk saling bekerja sama dalam menanggulangi masalah yang dihadapi penderita kurang mampu. 4. Melakukan analisis situasi, menetapkan tujuan serta evaluasi berkala.

5. Menyelenggarakan pelatihan bagi petugas kesehatan dan kader untuk melakukan deteksi dini dan rujukan 6. Meningkatkan upaya deteksi dan intervensi dini. Tuli kongenital merupakan salah satu masalah pada anak yang akan berdampak pada perkembangan bicara, sosial, kognitif dan akademik. Masalah makin bertambah bila tidak dilakukan deteksi dan intervensi secara dini.

Di negara maju, angka tuli kongenital berkisar antara 0,1 - 0,3 % kelahiran hidup, sedangkan di Indonesia berdasarkan survei yang dilakukan oleh Dep. Kes di 7 Provinsi pada tahun 1994 - 1996 yaitu sebesar 0,1 %.

Tuli kongenital di Indonesia diperkirakan sebanyak 214.100 orang bila jumlah penduduk sebesar 214.100.000 juta (Profil Kesehatan 2005). Jumlah ini akan bertambah setiap tahun dengan adanya pertambahan penduduk akibat tingginya angka kelahiran sebesar 0,22%. Hal ini tentu saja berdampak pada penyediaan sarana pendidikan dan lapangan pekerjaan di masa mendatang.

WHO memperkirakan setiap tahun terdapat 38.000 anak tuli lahir di Asia Tenggara. Pertemuan WHO di Colombo pada tahun 2000 menetapkan tuli kongenital sebagai salah satu penyebab ketulian yang harus diturunkan prevalensinya. Ini tentu saja memerlukan kerjasama dengan disiplin ilmu lain dan masyarakat selain tenaga kesehatan .

Apakah yang dimaksud dengan tuli kongenital? Tuli kongenital merupakan ketulian yang terjadi pada seorang bayi disebabkan faktor-faktor yang mempengaruhi kehamilan maupun pada saat lahir. Ketulian ini dapat berupa tuli sebagian (hearing impaired) atau tuli total (deaf). Tuli sebagian adalah keadaan fungsi pendengaran berkurang namun masih dapat dimanfaatkan untuk berkomunikasi dengan atau tanpa bantuan alat dengar, sedangkan tuli total adalah keadaan fungsi pendengaran yang sedemikian terganggunya sehingga tidak dapat berkomunikasi sekalipun mendapat perkerasan bunyi ( amplifikasi ).

Tuli kongenital dibagi menjadi genetik herediter (ada faktor keturunan) dan non genetik. Untuk mencegah terjadinya tuli herediter sebaiknya hindarilah perkawinan antar keluarga / sedarah.

Tuli kongenital dapat terjadi pada :

Masa kehamilan (PRENATAL)

Kehamilan trimester I merupakan periode penting karena infeksi bakteri maupun virus akan mempunyai akibat terjadinya ketulian. Infeksi yang sering mempengaruhi pendengaran antara lain adalah infeksi TORCHS (Toksoplasmosis, Rubella, Cytomegalovirus, Herpes dan Sifilis), selain campak dan parotitis (gondong). Beberapa jenis obat ototoksik dan teratogenik seperti salisilat, kina, gentamisin, streptomycin dll. mempunyai potensi menyebabkan terjadinya gangguan proses pembentukan organ dan sel rambut pada rumah siput (koklea). Gangguan struktur anatomi telinga juga dapat menyebabkan terjadinya ketulian antara lain aplasia koklea (rumah siput tidak terbentuk) dan atresia liang telinga.

Saat lahir ( PERINATAL )

Penyebab ketulian pada saat lahir antara lain : lahir prematur, berat badan lahir rendah (< 1500 gram), tindakan dengan alat pada proses kelahiran (ekstraksi vakum, forcep), hiperbilirubinemia (bayi kuning), asfiksia (lahir tidak langsung menangis), dan hipoksia otak (nilai Apgar < 5 pada 5 menit pertama.) Menurut American Academy Joint Committee on Infant Hearing Statement (1994) pada bayi usia 0-28 hari bila ditemukan beberapa faktor berikut ini harus dicurigai, karena merupakan kemungkinan penyebab gangguan pendengaran:

Riwayat keluarga dengan tuli sejak lahir Infeksi prenatal; TORSCH Kelainan anatomi pada kepala dan leher Sindrom yang berhubungan dengan tuli kongenital Berat badan lahir rendah (BBLR < 1500 gram ) Meningitis bakterialis Hiperbilirubinemia (bayi kuning) yang memerlukan transfusi tukar Asfiksia berat Pemberian obat ototoksik Menggunakan alat bantu pernapasan/ ventilasi mekanik lebih dari 5 hari (ICU)

Ketulian yang terjadi biasanya merupakan tuli saraf ( sensorineural) derajat berat sampai sangat berat pada kedua telinga (bilateral). Gejala awal sulit diketahui karena ketulian tidak terlihat. Biasanya orang tua baru menyadari adanya gangguan pendengaran pada anak bila tidak ada respons terhadap suara keras atau belum / terlambat berbicara. Oleh karena itu informasi dari orang tua sangat bermanfaat untuk mengetahui respons anak terhadap suara dl lingkungan rumah, kemampuan vokalisasi dan cara pengucapan kata.

Perkembangan auditorik sesuai dengan usia anak, antara lain :


Usia 0-4 bulan : kemampuan respons auditorik masih terbatas dan bersifat refleks Dapat ditanya apakah bayi kaget mendengar suara keras atau terbangun ketika sedang tidur. Respons berupa refleks auropalpebral maupun refleks Moro. Usia 4-7 bulan respons memutar kepala ke arah bunyi yang terletak di bidang horizontal, walaupun belum konsisten. Pada usia 7 bulan otot leher cukup kuat sehingga kepala dapat diputar dengan cepat ke arah sumber suara. Usia 7-9 bulan dapat mengidentifikasi dengan tepat asal sumber bunyi dan bayi dapat memutar kepala dengan tegas dan cepat. Usia 9-13 bulan bayi sudah mempunyai keinginan yang besar untuk mencari sumber bunyi dari sebelah atas, dan pada usia 13 bulan mampu melokalisir bunyi dari segala arah dengan cepat. Pada usia 2 tahun pemeriksa harus lebih teliti karena anak tidak akan memberi reaksi setelah beberapa kali mendapat stimulus yang sama. Hal ini disebabkan karena anak sudah mampu memperkirakan sumber suara.

Perkembangan bicara erat kaitannya dengan tahap perkembangan mendengar pada bayi, sehingga adanya gangguan pendengaran perlu dicurigai apabila :

Usia 12 bulan : belum dapat mengoceh (babbling) atau meniru bunyi Usia 18 bulan : tidak dapat menyebut 1 kata yang mempunyai arti Usia 24 bulan : perbendaharaan kata kurang dari 10 kata Usia 30 bulan : belum dapat merangkai 2 kata

Untuk mengetahui adanya gangguan pendengaran maka diagnosis dini perlu dilakukan. Cara mudah untuk melakukan pemeriksaan pendengaran apabila tidak ada sarana yaitu dengan memberikan bunyi-bunyian pada jarak 1 m di belakang anak :

Bunyi pss pss untuk menggambarkan suara frekwensi tinggi Bunyi uh uh untuk menggambarkan frekwensi rendah Suara menggesek dengan sendok pada tepi cangkir (frekwensi 4000 Hz) Suara mengetuk dasar cangkir dengan sendok (frekwensi 900 Hz ) Suara remasan kertas (frekwensi 6000 Hz) Suara bel (frekwensi puncak 2000 Hz)

Saat ini OAE (Otoacoustic emission) dan AABR (Automated Audiometry Brainstem Response) merupakan tehnik pemeriksaan baku emas (gold standard) dengan prinsip pemeriksaan cepat, mudah, tidak invasif dan sensitifitas mendekati 100%.

Hal yang penting untuk diperhatikan sebelum melakukan pemeriksaan ini adalah liang telinga harus bersih dan tidak ada kelainan pada telinga tengah. Yang menjadi kendala adalah bahwa sarana ini tidak dimiliki oleh semua Rumah Sakit Provinsi.

Pemeriksaan lain yang tak kalah penting adalah BOA (Behavioral observation audiometry), yaitu dengan melihat perilaku anak terhadap stimulus suara yang diberikan. Faktor yang mempengaruhi pemeriksaan ini antara lain usia, kondisi mental, kemauan melakukan tes, rasa takut, kondisi neurologik yang berhubungan dengan perkembangan motorik dan persepsi.

Diharapkan pada usia 3 bulan pemeriksaaan sudah selesai dilakukan dan intervensi dapat dimulai pada usia 6 bulan. Pemberian Alat Bantu Dengar membantu anak dalam proses habilitasi suara dan belajar berbicara. Selanjutnya pada usia 1,5-2 tahun mulai dilatih di sarana pendidikan (Taman Latihan Khusus). Sebagai pilihan lain di Jakarta sejak tahun 2002 sudah ada program implantasi koklea dengan persyaratan tertentu.

ANALISIS SITUASI EPIDEMIOLOGI Prevalensi tuli kongenital di Indonesia diperkirakan 0,1 % dan akan bertambah setiap tahunnya dengan 4710 orang, jika melihat angka kelahiran sebesar 2,2 % pada penduduk yang berjumlah 214.100.000 orang. Angka ini akan terus bertambah mengingat faktor risiko yang mengakibatkan tuli kongenital pada masa kehamilan dan kelahiran masih tinggi. Mengingat tuli kongenital mempunyai dampak yang cukup luas maka sejak awal sebaiknya sudah ada sosialisasi/ penyuluhan kepada masyarakat dan petugas kesehatan yang bekerja di lapangan untuk melakukan deteksi dini . Untuk melakukan diagnosis dini maupun habilitasi diperlukan sarana pemeriksaan, SDM yang melakukan pemeriksaan dan sarana habilitasi.

DEMOGRAFI Gambaran populasi berdasarkan kelompok umur penderita, status sosial dan pendidikan orang tua. Agar dapat secara efektif mengatasi tuli kongenital, ada beberapa pertanyaan yang harus terlebih dahulu dicari jawabannya, antara lain :

Seberapa besar jumlah penderita tuli kongenital di suatu daerah ? Bagaimana proporsi penduduk didaerah tersebut ? Bagaimana dengan tingkat pengetahuan penduduk didaerah tersebut ?

Untuk menurunkan prevalensi tuli kongenital, perlu diketahui sarana dan SDM yang tersedia.

INFRASTRUKTUR Perlu diketahui kondisi infrastuktur yang tersedia :

1. Sumber Daya :

Jumlah dokter spesialis THT Jumlah dokter umum, ahli madya audiologi yang membantu melakukan pemeriksaan Jumlah ahli madya terapi wicara Jumlah bidan, kader, dukun di wilayah tersebut

2. Sarana dan Fasilitas


Jumlah Rumah Sakit yang mempunyai sarana diagnostik Jumlah Puskesmas yang ada di wilayah tersebut Jumlah sarana penyediaan alat bantu dengar Jumlah sekolah SLB-B serta jumlah guru yang tersedia

TARGET Menurunkan 50% angka kejadian tuli kongenital pada tahun 2010 INDIKATOR

Frekuensi kegiatan promosi yang dilakukan dalam periode tertentu Jumlah penemuan kasus dini tuli kongenital Jumlah penderita yang mendapat habilitasi

ALTERNATIF PENANGGULANGAN Program akan berhasil apabila tersosialisasi dengan baik, sehingga setiap orang yang terkait dengan upaya penanggulangan tuli kongenital (masyarakat, pemerintah setempat, tenaga medis) dapat menjalankan perannya masing-masing setelah mengetahui masalah yang dihadapi serta tujuan yang hendak dicapai.

Melakukan penyuluhan kepada kader, tokoh masyarakat serta masyarakat itu sendiri tentang tuli kongenital mengenai pengertian, gejala, penyebab, dampak dan penatalaksanaan. Advokasi pada pemerintah setempat (PEMDA) untuk memfasilitasi serta menyediakan anggaran untuk memperbaiki maupun melengkapi infrastruktur. Melakukan pendekatan kepada pengusaha serta organisasi swadaya masyarakat untuk saling bekerja sama dalam menanggulangi masalah yang dihadapi penderita kurang mampu. Melakukan analisis situasi, menetapkan tujuan serta evaluasi berkala. Menyelenggarakan pelatihan bagi petugas kesehatan dan kader untuk deteksi dini dan rujukan Meningkatkan upaya deteksi dan intervensi dini.

Otitis media supuratif kronik adalah peradangan mukosa telinga tengah disertai keluarnya cairan dari telinga melalui perforasi membran timpani (gendang telinga berlubang). Masyarakat mengenal OMSK sebagai penyakit congek, kopok, toher atau curek. Cairan yang keluar dari telinga dapat terus menerus atau hilang timbul. Kejadian OMSK dipengaruhi oleh berbagai faktor antara lain suku bangsa, jenis kelamin, tingkat sosioekonomi, keadaan gizi, dan kekerapan mengalami infeksi saluran pernapasan atas (ISPA/ batuk pilek). ISPA yang tidak tertanggulangi dengan baik dapat menyebabkan peradangan di telinga tengah (otitis media). Pada keadaan peradangan tidak teratasi sacara tuntas, daya tahan yang lemah, atau keganasan kuman yang tinggi (virulensi kuman), peradangan telinga tengah dapat berlanjut manjadi OMSK. OMSK terdiri atas OMSK tipe aman dan tipe bahaya. Kedua tipe ini dapat bersifat aktif(keluar cairan) atau tidak aktif (kering). Penatalaksanaan OMSK dapat berupa pengobatan atau operasi. Tujuan operasi pada OMSK tipe bahaya terutama untuk mencegah komplikasi. Gejala OMSK adalah keluar cairan dari telinga yang berulang, lebih dari 2 bulan, cairan kental, dan berbau. Komplikasi yang dapat disebabkan oleh OMSK adalah komplikasi ketulian, kelumpuhan saraf wajah, serta penyebaran infeksi ke otak (7,5%) hingga kematian yang disebabkan oleh OMSK tipe bahaya (33%). Gejala-gejala komplikasi infeksi otak yang disebabkan oleh OMSK antara lain sakit kepala hebat, demam, mual, muntah, dan penurunan kesadaran.

Ketulian akibat OMSK disebabkan oleh gendang telinga yang berlubang, cairan atau nanah yang terdapat di telinga tengah, serta tulang pendengaran yang rusak/ erosi. Selain itu ketulian akibat OMSK dapat terjadi karena zat yang diproduksi oleh kuman OMSK masuk ke telinga dalam. Kondisi ini dapat menyebabkan gangguan pendengaran dan pusing berputar.

Untuk mengurangi angka kesakitan (morbiditas) dan angka kematian (mortalitas) akibat OMSK diperlukan usaha-usaha penanggulangan OMSK baik secara promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif. Dalam mengupayakan usaha tersebut diperlukan kerjasama yang terpadu dari baik masyarakat itu sendiri, Lembaga Swadaya Masyarakat dan Pemerintah dalam hal ini institusi kesehatan.

Masyarakat melalui para kader perlu dilibatkan secara aktif dan inovatif terutama pada tingkat promotif. Lini kesehatan terdepan misalnya Puskesmas, Balai Kesehatan, dll memiliki peran yang besar baik di tingkat promotif, kuratif serta deteksi dini timbulnya komplikasi akibat OMSK.

Di lain pihak jumlah spesialis THT di Indonesia berjumlah 700 orang. Dibandingkan dengan jumlah penduduk Indonesia yang berjumlah lebih kurang 214,1 juta jiwa, tentu jumlah tersebut masih sangat kurang. Menurut WHO dari 606 spesialis THT di Indonesia tercatat 30 orang (5%) yang dikategorikan sebagai Otologist. Angka tersebut jauh berbeda dengan angka di Bangladesh (13,5%), India (28,5%), dan Thailand (25,5%).

Selain itu jumlah rumah sakit yang memiliki fasilitas operasi telinga juga masih sangat terbatas. Oleh sebab itu diperlukan usaha agar masyarakat dapat melakukan usaha-usaha pencegahan OMSK yang berdampak pada ketulian bekerjasama dengan para kader kesehatan, institusi kesehatan, dan lembaga-lembaga terkait.

Agar usaha penanggulangan penyakit OMSK dan komplikasinya dapat mencapai sasaran yaitu menurunnya morbiditas dan mortalitas akibat penyakit OMSK, maka diperlukan pengetahuan, pengenalan, dan pencegahan penyakit OMSK oleh masyarakat bersamasama kader dan tenaga kesehatan. Selain itu diperlukan peningkatan pengetahuan dan ketrampilan bagi tenaga kesehatan di lini terdepan untuk mendiagnosis OMSK dan komplikasi yang ditimbulkan.

ANALISIS SITUASI EPIDEMIOLOGI

Otitis media supuratif kronik (OMSK) merupakan penyakit infeksi telinga yang memiliki prevalensi tinggi dan menjadi masalah kesehatan di masyarakat. Di negara berkembang dan negara maju prevalensi OMSK berkisar antara 1-46%, dengan prevalensi tertinggi terjadi pada populasi di Eskimo (12-46%), sedangkan prevalensi terendah terdapat pada populasi di Amerika dan Inggris kurang dari 1%. Di Indonesia menurut Survei Kesehatan Indera Penglihatan dan Pendengaran, Depkes tahun 1993-1996 prevalensi OMSK adalah 3,1% populasi. Usia terbanyak penderita infeksi telinga tengah adalah usia 7-18 tahun, dan penyakit telinga tengah terbanyak adalah OMSK. DEMOGRAFI : Gambaran populasi berdasarkan kelompok umur, kelompok pekerjaan, status sosial, dan status pendidikan. Agar dapat secara efektif mengatasi OMSK, ada beberapa pertanyaan yang harus terlebih dahulu dicari jawabannya, antara lain :

Seberapa besar jumlah penderita OMSK di suatu daerah ? Bagaimana proporsi penduduk didaerah tersebut ? Bagaimana dengan tingkat pengetahuan penduduk didaerah tersebut ? Untuk menurunkan prevalensi OMSK, perlu diketahui sarana dan SDM yang tersedia.

INFRASTUKTUR : Sumber Daya:


Jumlah Dokter Spesialis THT yang melakukan operasi telinga Jumlah Dokter Spesialis THT Jumlah Dokter Umum dan tenaga paramedis terlatih Jumlah Tenaga Swadaya Masyarakat (kader terlatih)

Sarana dan Fasilitas


Rumah Sakit yang memiliki fasilitas operasi telinga/ bedah mikro telinga Rumah Sakit yang memiliki fasilitas diagnostik untuk OMSK Puskesmas yang memiliki alat diagnostik OMSK (lampu kepala, corong telinga, otoskop/ senter, garputala).

TARGET : Menurunkan 50% angka ketulian akibat OMSK pada tahun 2015 INDIKATOR :

Jumlah Dokter Umum yang dilatih

Jumlah paramedis yang dilatih Jumlah kader/ guru yang dilatih Frekuensi kegiatan promosi yang dilakukan dalam periode tertentu Jumlah anak TK/ SD yang diperiksa setiap tahun Frekuensi pemeriksaan anak TK/ SD Jumlah anak TK/ SD yang dideteksi menderita OMSK Jumlah kasus OMSK yang dirujuk

ALTERNATIF PENANGGULANGAN Program akan berhasil apabila tersosialisasi dengan baik, sehingga setiap orang yang terkait dengan upaya penanggulangan OMSK (masyarakat, pemerintah setempat, tenaga medis) dapat menjalankan perannya masing-masing setelah mengetahui masalah yang dihadapi serta tujuan yang hendak dicapai.

Melakukan penyuluhan kepada kader, tokoh masyarakat serta masyarakat itu sendiri tentang OMSK mengenai pengertian, gejala, penyebab, dampak dan penatalaksanaan. Advokasi pada pemerintah setempat (PEMDA) untuk memfasilitasi serta menyediakan anggaran untuk memperbaiki maupun melengkapi infrastruktur. Melakukan pendekatan kepada pengusaha serta organisasi swadaya masyarakat untuk saling bekerja sama dalam menanggulangi masalah yang dihadapi penderita kurang mampu. Melakukan analisis situasi, menetapkan tujuan serta evaluasi berkala. Menyelenggarakan pelatihan bagi petugas kesehatan dan kader untuk melakukan deteksi dini, pengobatan dan rujukan Pelatihan dokter spesialis THT untuk melakukan bedah mikro telinga Meningkatkan upaya deteksi dan intervensi dini.

ent.. Apakah anda pemain musik, sekedar penggemar musik atau sekedar penikmat musik saja ? Yang jelas anda sangat MENCINTAI musik . Pernah dengar pepatah yang berbunyi TIADA CINTA TANPA PENGORBANAN ? Namun bila anda sangat mencintai musik tidak perlu mengorbankan pendengaran anda tentunya.

Di negara maju kepedulian terhadap masalah gangguan pendengaran akibat paparan suara bising yang berasal dari suara musik sudah sedemikian besarnya. Begitu mudah kita memperoleh informasi tentang risiko tersebut pada berbagai media.

Siapa yang memiliki risiko gangguan pendengaran akibat terpapar suara musik (yang keras) ? Kelompok risiko terbesar tentu saja para pekerja musik mulai dari sang musisi,penyanyi, produser musik, sound engineer, band crew, teknisi panggung dll, yang umumnya berada di lingkungan suara bising sekitar 4 8 jam sehari pada saat latihan rutin. Hal ini berlangsung selama bertahun-tahun. Profesi terkait yang juga memiliki risiko adalah teknisi rekaman, disc jockey, pemandu karaoke. Demikianpula dengan masyarakat pencinta suara musik yang gemar menggunakan walkman, portable CD changer, iPod dengan earphone terpasang di telinga dalam waktu yang cukup lama dan berulang-ulang

Siapa saja musisi atau penyanyi yang telah mengalami gangguan pendengaran ? Di luar negeri terdapat sejumlah nama beken bahkan beberapa lama sudah merupakan legenda di bidang musik.sampai saat ini . Berikut ini beberapa nama yang pernah anda dengar suaranya

atau tersedia dalam koleksi lagu lagu anda di rumah seperti Pete Townshend ( gitaris The WHO), Eric Clapton ( Sailing, Hotel California), Phill Collins ( Hello, Against all Odds), George Harrison( The Beatles), Barbara Streisand ( Woman in Love, Memories), Engelbert Humperdinck (Release Me) dan masih banyak lagi. Lebih lengkap silahkan click Musicography of Hearing Loss Musician Terkesan lebih mudah menemukan musisi Barat yang mengalami gangguan pendengaran akibat terpapar bising dibandingkan musisi Indonesia. Apakah gangguan pendengaran tidak dialami para musisi lokal ? Apakah sudah ada tapi tidak disadari atau tidak mau menjadi bahan publikasi? Para musisi asing sudah sedemikian sadar dan melakukan upaya upaya proteksi misalnya dengan memakai ear-plug yang dapat mengurangi bising. Bahkan beberapa dari mereka giat melakukan upaya kampanye mencegah gangguan pendengaran akibat bising dari suara musik. Sebut saja Pete Townshend (The WHO) yang juga menjadi donatur forum H.E.A.R ( Hearing Education and Awareness of Rocker) Musisi lain yang juga aktif mencegah gangguan pendengaran akibat musik adalah Phil Collins yang bergabung dengan organisasi PARTNER. Bahkan pada tahun 2005 ia mendapat penghargaan Sound Partners Lifetime Achievement Award for Recording Arts dari House Ear Institute ( Sentra penelitian pendengaran bergengsi di Amerika Serikat). Belakangan para musisi tsb juga aktif berkampanye terhadap bahaya penggunaan iPod sehingga APPLE ( produsen iPod) berencana untuk membatasi volume iPod, Tahun ini iPod yang diproduksi untuk kawasan Eropa telah dibatasi outputnya hanya sampai 100 dB ( dikawasan lain bisa mencapai 130 dB), sehubungan dengan undang undang gangguan yang diterapkan oleh Uni Eropa Jenis musik apa saja yang dapat menyebabkan gangguan pendengaran ?. Pada umumnya bisa terjadi pada semua jenis musik, karena masalahnya bukan pada jenis musik namun lebih pada pengaruh kekerasan bunyi yang melewati ambang batas pendengaran Namun penelitian penelitian memang lebih vanyak pada musik Rock, Klasik dan Jazz. Penelitian di Sweden's Concert Hall dan Lyric Theatre di Gothenberg pada tahun 1981 melaporkan 59 dari 139 musisi orkestra atau sekitar 42 % mengalami gangguan pendengaran nada tinggi pada usia yang seharusnya belum terjadi gangguan pendengaran. Ken Einhorn (1999) melaporkan bahwa 52% pemain musik klasik mengalami gangguan pendengaran nada tinggi, sedangkan pada musisi rock dan pop didapatkan kekerapan sekitar 30% Mengapa gangguan pendengaran akibat paparan bising suara musik keras tidak disadari ? Seperti telah diketahui manusia memiliki kemampuan untuk mendengar suara pada rentang frekuensi 20 20.000 Hertz (Hz). namun untuk percakapan sehari-hari biasanya kita lebih sering mendengar suara dengan frekuensi sekitar 500 2000 Hz (Speech frequency).

Awalnya gangguan pendengaran akibat paparan bising dari suara musik yang keras hanya terjadi pada frekuensi tinggi saja disekitar 4000 Hz. Sehingga kita tidak menyadari adanya gangguan pendengaran karena suara dalam rentang frekuensi wicara ( 500 - 2.000 Hz ) belum terganggu.

Gangguan pendegaran baru dirasakan bila bercakap-cakap di lingkungan bising,misalnya di tempat keramaian.Bila paparan bising terus berlangsung, berulang-ulang untuk waktu yang cukup maka gangguan pendengaran juga akan mengenai frekuensi lainnya. Pada saat inilah baru disadari bahwa gangguan sudah terjadi dan menetap sehingga tidak bisa diperbaiki lagi.
PENDAHULUAN

Keterlambatan bicara merupakan manifestasi dari berbagai kelainan seperti gangguan pendengaran / ketulian, retardasi mental, developmental language delay, aphasia, autisme, cerebral palsy dll. Untuk mengetahui penyebab gangguan bicara pada anak terlebih dahulu harus dipastikan bahwa pendengaran anak tidak mengalami gangguan. Gangguan pendengaran atau tuli sejak lahir akan menyebabkan gangguan perkembangan bicara,bahasa, kognitif dan kemampuan akademik . Bila gangguan pendengaran dan ketulian terlambat diketahui tentu hambatan yang akan dihadapi akan lebih besar lagi. Dari segi ekonomi, gangguan pendengaran dan ketulian juga menyebabkan pengeluaran keluarga , masyararakat dan Pemerintah lebih yang lebih besar. Penelitian di AS pada tahun 2003 menunjukkan bahwa seorang yang mengalami ketulian sejak lahir harus mengeluarkan biaya tambahan sebesar 417.000 USD selama hidupnya.

Dampak yang merugikan tsb harus dicegah atau dibatasi melalui program deteksi dini ketulian. Gangguan pendengaran dan ketulian yang dapat dideteksi lebih awal kemudian mendapat habilitasi pendengaran yang memadai akan membuka kesempatan bagi penderita untuk mencapai kemampuan berkomunikasi yang lebih optimal sehingga lebih mudah berinteraksi dengan lingkungan dan diharapkan mampu mengikuti jalur pendidikan biasa.

KETERLAMBATAN BICARA

Yang dimaksud dengan keterlambat bicara adalah suatu kondisi dimana perkembangan bicara anak secara nyata dibawah rata rata normal anak yang seusia. Untuk mengetahui ada tidaknya keterlambatan bicara pada anak para profesional harus memahami tahap-tahap perkembangan bicara.

TAHAP TAHAP PERKEMBANGAN BICARA Secara umum perkembangan bicara meliputi tahap-tahap sebagai berikut : cooing, babbling, echolalia, jargon, pembentukan kata, penggabungan kata dan kalimat.

AUDITORY EXPRESSIVE LANGUAGE DEVELOPMENT Pada awal kehidupan, akan terjadi vokalisasi pralinguistik yang belum memiliki nilai nilai simbolik seperti cooing, tertawa, babbling monosilabik ( ga, ba, da dll), babbling polisilabik atau lalling ( bababababa, dadadadada,lalalalala. Vokalisasi ini bersifat universal, pada usia yang relatif sama dan pada semua bangsa. Bayi yang lahir tuli pada awalnya juga memiliki kemampuan cooing dan babbling.

Sekitar usia 6 bulan terjadi proses vocal imitation,pada bayi normal produksi vokal nya lebih terbatas mengikuti ucapan bunyi disekitarnya ( suara orang tua); sedangkan pada bayi tuli mulai terjadi penurunan produksi vokal karena terbatasnya stimulus bunyi dan auditory feedback Pada usia 6 9 bulan, babbling seperti mama dan dada bersifat non-spesifik, hanya sekedar vocal play setelah usia 10 bulan, bayi belajar menghubungkan babbling tersebut dengan target individual (menyebut orang tua).

Pada anak normal usia 12 18 bulan perbendahaaraan kata-kata tunggal mulai bertambah dan secara dramatis meningkat pesat setelah usia 18 bulan. Pada masa ini anak mulai belajar menggabungkan 2 kata sebagai kalimat pendek. selanjutnya pada usia sekitar 30 bulan mulai mampu menggabungkan 3 sampai 5 kata walaupun belum mengikuti kaidah tata bahasa( kata pengubung, tunggal/ majemuk dll) Kejelasan pengucapan kata ( intelligibility) berangsur-angsur mengalami penyesuaian sekitar usia 2 4 tahun

AUDITORY RECEPTIVE LANGUAGE DEVELOPMENT Auditory receptive language development adalah tahapan perkembangan belajar memahami bunyi. Pada bayi di bawah usia 4 bulan proses ini dimulai dengan mengetahui atau menyadari bunyi (alerting to sound ) dengan cara memberi respons behavioral yang umumnya bersifat refleks. Respons behavioral dimaksud antara lain mengejapkan mata ( eye blink reflex), berhenti menghisap (cessation reflex), meningkatnya frekuensi jantung, terkejut ( Moro reflex). Pada usia 4 6 bulan mulai mampu melokalisir sumber bunyi (orienting to sound) , dimulai dari arah horizontal kemudian dari arah bawah dan atas. Bayi lebih tertarik dengan stimulus berupa suara ucapan (speech sound) dibandingkan dengan bunyi lainnya (non speech sound) Alerting dan orienting to sound tidak hanya dipengaruhi keutuhan sistim auditorik namun juga berhubungan dengan kemampuan kognitif dan berbahasa Pada usia 9 bulan, bayi memberi respons bila namanya dipanggil, mengerti kata tidak dan dapat menjalankan instruksi sederhana dengan bantuan isyarat; sekitar usia 12 bulan instruksi tersebut dapat dimengerti tanpa bantuan isyarat. Sedangkan instruksi yang lebih kompleks sudah dapat dilakukan pada usia 2 tahun. Setelah usia 2 tahun anak mulai mampu mengucapkan kalimat pertanyaan sederhana. KETERLAMBATAN BICARA AKIBAT GANGGUAN PENDENGARAN/ KETULIAN Untuk menentukan adanya gangguan pendengaran harus dilakukan pemeriksaan audiologik. Alat penghasil bunyi sederhana seperti bel (uncalibrated noise maker) memiliki intensitas sekitar 90 dB pada frekuensi 1000 Hz. Suara manusia juga dapat dianggap sebagai uncalibrated noise maker, dan dibedakan menjadi voiced sound ( j, v,r) dan unvoiced sound (s,f ,th)

Voiced sound yang diproduksi oleh getaran pita suara memiliki frekuensi rendah , sekitar 500 Hz dengan amplitudo (intensitas) 50 -60 dB; sedangkan unvoiced sound mempunyai amplitudo 20 30 db pada frekuensi tinggi (4.000 Hz). Berbicara pada bayi dan melihat respon yang terjadi, kita dapat memperoleh kesan pendengarannya normal namun faktanya bayi tidak mendengar apapun kecuali sebagian kata dengan frekuensi rendah dan amplitudo tinggi Pada anak yang mengalami gangguan bicara akibat gangguan pendengaran akan terjadi gangguan kejelasan bicara ( intelligibility), berkurangnya output verbal dan gangguan pemahaman kata; namun tetap memiliki visual languange yang dapat dimanfaatkan untuk membaca isyarat dan gerak tubuh

Pada gangguan pendengaran berat (> 90 dB) pada frekuensi rendah ( kurang dari 1000 Hz) kemampuan mendengar dan berbicara sangat buruk; kondisi ini terjadi pada kerusakan permanen sistim auditorik dan umumnya bersifat sensorineural. Gangguan pendengaran konduktif terjadi sebagai dampak infeksi telinga tengah (otitis media). OM efusi mengakibatkan gangguan pendengaran derajat ringan sampai sedang, meskipun demikian dapat menyebabkan gangguan perkembangan bicara dan berbahasa bila berlangsung pada usia dibawah 12 bulan. VISUAL LANGUAGE DEVELOPMENT Bayi lebih tertarik pada gambaran visual wajah manusia dibandingkan benda/ permainan yang berbentuk geometrik. pada minggu minggu pertama sejak dilahirkan bayi secara visual memandang wajah orang tuanya tanpa kesan mengenali. Setelah minggu ke 6 10 bayi mulai dapat mengenali wajah orangtuanya, sehingga akan lebih cepat tersenyum dibandingkan melihat orang lain.Selanjutnya bayi akan lebih cepat memberikan reaksi bila melihat benda benda yang dikenali, misalnya botol susu. Pada usia 6 bulan berkembang asosiasi visual auditorik, misalnya menoleh mencari sumber bunyi Sekitar usia 6 9 bulan bayi dapat diajak bermain mengikuti isyarat tangan. Setelah usia 2 bulan bayi telah dapat menunjuk dengan telunjuk ke arah obyek yang diinginkan. JENIS GANGGUAN PENDENGARAN / KETULIAN Jenis gangguan pendengaran / ketulian adalah :

Tuli Konduksi ( tuli hantaran) Tuli Sensorineural ( tuli saraf ) Tuli campuran

Tuli konduktif terjadi sebagai akibat tidak sempurnanya atau tidak berfungsinya organ telinga yang berperan menghantarkan bunyi dari dunia luar ke telinga dalam ( inner ear). Kondisi ini misalnya dijumpai pada keadaan tidak terbentuknya liang telinga sejak lahir, liang telinga tersumbat kotoran atau benda asing, telinga tengah berisi cairan, pilek atau radang tenggorok yang menyebabkan terganggunya fungsi tuba Eustachius ( saluran penghubung antara telinga tengah dengan atap tenggorok). Tuli sensorineural disebabkan oleh kerusakan pada rumah siput (koklea), saraf pendengaran dan batang otak (brainstem) sehingga bunyi tidak dapat diproses sebagaimana mestinya.

Tuli campur ( mixed deafness) bila gangguan pendengaran/ ketulian konduktif dan sensorineural terjadi bersamaan. Perlu diketahui bahwa untuk dapat mendengar dan mengerti bunyi diperlukan suatu proses penghantaran dan pengolahan bunyi ( di telinga ) dan dilanjutkan dengan interpretasi bunyi (di otak) Sehinga mungkin saja dijumpai kasus dengan penhantaran dan pengolahan bunyi yang baik ( dapat mendengar) namun akibat gangguan pada otak, bunyi yang terdengar tidak dapat diartikan ( auditory receptive). Hal ini terjadi pada CAPD (central auditory processing disorder) yang diagnosis dan penanganannya lebih sulit dan memerlukan kerjasama antar disiplin. PREVALENSI KETERLAMBATAN BICARA & GANGGUAN PENDENGARAN BAYI/ ANAK Prevalensi terlambat bicara bervariasi diperkirakan sekitar 3 10 %. Menurut Coplan gangguan perkembangan bicara dan berbahasa terjadi pada 10 15 % anak anak prasekolah Berdasarkan Survei epidemiologik di 7 Propinsi ( 1994 -1996) prevalensi gangguan pendengaran dan ketulian di Indonesia adalah 16,8 % dan 0.4 % ( Thailand ; 13,1 % dan 0.5 % ). Juga diketahui prevalensi ketulian sejak lahir sebesar 0.1 %. Data di Negara maju mendapatkan 1 3 penderita tuli dari 1000 kelahiran hidup. PRINSIP DASAR PEMERIKSAAN PENDENGARAN PADA BAYI DAN ANAK Pemeriksaan pendengaran pada bayi dan anak harus dapat menentukan

Jenis gangguan pendengaran ( sensorineural, konduktif, campur) Derajat gangguan pendengaran ( ringan sampai sangat berat) Lokasi kelainan ( telinga luar, tengah, dalam, koklea, retrokoklea) Ambang pendengaran dengan frekuensi spesifik

Pada bayi dibawah 6 bulan masih sulit melakukan pemeriksaan behavioral ( Behavioral audiometry, Visual Reinforcement audiometry, play audiometry). Sehingga dipilih pemeriksaan elektrofisiologik yang lebih obyektif sepertii BERA ( Brainstem Evoked Response Audiometry), Otoacoustic Emission(OAE) dan Impedance Audiometry ( Timpanometri, refleks akustik) Pemeriksaan BERA dapat menentukan jenis, derajat, lokasi dan ambang pendengaran.Namun dengan BERA click saja kita tidak dapat menentukan ambang dengar yang frekuensinya spesifik. Oleh sebab itu harus dilakukan pemeriksaan tambahan berupa BERA yang menggunakan stimulus tone burst pada nada rendah Dengan mengetahui ambang dengar yang spesifik akan sangat membantu proses fitting ABD TUJUAN

Skrining pendengaran bertujuan menemukan kasus gangguan pendengaran / ketulian sedini mungkin sehingga dapat dilakukan habilitasi/ rehabilitasi segera, agar dampak cacat dengar bisa dibatasi Skrining pendengaran pada bayi baru lahir (Newborn Hearing Screening) dibedakan menjadi :

Universal Newborn Hearing Screening(UNHS) : pada semua bayi baru lahir, sebelum bayi meninggalkan rumah sakit Targeted Newborn Hearing Screening: khusus pada bayi yang mempunyai faktor risiko terhadap ketulian.

SRINING PENDENGARAN BAYI BARU LAHIR MAKSUD SKRINING PENDENGARAN PADA BAYI BARU LAHIR ? Skrining pendengaran terhadap kemungkinan gangguan pendengaran/ ketulian pada bayi baru lahir, dengan menggunakan prinsip pemeriksaan elektrofisiologik. Pemeriksaan harus bersifat obyektif, praktis, cepat otomatis dan non invasif.

MENGAPA HARUS SKRINING ? Dengan menemukan secara dini gangguan pendengaran pada bayi / anak kesempatan untuk memperoleh perkembangan linguistik dan komunikasi dapat lebih optimal Menurut penelitian Yoshinaga Itano (USA, 1998), bila gangguan pendengaran / ketulian sudah diketahui sebelum usia 3 bulan, selanjutnya diberikan habilitasi pendengaran mulai usia 6 bulan, maka pada saat anak berusia 3 tahun perkembangan wicara dan bahasanya dapat mendekati anak yang pendengarannya normal. SElanjutbya konsep dari Yoshinaga - Itano dijadikan acuan oleh American Joint Committee on Infant Hearing (2000) sebagai prinsip skrining pendengaran pada bayi baru lahir.

KAPAN DILAKUKAN SKRINING PENDENGARAN PADA BAYI ? Skrining pendengaran bayi sudah harus dimulai sebelum pulang dari rumah sakit ( 2 hari ). Bila kelahiran terjadi di fasilitas lainnya , skrining sudah harus dilakukan selambat lambatnya pada usia 1 bulan.

FAKTOR RISIKO TERHADAP GANGGUAN PENDENGARAN / KETULIAN

Menurut American Joint Committee on Infant Hearing Statement (1994 ) pada bayi usia 0 28 hari beberapa faktor berikut ini harus dicurigai terhadap kemungkinan gangguan pendengaran

Riwayat keluarga dgn tuli kongenital ( sejak lahir Infeksi pranatal : TORCH ( Toksoplasma, Rubela, Cytomegalo virus, Herpes ) Kelaianan anatomi pada kepala leher Sindrom yg berhubungan dgn tuli kongenital. Berat badan lahir rendah (BBLR) < 1500 gram Meningitis bakterialis Hiperbilirubinemia ( bayi kuning) yang memerlukan transfusi tukar Asfiksia berat ( lahir tidak menangis) Pemberian obat ototoksik Mempergunakan alat bantu napas /ventilasi mekanik lebih dari 5 hari (ICU)

Bila dijumpai 1 faktor risiko terdapat kemungkinan mengalami gangguan pendengaran 10,1 kali lebih besar dibandingkan yang tidak memiliki faktor risiko. Kemungkinan terjadinya ketulian meningkat menjadi 63 kali bila terdapat 3 faktor risiko. Namun beberapa penelitian melaporkan bahwa dari sejumlah bayi yang mengalami ketulian hanya sekitar 40 - 50 % saja yang memiliki faktor risiko.

PEMERIKSAAN APA YANG DILAKUKAN PADA SKRINING PENDENGARAN BAYI? Menurut ketentuan dari American Joint Committee of Infant Hearing (2000) baku emas (gold standart) untuk skrining pendengaran bayi adalah pemeriksan :

Oto Acoustic Emission ( OAE ) Automated BERA ( AABR )

TINDAK LANJUT SETELAH SKRINING PENDENGARAN Bayi yang tidak lulus skrining harus di rujuk untuk pemeriksaan audiologi lengkap termasuk pemeriksaan OAE, ABR, timpanometri, refleks akustik dan behavioral Audiometry, sehingga dapat dipastikan ambang pendengaran pada kedua telinga dan lokasi lesi auditorik. Pemeriksaan harus diupayakan memperoleh ambang pendengaran masing masing frekuensi ( spesific frequency). Salah satu kekurangan pemeriksaan BERA click adalah tidak diperolehnya informasi ambang pendengaran dengan frekuensi spesifik, karena hanya berupa average frequency antara 2.000 4.000 Hz; sehingga perlu dilanjutkan dengan pemeriksaan BERA tone burst pada frekuensi rendah Diagnostik pasti adanya gangguan pendengaran pada bayi idealnya pada saat bayi berusia 3 bulan.

Bising (noise) adalah suara yang tidak menyenangkan atau tidak diharapkan. Bunyi yang dihasilkan dari mainan dan permainan anak juga dapat menimbulkan bising sekalipun anak sangat mengharapkan bunyi tersebut. Bising yang melebihi ambang pendengaran dan berlangsung dalam waktu yang cukup lama serta berulang-ulang dapat menyebabkan gangguan pendengaran yang menetap, Gangguan pendengaran yang terjadi akibat terpapar bising dikenal sebagai gangguan pendengaran akibat bising.

Bagian sistim pendengaran yang menerima dampak negatif bising adalah koklea (rumah siput) yang perannya teramat penting sebagai sensor bunyi dari luar. Bagian bagian koklea juga berperan dalam mendistribusikan stimulus bunyi dari luar berdasarkan frekuensi yang spesifik, mulai dari frekuensi tinggi dibagian basal sampai dengan frekuensi rendah pada bagian apex (puncak) koklea. Selain itu koklea juga berfungsi untuk merubah enerji akustik menjadi enerji listrik untuk diteruskan pada jaras pendengaran yang lebih tinggi. Bagian koklea yang menerima dampak langsung dari bising ada sel sel rambut luar ( outer hair cells).

Pada tahun 2006 U.S.National Hearing Conservation Association menyatakan bahwa sekitar 12.5% anak anak berusia 6 19 tahun di AS mengalami gangguan pendengaran akibat bising (Noise Induced Hearing Loss/ NIHL). Data lain melaporkan angka kejadian gangguan pendengaran akibat pemaparan bising pada kelompok usia 12 19 tahun mencapai 15.5%. Meskipun penyebab pasti masih dalam penelitian namun para pakar memperkirakan faktor mainan dan permainan perlu diperhitungkan dampaknya. Para peneliti di University of California pada tahun 2007 telah membuat peringkat 16 mainan anak yang paling populer sekaligus memiliki risiko pemaparan bising bagi pendengaran anak dengan kisaran bising antara 85 106 dB, peringkat pertama dan kedua adalah mainan yang bernama Jammin Guitar dan Cheetah Girls. Risiko lain juga diperoleh oleh anak yang lebih besar, yang telah dapat menikmati berbagai jenis permainan di game zone yang tersedia pada berbagai mal di kota besar.

Bising Dari Alat Pemutar Rekaman Saat ini ancaman lain untuk pendengaran anak dan remaja adalah penggunaan alat pemutar rekaman seperti Walkman, MP3 player, CD player dan iPOD yang mempunyai volume maksimum antara 100 115 dB.. Pengguna alat pemutar rekaman ini menerima intensitas suara musik secara efisien dan langsung ke dalam telinga melalui ear phone tanpa mengganggu lingkungannya. Teknologi memungkinkan perangkat musik ini dibawa kemana saja dalam keadaan terpasang. Selain itu juga dapan menyimpan ribuan judul lagu di dalamnya. Keunggulan tersebut memungkinkan penggunaannya dimana saja dan kapan saja tanpa mengganggu mobilitas maupun aktivitas lainnya. Kenyamanan tersebut menyebabkan waktu paparan bertambah lama sehingga risiko gangguan pendengaran

menjadi lebih besar. Volume yang ideal untuk mendengar musik dari alat pemutar rekaman adalah 60% dari volume maksimum untuk penggunaan total 60 menit/ hari. Bila menggunakan lebih dari 60 % volume maksimum, waktu penggunaan harus kurang dari 1 jam/hari. Salah satu cara untuk dapat mendengar suara musik dengan volume yang aman - tanpa terganggu suara lingkungan - adalah dengan menggunakan earphone khusus yang memiliki fasilitas noise canceling (SONY, Panasonic, BOSE ) sehingga suara dari luar tidak masuk ke dalam telinga. Atau cara yang lebih murah dengan earphone yang dilengkapi sound isolating ( Shure, Etymotic) yang dapat mengurangi suara dari lingkungan sekitar. TIP MENGHIDARI TERPAPAR BISING DARI SUARA MAINAN

Pilih mainan/permainan yang bunyinya tidak melebihi 80 - 85 dB Atur agar jarak mainan/ permainan minimal 30 cm dari telinga Hindari berada terlalu lama dilingkungan zona permainan yang bising Batasi waktu untuk mendengar bunyi mainan tidak lebih dari 10 menit

TIPS PENGGUNAAN ALAT PEMUTAR REKAMAN YANG AMAN ( CD/ MP3 Player; iPOD)

Atur volume saat berada di rumah atau ditempat yang sepi ( jangan ditempat bising) Atur volume sedemikian rupa sehingga masih dapat mendengar percakapan Volume yang ideal adalah 60% dari volume maksimum untuk penggunaan total 60 menit/ hari. Bila menggunakan lebih dari 60 % volume maksimum, kurangi total waktu penggunaan Pilih pemutar rekaman yang dilengkapi pembatas bising (noise limiter) Manfaatkan software khusus (iPOD edisi 2006 keatas ) untuk mengunci volume maksimum

Kebisingan kota-kota besar di Indonesia sudah melewati ambang batas, sehingga tidak hanya menyebabkan gangguan pendengaran dan ketulian, tetapi juga membahayakan kesehatan fisik dan psikis masyarakat maupun lingkungan secara umum, terlihat dari fakta-fakta sebagai berikut: Angka gangguan pendengaran telah mencapai 16,8 % dari jumlah penduduk Indonesia. 10,7 % anggota masyarakat yang melakukan aktivitas di sekitar jalan raya di Jakarta (pedagang kaki lima, polisi lalu lintas, tukang parkir, tukang koran, dan lain-lain) mengalami gangguan pendengaran akibat bising. Pekerja pabrik baja usia 30-46 tahun, 61,8 % mengalami gangguan pendengaran akibat bising.

Kebisingan di jalan raya kota-kota besar Indonesia telah mencapai 80 dB (desibel), sementara ambang batas yang diperkenankan hanya 70 dB. Kebisingan di banyak mal dan fasilitas rekreasi keluarga telah mencapai 90-97 dB, sementara ambang batas yang diperkenankan hanya 70 dB. Perubahan perilaku menjadi mudah marah dan agresif, sehingga menjadi pemicu tindak kekerasan yang kerap terjadi di ruang-ruang publik ditengarai sebagai akibat dari kebisingan.

Hal tersebut diakibatkan oleh makin meningkatnya sumber-sumber polusi kebisingan di sekitar kita, antara lain: Meningkatnya jumlah kendaraan bermotor di kota-kota besar (di Jakarta saat ini jumlah kendaraan bermotor hampir sama dengan jumlah penduduknya). Penggunaan perangkat pengeras suara di ruang-ruang publik (mal, tempat rekreasi keluarga, tempat-tempat ibadah, bandara, terminal bis dan kereta api yang tidak mengindahkan ambang batas kebisingan serta penataan akustik dari bangunan yang tidak memenuhi syarat. Gaya hidup masa kini (penggunaan alat-alat teknologi yang menghasilkan kebisingan) yang tidak bijaksana dan tidak memperhitungkan risiko gangguan pendengaran, seperti stereo system, knalpot modifikasi, balap motor liar, pemutar rekaman digital, telpon genggam, peralatan rumah tangga elektronik, dan lain-lain. Aktivitas masyarakat yang meningkat dari waktu ke waktu di berbagai bidang, sehingga tingkat kebisingan lingkungan juga meningkat, misalnya pada malam hari sekalipun, saat ini sulit menemukan kawasan yang hening. Kegiatan konstruksi di kawasan-kawasan tertentu (pemukiman, sekolah, rumah sakit, dan lainlain) yang tidak mengindahkan peraturan yang berlaku. Kegiatan industri (kecil, menengah maupun besar) yang berada di sekitar kawasan pemukiman dan tidak mengindahkan peraturan yang berlaku.

Bencana besar sudah dapat dibayangkan di masa depan: Rendahnya kualitas hidup masyarakat karena kebisingan yang makin menggila. Masyarakat yang kacau batinnya sehingga menimbulkan sikap agresif dan kekerasan di manamana.

Manusia Indonesia yang sehat lahir, batin dan sejahtera seperti dicita-citakan tidak akan pernah tercapai.

Oleh karena itu dibutuhkan upaya-upaya intensif oleh berbagai pihak untuk menanggulanginya segera dalam rangka meningkatkan kualitas hidup manusia Indonesia. Untuk itu Masyarakat Bebas-Bising didirikan, sebuah kelompok masyarakat yang terdiri dari individu, organisasi dari berbagai disiplin, yang seluruh kegiatannya ditujukan untuk meningkatkan kesadaran dan prakarsa masyarakat serta kepedulian pihak pengambil keputusan untuk bersama-sama menanggulangi masalah tersebut.

Beberapa kegiatan yang segera akan dilakukan oleh Masyarakat Bebas-Bising antara lain: 1. Kampanye publik mengenai bahaya dari polusi kebisingan, baik bagi individu maupun masyarakat dan lingkungan secara umum. 2. Mendesak pemerintah untuk segera melengkapi kebijakan atau regulasi serta meningkatkan pengawasan pelaksanaan peraturan yang sudah ada, dalam rangka mewujudkan lingkungan bebas bising dan perlindungan masyarakat. 3. Menggerakkan keterlibatan masyarakat secara luas untuk bersama-sama mewujudkan lingkungan bebas bising, kesehatan dan kenyamanan masyarakat.

Masyarakat Bebas-Bising percaya bila ada kemauan dan kerja akan ditemukan solusi, sebab ada cukup pengetahuan dan pengalaman yang dapat dimanfaatkan. Mendengar sangat penting untuk Hidup Sehat, Bahagia dan Sejahtera. Pendengaran adalah salah satu fungsi Panca Indera yang diperlukan untuk mempertahankan hidup dan memberikan makna untuk menjalani hidup. Maka mampu mendengar itu merupakan karunia yang sangat berharga dan harus dipelihara. Betapa banyak hal-hal yang bisa dinikmati dalam hidup dengan mendengar, tanpa mendengar sulit menjalin hubungan dengan sesama, berbicara dan mendengarkan, berbagi rasa dan saling memahami. Bila bisa mendengar dengan baik, lebih banyak bisa belajar untuk bekal hidup dan kelak kemudian hari lebih baik untuk bekerja dan menikmati hidup ini. Remaja biasanya gemar musik, tiada hari tanpa musik . Betapa indahnya hidup yang dipenuhi oleh musik, dan untuk menikmatinya butuh pendengaran yang baik. Namun sedikit sekali disadari oleh masyarakat dan remaja pada khususnya bahwa kenikmatan mendengar musik itu bisa merupakan ancaman pula terhadap gangguan pendengaran dan bahkan bisa menimbulkan ketulian menetap. Bilamana pendengaran berkurang, mana mungkin mendengarkan suara merdu

dan hilang segala peluang untuk meraih sukses dan mendapatkan hidup bahagia sejahtera. Dikarenakan hal itu perlu menumbuhkan kesadaran remaja untuk memelihara pendengarannya. Remaja Peduli untuk Tidak Tuli. Telinga merupakan alat pendengaran yang sangat canggih, dan karenanya perlu dijaga baik dan dipelihara agar tetap berfungsi dengan baik. Bising atau suara yang terlampau keras dapat merusak alat dalam telinga yang canggih itu. Sehari-hari kemampuan telinga untuk mendengar cukup pada kekuatan suara dibawah 80 decibel dimana bisa mendengar dengan aman sepanjang hari. Bising sangat mengganggu pendengaran dan bisa menjadi pusing . Selain itu, gangguan kejiwaan berupa stress, sulit tidur dan sulit konsentrasi. Semakin besar volume suara, semakin keras suaranya, semakin pendek waktu yang dibolehkan untuk terpapar dengan suara tersebut. iPod generation Selain gemar musik keras dengan suara keras, ada tren remaja diseluruh dunia untuk menikmati suara musik sendiri dengan iPod dan tanpa disadari menimbulkan suatu masalah yang meluas. Musik sepanjang hari dengan volume suara bisa melebihi 90 decibel dan maksimal 120 decibel !!! Akibatnya terjadi kerusakan organ telinga dalam yang disebut rumah siput (koklea) yang menimbulkan gangguan fungsi pendengaran. Kerusakan itu terjadi pada saraf pendengaran yang sifatnya permanen dan tidak bisa diobati , gejalanya pada awalnya seringkali tidak diketahui. Para pekerja pabrik yang bising suaranya mencapai 85 decibel diwajibkan mengenakan pelindung telinga. Sebaliknya remaja memasukkan suara itu langsung kedalam telinganya. Dengan volume 90 decibel seperti halnya suara pesawat jet diliang telinga selama berjam-jam. Lebih dari itu bagaikan suara ledakan bom yang merusak organ pendengaran dan berakibat tuli permanen. Bagaimana Masa Depan Anak dan Remaja di Indonesia ? Anak-anak terutama dikota-kota besar semenjak kecil dengan gaya hidup modern sudah terpapar suara keras dirumah dengan menonton TV atau suara musik keras dari kakaknya yang remaja. Pada usia balita ketika bermain di mal-mal terpapar dengan suara bising yang melebihi batas aman. Data yang dihimpun dari 10 kota besar di Indonesia, menunjukkan bahwa kebisingan di mal-mal mencapai 90-97,9 decibel. Padahal pekerja industri harus mengenakan pelindung telinga atau hanya boleh ditempat itu selama 1-2 jam saja. Sedangkan anak balita yang sangat rentan dan peka organ rumah siputnya dibiarkan tanpa perlindungan dan dalam waktu lama . Setelah mulai sekolah mulai terpapar dengan suara bising kendaraan dijalan ketika berangkat dan pulang dari sekolah. Sesudah itu tetap terpapar dengan TV dengan suara keras dan semakin panjang waktunya. Menginjak usia remaja mulai menyukai musik suara keras dikamarnya , menikmati dari walkman dan semakin banyak yang gemar iPod tersebut tanpa menyadari apa bahayanya. Belum lagi pertunjukan musik remaja dan pesta yang suaranya gegap-gempita yang memekakkan telnga dan deru kendaraan motor dijalan raya sepanjang hari. Semuanya itu akan mempercepat proses menjadi tuli sebelum tua dimasa depannya nanti.

Kebisingan itu sangat mengganggu kesehatan, dapat mengganggu prestasi belajar dan ketika mencapai usia 30-40 tahun kemungkinan sudah terjadi gangguan pendengaran. Bila bekerja di industri yang bising atau tempat perdagangan yang ramai akan semakin menambah ganguan pendengarannya. Dan akibatnya akan mudah marah dan stress dan gangguan emosional lainnya serta gangguan sosial dalam berkomunikasi. Suara musik indah tidak lagi bisa dinikmati dikarenakan kurangnya pendengaran, mengeraskan suaranya akan menambah gangguan pendengaran sehingga pada akhirnya timbul kesal dan kekecewaan. Di Amerika gangguan pendengaran semakin meningkat, kini ada 28 juta orang menderita gangguan pendengaran, dan diperkirakan menjadi 78 juta di tahun 2030. Sebanyak 5,2 juta anak Amerika usia 6-19 tahun menderita gangguan pendengaran, disebut iPod generation. Mengapa kita mengikuti tren itu itu? Kita tidak ingin Anak Indonesia yang memiliki masa depan menjadi tuli pada usia 30-40 tahun, saat harus membangun bangsa. Padahal biasanya seseorang mengalami tuli usia tua (presbikusis) pada usia 60-70 tahun, bukan tuli dini pada usia 30-40 tahun akibat kebisingan suara. Bagaimana memakai iPod agar aman?

JANGAN TERLALU KERAS: Volume tidak lebih dari 80 decibel, atau 50-60% dari volume maksimal. Lebih dari itu sudah membahayakan pendengaran.

JANGAN TERLALU LAMA: Lama mendengarkan tidak lebih dari -1 jam, istirahat dulu agar alat pendengaran itu tidak capek, baru mulai lagi.

Dalam rangka menumbuhkan kesadaran dikalangan remaja, pada Hari Sadar Bising 27 April 2011 akan diluncurkan Kampanye Remaja Peduli untuk Tidak Tuli dari, oleh dan untuk Remaja dan adik-adiknya yang tercinta. Masyarakat Bebas Bising bersama Komite Nasional Penanggulangan Gangguan Pendengaran Pesan mengajak remaja untuk ikut serta sebagai relawan yang peduli Sebelum Budek, Rehatkan Telinga dari Suara Bising (Vera Farah Bararah-detikHealth) Polusi suara hampir tidak mungkin dihindari. Tak hanya suara keras, kebisingan tingkat rendah secara terus menerus akan menurunkan kemampuan dengar. Istirahatkan telinga dari suara-suara bising sebelum budek datang.

Psikolog lingkungan Dr Arline Bronzaft mengatakan makin hari manusia semakin dibanjiri oleh suara-suara. Bukan hanya suara keras yang bisa membuat sakit pendengaran seseorang, tapi juga suara-suara biasa saja yang secara konstan terdengar oleh manusia sepanjang hari.

Dia mengatakan tingkat kebisingan rendah yang terus menerus (kronis) juga bisa menimbulkan masalah kesehatan bagi telinga.

"Dalam 30 tahun terakhir tingkat kebisingan telah meningkat tajam. Hal ini tidak saja mengganggu ketenteraman, tapi juga mempengaruhi kehidupan dan kesehatan sehari-hari," ujar Dr Bronzaft, seperti dikutip dari CBCNews, Rabu (28/4/2010).

Bronzaft menjelaskan ada banyak penelitian yang menunjukkan hubungan antara kebisingan tingkat rendah yang terjadi secara terus menerus dapat mempengaruhi kesehatan.

Kebisingan dalam skala rendah pun bisa memicu sakit kepala, mudah lelah, stres, insomnia, tekanan darah tinggi, masalah jantung dan pencernaan, gangguan sistem kekebalan tubuh, perilaku agresif dan masalah belajar anak-anak.

Suara apa yang merusak telinga?

Para ahli sepakat kebisingan terus menerus yang terjadi di atas 85 desibel akan merusak pendengaran seseorang. Semakin tinggi intensitasnya, maka semakin cepat waktu yang dibutuhkan untuk merusak pendengaran.

Kehilangan pendengaran biasanya terjadi secara bertahap dan tanpa rasa sakit. Gejala mulai kehilangan pendengaran antara lain setelah mendengar suara keras, biasanya telinga akan berdengung atau kesulitan mendengar.

Hal ini disebut dengan ambang pergeseran sementara, setelah beberapa jam atau hari biasanya akan kembali normal. Tapi jika terjadi berulang-ulang, maka pergeseran sementara ini bisa berubah menjadi permanen.

Sebelum kehilangan pendengaran, ada beberapa tanda yang bisa menjadi peringatan dini. Tandatanda tersebut seperti dikutip dari CHCHearing.org adalah:

Timbul suara berdengung (tinnitus) di telinga segera setelah terpapar kebisingan. 1. Kesulitan untuk memahami pembicaraan. Seseorang bisa mendengar semua kata-kata yang diucapkan, tapi tidak dapat mengerti semuanya. 2. Telinga seperti tertutup setelah terkena paparan suara. Tidak ada kata terlambat untuk mencegah kehilangan pendengaran akibat suara-suara bising. Mulailah mengistirahatkan telingan dengan cara:

1. Sebisa mungkin mengecilkan volume suara yang didengar atau dihasilkan. 2. Menghindari atau mengurangi batas waktu berada dalam tempat yang bising seperti konser musik rock atau klub malam. 3. Usahakan untuk menggunakan pelindung pendengaran jika harus berada di lingkungan yang bising. 4. Menghentikan sementara penggunaan headphone. 5. Menghindari penggunaan headphone untuk meredam suara bising di luar seperti kereta atau lalu lintas. 6. Gunakanlah volume yang pintar 'smart volume' dalam menggunakan MP3 player.

16 FAKTA MENARIK MENGENAI GANGGUAN PENDENGARAN oleh Ikarowina Tarigan (media indonesia.com / hidup sehat) HILANGNYA pendengaran atau ketulian tidak hanya terjadi pada orang lanjut usia, tapi bisa dialami manusia dari segala usia. Untuk menambah pemahaman Anda, berikut beberapa fakta lainnya mengenai gangguan pendengaran.

1. Lebih 90 persen anak-anak yang tuli lahir dari orangtua dengan pendengaran normal. 2. Sekitar 30 hingga 40 persen orang-orang berusia di atas 65 menderita beberapa tipe gangguan pendengaran. 3. Sekitar 14 persen dari mereka yang berusia 45 hingga 64 menderita beberapa tipe gangguan pendengaran. 4. Sekitar 15 persen anak-anak usia enam hingga 19 mengalami hilangnya pendengaran yang bisa diukur, paling tidak di salah satu telinga. 5. Hilangnya pendengaran terjadi pada lima dari 1.000 bayi baru lahir.

6. Paparan kebisingan kereta api bawah tanah (subway), 15 menit saja sehari namun berkelanjutan, bisa menyebabkan gangguan pendengaran permanen. 7. Alat bantu dengar menawarkan perbaikan dramatis pada sebagian besar orang dengan gangguan pendengaran. 8. Gangguan pendengaran ringan bisa menyebabkan anak ketinggalan 50 persen diskusi di kelas. 9. Mendengarkan MP3 player dengan volume tinggi bisa menyebabkan gangguan pendengaran permanen seiring waktu. 10. Dengan deteksi dini dan pelayanan tepat, anak-anak yang tuli bisa megembangkan keterampilan berkomunikasi dengan kecepatan yang sama seperti teman mereka dengan pendengaran normal. 11. Kebisingan merupakan salah satu penyebab utama hilangnya pendengaran. 12. Tinnitus (bunyi dering di telinga) menyerang 50 juta orang di Amerika Serikat. 13. Tes pendengaran sebaiknya dilakukan sejak bayi. 14. Orang-orang dengan gangguan pendengaran rata-rata menunggu tujuh tahun sebelum mencari bantuan. 15. Hanya 16 persen dokter yang secara rutin memeriksa hilangnya pendengaran. 16. Satu dari tiga orang yang berusia di atas 65 mengalami beberapa tingkat gangguan pendengaran Anak-anak sekolah SD terutama kelas 1-3 sering menderita kotoran telinga yang keras dan menyumbat telinga sehingga mereka mengalami gangguan pendengaran. Komnas PGPKT telah memeriksa 25 sekolah SD di wilayah Tanggerang, Bekasi dan Krawang mendapatkan total diperiksa sekitar 5,827 anak dengan kotoran telinga 1 sisi 55,82% dan kotoran telinga dua sisi 27,41%. Jadi hampir sepertiga anak alami sumbatan ke 2 telinga dengan akibat terjadi gangguan pendengaran yang tentunya berpengaruh terhadap proses belajarnya.

Hal serupa juga dialami siswa-siswa sekolah dasar di seluruh Indonesia, sesuai dengan data dari profesi dokter THT Indonesia (Perhati-KL) pada pemeriksaan anak SD di beberapa kota besar di Indonesia. Diharapkan para orang tua dan guru bisa waspada dan tidak segera menganggap anak-anak yang kurang pandai sebagai anak yang bodoh, mungkin sekali mereka hanya sekedar tidak mendengar dengan baik. Pemeriksaan cukup mudah, dianjurkan guru atau orang tua memeriksa lubang telinga anak dengan senter, jika mendapatkan lubang tertutup oleh kotoran yang biasanya

berwarna coklat kehitaman, maka bawalah anak ke puskesmas atau dokter (sebaiknya dokter THT) agar kotoran dapat dibersihkan. Selanjutnya anak bisa lebih pandai karena bisa mendengar pelajaran sekolah dengan lebih baik.

Marilah para orang tua, guru dan anggota masyarakat yang berminat pada kesehatan anak, agar bisa bersama-sama turun tangan melindungi anak-anak balita dan remaja kita dari hal-hal yang menyebabkan mereka mengalami ketulian permanen agar masa depan mereka yang kita harapkan gemilang menjadi anak bangsa yang dibanggakan dapat tetap tercapai. Gangguan pendengaran pada anak bukan sekedar masalah kesehatan tetapi mempunyai dampak yang berat karena menyangkut gangguan komunikasi, penyulit dalam pendidikan, gangguan kemampuan bersosialisasi dan merendahnya produktifitas ekonomi.

Data WHO mengenai angka gangguan pendengaran dan ketulian sungguh mengejutkan. Pada tahun 2005 diperkirakan sekitar 275 juta (4,2%) penduduk dunia menderita gangguan pendengaran dan setengahnya berada di Asia Tenggara termasuk Indonesia yang mempunyai prevalensi ketulian cukup tinggi yaitu 4,6%, dan angka ini meningkat terus akibat pelayanan kesehatan yang rendah dan akses ke pelayanan gangguan pendengaran terbatas.

Data Indonesia berdasarkan Survei Kesehatan Indera Penglihatan dan Pendengaran (1994-1996) menunjukan morbiditas tinggi, penyakit telinga 18.5 %, prevalensi gangguan pendengaran 16,8 % sedangkan ketulian pada 0,4.% populasi dan paling tinggi di kelompok usia sekolah (7-18 tahun). Selanjutnya data WHO menyebutkan bayi lahir tuli (tuli kongenital) berkisar 0,1-0,2% dengan risiko gangguan komunikasi dan akan menjadi beban keluarga, masyarakat dan bangsa. Dengan angka kelahiran di Indonesia sekitar 2,6% maka setiap tahunnya akan ada 5200 bayi tuli di Indonesia. Bayi lahir tuli merupakan kelainan terberat, karena anak bisa belajar bicara melalui proses meniru kata-kata yang didengarnya. Jika tidak mendengar maka anak tidak bisa bicara dan berkomunikasi, selanjutnya tidak bisa belajar dan menjadi warga yang terbelakang.

Ancaman saat ini adalah bising di area publik seperti tempat hiburan anak di mal-mal dan pada remaja akibat pemakaian iPod berlebihan dengan risiko gangguan pendengaran dan mempercepat timbulnya tuli presbikusis yang biasa timbul pada orang tua umur 70 tahun menjadi timbul pada usia 40 tahun.

Komite Nasional Penanggulangan Gangguan Pendengaran dan Ketulian (Komnas PGPKT) dibentuk Departemen Kesehatan RI berdasarkan SK.Menkes RI No. 768/Menkes/SK/VII/2007, telah mengetarai bahwa bising di tempat main anak di mal-mal bervolume tinggi sehingga diperkirakan bisa menyebabkan gangguan pendengaran pada anak-anak termasuk balita serta remaja yang sering memanfaatkan tempat main tersebut sebagai tempat rekreasi. Untuk itu Komnas PGPKT mengukur nilai desibel dari kebisingan di berbagai tempat main anak di mal-mal beberapa kota di Indonesia.

Cara Pengukuran Alat pengukur yang dipakai adalah alat Mini Sound Level Meters dengan spesifikasi Level Range antara 30-130 desibel (dB) Tempat pengukuran adalah di dalam tempat main anak di sebelas tempat di Indonesia yaitu di Denpasar, Jakarta (3 tempat), Cikarang, Surabaya, Makassar, Padang, Palembang, Medan, Bandung, Sorong. Tiga tempat di Jakarta adalah dua mal di Jakarta Selatan dan satu mal di Jakarta Utara. Hasil pengukuran didokumentasi dalam foto dan video. Pengukuran dilaksanakan sejak Juli 2009 sampai dengan November 2010

Hasil Pengukuran Semua tempat mempunyai nilai kebisingan yang diatas 90 dB. Bahkan ada beberapa tempat yang sudah mendekati 100 dB

Kesimpulan Bising di tempat kerja yang sudah ada peraturannya yaitu dari Menaker (SK Menaker 1999), yang menyatakan bahwa ambang batas bising yang berbahaya menyebabkan ketulian adalah sebesar 85 dB, maka pekerja diharuskan memakai proteksi telinga seperti ear plug, ear muff dan lain-lain pada kebisingan senilai 85 dB dan diatasnya. Jika tidak memakai alat proteksi telinga maka ada pembatasan lama pajanan perhari atau jam:

80 dB maksimal 24 jam, 82 dB maksimal 16, 85 dB maksimal 8 jam, 88 dB maksimal 4 jam, 91 dB maksimal 2 jam, 94 dB maksimal 1 jam, 97 dB maksimal 30 menit, 100 dB maksimal 15 menit

Dengan hasil terendah pengukuran sebesar 91,6 dB, maka anak hanya boleh bermain selama 2 jam, tetapi jika kebisingan mencapai 97 dB, maka anak hanya boleh bermainmain di tempat tersebut selama jam saja yang tentunya tidak akan memuaskan bagi si anak.

Jenis ketulian yang terjadi adalah di frekuensi 4000 hertz sehingga awalnya tidak mengganggu dalam percakapan sehari-hari yang berada difrekuensi lebih rendah yaitu 250-500 dB. Selanjutnya akan terjadi penurunan pada semua frekuensi dan jika ini dirasakan, biasa berselang setelah 5-10 tahun, maka ketuliannya bersifat permanen dan tidak dapat diobati. Tempat main anak di mal-mal ini memang sangat menarik, warna warni yang cerah dan segar serta mencolok mata, sangat menarik bagi anak-anak. Tidak heran jika tempat ini saat akhir minggu dipenuhi oleh balita, anak-anak dan remaja. Keberadaan tempat ini sebagai tempat hiburan bagi anak-anak dan remaja harus disokong tetapi tentu harus diberi rambu-rambu berupa peraturan pemerintah untuk mengendalikan bising di tempat tersebut. Diharapkan pemerintah segera mengetahui dan membuat regulasi yang bersifat melindungi masyarakat terutama yang masih balita, anak-anak dan remaja dari bahaya bising yang dapat menyebabkan ketulian. Cara mudah uji pendengaran : dari http://health.kompas.com/read/2008/03/31/12283819/Cara.Mudah.Uji.Pendengaran Untuk mencari tahu tentang ini, berikut adalah kuisioner yang dibuat oleh American Academy of Otolaryngology - Head and Neck Surgery yang dapat Anda kerjakan selama kurang lebih lima menit saja. Jawaban yang bisa Anda berikan adalah hampir selalu (A), 50 persen (H), kadangkadang (O) dan tidak pernah (N).

1. Saya mengalami masalah pendengaran ketika menelepon. 2. Saya sulit mengikuti percakapan dengan dua orang atau lebih sekaligus. 3. Orang mengeluh karena saya menyetel televisi dengan volume yang terlalu tinggi.

4. Saya bersusah payah memahami percakapan 5. Saya tidak mendengar bunyi-bunyi umum yang biasanya saya dengar, misalnya dering telepon atau bel pintu. 6. Saya sulit menangkap percakapan di latar belakang yang bising misalnya di tempat pesta. 7. Saya bingung soal tempat asal suara. 8. Saya salah menangkap beberapa kata dalam kalimat dan harus meminta agar kata-kata mereka diulang. 9. Saya terutama sulit memahami pembicaraan wanita dan anak-anak. 10. Saya pernah bekerja di lingkungan yang bising (di pabrik perakitan, di tempat konstruksi, dekat mesin pesawat dan sebagainya). 11. Saya mendengar dengan baik --- apabila orang berkata dengan jelas. 12. Orang menjadi marah karena saya tidak memahami yang mereka katakan. 13. Saya salah memahami perkataan orang lain dan karena itu memberikan tanggapan yang keliru. 14. Saya menghindar dari pergaulan karena tidak dapat mendengar dengan baik dan takut salah menjawab. Untuk dijawab oleh teman atau salah seorang anggota keluarga : 15. Apakah menurut Anda ia mengalami masalah pendengaran ?

Cara Penilaian

Beri tiga poin untuk setiap jwaban hampir selalu, dua poin untuk setiap jawaban 50 persen dan satu poin untuk setiap jawaban kadang-kadang serta nol untuk setiap jawaban tidak pernah.

Skala penilaian 0 sampai 5 = pendengaran Anda baik

6 sampai 9 = Anda dianjurkan memeriksakan diri ke spesialis telinga hidung dan tenggorokan (THT) 10 ke atas = Anda sangat dianjurkan memeriksakan diri ke spesialis telinga, hidung, tenggorokan (THT).

TIBA-TIBA setiap orang di sekitar Anda seperti bergumam dan saling berbisik. Mungkinkah ini karena Anda tengah mengalami masalah pendengaran?

Bising adalah suara yang tidk diharapkan, menggangu Gangguan pendengaran yg disebabkan pajanan bising yang cukup keras ( > 85 dB) dalam jangka waktu yang cukup lama. Umumnya akibat bising di lingkungan kerja. Saat ini : rumah tangga, permainan, musik ( Music Induced Hearing Loss / MIHL )

PENGARUH BISING TERHADAP KESEHATAN 1. Gangguan pendengaran / NIHL 2. Gangguan Kesehatan lain

Stress : Peningkatan hormon stress: nor-epineprin, cortisol perubahan irama jantung dan tekanan darah. Hipertensi dan penyakit Kardiovaskular Gangguan tidur : usia > 18 tahun , radius 25 Km dari Bandara Schiphol (Amsterdam): 31 % gangguan tidur BB Lahir rendah , Prematur : Rehm - Jansen : prematur akibat bising Bandara Duseldorf - Jerman

PERAN KOKLEA (rumah siput) DALAM PROSES MENDENGAR Sensor suara yang masuk : distribusi frekuensi / nada ( dipilah pilah) Mengubah energi akustik menjadi energi listrik, bias dihantarkan ke otak melalui saraf pendengaran

EFEK AUDITORIK

(1)Adaptasi : Intensitas 70 dB ; pulih dalam waktu 0.5 detik (2)Temporary Threshold Shift (TTS)

Peningkatan ambang dengar sementara Intensitas minimum 75 dB Stimulus efektif : 2 6 KHz Perubahan metabolik (koklea) Pemulihan : menit ----- jam Perbaikan struktur sel rambut koklea dlm 48 jam Perbaikan gagal ------- Permanent Threshold Shift / PTS

(3) Permanent Threshold Shift / PTS


Proses pemulihan TTS tidak lengkap. Pajanan singkat, intensitas sangat tinggi Pajanan berulang,intensitas tinggi (> sering) Kerusakan sel-sel rambut koklea meluas ke serabut saraf pendengaran

PENGARUH BISING TERHADAP ORGAN TELINGA Perubahan pada koklea(rumah siput) telinga:

(1) Mikrotrauma

Stereosilia (Sel rambut dalam + Sel rambut luar/ paling dipengaruhi) Sementara (TTS): kekakuan stereosilia + respons Permanen(PTS) : kematian stereosilia Berat : kerusakan total organ corti, degenerasi saraf pendengaran, jaringan parut nukleus auditorius batang otak

(2) Perubahan vaskular, kimia dan metabolik koklea


WHO (1988) 8 -12 % penduduk dunia menerima dampak bising Denmark : GPAB : 28 / 100.000 penduduk USA pekerja terpapar 9 juta ( 1981) menjadi 30 juta ( 1990) Jerman : 12 15 % pekerja GPAB. Daniel N.FKUI,2005:102 pekerja industri baja, usia 30 46 thn, 61.8 % GPAB Morioka Pref. /Jepang ( 1993) : 37 remaja penggemar rock : tinitus/berdenging; 30 diantaranya GPAB.

GPAB remaja Norwegia: 12 % (1981) menjadi 22 % (1988) 40 pekerja 5 disko S pura, 22.7 jam / minggu: 41.9 % GPAB Bangkok : 29.06 % motor & Tuk-tuk; bising > 85 dB. Rofii,A.FKUI,1996: pekerja jalan raya (Jakarta) 10,71 % GPAB

INTENSITAS DAN WAKTU PAJANAN BISING YANG DIPERKENANKAN ( SK Menaker RI No 51/1999 ) Pajanan bising maksimum 85 dB, 8 jam/hari; 40 jam/minggu tanpa APP( alat pelindung pendengaran) Intensitas/Waktu( jam/ hari) 80 dB maksimal pajanan 24 jam 82 dB maksimal pajanan 16 jam 85 dB maksimal pajanan 8 jam 88 dB maksimal pajanan 4 jam 91 dB maksimal pajanan 2 jam 94 dB maksimal pajanan 1 jam 97 dB maksimal pajanan jam 100 dB maksimal pajanan 1/4 jam Three decibel doubling rate: Setiap penambahan intensitas 3 dB, waktu pajanan berkurang 50 %

Daily Permissible Noise Level Exposure U.S. Department of Labor Occupational Safety & Health Administration (OSHA) Jam/hari 8 6 ------Sound Level (dB) 90 92

4 3 2 1.5 1 0.5 0.25

95 97 100 102 105 110 115

GEJALA GPAB

Pendengaran berkurang ( berangsur ) Telinga berdenging ( tinnitus ) Sulit memahami percakapan dgn kekerasan biasa. Sulit memahami percakapan di lingkungan bising ( background noise) Distorsi kualitas suara ( musik )

Intensitas (dB) -------------------------Waktu (tahun) 115 105 100 95 1 3 10 20

Am. National Standart Institute(ANSI)


Pajanan 88 dB-10 tahun : peningkatan ambang 9 dB Pajanan 95 dB - 10 tahun : 15 dB Grant (2005)* peningkatan ambang 25 dB 4 KHz

GANGGUAN BISING LAIN


Transportasi Rumah Tangga Musik Alat Komunikasi/Gadget Permainan anak

S.Gold, PhD,Dept of Communicative Disorders at Tennessee State University the noise level of six different types of appliances in ten different kitchens

Appliances Loudness : AverageRange Level Loudness(dB SPL*) blender with ice : 83.482 - 85.0 blender w/ water : 80.977 - 86.5 dishwasher : 65.444 - 78.0 electric mixer : 75.071 - 80.0 pop-up toaster : 66.658 - 84.5 stove fan : 65.152 - 76.5 vacuum cleaner : 81.168 Mengapa telinga TERSUMBAT? Bagaimana perjalanan udara menyebabkan masalah pendengaran? Bagaimana membantu bayi membuka blokir telinga mereka? dan lain-lain... Masalah telinga adalah keluhan medis yang paling umum dari wisatawan pesawat, dan sementara mereka biasanya sederhana, gangguan kecil, mereka kadang-kadang mengakibatkan rasa sakit sementara dan gangguan pendengaran.

Mengapa telinga rasa penuh seperti tersumbat/ tertutup ?

Biasanya, menelan menyebabkan bunyi klik sedikit atau suara muncul di telinga. Ini terjadi karena gelembung udara kecil telah memasuki telinga tengah, naik dari bagian belakang hidung. Melewati tabung Eustachius, sebuah tabung berlapis membran seukuran pensil yang menghubungkan bagian belakang hidung dengan telinga tengah. Udara di telinga tengah terusmenerus diserap oleh lapisan membran dan kembali dipasok melalui tabung Eustachius. Dengan cara ini, tekanan udara pada kedua sisi gendang telinga tetap seimbang. Jika, dan ketika, tekanan udara tidak sama telinga terasa tersumbat.

Tabung Eustachius dapat diblokir, atau terhambat, karena berbagai alasan. Ketika itu terjadi, tekanan telinga tengah tidak dapat disamakan. Udara sudah ada diserap dan vakum terjadi, mengisap gendang telinga dalam dan peregangan. Seperti gendang telinga tidak dapat bergetar secara alami, sehingga suara yang teredam atau diblokir, dan peregangan bisa menyakitkan. Jika tabung tetap diblokir, cairan (seperti serum darah) akan merembes ke daerah itu dari membran dalam upaya untuk mengatasi vakum. Ini disebut "cairan di telinga," otitis serosa atau aero-otitis.

Penyebab paling umum untuk tabung Eustachio diblokir flu biasa. Infeksi sinus dan alergi hidung juga penyebab. Sebuah hidung tersumbat mengarah ke telinga tersumbat karena selaput membengkak sehingga memblok pembukaan tuba Eustachius.

Bagaimana Perjalanan Udara Penyebab Masalah Pendengaran?

Perjalanan udara kadang-kadang dikaitkan dengan perubahan yang cepat dalam tekanan udara. Untuk menjaga kenyamanan, tabung Eustachius harus membuka sering dan cukup lebar untuk menyamakan perubahan dalam tekanan. Hal ini terutama terjadi ketika pesawat itu mendarat, pergi dari tekanan atmosfer yang rendah lebih dekat ke bumi di mana tekanan udara lebih tinggi.

Sebenarnya, setiap situasi di mana ketinggian atau tekanan yang cepat perubahan terjadi menciptakan masalah. Ini mungkin dialami ketika naik lift atau saat menyelam ke dasar kolam renang. Penyelam laut dalam, serta pilot, diajarkan bagaimana menyamakan tekanan telinga mereka. Siapa saja dapat mempelajari trik ini juga.

Cara membuka blok Telinga?

Menelan mengaktifkan otot yang membuka tabung Eustachius. Anda menelan lebih sering ketika Anda mengunyah permen karet atau permen biarkan meleleh di mulut Anda. Ini adalah praktek udara yang baik perjalanan, terutama sesaat sebelum take-off dan selama pendaratan . Menguap adalah bahkan lebih baik. Hindari tidur selama pendaratan, karena Anda mungkin tidak menelan cukup sering untuk menjaga dengan perubahan tekanan. (Pramugari akan senang untuk membangunkan Anda sebelum mendarat).

Jika menguap dan menelan tidak efektif, jepit hidung tertutup, mengambil seteguk udara, dan mengarahkan udara ke bagian belakang hidung seolah-olah mencoba untuk meniup hidung lembut. Telinga telah berhasil dibuka ketika pop adalah mendengar. Hal ini mungkin harus diulang beberapa kali selama pendaratan. Bahkan setelah mendarat, melanjutkan tekanan menyamakan teknik dan penggunaan dekongestan dan semprotan hidung. Jika telinga gagal untuk membuka atau jika sakit terus berlanjut, mencari bantuan dari dokter yang memiliki pengalaman dalam perawatan gangguan telinga. Para dokter THT mungkin perlu untuk melepaskan tekanan atau cairan dengan sayatan kecil di gendang telinga.

Bagaimana Membantu Bayi Aktifkan Telinga mereka?

Bayi tidak bisa sengaja membuka "sumbat" telinga mereka, tetapi muncul dapat terjadi jika mereka menghisap botol atau dot. Makan bayi Anda selama penerbangan, dan jangan biarkan bayi tidur selama pendaratan. Anak-anak sangat rentan terhadap penyumbatan karena mereka Eustachius tabung sempit dibandingkan orang dewasa.

Apakah Penggunaan Dekongestan dan Semprotan Hidung Fitur?

Banyak penumpang pesawat udara berpengalaman menggunakan pil dekongestan atau semprot hidung satu jam atau lebih sebelum pendaratan. Hal ini akan mengecilkan membran dan membantu telinga terbuka lebih mudah. Wisatawan dengan masalah alergi harus minum obat mereka pada awal penerbangan untuk alasan yang sama. Namun, menghindari kebiasaan semprotan hidung, karena semprot hidung jangka waktu lama akan menyebabkan sumbatan hidung yang lebih berat.

Tablet dekongestan dan semprotan dapat dibeli tanpa resep dokter. Namun, mereka harus dihindari oleh orang-orang dengan penyakit jantung, tekanan darah tinggi, irama jantung yang tidak teratur, penyakit tiroid, atau kegugupan yang berlebihan. Orang tersebut harus berkonsultasi dengan dokter mereka sebelum menggunakan obat ini. Wanita hamil juga harus berkonsultasi dengan dokter mereka terlebih dahulu.

Tips untuk Mencegah Ketidaknyamanan Selama Perjalanan Udara Konsultasikan dengan dokter bedah Telinga mengenai berapa lama setelah operasi telinga itu aman untuk terbang. Menunda perjalanan pesawat jika dingin, infeksi sinus, atau serangan alergi hadir. Pasien dalam kesehatan yang baik dapat mengambil pil dekongestan atau semprot hidung sekitar satu jam sebelum turun untuk membantu telinga pop lebih mudah. Hindari tidur selama pendaratan. Mengunyah permen karet atau mengisap permen keras sesaat sebelum take-off dan selama pendaratan. Ketika menggembungkan telinga, jangan menggunakan kekerasan. Teknik yang tepat hanya melibatkan tekanan yang diciptakan oleh pipi dan otot-otot tenggorokan. Konsultasikan dengan dokter THT sebelum terbang, apalagi jika Anda baru menjalani operasi telinga.

Anda mungkin juga menyukai