Anda di halaman 1dari 26

Jurnal Ilmiah Keimigrasian merupakan media ilmiah bidang kebijakan keimigrasian

berupa hasil penelitian dan kajian, tinjauan, wacana ilmiah dan artikel. Terbit dua kali
setahun pada bulan Maret dan Oktober

Pelindung : Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia RI


Penasehat : Direktur Jenderal Imigrasi
Pembina : Kepala BPSDM Hukum dan HAM
Penanggung Jawab : Direktur Politeknik Imigrasi
Redaktur : Kepala Pusat Penelitian dan Pengabdian Masyarakat
Mitra Bestari : Prof. Hikmahanto Juwana, S.H., L.L.M., Ph.D.
Prof. Dr. M. Iman Santoso, S.H., M.H., M.A.
Prof. Dr. Faisal Santiago, S.H., M.M.
Dr. Muhammad Indra, S.H., M.H.
Dr. Taswem Tarib, S.H., M.H.
Dr. Asep Kurnia, S.H., M.M.
Dr. M. Akbar Adinugroho, S.H., M.H.
Dr. Ir. Edy Santoso, S.T., M.ITM., M.H.
Dr. Arisman, S.T., M.M.
Agus Majid, M.P.A., Ph.D.
Fidelia Fitriani, M.P.A.
Akhmad Khumaidi, M.P.A.
Editor Pelaksana : Andry Indrady, M.P.A., Ph.D.
M. Alvi Syahrin, S.H., M.H., C.L.A.
Ridwan Arifin, S.S., M.Hum.
Intan Nurkumalawati, M.P.A.
Agung Purnomo S, M.P.A
Sri Kuncoro Bawono, M.P.A.
Alih Bahasa : Mila Rosmaya, S.S., M.Hum.
Design Grafis : Wilonotomo, S.Kom., M.Si.
Sekretaris Redaksi : Nurul Vita, S.Sos., M.Si.
Rasona Sunara Akbar, S.P.d, M.M.
Bobby Briando, S.E., M.S.A.

Alamat Redaksi
Jalan Raya Gandul Cinere Nomor 4 Kota Depok
Telepon / Faximile : (021) 753 00001
Email : jurnal.keimigrasian@gmail.com

i
DAFTAR ISI

5. Studi Kritis Kepentingan Indonesia dalam Proses Ratifikasi Konvensi


Tahun 1951 dan Protokol Tahun 1967 (M. Alvi Syahrin & Surya Pranata) ... Hal 49 - 62

ii
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah Subhanahu Wa Ta’ala atas segala nikmat, rahmat, karunia dan
perlindungan yang telah diberikan kepada Tim Redaksi untuk menyelesaikan penerbitan jurnal ini.
Shalawat serta salam semoga selalu tercurahkan kepada Uswatun Hasanah, Nabi Muhammad
Shallallahu ‘alaihi Wa sallam, beserta keluarga, sahabat yang telah menyampaikan ajaran tauhid,
sehingga membawa umat manusia beranjak dari zaman jahiliyah ke zaman hijriyah.

Untuk pertama kalinya, Politeknik Imigrasi menerbitkan Jurnal Ilmiah Kajian Keimigasian
(JIKK) dalam Volume 1 Nomor 1 Agustus 2018. JIKK merupakan media ilmiah yang diterbitkan
Politeknik Imigrasi secara berkala yang bertujuan sebagai sarana pengembangan kegiatan penelitian
dan pengabdian masyarakat bagi dosen, peneliti, maupun praktisi keimigrasian.

Dalam edisi pertama ini, JIKK memuat 15 (lima belas) tulisan yang mengutamakan karya-karya
ilmiah berupa hasil penetlitian / pemikiran ilmiah dari berbagai kalangan keimigrasian. Tema yang
dibahas meliputi: persoalan di Tempat Pemeriksaan Imigrasi Laut dan Udara, Pengawasan
Keimigrasian, Tindak Pidana Keimigrasian, Kejahatan Transnasional, Anomali Kebijakan Pengungsi
Indonesia, Penerbitan Paspor RI, Izin Tinggal dan Status Keimigrasian, serta Manajemen dan
Pengembangan SDM Keimigrasian.

Diharapkan dari hasil penerbitan JIKK ini dapat bermanfaat bagi pemangku kepentingan sebagai
bahan hukum regulasi dan non regulasi berupa kebijakan dalam pengembangan hukum dan
penyusunan peraturan perundang-undangan keimigrasian.

Kami menyampaikan terima kasih kepada para penulis yang telah memberikan kepercayaan
kepada JIKK untuk menerbitkan hasil karyanya. Akhirnya, kami menyampaikan ucapan terima kasih
kepada Direktur Politeknik Imigrasi yang telah berkenan membantu dalam penerbitan JIKK ini. Kami
juga mengucapkan terima kasih kepada Mitra Bestari yang telah bersedia membantu memeriksa dan
mengoreksi tulisan dari para penulis dalam penerbitan ini.

Salam Takzim,
Depok, Oktober 2018

Tim Redaksi

iii
STUDI KRITIS KEPENTINGAN INDONESIA DALAM PROSES RATIFIKASI
KONVENSI TAHUN 1951 DAN PROTOKOL TAHUN 1967
(Critical Studies of Indonesia’s Interest in Ratification Process of
the 1951 Convention and 1967 Protocol)

M. Alvi Syahrin
Kepala Pusat Penelitian dan Pengabdian Masyarakat
Politeknik Imigrasi
ma.syahrin@gmail.com

Surya Pranata
Dosen Program Studi Hukum Keimigrasian
Politeknik Imigrasi

ABSTRACT
The increasing number of refugees each year has caused the government difficulties in handling
refugee issues. The absence of law concerning refugees in Indonesia has caused weak coordination
between related institutions in field. In this paper will discuss what the urgency, relevance, and
obstacles faced by Indonesia in the process of ratification of the 1951 Convention and 1967
Protocol. The research method used in this paper is qualitative normative legal research method with
deductive logical thingking. The urgency to ratify this Convention can strengthen the human rights
institutions in the country, although this is not the only indicator for good human rights
implementation. It is because some human rights norms are in fact also regulated in domestic
legislation in the current reform era this. Indonesia can not exclude the existence of the International
Convention on Human Rights. Even it is necessary to bring the domestic and international factors
closer. The relevance to ratify this Convention will enhance the international accountability of a
country through a more objective and civilized way. Meanwhile, in terms of legal technical
considerations, the ratification will strengthen and enrich the national legal instruments so that it
will better ensure the progress and protection of human rights better. Ratification can even be a
shortcut to bring closer the existing gap between legal instruments at the international and national
levels. Obstacles faced are categorized into two aspects, namely the security and legal aspects. The
security aspect caused by refugees is often seen as a threat to the state. While the legal aspects of the
law are caused by the absence of comprehensive rules in regulating the refugees and asylum seekers
in positive law in Indonesia that can weaken the coordination between agencies in the field. As a
law-based country that highly appreciate human rights, ratification of The 1951 Refugee Convention
and 1967 Protocol must be a priority. Both instruments are relevant, since the substance are not only
heavily loaded with regulation about human rights but also in line with cultural values and norms in
Indonesia. As such, the process of ratification needs to consider the country readiness, in terms of
technical, political and legal aspects, since those aspects are sometimes challenging. On this matter,
ratification is expected to narrow the gap between national and international instruments of law.
Keywords: The 1951 Convention, The 1967 Protocol, Asylum Seekers, Refugees

49
ABSTRAK
Meningkatnya jumlah pengungsi setiap tahun telah menyebabkan kesulitan pemerintah dalam
menangani masalah pengungsi. Ketiadaan undang-undang tentang pengungsi di Indonesia telah
menyebabkan lemahnya koordinasi antar instansi terkait di lapangan. Dalam tulisan ini akan dibahas
apa urgensi, relevansi, dan kendala yang dihadapi oleh Indonesia dalam proses ratifikasi Konvensi
1951 dan Protokol 1967. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode
penelitian hukum normatif kualitatif dengan penalaran logis deduktif. Urgensi untuk meratifikasi
Konvensi ini dapat memperkuat lembaga-lembaga hak asasi manusia di negara ini, meskipun ini
bukan satu-satunya indikator untuk pelaksanaan hak asasi manusia yang baik. Itu karena beberapa
norma HAM sebenarnya juga diatur dalam peraturan domestik di era reformasi saat ini. Indonesia
tidak dapat mengesampingkan keberadaan Konvensi Internasional tentang Hak Asasi Manusia.
Bahkan perlu untuk membawa faktor domestik dan internasional lebih dekat. Relevansi untuk
meratifikasi Konvensi ini akan meningkatkan akuntabilitas internasional suatu negara melalui cara
yang lebih obyektif dan beradab. Sementara itu, dalam hal pertimbangan teknis hukum, ratifikasi
akan memperkuat dan memperkaya instrumen hukum nasional sehingga akan lebih menjamin
kemajuan dan perlindungan hak asasi manusia dengan lebih baik. Ratifikasi bahkan bisa menjadi
jalan pintas untuk mendekatkan kesenjangan yang ada antara instrumen hukum di tingkat
internasional dan nasional. Hambatan yang dihadapi dikategorikan menjadi dua aspek, yaitu aspek
keamanan dan hukum. Aspek keamanan yang disebabkan oleh pengungsi sering dilihat sebagai
ancaman terhadap negara. Sedangkan aspek hukum dari undang-undang tersebut disebabkan oleh
tidak adanya aturan yang komprehensif dalam mengatur para pengungsi dan pencari suaka dalam
hukum positif di Indonesia yang dapat memperlemah koordinasi antar lembaga di lapangan. Sebagai
negara berbasis hukum yang sangat menghargai hak asasi manusia, ratifikasi Konvensi Pengungsi
1951 dan Protokol 1967 harus menjadi prioritas. Kedua instrumen itu relevan, karena substansi tidak
hanya sarat dengan regulasi tentang hak asasi manusia tetapi juga sejalan dengan nilai-nilai dan
norma-norma budaya di Indonesia. Dengan demikian, proses ratifikasi perlu mempertimbangkan
kesiapan negara, dalam hal aspek teknis, politik dan hukum, karena aspek-aspek tersebut terkadang
menantang. Dalam hal ini, ratifikasi diharapkan akan mempersempit kesenjangan antara instrumen
hukum nasional dan internasional.
Kata Kunci: Konvensi Tahun 1951, Protokol Tahun 1967, Pencari Suaka, Pengungsi

PENDAHULUAN masalah yang dialami oleh etnis-etnis


minoritas Myanmar lainnya.
Akhir-akhir ini di berbagai media baik
cetak maupun elektronik banyak pemberitaan Rohingya adalah sebutan bagi kaum
tentang eksodus pengungsi Rohingya dari minoritas muslim yang berasal dari kawasan
Myanmar. Pemberitaan mengenai masalah Arakhan di sebelah Barat Myanmar. Kawasan
pengungsi Rohingya ini memang tidak seluas tersebut sangat terpencil dan berbatasan
pemberitaan atas masalah yang sama yang langsung dengan Bangladesh. Penduduk di
dialami oleh etnis-etnis minoritas lain, kawasan tersebut umumnya berasal dari
misalnya etnis Karen yang juga memperoleh keturunan Arab yang hijrah ke wilayah
perlakuan yang sama buruknya dari Junta tersebut sejak masa kekaisaran Mughal,
Militer Myanmar. Meskipun demikian, setelah Kekasiaran muslim yang pernah berkuasa di
ditelusuri ternyata masalah kekerasan terhadap sub kontinen India pada tahun 1526-1858.
etnis Rohinya tidak kalah buruk dengan

50
Ciri-ciri orang Rohingya terlihat dari kelompok etnis Rohingya selama ini
tampillan fisik, bahasa, dan budaya yang mengalami tekanan sosial, budaya, ekonomi,
menunjukkan kedekatan orang-orang dan pengabaian hak-hak dasar mereka.
Rohingya dengan masyarakat Asia Selatan,
Sekalipun kekerasan itu dilakukan
khusunya orang-orang Chitagonian. Dalam
terhadap warga muslim, maka pengatasannya
perjalanan waktu sejak Myanmar dikuasai
harus dilakukan dalam kerangka yang netral
oleh Junta Militer, orang-orang Rohingya
dengan berprinsip pada persoalan
menjadi sasaran dari berbagai bentuk
kemanusiaan. Mengutip pendapat Yusuf Kalla
kekerasan dan tindakan lain yang melanggar
dalam harian Kompas pada tanggal 4 Agustus
HAM mereka. Banyak diantara mereka yang
2012, maka tindakan yang dilakukan oleh
dipekerjakan secara paksa untuk membangun
Myanmar adalah pelanggaran HAM berat, dan
jalan dan kamp militer, dianiaya dan kaum
pemerintah Myanmar harus membuka akses
perempuan menjadi korban perkosaan.1
bagi lembaga-lembaga bantuan kemanusiaan
Pemerintah Myanmar yang harusnya untuk masuk ke Arakan, nama lain dari
bertanggung jawab terhadap orang-orang Rakhine, yang terletak di kawasan perbatasan
Rohingya malah mengambil sikap yang Myanmar dan Bangladesh.
terbalik dan membiarkan nasib orang
Masalahnya adalah baik Myanmar
Rohingya dalam kondisi memilukan.
maupum Bangladesh adalah dua negara yang
Akibatnya, sampai saat ini masih terjadi
tertutup. Oleh karena itu, OKI, PBB, dan
gelombang pelarian dan pengungsian dari
ASEAN diharapkan aktif memberikan tekanan
orang Rohingya yang menyebar ke berbagai
diplomatik kepada Myanmar. Hal ini
negeri, termasuk juga ke Indonesia. Kondisi
disebabkan sudah ribuan warga etnis
yang demikian menyebabkan orang-orang
Rohingya terkena dampak kekerasan dan
Rohingya dan juga orang-orang dari etnis
berakibat banyak warga yang meninggal,
minoritas lain yang berasal dari wilayah
mengungsi, dan kehilangan kewarganegaraan.
Myanmar lain menjadi “stateless citizen”
(penduduk yang kehilangan status Belajar dari kasus Rohingya tersebut,
kewarganegaraan). terdapat banyak persoalan yang dapat diambil
manfaatnya, mengingat sampai saat ini
Dalam perkembangannnya Organisasi
Indonesia belum menjadi pihak pada
Konferensi Islam, (OKI), sebuah organisasi
Konvensi Tahun 1951 tentang Pengungsi dan
internasional yang anggotannya adalah Negara
Protokol Tahun 1967. Padahal dari hari ke
Islam atau negara yang mayoritas
hari jumlah pengungsi yang masuk ke
penduduknya beragama Islam (termasuk
Indonesia semakin banyak yang mau tidak
Indonesia) mendesak komunitas internasional
mau akan menjadi beban bagi Pemerintah
untuk segera memberikan tekanan politik
Indonesia.3
kepada pemerintah Myanmar terkait adanya
kekerasan dan diskriminasi terhadap etnis Persoalan pengungsi merupakan masalah
Rohingya di negara bagian Rakhine, yang sama tuanya dengan peradaban manusia.
Myanmar.2 Sebagai warga minoritas,
3 Jawa Pos, “Puluhan Imigran Gelap Tertangkap
1 Disarikan dari berbagai sumber antara lain Di Bajul Mati”, Jawa Pos, 19 Juli 2012, hlm.
dikutip dari 1 dan 15 (Puluhan imigran gelap asal Timur
http//indiesblog.wordpress.com/2009/02/14/t Tengah dan Asia Selatan ditangkap di Pantai
entang-rohingya, diakses pada hari Jumat Bajul Mati, Malang Selatan, Jawa Timur.
(18/05/2018), Pukul 13.19 WIB. Mereka hendak mencari suaka ke Australia.
2 Kompas, “OKI Serukan Tekanan Pol”, Surat Sementara itu ada juga para pencari suaka
Kabar Kompas, 4 Agustus 2012, hlm. 8. ditangkap di Sukabumi, Jawa Barat).
51
Dalam pengertian umum pengungsi adalah kewenangan untuk memberikan penentuan
seseorang atau sekelompok orang yang karena status pengungsi atau yang biasa disebut
alasan tertentu terpaksa meninggalkan daerah dengan “Refugee Status
asal mereka menuju wilayah lain baik di Determination”(RSD), sehungga pengaturan
negaranya sendiri maupun negara lain. Pada permasalah mengenai pengungsi ditetapkan
dasarnya masalah pengungsi tersebut, oleh UNHCR sesuai dengan mandat yang
merupakan masalah humaniter dan ditangani diterima berdasarkan Statuta UNHCR Tahun
dengan prinsip-prinsip humaniter pula. Dalam 1950. Semua negara termasuk yang belum
hal pengungsi sebagai akinbat adanya natural meratifikasi Konvensi Pnegungsi wajib
disaster, maka penangannya dapat dikatakan menjunjung tinggi standar perlindungan
sederhana, karena kebutuhan utama mereka pengungsi yang telah menjadi bagian dari
dalah tempat tinggal dan kebutuhan dasar hukum internasional umum, karena konvensi
ditempat mereka pergi untuk menyelamatkan tersebut sudah menjadi jus cogens, dan tak
diri, sampai mereka dapat kembali lagi ke seorang pengungsi pun dapat dikembalikan ke
daerah asalnya karena kondisinya sudah wilayah dimana hidup atau kebebasannya
memungkinkan. Dalam hal ini, pertolongan terancam.5
(relief) dan bantuan (assistance) yang
Keterkaitan dengan hukum internasional
diutamakan adalah makanan, air, pakaian,
ini dapat dijadikan dasar untuk
sanitasi, kesehatan, dan sebaginya. Sedangkan
menggolongkan kriteria kepentingan
pengungsi akibat dari human made disaster
internasional Indonesia dalam proses ratifikasi
terutama yang menjadi korban gangguan terus
itu nantinya, yang pada dasarnya kepentingan
menerus terhadap pribadi atau kebebasan
nasional itu memenuhi kriteria hukum dan
fundamental mereka, atau persekusi
moral. Salah satu klasifikasi kepentingan
(persecution), karena ras, warna kulit, asal,
nasional lain adalah kepentingan sekunder
etnis, agama, golongan sosial, atau opini
(secondary interest), yang didalamnya
politik mereka, dan mencari keamanan dan
meliputi perlindungan terhadap warga negara
keselamatan serta keselamatan di luar negara
yang berada di luar negeri dan mendukung
asalnya, pada dasarnya juga tetap merupakan
kekebalan para diplomat bangsa.6 Dalam
persoalan humaniter dan ditangani secara
tulisan ini akan dibahas apa yang menjadi
humaniter pula.4 Orang-orang semacam ini
urgensi, relevansi, dan kendala bagi Indonesia
tidak saja memerlukan pertolongan (relief),
dalam meratifikasi Konvensi 1951 dan
dan bantuan (assistance) bagi kelangsungan
Protokol 1967.
hidup mereka, melainkan juga kebutuhan vital
lainnya, yakni perlindungan internasional atau
international protection, mengingat meraka METODE PENELITIAN
tidak lagi memperoleh perlindungan nasional
dari pemerintah asal negara mereka. 1. Pendekatan

Dengan belum menjadi pihak Konvensi Jenis pendekatan yang digunakan adalah
Tahun 1951 dan Protokol 1967, maka penelitian hukum normatif yang bersifat
pemerintah Indonesia juga tidak mempunyai
5 Atik Krustiyati, Aspek Hukum Internasional
Penyelesaian Pengungsi Timor Leste,
4 Enny Soeprapto, “Prinsip-Prinsip Dasar (Disertasi Program Pasca Sarjana Universitas
Hukum Pengungsi Internasional Sebuah 17 Agustus 1945), Surabaya, 2009.
Catatan”, (Makalah disampaikan dalam 6 Thomas W. Robinson dalam Rosenau, James,
Seminar Hukum Pengungsi Internasional), International Politics and Foreign Policy: A
UNHCR bekerjasama dengan Fakultas Reader on Research And Theory, New York:
Hukum Universitas Surabaya, 28 Juli 2000. The free Press, 2011, hlm 184-184.
52
kualitatif. Maksudnya adalah penelitian yang segera mungkin dilakukan karena
menggambarkan, menjelaskan, menganalisis, pertimbangan yang penting.9 Persoalan
serta mengembangkan konstruksi hukum berikutnya adalah mengapa harus segera
permasalahan yang diteliti.7 diambil langkah penting, bagaimana caranya,
serta hal-hal apa yang harus dipersiapkan
2. Metode Pengumpulan Data
sebelum langkah tersebut diambil. Dalam
Pengumpulan bahan-bahan hukum konteks hukum pengungsi beberapa persoalan
dilakukan dengan mengidentikasi dan tersebut akan dikaji dari Konvensi Pengsungsi
menginventarisasi peraturan perundang- Tahun 1951 dan Protokol 1967.
undangan, meneliti bahan pustaka (tulisan dan
Sebelum menjadi pihak pada Konvensi
hasil karya ilmiah), dan sumber-sumber bahan
1951 dan atau Protokol 1957, ada baiknya
hukum lainnya yang ada relevansinya dengan
melihat hak apa saja yang dipunyai oleh
isu hukum dalam penelitian ini.
pengungsi, agar dapat dipertimbangkan
3. Teknik Analisa Data apakah suatu negara khususnya pemerintah
Teknik analisa isu hukum (legal issue) Indonesia mampu memenuhi hak tersebut
dalam penelitian ini menggunakan logika ataukah tidak. Beberapa hal tersebut antara
berpikir campuran. Maksudnya penalaran lain:
(hukum) yang merupakan gabungan dari pola 1. Kebebasan memperaktekkan agama dan
berpikir induktif (inductive) dan deduktf pendidikan agama bagi anak-anak
(deductive ) dalam persoalan hukum faktual pengungsi (Pasal 4);
yang konkrit. Proses yang terjadi dalam logika
2. Hak atas milik bergerak dan tidak
berpikir campuran adalah abstraksi (hukum),
bergerak (Pasal 13);
nilai-nilai hukum, asas-asas hukum, konsep-
konsep hukum, dan norma-norma hukum yang 3. Hak berserikat (Pasal 15);
dirumuskan secara umum dalam aturan-aturan
4. Hak berswakarya (Pasal 18);
hukum positif, kemudian dikonkritisasi
(dijabarkan) dan diterapkan guna penyelesaian 5. Hak menjalankan profesi liberal (Pasal
persoalan hukum konkrit yang dihadapi, 19);
begitu juga seterusnya secara bolak-balik 6. Hak atas pendidikan (Pasal 22);
dalam proses campuran.8
7. Hak atas kondisi kerja yang layak dan
jaminan sosial (Pasal 24);
PEMBAHASAN 8. Kebebasan berpindah tempat (Pasal 26).
I. Urgensi dalam Ratifikasi Konvensi Mencermati beberapa hak tersebut diatas,
Pengungsi 1951 dan Protokol 1967 maka yang tidak boleh direservasi adalah
Berbicara tentang urgensi sering diartikan ketentuan Pasal 4. Pasal-pasal lain yang tidak
sebagai suatu pengambilan langkah yang boleh dilakukan reservasi, dapat dilihat dalam
ketentuan Pasal 42 Konvensi 1951, yaitu:
7 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, 1. Definisi istilah pengungsi (Pasal 1);
Jakarta: Kencana Prenada Media Group,
2. Non-diskriminasi (Pasal 3);
2015, hlm. 35.
8 Yudha Bhakti Ardhiswastra, Penafsiran dan 3. Kebebasan beragama (Pasal 4);
Konstruksi Hukum, Bandung: Alumni, 2018,
hlm. 9; Saut P. Panjaitan, Dasar-Dasar Ilmu
Hukum: Asas, Pengertian, dan Sistematika, 9 A.S. Hornby, Oxford Advanced Learners
Palembang, Penerbit Universitas Sriwijaya, Dictionary of Current English, Oxford:
2014, hlm. 158-159. University Press, 2014, hlm. 947.
53
4. Akses ke pengadilam (Pasal 6 ayat 1); waktu dan geografis dari Konvensi 1951. Oleh
karena itu dalam perkembangannya telah
5. Non-refoulement (Pasal 33);
dirancang dan disepakati suatu Protokol
6. Klausula akhir (Pasal 36-46). tambahan terhadap Konvensi tentang Status
Permasalahan tentang bagaimana caranya Pengungsi tersebut, yakni Protokol 1967.12
menitikberatkan pada epistomologi karena Dari segi subtstansinya, apabila dicermati
mengandung makna metode atau cara untuk Konvensi 1951 dan Protokol 1967 tentang
mendapatkan pengetahuan untuk mendapatkan pengungsi merupakan perangkat internasional
sumber jawaban bagi berbagai masalah.10 HAM. Adanya instrument internasional itu
Sedangkan J. Sudarminto menyatakan bahwa merupakan salah satu aspek dalam memajukan
sebagai cabang filsafat, epistomologi perlindungan HAM. Hal ini antara lain
bermaksud mengkaji dan mencoba disebabkan oleh kondisi, bahwa negara
menemukan ciri umu dan hakiki dari mempunyai peran yang besar dalam
pengetahuan manusia. Bagaimana menyuarakan kepentingan nasional pada saat
pengetahuan itu pada dasarnya diperoleh dan proses negosiasi dan penyusunan suatu
diuji kebenarannya. Selain itu juga bermaksud perangkat internasional hak asasi manusia
mengkaji pengandaian-pengandaian dan serta pada saat proses transformasi perangkat
syarat-syarat logis yang mendasari tersebut ke dalam huukm nasional yang
dimungkinkannya pengetahuan dan mencoba mengikat melalui ratifikasi atau aksesi.
memberi pertanggungjawaban rasional
Dengan memeperhatikan substansi dari
terhadap klaim kebenaran dan
Konvensi 1951 dan Protokol 1967 ini berarti
objektifitasnya.11
melihat nilai yang terkandung di dalamnya
Konvensi 1951 merupakan titik awal dari dan juga kegunaanya. Dari aspek aksiologi
setiap pembahasan mengenai persoalan membicarakan nilai kegunaan ilmu yang
pengungsi. Konvensi ini merupakan salah satu berusaha menjawab: untuk apa ilmu
dari dua perangkat Konvensi pengungsi yang pengetahuan itu dipergunakan, bagaimana
lain, yakni Protokol 1967. Dalam beberapa hal kaitan antara cara penggunaan dengan kaedah
Konvensi ini dipandang sebagai pembuka moral, bagaimana penentuan yang ditelaah
jalan, karena pertama kalinya dalam sejarah, berdasarkan pilihan moral, bagaimana kaitan
sebuah konvensi telah memberikan definisi antara teknik prosedural yang merupakan
umum entang seorang pengungsi. Konvensi operasionalisasi prosedural dengan norma-
1951 dirancang pada akhir Perang Dunia II, norma moral.13
dan definisi tentang pengungsi yang
Ratifikasi dapat memperkuat pranata
dirumuskan didalamnya difokuskan kepada
HAM di dalam negeri, walaupun hal ini bukan
orang-orang yang berada diluar wilayah
satu-satunya indikator bagi impelentasi HAM
negara asalnya dan menjadi pengungsi sebagai
yang baik, sebab sebagian norma HAM
akaibat dari peristiwa yang terjadi di Eropa
sebetulnya juga sudah diatur dalam
sebelum tanggal 1 Januari 1951. Sehubungan
perundang-undangan domestik pada era
persoalan pengungsi semakin menungkat pada
reformasi saat ini. Indonesia tidak dapat
akhir tahun 1950 dan awal tahun 1960, maka
mengesampingkan begitu saja keberadaan
dipandang perlu untuk memperluas cakupan

10 Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah 12 Sigit Riyanto, “Urgensi Legislasi Hukum
Pengantar Populer, Jakarta: Pustaka Sinar Pengungsi dan Kendalanya di Indonesia”,
Harapan, 2013, hlm. 104. Jurnal Hukum Internasional, Vol. 2, No. 1
11 J. Sudarminto, Epistomologi Dasar, Jakarta: Oktober 2004.
Kanisius, 2006, hlm. 18. 13 Jujun S. Suriasumantri, Op.cit., hlm. 224.

54
Konvensi Internasional tentang HAM. Bahkan pemerintah dengan dasar pemikiran yang
dirasa perlu untuk mendekatkan faktor dapat dipertanggungjawabkan.15
domestik dan internasional. Kebutuhan
Ratifikasi Konvensi 1951 dan Protokol
mendekatkan faktor domestik dan
1967, harus dilakukan dalam bentuk undang-
internasional ini semakin menguat tatkala
undang sebenarnya sejalan dengan apa yang
pada tahun 1993 berdiri Komisi Nasional
dituntut dalam konvensi itu. Konvensi tersebut
HAM. Terlebih lagi setelah Indonesia
mengatur perlindungan HAM. Sehubungan
mempunyai Undang-Undang No. 39 Tahun
dengan hal ini maka pembuatan dan
1999 tentang HAM, Undang-Undang No. 37
pengesahan suatu perjanjian internasional
Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri,
harus dilakukan dengan dasar yang kuat,
Undang-Undang No. 24 Tahun 2000 tentang
dengan menggunakan instruman perundang-
Perjanjian Internasional, Undang-Undang No.
undangan yang jelas, khususnya yang diatur
26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM,
dalam Undang-Undang No. 24 Tahun 2000
yang lingkup kewenangannya adalah
tentang Perjanjian Internasional. Ketentuan
memeriksa dan memutuskan perkara
inilah yang digunakan sebagai dasar hukum
pelanggaran HAM berat. Oleh karenanya,
pemerintah Indonesia dalam membuat dan
kebutuhan mendekatkan faktor domestik dan
mengesahkan suatu perjanjian Internasional.
harapan masyarakat internasional merupakan
hal yang tidak dapat ditawar lagi.14 Ratifikasi suatu perangkat internasional
HAM akan meningkatkan internasional
Dalam menanggapi naskah yang diajukan
accountability dari suatu negara melalui cara
oleh pemerintah untuk dimintakan
yang lebih obyektif dan beradab. Tindakan
persetujuannya DPR tidak sebebas
berupa laporan negara pihak dalam Komite
menanggapi sebuah rancangan biasa, karena
Pemantau (treaty monitoring bodies), secara
naskah tersebut (Konvensi 1951 dan Protokol
tertutup dan tidak melalui cara-cara yang tidak
1967) sudah disepakati bersama oleh wakil-
beradab, yakni public humuliation, dari
wakil negara peserta bahkan juga sudah
politisasi yang berlebihan seperti dalam
dilakukan autentifikasi. Jika sebuah perjanjian
Sidang Hak-Hak Asasi Manusia PBB.
internasional secara yurudis formal masih
Sedangkan dari segi pertimbangan teknis
merupakan rancangan undang-undang karena
hukum, ratifikasi akan memperkuat dan
masih memerlukan persetujuan Dewan
memperkaya perangkat hukum nasional
Perwakilan Rakyat (DPR). Sedangkan
sehingga akan lebih menjamin kemajuan dan
beberapa negara telah mengikatkan diri dan
perlindungan HAM secara lebih baik.
bahkan telah memberlakukan, maka
Ratifikasi bahkan dapat menjadi jalan pintas
kebebasan mengubah naskah perjanjian oleh
untuk lebih mendekatkan kesenjangan yang
DPR dapat dikatakan tidak ada lagi, atau
ada antara perangkat hukum pada tataran
dengan kata lain DPR tidak dapat
internasional dan nasional.
menggunakan hak amandemennya. Dalam
keadaan yang demikian DPR hanya dalam II. Relevansi dalam Ratifikasi Konvensi
posisi memilih saja, yaitu menyetujui naskah Pengungsi 1951 dan Protokol 1967
yang sudah ada tersebut, atau menolak Dalam menentukan keputusan untuk
memberikan persetujuan. Tentunya pilihan ini meratifikasi perangkat internasional, harus
dilakukan setelah mendengar pertimbangan
15 Atik Krustiyati, “Penanganan Pengungsi
Timor Leste Sebagai Upaya Peningkatan
14 Syahrin, M.A., et al. 2018. Legal Impacts of Hubungan Bilateral Antara Indonesia dan
The Existence of Refugees and Asylum Timor Leste”, Jurnal Yustika, Vol. 11, No. 1
Seekers in Indonesia. IJCIET, 9(5). Juli 2008.
55
melihat berbagai pertimbangan, antara lain mengenai hak milik atas barang bergerak,
pertimbangan politis, teknis hukum, dan tidak bergerak, perumahan, pekerjaan, dan
administratif.16 Dari proses seperti ini muncul lain-lain. Pertimbangan untuk mereservasi
suatu rumusan-rumusan kompromi yang pasal-pasal tersebut adalah bagi negara
menjadi suatu tata nilai dan hukum baru yang berkembang seperti Indonesia menyediakan
mununjukkan adanya: “the lowest common fasilitas bagi warga negaranya sendiri saja
denominator”, serta standar minimal dan masih sulit untuk dipenuhi, apalagi harus
universal yang dapat diterima oleh negara memberikan pelaksanaan hal tersebut kepada
yang berdaulat. Dengan semakin pengungsi.
meningkatnya keinginan untuk mencapai
Sikap menjadi pihak dalam Konvensi ini
suatu keputusan secara sepakat dalam
sekaligus meninjukkan kesungguhan bangsa
pembentukan perangkat internasional HAM,
Indonesia dalam usaha internasional
maka nilai universal standar perangkat
memperjuangkan penghargaan martabat
Internasional HAM akan semakin tinggi.
manusia termasuk di dalamnya persoalan
Apabila muatan ketentuan hukum pengungsi. Dengan menyatakan pengesahan
nasional sudah memenuhi standar pada Konvensi, maka Indonesia terikat dengan
internasional, maka secara teknis dan kewajiban internasional yang timbul dari
substansif semakin siaplah suatu negara Konvensi ini, yaitu menerima prosedur
melakukan ratifikasi atau aksesi. Dari aspek penyidikan oleh Komisi yang dibentuk
administratif, ratifikasi adalah kewajiban berdasarkan Konvensi. Sehingga keterikatan
untuk mengimplementasikan dan melaporkan pada Konvensi tidak hanya sekedar reporting
suatu perangkat hukum. Biasanya hal ini obligation, tetapi secara utuh dapat
menjadi agak terhalang karena kurangnya menerimanya, termasuk menerima prosedur
tenaga ahli yang memiliki tingkat pemahaman penyidikan oleh komisi sebagaimana diatur
dan penguasaan terhadap substansi instrument dalam Pasal 35 Konvensi.18
internasional HAM. Bahkan tidak jarang
Pasal 35 Konvensi tersebut menyatakan
malah menjadi pertentangan, karena masih ada
bahwa, UNHCR mengawasi penerapan
persepsi bahwa kedaulatan negara sebagai
instrument internasional oleh negara pihak,
pilar hukum internasional dapat digunakan
dan negara pihak harus memberikan
sebagai alasan untuk mengecualikan diri dari
kemudahan bagi pelaksanaan tugas UNHCR
peremtory norms.17
tersebut. Dengan menerima pengawasan dari
Di dalam konteks ini Indonesia dapat UNHCR tersebut, tidaklah dapat diartikan
melakukan reservasi terhadap ketentuan Pasal bahwa suatu negara menyatakan state
13, 14, dan 17 Konvensi yang mewajibkan sovereignity kepada komunitas internasional,
negara untuk memberi perlakuan yang sama karena hak dalam konvensi ini masuk dalam
kepada pengungsi dan warga negara sendiri kategori non derogable human rights, karena
serta orang lain yang tinggal di wilayahnya didalamnya menyangkut hak untuk hidup (hak
atas kehidupan), dan hak atas keselamatan
16 Andri Hadi, “Kebijaksanaan Pemerintah (perlindungan). Keadaan darurat atau demi
Dalam Menentukan Prioritas Ratifikasi kepentingan stabilitas politik tidak boleh
Perangkat Internasional HAM”, (Makalah
disajikan dalam Seminar tentang menjadi alasan untuk mengurangi hak hidup,
Kemungkinan Indonesia Menjadi Pihak pada
Konvensi 1951), Bogor, 1999, hlm. 2. 18 Syahrin, M.A., 2017. Penerapan Hukum
17 M. Alvi Syahrin, Jus Cogens dalam Protokol Deteni Tanpa Kewarganegaraan (Stateless)
Penyelundupan Migran Tahun 2000, Majalah yang Ditahan Lebih Dari 10 (Sepuluh) Tahun
Bhumi Pura, Direktorat Jenderal Imigrasi, di Rumah Detensi Imigrasi Jakarta. Fiat
2018. Justicia, 3(2).
56
dan hak atas keselamatan pribadi tersebut. negara pengungsian), Pasal 32 (pengusiran),
Dalam keadaan yang bagaimanapun negara dan Pasal 33 (dengan non refoulement).
harus menghormati kewajiban tersebut (erga Prinsip ini melarang dikembalikannya seorang
omnes). Kewajiban penguasa negara untuk pengungsi ke negara asalnya dimana
menghormati hak atas kehidupan dan keberlangsungan hidup atau kebebasan
keselamatan pribadi itu dapat diihat dari pasal mereka terancam, dikarenakan adanya
3 Deklarasi Umum HAM PBB sebagai perbedaan ras, agama, kebangasaan,
berikut: any individual has the right to life, kenaggotaanya dalam suatu kelompok sosial
freedom and personal security. tertentu merupakan suatu dasar perlindungan
internasional. Demikian pentinganya prinsip
Sebagai hak yang masuk dalam kategori
non-refoulment ini sehingga harus diterima
non derogable tersebut, oleh ahli hukum
dan dihormati sebagai jus cogens dalam
HAM sering diargumentasikan sebagai jus
hukum internasional.20
cogens, yaitu norma-norma yang telah
diterima dan diakui oleh komunitas S. Prakash Sinha memberikan pengertian
internasional, yang tidak tidak boleh dicabut pengungsi sebagai berikut: “the international
dan tidak boleh dikecualikan oleh siapapun.19 political reguee may defined as a person who
Sebagai hak yang memiliki karakteristik forced leave or stay out his stay of nationality
demikian, maka hak ini mengikat negara- or habitual residence for political reason
negara sekalipun tidak ada kewajiban yang rising from events acquiring between that
diharuskan dalam Konvensi atau pernyataan states and its citizens which made he stays
persetujuan secara khusus. Jadi dengan there impossible or intolerable, and who whas
memiliki karakteristik demikian bahwa tanpa taken refugee in another state without having
meratifikasi pun setiap negara (khusunya acquired a new nationality”.21 Dari pendapat
anggota PBB), tidak dapat mengelak dari tersebut, dapat ditegaskan bahwa secara
kewajiban tersebut. Hanya saja dengan umum, seorang pengungsi haruslah memenuhi
menjadi pihak dalam konvensi negara yang kriteria sebagai berikut:
bersangkutan mempunyai kewajiban
1. Alasannya harus berdasarkan faktor
internasional yang mengikat secara yuridis
politik;
untuk melindungi hak dan kepentingan
pengungsi yang berada di wilayah kedaulatan 2. Permasalahan politik tersebut timbul
atau yurisdiksi negara. Hal ini merupakan antara negara dan warga negaranya;
konsekuensi logis yang tidak hanya memuat 3. Ada keadaan yang mengharuskan orang
keharusan bagi negara pihak, melainkan juga tersebut meninggalkan negaranya atau
membuat ketentuan yang membolehkan suatu tempat tinggalnya, baik secara sukarela
negara pihak untuk berbuat. Selain itu, maupun terpaksa;
intrsumen tersebut juga memungkinkan
4. Kembali ke negaranya atau tempat
negara pihak untuk mereservasi pasal-pasal
tinggalnya tidak mungkin dilakukan,
tertentu yang kemungkinanya memang dibuka
karena sangat membahayakan dirinya;
dalam Konvensi tersebut.
Konvensi 1951 memuat tiga pasal yang
mengatur perlindungan pengungsi, yakni Pasal
31 (pengungsi yang berada secara tidak sah di 20 Syahrin, M. A. (2017). The Implementation of
Non-Refoulement Principle to the Asylum
Seekers and Refugees in Indonesia. Sriwijaya
19 M. Alvi Syahrin, Hak Asasi Bermigrasi, Law Review, 1(2), 168-178.
Majalah Bhumi Pura, Direktorat Jenderal 21 S. Prakash Sinha, Asylum and Internasional
Imigrasi, 2015. Law, Hague: Matinus Nijhott, 2011, hlm. 95.
57
5. Orang tersebut harus meminta status seseorang itu dikatakan sebagai pengungsi
sebagai pengungsi di negara lain; apabila: A Refugee is a person who:
6. Orang tersebut tidak mendapatkan 1. Is outside his/her country of nationality;
kewarganegaraan baru.
2. Has a well founded fear of persecution;
Kewarganegaraan adalah faktor yang
3. For reasons of race, religion nationality,
penting bagi individu, karena dengan
membership of a particular social group,
kewarganegaraan ia dapat mempunyai
political opinion;
identitas, sebagai dasar untuk mendapatkan
perlindungan negaranya. Begitu pula dengan 4. Is unable or, owing such fear, is unwilling
hal pelaksanaanya, ketentuan dalam konvensi to avail himself of the protection of his
ini tidak akan merusak tatanan nilai-nilai country.23
budaya, adat istiadat, serta norma-norma Dari defininisi tentang pengungsi tersebut
keagamaan yang masih berlaku dan diikuti dapat disimpulkan bahwa pada hakikatnya
oleh masyarakat Indonesia. negara memiliki tanggung jawab untuk
Bagi Pemerintah Indonesia cukup layak melindungi warga negaranya dan orang asing
untuk meratifikasi instrument internasional yang tinggal di negara tersebut. Tetapi
tersebut. Hal ini berdasarkan pertimbangan kenyataanya sering terjadi pemerintah tidak
bahwa dua intsrumen internasional tersebut mampu melaksanakan tanggung jawab
merupakan instrumen yang cukup lunak dan tersebut dan tidak mau memberikan
fleksibel, karena tidak hanya memuat perlindungan kepada warga negaranya maka
keharusan atau larangan bagi negara pihak, sering terjadi seseorang harus meninggalkan
melainkan juga memuat ketentuan yang negara asalnya dan mencari perlindungan ke
membolehkan suatu negara pihak untuk negara lain. Dari uraian tersebut nampak
berbuat.22 Selain itu instrumen tersebut juga bahwa masalah pengungsi dan pencari suaka
memungkinkan negara pihak untuk selalu menjadi persoalan nasional dan
mereservasi pasal tertentu yang internasional.
kemungkinanya memang dibuka dalam Persoalan nasional disini maksudnya
Konvensi tersebut. adalah tanggung jawab negara, sedangkan
Perlindungan terhadap pengungsi pada persoalan internasional berkaitan dengan
dasarnya merupakan tanggung jawab setiap kerjasama antar negara dalam mengangani
negara. Masalah perlindungan kepada masalah pengungsi. Artinya tiap negara
pengungsi dan atau pencari suaka merupan mempunyai hak dan kewajiban dalam
masalah klasik yang telah menjadi isu menangani masalah pengungsi yang pada
internasional sejak lama. Sudah berabad-abad dasarnya merupakan masalah kemanusiaan,
negara menerima dan menyediakan dengan tetap mempertimbangkan
perlindungan bagi warga asing yang menjadi penghormatan atas kedaulatan yang dimiliki
korban penindasan atau kekerasan di wilayah oleh negara tersebut.24 Dari segi pengungsi
tempat tinggalnya. Tradisi kemanusiaan Konvensi 1951 telah memberikan petunjuk
semacam ini pada abad ke 21 dilembagakan
ke dalam sebuah Konvensi Internasional
23 Secara lengkap pengertian pengungsi ini dapat
tentang pengungsi. Menurut Konvensi 1951 dibaca dalam Bab Ketentuan Umum Pasal 1
huruf a ayat (2). Konvensi Tahun 1951.
24 Syahrin, M. A. (2018). Menakar Kedaulatan
22 Jovan Patrnogic, Introduction to International Negara dalam Perspektif
Refugee Law, Italy: International Institute of Keimigrasian. Jurnal Penelitian Hukum De
Humanitarian Law, 2008, hlm. 114. Jure, 18(1), 43-57.
58
tentang perlakuan yang harus diberikan belum dan Konvensi tersebut. Berkaitan
kepada pengungsi, antara lain: dengan instrumen-instrumen internasional dan
regional tentang pengungsi paling tidak
1. Perlakuan nasional. Dalam hal ini
terdapat lima prinsip umum yang berkaitan
berkaitan dengan ketentuan-ketentuan
dengan hukum pengungsi internasional yang
untuk diberi kebebasan menjalankan
perlu diketahui, seperti prinsip suaka, non-
agamnya, akses ke pengadilan, bantuan
ekstradisi, non-refoulment, hak dan kewajiban
hukum dan lain-lain;
negara terhadap para pengungsi, kemudahan-
2. Perlakuan yang diberikan oleh negara kemudahan yang diberikan oleh negara-negara
yang diberikan dimana ia biasa tinggal yang bersangkutan terhadap pengungsi.27
yang meliputi perlindungan milik
III. Kendala dalam Ratifikasi Konvensi
industri, penemuan-penemuan, merk
Pengungsi 1951 dan Protokol 1967
dagang, hak katas hasil karya sastra, hasil
karya ilimiah, dan lain-lain; Sampai saat Indonesia belum meratifikasi
Konvensi 1951 maupun Protokol 1967. Hal ini
3. Most favored treatment/ perlakuan
tentu harus dipertimbangkan dengan seksama,
sehubungan dengan hak untuk ikut
mengingat posisi geografis Indonesia yang
organisasi non politik, membentuk
menghubungkan dua benua dan dua samudera.
organisasi, non profit, atau organisasi
Walaupun Indonesia bukan tujuan akhir para
dagang (trade union);
pengungsi, tetapi wilayah Indonesia yang
4. Untuk mendapatkan perlakuan sama cukup luas ini dapat dijadikan tempat transit
dengan orang asing yang berada di negara para pengungsi, misalnya Pulau Galangan
tersebut. Misalnya perlakuan untuk yang dijadikan tempat pemukiman sementara
mempunyai hak milik benda bergerak dan untuk para pengungsi dari IndoCina.28
tidak bergerak, hak untuk mendapatkan
Adanya kekosongan hukum karena belum
keuntungan, hak untuk mendapatkan
ada aturan yang komprehensif dalam
perumahan, dan sebagainya.25
mengatur para pengungsi dan pencari suaka
Dengan disepakatinya instrumen dalam hukum positif di Indonesia telah
internasional tentang pengungsi tersebut, melemahkan koordinasi antar instansi di
berarti masalah perlindungan terhadap lapangan. Bahkan dalam banyak kasus
pengungsi yang dulunya diberikan Pemerintah Daerah merasa keberatan
berdasarkan hukum kebiasaan internasional, menerima tambahan beban dengan masuknya
telah memeperoleh penegasan dalam hukum orang asing (pengungsi) di wilayah.
internasional, khususnya hukum pengungsi Perbedaan tajam antara kultur daerah dan
dalam hukum pengungsi internasional ini pengungsi sangat potensial menimbulkan
mengandung prinsip hukum internasional konflik sosial. Selain itu seandainya terjadi
yang bersifat universal.26 Oleh karena itu proses asimilasi antara pengungsi dengan
prinsip hukum internasional universal yang warga setempat justru menimbulkan beban
terkandung dalam hukum pengungsi ini baru karena anak-anak yang ada akibat
mengikat negara mana saja, tanpa
mempertimbangkan apakh negara yang
bersangkutan telah menjadi pihak ataukah 27 Ian Brownlie, Principles of Public
International Law, Third Edition, The
English Language Book Society and Oxford
25 S. Prakash Sinha, Op.cit., hlm. 107-108. University Press, 2016, hlm. 344-361.
26 M. Alvi Syahrin, Imigran Ilegal, Migrasi atau 28 Syahrin, M.A., 2018. Pembatasan Prinsip
Ekspansi?, Majalah Check Point, Akademi Non-Refoulement. Bhumi Pura, 1(1), pp.12-
Imigrasi, 2015. 16.
59
asimilasi tersebut tidak dibawa serta saat ini dapat dilaksanakan dalam beberapa hal
repartriasi atau resetlements yaitu:
Saat ini kesulitan dalam penanganan 1. Mengakses instrumen hukum atau hak
pengungsi dapat digambarkan melalui dua asasi manusia internasional tentang
model penanganan sebagai berikut: pengungsi antara lain Konvensi 1951 dan
Protokol 1967;
a. Model kemanan;
2. Menyusun instrumen hukum atau hak
Model ini lebih menekankan pada hak-
asasi manusia regional. Hal ini dapat
hak penguasa (negara) karena pengungsi
dilihat dari apa yang dilakukan dalam
seringkali dipandang sebagai ancaman yang
Organization of African Union melalui
menggannggu negara sehingga harus selalu
Konvensi Tahun 1969, kemudian negara-
dikontrol. Model keamanan ini terdiri dari dua
negara Eropa melalui Konvensi Schengen
bagian, yaitu menguasai (internal), dan
1985 dan Dubin 1990, serta negara-
melindungi (eksternal). Pendekatan internal
negara Amerika Latin melalui Cartagena
merupakan mekanisme kontrol langsung
Declaration 1984;
kepada masyarakat, misalnya dalam bentuk
peraturan yang mengatur tentang pengungsi, 3. Menyusun legislasi nasional tentang
masalah keimigrasian dan lain-lain. pengungsi, legislasi ini harus dilakukan
Sedangkan pendekatan eksternal difokuskan dengan mengembangkan hukum nasional
kepada kebijakan luar negeri, peran PBB dan yang komprehensif dan tidak
lain-lain. bertentangan dengan prinsip-prinsip
universal tentang perlindungan
b. Model hak-hak individu (The Individual
pengungsi.
Rights Model);
Model ini lebih menekankan pada hak-
hak individu, karena pengungsi dipandang KESIMPULAN
sebagai individu yang harus dilindungi
Harus ada keinginan kuat dari Indonesia
menurut Konvensi 1951 dan Protokol 1967.
untuk segera menjadi pihak pada Konvensi
Selain itu mereka juga harus mendapat
1951 dan Protokol 1967 sangat diharapkan,
perlindungan menurut doktrin HAM.
untuk itu perlu ada kesiapan baik dari aspek
Pengungsi harus mendapat keadilan dan
teknik, politis dan yuridis dalam meratifikasi
perlindungan dari penganiayaan atau
dua instrument hukum internasional tersebut.
penyiksaan sesuai dengan martabat
Hal ini berdasarkan alasan bahwa substansi
kemanusiaannya.
instrument internasional tersebut adalah
Hal yang paling penting untuk dilakukan bermuatan HAM, dan Indonesia adalah negara
dalam menangani pengungsi adalah kebijakan yang menjunjung tinggi HAM sebagaimana
politik bilateral antar negara asal pengungsi diamanatkan dalam berbagai peraturan,
(country of origin), dengan negara penerima misalnya UUD 1945, TAP XVIII/1998, UU
pengungsi (host country).29 Pengembangan No. 39/1999, UU No. 37/1999.
aturan hukum untuk perlindungan pengungsi
Penanganan persoalan pengungsi harus
mengedepankan prinsip hak individual yang
memperlihatkan prinsip keamanan manusia
29 Heru Susetyo, “Kebijakan Penanganan (human security). Hal ini penting agar tercipta
Internally Displaced Persons (IDPs) di hubungan bilateral yang baik antara negara
Indonesia dan Dunia Internasional”, Jurnal
asal pengungsi (country of origin/home
Hukum Internasional, Vol. 2 No. 1 Oktober
2004.
60
country) dengan negara tujuan pengungsi (the Riyanto, Sigit. “Urgensi Legislasi Hukum
host country). Pengungsi dan Kendalanya di
Indonesia”. Jurnal Hukum Internasional.
Vol. 2. No. 1 Oktober 2004.
DAFTAR KEPUSTAKAAN Susetyo, Heru. “Kebijakan Penanganan
I. Buku Internally Displaced Persons (IDPs) di
Indonesia dan Dunia Internasional”.
Ian Brownlie, Principles of Public
Jurnal Hukum Internasional. Vol. 2 No. 1
International Law, Third Edition, The
Oktober 2004.
English Language Book Society and
Oxford University Press, 2016. Syahrin, M. A. 2018. Menakar Kedaulatan
Negara dalam Perspektif
A.S Hornby, Oxford Advanced Learners
Keimigrasian. Jurnal Penelitian Hukum
Dictionary of Current English, Oxford:
De Jure, 18(1), 43-57.
University Press, 2014.
Syahrin, M.A., et al. 2018. Legal Impacts of
Jovan Patrnogic, Introduction to International
The Existence of Refugees and Asylum
Refugee Law, Italy: International Institute
Seekers in Indonesia. IJCIET, 9(5).
of Humanitarian Law, 2008.
Syahrin, M.A., 2017. Penerapan Hukum
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum,
Deteni Tanpa Kewarganegaraan
Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2015.
(Stateless) yang Ditahan Lebih Dari 10
James Rosenau, International Politics and (Sepuluh) Tahun di Rumah Detensi
Foreign Policy: A Reader on Research Imigrasi Jakarta. Fiat Justicia, 3(2).
And Theory, New York: The free Press,
Syahrin, M. A. (2017). The Implementation of
2011.
Non-Refoulement Principle to the
Saut P. Panjaitan, Dasar-Dasar Ilmu Hukum: Asylum Seekers and Refugees in
Asas, Pengertian, dan Sistematika, Indonesia. Sriwijaya Law Review, 1(2),
Palembang: Penerbit Universitas 168-178.
Sriwijaya, 2014.
III. Lainnya
S. Prakash Sinha, Asylum and Internasional
Andri Hadi, “Kebijaksanaan Pemerintah
Law, Hague: Matinus Nijhott, 2011.
Dalam Menentukan Prioritas Ratifikasi
J. Sudarminto, Epistomologi Dasar, Jakarta: Perangkat Internasional HAM”,
Kanisius, 2006. (Makalah disajikan dalam Seminar
Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah tentang kemungkinan Indonesia menjadi
Pengantar Populer, Jakarta: Pustaka pihak pada Konvensi 1951), Bogor, 1999.
Sinar Harapan, 2013. Atik Krustiyati, Aspek Hukum Internasional
Yudha Bhakti Ardhiswastra, Penafsiran dan Penyelesaian Pengungsi Timor Leste,
Konstruksi Hukum, Bandung: Alumni, 2018. (Disertasi Program Pasca Sarjana
Universitas 17 Agustus 1945), Surabaya,
II. Jurnal 2009.
Krustiyati, Atik. “Penanganan Pengungsi Enny Soeprapto, “Prinsip-Prinsip Dasar
Timor Leste Sebagai Upaya PEningkatan Hukum Pengungsi Internasional Sebuah
Hubungan Bilateral Antara Indonesia Catatan”, (Makalah disampaikan dalam
dan Timor Leste”. Jurnal Yustika. Vol. Seminar Hukum Pengungsi
11. No. 1 Juli 2008. Internasional), UNHCR bekerjasama

61
dengan Fakultas Hukum Universitas
Surabaya, 28 Juli 2000.
M. Alvi Syahrin, Imigran Ilegal, Migrasi atau
Ekspansi?, Majalah Check Point,
Akademi Imigrasi, 2015.
M. Alvi Syahrin, Hak Asasi Bermigrasi,
Majalah Bhumi Pura, Direktorat Jenderal
Imigrasi, 2015.
M. Alvi Syahrin, Pembatasan Prinsip Non-
Refoulement, Majalah Bhumi Pura,
Direktorat Jenderal Imigrasi 2018,
M. Alvi Syahrin, Jus Cogens dalam Protokol
Penyelundupan Migran Tahun 2000,
Majalah Bhumi Pura, Direktorat Jenderal
Imigrasi, 2018.
Jawa Pos, “Puluhan Imigran Gelap
Tertangkap Di Bajul Mati”, Jawa Pos, 19
Juli 2012.
Kompas, “OKI Serukan Tekanan Pol”, Surat
Kabar Kompas, 4 Agustus 2012.
http//indiesblog.wordpress.com/2009/02/14/te
ntang-rohingya, diakses pada hari Jumat
(18/05/2018), Pukul 13.19 WIB.

62
BIODATA PENULIS

M. Alvi Syahrin, lahir di Palembang, 24 Maret 1990. Menyelesaikan gelar Sarjana Hukum (S.H)
pada Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya pada tahun 2011 dengan predikat Summa Cum Laude
(Dengan Pujian). Selanjutnya gelar Magister Hukum (M.H) diperoleh dari Program Magister Hukum
Universitas Sriwijaya pada tahun 2014 sebagai mahasiswa terbaik. Di Tahun 2017, ia melanjutkan
pendidikan Strata-3 pada Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Borobudur dengan kosentrasi
Kajian Hukum Keimigrasian. Sejak Tahun 2012 bekerja sebagai Aparatur Sipil Negara pada
Direktorat Jenderal Imigrasi, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia RI. Di Tahun 2016, ia
telah menyelesaikan Pendidikan Pejabat Imigrasi (DIKPIM) sebagai lulusan terbaik dengan
memperoleh predikat Adhi Karya Cendikia Utama dan berhak menyandang status Pejabat Imigrasi.
Kemudian di Tahun 2018, mendapatkan sertifikasi kompetensi sebagai Auditor Hukum (Certified
Legal Auditor). Tempat penugasan yang telah dijalani adalah Kantor Imigrasi Kelas II Muara Enim
(Tahun 2012), Direktorat Jenderal Imigrasi cq. Direktorat Intelijen Keimigrasian (Tahun 2015),
Akademi Imigrasi (Tahun 2016), dan Politeknik Imigrasi (Tahun 2017). Saat ini dipercaya
menduduki jabatan sebagai Kepala Pusat Penelitian dan Pengabdian Masyarakat pada Politeknik
Imigrasi. Telah menerbitkan belasan buku literatur dan beberapa artikelnya sudah tersebar di
berbagai jurnal ilmiah, serta majalah keimigrasian. Hingga saat ini masih aktif menulis di
muhammadalvisyahrin.blogspot.com (Petak Norma).

Surya Pranata, lahir di Kisaran, 11 April 1958. Menyelesaikan gelar Sarjana Hukum (S.H) di
Fakultas Hukum Universitas Cenderawasih pada Tahun 1998. Selanjutnya gelar Magister Hukum
(M.H) diperoleh dari Sekolah Tinggi Ilmu Hukum IBLAM pada Tahun 2005. Saat ini bertugas
sebagai Dosen Tetap pada Politeknik Imigrasi.

v
PEDOMAN PENULISAN NASKAH
JURNAL ILMIAH KAJIAN KEIMIGRASIAN

Jurnal Ilmiah Kajian Keimigrasian merupakan majalah ilmiah yang telah terakreditasi oleh Lembaga
Ilmu Pengetahuan Indonesia, Jurnal ini memfokuskan pada bidang Keimigrasian. Terbit sebanyak 2
(dua) nomor dalam setahun (Maret dan Oktober). Jurnal Ilmiah Kajian Keimigrasian menerima naskah
karya tulis Imiah hasil Penelitian di bidang dan tinjauan keimigrasian yang belum pernah
dipublikasikan di media lain dengan ketentuan sebagai berikut :
1. Redaksi menerima naskah/karya ilmiah bidang Keimigrasian dari dalam dan luar lingkungan
Politeknik Imigrasi;
2. Jurnal Jurnal Ilmiah Kajian Keimigrasian mengunakan sistem Peer- Review dan Redaksi. Dewan
redaksi dan Mitra Bestari akan memeriksa naskah yang masuk ke Redaksi dan berhak menolak
naskah yang dianggap tidak memenuhi ketentuan;
3. Naskah Tulisan dapat berupa : Artikel hasil Penelitian (penelitian empiris maupun penelitian
normatif atau studi dokumenter); Artikel hasil Kajian; Artikel Konseptual (tulisan lepas/Karya tulis
pendek) di bidang Kajian Keimigrasian, baik dalam lingkungan Kementerian Hukum dan Hak
Asasi Manusia maupun dari luar;
4. Naskah ditulis dalam bahasa Indonesia atau bahasa Inggris, dikirim dalam bentuk soft
file melalui e-mail menggunakan program aplikasi office MS-Word atau dalam bentuk print-
out (hard copy) yang dikirimkan ke alamat redaksi dan di sertai Curriculum Vitae;
5. Jumlah halaman naskah minimal 10 halaman dan maksimal 20 halaman, termasuk abstrak gambar,
table dan daftar pustaka, bila lebih dari 20 halaman, redaksi berhak menyunting ulang dan apabila
dianggap perlu akan berkonsultasi dengan penulis.
6. Sistematika artikel hasil Penelitian / Kajian harus mencakup : Judul; Judul di tulis dalam 2 bahasa,
Bahasa Indonesia mengunakan huruf kapital 12 untuk bahasa Indonesia, judul bahasa inggris
mengunakan huruf kecil Times New Roman 11.5. Judul ditulis maksimal 14 kata.
7. Nama Penulis (diketik dibawah judul ditulis lengkap tanpa menyebutkan gelar. Jika penulis terdiri
lebih dari satu orang maka harus ditambahkan kata penghubung “dan” (bukan lambang ‘&’). Nama
Instasi Penulis (tanpa menyebutkan jabatan atau pekerjaan di instasi) ditulis mengunakan huruf
kecil font Times New Roman 11.5.

Sistematika Penulisan:
A. NASKAH ARTIKEL HASIL PENELITIAN EMPIRIS:
ABSTRAK
Abstrak ditulis dalam dua bahasa, Indonesia dan Inggris disertai kata kunci minimal 3 (tiga) kata
dan maksimal 5 (lima) kata. Abstak berisi Latar Belakang, Rumusan Masalah, Tujuan, Kegunaan,
Metode, Isi Pembahasan, Analisis, Kesimpulan dan Saran Temuan ditulis dalam satu spasi; 150
kata (10-30 baris/ satu (1) paragraf) diketik menggunakan huruf Times New Roman; font 11.5
italic; ditulis dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris.
PENDAHULUAN
Berisi latar belakang masalah dan rumusan masalah, tujuan, kegunaan, kerangka Teori/Konsep,
Metode (metode penelitian yang digunakan, di antaranya meliputi jenis penelitian, lokasi
penelitian, sumber data, teknik pengumpulan data, pengolahan data dan analisis data).

vi
PEMBAHASAN
Berisi, pembahasan terhadap masalah yang diteliti.
ANALISIS
Berisi analisis dari semua pokok pembahasan.
PENUTUP
Berisi Kesimpulan dan saran. Kesimpulan dan saran ditulis dalam bentuk uraian bukan dalam
bentuk angka.
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Daftar Pustaka : ditulis berdasarkan abjad, dengan urutan : Nama pengarang. Judul buku. Kota
penerbit : nama penerbit, tahun penerbitan.
Contoh..... Hamzah. Andi, Bantuan Hukum suatu Tinjauan Yuridis. Ghalia Indonesia,
Jakarta, 1983.

B. NASKAH ARTIKEL ULASAN HASIL PENELITIAN NORMATIF (STUDI


DOKUMENTER), PEMIKIRAN DAN INFORMASI LAIN YANG BERSIFAT ILMIAH:
JUDUL AKTUAL
Menggambarkan isi naskah dan maksimal 14 kata ditulis dalam bahasa Indonesia dan Inggris.
NAMA PENULIS
Tanpa gelar akademik, jabatan, kepangkatan, alamat lembaga/instansi dan e-mail.
ABSTRAK
Berisi Latar Belakang, Rumusan Masalah, Tujuan, Kegunaan, Metode, Isi Pembahasan, Analisis,
Kesimpulan dan Saran Temuan ditulis dalam satu spasi; 150 kata (10-30 baris/ satu (1) paragraf)
diketik menggunakan huruf Times New Roman; font 11 italic; ditulis dalam bahasa Indonesia dan
bahasa Inggris.
KATA KUNCI
Mengandung yang di indekskan ditulis dalam bahasa Indonesia dan Inggris minimal 3 kata
maksimal 5 kata.
PENDAHULUAN
Latar belakang masalah dan rumusan masalah.
PEMBAHASAN
Berisi, pembahasan terhadap masalah yang dikaji.
ANALISIS
Berisi analisis dari semua pokok pembahasan.
PENUTUP
Berisi Kesimpulan dan Saran. Ditulis dalam bentuk uraian bukan dalam bentuk angka.
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Daftar Pustaka : ditulis berdasarkan abjad, dengan urutan : Nama pengarang. Judul buku. Kota
penerbit : nama penerbit, tahun penerbitan. Contoh..... Hamzah. Andi, Bantuan Hukum suatu
Tinjauan Yuridis. Ghalia Indonesia, Jakarta, 1983.

vii
C. PERSYARATAN LAINNYA:
1. Naskah dilengkapi dengan indeks;
2. Naskah diketik rapi 1.15 spasi di atas kertas A4; menggunakan huruf Times New Roman; Font
11.5; antara 10-20 halaman; Ukuran margin kanan, kiri, atas dan bawah 2.25 cm; di print-
out atau soft-copy;
3. Penulisan kutipan sumber rujukan dengan sistem bodynote, yaitu menuliskan nama pengarang
(tanpa gelar akademik); tahun penerbitan dan no halaman, yang ditulis dalam kurung; diletakan
dibelakang kutipan. Contoh : ........................(Hamzah, 2007: 15);
4. Isi tulisan di luar tanggungjawab redaksi. Dan redaksi berhak mengedit redaksional tanpa
merubah arti;
5. Naskah yang belum memenuhi syarat akan dikonfirmasikan atau dikembalikan untuk
diperbaiki;
6. Naskah yang diusulkan wajib dikirim melalui email ke: jurnal.keimigrasian@gmail.com ;
7. Komunikasi terkait Karya Tulis Ilmiah yang diusulkan dapat menghubungi redaksi Jurnal
Ilmiah Kajian Keimigrasian melalui email : jurnal.keimigrasian@gmail.com ;

Selanjutnya, Naskah yang di print-out dapat dikirim atau diserahkan secara langsung kepada :
Redaksi Jurnal Ilmiah Kajian Keimigrasian
Politeknik Imigrasi
Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia
Jalan Raya Gandul Cinere Nomor 4 Kota Depok
Telepon / Faximile : (021) 753 00001
Email : jurnal.keimigrasian@gmail.com

viii

Anda mungkin juga menyukai