Anda di halaman 1dari 64

PERMOHONAN PENGUJIAN MATERIIL

PASAL 51 AYAT (2) DAN PASAL 52 AYAT (2)

UNDANG-UNDANG NOMOR 26 TAHUN 2007

TENTANG PENATAAN RUANG

TERHADAP

UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK

INDONESIA TAHUN 1945

DALAM PERKARA NOMOR:


104/PUU-XX/2018

OLEH:
ADRIANSYAH, S.Ip., M.Si.,

JAKARTA

2018
Stufenbau Sibuea Law Firm
Advocate and Legal Consultant
Jl. M.H Tamrin, No. 3, Menteng, Jakarta Pusat, 10310
Telp. (021) 23865432, Fax. (021) 23451980
Email: stufenbausibuea_lawfirm@yahoo.com

Jakarta, 5 September 2016

Kepada Yang Terhormat:

KETUA MAHKAMAH KONSTITUSI


REPUBLIK INDONESIA
Jl. Medan Merdeka Barat No. 6
Jakarta Pusat 10110

Hal
: Permohonan Pengujian Materiil Pasal
37, Pasal 69, Pasal 70, dan Pasal 74
Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007
tentang Penataan Ruang terhadap Pasal 1
ayat (3), Pasal 28D ayat (1), Pasal 33 ayat
(1) dan ayat (4) Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia 1945

Dengan hormat,
Kami yang bertanda tangan di bawah ini:

1. Evi Chrisviani, S.H., M.H.


2. Surya Andinaningtias, S.H., M.H.

Para advokat dan konsultan hukum dari kantor hukum “Stufenbau


Sibuea Law Firm”, memilih domisili hukum di Jl. M.H Tamrin No. 3,
Menteng, Jakarta Pusat, 10310, berdasarkan Surat Kuasa Khusus
tanggal 11 Agustus 2016 bertindak secara sendiri-sendiri maupun
bersama-sama untuk dan atas nama: PT Rimba Alam Sejahtera
Utama yang didirikan berdasarkan Akta Notaris No. 29 tertanggal 5 Juli
1998 (Bukti P-3) di kantor Notaris Saut Sumihar, S.H., M.Kn. yang
berkedudukan di Jalan Dewi Sartika Nomor 11, Palangka Raya,
Provinsi Kalimantan Tengah dan telah disahkan oleh Departemen
Kehakiman dengan Surat Keputusan Menteri Kehakiman dan HAM

Halaman 1 dari 63
Stufenbau Sibuea Law Firm
Advocate and Legal Consultant
Jl. M.H Tamrin, No. 3, Menteng, Jakarta Pusat, 10310
Telp. (021) 23865432, Fax. (021) 23451980
Email: stufenbausibuea_lawfirm@yahoo.com

Republik Indonesia Nomor: C-231.HT.91.02.Th.1990 pada tanggal


20 Januari 1990 (Bukti P-4), dalam hal ini diwakili oleh:

Nama : Ir. Hengky Adinata, M.M.

Umur : 43 (empat puluh tiga) tahun

Jenis Kelamin : Laki-laki

Jabatan : Direktur Utama


PT. Rimba Alam Sejahtera Utama

Kebangsaan : Indonesia

Kedudukannya sebagai Direktur Utama PT. Rimba Alam Sejahtera


Utama berdasarkan Keputusan Rapat Umum Pemegang Saham
tanggal 24 Juli 2013 (Bukti P-5), oleh karena itu sah bertindak untuk
dan atas nama serta mewakili PT. Rimba Alam Sejahtera Utama,
untuk selanjutnya disebut sebagai “Pemohon”.

Dengan ini perkenankanlah Pemohon untuk mengajukan


permohonan pengujian materiil Pasal 37, Pasal 69, Pasal 70, Pasal
74 Undang Undang Nomor 26 Tahun 2007 Tentang Penataan
Ruang (Bukti P-2) terhadap Pasal 1 ayat (3), Pasal 28D ayat (1),
Pasal 33 ayat (1) dan ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 (Bukti P-1). Hal mana yang menjadi
dasar permohonan adalah sebagai berikut:

I. PENDAHULUAN

Keberadaan Mahkamah Konstitusi adalah salah satu


konsekuensi perubahan dari supremasi MPR menjadi supremasi
konstitusi. Prinsip supremasi konstitusi terdapat dalam Pasal 1
ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan bahwa kedaulatan berada
ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD. Konstitusi
menjadi penentu bagaimana dan siapa saja yang melaksanakan
kedaulatan rakyat dalam penyelenggaraan negara dengan batas

Halaman 2 dari 63
Stufenbau Sibuea Law Firm
Advocate and Legal Consultant
Jl. M.H Tamrin, No. 3, Menteng, Jakarta Pusat, 10310
Telp. (021) 23865432, Fax. (021) 23451980
Email: stufenbausibuea_lawfirm@yahoo.com

sesuai dengan wewenang yang diberikan oleh konstitusi itu


sendiri. Bahkan konstitusi juga menentukan substansi yang harus
menjadi orientasi sekaligus batas penyelenggaraan negara yaitu
ketentuan tentang HAM dan hak konstitusional warga negara
yang perlindungan, pemenuhan, dan pemajuannya adalah
menjadi tanggung jawab negara.

Agar konstitusi tesebut benar-benar dilaksanakan dan


tidak dilanggar maka harus dijamin bahwa ketentuan hukum
dibawah konstitusi tidak boleh bertentangan dengan konstitusi itu
sendiri dengan memberikan wewenang pengujian serta
membatalkan jika memang ketentuan hukum tersebut
bertentangan dengan konstitusi. Dengan latar belakang tersebut,
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MK RI) dibentuk
melalui perubahan ketiga UUD 1945 yang diatur dalam Pasal 24
ayat (2), Pasal 24C dan Pasal 7B UUD 1945. Kemudian
dibentuklah undang-undang yang mengatur tentang MK yaitu
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi.

Tujuan negara Indonesia yang tercantum dalam alinea 4


(empat) Pembukaan (preambule) UUD 1945 adalah melindungi
segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia
dan untuk memajukan kesejateraan umum, mencerdaskan
kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang
berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan
sosial. Terkait dengan tujuan Negara Indonesia sebagai negara
hukum untuk memajukan kesejahteraan sosial dan melaksanakan
ketertiban dunia yang berdasarkan keadilan sosial inilah
dirasakan perlu dibentuk pengaturan terhadap ruang wilayah
Negara Kesatuan Republik Indonesia, baik sebagai kesatuan
wadah yang meliputi ruang darat, ruang laut, dan ruang udara,
termasuk ruang di dalam bumi, maupun sebagai sumber daya,
sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa kepada bangsa

Halaman 3 dari 63
Stufenbau Sibuea Law Firm
Advocate and Legal Consultant
Jl. M.H Tamrin, No. 3, Menteng, Jakarta Pusat, 10310
Telp. (021) 23865432, Fax. (021) 23451980
Email: stufenbausibuea_lawfirm@yahoo.com

Indonesia yang perlu disyukuri, dilindungi, dan dikelola secara


berkelanjutan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Oleh
karena itu dibentuklah UU Penataan Ruang melalui UU Nomor 26
Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. UU Penataan Ruang yang
menyangkut hampir seluruh aspek kehidupan masyarakat
haruslah memberikan akses yang tepat dan adil bagi masyarakat
dalam memanfaatkan ruang dalam proses perencanaan
penataan ruangnya. Konsep dasar hukum penataan ruang yang
terdapat dalam pembukaan UUD 1945 alinea ke-4, yang
menyatakan “melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh
tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan
umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut serta
melaksanakan ketertiban dunia” kemudian dijabarkan selanjutnya
dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 menyatakan “Bumi dan air
dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh
Negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran
rakyat.”

Ketentuan dalam UUD 1945 tersebut memberikan hak


penguasaan kepada Negara atas seluruh sumber daya alam
Indonesia, dan memberikan kewajiban kepada Negara untuk
menggunakan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat.
Kalimat tersebut mengandung makna bahwa negara mempunyai
kewenangan untuk melakukan pengelolaan, mengambil dan
memanfaatkan sumber daya alam guna terlaksananya
kesejahteraan yang dikehendaki. Untuk dapat mewujudkan
tujuan negara tersebut, khususnya untuk meningkatkan
kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa
berarti negara harus dapat melaksanakan pembangunan sebagai
penunjang dalam tercapainya tujuan tersebut dengan suatu
perencanaan yang cermat dan terarah.

Apabila kita cermati secara seksama, kekayaan alam yang


ada dan dimiliki oleh negara, yang kesemuanya itu memiliki suatu

Halaman 4 dari 63
Stufenbau Sibuea Law Firm
Advocate and Legal Consultant
Jl. M.H Tamrin, No. 3, Menteng, Jakarta Pusat, 10310
Telp. (021) 23865432, Fax. (021) 23451980
Email: stufenbausibuea_lawfirm@yahoo.com

nilai ekonomis, maka dalam pemanfaatannya harus diatur dan


dikembangkan dalam pola tata ruang yang terkoordinasi,
sehingga tidak akan adanya perusakan dalam lingkungan hidup.
Upaya perencanaan pelaksanaan tata ruang yang bijaksana
adalah kunci dalam pelaksanaan tata ruang agar tidak merusak
lingkungan hidup, dalam konteks penguasaan negara atas dasar
sumber daya alam, melekat di dalam kewajiban Negara untuk
melindungi, melestarikan dan memulihkan lingkungan hidup
secara utuh. Artinya, aktivitas pembangunan yang dihasilkan dari
perencanaan tata ruang pada umumnya bernuansa pemanfaatan
sumber daya alam tanpa merusak lingkungan.

Untuk lebih mengoptimalisasikan konsep penataan ruang,


maka peraturan perundang-undangan telah banyak diterbitkan
oleh pihak pemerintah, yang salah satu peraturannya adalah
Undang Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang
sebagai undang-undang pokok yang mengatur tentang
pelaksanaan penataan ruang. Perkembangan situasi dan kondisi
nasional dan internasional menuntut penegakan prinsip
keterpaduan, keberlanjutan, demokrasi, kepastian hukum, dan
keadilan dalam rangka penyelenggaraan penataan ruang yang
baik sesuai dengan landasan Pancasila. Untuk memperkukuh
Ketahanan Nasional berdasarkan Wawasan Nusantara dan
sejalan dengan kebijakan otonomi daerah yang memberikan
kewenangan semakin besar kepada pemerintah daerah dalam
penyelenggaraan penataan ruang, maka kewenangan tersebut
perlu diatur demi menjaga keserasian dan keterpaduan
antardaerah dan antara pusat dan daerah agar tidak
menimbulkan kesenjangan antardaerah.

Keberadaan ruang yang terbatas dan pemahaman


masyarakat yang berkembang terhadap pentingnya penataan
ruang inilah yang menjadi alasan diperlukannya penyelenggaraan

Halaman 5 dari 63
Stufenbau Sibuea Law Firm
Advocate and Legal Consultant
Jl. M.H Tamrin, No. 3, Menteng, Jakarta Pusat, 10310
Telp. (021) 23865432, Fax. (021) 23451980
Email: stufenbausibuea_lawfirm@yahoo.com

penataan ruang yang transparan, efektif, dan partisipatif agar


terwujud ruang yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan.

Dalam hal ini kami sebagai pihak kuasa hukum pemohon


mewakili PT RASU sebagai perusahaan perkebunan yang
mempunyai lahan di dalam kawasan perkebunan juga sebagian
besar berada dalam kawasan hutan produksi dapat diselesaikan
perubahan peruntukan fungsi kawasan hutannya sesuai dengan
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999. Walaupun nyatanya
memang antara kawasan hutan dengan rezim penataan ruang
seringkali terjadi tumpang tindih antara kawasan hutan dengan
penataan ruang. Menurut peta kawasan hutan, kawasan yag
diusahakan PT RASU merupakan kawasan hutan produksi yang
oleh PT RASU kemudian dimohonkan kepada Menteri Kehutanan
untuk dilakukan perubahan peruntukan kawsan hutan dan telah
juga mendapatkan Keputusan Menteri Kehutanan Tentang
Pelepasan Kawasan Hutan, namun menurut RTRWP Kalimantan
Tengah sebagian Kawasan PT RASU merupakan kawasan hutan
lindung yang dilarang untuk kegiatan budidaya yang dalam hal ini
kegiatan perkebunan.

UU Penataan Ruang menjadi contoh tepat untuk


menunjukkan produk legislasi buruk yang cacat formil, dibuat
secara tidak partisipatif dan tidak transparan, sehingga secara
material menciptakan masalah baru, menimbulkan ketidakpastian
hukum serta potensial mencederai hak-hak konstitusional warga
negara yang justru seharusnya menjadi pertimbangan utama
dalam pembentukan sebuah UU. UU Penataan Ruang pada
akhirnya bukan sebuah solusi atas masalah yang hendak
diaturnya, yakni untuk menyelenggarakan penataan ruang yang
pelaksanaan wewenangnya dilakukan oleh Pemerintah dan
pemerintah daerah dengan tetap menghormati hak yang dimiliki
oleh setiap orang justru telah mengancam kelangsungan usaha
dan perekonomian masyarakat sebagaimana ditegaskan dalam

Halaman 6 dari 63
Stufenbau Sibuea Law Firm
Advocate and Legal Consultant
Jl. M.H Tamrin, No. 3, Menteng, Jakarta Pusat, 10310
Telp. (021) 23865432, Fax. (021) 23451980
Email: stufenbausibuea_lawfirm@yahoo.com

pertimbangan kelahiran (konsiderans) UU ini karena sejumlah


kecacatannya, baik formil maupun materiil.

Dari situlah kami sebagai pemohon mendasarkan


permohonan kami melalui permohonan pengujian undang-undang
(judicial review) atas Pasal 37, Pasal 69, Pasal 70, Pasal 74
Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang
terhadap Pasal 1 ayat (3), Pasal 28D ayat (1), Pasal 33 ayat (1)
dan ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945.

II. PERSYARATAN FORMIL PENGAJUAN

PERMOHONAN A. Kewenangan Mahkamah Konstitusi

1. UUD NRI 1945 sebagaimana telah dilakukan beberapa


kali amandemen telah menciptakan lembaga baru dalam
sistem pemerintahan Indonesia yang berfungsi untuk
mengawal konstitusi, yaitu Mahkamah Konstitusi (untuk
selanjutnya disebut MK). Pengaturan tentang Mahkamah
Konstitusi sebagaimana tertuang dalam Pasal 24C UUD
NRI 1945, diatur lebih lanjut dalam Undang-Undang No.
24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi yang telah
diubah dengan Undang-Undang No. 8 Tahun 2011 tentang
Perubahan atas Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003
tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Tahun
2011 No. 70, Tambahan Lembaran Negara No. 5266)
(Bukti P-6).

2. Bahwa Pasal 24 ayat (2) perubahan ketiga UUD 1945


menyatakan ”Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh
sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang
dibawahnya dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi”.

Halaman 7 dari 63
Stufenbau Sibuea Law Firm
Advocate and Legal Consultant
Jl. M.H Tamrin, No. 3, Menteng, Jakarta Pusat, 10310
Telp. (021) 23865432, Fax. (021) 23451980
Email: stufenbausibuea_lawfirm@yahoo.com

3. Bahwa dalam Pasal 7 Undang-Undang No. 12 Tahun 2011


tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan
diatur bahwa secara hirarkis kedudukan UUD NRI 1945
lebih tinggi dari Undang-Undang. Oleh karena itu setiap
ketentuan yang terdapat dalam Undang-Undang tidak
boleh bertentangan dengan UUD NRI 1945. Jika terdapat
ketentuan dalam undang-undang yang bertentangan
dengan UUD NRI 1945, maka ketentuan tersebut dapat
dimohonkan untuk diuji melalui mekanisme pengujian
Undang-Undang (Bukti P-7).

4. Bahwa salah satu kewenangan yang dimiliki oleh MK


adalah melakukan pengujian undang-undang terhadap
UUD 1945 sebagaimana diatur dalam Pasal 24C Ayat (1)
UUD 1945 yang menyatakan bahwa:

”Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat


pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk
menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia tahun 1945.”

5. Bahwa selanjutnya, ketentuan tersebut juga diatur dalam


Pasal 29 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia No.
48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran
Negara Tahun 2009 No. 157, Tambahan Lembaran
Negara No. 5076) (Bukti P-8), yang menyatakan bahwa:

“Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada


tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat
final untuk:
a. menguji undang-undang terhadap Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945;

Halaman 8 dari 63
Stufenbau Sibuea Law Firm
Advocate and Legal Consultant
Jl. M.H Tamrin, No. 3, Menteng, Jakarta Pusat, 10310
Telp. (021) 23865432, Fax. (021) 23451980
Email: stufenbausibuea_lawfirm@yahoo.com

b. memutus sengketa kewenangan lembaga negara


yang kewenangannya diberikan oleh UUD NRI
1945;
c. memutus pembubaran partai politik;
d. memutus perselisihan tentang hasil pemilihan
umum; dan
e. kewenangan lain yang diberikan oleh undang-
undang.”

6. Bahwa dalam Pasal 10 ayat (1) huruf Undang-Undang No.


24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi dinyatakan
bahwa:

“Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada


tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat
final untuk:
a. Menguji Undang-Undang terhadap UUD NRI
1945;
b. Memutus sengketa kewenangan lembaga negara
yang kewenangannya diberikan oleh UUD NRI
1945;
c. Memutus pembubaran partai politik;dan
d. Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan
umum.”

7. Bahwa Pasal 4 ayat (1) dan (2) Peraturan Mahkamah


Konstitusi No. 06/PMK/2005 tentang Pedoman Beracara
dalam Perkara Pengujian Undang-Undang menyatakan
bahwa:

“Permohonan pengujian Undang-Undang meliputi


pengujian formil dan/atau pengujian materiil”; pengujian
materiil adalah pengujian Undang-Undang yang
berkenaan dengan materi muatan ayat, Pasal, dan/atau

Halaman 9 dari 63
Stufenbau Sibuea Law Firm
Advocate and Legal Consultant
Jl. M.H Tamrin, No. 3, Menteng, Jakarta Pusat, 10310
Telp. (021) 23865432, Fax. (021) 23451980
Email: stufenbausibuea_lawfirm@yahoo.com

bagian Undang-Undang yang dianggap bertentangan


dengan UUD NRI 1945.”

8. Bahwa mengacu kepada ketentuan tersebut di atas, MK


berwenang untuk melakukan pengujian konstitusionalitas
suatu undang-undang terhadap UUD 1945 mencakup
pengujian proses pembentukan Undang-Undang (Uji
Formil) dan pengujian materi Undang-Undang (Uji Materiil),
yang didasarkan pada Pasal 51 ayat (3) Undang-Undang
Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi
berbunyi:

“Dalam permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat


(2), Pemohon wajib menguraikan dengan jelas bahwa:
a. pembentukan undang-undang tidak memenuhi
ketentuan berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 dan/atau;
b. materi muatan dalam ayat, pasal, dan/atau bagian
undang-undang dianggap bertentangan dengan
Undang-Undang Dasar Negara Repubik Indonesia
Tahun 1945.”

9. Bahwa Mahkamah Konstitusi dibentuk sebagai lembaga


pengawal konstitusi (the guardian of constitution). Apabila
terdapat Undang-Undang yang berisi atau terbentuk
bertentangan dengan konstitusi (inconstitutional), maka
Mahkamah Konstitusi dapat menganulirnya dengan
membatalkan keberadaan Undang-Undang tersebut
secara menyeluruh atau pun perpasalnya.

10. Bahwa sebagai pengawal konstitusi, Mahkamah Konstitusi


juga berwenang memberikan penafsiran terhadap sebuah
ketentuan pasal-pasal Undang-Undang agar
berkesesuaian dengan nilai-nilai konstitusi. Tafsir
Mahkamah Konstitusi terhadap konstitusionalitas pasal-
Halaman 10 dari 63
Stufenbau Sibuea Law Firm
Advocate and Legal Consultant
Jl. M.H Tamrin, No. 3, Menteng, Jakarta Pusat, 10310
Telp. (021) 23865432, Fax. (021) 23451980
Email: stufenbausibuea_lawfirm@yahoo.com

pasal Undang-Undang tersebut merupakan tafsir satu-


satunya (the sole interpreter of constitution) yang memiliki
kekuatan hukum. Oleh karena itu, terhadap pasal-pasal
yang memiliki makna ambigu, tidak jelas, dan/atau multi
tafsir dapat pula dimintakan penafsirannya kepada
Mahkamah Konstitusi.

11. Bahwa berdasarkan hal-hal tersebut di atas, karena


permohonan pengujian ini merupakan permohonan
pengujian undang-undang terhadap UUD 1945 yang
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
yang ada, maka Mahkamah Konstitusi berwenang untuk
memeriksa dan mengadili permohonan pengujian materiil
undang-undang ini.

12. Bahwa oleh karena itu Pemohon memohon agar


Mahkamah Konstitusi melakukan pengujian terhadap
Pasal 37, Pasal 69, Pasal 70, Pasal 74 Undang Undang
Nomor 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang terhadap
UUD NRI 1945.

B. Kedudukan Hukum (Legal Standing) Pemohon

13. Pemohon adalah subjek hukum yang memenuhi


persyaratan menurut Undang-Undang untuk mengajukan
permohonan perkara konstitusi kepada Mahkamah
Konstitusi (personae standi in judicio). Dimilikinya
kedudukan hukum (legal standing) merupakan syarat yang
harus dipenuhi oleh setiap pemohon untuk mengajukan
permohonan pengujian formil maupun materiil atas
undang-undang terhadap UUD NRI 1945 kepada MK
sebagaimana diatur di dalam peraturan perundang-
undangan.

Halaman 11 dari 63
Stufenbau Sibuea Law Firm
Advocate and Legal Consultant
Jl. M.H Tamrin, No. 3, Menteng, Jakarta Pusat, 10310
Telp. (021) 23865432, Fax. (021) 23451980
Email: stufenbausibuea_lawfirm@yahoo.com

14. Bahwa doktrin organization standing atau legal standing


merupakan sebuah prosedur beracara yang tidak hanya
dikenal dalam doktrin akan tetapi juga telah diatur dalam
berbagai peraturan perundang-undangan di Indonesia
seperti Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang
Pengelolaan Lingkungan Hidup, Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, serta
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang
Kehutanan.

15. Bahwa pada praktik peradilan di Indonesia, legal standing


telah diterima dan diakui menjadi mekanisme dalam upaya
pencarian keadilan, yang mana dapat dibuktikan antara
lain:

a. Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 060/PUU-


II/2004 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 7
Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air terhadap UUD
1945;
b. Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 003/PUU-
III/2005 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 19
Tahun 2004 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004
tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 41
Tahun 1999 tentang Kehutanan menjadi Undang-
Undang terhadap UUD 1945;
c. Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 001-021-
022/PUU-I/2003 tentang Pengujian Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan; dan
d. Dalam Putusan Mahkamah Konstusi Nomor 140/PUU-
VII/2009 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor
1/PNPS/Tahun 1965 tentang Pencegahan
Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama.

Halaman 12 dari 63
Stufenbau Sibuea Law Firm
Advocate and Legal Consultant
Jl. M.H Tamrin, No. 3, Menteng, Jakarta Pusat, 10310
Telp. (021) 23865432, Fax. (021) 23451980
Email: stufenbausibuea_lawfirm@yahoo.com

16. Bahwa organisasi dapat bertindak mewakili kepentingan


publik/umum adalah organisasi yang memenuhi
persyaratan yang ditentukan dalam berbagai peraturan
perundang-undangan maupun yurisprudensi, yaitu:
a. berbentuk badan hukum atau yayasan;
b. dalamanggarandasarorganisasiyang
bersangkutan menyebutkan dengan tegas
mengenai tujuan didirikannya organisasi tersebut;
c. telah melaksanakan kegiatan sesuai dengan
anggaran dasarnya.

17. Bahwa dalam mencapai maksud dan tujuannya, Pemohon


telah melakukan berbagai macam usaha/kegiatannya
sebagaimana disebutkan dalam Anggaran Dasar, yang
kegiatannya tersebut dilakukan secara terus menerus dan
telah menjadi pengetahuan umum (notoire feiten).

18. Bahwa berdasarkan Pasal 51 ayat (1) huruf a Undang-


Undang No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi
sebagaimana dijabarkan dalam Pasal 3 Peraturan
Mahkamah Konstitusi No. 06/PMK/2005 tentang Pedoman
Beracara Dalam Perkara Pengujian Undang-Undang
(Bukti P-9) ditentukan bahwa:

“Pemohon adalah pihak yang menganggap hak


dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh
berlakunya undang-undang yaitu:
a. perorangan warga negara Indonesia;
b. kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih
hidup dan sesuai dengan perkembangan
masyarakat dan prinsip Negara Republik Indonesia
yang diatur dalam undang-undang;
c. badan hukum publik atau privat; atau
d. lembaga negara.”

Halaman 13 dari 63
Stufenbau Sibuea Law Firm
Advocate and Legal Consultant
Jl. M.H Tamrin, No. 3, Menteng, Jakarta Pusat, 10310
Telp. (021) 23865432, Fax. (021) 23451980
Email: stufenbausibuea_lawfirm@yahoo.com

Penjelasan Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang No. 24


Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi dijelaskan
bahwa:
“Yang dimaksud dengan “hak konstitusional” adalah
hak-hak yang diatur dalam UUD NRI 1945.”

19. Berdasarkan ketentuan Pasal 51 ayat (1) UU MK tersebut,


terdapat dua syarat yang harus dipenuhi untuk menguji
apakah Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal
standing) dalam perkara pengujian undang-undang, yaitu:

1) terpenuhinya kualifikasi untuk bertindak sebagai


Pemohon, dan
2) adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional dari
Pemohon yang dirugikan dengan berlakunya suatu
undang-undang.

20. Bahwa karena persoalan yang menjadi objek pengujian


Pemohon merupakan persoalan warga negara, dimana
kejahatan penyalahgunaan wewenang dan
mengkriminalkan masyarakat bukan hanya menyangkut
kepentingan Pemohon semata yang notabene langsung
bersentuhan dengan persoalan tersebut, namun juga
persoalan ini merupakan persoalan universal.

21. Bahwa mengenai parameter kerugian konstitusional, MK


telah memberikan pengertian dan batasan tentang
kerugian konstitusional yang timbul karena berlakunya
suatu Undang-Undang harus memenuhi 5 (lima) syarat
berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 006/PUU-
III/2005 dan putusan-putusan Mahkamah Konstitusi yang
hadir berikutnya, yakni sebagai berikut:

a. harus ada hak dan/atau kewenangan konstitutional


Pemohon yang diberikan oleh UUD 1945;

Halaman 14 dari 63
Stufenbau Sibuea Law Firm
Advocate and Legal Consultant
Jl. M.H Tamrin, No. 3, Menteng, Jakarta Pusat, 10310
Telp. (021) 23865432, Fax. (021) 23451980
Email: stufenbausibuea_lawfirm@yahoo.com

b. hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut


dianggap telah dirugikan oleh berlakunya undang-
undang yang dimohonkan pengujian;
c. kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional
tersebut bersifat spesifik dan aktual, setidak-tidaknya
bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar
dapat dipastikan akan terjadi.
d. ada hubungan sebab akibat (causal verband) antara
kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional
dengan undang-undang yang dimohonkan pengujian;
dan
e. ada kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya
permohonan, maka kerugian hak dan/atau
kewenangan konstitusional yang didalilkan tidak akan
atau tidak lagi terjadi.

22. Bahwa selain lima syarat untuk menjadi Pemohon dalam


perkara pengujian undang-undang terhadap Undang-
Undang Dasar, yang ditentukan di dalam Putusan
Mahkamah Konstitusi No. 006/PUU-III/2005 Perkara No.
11/PUU-V/2007, Mahkamah Konstitusi melalui Putusan
No. 27/PUU-VII/2009 dalam pengujian formil UU No. 3
Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua UU No. 14 Tahun
1985 tentang Mahkamah Agung (halaman 59), juga
menyebutkan sejumlah persyaratan lain untuk menjadi
Pemohon, ditegaskan oleh Mahkamah Konstitusi sebagai
berikut:

“Dari praktik Mahkamah (2003-2009), perorangan WNI,


terutama pembayar pajak (tax payer; vide Putusan
Nomor 003/PUU-I/2003) berbagai asosiasi dan
NGO/LSM yang concern terhadap suatu Undang-
Undang demi kepentingan publik, badan hukum,
Pemerintah daerah, lembaga negara, dan lain-lain, oleh

Halaman 15 dari 63
Stufenbau Sibuea Law Firm
Advocate and Legal Consultant
Jl. M.H Tamrin, No. 3, Menteng, Jakarta Pusat, 10310
Telp. (021) 23865432, Fax. (021) 23451980
Email: stufenbausibuea_lawfirm@yahoo.com

Mahkamah dianggap memiliki legal standing untuk


mengajukan permohonan pengujian, baik formil
maupun materiil, Undang-Undang terhadap UUD 1945;
(Lihat juga pertimbangan kedudukan hukum putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 43/PUU-X/2012 yang
diucapkan pada kamis, 13 Desember 2012, dan Lee
Bridges, dkk. dalam Judicial Review in Perspective, 1995).

23. Bahwa Kualifikasi sebagai Pemohon, Pemohon


merupakan Badan Hukum Privat yang tunduk pada
Hukum Indonesia; sebagaimana keharusan yang telah
diatur dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007
tentang Penanaman Modal (Bukti P-15) Pasal 5 ayat (2)
yang menjelaskan bahwa Penanaman Modal Asing wajib
dalam bentuk Perseroan terbatas berdasarkan hukum
Indonesia dan berkedudukan di dalam wilayah Negara
Republik Indonesia, kecuali ditentukan lain oleh Undang-
Undang. Kedudukan Badan Hukum menurut Undang-
Undang maupun doktrin dianggap sebagai pribadi yang
memiliki hak-hak dan kewajiban yang sama dengan pribadi
menurut hukum, seperti:

a. Teori Organ (Von Gierke) mengenai Badan Hukum,


menurut teori ini badan hukum tidaklah dianggap
sebagai suatu hal yang abstrak dan tidak nyata. Badan
hukum adalah suatu hal yang nyata yang tidak berbeda
dengan manusia, yang memiliki organ untuk
menyatkan kehendaknya di mana organ tersebut
bertindak untuk kepentingan dan atas nama badan
hukum. Badan hukum yang dimaksud adalah subjek
hukum yang dapat melakukan tindakan hukum untuk
menjalankan usaha yang dilakuan dan/atau diwakili
oleh pengurus sesuai ketentuan dalam Anggaran
Dasarnya sebagai pihak yang berwenang mewakili

Halaman 16 dari 63
Stufenbau Sibuea Law Firm
Advocate and Legal Consultant
Jl. M.H Tamrin, No. 3, Menteng, Jakarta Pusat, 10310
Telp. (021) 23865432, Fax. (021) 23451980
Email: stufenbausibuea_lawfirm@yahoo.com

badan hukum. Tindakan pengurus adalah perbuatan


dari badan hukum yang padanya melekat hak dan
kewajiban untuk mewakili kepentingan badan hukum.
b. Kemudian Pasal 1 ayat (1), Undang-Undang No. 40
tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas menegaskan
bahwa: perseroan terbatas, yang selanjutnya disebut
perseroan. Perseroan adalah badan hukum yang
merupakan persekutan modal, berdasarkan perjanjian,
melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang
seluruhnya terbagi dalam saham dan memeuhi
persyaratan yang ditetapkan dalam Undang-Undang ini
serta peraturan pelaksanaannya.

24. Bahwa Pemohon mempunyai hak konstitusional yang


diberikan oleh UUD NRI 1945 sebagai berikut:

Negara Indonesia merupakan negara hukum,


mengandung konsekuensi bahwa setiap tindakan
ataupun peraturan adalah berakibat hukum yang harus
mengandung tujuan hukum dan sesuai dengan tujuan
negara welfare state. Dengan demikian setiap orang
(badan hukum) memiliki hak atas pengakuan
(recognized), jaminan, perlindungan dan kepastian
hukum yang adil berdasarkan hukum serta perlakuan
yang sama dihadapan hukum (equality before the law)
sesuai dengan Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1)
UUD NRI 1945 yang berbunyi:
- Pasal 1 ayat (3)
(3) “Negara Indonesia adalah negara hukum.”
- Pasal 28D ayat (1)
(1) “Setiap orang berhak atas pengakuan,
jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum
yang adil serta perlakuan yang sama di
hadapan hukum.”

Halaman 17 dari 63
Stufenbau Sibuea Law Firm
Advocate and Legal Consultant
Jl. M.H Tamrin, No. 3, Menteng, Jakarta Pusat, 10310
Telp. (021) 23865432, Fax. (021) 23451980
Email: stufenbausibuea_lawfirm@yahoo.com

25. Bahwa Pemohon sebagai Badan Hukum Privat secara


konstitusional telah dirugikan pemenuhan hak
konstitusionalnya untuk menjunjung tinggi dan menaati
hukum positif yang ada di dalam Undang-Undang a quo,
oleh karena itu Pasal 37, Pasal 69, Pasal 70, dan Pasal 74
Undang-Undang No. 26 tahun 2007 tentang Penataan
Ruang mengurangi hak konstitusional pemohon untuk
mendapat pengakuan, jaminan, perlindungan, dan
kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di
hadapan hukum sebagai badan hukum privat yang tunduk
pada hukum Indonesia sebagaimana dijamin dalam Pasal
28D ayat (1) UUD NRI 1945.

26. Bahwa Pemohon merupakan suatu Perusahaan dalam


bentuk Perseroan yang berbentuk Badan Hukum
Indonesia yang melaksanakan usaha di bidang
perkebunan. Dengan adanya ketentuan Pasal 37 dan
ketentuan pidananya yang diatur terutama di dalam Pasal
69, Pasal 70, dan Pasal 74, akan menimbulkan potensi
pelanggaran hak konstitusional dari Pemohon. Hal tersebut
sebagaimana dapat terlihat dari kedudukan hukum
Pemohon di Indonesia yang telah diakui sebagai Badan
Hukum Privat, namun dalam faktanya terdapat kebijakan
dari pemerintah yang merugikan hak konstitusional
Pemohon yang dapat ditunjukkan dengan terhentinya
kegiatan usaha perusahaan yang berpotensi menimbulkan
kebangkrutan. Dengan kebijakan a quo yang diterapkan
oleh Pemerintah ini telah menimbulkan ketidakadilan dan
ketidakpastian hukum terhadap Pemohon sebagai Badan
Hukum yang tunduk dengan Hukum Indonesia
sebagaimana yang telah diatur dalam Pasal 28D ayat (1)
UUD NRI 1945.

Halaman 18 dari 63
Stufenbau Sibuea Law Firm
Advocate and Legal Consultant
Jl. M.H Tamrin, No. 3, Menteng, Jakarta Pusat, 10310
Telp. (021) 23865432, Fax. (021) 23451980
Email: stufenbausibuea_lawfirm@yahoo.com

27. Bahwa hak konstitusional Pemohon telah sangat dirugikan


dengan berlakunya Undang-Undang Penataan Ruang
yang baru, yaitu UU No. 26 tahun 2007. Kerugian hak
dan/atau wewenang konstitusional Pemohon bersifat
spesifik pada hak untuk mendapat jaminan dari
Pemerintah untuk mengembangkan tiap badan usaha di
Indonesia agar mendapat income yang baik dimana
selanjutnya dari income tersebut akan berefek baik untuk
kondisi perekonomian Indonesia.

28. Bahwa dapat dipastikan secara potensial Pemohon telah


dirugikan menurut penalaran yang wajar (beyond
reasonable doubt) akan membawa dampak terhadap
keberlanjutan kegiatan usaha yang telah lama dilakukan
Pemohon, mengingat jangka waktu dari kegiatan usaha
Pemohon masih mempunyai tenggang waktu keberlakuan
yang cukup lama, yaitu sampai dengan tahun 2020 (Bukti
P-6).

29. Bahwa selain hal tersebut diatas, kerugian yang


ditimbulkan mempunyai hubungan kausal (causal verband)
dengan berlakunya Pasal 37, Pasal 69, Pasal 70, dan
Pasal 74 Undang-Undang No. 26 tahun 2007 tentang
Penataan Ruang, yang mana dalam Pasal 37
mengandung ketentuan yang mewajibkan bagi setiap
orang untuk mematuhi Rencana Tata Ruang Wilayah yang
berlaku. Adanya ketentuan pidana yang tercantum dalam
Pasal 69, Pasal 70, dan Pasal 74 yang memberikan aturan
pidana bagi pelanggaran yang salah satunya adalah
terhadap Pasal 37 tersebut juga sangatlah
bertolakbelakang dengan asas kepastian hukum yang
ditentukan dalam konstitusi. Dengan adanya aturan
tersebut tentu berdampak pada kegiatan usaha Pemohon
yang tidak dapat dioperasikan, sehingga potensi income

Halaman 19 dari 63
Stufenbau Sibuea Law Firm
Advocate and Legal Consultant
Jl. M.H Tamrin, No. 3, Menteng, Jakarta Pusat, 10310
Telp. (021) 23865432, Fax. (021) 23451980
Email: stufenbausibuea_lawfirm@yahoo.com

(pemasukan) perusahaan hilang, dan secara tidak


langsung perusahaan mengalami kerugian secara materiil
karena harus menghentikan proses produksi dan ekspor
hasil perkebunan tersebut.

30. Bahwa selain hak konstitusional Pemohon untuk tetap


dapat berproduksi telah terhambat dengan adanya
kebijakan tersebut, operasi produksi yang telah dilakukan
mengalami hambatan karena izin yang telah diperoleh
dianggap tidak berlaku sehingga operasional perusahaan
tidak dapat berlanjut sebagaimana mestinya. Atas
kebijakan tersebut pulalah akhirnya perusahaan
memutuskan untuk melakukan lay off (PHK) besar-besaran
terhadap para tenaga kerja yang berjumlah 640 orang
(Bukti P-12).

31. Bahwa dengan adanya PHK besar-besaran yang


dilakukan Pemohon, membuat banyak orang telah
kehilangan pekerjaan tetap mereka sehingga
mengakibatkan pengangguran. Hal ini tentu bukanlah
tujuan Pemerintah untuk membuat warga negaranya
kehilangan pekerjaaan. Dengan kondisi tersebut telah
membuat dilanggarnya hak konstitusional orang untuk
mendapat jaminan dan perlindungan atas penghidupan
yang layak oleh Pemerintah.

32. Sejalan dengan dilakukannya PHK terhadap pekerja,


Pemohon harus membayar uang pesangon, penggantian
hak dan tunjangan lainnya yang belum dibayarkan kepada
para pekerja sesuai dengan hak mereka berdasarkan
ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan (Bukti P-10).

33. Bahwa Pemohon yang menjalankan kegiatan usahanya di


Bidang Perkebunan ini menganggap bahwa ketentuan tata
Halaman 20 dari 63
Stufenbau Sibuea Law Firm
Advocate and Legal Consultant
Jl. M.H Tamrin, No. 3, Menteng, Jakarta Pusat, 10310
Telp. (021) 23865432, Fax. (021) 23451980
Email: stufenbausibuea_lawfirm@yahoo.com

ruang yang ditetapkan dalam UU Penataan Ruang yang


telah diterapkan Pemerintah menunjukkan sikap yang
kurang adil dan tidak seimbang dalam mengeluarkan
kebijakan dan mengganggu kemajuan dunia usaha
terutama usaha perkebunan yang bertentangan dengan
UUD NRI 1945.

34. Oleh karena itu, dengan dikabulkannya permohonan ini


oleh Mahkamah Konstitusi sebagai the sole interpreter of
the constitution dan the guardian of constition (pengawal
konstitusi) maka kerugian hak konstitusional Pemohon
tidak akan terjadi lagi.

35. Bahwa berdasarkan uraian diatas, Pemohon memiliki


kedudukan hukum (legal standing) sebagai Pemohon
Pengujian Undang-Undang secara materiil dalam perkara
a quo karena telah memenuhi ketentuan Pasal 53 ayat (3)
UU MK beserta penjelasannya dan 5 (lima) syarat
kerugian hak konstitusional sebagaimana pendapat MK
selama ini yang telah menjadi yurisprudensi yaitu pada
Putusan MK Perkara No. 006/PUU-III/2005 dan Perkara
No. 011/PUU-V/2007, dan Pasal 3 Peraturan MK No.
06/PMK/2005.

C. Kerugian Konstitusional Pemohon Dalam Permohoan a


quo

36. Bahwa pemberlakuan ketentuan Pasal 37, Pasal 69, Pasal


70, dan Pasal 74 Undang-Undang Penataan Ruang
menurut Pemohon telah bertentangan dengan UUD 1945,
dan merugikan atau setidak-tidaknya berpotensi untuk
merugikan hak konstitusionalnya;

Halaman 21 dari 63
Stufenbau Sibuea Law Firm
Advocate and Legal Consultant
Jl. M.H Tamrin, No. 3, Menteng, Jakarta Pusat, 10310
Telp. (021) 23865432, Fax. (021) 23451980
Email: stufenbausibuea_lawfirm@yahoo.com

37. Bahwa hak konstitusional Pemohon tersebut khususnya


melekat dalam:

a. Pasal 1 ayat (3) UUD 1945, yaitu:


“Negara Indonesia adalah negara hukum.”
b. Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, yaitu:
“Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan,
perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta
perlakuan yang sama dihadapan hukum.”
c. Pasal 33 ayat (1) UUD 1945, yaitu:
“Perekonomian disusun sebagai usaha bersama
berdasar atas asas kekeluargaan.”
d. Pasal 33 ayat (4) UUD 1945, yaitu:
“Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar
atas demokrasi ekonomi dengan prinsip
kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan,
berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan
menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan
ekonomi nasional.”

38. Bahwa uraian lebih lanjut dan lengkap mengenai kerugian


konstitusional Pemohon yang memiliki hubungan sebab
akibat (causal verband) dengan undang-undang yang
dimohonkan pengujian dalam Permohonan a quo, yaitu;

a. Pemohon berkepentingan untuk mendudukan kembali


ide, gagasan, dan cita konstitusi UUD 1945 dan para
pendiri bangsa bahwa pada dasarnya perekonomian
sebagai salah satu tiang pancang pembangunan
nasional haruslah diatur berdasarkan konsep
pengelolaan dan pengaturan yang adil dan memberi
kepastian hukum bagi segenap warga negara
Indonesia tanpa syarat.
b. Pemohonyangmewakilikepentingannya
perusahaannyayangmengalamikerugian
Halaman 22 dari 63
Stufenbau Sibuea Law Firm
Advocate and Legal Consultant
Jl. M.H Tamrin, No. 3, Menteng, Jakarta Pusat, 10310
Telp. (021) 23865432, Fax. (021) 23451980
Email: stufenbausibuea_lawfirm@yahoo.com

konstitusional dengan diberlakukannya UU Penataan


Ruang dimana kegiatan usaha perkebunan PT Rimba
Alama Sejahtera Utama menjadi terkurangi perannya
dalam menyelenggarakan kegiatan perekonomian
nasional dan berpotensi untuk terhenti dengan
diaturnya ketentuan pidana bagi perusahaan yang
mendasarkan pembagian wilayah pemanfaatan hutan
produksi pada rencana tata ruang yang tidak diatur
dalam Undang-Undang Penataan Ruang, meskipun
sudah mendasarkannya pada aturan lain yang sah
berlaku sebelumnya.

39. Pemohon yang mewakili kepentingan perusahaannya juga


berpotensi dirugikan hak konstitusionalnya manakala
kedepan dengan adanya aturan tersebut akan timbul
potensi pemidanaan yang tidak berdasar serta
menimbulkan ketidakpastian hukum bagi perusahaan-
perusahaan lain yang sejenis yang sudah lama
menjalankan usahanya secara sah di mata hukum dan
tidak memiliki masalah apapun sampai dengan
diundangkannya UU Penataan Ruang ini. Pada akhirnya
konsep perekonomian nasional sebagai usaha bersama
yang berdasarkan prinsip kebersamaan, efisiensi
berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan,
kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan
kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional pun hanya
sekedar menjadi nilai konstitusi belaka yang tak memberi
keadilan bagi segenap warga negara Indonesia.

40. Bahwa dengan demikian, keberadaan UU No. 26 Tahun


2007 tentang Penataan Ruang secara faktual atau setidak-
tidaknya potensial merugikan hak-hak konstitusional
Pemohon. Kehadiran undang-undang a quo dengan cara
langsung maupun tidak langsung telah merugikan

Halaman 23 dari 63
Stufenbau Sibuea Law Firm
Advocate and Legal Consultant
Jl. M.H Tamrin, No. 3, Menteng, Jakarta Pusat, 10310
Telp. (021) 23865432, Fax. (021) 23451980
Email: stufenbausibuea_lawfirm@yahoo.com

berbagai macam usaha-usaha yang sudah dilakukan


secara terus-menerus oleh Pemohon dalam rangka
menjalankan tugas dan peranannya untuk mendorong
pemanfaatan sumber daya alam, keadilan distribusi, serta
penyelenggaraan perekonomian nasional di Indonesia.

41. Bahwa meskipun nyatanya antara kawasan hutan dengan


rezim penataan ruang seringkaili terjadi tumpang tindih,
namun terlepas dari itu, Pemohon selalu berusaha
menjaga agar usaha perkebunan Pemohon dapat terus
berjalan dan sesuai dengan aturan yang berlaku. Bahkan
Pemohon juga sudah melakukan perubahan peruntukan
kawasan hutan dan pelepasan kawasan hutan sesuai
dengan Keputusan Menteri Kehutanan Republik Indonesia
No.: SK.292/Menhut-II/2011 tentang Pelepasan Kawasan
Hutan Produksi (Bukti P-19).

42. Bahwa berdasarkan uraian di atas, Pemohon telah


memenuhi kualitas maupun kapasitas sebagai Pemohon
Pengujian Undang-Undang terhadap Undang-Undang
Dasar 1945 sebagaimana ditentukan dalam Pasal 51 huruf
c UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi jo.
UU No. 8 Tahun 2011 tentang Perubahan UU No. 24
Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, maupun
sejumlah putusan Mahkamah Konstitusi yang memberikan
penjelasan mengenai syarat-syarat untuk menjadi
Pemohon Pengujian Undang-Undang terhadap Undang-
Undang Dasar 1945. Sehingga, jelas pula secara
keseluruhan Pemohon memiliki hak dan kepentingan
hukum mewakili kepentingan publik untuk mengajukan
permohonan pengujian UU No. 26 tahun 2007 tentang
Penataan Ruang terhadap UUD 1945.

Halaman 24 dari 63
Stufenbau Sibuea Law Firm
Advocate and Legal Consultant
Jl. M.H Tamrin, No. 3, Menteng, Jakarta Pusat, 10310
Telp. (021) 23865432, Fax. (021) 23451980
Email: stufenbausibuea_lawfirm@yahoo.com

III. ALASAN-ALASAN PERMOHONAN PENGUJIAN PASAL 37,


PASAL 69, PASAL 70, DAN PASAL 74 UNDANG-UNDANG
NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG

1. RUANG LINGKUP NORMA YANG DIAJUKAN UNTUK


DIUJI
Bahwa norma-norma yang menurut Pemohon berpotensi
menimbulkan ketidakpastian hukum serta mengkriminalisasi
masyarakat pada umumnya adalah meliputi norma-norma inti
dan pasal-pasal pidana dalam UU No. 26 Tahun 2007 tentang
Penataan Ruang (Lihat Tabel 1).

Tabel 1
Ruang Lingkup Pasal UU No. 26 Tahun 2007 Tentang Penataan
Ruang yang Menjadi Objek Pengujian

No. Pasal Bunyi


1. Pasal 37 (1) Ketentuan perizinan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 35 diatur oleh
# Pemerintah dan pemerintah daerah
menurut kewenangan masing-masing
sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
(2) Izin pemanfaatan ruang yang tidak sesuai
dengan rencana tata ruang wilayah
dibatalkan oleh Pemerintah dan
pemerintah daerah menurut kewenangan
masing-masing sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
(3) Izin pemanfaatan ruang yang dikeluarkan
dan/atau diperoleh dengan tidak melalui
prosedur yang benar, batal demi hukum.
(4) Izin pemanfaatan ruang yang diperoleh
melalui prosedur yang benar tetapi

Halaman 25 dari 63
Stufenbau Sibuea Law Firm
Advocate and Legal Consultant
Jl. M.H Tamrin, No. 3, Menteng, Jakarta Pusat, 10310
Telp. (021) 23865432, Fax. (021) 23451980
Email: stufenbausibuea_lawfirm@yahoo.com

kemudian terbukti tidak sesuai dengan


rencana tata ruang wilayah, dibatalkan
oleh Pemerintah dan pemerintah daerah
sesuai dengan kewenangannya.
(5) Terhadap kerugian yang ditimbulkan
akibat pembatalan izin sebagaimana
dimaksud pada ayat (4), dapat dimintakan
penggantian yang layak kepada instansi
pemberi izin.
(6) Izin pemanfaatan ruang yang tidak sesuai
lagi akibat adanya perubahan rencana
tata ruang wilayah dapat dibatalkan oleh
Pemerintah dan pemerintah daerah
dengan memberikan ganti kerugian yang
layak.
(7) Setiap pejabat pemerintah yang
berwenang menerbitkan izin pemanfaatan
ruang dilarang menerbitkan izin yang tidak
sesuai dengan rencana tata ruang.
(8) Ketentuan lebih lanjut mengenai prosedur
perolehan izin dan tata cara penggantian
yang layak sebagaimana dimaksud pada
ayat (4) dan ayat (5) diatur dengan
peraturan pemerintah.

Pasal 35 yang disebutkan dalam Pasal 37,


berbunyi:
Pengendalian pemanfaatan ruang
dilakukan melalui penetapan peraturan
zonasi, perizinan, pemberian insentif
dan disinsentif, serta pengenaan
sanksi.
2. Pasal 69(1) Setiap orang yang tidak menaati rencana

Halaman 26 dari 63
Stufenbau Sibuea Law Firm
Advocate and Legal Consultant
Jl. M.H Tamrin, No. 3, Menteng, Jakarta Pusat, 10310
Telp. (021) 23865432, Fax. (021) 23451980
Email: stufenbausibuea_lawfirm@yahoo.com

tata ruang yang telah ditetapkan


sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61
huruf a yang mengakibatkan perubahan
fungsi ruang, dipidana dengan pidana
penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan
denda paling banyak Rp500.000.000,00
(lima ratus juta rupiah).
(2) Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) mengakibatkan kerugian
terhadap harta benda atau kerusakan
barang, pelaku dipidana dengan pidana
penjara paling lama 8 (delapan) tahun dan
denda paling banyak Rp1.500.000.000,00
(satu miliar lima ratus juta rupiah).
(3) Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) mengakibatkan kematian
orang, pelaku dipidana dengan pidana
penjara paling lama 15 (lima belas) tahun
dan denda paling banyak
Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

Pasal 61 yang disebutkan dalam Pasal 69


diatas berbunyi:
Dalam pemanfaatan ruang, setiap orang
wajib:
a. menaati rencana tata ruang yang telah
ditetapkan;
b. memanfaatkan ruang sesuai dengan
izin pemanfaatan ruang dari pejabat
yang berwenang;
c. mematuhi ketentuan yang ditetapkan
dalam persyaratan izin pemanfaatan
ruang; dan

Halaman 27 dari 63
Stufenbau Sibuea Law Firm
Advocate and Legal Consultant
Jl. M.H Tamrin, No. 3, Menteng, Jakarta Pusat, 10310
Telp. (021) 23865432, Fax. (021) 23451980
Email: stufenbausibuea_lawfirm@yahoo.com

d. memberikan akses terhadap kawasan


yang oleh ketentuan peraturan
perundang-undangan dinyatakan
sebagai milik umum.
3. Pasal 70(1) Setiap orang yang memanfaatkan ruang tidak
sesuai dengan izin pemanfaatan ruang dari
pejabat yang berwenang sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 61 huruf b, dipidana
dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga)
tahun dan denda paling banyak
Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

(2) Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud


pada ayat (1) mengakibatkan perubahan
fungsi ruang, pelaku dipidana dengan
pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun
dan denda paling banyak
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
(3) Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) mengakibatkan kerugian
terhadap harta benda atau kerusakan
barang, pelaku dipidana dengan pidana
penjara paling lama 5 (lima) tahun dan
denda paling banyak Rp1.500.000.000,00
(satu miliar lima ratus juta rupiah).
(4) Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) mengakibatkan kematian
orang, pelaku dipidana dengan pidana
penjara paling lama 15 (lima belas) tahun
dan denda paling banyak
Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
4. Pasal 74(1) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 69, Pasal 70,

Halaman 28 dari 63
Stufenbau Sibuea Law Firm
Advocate and Legal Consultant
Jl. M.H Tamrin, No. 3, Menteng, Jakarta Pusat, 10310
Telp. (021) 23865432, Fax. (021) 23451980
Email: stufenbausibuea_lawfirm@yahoo.com

Pasal 71, dan Pasal 72 dilakukan oleh


suatu korporasi, selain pidana penjara
dan denda terhadap pengurusnya, pidana
yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi
berupa pidana denda dengan pemberatan
3 (tiga) kali dari pidana denda
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69,
Pasal 70, Pasal 71, dan Pasal 72.
(2) Selain pidana denda sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), korporasi dapat
dijatuhi pidana tambahan berupa:
a. pencabutan izin usaha; dan/atau
b. pencabutan status badan hukum.

Pasal 71 yang disebutkan dalam Pasal 74


diatas berbunyi:
Setiap orang yang tidak mematuhi
ketentuan yang ditetapkan dalam
persyaratan izin pemanfaatan ruang
sebagaimana dimaksud dalam Pasal
61 huruf c, dipidana dengan pidana
penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan
denda paling banyak
Rp500.000.000,00 (lima ratus juta
rupiah).
Sedangkan Pasal 72 sebagaimana disebut
dalam Pasal 74 berbunyi:
Setiap orang yang tidak memberikan
akses terhadap kawasan yang oleh
peraturan perundang-undangan
dinyatakan sebagai milik umum
sebagaimana dimaksud dalam Pasal
61 huruf d, dipidana dengan pidana

Halaman 29 dari 63
Stufenbau Sibuea Law Firm
Advocate and Legal Consultant
Jl. M.H Tamrin, No. 3, Menteng, Jakarta Pusat, 10310
Telp. (021) 23865432, Fax. (021) 23451980
Email: stufenbausibuea_lawfirm@yahoo.com

penjara paling lama 1 (satu) tahun dan


denda paling banyak
Rp100.000.000,00 (seratus juta
rupiah).

2. NORMA UUD NRI 1945 SEBAGAI ALAT UJI


Bahwa kemudian norma-norma UUD NRI 1945 yang dijadikan
batu uji terhadap ketentuan norma-norma dalam UU
Penataan Ruang diatas adalah sebagai berikut:

43. Pasal 1 ayat (3) yang berbunyi:

“Negara Indonesia adalah negara hukum.”

44. Pasal 28D ayat (1) berbunyi:

“Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan,


perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta
perlakuan yang sama dihadapan hukum.”

45. Pasal 33 ayat (1) berbunyi:

“Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar


atas asas kekeluargaan.”

46. Pasal 33 ayat (4), berbunyi:

“Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas


demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi
berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan,
kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan
kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.”

Halaman 30 dari 63
Stufenbau Sibuea Law Firm
Advocate and Legal Consultant
Jl. M.H Tamrin, No. 3, Menteng, Jakarta Pusat, 10310
Telp. (021) 23865432, Fax. (021) 23451980
Email: stufenbausibuea_lawfirm@yahoo.com

3. ALASAN-ALASAN PERMOHONAN PENGUJIAN UNDANG-


UNDANG PENATAAN RUANG
47. Bahwa hal-hal yang telah dikemukakan dalam
kewenangan MK, kedudukan hukum (Legal Standing)
sebagai Pemohon, serta kerugian konstitusional Pemohon
sebagaimana diuraikan diatas merupakan bagian yang
tidak terpisahkan dari pokok permohonan ini.

48. Bahwa pada tanggal 26 April 2007 telah diundangkan


Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan
Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007
No. 68 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
No. 4725).

49. Bahwa Pemohon mendalilkan Pasal 37, Pasal 69, Pasal


70, Pasal 74 Undang-Undang No. 26 tahun 2007 tentang
Penataan Ruang bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3),
Pasal 28D ayat (1), Pasal 33 ayat (1) dan ayat (4) UUD
NRI 1945 yang menjamin hak konstitusional Pemohon
untuk mendapat pengakuan, jaminan, perlindungan, dan
kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di
hadapan hukum dalam menyelenggarakan usaha dan
menjalankan perekonomian nasional yang berdasarkan
pada negara hukum Indonesia. Hal tersebut didasarkan
pada alasan-alasan sebagaimana diuraikan sebagai
berikut:

KETENTUAN PASAL 37 UU PENATAAN RUANG


MENGENAI KETENTUAN IZIN PEMANFAATAN
RUANG SEPANJANG FRASA “ADANYA
PERUBAHAN RENCANA TATA RUANG
WILAYAH” BERTENTANGAN SECARA
BERSYARAT (CONDITIONALLY
UNCONSTITUTIONAL) DENGAN PASAL 1
AYAT (3) DAN PASAL 28D AYAT (1)
Halaman 31 dari 63
Stufenbau Sibuea Law Firm
Advocate and Legal Consultant
Jl. M.H Tamrin, No. 3, Menteng, Jakarta Pusat, 10310
Telp. (021) 23865432, Fax. (021) 23451980
Email: stufenbausibuea_lawfirm@yahoo.com

UUD NRI 1945 YANG MENJAMIN HAK KONSTITUSIONAL


PEMOHON UNTUK MENDAPATKAN PENGAKUAN,
JAMINAN, PERLINDUNGAN, DAN KEPASTIAN HUKUM
YANG ADIL DI NEGARA INDONESIA SEBAGAI NEGARA
HUKUM

50. Bahwa Pasal 37 UU Penataan Ruang berbunyi:

(1) Ketentuan perizinan sebagaimana dimaksud dalam


Pasal 35 diatur oleh Pemerintah dan daerah menurut
kewenangan masing-masing sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
(2) Izin pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan
rencana tata ruang wilayah dibatalkan oleh Pemerintah
dan pemerintah daerah menurut kewenangan masing-
masing sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
(3) Izin pemanfaatan ruang yang dikeluarkan dan/atau
diperoleh dengan tidak melalui prosedur yang benar,
batal demi hukum.
(4) Izin pemanfaatan ruang yang diperoleh melalui
prosedur yang benar tetapi kemudian terbukti tidak
sesuai dengan rencana tata ruang wilayah, dibatalkan
oleh Pemerintah dan pemerintah daerah sesuai
dengan kewenangannya.
(5) Terhadap kerugian yang ditimbulkan akibat pembatalan
izin sebagaimana dimaksud pada ayat (4), dapat
dimintakan penggantian yang layak kepada instansi
pemberi izin.
(6) Izin pemanfaatan ruang yang tidak sesuai lagi akibat
adanya perubahan rencana tata ruang wilayah dapat
dibatalkan oleh Pemerintah dan pemerintah daerah
dengan memberikan ganti kerugian yang layak.

Halaman 32 dari 63
Stufenbau Sibuea Law Firm
Advocate and Legal Consultant
Jl. M.H Tamrin, No. 3, Menteng, Jakarta Pusat, 10310
Telp. (021) 23865432, Fax. (021) 23451980
Email: stufenbausibuea_lawfirm@yahoo.com

(7) Setiap pejabat pemerintah yang berwenang


menerbitkan izin pemanfaatan ruang dilarang
menerbitkan izin yang tidak sesuai dengan rencana
tata ruang.

(8) Ketentuan lebih lanjut mengenai prosedur perolehan


izin dan tata cara penggantian yang layak
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5)
diatur dengan peraturan pemerintah.
Bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat
(1) UUD NRI 1945 yang menjamin hak konstitusional
pemohon untuk mendapatkan pengakuan, jaminan,
perlindungan, dan kepastian hukum yang adil di Negara
Indonesia sebagai negara hukum. Hal tersebut didasarkan
pada alasan-alasan sebagaimana diuraikan berikut.

51. Bahwa Pasal 1 ayat (3) UUD NRI 1945 secara jelas
menentukan bahwa “Negara Indonesia adalah negara
hukum.” Hal ini mengindikasikan bahwa hukum bertindak
sebagai panglima tertinggi dalam dinamika kehidupan
kenegaraan, bukan politik ataupun ekonomi, sebagaimana
dinyatakan oleh Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H. dalam
artikelnya berjudul Gagasan Negara Hukum Indonesia
(Bukti P-13). Gagasan Negara Hukum itu dibangun
dengan mengembangkan perangkat hukum itu sendiri
sebagai suatu sistem yang fungsional dan berkeadilan,
dikembangkan dengan menata suprastruktur dan
infrastruktur kelembagaan politik, ekonomi dan sosial yang
tertib dan teratur, serta dibina dengan membangun budaya
dan kesadaran hukum yang rasional dan impersonal
dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara.

52. Bahwa gagasan negara hukum yang ideal dan Bahwa


pernyataan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945, menurut Jimly
Halaman 33 dari 63
Stufenbau Sibuea Law Firm
Advocate and Legal Consultant
Jl. M.H Tamrin, No. 3, Menteng, Jakarta Pusat, 10310
Telp. (021) 23865432, Fax. (021) 23451980
Email: stufenbausibuea_lawfirm@yahoo.com

Ashiddiqie mengandung pengertian adanya pengakuan


terhadap supremasi hukum dan konstitusi, dianutnya
prinsip pemisahan dan pembatasan kekuasaan menurut
sistem konstitusional yang diatur dalam Undang-Undang
Dasar, adanya jaminan hak asasi manusia dalam Undang-
Undang Dasar, adanya prinsip peradilan yang bebas dan
tidak memihak yang menjamin persamaan setiap warga
negara dalam hukum, serta menjamin keadilan bagi setiap
orang termasuk terhadap penyalahgunaan wewenang oleh
pihak yang berkuasa.

53. Bahwa yang konsep negara hukum yang diterapkan saat


ini adalah negara hukum material atau negara hukum
kesejahteraan (welfare state). Negara hukum
kesejahteraan bukan hanya berurusan dengan masalah
pemberian jaminan kepada individu supaya dapat
melaksanakan hak-hak politisnya, tetapi juga meliputi
berbagai aspek, yaitu politik, sosial, budaya, dan ekonomi
yang bersifat sangat kompleks. Oleh karena itu, peran
pemerintah dalam negara yang menganut konsep negara
hukum kesejahteraan juga sebagai pelayan publik (public
service) demi terselenggaranya kesejahteraan sosial
masyarakat. Kecenderungan yang bersifat populis dari
negara hukum material ini tidak terlepas dari doktrin
kedaulatan rakyat yang dianut dimana rakyat berposisi
sebagai pemegang kedaulatan tertinggi dalam suatu
negara.

54. Bahwa sebagai negara hukum, Indonesia meletakkan


peraturan perundang-undangan sebagai perangkat hukum
yang digunakan untuk mengatur kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Dengan
dibuatnya Undang-Undang akan memberikan kepastian
hukum kepada masyarakat (rechtmatigheid) bukan

Halaman 34 dari 63
Stufenbau Sibuea Law Firm
Advocate and Legal Consultant
Jl. M.H Tamrin, No. 3, Menteng, Jakarta Pusat, 10310
Telp. (021) 23865432, Fax. (021) 23451980
Email: stufenbausibuea_lawfirm@yahoo.com

kebingungan dan kerancuan terhadap hukum yang telah


diterapkan oleh pemerintah itu sendiri. Seperti yang
dikatakan oleh Lon L. Fuller seorang filsuf hukum asal
Universitas Harvard, Amerika Serikat, terdapat delapan hal
penyebab kegagalan hukum, yaitu:

i. tidak ada aturan atau hukum yang menimbulkan


ketidakpastian,
ii. kegagalanuntukmempublikasikanatau
memperkenalkan aturan hukum kepada
masyarakat,
iii. aturan berlaku surut yang diterapkan secara tidak
pantas,
iv. kegagalan menciptakan hukum bersifat
komprehensif,
v. pembentukan aturan yang kontradiksi satu sama
lain,
vi. pembentukan aturan yang mencantumkan
persyaratan yang mustahil dipenuhi,
vii. perubahan aturan secara cepat sehingga
menimbulkan ketidakjelasan, dan
viii. adanya ketidaksinambungan antara aturan dengan
penerapannya.

Penyebab kegagalan hukum tersebut dapat dihindari bila


terjadi penekanan pada isi hukum positif diantaranya
adalah law should be understandable (hukum harus dibuat
agar dapat dimengerti oleh rakyat), law should remain
relatively constant through time (hukum tidak boleh diubah
sewaktu-waktu, sehingga hukum harus tegas), and law
should be a congruence between the laws as announced
and their actual administration (hukum harus ada
konsistensi antara aturan-aturan sebagaimana yang
diumumkan dengan pelaksanaan kenyataannya).
Halaman 35 dari 63
Stufenbau Sibuea Law Firm
Advocate and Legal Consultant
Jl. M.H Tamrin, No. 3, Menteng, Jakarta Pusat, 10310
Telp. (021) 23865432, Fax. (021) 23451980
Email: stufenbausibuea_lawfirm@yahoo.com

55. Bahwa prinsip supremasi hukum (supremacy of the law)


dalam implementasinya terdapat 2 (dua) jaminan atau
pengakuan, yaitu pengakuan normatif dan pengakuan
empirik. Pengakuan normatif ialah pengakuan terhadap
norma-norma dan peraturan perundang-undangan yang
berlaku sebagaimana yang dijunjung tinggi oleh negara
hukum. Sedangkan pengakuan empirik tercermin dalam
perilaku sebagian besar masyarakatnya. Kesemua prinsip
supremasi hukum itu akan mewujudkan tujuan hukum
sesuai dengan konsep Gustav Radbruch, yaitu keadilan,
kepastian hukum, dan kemanfaatan. Karena hakikat
hukum ialah membawa aturan yang adil dalam masyarakat
(rapport du droit, inbreng van recht).

56. Bahwa sebagai negara hukum dengan konsepsi utama


kesejahteraan sosial (welfare state), peranan pemerintah
pada negara kesejahteraan menjadi sangat sentral karena
kewenangan yang diberikan padanya juga menjadi lebih
luas dengan dapat turut campurnya pemerintah dalam
berbagai aspek kehidupan masyarakat. Oleh karena itu,
untuk dapat menjamin bahwa tindakan pemerintah sejalan
dengan asas negara hukum, pemerintah harus
mendasarkan segala tindakannya pada asas-asas umum
pemerintahan yang baik. Salah satu asas yang terdapat
didalamnya adalah asas kepastian hukum. Hal ini juga
sudah dijamin dalam Konstitusi Indonesia, Undang-
Undang Dasar 1945, sebagai hukum dasar yang
berkedudukan tertinggi (the supreme law of the land) di
Indonesia khususnya dalam Pasal 28D ayat (1) yang
berbunyi “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan,
perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta
perlakuan yang sama di hadapan hukum.” Esensialnya
asas kepastian hukum ini dalam negara hukum terutama
dikarenakan sebagaimana yang dinyatakan oleh Gustav
Halaman 36 dari 63
Stufenbau Sibuea Law Firm
Advocate and Legal Consultant
Jl. M.H Tamrin, No. 3, Menteng, Jakarta Pusat, 10310
Telp. (021) 23865432, Fax. (021) 23451980
Email: stufenbausibuea_lawfirm@yahoo.com

Radbruch, tujuan hukum tidak lain adalah kepastian,


keadilan, dan kemanfaatan. Selain itu, menurut Arief
Sidharta dan Scheltema, unsur-unsur dan asas-asas
Negara Hukum ada 5 (lima) hal, dimana salah satunya
adalah berlakunya asas kepastian hukum (Bukti P-14).

57. Bahwa Pasal 37 UU No. 26 tahun 2007 tentang Penataan


Ruang merupakan norma yang mengatur berbagai
ketentuan terkait izin pemanfaatan ruang yang harus
ditaati oleh setiap orang yang hendak memanfaatkan
ruang wilayah di Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Secara umum, norma Pasal 37 menyatakan bahwa
ketentuan perizinan harus diperoleh melalui prosedur yang
benar serta sesuai dengan rencana tata ruang wilayah
yang ditetapkan oleh pemerintah daerah di masing-masing
wilayah.

58. Bahwa Pasal 37 ayat (2) menyatakan bahwa ”Izin


pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan rencana tata
ruang wilayah dibatalkan oleh Pemerintah dan pemerintah
daerah menurut kewenangan masing-masing sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.”
Ketentuan yang menggeneralisasi seperti ini jelas
melanggar asas kepastian hukum yang telah memberikan
hak konstitusional bagi Pemohon untuk menjalankan
usahanya berdasarkan ketentuan yang berlaku sebelum
UU ini diundangkan dengan secara objektif tidak mengakui
izin yang telah diperoleh Pemohon sebelum UU ini lahir.

59. Bahwa kemudian berdasarkan ketentuan Pasal 37 ayat


(6), ”Izin pemanfaatan ruang yang tidak sesuai lagi akibat
adanya perubahan rencana tata ruang wilayah dapat
dibatalkan oleh Pemerintah dan pemerintah daerah
dengan memberikan ganti kerugian yang layak.” Dengan
demikian berdasarkan ketentuan ini seseorang dapat
Halaman 37 dari 63
Stufenbau Sibuea Law Firm
Advocate and Legal Consultant
Jl. M.H Tamrin, No. 3, Menteng, Jakarta Pusat, 10310
Telp. (021) 23865432, Fax. (021) 23451980
Email: stufenbausibuea_lawfirm@yahoo.com

dikenakan sanksi karena melakukan perbuatan yang


dilarang dalam undang-undang a quo, meski sudah secara
sah dimata hukum berhak atas berbagai izin dari ruang
wilayah hutan untuk dijadikan usaha perkebunan yang
telah diatur dalam peraturan perundang-undangan yang
berlaku sebelum hadirnya undang-undang a quo.

60. Adanya ketidakpastian hukum dalam bunyi Pasal tersebut


bisa dilihat dari bagaimana sebenarnya posisi hukum
pengaturan izin pemanfaatan ruang yang ditetapkan dalam
Pasal tersebut. Hal ini dikarenakan ketentuan tersebut
memberikan akibat yang tentu dapat merugikan
keberlangsungan izin-izin yang telah diberikan selama ini
dan tanpa adanya cacat hukum atau mal-administrasi,
juga dapat menimbulkan ketidakpercayaan masyarakat
akan kepastian hukum di Indonesia.

61. Bahwa sebagaimana dikemukakan oleh Dr. Hotma P.


Sibuea, S.H., M.H. dalam bukunya Asas Negara Hukum,
Peraturan Kebijakan, & Asas-Asas Umum Pemerintahan
Yang Baik dalam rangka kepastian hukum, keputusan
pemerintah yang telah memberikan hak kepada seseorang
warga negara tidak akan dicabut kembali oleh badan atau
pejabat administrasi negara yang bersangkutan, karena itu
terjadi maka akan dapat timbul berbagai kerugian.
Pertama, pemilik hak, yang bersangkutan tidak dapat
menikmati haknya secara aman dan tenteram. Kedua,
pemilik hak akan mengalami kerugian jika haknya
sewaktu-waktu dapat dicabut karena tidak ada kepastian
hukum. Ketiga, kepercayaan masyarakat terhadap
pemerintah akan hilang karena tidak ada konsistensi
dalam tindakan pemerintah atau pejabat administrasi
negara. Adanya UU Penataan Ruang yang
berkonsekuensi mencabut hak-hak seseorang yang sudah

Halaman 38 dari 63
Stufenbau Sibuea Law Firm
Advocate and Legal Consultant
Jl. M.H Tamrin, No. 3, Menteng, Jakarta Pusat, 10310
Telp. (021) 23865432, Fax. (021) 23451980
Email: stufenbausibuea_lawfirm@yahoo.com

diberikan sebelumnya dengan adanya melahirkan norma


baru inilah yang tentu akan mengakibatkan ketidakpastian
hukum bagi seluruh warga Negara Indonesia. Maka jelas
bahwa ketentuan Pasal 37 UU Penataan Ruang adalah
bertentangan dengan asas kepastian hukum.

KETENTUAN PASAL 37 UU PENATAAN RUANG


MENGENAI KETENTUAN IZIN PEMANFAATAN RUANG
BERTENTANGAN SECARA BERSYARAT
(CONDITIONALLY UNCONSTITUTIONAL) DENGAN
PASAL 33 AYAT (1) DAN (3) UUD NRI 1945 YANG
MENJAMIN HAK KONSTITUSIONAL PEMOHON UNTUK
DAPAT MENJALANKAN USAHA DEMI
TERSELENGGARANYA PEREKONOMIAN NASIONAL

62. Bahwa selanjutnya dengan pemberlakuan Pasal 37 UU


Penataan Ruang terkait izin pemanfaatan ruang dapat
mengancam hilangnya hak konstitusional pemohon dalam
menjalankan usaha demi terselenggaranya perekonomian
nasional di Indonesia sebagaimana dinyatakan dalam
Pasal 33 ayat (1) dan (3) UUD NRI 1945.

63. Bahwa Pasal 33 ayat (1) UUD NRI 1945 yang menyatakan
bahwa “Perekonomian disusun sebagai usaha bersama
berdasar atas asas kekeluargaan” dan Pasal 33 ayat (3)
UUD NRI 1945 yang menyatakan bahwa “Perekonomian
nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi
ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi
berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan,
kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan
kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional” berimplikasi
padadiselenggarakannyasistempengaturan

Halaman 39 dari 63
Stufenbau Sibuea Law Firm
Advocate and Legal Consultant
Jl. M.H Tamrin, No. 3, Menteng, Jakarta Pusat, 10310
Telp. (021) 23865432, Fax. (021) 23451980
Email: stufenbausibuea_lawfirm@yahoo.com

pengusahaan di wilayah indonesia yang adil dan efektif


sehingga terwujud keseimbangan perekonomian nasional.

64. Bahwa secara ketatanegaraan, bentuk keterlibatan negara


dalam pengelolaan sumber daya ada 3 (tiga) yakni
pengaturan (regulasi), pengusahaan (beheersdaad), dan
pengawasan (toezichthoudensdaad). Aspek pengaturan
merupakan hak mutlak negara yang tidak boleh diserahkan
kepada swasta dan merupakan aspek yang paling utama
diperankan negara di antara aspek lainnya. Aspek
pengawasan oleh negara (toezichthoudensdaad) dilakukan
oleh negara, c.q. pemerintah, dalam rangka mengawasi
dan mengendalikan agar pelaksanaan penguasaan oleh
negara atas sumber-sumber kekayaan dimaksud benar-
benar dilakukan untuk sebesar-besarnya kemakmuran
seluruh rakyat. Namun, karena karakteristik sumber daya
yang unik, pengusahaannya tidak semuanya dilakukan
oleh negara. Penguasaan negara dalam lingkup
pengusahaan (hak pengusahaan) dapat dilimpahkan
kepada badan hukum swasta atau perorangan dalam
wilayah produksi yang ditetapkan dalam peraturan
perundang-undangan. Dalam hal ini Pemohon
berkedudukan sebagai pemegang izin pengusahaan
perkebunan yang menjalankan hak pengusahaan
Pemerintah untuk mengelola wilayah perkebunan yang
tidak dapat dilakukan sepenuhnya sendiri oleh Pemerintah.

65. Bahwa Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 tentang


Penanaman Modal telah menjelaskan bahwa kedudukan
Badan Usaha ini dijamin dan diakui dalam Undang-
Undang tersebut terutama Badan Usaha asing (Bukti P-
39). Sebagaimana ditetapkan dalam Undang-Undang No.
25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, pelaksanaan

Halaman 40 dari 63
Stufenbau Sibuea Law Firm
Advocate and Legal Consultant
Jl. M.H Tamrin, No. 3, Menteng, Jakarta Pusat, 10310
Telp. (021) 23865432, Fax. (021) 23451980
Email: stufenbausibuea_lawfirm@yahoo.com

atau aplikasi penanaman asing di Indonesia dapat


dilakukan dalam 2 (dua) bentuk usaha, yaitu:

a. Oleh pihak asing (perseorangan atau badan hukum) ke


dalam suatu perusahaan yang seratus persen
diusahakan oleh pihak asing;atau
b. Dengan menggabungkan modal asing itu dengan
nasional (swasta nasional).
66. Bahwa Pemohon sebagai badan hukum Indonesia dengan
iktikad baik telah mengikuti aturan hukum dan perundang-
undangan dengan baik, yaitu terkait dengan pengurusan
izin usaha perkebunan sebagaimana dijelaskan dalam
Pasal 45 UU No. 39 tahun 2014 tentang Perkebunan
(Bukti P-60) termasuk pendapatan negara, yang terdiri
atas penerimaan pajak dan penerimaan negara bukan
pajak, tidak diubahnya klausul penerimaan negara supaya
untuk meningkatkan penerimaan negara, penerimaan
Pajak terdiri atas pajak-pajak yang menjadi kewenangan
Pemerintah sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan di bidang perpajakan, bea masuk
dan cukai sedangkan penerimaan negara bukan pajak
terdiri atas iuran tetap, iuran eksplorasi, iuran produksi,
dan kompensasi data informasi. Namun, faktanya,
penerimaan negara secara potensial dapat berkurang baik
penerimaan negara dari pajak maupun penerimaan negara
bukan pajak akibat adanya ketentuan Pasal 37 ini (Bukti
P-11).

67. Bahwa dalam Pasal 37 UU No. 26 tahun 2007 yang


mengandung ketentuan baru tidak memberikan jaminan
perlindungan yang adil terhadap Pemohon yang telah
berusaha mentaati aturan yang ada dan melakukan
seluruh proses perizinan sesuai dengan ketentuan UU
Perseroan Terbatas, UU Penanaman Modal Asing, UU

Halaman 41 dari 63
Stufenbau Sibuea Law Firm
Advocate and Legal Consultant
Jl. M.H Tamrin, No. 3, Menteng, Jakarta Pusat, 10310
Telp. (021) 23865432, Fax. (021) 23451980
Email: stufenbausibuea_lawfirm@yahoo.com

Perkebunan, maupun UU Penataan Ruang itu sendiri.


Kebijakan yang dibuat oleh Pemerintah berdasarkan Pasal
37 UU No. 26 tahun 2007 ini telah meniadakan hak-hak
konstitusional bagi pemegang izin usaha perkebunan in
casu Pemohon.

68. Bahwa berdasarkan Pasal 3 ayat (2) Undang-Undang


Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, telah
sangat jelas disebutkan tujuan penyelenggaran
penanaman modal (investasi) adalah untuk meningkatkan
pertumbuhan ekonomi nasional; menciptakan lapangan
kerja, meningkatkan pembangunan ekonomi berkelanjutan,
meningkatkan kemampuan daya saing dunia usaha
nasional, meningkatkan kapasitas,
kemampuan teknologi nasional, mendorong
pengembangan ekonomi kerakyatan, mengolah ekonomi
potensial menjadi kekuatan ekonomi riil dengan
menggunakan dana yang berasal baik dari dalam negeri
maupun dari luar negeri, dan meningkatkan kesejahteraan
masyarakat.

69. Sesuatu yang tidak membawa manfaat kebaikan, dengan


adanya Pasal 37 UU No. 26 tahun 2007 karena telah
menimbulkan rusaknya iklim investasi, yaitu kekhawatiran
bagi para investor negeri maupun asing yang tidak
memberikan kejelasan dan ketidakpastian terhadap
penetapan wilayah ruang untuk usaha perkebunan karena
adanya ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37
tentunya akan berdampak langsung atau pun tidak
langsung terhadap usaha Pemohon dan merugikan
investasi yang bermanfaat baik bagi ekonomi rakyat,
ekonomi bangsa maupun negara.

70. Dengan demikian, jelaslah bahwa dengan adanya


ketentuan Pasal 37 UU Penataan Ruang yang sudah
Halaman 42 dari 63
Stufenbau Sibuea Law Firm
Advocate and Legal Consultant
Jl. M.H Tamrin, No. 3, Menteng, Jakarta Pusat, 10310
Telp. (021) 23865432, Fax. (021) 23451980
Email: stufenbausibuea_lawfirm@yahoo.com

sangat konkrit merugikan para pelaku usaha in casu


Pemohon bertentangan dengan Pasal 33 ayat (1) dan (3)
UUD NRI 1945 yang menjamin hak konstitusional
pemohon untuk dapat menjalankan usaha demi
terselenggaranya perekonomian nasional.

KETENTUAN PASAL 69 UU PENATAAN RUANG


MENGENAI KETENTUAN PIDANA BAGI SETIAP ORANG
YANG MELANGGAR IZIN PEMANFAATAN RUANG
BERTENTANGAN SECARA BERSYARAT
(CONDITIONALLY UNCONSTITUTIONAL) DENGAN
PASAL 1 AYAT (3), 28D AYAT (1), 33 AYAT (1) DAN (4)
UUD NRI 1945 YANG MENJAMIN HAK KONSTITUSIONAL
PEMOHON UNTUK DAPAT MENJALANKAN USAHA DEMI
TERSELENGGARANYA PEREKONOMIAN NASIONAL DI
NEGARA HUKUM YANG BERASAKAN KEPASTIAN

71. Bahwa Andi Hamzah memberikan arti sistem pidana dan


pemidanaan sebagai susunan (pidana) dan cara
pemidanan. M. Sholehuddin menyatakan bahwa masalah
sanksi merupakan hal yang sentral dalam hukum pidana
karena seringkali menggambarkan nilai-nilai sosial budaya
suatu bangsa. Artinya pidana mengandung tata nilai
(value) dalam suatu masyarakat mengenai apa yang baik
dan yang tidak baik, apa yang bermoral dan apa yang
amoral serta apa yang diperbolehkan dan apa yang
dilarang.

72. Bahwa UU Penataan Ruang juga mengatur pasal-pasal


pidana dan pemidanaan secara spesifik terhadap individu
masyarakat, yakni:
1) Pasal 69
2) Pasal 70, dan
Halaman 43 dari 63
Stufenbau Sibuea Law Firm
Advocate and Legal Consultant
Jl. M.H Tamrin, No. 3, Menteng, Jakarta Pusat, 10310
Telp. (021) 23865432, Fax. (021) 23451980
Email: stufenbausibuea_lawfirm@yahoo.com

3) Pasal 74
(Lihat Tabel 1: Ruang Lingkup Pasal UU Penataan Ruang
yang Menjadi Objek Pengujian)

73. Bahwa dalam membaca dan mengartikan maksud


daripada Pasal 69 UU Penataan Ruang haruslah dibaca
bersamaan dengan Pasal 61 khususnya Pasal 61 huruf a
UU Penataan Ruang.

74. Bahwa Pasal 61 yang disebutkan dalam Pasal 69 secara


jelas sudah menjabarkan persyaratan yang harus dipenuhi
oleh setiap orang yang hendak memanfaatkan ruang di
Negara Indonesia, sebagaimana yang dinyatakan oleh
ketentuan tersebut yang berbunyi:

Dalam pemanfaatan ruang, setiap orang wajib:


a. menaati rencana tata ruang yang telah
ditetapkan;
b. memanfaatkan ruang sesuai dengan izin
pemanfaatan ruang dari pejabat yang berwenang;
c. mematuhi ketentuan yang ditetapkan dalam
persyaratan izin pemanfaatan ruang; dan
d. memberikan akses terhadap kawasan yang oleh
ketentuan peraturan perundang-undangan
dinyatakan sebagai milik umum.

75. Bahwa selanjutnya dalam Pasal 69 UU Penataan Ruang


dijelaskan secara jelas mengenai adanya penjatuhan
pidana bagi pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 69
diatas yang secara lengkapnya berbunyi:

(1) Setiap orang yang tidak menaati rencana tata ruang


yang telah ditetapkan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 61 huruf a yang mengakibatkan perubahan
fungsi ruang, dipidana dengan pidana penjara paling
Halaman 44 dari 63
Stufenbau Sibuea Law Firm
Advocate and Legal Consultant
Jl. M.H Tamrin, No. 3, Menteng, Jakarta Pusat, 10310
Telp. (021) 23865432, Fax. (021) 23451980
Email: stufenbausibuea_lawfirm@yahoo.com

lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak


Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
(2) Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) mengakibatkan kerugian terhadap harta benda atau
kerusakan barang, pelaku dipidana dengan pidana
penjara paling lama 8 (delapan) tahun dan denda
paling banyak Rp1.500.000.000,00 (satu miliar lima
ratus juta rupiah).
(3) Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) mengakibatkan kematian orang, pelaku dipidana
dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas)
tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000,00
(lima miliar rupiah).

76. Bahwa amandemen UUD 1945 telah menegaskan


konsepsi negara hukum yang sebelumnya hanya terdapat
di penjelasan UUD 1945, yang kini dengan tegas telah
dinyatakan dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 yang
berbunyi:

“Negara Indonesia adalah negara hukum.”

77. Bahwa kemudian yang akan menjadi objek perhatian


Pemohon adalah pada ayat (1) dari Pasal 69. Ketentuan
tersebut telah secara letterlijk menetapkan pidana penjara
dan denda bagi setiap orang yang memanfaatkan ruang
yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang wilayah yang
berlaku. Hal ini tentu menjadi pertanyaan besar ketika
Pasal 69 ini disandingkan dengan ketentuan pasal
sebelumnya (Pasal 37) yang menyiratkan adanya
pembatalan izin dengan disertai pemberian ganti rugi yang
layak, karena terlihat dengan adanya Pasal 69 ini, pada
akhirnya yang diterapkan oleh aparat penegak hukum
adalah ketentuan pidana yang dijelaskan dalam Pasal 69

Halaman 45 dari 63
Stufenbau Sibuea Law Firm
Advocate and Legal Consultant
Jl. M.H Tamrin, No. 3, Menteng, Jakarta Pusat, 10310
Telp. (021) 23865432, Fax. (021) 23451980
Email: stufenbausibuea_lawfirm@yahoo.com

seperti yang dialami oleh Direktur Utama dari perusahaan


Pemohon (Bukti P-58).

78. Bahwa ketentuan dalam Pasal 37 khususnya dalam ayat


(6) yang telah dijabarkan sebelumnya yang mengatur
mengenai status izin pemanfaatan ruang atas perubahan
rencana tata ruang wilayah pada hakikatnya menyiratkan
adanya pembatalan dengan diberikannya ganti kerugian
yang cukup. Namun ternyata hadirnya ketentuan Pasal 69
ini yang memberikan penjatuhan pidana bagi setiap usaha
yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang membuat
ketentuan Pasal 37 tersebut menjadi tidak bertaring dan
saling kontradiktif satu sama lain. Ini tentu saja
menimbulkan ketidakpastian hukum bagi setiap pelaku
usaha yang sudah memenuhi semua kewajibannya dari
segi perizinan sesuai peraturan perundang-undangan
yang berlaku.

79. Bahwa Pasal 33 UUD 1945 merupakan pasal yang


menjadi salah satu landasan hukum sistem ekonomi
nasional. Poin poin penting yang terdapat dalam pasal ini
diantaranya adalah:

“Dalam Pasal 33 tercantum dasar ekonomi, produksi


dikerjakan oleh semua, untuk semua, dibawah pimpinan
atau pemilikan anggota-anggota masyarakat. Kemakmuran
masyarakatlah yang diutamakan, bukan kemakmuran
orang seorang... sebab itu, perekonomian disusun sebagai
usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan. Bangun
usaha yang sesuai adalah koperasi. Perekonomian
berdasar atas demokrasi ekonomi, kemakmuran segala
orang, sebab itu, cabang-cabang produksi yang penting
dan menguasai hajat hidup orang banyak harus dikuasai
oleh negara, kalau tidak tampuk produksi jatuh ketangan
orang seorang yang
Halaman 46 dari 63
Stufenbau Sibuea Law Firm
Advocate and Legal Consultant
Jl. M.H Tamrin, No. 3, Menteng, Jakarta Pusat, 10310
Telp. (021) 23865432, Fax. (021) 23451980
Email: stufenbausibuea_lawfirm@yahoo.com

berkuasa dan rakyat yang banyak ditindasnya, hanya


perusahaan yang tidak menguasai hajat hidup orang
banyak boleh ditangan orang perseorangan. Bumi, air, dan
kekayaan alam yang terkandung dalam bumi adalah
pokok-pokok kemakmuran rakyat. Sebab itu, harus
dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya
untuk kemakmuran rakyat.”

80. Bahwa selanjutnya dalam bukunya Padmo Wahjono


“Membudayakan Undang-Undang Dasar 1945” hal 299-
300 menyatakan tiga hal pokok yang harus dipahami
sebagai demokasi ekonomi Indonesia:

a. Prinsip perekonomian adalah untuk sebesar-besarnya


kemakmuran rakyat dan bukan kemakmuran orang
seorang;
b. Prinsip produksi, yaitu produksi dikerjakan oleh semua,
untuk semua, dibawah pimpinan atau pemilikan
anggota-anggota masyarakat;
c. Prinsip berusaha perusahaan atau pelaku ekonomi,
yaitu:
1) Untuk hal-hal yang dianggap penting oleh negara
adalah hal-hal yang menguasai hajat hidup orang
banyak, serta bumi, air, dan kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya;
2) Orang seorang untuk hal-hal yang tidak mengenai
hajat hidup orang banyak.

81. Bahwa pasca amandemen UUD NRI 1945, Pasal 33 yang


menggariskan politik perekonomian nasional, diletakkan
dalam Bab XIV berjudul “Kesejahteraan Sosial”.
Amandemen terhadap Pasal 33 UUD 1945, khususnya
dengan penambahan ayat (4) menghasilkan bahasa
hukum baru yaitu demokrasi ekonomi. Demokrasi ekonomi

Halaman 47 dari 63
Stufenbau Sibuea Law Firm
Advocate and Legal Consultant
Jl. M.H Tamrin, No. 3, Menteng, Jakarta Pusat, 10310
Telp. (021) 23865432, Fax. (021) 23451980
Email: stufenbausibuea_lawfirm@yahoo.com

memiliki sejumlah kaidah dasar, salah satunya adalah


efisiensi berkeadilan. Efisiensi merupakan hasil dari suatu
kompetisi, namun dapat berdampak dari adanya
ketidakadilan, maka perkataan “efisiensi berkeadilan”
dijadikan satu napas dalam rumusan Pasal 33 ayat (4)
UUD 1945. Dalam kaitannya dengan Pasal 33 ayat (1),
maka “efisiensi berkeadilan” dalam pasal ini dapat
dikatakan melengkapi, sehingga menyempurnakan prinsip
kerjasama dengan kompetisi atau persaingan terbuka;

82. Bahwa ketentuan Pasal 69 UU Penataan Ruang tersebut


memberikan kerugian bagi Pemohon. Hal ini dikarenakan
Pemohon merupakan korban kriminalisasi dari ketentuan
yang ada di UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan
Ruang yang mengatur tentang penjatuhan pidana bagi
seseorang yang memanfaatkan ruang wilayah dan
menduduki kawasan hutan lindung yang tidak sesuai
dengan rencana tata ruang wilayah yang berlaku. Terlebih,
sejak awal pendirian hingga kini, Pemohon masih
berusaha dan menyelenggarakan usaha perkebunannya
tanpa masalah di lokasi tersebut. Sehingga jelaslah bahwa
ketentuan Pasal 69 UU Penataan Ruang tersebut akan
memberikan kerugian bagi Pemohon.

83. Bahwa dengan demikian inkonsistensi yang ada di Pasal


69 UU Penataan Ruang tersebut menimbulkan
ketidakpastian hukum yang adil dalam berusaha untuk
menyelenggarakan perekonomian nasional sebagaimana
dimaksud Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang
menentukan, “Setiap orang berhak atas pengakuan,
jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil
serta perlakuan yang sama di hadapan hukum” dan Pasal
33 ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan bahwa
“Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar

Halaman 48 dari 63
Stufenbau Sibuea Law Firm
Advocate and Legal Consultant
Jl. M.H Tamrin, No. 3, Menteng, Jakarta Pusat, 10310
Telp. (021) 23865432, Fax. (021) 23451980
Email: stufenbausibuea_lawfirm@yahoo.com

atas asas kekeluargaan” serta Pasal 33 ayat (4) UUD


1945 yang berbunyi: “Perekonomian nasional
diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi
dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan,
berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta
dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan
ekonomi nasional.”

KETENTUAN PASAL 70 UU PENATAAN RUANG


MENGENAI KETENTUAN IZIN PEMANFAATAN RUANG
BERTENTANGAN SECARA BERSYARAT
(CONDITIONALLY UNCONSTITUTIONAL) DENGAN
PASAL 1 AYAT (3), 28D AYAT (1), 33 AYAT (1) DAN (4)
UUD NRI 1945 YANG MENJAMIN HAK KONSTITUSIONAL
PEMOHON UNTUK DAPAT MENJALANKAN USAHA DEMI
TERSELENGGARANYA PEREKONOMIAN NASIONAL DI
NEGARA HUKUM YANG BERASAKAN KEPASTIAN

84. Bahwa negara hukum sebagaimana dinyatakan dalam


Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 yang dianut oleh Indonesia
telah diyakini oleh banyak ahli tidak hanya sekedar
berfungsi menjadi negara penjaga malam
(nachtwachterstaat) sebagaimana yang dikemukakan oleh
Immanuel Kant bahwa begara bertugas sebagai penjamin
ketertiban dan keamanan dalam masyarakat.

85. Bahwa negara hukum yang sebelumnya identik dengan


fungsi tradisional yang melekat untuk menjamin ketertiban
dan keamanan juga dituntut berperan aktif dalam
menyejahterakan kehidupan masyarakatnya dalam
berbagai bidang kehidupan. Oleh karena itu negara hukum
sangat erat sekali dengan perwujudan dari negara

Halaman 49 dari 63
Stufenbau Sibuea Law Firm
Advocate and Legal Consultant
Jl. M.H Tamrin, No. 3, Menteng, Jakarta Pusat, 10310
Telp. (021) 23865432, Fax. (021) 23451980
Email: stufenbausibuea_lawfirm@yahoo.com

kesejahteraan (welfare state) (Syamsuharya Bethan,


2008).

86. Sejalan dengan hal tersebut, Jimly Asshidiqie menjelaskan


mengenai 12 prinsip pokok prinsip negara hukum yang
salah satunya berfungsi sebagai Sarana Mewujudkan
Tujuan Kesejahteraan (Welvaar Rechtsstaat):

“Hukum adalah sarana untuk mencapai tujuan yang


diidealkan bersama. Cita-cita hukum itu sendiri, baik yang
dilembagakan melalui gagasan negara demokrasi
(democracy) maupun yang diwujudkan melalaui gagasan
negara hukum (nomocrasy) dimaksudkan untuk
meningkatkan kesejahteraan umum. Bahkan sebagaimana
cita-cita nasional Indonesia yang dirumuskan dalam
Pembukaan UUD 1945, tujuan bangsa Indonesia
bernegara adalah dalam rangka melindungi segenap
bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia,
memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan
kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban
dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan
keadilan social. Negara Hukum berfungsi sebagai sarana
untuk mewujudkan dan mencapai keempat tujuan negara
Indonesia tersebut. Dengan demikian, pembangunan
negara Indonesia tidak akan terjebak menjadi sekedar
„rule-driven‟, melainkan tetap „mission driven‟, tetapi
„mission driven‟ yang tetap didasarkan atas aturan.”
(sumber: http://www.jimly.com/pemikiran/view/11)

87. Bahwa selanjutnya negara kesejahteraan menurut Bagir


Manan selain menjaga keamanan dan ketertiban juga
sebagai pemikul utama tanggung jawab mewujudkan
keadilan sosial, kesejahteraan umum dan sebesar-
besarnya kemakmuran rakyat;
Halaman 50 dari 63
Stufenbau Sibuea Law Firm
Advocate and Legal Consultant
Jl. M.H Tamrin, No. 3, Menteng, Jakarta Pusat, 10310
Telp. (021) 23865432, Fax. (021) 23451980
Email: stufenbausibuea_lawfirm@yahoo.com

88. Bahwa ciri negara hukum kesejahteraan menurut Bachsan


Mustafa yakni:
a) Corak Negara adalah Welfare State yaitu Negara yang
mengutamakan kepentingan rakyat;
b) Negara ikut campur dalam semua lapangan
kehidupan masyarakat;
c) Ekonomi liberal telah diganti dengan sistem
ekonomi yang lebih dipimpin oleh pemerintah
pusat tugas dari welfare state yaitu
menyelenggarakan kepentingan umum;
d) Tugas Negara adalah menjaga keamanan dalam arti
luas, yaitu keamanan di segala lapangan kehidupan
masyarakat

89. Bahwa dalam konteks negara ikut campur dalam


kehidupan masyarakat dan penyelenggaraan ekonomi
yang dipimpin oleh pemerintah pusat adalah salah satu
cerminan bentuk konsepsi negara hukum di Indonesia
sebagaimana diamanatkan oleh UUD 1945 termasuk
didalamnya adalah pengaturan bumi beserta isinya yang
masuk dalam lingkup wilayah Indonesia yang salah
satunya adalah pemberian izin usaha dan pemanfaatan
ruang;

90. Bahwa yang akan dikaji dalam bagian ini adalah ketentuan
Pasal 70 UU Penataan Ruang yang menyatakan bahwa:

(1) Setiap orang yang memanfaatkan ruang tidak


sesuai dengan izin pemanfaatan ruang dari pejabat
yang berwenang sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 61 huruf b, dipidana dengan pidana penjara
paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak
Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Halaman 51 dari 63
Stufenbau Sibuea Law Firm
Advocate and Legal Consultant
Jl. M.H Tamrin, No. 3, Menteng, Jakarta Pusat, 10310
Telp. (021) 23865432, Fax. (021) 23451980
Email: stufenbausibuea_lawfirm@yahoo.com

(2) Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat


(1) mengakibatkan perubahan fungsi ruang, pelaku
dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima)
tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00
(satu miliar rupiah).
(3) Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) mengakibatkan kerugian terhadap harta benda atau
kerusakan barang, pelaku dipidana dengan pidana
penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling
banyak Rp1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta
rupiah).
(4) Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) mengakibatkan kematian orang, pelaku dipidana
dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas)
tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000,00
(lima miliar rupiah).

91. Bahwa dengan adanya ketentuan Pasal 70 UU Penataan


Ruang maka tidak akan tercapai prinsip negara hukum
dan kepastian hukum sebagaimana dianut dalam UUD
1945 sebagai hukum tertinggi di negara Indonesia sebagai
negara hukum yang diatur dalam Pasal 1 ayat (3) dan
Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 sebagai berikut:
Pasal 1 ayat (3):
“Negara Indonesia adalah negara hukum.”

Pasal 28D ayat (1) berbunyi:


“Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan,
perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta
perlakuan yang sama dihadapan hukum.”

92. Bahwa dalam membaca dan mengartikan maksud


daripada Pasal 70 UU Penataan Ruang haruslah dibaca

Halaman 52 dari 63
Stufenbau Sibuea Law Firm
Advocate and Legal Consultant
Jl. M.H Tamrin, No. 3, Menteng, Jakarta Pusat, 10310
Telp. (021) 23865432, Fax. (021) 23451980
Email: stufenbausibuea_lawfirm@yahoo.com

bersamaan dengan Pasal 61 khususnya Pasal 61 huruf b


UU Penataan Ruang.

93. Bahwa Pasal 61 yang disebutkan dalam Pasal 69 secara


jelas sudah menjabarkan persyaratan yang harus dipenuhi
oleh setiap orang yang hendak memanfaatkan ruang di
Negara Indonesia, sebagaimana yang dinyatakan oleh
ketentuan tersebut yang berbunyi:

Dalam pemanfaatan ruang, setiap orang wajib:


a. menaati rencana tata ruang yang telah ditetapkan;
b. memanfaatkan ruang sesuai dengan izin
pemanfaatan ruang dari pejabat yang
berwenang;
c. mematuhi ketentuan yang ditetapkan dalam
persyaratan izin pemanfaatan ruang; dan
d. memberikan akses terhadap kawasan yang oleh
ketentuan peraturan perundang-undangan
dinyatakan sebagai milik umum.

94. Bahwa sejauh ini, pemohon sudah memenuhi semua


kewajibannya sebagai pelaku usaha dan termasuk
didalamnya, memanfaatkan ruang sesuai dengan izin
pemanfaatan ruang dari pejabat yang berwenang.
Namun kembali lagi, adanya UU Penataan Ruang ini
kemudian mengakibatkan semua izin yang telah diperoleh
pemohon selama ini dianggap nihil hanya karena terikat
oleh ketentuan pasal a quo yang mensyaratkan kewajiban
pemenuhan pasal 37 jo. Pasal 61 tentang kepatuhan
terhadap rencana tata ruang wilayah yang berlaku. Hal ini
tentu tidak mencerminkan kepastian hukum yang dicita-
citakan konstitusi UUD 1945.

Halaman 53 dari 63
Stufenbau Sibuea Law Firm
Advocate and Legal Consultant
Jl. M.H Tamrin, No. 3, Menteng, Jakarta Pusat, 10310
Telp. (021) 23865432, Fax. (021) 23451980
Email: stufenbausibuea_lawfirm@yahoo.com

95. Bahwa pasal 70 UU Penataan Ruang juga bertentangan


dengan Pasal 33 ayat (1) dan (4) UUD 1945 yang mana
dikatakan bahwa:

Pasal 33 ayat (1):

“Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar


atas asas kekeluargaan.”

Pasal 33 ayat (4):

“Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas


demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi
berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan,
kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan
kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.”

96. Bahwa ketidaksesuaian antara Pasal 70 UU Penataan


Ruang dengan Pasal 33 ayat (1) dan (4) UUD 1945 terlihat
manakala pemerintah menerapkan ketentuan yang tidak
menciptakan kepastian hukum seperti pasal 70 UU
Penataan Ruang. Peran dalam pengembangan
perekonomian nasional yang salah satunya dilaksanakan
oleh pemohon melalui usaha perkebunannya tentu tidak
akan berjalan jika permasalahan izin ini terkesan berubah-
ubah. Ditambah lagi penjatuhan pidana akibat pasal-pasal
sebelumnya tentang kewajiban setiap orang untuk
mematuhi rencana tata ruang wilayah yang berlaku yang
sebenarnya tidak bisa berlaku surut sebagai konsekuensi
dari diterapkannya asas legalitas dalam negara hukum
akan menjadi suatu kebijakan yang sangat kontradiktif
dengan ketentuan Pasal 33 UUD 1945.

97. Bahwa keberadaan pasal tersebut yang mengandung


ancaman pidana akan membatasi Pemohon dalam
Halaman 54 dari 63
Stufenbau Sibuea Law Firm
Advocate and Legal Consultant
Jl. M.H Tamrin, No. 3, Menteng, Jakarta Pusat, 10310
Telp. (021) 23865432, Fax. (021) 23451980
Email: stufenbausibuea_lawfirm@yahoo.com

menjaga keberlangsungan usahanya demi


menyelenggarakan perekonomian nasional dan
menyejahterakan rakyat. Pembatasan atas hak untuk
berusaha tersebut selain akan berdampak dan
berhubungan pada pemenuhan hak dasar lainnya dari
pemohon, juga berdampak pada perekonomian nasional
secara makro karena tidak dapat lagi memenuhi
kebutuhan hidup para pekerja jika usaha pemohon
dihancurkan begtiu saja karena pasal-pasal tersebut
diberlakukan.

98. Bahwa oleh karena hal-hal yang telah diungkapkan diatas,


jelaslah bahwa Pasal 70 bertentangan dengan Pasal 1
ayat (3), 38D ayat (1), Pasal 33 ayat (1), dan Pasal 33 ayat
(4) UUD 1945.

KETENTUAN PASAL 74 UU PENATAAN RUANG


MENGENAI KETENTUAN IZIN PEMANFAATAN RUANG
BERTENTANGAN SECARA BERSYARAT
(CONDITIONALLY UNCONSTITUTIONAL) DENGAN
PASAL 1 AYAT (3), 28D AYAT (1), 33 AYAT (1) DAN (4)
UUD NRI 1945 YANG MENJAMIN HAK KONSTITUSIONAL
PEMOHON UNTUK DAPAT MENJALANKAN USAHA DEMI
TERSELENGGARANYA PEREKONOMIAN NASIONAL DI
NEGARA HUKUM YANG BERASAKAN KEPASTIAN

99. Bahwa ketentuan Pasal 74 menyatakan bahwa:


(1) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 69, Pasal 70, Pasal 71, dan Pasal 72 dilakukan
oleh suatu korporasi, selain pidana penjara dan denda
terhadap pengurusnya, pidana yang dapat dijatuhkan
terhadap korporasi berupa pidana denda dengan
pemberatan 3 (tiga) kali dari pidana denda
Halaman 55 dari 63
Stufenbau Sibuea Law Firm
Advocate and Legal Consultant
Jl. M.H Tamrin, No. 3, Menteng, Jakarta Pusat, 10310
Telp. (021) 23865432, Fax. (021) 23451980
Email: stufenbausibuea_lawfirm@yahoo.com

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69, Pasal 70,


Pasal 71, dan Pasal 72.
(2) Selain pidana denda sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), korporasi dapat dijatuhi pidana tambahan berupa:
a. pencabutan izin usaha; dan/atau
b. pencabutan status badan hukum.

100. Bahwa untuk dapat memahami keseluruhan


kandungan dari pasal tersebut, maka harus pula dibaca
secara bersamaan isi dari Pasal 71 dan Pasal 72 UU a
quo yang menyatakan bahwa:
Pasal 71
“Setiap orang yang tidak mematuhi ketentuan yang
ditetapkan dalam persyaratan izin pemanfaatan ruang
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 huruf c,
dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga)
tahun dan denda paling banyak Rp500.000.000,00
(lima ratus juta rupiah).”
Pasal 72
“Setiap orang yang tidak memberikan akses terhadap
kawasan yang oleh peraturan perundang-undangan
dinyatakan sebagai milik umum sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 61 huruf d, dipidana dengan
pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda
paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).”

101. Bahwa Pasal 28D (1) UUD 1945 menyatakan: “Setiap


orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan
kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama
dihadapan hukum”.

102. Bahwa dilihat dari jaminan kepastian hukum, asas


kepastian hukum menjadi salah satu ciri dari Negara
Hukum—the rule of law, yang di dalamnya mengandung
Halaman 56 dari 63
Stufenbau Sibuea Law Firm
Advocate and Legal Consultant
Jl. M.H Tamrin, No. 3, Menteng, Jakarta Pusat, 10310
Telp. (021) 23865432, Fax. (021) 23451980
Email: stufenbausibuea_lawfirm@yahoo.com

asas legalitas, prediktibilitas, dan transparansi.


Sebagaimana diketahui bahwa ciri-ciri negara hukum
adalah, “a legal system in which rules are clear, well-
understood, and fairly enforced.”

103. Bahwa kepastian hukum (legal certainty), salah


satunya mengandung pengertian bahwa hukum haruslah
dapat diprediksi, atau memenuhi unsur prediktibilitas,
sehingga seorang subjek hukum dapat memperkirakan
peraturan apa yang mendasari perilaku mereka, dan
bagaimana aturan tersebut ditafsirkan dan dilaksanakan.

104. Bahwa dinyatakan dalam Pasal 69 ayat (1) UU


Penataan Ruang, “Setiap orang yang tidak menaati
rencana tata ruang yang telah ditetapkan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 61 huruf a yang mengakibatkan
perubahan fungsi ruang, dipidana dengan pidana penjara
paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak
Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah)” dan Pasal 70
ayat (1) menyatakan bahwa “Setiap orang yang
memanfaatkan ruang tidak sesuai dengan izin
pemanfaatan ruang dari pejabat yang berwenang
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 huruf b, dipidana
dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan
denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta
rupiah).” Ketentuan ini dapat diartikan bahwa ketentuan
pidan sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 69, Pasal
70, juga Pasal 74 hanya dapat diterapkan bagi setiap
orang yang melanggar ketentuan dalam UU Penataan
Ruang setelah UU ini diundangkan. Namun, pasal pidana
dalam UU Penataan Ruang melakukan generalisasi
terhadap setiap orang, sehingga rentan juga untuk
menyebabkan warga negara yang haknya sudah dilindungi
oleh hukum sebelum UU ini diundangkan justru dipidana.

Halaman 57 dari 63
Stufenbau Sibuea Law Firm
Advocate and Legal Consultant
Jl. M.H Tamrin, No. 3, Menteng, Jakarta Pusat, 10310
Telp. (021) 23865432, Fax. (021) 23451980
Email: stufenbausibuea_lawfirm@yahoo.com

Oleh karenanya pemidanaan terhadap subyek hukum


yang demikian tidak memiliki legal ratio yang memadai
(overinclusive).

105. Bahwa Pasal 74 UU Penataan Ruang sebagai


ketentuan lanjutan yang masih memiliki keterkaitan
dengan pasal-pasal sebelumnya yang telah Pemohon
jabarkan yakni Pasal 37, Pasal 69, dan Pasal 70 yang
berisi ancaman pidana bagi individu yang diatur di dalam
UU Penataan Ruang tersebut tentu menjadi ancaman,
atau bahkan secara faktual telah menjadikan pemohon
yang notabene adalah Warga Negara Indonesia yang
melakukan usaha perkebunan secara sah sebagai
seorang kriminal. Dengan adanya ketentuan yang berisi
ancaman pidana sebagaimana disebutkan dalam poin 97
diatas, telah mengesampingkan eksistensi dan
keberadaan pelaku usaha yang telah melakukan usahanya
bertahun-tahun dan memberikan kontribusi yang tidak
sedikit bagi bangsa dan negara Indonesia sendiri.

106. Bahwa ketentuan pidana dari Pemerintah tersebut yang


pada akhirnya dapat mengancam keberlangsungan usaha
Pemohon bertentangan juga dengan kovenan
internasional mengenai hak ekonomi, sosial, dan budaya
(International Covenant on Economic, Social, and Cultural
Rights) yang telah diratifikasi oleh Pemerintah dengan
diundangkannya Undang-Undang Republik Indonesia No.
11 Tahun 2005 sebagaimana tercantum dalam Pasal 5
(Bukti P-16) yang menyatakan bahwa tidak ada satu
ketentuan pun dalam kovenan ini yang dapat ditafsirkkan
sebagai memberi hak kepada negara, kelompok atau
seseorang untuk melibatkan diri dalam kegiatan atau
melakukan tindakan yang bertujuan menghancurkan hak
atau kebebasan manapun yang diakui dalam kovenan ini

Halaman 58 dari 63
Stufenbau Sibuea Law Firm
Advocate and Legal Consultant
Jl. M.H Tamrin, No. 3, Menteng, Jakarta Pusat, 10310
Telp. (021) 23865432, Fax. (021) 23451980
Email: stufenbausibuea_lawfirm@yahoo.com

atau membatasinya lebih daripada yang ditetapkan


kovenan ini. Selain itu, di dalam Pasal 6 dan Pasal 7
disebutkan bahwa mengakui hak asasi setiap orang di
bidang ekonomi, sosial dan budaya, yakni hak atas
pekerjaan, hak untuk menikmati kondisi kerja yang adil
dan menyenangkan.

107. Bahwa ketentuan UU Penataan Ruang yang


mengandung ancaman pidana dengan ketidakcermatan
perumusannya tersebut, dapat dengan mudah
disalahgunakan oleh penguasa dan pihak lain karena
pasal tersebut bersifat subjektif. Oleh karenanya,
berpotensi dan secara faktual menimbulkan ketidakpastian
hukum dan melanggar hak konstitusional Pemohon.

108. Bahwa ketentuan UU Penataan Ruang yang


mengandung ancaman pidana bertentangan dengan
prinsip-prinsip dasar Negara Hukum yang didasarkan pada
suatu keinginan bahwa kekuasaan negara harus
dijalankan atas dasar hukum yang baik dan adil.

109. Bahwa Pemohon menyadari dalam Uji


Konstitusionalitas, Mahkamah Konstitusi seyogyianya
mempertimbangkan dan tidaknya pertentangan antara
ketentuan Pasal atau Undang-Undang saja dengan UUD
1945, namun demi menemukan kebenaran dan keadilan
substantif kiranya Mahkamah perlu melihat regulasi
peraturan perundang-undangan yang lain yang mengatur
mengenai syarat dan jenis pekerjaan saja penunjang
termasuk juga dalam beberapa Putusan Mahkamah
Konstitusi terkait seperti putusan Nomor 27/PUU-IX/2011.

110. Bahwa berdasarkan hal-hal tersebut diatas, jelas Pasal


37, Pasal 69, Pasal 70, dan Pasal 74 Undang-Undang No.
26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang bertentangan
Halaman 59 dari 63
Stufenbau Sibuea Law Firm
Advocate and Legal Consultant
Jl. M.H Tamrin, No. 3, Menteng, Jakarta Pusat, 10310
Telp. (021) 23865432, Fax. (021) 23451980
Email: stufenbausibuea_lawfirm@yahoo.com

dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 28D ayat (1), Pasal 33 ayat
(1) dan ayat (4) dan UUD NRI 1945.

IV. PETITUM

Berdasarkan seluruh uraian di atas, jelas bahwa di dalam


permohonon uji materiil ini terbukti bahwa UU Penataan Ruang
merugikan Hak Konstitusional Pemohon yang dilindungi
(protected), dihormati (respected), dimajukan (promoted), dan
dijamin (guaranted) oleh UUD NRI 1945. Oleh karena itu,
diharapkan dengan dikabulkannya permohonan ini dapat
mengembalikan Hak Konstitusional Para Pemohon sesuai
dengan amanat Konstitusi.

Dengan demikian, Para Pemohon mohon kepada Majelis


Hakim Konstitusi yang mulia berkenan memberikan putusan
sebagai berikut:

1. Menerima dan mengabulkan permohonan Pemohon untuk


seluruhnya;
2. Menyatakan Pasal 37 UU Nomor 26 Tahun 2007 tentang
Penataan Ruang bertentangan dengan UUD 1945, oleh
karenanya tidak memiliki kekuatan hukum mengikat
sepanjang tidak dimaknai (conditionally constitutional) “Izin
pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan rencana tata
ruang wilayah dibatalkan oleh Pemerintah dan pemerintah
daerah.”
3. Menyatakan Pasal 69 UU Nomor 26 Tahun 2007 tentang
Penataan Ruang bertentangan dengan UUD 1945, oleh
karenanya tidak memiliki kekuatan hukum mengikat
sepanjang tidak dimaknai (conditionally constitutional) “Setiap
orang yang tidak menaati rencana tata ruang yang telah
ditetapkan…. dipidana dengan pidana penjara paling lama 3

Halaman 60 dari 63
Stufenbau Sibuea Law Firm
Advocate and Legal Consultant
Jl. M.H Tamrin, No. 3, Menteng, Jakarta Pusat, 10310
Telp. (021) 23865432, Fax. (021) 23451980
Email: stufenbausibuea_lawfirm@yahoo.com

(tiga) tahun dan denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima


ratus juta rupiah).”
4. Menyatakan Pasal 70 UU Nomor 26 Tahun 2007 tentang
Penataan Ruang bertentangan dengan UUD 1945, oleh
karenanya tidak memiliki kekuatan hukum mengikat
sepanjang tidak dimaknai (conditionally constitutional) “Setiap
orang yang memanfaatkan ruang tidak sesuai dengan izin
pemanfaatan ruang…. dipidana dengan pidana penjara paling
lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak
Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).”
5. Menyatakan Pasal 74 UU Nomor 26 Tahun 2007 tentang
Penataan Ruang bertentangan dengan UUD 1945, oleh
karenanya tidak memiliki kekuatan hukum mengikat
sepanjang tidak dimaknai (conditionally constitutional) “Dalam
hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69,
Pasal 70, Pasal 71, dan Pasal 72….” dan seterusnya
“korporasi dapat dijatuhi pidana tambahan berupa: a.
pencabutan izin usaha; dan/atau b. pencabutan status badan
hukum.”
6. Memerintahkan untuk memuat putusan ini dalam Berita
Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya;

Apabila Mahkamah berpendapat lain mohon Putusan seadil-


adilnya (ex aequo et bono).

V. PENUTUP

Demikian Permohonan Uji Materiil (Judicial Review) ini


kami sampaikan, atas perhatian dan kearifan Majelis Hakim yang
mulia kami sampaikan terima kasih.

Halaman 61 dari 63
Stufenbau Sibuea Law Firm
Advocate and Legal Consultant
Jl. M.H Tamrin, No. 3, Menteng, Jakarta Pusat, 10310
Telp. (021) 23865432, Fax. (021) 23451980
Email: stufenbausibuea_lawfirm@yahoo.com

Hormat kami,
KUASA HUKUM PEMOHON

Evi Chrisviani, S.H., M.H.

Surya Andinaningtias, S.H., M.H.

Halaman 62 dari 63

Anda mungkin juga menyukai